• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus Falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon Sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus Falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon Sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (

Carcharinus falciformis

)

DAN IKAN PARI KELAPA (

Trygon sephen

) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Oleh :

Ade Wiguna Nur Yasin

C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

RINGKASAN

ADE WIGUNA NUR YASIN. C34101063. Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Dibimbing Oleh JOKO SANTOSOdan SANTOSO

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh frekuensi pencucian, pengaruh pengkomposisian daging lumat ikan, serta pengaruh penyimpanan dingin daging lumat tersebut terhadap karakteristik surimi ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang dihasilkan.

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kimia dan fisika daging lumat, mencari frekuensi pencucian dan kombinasi komposisi daging lumat terbaik. Penelitian utama bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Pengkomposisian tersebut adalah A (cucut 100 %), B (pari 100 %), A1B1 (cucut 50 %:50 %), A2B1 (cucut 75%: pari 25%), dan

A1B2 (cucut 25%: pari 75%).

Diperoleh hasil dari penelitian pendahuluan bahwa ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa termasuk kedalam golongan ikan yang memiliki kadar protein tinggi (berturut-turut sebesar 19,08 dan 18,98 %) dan kadar lemak yang rendah (berturut-turut sebesar 1,60 dan 1,36 %). Ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa memiliki kadar urea yang tinggi, dimana kadar urea tersebut adalah 1,98 % (cucut pisang) dan 2,33 % (pari kelapa).

Frekuensi pencucian daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan kadar protein larut garam (PLG) dan urea. Frekuensi pencucian sebanyak tiga kali mampu mereduksi urea hingga 88 % (cucut pisang) dan 100 % (pari kelapa), dimana bau sudah tidak terdeteksi lagi. Kadar PLG pada frekuensi pencucian tersebut adalah 13,52 % (cucut pisang) dan 13,24 % (pari kelapa).

Komposisi daging lumat A1B2 adalah komposisi daging lumat terbaik yang mampu

menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi (sebesar 209,290 g.cm) dibandingkan dengan komposisi daging lumat lainnya.

Selama masa penyimpanan dingin daging lumat terjadi proses kemunduran mutu yang ditandai dengan perubahan pada nilai pH, senyawa basa volatil (TVBN dan TMA), urea dan PLG. Kemunduran mutu daging lumat tersebut mempengaruhi karakteristik surimi yang dihasilkan.

Pada hari ke-0 kekuatan gel surimi komposisi A, B dan A1B2 berturut-turut sebesar

276,32 g.cm, 335,375 g.cm, dan 364,327 g.cm dengan grade AA pada ketiga komposisi tersebut. Terjadi penurunan nilai hingga hari terakhir penyimpanan, nilai tersebut berturut-turut menjadi sebesar 162,867 g.cm, 77,525 g.cm, 73,523 g.cm dengan grade B, D, B. Kemunduran mutu tersebut juga mempengaruhi penurunan nilai terhadap derajat putih dan daya ikat air surimi yang dihasilkan.

Pencampuran daging lumat dengan komposisi A1B2 dapat meningkatkan karakteristik

(3)

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (

Carcharinus falciformis

) DAN

IKAN PARI KELAPA (

Trygon sephen

) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Ade Wiguna Nur Yasin C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

SKRIPSI

Judul Penelitian : PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis)

DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Nama : Ade Wiguna Nur Yasin

NRP : C34101063

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Joko Santoso, MSi. Ir. Santoso, MPhill. NIP 131 999 592 NIP 080 064 814

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. NIP 130 805 031

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku Ir. Bustami Mahyuddin, MM (papa), Ny. Yartini (mama), Adli dan Anita (adik) atas semua bantuan, restu dan doa kepada penulis.

Dosen pembimbing Dr.Ir. Joko Santoso, MSi dan Ir. Santoso, Mphill yang telah membimbing dan menasehati penulis dalam melakukan penelitian. Dosen penguji tamu Ir. Djoko Poernomo BSc dan Ir. Heru Sumaryanto, MSi atas arahan yang begitu berharga. Dr.Ir. Mita Wahyuni, MS atas ide yang telah diberikan.

