• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI WAKT LARUTAN GU

FA

SKRIPSI

KTU PERENDAMAN DAN PEMANASAN ULA PADA PEMBUATAN MANISAN SEM

PEPAYA (Carica papaya L.)

Oleh

LARAS ARYANDINI F24063017

2010

AKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

OPTIMASI WAKTU PERENDAMAN DAN PEMANASAN BERULANG LARUTAN GULA PADA PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH

PEPAYA (Carica papaya L.)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

LARAS ARYANDINI F24063017

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul skripsi : Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)

Nama : Laras Aryandini

NIM : F24063017

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr NIP:19610502.198603.1.002

Mengetahui: Ketua Departemen,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc NIP: 19650814.199002.1.001

(4)

Laras Aryandini. F24063017. Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)

RINGKASAN

Pepaya merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mudah rusak sehingga penanganan pasca panen menjadi hal penting dalam peningkatan pro-duksi.Salah satu teknologi pengolahan yang bisa dikembangkan untuk memper-panjang umur simpan buah pepaya adalah mengolah pepaya menjadi manisan semi basah pepaya. Pepaya dapat menjadi bahan baku potensial pembuatan ma-nisan karena Indonesia menempati urutan kelima sebagai penghasil pepaya ter-besar di dunia (FAO 2010) pada tahun 2007 dengan tingkat produksi seter-besar 621 juta ton/tahun. Lama perendaman dalam larutan gula sangat memengaruhi mutu akhir manisan semi basah pepaya. Apabila lama perendaman terlalu singkat, laju pengeringan osmotik belum optimal sehingga mutu akhir manisan yang diharap-kan tidak terpenuhi, sedangdiharap-kan apabila waktu perendaman terlalu lama adiharap-kan menyebabkan inefisiensi energi dan menyebabkan semakin besar peluang terkon-taminasinya larutan gula sebagai osmotic agent.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula dengan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula 1:1, 1:2, dan 1:3 pada pembuatan manisan semi basah pepaya, mengetahui konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan ba-sah pada manisan semi baba-sah pepaya, dan mengetahui potensi pemakaian beru-lang larutan gula dalam kaitannya dengan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya.

Metode penelitian terbagi menjadi dua tahap yaitu: (1) penentuan lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula, dan (2) penentuan konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya. Formula manisan semi basah pepaya yang akan diteliti adalah manisan yang direndam oleh larutan gula dengan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula 1:1, 1:2, dan 1:3. Penentuan lama perendaman optimum dilakukan dengan menggunakan analisis statistika rancangan acak lengkap (RAL) in time dengan uji lanjut Duncan. Penentuan konsentrasi gula invert yang menye-babkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya dilakukan dengan menggunakan uji pembedaan salah satu atribut yaitu tingkat kekeringan. Data konsentrasi gula invert tersebut dikorelasikan dengan persamaan Silin (1958) dan orde reaksi ke-1 sehingga didapatkan informasi mengenai lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya.

(5)

air dan nilai Aw ketiga formula tidak berbeda nyata, yaitu sekitar 18% (BB) untuk kadar air dan 0.72 untuk nilai Aw.

(6)

BIODATA PENULIS

Penulis merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara pasangan keluarga Slamet Riadi dan Anna

Riana. Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 19 Januari

1989. Penulis telah menempuh pendidikan selama 6 tahun

(1994-2000) di SDI Al-Istiqomah Tangerang, selama 3

tahun (2000-2003) di SMPN 9 Tangerang, dan selama 3

tahun (2003-3006) di SMAN 1 Tangerang. Pada tahun

2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen

Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi

kemahasiswaaan dan kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah menjadi pengurus

Himitepa IPB selama 2 tahun. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti Program

Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan KPKM. Pada bulan Juli 2010, penulis menjadi

2nd winner of Developing Solutions for Developing Countries competition yang diadakan oleh Institute of Food Technologists Student Association di Chicago, Amerika Serikat bersama dengan Tim Zuper T. Penulis juga pernah menjadi

(7)

PRAKATA

Alhamdulillahi robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas

segala limpahan rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya penulis bisa

menyelesai-kan tugas akhir yang berjudul “Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan

Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)”.

Selama penyusunan tugas akhir ini penulis tidak terlepas dari dukungan

berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayah, Ibu, Nenek, dan adik-adik tercinta (Herlambang Wibowo dan Rizki Tri

Hantoro) atas dukungan moril yang tidak ternilai harganya, kasih sayang, cinta

yang begitu besar, semangat, dan doa sehingga membuat penulis bersemangat

untuk menyelesaikan tugas akhir,

2. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M. Agr, selaku dosen pembimbing akademik atas

pengarahan, masukan, serta kesabarannya untuk membimbing penulis selama

kuliah hingga penyelesaian tugas akhir,

3. Ir. Sutrisno Koswara, Msi dan Dra. Suliantari, MS selaku dosen penguji yang

telah meluangkan waktu dan bersedia menguji penulis,

4. Yoga Adi Pamungkas yang telah memberikan dukungan, semangat, waktu,

dan kesabarannya dari awal penelitian hingga tugas akhir selesai,

5. Lala Iffah Fadhilah, Any Septiani, dan mega 2 ceria atas keceriaannya,

6. Mas Ubet, Henni, dan Hasti selaku teman satu bimbingan atas kerja sama dan

masukan yang sangat berharga,

7. tim Techno Park (Pak Zainal, Mang Ujang, Pak Hendra, Mang Asep, Teh Tita,

Mas Aji, Mas Ari, dan pegawai Rozelt) atas bantuannya kepada penulis

selama penelitian,

8. sahabat-sahabat terbaik di ITP 43 (Henni, Yua, Eri, Helen, Sadek, Della,

Idham, Yogi, Aan, Bernand, Dzikri, Iyus, Abdi) yang mewarnai hidup penulis,

9. tim IFTSA-DSDC (Henni, Zulfahnur, Eri, Helen, Aan, Stefanus, Margaret,

(8)

tim Arrice (Danial, Fathy, dan Anugerah) atas pertemanan yang

menyenangkan selama di Chicago, dan

10. seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk memperkaya ilmu

pengeta-huan dan informasi bagi seluruh pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2010

(9)

i

B. Teknologi Pengeringan Osmotik Bertingkat pada Pembuatan Manisan ... 6

C. Pengukuran Total Padatan Terlarut dengan Refraktometer ... 8

D. Pengeringan ... 10

2. Penentuan Konsentrasi Gula Invert yang Menyebabkan Penampakan Basah pada Manisan Semi Basah Pepaya ... 20

a. Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Persamaan Silin (1958) ... 21

b. Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Orde Reaksi ke-1 ... 22

A. Penentuan Lama Perendaman Optimum Masing-masing Konsentrasi Larutan Gula ... 27

1. Analisis Produk ... 31

(10)

ii 1. Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan

Persamaan Silin (1958) ... 35

2. Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Orde Reaksi ke-1 ... 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

A. Kesimpulan ... 40

B. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(11)

iii DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan vitamin buah pepaya per 100 g ... 5

2 Kandungan gizi buah pepaya per 100 g ... 5

3 Nilai aw beberapa jenis pangan semi basah ... 13

4 Daya inversi berbagai jenis asam ... 15

5 Nilai K0 pada berbagai suhu ... 22

6 Lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH larutan gula untuk mencapai konsentrasi gula invert 6% ... 36

(12)

iv DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Visualisasi pohon pepaya ... 4