Kepada seluruh staf BPPMHP Jakarta, Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan, dinas perikanan propinsi DKI Jakarta, Laboratorium Pusat Riset Kelautan dan Perikanan, DKP Jakarta atas sinergisitas yang telah tercipta dengan penulis.

Mahasiswa Akafarma Caraka (Okta, Dwi dan Astri) atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak terlupakan di BPPMHP. Nugroho J.S, Teddy K, serta semua temanku (FPIK 34, 35, 36, 37, 38, 39, & 40) atas semangat dan kerjasamanya. The gorgeous friend “Esti Fitri Lestari” atas kesabaran dan curahan hati kepada penulis. Last but not least ” research is fun”.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang memerlukan.

(6)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan cucut dan ikan pari adalah jenis ikan non-ekonomis yang kurang diminati untuk dikonsumsi di Indonesia. Kedua jenis ikan ini biasa tertangkap sebagai ikan target ataupun ikan hasil tangkapan samping (HTS). Masalah pada kedua ikan tersebut adalah timbulnya aroma pesing ketika dikonsumsi. Tingginya kadar urea adalah penyebab utama masalah tersebut. Menurut Musick (2005) bau tersebut disebabkan karena kedua ikan tersebut mengandung urea dalam jumlah yang tinggi (1-2,5 %) di dalam darah dan jaringannya, sebagai bagian dalam kemampuannya untuk mempertahankan tekanan tubuhnya dari tekanan air laut (aktivitas osmoregulasi).

Rendahnya minat konsumen untuk mengkonsumsinya berdampak terhadap harga jual dari kedua daging ikan HTS tersebut. Ironis sekali jika harga jual daging tersebut dibandingkan dengan harga jual dari sirip atau kulitnya (khususnya cucut) yang dapat dijual mencapai puluhan bahkan jutaan rupiah. Perbandingan harga tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan harga produk hasil olahan ikan cucut di Pelabuhanratu, Jawa barat tahun 2004 (Mahyuddin 2005)

Hasil

Harga jual daging yang rendah pada kedua ikan tersebut memicu nelayan untuk mengambil bagian tubuh tertentu saja, yang terbatas pada sirip (cucut) dan kulitnya saja (cucut dan pari), sedangkan dagingnya dibuang kembali ke laut atau diolah tradisional (sebagian besar menjadi ikan asin).

(7)

yang tertangkap, khususnya pada ikan cucut yang populasinya semakin berkurang. Program tersebut disusun dalam International Plan of Action for Conservation and Management of Shark (IPOA-Shark) (Musick 2005).

Dari penjabaran diatas, maka diperlukan adanya suatu upaya untuk meningkatkan minat konsumen untuk mengkonsuminya dan meningkatkan nilai tambah serta harga jual daging dari kedua ikan tersebut.

Salah satu alternatif upaya yang tepat untuk dikembangkan adalah melakukan diversifikasi pengolahan surimi. Tingginya kadar urea pada daging dapat diminimalisasikan dalam proses pengolahan surimi, sehingga masalah bau dapat diatasi. Selain itu daging ikan tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi dan harga jualnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemasaran dalam bentuk segar. Menurut Fis (2005) harga surimi pada bulan Oktober 2005 adalah USD 2/kg, atau setara dengan Rp. 20.000/kg (1 USD = Rp.10.000).

Surimi adalah produk antara (intermediate product) yang siap untuk diolah menjadi produk lanjutan. Salah satu produk lanjutan yang digemari di dunia adalah produk analog dari ikan dan kepiting. Okada (1992) menjabarkan keunggulan dari surimi adalah sebagai berikut: 1. Dapat memanfaatkan ikan yang sering digunakan (ekonomis) dan ikan yang jarang

digunakan (non-ekonomis) sebagai bahan baku.

2. Surimi beku dapat disimpan lama dan memiliki kandungan protein fungsional yang tinggi.

3. Variasi dari produk berbahan dasar surimi dapat diproduksi dengan alternatif dari bentuk dan kualitas rasanya dengan cara mengaplikasikan berbagai macam teknologi pengolahan dan bumbu-bumbu.

4. Teknologi terkini sanggup menghasilkan surimi dalam jumlah besar dengan kualitas yang konsisten.

(8)

eksportir surimi, namun Eropa khususnya Perancis mengalami pertumbuhan pasar surimi yang cepat pada beberapa tahun belakangan ini.

1.2 Tujuan

(9)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis)

Ikan cucut pisang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Lagler et al. 1977): Phylum: Vertebrata

Sub phylum: Craniata

Super kelas: Gnathustomata

Kelas: Chondrichthyes (cartilaginous fishes) Sub kelas: Elasmobranchii

Ordo: Squaliformes Famili: Carcharinidae

Genus: Carcharinus

Spesies: Carcharinus falciformis

Ikan cucut pisang adalah jenis ikan yang biasa hidup di daerah pantai. Ikan ini termasuk kedalam jenis ikan pelagis. Ikan cucut merupakan ikan bertulang rawan (chondricthyes) hidup di perairan sub-tropis sampai tropis tepatnya pada daerah pantai sampai lepas pantai (Ditjen Perikanan 1990).

Dilaporkan oleh BRPL (2004) bahwa ikan cucut di Indonesia tertangkap sebagai hasil tangkapan samping dari tuna long line (rawai tuna) dan drift gillnet (jaring insang permukaan). Menurut elasmo-research (2005) Carcharinus falciformis adalah spesies yang sering tertangkap sebagai ikan hasil tangkapan samping pada perikanan tuna di utara pasifik tropis. Gambar ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Carcharinus falciformis (FAO 2005)

(10)

Papua (Nahumury 1994). Berdasarkan data statistik perikanan tangkap hingga tahun 2003 yang dikeluarkan oleh DKP (2005), daerah penangkapan cucut terbesar berada di pulau Sumatera dengan total penangkapan sebesar 21.870 ton. Data hasil penangkapan cucut pada tahun 2003 di Indonesia selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi perikanan cucut di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005) Propinsi Produksi tangkapan (ton) Sumatera Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

Menurut Camhi et al. (1998) ikan cucut memiliki sejarah hidup dengan karakteristik fekunditas yang rendah, pertumbuhan yang lambat, tingkat kedewasaan yang lambat, hidupnya panjang dan tingkat bertahan hidup yang tinggi.

Ikan cucut dimanfaatkan hampir semua bagian tubuhnya. Kulit ikan cucut dimanfaatkan untuk industri tas dan sepatu, siripnya diolah menjadi bahan pencampur sup (banyak diekspor ke Hongkong, Singapura, dan Malaysia), hatinya diolah menjadi minyak ikan dan giginya digunakan untuk perhiasan (Nahumury 1994). Menurut Musick (2005) bagian tubuh cucut yang dapat dimanfaatkan adalah sirip, kulit, tulang, dan hati sebagai bahan baku sup, industri kulit, suplemen anti tumor, sumber skualen dan vitamin A, dagingnya dimanfaatkan sebagai makanan di wilayah pesisir pantai sudah sejak 5000 tahun yang lalu.

(11)

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (

Carcharinus falciformis

)

DAN IKAN PARI KELAPA (

Trygon sephen

) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Oleh :

Ade Wiguna Nur Yasin

C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(12)

RINGKASAN

ADE WIGUNA NUR YASIN. C34101063. Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Dibimbing Oleh JOKO SANTOSOdan SANTOSO

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh frekuensi pencucian, pengaruh pengkomposisian daging lumat ikan, serta pengaruh penyimpanan dingin daging lumat tersebut terhadap karakteristik surimi ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang dihasilkan.

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kimia dan fisika daging lumat, mencari frekuensi pencucian dan kombinasi komposisi daging lumat terbaik. Penelitian utama bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Pengkomposisian tersebut adalah A (cucut 100 %), B (pari 100 %), A1B1 (cucut 50 %:50 %), A2B1 (cucut 75%: pari 25%), dan

A1B2 (cucut 25%: pari 75%).