2 Simulasi peristiwa pengeringan osmotic bertingkat ... 7

3 Reaksi hidrolisis sukrosa ... 15

4 Diagram alir pembuatan manisan semi basah pepaya ... 18

5 Diagram alir pembuatan gula invert ... 21

6 Grafik penurunan total padatan terlarut pada masing- masing konsentrasi larutan gula perendam ... 28

7 Lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula ... 30

8 Nilai kadar air produk akhir (% BB) ... 31

9 Nilai aw produk akhir ... 32

10 Gambar produk akhir manisan semi basah pepaya ... 33

11 Hasil organoleptik tahap pertama ... 34

12 Hasil organoleptik tahap kedua ... 34

(13)

v DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Standar prosedur operasional pengolahan manisan semi

basah pepaya ... 45

2 Kesetimbangan massa pembuatan manisan semi basah pepaya ... 50

3 Data penurunan total padatan terlarut pembuatan manisan semi basah pepaya ... 51

4 Hasil analisis RAL in time ... 57

5 Data kadar air manisan semi basah pepaya ... 69

6 Data nilai Aw manisan semi basah pepaya ... 70

7 Analisis sidik ragam kadar air manisan semi basah pepaya ... 71

8 Analisis sidik ragam nilai aw manisan semi basah pepaya ... 72

9 Kuisioner uji organoleptik tahap pertama ... 73

10 Hasil uji organoleptik tahap pertama ... 74

11 Analisis sidik ragam uji organoleptik tahap pertama ... 75

12 Hasil uji Dunnet pada uji organoleptik tahap pertama ... 77

13 Kuisioner hasil uji organoleptik tahap kedua ... 78

14 Hasil uji organoleptik tahap kedua ... 79

15 Analisis sidik ragam uji organoleptik tahap kedua ... 80

16 Hasil uji Dunnet pada uji organoleptik tahap kedua ... 82

17 Contoh perhitungan lama pemanasan dengan mengguna- kan persamaan Silin (1958) ... 83

18 Data gula invert ... 84

19 Data kadar gula invert setelah inversi ... 85

20 Data sukrosa dan ln [sukrosa] terhadap waktu ... 86

21 Kurva hubungan waktu dan ln [sukrosa] ... 87

22 Spesifikasi manisan ... 89

23 Data penurunan total padatan terlarut pada pembuatan ma- nisan semi basah mangga ... 90

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pepaya merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mudah

ru-sak sehingga penanganan pasca panen menjadi hal penting dalam peningkatan

produksi. Penyebab utama kerusakan buah-buahan adalah aktivitas pernapasan

dan penguapan yang masih berlangsung setelah panen (Tabil & Sokhansanj

2001), produksi etilen (Ell et al. 2003), dan lain-lain. Kehilangan setelah masa pemanenan pepaya dapat diminimumkan dengan menggunakan teknologi

pe-ngolahan pangan dan penanganan pasca-panen yang tepat. Kunci keberhasilan

proses pengolahan pangan atau pengawetan adalah merubah jenis pangan yang

mudah rusak seperti buah-buahan menjadi produk pangan yang stabil selama

proses penyimpanan. Beberapa teknologi pengawetan pada buah-buahan

lah pengalengan, pendinginan, dan pengeringan. Teknologi pengeringan

ada-lah teknologi yang cocok untuk dikembangkan oleh negara berkembang

kare-na perkembangan teknologi proses termal dan proses dingin pada negara ini

belum sepesat negara maju (Jayaraman & Gupta 2006).

Salah satu hasil teknologi pengeringan yang bisa dikembangkan dari

buah pepaya adalah manisan semi basah. Manisan yang umumnya dijumpai di

Indonesia adalah jenis manisan kering seperti manisan pala. Namun, mutu

organoleptik manisan kering tidak sebaik manisan semi basah. Manisan semi

basah menggunakan teknologi pengeringan osmotik bertingkat. Produk yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi ini memiliki karakter chewiness, softness, elasticity, dan plasticity karena kadar airnya cenderung tinggi yaitu sekitar 10-40% (basis basah) dan nilai aw-nya sekitar 0.72-0.8 (Lewicki & Lenart 1995). Nilai aw yang cenderung rendah dapat memperpanjang umur simpan manisan.

Pepaya dapat menjadi bahan baku potensial pembuatan manisan

karena Indonesia menempati urutan kelima sebagai penghasil pepaya terbesar

di dunia (FAO 2010) pada tahun 2007 dengan tingkat produksi sebesar 621

(15)

2 oleh industri rumah tangga maupun industri komersial. Menurut Lewicki dan

Lenart (1995), kombinasi teknologi ini dapat mengurangi pemakaian energi

dibandingkan dengan teknologi pengeringan konveksi biasa karena sebagian

besar air yang terdapat dalam jaringan buah hilang selama proses pengeringan

osmotik. Manisan semi basah ini dapat dijadikan alternatif pengolahan buah pepaya sehingga menjadi produk olahan yang memiliki daya saing pasar yang

baik.

Lama perendaman dalam larutan gula sangat memengaruhi mutu akhir

manisan semi basah pepaya. Apabila lama perendaman terlalu singkat, laju

pe-ngeringan osmotikbelum optimal sehingga mutu akhir manisan yang

diharap-kan tidak terpenuhi, sedangdiharap-kan apabila waktu perendaman terlalu lama adiharap-kan

menyebabkan inefisiensi energi dan menyebabkan semakin besar peluang

ter-kontaminasinya larutan gula sebagai osmotic agent. Mikroba yang umumnya tumbuh pada produk berkarbohidrat tinggi seperti larutan gula adalah jenis

khamir seperti Zygosaccharomyces bisporus, Zygosaccharomyces mellis, dan Zygosaccharomyces rouxii (Deák 2008).

Sisi ekonomis pada pembuatan manisan semi basah pepaya adalah

apabila larutan gula yang digunakan sebagai osmotic agent dapat dipakai ber-ulang kali. Namun, nilai pH larutan gula dapat turun akibat kandungan asam

pada buah pepaya. Ketika larutan gula dengan nilai pH < 7 dipanaskan

kemba-li, sukrosa yang terdapat dalam larutan gula tersebut berubah menjadi gula

in-vert. Gula invert pada larutan gula dapat menyebabkan penampakan basah

pada manisan yang tidak diharapkan oleh konsumen karena sukrosa sulit

mengkristal. Sukrosa sulit mengkristal karena kehadiran gula invert dapat

menurunkan konstanta titik jenuh sukrosa (Asadi 2007). Konsentrasi gula

invert yang dapat menyebabkan penampakan basah dapat diketahui dengan

menggunakan uji organoleptik. Hasil dari uji organoleptik kemudian

dikore-lasikan dengan persamaan Silin (1958) sehingga dapat diketahui lama

pema-nasan pada berbagai suhu dan pH yang dapat menyebabkan penampakan

(16)

3

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengoptimalkan waktu perendaman

dan pemakaian berulang larutan gula pada pembuatan manisan semi basah

pepaya dengan cara:

1. mengetahui lama perendaman optimum dari masing-masing konsentrasi

larutan gula dengan perbandingan antara berat buah dan volume larutan

gula 1:1, 1:2, dan 1:3 pada pembuatan manisan semi basah pepaya,

2. mengetahui konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah

pada manisan semi basah pepaya, dan

3. mengetahui potensi pemakaian berulang larutan gula dalam kaitannya

(17)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pepaya

Pepaya adalah jenis buah-buahan yang diduga berasal dari negara

Amerika Utara dan Selatan dan kini menyebar luas di daerah tropis, seperti di

negara Indonesia. Buah pepaya tergolong ke dalam keluarga Caricacea dengan genus Carica dan terdapat 20 spesies yang tersebar di daerah tropis (Sidhu 2006). Berikut ini adalah klasifikasi ilmiah buah pepaya:

Kingdom : Plantae

Ordo : Brassicales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica Spesies : C. papaya

Nama binomial : Carica papaya L.

Pohon pepaya (Gambar 1) tergolong tanaman yang cepat tumbuh dan

mampu mencapai ketinggian 10 m dengan kondisi pertumbuhan yang cocok.

Arriola et al. (1980) menyatakan bahwa pohon pepaya memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah, namun ada juga pohon pepaya yang bersifat

hemafrodit (bunga jantan dan bunga betina berada pada satu pohon yang

sama). Daunnya menyirip lima dengan tangkai yang panjang dan berlubang di

bagian tengah. Bentuk buah bulat hingga memanjang, dengan ujung biasanya

meruncing. Warna buah ketika muda hijau gelap dan setelah masak hijau

muda hingga kuning.

(18)

5 Buah pepaya tergolong ke dalam pangan yang memiliki kadar vitamin

yang cukup tinggi. Selain itu, buah pepaya juga mengandung karbohidrat,

protein, lemak, dan serat. Kandungan vitamin buah pepaya per 100 g dapat

dilihat pada Tabel 1, sedangkan kandungan gizi buah pepaya per 100 g dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Kandungan vitamin buah pepaya per 100 g

Vitamin Unit

C (mg) 61.800

E (mg) 0.730 A (µg RAE) 55.000

Thiamin (mg) 0.027

Riboflavin (mg) 0.032

Niacin (mg) 0.338

Pyridoxine (mg) 0.019

Folat (µg) 38.000 Sumber : USDA (2004) di dalam Moreno et al. (2006) Ket : RAE - retinol activity equivalent

Kebutuhan orang dewasa terhadap vitamin C sekitar 60 mg/hari. Berdasarkan

Tabel 1, apabila orang dewasa mengonsumsi 100 g buah pepaya, kebutuhan

vitamin C per hari akan terpenuhi. Vitamin C sangat dibutuhkan oleh tubuh,

salah satunya sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah tekanan

oksidatif.

Tabel 2 Kandungan gizi buah pepaya per 100 g

Kandungan gizi %

Air 89.00

Karbohidrat 9.80

Protein 0.60

Lemak 0.10

Serat 1.80

Sumber: Moreiras et al. (2001) di dalam Moreno et al. (2006)

Buah pepaya tergolong ke dalam buah klimakterik dimana laju

transpirasi dan respirasi masih berlangsung setelah proses pemanenan dan

mencapai titik maksimum saat awal pemanenan. Buah pepaya hanya mampu

bertahan selama 7 hari pada suhu 30°C (Moreno et al. 2006), sedangkan apabila suhu penyimpanan diturunkan, umur simpan buah pepaya akan lebih

panjang. Namun, batas suhu penyimpanan buah pepaya adalah 10°C sehingga

apabila buah pepaya disimpan pada suhu yang lebih rendah dari 10°C, buah

(19)

6 Buah pepaya tergolong ke dalam pangan mudah rusak karena kadar air

dan nilai aw yang cukup tinggi sehingga diperlukan suatu teknologi untuk memperpanjang umur simpan buah pepaya. Beberapa teknologi yang dapat

memperpanjang umur simpan buah pepaya adalah pelilinan, modified athmosphere packaging (MAS), irradiasi dan pengolahan pepaya menjadi produk lain seperti jam, jelly, dried pepaya, dan lain-lain (Arriola et al.1980; Moreno et al. 2006)

B. Teknologi Pengeringan Osmotik Bertingkatpada Pembuatan Manisan Manisan adalah salah satu produk olahan buah yang diproses dengan

menggunakan larutan gula. Manisan yang beredar di pasaran terbagi menjadi

tiga, yaitu manisan kering, manisan semi basah, dan manisan basah.Hal yang

membedakan ketiganya adalah cara pembuatan, keawetan, dan penampakan.

Manisan kering dan manisan semi basah lebih awet daripada manisan basah

karena kandungan air pada manisan kering dan manisan semi basah lebih

rendah daripada manisan basah. Selain itu, proses pendistribusian dan

pena-nganan manisan kering dan manisan semi basah lebih mudah dibandingkan

manisan basah karena pembuatan manisan kering dan manisan semi basah

bi-asanya disertai dengan proses pengeringan, sedangkan manisan basah

disaji-kan dengan larutan gula.

Perlakuan awal pada pembuatan manisan adalah perendaman dalam

larutan CaCl2, perendaman dalam larutan sulfit, dan pemblansiran (Jayaraman

& Gupta 2006). Perendaman dalam larutan CaCl2 bertujuan untuk

memper-kuat jaringan buah. Pektin yang berasal dari buah akan bereaksi dengan

kal-sium yang berasal dari kalkal-sium klorida hingga membentuk suatu kompleks

yang akan memperkokoh tekstur produk (Buggenhout et al. 2009 di dalam

Fraeye 2009). Perendaman dalam larutan sulfit bertujuan untuk mencegah

reaksi pencoklatan enzimatis (Sapers et al. 2002). Blansir bertujuan untuk menginaktivasi enzim, mendenaturasi membran sel, dan mengurangi jumlah

mikroba awal (Alzamora et al. 2003).

Setelah perlakuan awal dilakukan, buah direndam dengan larutan gula.

(20)

os-7 motik bertingkatdimana larutan gula tersebut bersifat hipertonik. Pengeringan osmotik bertingkat adalah peristiwa difusi counter-current yang terjadi secara simultan yaitu: difusi bahan terlarut dari larutan ke dalam bahan pangan dan

difusi air dari dalam bahan pangan ke luar lingkungan (Lazarides 2001).

Peris-tiwa difusi terjadi akibat adanya perbedaan antara konsentrasi buah dan

kon-sentrasi larutan dimana konkon-sentrasi larutan lebih tinggi daripada konkon-sentrasi

buah sehingga akan terjadi keseimbangan termodinamis antara dua sistem.

Si-mulasi peristiwa pengeringan osmotik bertingkatdapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Simulasi peristiwa pengeringan osmotik bertingkat (Lewicki & Lenart 2006).

Peristiwa pengeringan osmotik bertingkat memungkinkan terjadinya

perpindahan masa apabila kedua sistem dipisahkan oleh lapisan

semiperme-abel, yaitu suatu lapisan yang selektif terhadap bahan terlarut namun tidak

se-lektif terhadap bahan pelarut. Lewicki dan Lenart (2006) menyatakan bahwa

pengeringan osmotik bertingkat tidak hanya terjadi pada satu sel buah, namun

pada potongan buah. Satu potong buah terdiri dari berbagai jenis sel dimana di

antara masing-masing sel terdapat intercellular space. Intercellular space adalah bagian dari suatu jaringan tumbuhan yang pertama kali terpapar oleh

larutan hipertonik dan kemudian terjadi peristiwa difusi osmotic agent ke dalam sel buah (Lewicki & Lenart 2006).

(21)

de-8 ngan bahan terlarut pada sistem larutan (Lewicki & Lenart 2006). Peristiwa

tersebut dikenal dengan nama plasmolisis dimana plasmolisis akan mengubah

struktur jaringan buah yang awalnya bersifat semipermeabel menjadi

permea-bel terhadap bahan terlarut (Alzamora et al. 2003). Komponen sel buah yang bersifat semipermeabel adalah plasmalemma, sedangkan dinding sel bersifat

permeabel terhadap air dan komponen dengan berat molekul rendah.

Terdapat dua parameter yang memengaruhi laju pengeringan osmotik

bertingkat, yaitu parameter proses dan parameter produk. Parameter proses

meliputi konsentrasi larutan, suhu larutan, lama perendaman, tekanan, dan

ra-sio bahan terhadap larutan, sedangkan parameter produk meliputi bentuk dan

ukuran, perlakuan awal, dan karakteristik bahan pangan (Lazarides 2001).

Bentuk dan ukuran bahan pangan memengaruhi besar water loss (WL) dan sugar gain (SG). Bentuk kubus dan cincin akan mengalami WL dan SG yang lebih besar dibandingkan bentuk slice dan stick ((Lazarides 2001). Selain bentuk dan ukuran, perlakuan awal seperti perendaman buah di dalam larutan

CaCl2 sebelum proses pengeringan osmotik bertingkat akan memperbaiki

tekstur buah (Rodrigues et al. 2003).

Penggunaan teknologi akan mempercepat proses pengeringan karena

sebagian air yang terdapat dalam buah sudah berkurang selama proses

penge-ringan osmotik bertingkatberlangsung. Namun, fisibilitas ekonomi pembuatan

manisan sangat tergantung oleh pemakaian berulang larutan gula sebagai os-motic agent. Semakin sering larutan gula dapat dipakai kembali, semakin eko-nomis pembuatan manisan tersebut.

C. Pengukuran Total Padatan Terlarut dengan Refraktometer

Total padatan terlarut adalah jumlah padatan yang terkandung dalam

larutan (% m/m). Metode yang dapat digunakan untuk menentukan total

pa-datan terlarut adalah refraktometri dan gravimetri (pengeringan oven) (Asadi

2007). Hasil dari kedua metode tidak terlalu berbeda namun waktu

penger-jaannya berbeda. Metode refraktometri dapat dilakukan dalam waktu 3 menit,

(22)

9 Total padatan terlarut merupakan istilah yang biasa digunakan untuk

merepresentasikan total sukrosa dan non-sukrosa dalam 100 g larutan. Pada

la-rutan sukrosa murni, total padatan terlarut merepresentrasikan total sukrosa

dalam suatu larutan. Namun apabila larutan tidak mengandung sukrosa murni,

total padatan terlarut merepresentasikan total sukrosa dan non-sukrosa dalam

suatu larutan (Asadi 2007). Semakin tinggi total sukrosa dalam suatu larutan,

semakin murni larutan tersebut.

Total padatan terlarut untuk masing-masing gula berbeda-beda.

Berda-sarkan penelitian yang dilakukan oleh Imanda (2007), total padatan terlarut

untuk gula cetak aren, kelapa, dan tebu berturut-turut adalah 83.8%, 89.7%,

dan 87.4%. Total sukrosa untuk ketiga jenis gula tersebut juga berbeda yaitu

75.8% untuk gula aren, 84.3% untuk gula kelapa, dan 86% untuk gula tebu

(Imanda 2007). Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

kemurnian gula dari yang tertinggi hingga terendah adalah gula kelapa, gula

tebu, dan gula aren.