Diperoleh hasil dari penelitian pendahuluan bahwa ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa termasuk kedalam golongan ikan yang memiliki kadar protein tinggi (berturut-turut sebesar 19,08 dan 18,98 %) dan kadar lemak yang rendah (berturut-turut sebesar 1,60 dan 1,36 %). Ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa memiliki kadar urea yang tinggi, dimana kadar urea tersebut adalah 1,98 % (cucut pisang) dan 2,33 % (pari kelapa).

Frekuensi pencucian daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan kadar protein larut garam (PLG) dan urea. Frekuensi pencucian sebanyak tiga kali mampu mereduksi urea hingga 88 % (cucut pisang) dan 100 % (pari kelapa), dimana bau sudah tidak terdeteksi lagi. Kadar PLG pada frekuensi pencucian tersebut adalah 13,52 % (cucut pisang) dan 13,24 % (pari kelapa).

Komposisi daging lumat A1B2 adalah komposisi daging lumat terbaik yang mampu

menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi (sebesar 209,290 g.cm) dibandingkan dengan komposisi daging lumat lainnya.

Selama masa penyimpanan dingin daging lumat terjadi proses kemunduran mutu yang ditandai dengan perubahan pada nilai pH, senyawa basa volatil (TVBN dan TMA), urea dan PLG. Kemunduran mutu daging lumat tersebut mempengaruhi karakteristik surimi yang dihasilkan.

Pada hari ke-0 kekuatan gel surimi komposisi A, B dan A1B2 berturut-turut sebesar

276,32 g.cm, 335,375 g.cm, dan 364,327 g.cm dengan grade AA pada ketiga komposisi tersebut. Terjadi penurunan nilai hingga hari terakhir penyimpanan, nilai tersebut berturut-turut menjadi sebesar 162,867 g.cm, 77,525 g.cm, 73,523 g.cm dengan grade B, D, B. Kemunduran mutu tersebut juga mempengaruhi penurunan nilai terhadap derajat putih dan daya ikat air surimi yang dihasilkan.

Pencampuran daging lumat dengan komposisi A1B2 dapat meningkatkan karakteristik

(13)

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (

Carcharinus falciformis

) DAN

IKAN PARI KELAPA (

Trygon sephen

) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Ade Wiguna Nur Yasin C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(14)

SKRIPSI

Judul Penelitian : PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis)

DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Nama : Ade Wiguna Nur Yasin

NRP : C34101063

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Joko Santoso, MSi. Ir. Santoso, MPhill. NIP 131 999 592 NIP 080 064 814

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. NIP 130 805 031

(15)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku Ir. Bustami Mahyuddin, MM (papa), Ny. Yartini (mama), Adli dan Anita (adik) atas semua bantuan, restu dan doa kepada penulis.

Dosen pembimbing Dr.Ir. Joko Santoso, MSi dan Ir. Santoso, Mphill yang telah membimbing dan menasehati penulis dalam melakukan penelitian. Dosen penguji tamu Ir. Djoko Poernomo BSc dan Ir. Heru Sumaryanto, MSi atas arahan yang begitu berharga. Dr.Ir. Mita Wahyuni, MS atas ide yang telah diberikan.

Kepada seluruh staf BPPMHP Jakarta, Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan, dinas perikanan propinsi DKI Jakarta, Laboratorium Pusat Riset Kelautan dan Perikanan, DKP Jakarta atas sinergisitas yang telah tercipta dengan penulis.

Mahasiswa Akafarma Caraka (Okta, Dwi dan Astri) atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak terlupakan di BPPMHP. Nugroho J.S, Teddy K, serta semua temanku (FPIK 34, 35, 36, 37, 38, 39, & 40) atas semangat dan kerjasamanya. The gorgeous friend “Esti Fitri Lestari” atas kesabaran dan curahan hati kepada penulis. Last but not least ” research is fun”.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang memerlukan.