Refraktometer adalah suatu instrumen alat yang dapat mengukur

indeks refraktif (RI) dari suatu larutan dan mengkonversinya ke dalam % total

padatan terlarut. Hasil dari pengukuran refraktometer adalah % total padatan

terlarut refraktometri atau biasa disebut derajat brix (°brix). Teknik

pengukur-an dengpengukur-an menggunakpengukur-an refraktometer disebut refraktometri, dimpengukur-ana

pengu-kuran berdasarkan sudut pembiasan suatu sinar jika mengenai suatu

permu-kaan (Asadi 2007).

Nilai RI suatu larutan adalah rasio antara kecepatan cahaya suatu udara

dan kecepatan cahaya suatu larutan. Nilai RI udara sekitar 1, sedangkan nilai

RI air murni pada suhu 20°C pada panjang gelombang 589 nm adalah 1.333.

Nilai RI pada larutan sukrosa murni 10% adalah 1.348. Nilai RI biasanya

merepresentasikan besar total padatan terlarut suatu sampel. Nilai RI

dipe-ngaruhi oleh suhu sampel, konsentrasi sampel, dan panjang gelombang

refrak-tometer. Nilai RI suatu larutan sukrosa murni dapat merepresentasikan

lang-sung besar total padatan terlarut, namun larutan yang terdiri dari campuran

su-krosa dan non-susu-krosa dapat memengaruhi nilai RI. Gula invert dapat

(23)

10 Namun, nilai derajat brix pada larutan yang terdiri dari campuran sukrosa dan

non-sukrosa dapat merepresentasikan rata-rata total padatan terlarut (Asadi

2007).

Refraktometer biasanya dikalibrasi dengan larutan sukrosa murni pada

suhu standar laboratorium yaitu 20°C. Apabila suhu sampel kurang atau lebih

dari 20°C, perlu dilakukan konversi untuk mendapatkan data total padatan

terlarut yang akurat. Apabila suhu sampel lebih dari 20°C, data total padatan

terlarut ditambah dengan 0.08, sedangkan apabila suhu sampel kurang dari

20°C, data total padatan terlarut dikurangi dengan 0.08 (Asadi 2007).

Perkembangan alat refraktometer dimulai dari penemuan hydrometer untuk mengukur total padatan terlarut oleh ilmuwan A. Baume pada tahun

1768. Kemudian pada tahun 1840 terjadi penyempurnaan hydrometer menjadi Balling scale. Pada tahun 1854 ditemukan alat yang dinamakan brix hydro-meter dengan satuan derajat brix yang sesuai dengan nama penemunya, A. F. W. Brix. Awalnya pembacaan total padatan terlarut pada refraktometer

meng-andalkan indera penglihatan untuk melihat meniskus derajat brix. Hal ini dapat

meningkatkan human error sehingga diciptakan refraktometer modern yang dapat membaca nilai total padatan terlarut secara digital. Selain itu,

refrak-tometer modern dilengkapi dengan display suhu sampel sehingga apabila suhu sampel tidak sama dengan suhu standar laboratorium, dapat dilakukan

kon-versi nilai total padatan terlarut (Asadi 2007).

D. Pengeringan

1. Teori Pengeringan

Pengeringan adalah proses pindah panas dan pindah massa yang

terjadi secara simultan (Earle & Earle 1983). Udara panas yang

dikeluar-kan oleh mesin pengering adikeluar-kan menguapdikeluar-kan air dalam bahan pangan

sam-pai terjadi kesetimbangan. Salah satu tujuan proses pengeringan adalah

memperpanjang umur simpan produk pangan dengan cara menurunkan

ni-lai aktivitas air (aw) (Fellows 2000). Hal ini dapat menghambat partum-buhan mikroba dan aktivitas enzimatis. Selain itu, proses pengeringan

(24)

11 dan mengurangi biaya produksi. Namun pengeringan dapat menurunkan

nilai gizi produk pangan sehingga alat pengering yang akan digunakan

ha-rus disesuaikan dengan karakteristik bahan pangan.

Proses pindah panas pada mesin pengering dapat dibagi menjadi

tiga kelompok, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi (Mujumdar 2006).

Konduksi adalah pindah panas dengan menggunakan permukaan mesin

pengering. Konveksi adalah pindah panas dengan menggunakan udara

panas yang dikeluarkan oleh mesin pengering. Radiasi adalah pindah

pa-nas dengan menggunakan gelombang elektromagnetik yang dikeluarkan

o-leh mesin pengering.

Menurut Mujumdar (2006), faktor yang memengaruhi proses

pe-ngeringan dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor eksternal dan faktor

internal. Faktor eksternal meliputi suhu pengering, kelembaban udara, dan

kecepatan aliran udara. Semakin besar perbedaan suhu antara media

pemanas (suhu udara pengering) dengan bahan yang dikeringkan, semakin

cepat perpindahan panas ke dalam bahan sehingga penguapan air dari

ba-han yang dikeringkan akan lebih cepat. Kelembaban udara berbanding

ter-balik dengan waktu pengeringan. Semakin tinggi kelembaban udara,

pro-ses pengeringan (waktu pengeringan) akan berlangsung lebih lama.

Kece-patan aliran udara berbanding lurus dengan waktu pengeringan. Semakin

tinggi kecepatan aliran udara, proses pengeringan akan berjalan lebih

ce-pat. Faktor internal yang memengaruhi proses pengeringan adalah

karakte-ristik bahan pangan yang meliputi kadar air bahan pangan.

Earle dan Earle (1983) menyatakan bahwa proses pengeringan

ter-bagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah panas ditransfer ke bahan

pa-ngan melalui udara panas atau permukaan pemanas kemudian kandupa-ngan

air dari bahan pangan akan menguap. Kedua, pengeringan vakum, proses penguapan air terjadi pada tekanan rendah dibandingkan tekanan atmosfir.

Proses perpindahan panas yang terjadi secara konduksi dan iradiasi.

Ke-tiga, pengeringan beku, kandungan air bahan pangan yang telah dibekukan akan tersublimasi. Bahan pangan yang dikeringkan dengan cara ini akan

(25)

12

2. Jenis-jenis Pengering

Mesin pengering yang digunakan dalam industri pangan

berma-cam-macam jenisnya. Pemilihan jenis pengering didasarkan pada

karakte-ristik bahan baku pangan, karaktekarakte-ristik produk pangan yang diinginkan,

proses produksi, dan biaya produksi. Menurut Jayaraman dan Gupta

(2006), mesin pengering yang biasa digunakan untuk mengeringkan

buah-buahan dan sayuran-sayuran terbagi menjadi tiga kelompok yaitu

penge-ringan matahari, pengeringan atmosfer (batch drying dan continuous dry-ing) dan pengeringan subatmosfer.

1. Pengeringan matahari

Jenis pengeringan ini menggunakan bantuan sinar matahari untuk

mengurangi kadar air bahan pangan. Jenis pengeringan ini adalah jenis

yang paling murah dan mudah dilakukan. Namun jenis pengeringan ini

mempunyai resiko paling tinggi karena panas yang dialirkan sinar

mata-hari memiliki intensitas yang tidak menentu dan higienisitas produk

ku-rang terjaga.

2. Pengering tray

Bahan pangan berbentuk solid disebarkan secara merata di atas

nampan dan diletakkan di dalam rak pengering kemudian udara panas

dialirkan ke dalam pengering. Proses pindah panas yang terjadi pada pe-ngeringini adalah konduksi dan radiasi.

3. Pengering tunnel

Pengering jenis ini merupakan pengembangan dari pengering tray. Bahan pangan berbentuk solid yang telah disebarkan di atas nampan akan

berputar sehingga proses pengeringan akan lebih efisien. Kandungan air

bahan pangan akan berkurang seiring dengan udara panas yang

dihembus-kan oleh pengering. 4. Pengering drum

Bahan pangan berbentuk cair atau pasta disebarkan di atas rol

pe-ngering. Udara panas dihembuskan di atas rol selama rol berputar secara berlawanan arah sehingga kandungan air dalam bahan pangan akan

(26)

13 pengering yang berada di ujung putaran rol akan membuat bahan yang

telah kering terkelupas secara otomatis.

5. Fluidized bed dryer

Udara panas dihembuskan ke atas bahan pangan yang memiliki

densitas rendah sehingga bahan pangan akan melayang di dalam

penge-ring. Proses pindah panas yang terjadi pada pengeringini adalah konveksi. 6. Pengering semprot

Bahan pangan berbentuk cair atau pasta dimasukkan ke dalam

corong pengering dan udara panas dialirkan secara berlawanan arah.

Pro-ses pengeringan ini berlangsung sangat cepat sehingga cocok untuk produk

pangan yang tidak tahan panas. Produk yang dihasilkan akan berbentuk

granula atau bubuk.

7. Pengering beku

Bahan pangan yang akan dikeringkan dibekukan terlebih dahulu

kemudian kandungan air akan dikondensasi dengan udara panas yang

di-hantarkan secara konduksi atau radiasi. Produk pangan yang dihasilkan

akan memiliki tekstur yang paling bagus dibandingkan dengan jenis

pe-ngeringan lain, namun investasi mesin ini sangat mahal.

E. Pangan Semi Basah

Pangan semi basah adalah jenis pangan yang memiliki kadar air sekitar

10-50% (basis basah) dan aw sekitar 0.6-0.9 (Roos 2001). Beberapa contoh pangan semi basah adalah manisan, jam dan jelly, madu, sirup, marshmallow, soft candies, candied fruits, dan lain-lain. Nilai aw pada beberapa jenis pangan semi basah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai aw beberapa jenis pangan semi basah

Jenis pangan aw

Salami 0.82-0.85

Sosis ‘Landjager’ 0.79

Buah kering 0.72-0.80

Jam dan jelly 0.82-0.94

Madu 0.75

(27)

14 Pangan semi basah adalah salah satu hasil dari teknik pengolahan

pangan. Pada pembuatan pangan semi basah, nilai aw diturunkan dengan menggunakan humektan, antimikroba, dan perlakuan osmotik. Beberapa

hu-mektan yang biasa digunakan pada pembuatan pangan semi basah adalah

garam, gula, gliserol, dan NaCl, sedangkan antimikroba yang biasa digunakan

pada pembuatan pangan semi basah adalah potassium sorbat, kalsium

pro-pionat, dan lain-lain (Karel1976). Perlakuan osmotik pada pembuatan pangan

semi basah dengan cara merendam bahan pangan seperti buah dan sayuran ke

dalam larutan osmotic agent yang memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada bahan pangan tersebut. Perbedaan konsentrasi akan menyebabkan terjadinya

aliran counter-current secara simultan yaitu: difusi bahan terlarut dari larutan ke dalam bahan pangan dan difusi air dari dalam bahan pangan ke luar

lingkungan. Difusi bahan terlarut dari larutan ke dalam bahan pangan akan

menurunkan nilai aw, sedangkan difusi air dari dalam bahan pangan ke luar lingkungan akan menurunkan kadar air. Pangan semi basah yang

menggu-nakan teknologi ini akan memiliki karakter chewiness, softness, elasticity, dan plasticity (Lewicki & Lenart 1995).

Salah satu penurunan mutu yang terjadi pada pangan semi basah

adalah pencoklatan enzimatis (Robson 1976). Reaksi pencoklatan

non-enzimates terjadi pada aw 0.6-0.7 sehingga pangan semi basah yang memiliki nilai aw sekitar 0.6-0.7 rentan mengalami pencoklatan non-enzimatis. Selain pencoklatan non-enzimatis, penurunan mutu pada pangan semi basah dapat

disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme dan oksidasi (Robson 1976).

Mikroba yang mungkin tumbuh pada pangan semi basah adalah kapang

xerofilik, bakteri halofilik, dan khamir osmofilik (Mosell 1975 di dalam Karel

1976). Pertumbuhan mikroorganisme ini dipengaruhi oleh suhu dan

kelembab-an tempat penyimpkelembab-ankelembab-an.

F. Gula Invert

Gula invert adalah hasil hidrolisis sukrosa yaitu glukosa dan fruktosa

dengan perbandingan 1:1 yang terjadi akibat proses pemanasan dan pH asam.

(28)

15 pH. Samakin lama pemanasan, semakin tinggi suhu pemanasaan, dan semakin

kecil nilai pH larutan gula akan meningkatkan laju inversi sukrosa (Asadi

2007). Reaksi tersebut dikatakan inversi karena dapat mengubah rotasi optikal.

Inversi sukrosa dapat terjadi pada pH asam dan suhu ruang yaitu mengikuti

laju reaksi orde ke-I (Asadi 2007). Reaksi yang terjadi adalah reaksi

oksidasi-reduksi dimana satu reaksi tidak akan terjadi tanpa ada reaksi sebelumnya.

Reaksi hidrolisis sukrosa pada pH asam dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Reaksi hidrolisis sukrosa.

Laju inversi sukrosa dipengaruhi oleh jenis asam. Jenis asam yang

sering digunakan untuk inversi sukrosa adalah HCl karena mempunyai daya

inversi paling besar yaitu 100% (Pancoast & Junk, 1979). Daya inversi

berba-gai jenis asam dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Daya inversi berbagai jenis asam

Jenis asam Daya inversi (%)

HCl 100.00

H2SO4 53.60

H3PO4 6.21

Asam tartarat 3.00

Asam sitrat 1.72

Asam laktat 1.07

Sumber:Pancoast dan Junk (1979)

Selain inversi pada pH asam, salah satu faktor terbentuknya gula invert

adalah enzim invertase. Derajat keasaman (pH) optimum dan suhu optimum

enzim invertase adalah 4.0-5.5 dan 50°C (Pancoast & Junk 1979). Beberapa

(29)

16 Gula invert dapat menahan laju kristalisasi sukrosa karena kehadiran

gula invert dapat menurunkan koefisien titik jenuh sukrosa (Asadi 2007)

sehingga gula invert banyak diaplikasikan di industri pangan confectionery seperti hard candy, jelly, dan karamel dan industri brewing. Namun, penggunaan gula invert sudah banyak terganti oleh sirup glukosa karena harga

sirup glukosa yang lebih murah dibandingkan gula invert. Sirup glukosa yang

(30)

17

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pepaya Bangkok,

air, gula pasir, gula invert, CaCl2, garam, potassium sorbat, dan bahan kimia

untuk analisis.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah refraktometer,

tim-bangan digital kasar, pisau, kompor, panci, baskom, batang pengaduk, cabinet dryer, aw-meter, oven vakum, dan alat-alat gelas untuk analisis.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian terbagi menjadi dua tahap yaitu: (1) penentuan lama

perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula, dan (2)

pe-nentuan konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada

manisan semi basah pepaya.

1. Penentuan Lama Perendaman Optimum Masing-masing Konsentrasi Larutan Gula

Penentuan lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi

larutan gula yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk pembuatan

manisan semi basah pepaya. Pembuatan manisan semi basah pepaya

dila-kukan dengan menggunakan pendekatan pembuatan manisan kering pada

umumnya. Manisan semi basah yang akan diteliti memiliki bentuk kubus

dengan panjang sisi sekitar 1 cm. Pemilihan bentuk tersebut bertujuan

un-tuk menyeragamkan laju pengeringan osmotik bertingkat.

Beberapa modifikasi dilakukan pada pembuatan manisan kering

untuk mendapatkan manisan semi basah yang diinginkan. Modifikasi yang

dilakukan pada pembuatan manisan semi basah pepaya ini adalah tahapan

perendaman bertingkat dalam konsentrasi larutan gula. Perendaman

pepa-ya dalam larutan gula dimulai dari konsentrasi larutan gula 20°brix,

kemu-dian dilanjutkan dengan konsentrasi larutan gula 30°brix, 40°brix, 50°brix,

(31)

dipa-18 kai tidak digunakan untuk pembuatan konsentrasi larutan gula 30°brix,

be-gitu pula dengan konsentrasi larutan gula 30°brix yang telah dipakai tidak

digunakan untuk pembuatan konsentrasi larutan gula 40°brix, dan

sete-rusnya. Diagram alir pembuatan manisan semi basah pepaya dapat dilihat

pada Gambar 4, sedangkan standar prosedur operasional pengolahan

mani-san semi basah pepaya dan kesetimbangan massa pembuatan manimani-san semi

basah pepaya berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

(32)

19 Formula manisan semi basah pepaya yang akan diteliti dibedakan

berdasarkan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula.

Formula A, formula B, dan formula C berturut-turut adalah manisan yang

direndam larutan gula dengan perbandingan antara berat buah dan volume

larutan gula 1:1, 1:2, dan 1:3. Formula ini bertujuan untuk melihat

kece-patan laju pengeringan osmotik bertingkat pada ketiga formula.

Lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan

gu-la ditentukan berdasarkan gu-laju pengeringan osmotik bertingkat. Setiap satu jam sekali dari jam ke-0 sampai jam ke-10 dilakukan pengambilan sampel

larutan gula pada masing-masing konsentrasi larutan gula ketiga formula.

Konsentrasi larutan gula yang diambil sampelnya adalah larutan gula

20°brix, 30°brix, 40°brix, 50°brix, 60°brix, dan 70°brix. Sampel larutan

gula tersebut dianalisis total padatan terlarutnya dengan menggunakan alat

refraktometer. Data total padatan terlarut tersebut kemudian diolah dengan

menggunakan analisis statistika rancangan acak lengkap (ral) in time. Uji lanjut Duncan dilakukan apabila terdapat interaksi yang nyata antara

waktu dan faktor. Pengambilan keputusan lama perendaman optimum

pada masing-masing konsentrasi larutan gula berdasarkan penurunan total

padatan terlarut yang tidak signifikan. Pengambilan keputusan ini

berda-sarkan asumsi bahwa keseimbangan termodinamis antara dua sistem

ditan-dai dengan penurunan total padatan terlarut yang tidak signifikan.

a) Analisis Produk

Data lama perendaman optimum ketiga formula tersebut

kemudian digunakan untuk pembuatan manisan semi basah pepaya.

Produk akhir manisan semi basah pepaya kemudian dianalisis kadar air

(33)

20

2. Penentuan Konsentrasi Gula Invert yang Menyebabkan Penampakan Basah pada Manisan Semi Basah Pepaya

Konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah

pada manisan semi basah pepaya dapat diketahui dengan menggunakan uji

organoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji pembedaan salah

satu atribut yaitu tingkat kekeringan produk manisan semi basah pepaya.

Uji pembedaan yang dilakukan adalah uji beda dari kontrol dengan

meng-gunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Kontrol yang dimeng-gunakan pada

pe-nelitian ini adalah manisan semi basah pepaya yang direndam larutan gula

pasir.

Uji organoleptik ini dilakukan secara bertahap. Tahap pertama

ber-tujuan untuk mendapatkan rentang konsentrasi gula invert yang

menye-babkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya. Kombinasi

sampel yang akan diuji adalah manisan semi basah pepaya yang direndam

oleh larutan gula invert 12%, 24%, 36%, 48%, 60%, dan blind control yaitu sampel kontrol yang dijadikan sebagai salah satu sampel uji.

Dia-gram alir pembuatan gula invert dapat dilihat pada Gambar 5. Tahap kedua

bertujuan untuk mengetahui konsentrasi gula invert yang memberikan

tingkat kekeringan manisan semi basah pepaya yang berbeda nyata dengan

kontrol. Tahap kedua dilakukan dengan memperkecil jarak antar rentang

konsentrasi gula invert yang telah didapat pada tahap pertama. Jarak antar

rentang konsentrasi gula invert yang digunakan pada tahap kedua adalah

(34)

21 Gambar 5 Diagram alir pembuatan gula invert (Pancoast dan Junk 1980

dengan modifikasi).

Uji pembedaan salah satu atribut dilakukan dengan menggunakan

skala rating yaitu tidak berbeda/sama (1), sedikit berbeda (2), agak

berbeda (3), moderat (4), cukup besar (5), besar (6), dan sangat besar (7).

Analisa uji beda dari kontrol menggunakan analisa ragam ANOVA

(Meilgaard et al. 1999) kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Dunnet apabila terdapat perbedaan signifikan pada perlakuan yang berbeda.

a) Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Persamaan Silin (1958)

Data konsentrasi gula invert yang telah didapat pada tahap

sebelumnya kemudian dikorelasikan dengan persamaan Silin (1958).

Pengkorelasian ini bertujuan untuk mengetahui lama pemanasan

larut-an gula pada berbagai pH dlarut-an suhu untuk mencapai nilai konsentrasi

gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi

basah pepaya yaitu 6%. Bentuk persamaan Silin (1958) dapat

ditulis-kan sebagai berikut:

I = KC0t

(35)

22 Keterangan:

I = kadar gula invert (%)

C0 = konsentrasi sukrosa awal (%)

t = waktu (menit)

K = konstanta inversi

[H+] = konsentrasi pH

Nilai K0 pada berbagai suhu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai K0 pada berbagai suhu

Suhu (ºC) K0

50 0.12

60 0.38

70 1.18

80 3.30

90 8.92

100 26.80

b) Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Orde Reaksi ke-1

Selain suhu tinggi dan pH asam, Asadi (2007) menyatakan

bahwa sukrosa mengalami hidrolisis pada suhu ruang dan pH asam.

Reaksi hidrolisis sukrosa pada suhu ruang mengikuti orde reaksi ke-1

dengan nilai konstanta laju reaksi (k) = 0.208 pada suhu 25°C (Asadi

2007). Namun, Asadi (2007) tidak menyatakan pada pH berapa nilai

k=0.208 sehingga perlu dilakukan penentuan nilai k larutan gula pada

berbagai pH asam. Sampel yang akan dicari nilai k-nya adalah larutan

gula pH 1, larutan gula pH 2, larutan gula pH 3, dan larutan gula pH 4.

Penentuan nilai k dilakukan dengan menganalisis konsentrasi sukrosa

pada jam ke-0, jam ke-2, jam ke-4, dan jam ke-6 dan

mengkorelasi-kannya dengan persamaan orde reaksi ke-1. Data k kemudian

diguna-kan untuk mengetahui waktu yang dibutuhdiguna-kan larutan gula untuk

men-capai konsentrasi gula invert tertentu yang menyebabkan penampakan

basah pada manisan semi basah pepaya Selain nilai k, suatu reaksi

yang mengikuti orde reaksi ke-1 juga mempunyai waktu paruh (t1/2).

(36)

23 ln [A]t = -kt + ln [A]0, dimana t1/2 = 0.693/k

Keterangan:

[A]0 = konsentrasi awal sukrosa (%)

[A]t = konsentrasi sukrosa pada waktu t(%)

k = konstanta laju reaksi (%/jam)

t = waktu (jam)

t1/2 = waktu paruh (jam)

C. Prosedur Analisis

1. Analisis Kadar Air (AOAC 925.45 1999)

Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven selama 15

menit. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang

sete-lah cawan dingin. Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang di dalam cawan

terse-but kemudian dikeringkan dalam oven vakum suhu 70 °C, 25 mmHg

selama 3 jam. Setelah itu, cawan didinginkan di dalam desikator dan

di-timbang. Penimbangan dilakukan berulang sehingga diperoleh bobot

penurunan ( 0.0005 g).

2. Analisis Nilai aw (aw-meter)

Alat aw-meter dihidupkan dengan menekan tombol power. Setelah tanda ready muncul, larutan NaCl jenuh dimasukkan dalam chamber tempat pengukuran alat untuk mengkalibrasi aw-meter. Setelah itu, tombol

start ditekan dan ditunggu sampai nilai aw yang terbaca 0.750-0.752. Jika belum terbaca sekitar 0.750-0.720, knop tahanan kalibrasi diatur sehingga

kalibrasi tercapai kemudian tombol start ditekan kembali. Sebanyak 1 g contoh dimasukkan dalam chamber contoh dan tombol start ditekan. Setelah itu, nilai aw ditunggu hingga terbaca oleh alat.

3. Persiapan Sampel Gula

Sebanyak 25 g contoh dimasukkan dalam gelas piala 300 ml lalu

ditambahkan dengan 2 g CaCO3 dan 100 ml air destilata. Contoh

dididih-kan selama 30 menit dan didingindididih-kan. Setelah itu, contoh dipindahdididih-kan ke

(37)

24 jenuh. Kemudian contoh ditepatkan dengan air destilata. Contoh dikocok

dan disaring dengan kertas saring. Sebanyak 100 ml filtrat diambil dan

dimasukkan dalam gelas piala lain kemudian ditambahkan dengan 1.5 g

Na-oksalat kering ke dalam filtrat contoh untuk mengendapkan Pb. Contoh

disaring kembali dengan kertas saring. Sebanyak 10 ml filtrat digunakan

untuk analisis gula invert dan 50 ml filtrat digunakan untuk analisis

sukrosa.

4. Analisis Gula Invert (AOAC 923.09 1999) Standarisasi larutan Fehling

Sebanyak 10 ml campuran Fehling A dan Fehling B (reagensia

Soxhlet) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan

de-ngan 19.2 ml larutan gula invert standar. Volume larutan gula invert

stan-dar yang ditambahkan didapatkan stan-dari 50.5 mg/2.5 mg/ml = 20.2 ml

sehingga volume larutan gula invert yang ditambahkan adalah 20.2-1 ml =

19.2 ml. Larutan tersebut didihkan selama 2 menit kemudian ditambahkan

dengan 3-4 tetes indikator metilen biru. Teteskan larutan gula invert

standar yang berfungsi sebagai titran sampai titrat berubah warna menjadi

tidak berwarna.

Analisis contoh (incremental method)

Sebanyak 10 ml reagensia Soxhlet dan 10 ml larutan dari hasil

persiapan contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Panaskan

larutan sampai mendidih selama 15 detik kemudian segera tambahkan

larutan gula invert standar sampai warna biru hampir hilang. Setelah itu

tambahkan 3-4 tetes indikator metilen biru dan teteskan larutan gula invert

standar sampai titrat menjadi tidak berwarna.

Analisis contoh (standard method)

Apabila volume larutan gula invert standar yang digunakan adalah

20 ml, maka volume larutan gula invert standar yang ditambahkan pada

reagensia Soxhlet adalah 20-1 ml = 19 ml. Sebanyak 10 ml reagensia

Soxhlet, 10 ml larutan dari hasil persiapan contoh, dan 19 ml larutan gula

(38)

25 pada tahap incremental method. Kadar gula invert dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Gula invert (%) =

Keterangan:

Vo = volume gula invert standar untuk titrasi reagensia Soxhlet (ml)

Vs = volume gula invert standar untuk titrasi larutan contoh (ml)

[G] = konsentrasi gula invert standar (g/ml)

Ts = volume contoh total dari persiapan contoh (ml)

T = volume contoh yang diperlukan untuk titrasi (ml)

W = berat contoh (g)

F = faktor pengenceran

5. Analisis Sukrosa

Sebanyak 50 ml sampel gula bebas Pb dimasukkan ke dalam labu

takar 100 ml kemudian ditambahkan dengan 20 ml akuades dan 10 ml

larutan HCl 25%. Larutan tersebut dikocok dan diinversi. Inversi gula

dapat dilakukan dengan memilih satu dari dua cara, yaitu menyimpan labu

takat pada suhu 20-25°C selama 24 jam atau pada suhu ruangan selama 10

jam dan memasukkan labu takat ke dalam penangas air suhu 60°C sambil

digoyang-goyang selama 3 menit dan selanjutnya tetap dibiarkan dalam

penangas air selama 7 menit. Sampel kemudian didinginkan cepat sampai

suhu 20°C. Tambahkan beberapa tetes larutan indikator phenolphthalein

1%. Netralkan dengan larutan NaOH 20% sampai timbul warna merah.

Tambahkan tetes demi tetes larutan 0.5 N HCl sampai warna merah tepat

hilang. Encerkan dengan akuades sampai tanda tera. Penentuan kadar

sukrosa dilakukan seperti pada analisis gula invert. Total gula invert yang

didapat pada tahap ini adalah gula invert sesudah inversi atau total gula.

Kadar sukrosa dapat dihitung dengan menggunakan persamaan kadar

(39)

26

D. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menentukan lama

peren-daman optimum padapembuatan manisan semi basah pepaya adalah

ranca-ngan percobaan pengamatan berulang (ral in time). Bentuk umum dari model ral in time dapat dituliskan sebagai berikut:

Yikl = µ + i + ik + l + kl + il + ikl

Keterangan:

Yikl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, ulangan ke-k, waktu

pengamatan ke-l

µ = rataan umum (total padatan terlarut)

i = pengaruh faktor A taraf ke-i

ik = komponen acak perlakuan

l = pengaruh waktu pengamatan ke-l

k = komponen acak waktu pengamatan

il = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A

Penelitian ini menggunakan satu faktor dengan tiga taraf yaitu

perban-dingan berat buah dengan volume larutan gula. Taraf penelitian ini adalah

for-mula A, forfor-mula B, dan forfor-mula C. Waktu pengamatan dilakukan sebanyak 11

(40)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penentuan Lama Perendaman Optimum Masing-masing Konsentrasi Larutan Gula

Proses pembuatan manisan semi basah pepaya yang dilakukan pada

penelitian ini mengikuti formulasi terbaik pembuatan manisan kering pepaya

yang dilakukan oleh Pratiwi (2007) dengan beberapa modifikasi. Bentuk yang

dipilih pada pembuatan manisan ini adalah kubus dengan panjang sisi 1 cm.

Pemilihan ini bertujuan untuk menyeragamkan laju pengeringan osmotik

bertingkat. Selain bentuk, modifikasi yang dilakukan adalah tahapan

perendaman pepaya pada berbagai konsentrasi larutan gula. Perendaman

pepaya di dalam larutan gula dimulai dari konsentrasi 20°brix, 30°brix,

40°brix, 50°brix, 60°brix, sampai 70°brix. Perendaman secara bertahap

diha-rapkan mampu memaksimalkan difusi antara total solid dari lingkungan ke

ja-ringan buah dan air dari jaja-ringan buah ke lingkungan sehingga mampu

mem-bentuk karakter manisan yang diinginkan. Potassium sorbat ditambahkan pada

konsentrasi gula 70°brix untuk memperpanjang umur simpan manisan semi

basah pepaya. Potassium sorbat adalah jenis antimikroba yang biasa dipakai

pada produk manisan dan konsentrasi yang digunakan pada pembuatan

manisan adalah sebesar 200-250 ppm (Davidson et al. 2001). Batas peng-gunaan potassium sorbat pada produk olahan buah berdasarkan Codex

Allimentarius adalah 1000 mg/kg.

Secara konvensional, perendaman buah di dalam larutan gula pada

pembuatan manisan dilakukan lebih dari 12 jam. Perendaman buah di dalam

larutan gula yang dilakukan dalam jangka waktu panjang akan menyebabkan

inefisiensi waktu dan biaya, sedangkan perendaman buah di dalam larutan

gula yang dilakukan dalam jangka waktu singkat belum tentu menghasilkan

manisan yang memiliki testur yang diharapkan.

Penentuan lama waktu perendaman optimum masing-masing

konsen-trasi larutan gula pada pembuatan manisan semi basah pepaya menggunakan

(41)

28 merupakan penyederhanaan model difusi gula ke dalam jaringan buah dan

di-fusi air dari dalam jaringan buah ke lingkungan. Penurunan total padatan

terla-rut laterla-rutan gula dianalisis dengan menggunakan refraktometer.

Pada penentuan lama perendaman optimum masing-masing

konsentra-si larutan gula, larutan gula pada ketiga formula diambil sampelnya tiap satu

jam sekali selama 10 jam. Konsentrasi larutan gula yang diambil sampelnya

adalah 20°brix, 30°brix, 40°brix, 50°brix, 60°brix, dan 70°brix. Besar total

padatan terlarut tiap jam kemudian diplotkan ke dalam grafik untuk melihat

laju penurunan total padatan terlarut (Lampiran 3). Grafik penurunan total

padatan terlarut pada masing-masing konsentrasi larutan gula dapat dilihat

pada Gambar 6.

(42)

29 Gambar 6 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan total padatan

ter-larut pada masing-masing konsentrasi ter-larutan gula tiap jam. Fenomena

penurunan total padatan terlarut juga terjadi pada pembuatan manisan semi

basah mangga (Lampiran 23) dan manisan semi basah nanas (Lampiran 24).

Penurunan total padatan terlarut merepresentasikan difusi gula ke dalam

jaringan buah atau difusi air dari dalam jaringan buah ke lingkungan. Total

padatan terlarut adalah jumlah padatan gula yang terkandung dalam 100 g

larutan (%m/m) sehingga apabila terjadi pengurangan jumlah gula dalam suatu

larutan dan penambahan massa larutan akibat difusi, total padatan terlarut

akan berkurang. Penurunan total padatan terlarut disebabkan oleh larutan gula

yang digunakan sebagai osmotic agent memiliki konsentrasi yang lebih tinggi daripada total padatan terlarut buah sehingga akan terjadi keseimbangan

termodinamis antar kedua sistem. Keseimbangan termodinamis dicapai

dengan cara difusi bahan terlarut dari larutan ke dalam bahan pangan dan

difusi air dari dalam bahan pangan ke luar lingkungan sehingga akan terjadi

penurunan berat bahan, penurunan jumlah air bahan, dan penambahan total

padatan bahan (Torezan et al. 2004; Azoubel & Murr 2004; Aouar et al. 2006).

Gambar 6 memperlihatkan bahwa penurunan total padatan terlarut dari

yang terbesar hingga yang terkecil berturut-turut adalah formula A, formula B,

dan formula C. Hal ini disebabkan volume formula C lebih besar

dibanding-kan volume formula B dan volume formula B lebih besar dibandingdibanding-kan

volu-me formula A. Total padatan terlarut adalah jumlah padatan gula yang

terkan-dung dalam 100 g larutan (%m/m) sehingga total padatan terlarut berbanding

terbalik dengan massa larutan. Semakin besar massa larutan yang digunakan,

semakin kecil penurunan total padatan terlarutnya.

Data total padatan terlarut pada masing-masing konsentrasi larutan

gula kemudian diolah secara statistika menggunakan analisis ragam rancangan

blok acak lengkap atau ANOVA untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap

(43)

taraf 0.5%, terdap

perendaman yang menyebabkan penurunan to

ifikan. Apabila tidak terjadi penurunan total

, diasumsikan bahwa telah terjadi keseimbanga

an untuk mengambil keputusan lama perendama

sentrasi larutan gula. Lama perendaman optim

i larutan gula dapat dilihat pada Gambar 7.

a perendaman optimum masing-masing kon

rkan grafik di atas dapat ditarik kesimpulan ba

timum dari yang tercepat hingga yang terlama

, formula B, dan formula A. Hal ini disebabk

smotic agent, semakin besar tekanan osmotik aan = - RT ln aw/V (Lewicki & Lenart 20

osmotik dan V adalah volume. Rastogi et al. ( akin besar tekanan osmotik suatu larutan, sem

sel yang awalnya bersifat semipermeabel men

tur sel yang semakin cepat membuat difusi gu

an semakin cepat sehingga waktu perendaman

(44)

Lama pere

onsentrasi larutan gula perendam lainnya. Hal

an sel buah masih bersifat semipermeabel (Ras

lah data lama perendaman optimum

masing-dapat, data ini kemudian digunakan untuk pem

pepaya selanjutnya. Produk akhir manisan sem

ianalisis kadar air dan nilai aw-nya. Kadar a hal penting dalam suatu bahan pangan ka

hi kestabilan bahan pangan baik dari segi fi

i, sedangkan nilai aw merupakan faktor kunci b , reaksi enzimatis, oksidasi lipid, dan mutu org

Labuza 1999). Nilai kadar air (Lampiran 5) da

rmula dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar

Gambar 8 Nilai kadar air ketiga formula (% B

(45)

nyata terhadap

ap kadar air dan nilai aw ketiga formula (p<0.0 t, dapat dikatakan bahwa metode penurunan to

menentukan lama perendaman optimum yang

ni berhasil. Asumsi yang digunakan adalah a

ketiga formula tidak berbeda nyata, total gula

ringan buah dan total air yang berdifusi ke lua

nyata pula. i sekitar 0.72 disebabkan difusi counter-curre

es pengeringan osmotik bertingkat (Aouar 200

abkan sehingga ketersediaan air untuk pertum

(46)

33 Mikroba yang dapat tumbuh pada produk jenis ini adalah kapang xerofilik

(Roos 2001). Pitt dan Hocking (1997) menyatakan bahwa Xeromyces bisporus dan Chrysosporium xerophilum adalah jenis kapang xerofilik yang sering mengontaminasi manisan. Kedua spesies kapang tersebut da-pat bergerminasi pada aw di atas 0.7 dan suhu 25°C, 30°C, dan 37°C de-ngan waktu germinasi yang semakin cepat pada pH 4.5-5.5 (Gock et al. 2003).

Gambar 10 Gambar produk akhir manisan semi basah pepaya.

Gambar 10 memperlihatkan bahwa permukaan luar manisan

memiliki penampakan kering. Hal ini disebabkan konsentrasi larutan gula

yang digunakan pada tahap perendaman terakhir cenderung jenuh yaitu

70°brix. Pada konsentrasi tersebut larutan gula mudah untuk mengkristal

ketika dipanaskan.

B. Penentuan Konsentrasi Gula Invert yang Menyebabkan Penampakan Basah pada Manisan Semi Basah Pepaya

Pemakaian berulang larutan gula pada pembuatan manisan dapat

mengakibatkan terbentuknya gula invert yang menyebabkan penampakan

ba-sah pada manisan semi baba-sah pepaya. Konsentrasi gula invert yang

menyebab-kan penampamenyebab-kan basah tersebut dapat diketahui dengan menggunamenyebab-kan uji

or-ganoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji

pembedaan salah satu atribut yaitu tingkat kekeringan (uji beda dari kontrol).

Kontrol yang digunakan pada uji organoleptik adalah manisan semi basah

pe-paya yang direndam dengan larutan gula pasir. Penampakan basah pada

mani-san disebabkan kandungan gula invert sulit mengkristal saat dipanaskan.

Uji organoleptik dilakukan secara dua tahap. Tahap pertama bertujuan

untuk mendapatkan rentang konsentrasi gula invert yang menyebabkan

(47)

ber-tujuan untuk men

endapatkan konsentrasi gula invert yang dapa

sah pada manisan (Lampiran 13). Hasil uji org

iran 10) dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Hasil organoleptik tahap pertama.

tahap kedua (Lampiran 14) dapat dilihat pada

(48)

35 Analisis ragam (Lampiran 15) pada Gambar 12 menunjukkan bahwa

perbedaan perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kekeringan manisan

(p<0.05) sehingga dilajutkan dengan uji lanjut Dunnet (Lampiran 16). Uji

lanjut Dunnet menunjukkan bahwa sampel manisan yang direndam gula invert

6% memiliki tingkat kekeringan yang berbeda nyata dengan kontrol sehingga

dapat disimpulkan bahwa konsentrasi gula invert yang menyebabkan

penam-pakan basah pada manisan semi basah pepaya adalah 6%. Data ini memiliki

manfaat pada pemakaian berulang larutan gula dalam pembuatan manisan

semi basah pepaya karena apabila larutan gula telah mengandung gula invert

sebesar 6%, larutan gula tersebut sudah tidak bisa dipakai kembali.

1) Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Persamaan Silin (1958)

Konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah

pada manisan semi basah pepaya adalah sekitar 6%. Data konsentrasi gula

invert ini kemudian dikorelasikan dengan persamaan Silin (1958) sehingga

lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH larutan gula untuk mencapai

konsentrasi gula invert 6% dapat diketahui. Contoh perhitungan lama

pe-manasan dengan menggunakan persamaan Silin (1958) dapat dilihat pada

Lampiran 17, sedangkan lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH

larutan gula untuk mencapai konsentrasi gula invert 6% dapat dilihat pada

Tabel 6.

Data ini menjadi penting pada pembuatan manisan semi basah

pe-paya karena larutan gula biasanya dipanaskan kembali sebelum digunakan

untuk pemakaian selanjutnya untuk melarutkan gula dan mengurangi

jum-lah mikroba yang mengontaminasi larutan gula pada pemakaian

sebelum-nya. Namun, larutan gula yang telah dipakai sebagai osmotic agent pada pemakaian sebelumnya dapat menurun nilai pH-nya akibat kandungan

asam pada buah pepaya dimana jenis asam yang banyak terdapat dalam

buah pepaya adalah asam malat, asam -ketoglutarat, asam sitrat, dan

asam askorbat (Arriola et al. 1980). Menurut Arriola et al. (1980), total asam yang direpresentasikan sebagai asam sitrat pada buah pepaya adalah

Gambar

Gambar 1  Visualisasi pohon pepaya.
Tabel 1  Kandungan vitamin buah pepaya per 100 g
Gambar 2  Simulasi peristiwa pengeringan osmotik bertingkat (Lewicki & Lenart 2006).
Tabel 3   Nilai aw beberapa jenis pangan semi basah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui perbandingan kadar vitamin C, organoleptik dan daya simpan pada selai buah tomat dan pepaya yang ditambahkan gula pasir..

Kadar Sukrosa Manisan Jambu Biji pada Waktu Perendaman dengan Berbagai Macam Perlakuan Ketebalan dan Konsentrasi Larutan Gula ...31..

DINA SEPTYA: Pengaruh Konsentrasi Gula dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Manisan Basah Batang Daun Pepaya dibimbing oleh ISMED SUHAIDI dan RIDWANSYAH.. Penelitian ini bertujuan

Sebagai sumber informasi ilmiah kepada pihak yang membutuhkan, khususnya masyarakat tentang pengaruh konsentrasi gula dan lama penyimpanan terhadap mutu manisan basah batang

Konsentrasi gula memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P&lt;0,01) terhadap kadar air, kadar vitamin C, total padatan terlarut, larutan yang masuk dalam bahan,

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh getah pepaya terhadap kualitas lada putih, konsentrasi getah pepaya yang paling baik dalam perendaman lada, waktu

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan warna resin komposit nanohibrida setelah perendaman dalam larutan kopi dengan konsentrasi gula yang

Data yang diperoleh dimasukkan pada tabel distribusi frekuensi untuk mengetahui konsentrasi efektif larutan daun papaya terhadap kematian larva aedes aegypti,