(16)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan cucut dan ikan pari adalah jenis ikan non-ekonomis yang kurang diminati untuk dikonsumsi di Indonesia. Kedua jenis ikan ini biasa tertangkap sebagai ikan target ataupun ikan hasil tangkapan samping (HTS). Masalah pada kedua ikan tersebut adalah timbulnya aroma pesing ketika dikonsumsi. Tingginya kadar urea adalah penyebab utama masalah tersebut. Menurut Musick (2005) bau tersebut disebabkan karena kedua ikan tersebut mengandung urea dalam jumlah yang tinggi (1-2,5 %) di dalam darah dan jaringannya, sebagai bagian dalam kemampuannya untuk mempertahankan tekanan tubuhnya dari tekanan air laut (aktivitas osmoregulasi).

Rendahnya minat konsumen untuk mengkonsumsinya berdampak terhadap harga jual dari kedua daging ikan HTS tersebut. Ironis sekali jika harga jual daging tersebut dibandingkan dengan harga jual dari sirip atau kulitnya (khususnya cucut) yang dapat dijual mencapai puluhan bahkan jutaan rupiah. Perbandingan harga tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan harga produk hasil olahan ikan cucut di Pelabuhanratu, Jawa barat tahun 2004 (Mahyuddin 2005)

Hasil

Harga jual daging yang rendah pada kedua ikan tersebut memicu nelayan untuk mengambil bagian tubuh tertentu saja, yang terbatas pada sirip (cucut) dan kulitnya saja (cucut dan pari), sedangkan dagingnya dibuang kembali ke laut atau diolah tradisional (sebagian besar menjadi ikan asin).

(17)

yang tertangkap, khususnya pada ikan cucut yang populasinya semakin berkurang. Program tersebut disusun dalam International Plan of Action for Conservation and Management of Shark (IPOA-Shark) (Musick 2005).

Dari penjabaran diatas, maka diperlukan adanya suatu upaya untuk meningkatkan minat konsumen untuk mengkonsuminya dan meningkatkan nilai tambah serta harga jual daging dari kedua ikan tersebut.

Salah satu alternatif upaya yang tepat untuk dikembangkan adalah melakukan diversifikasi pengolahan surimi. Tingginya kadar urea pada daging dapat diminimalisasikan dalam proses pengolahan surimi, sehingga masalah bau dapat diatasi. Selain itu daging ikan tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi dan harga jualnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemasaran dalam bentuk segar. Menurut Fis (2005) harga surimi pada bulan Oktober 2005 adalah USD 2/kg, atau setara dengan Rp. 20.000/kg (1 USD = Rp.10.000).

Surimi adalah produk antara (intermediate product) yang siap untuk diolah menjadi produk lanjutan. Salah satu produk lanjutan yang digemari di dunia adalah produk analog dari ikan dan kepiting. Okada (1992) menjabarkan keunggulan dari surimi adalah sebagai berikut: 1. Dapat memanfaatkan ikan yang sering digunakan (ekonomis) dan ikan yang jarang

digunakan (non-ekonomis) sebagai bahan baku.

2. Surimi beku dapat disimpan lama dan memiliki kandungan protein fungsional yang tinggi.

3. Variasi dari produk berbahan dasar surimi dapat diproduksi dengan alternatif dari bentuk dan kualitas rasanya dengan cara mengaplikasikan berbagai macam teknologi pengolahan dan bumbu-bumbu.

4. Teknologi terkini sanggup menghasilkan surimi dalam jumlah besar dengan kualitas yang konsisten.

(18)

eksportir surimi, namun Eropa khususnya Perancis mengalami pertumbuhan pasar surimi yang cepat pada beberapa tahun belakangan ini.

1.2 Tujuan

(19)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis)

Ikan cucut pisang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Lagler et al. 1977): Phylum: Vertebrata

Sub phylum: Craniata

Super kelas: Gnathustomata

Kelas: Chondrichthyes (cartilaginous fishes) Sub kelas: Elasmobranchii

Ordo: Squaliformes Famili: Carcharinidae

Genus: Carcharinus

Spesies: Carcharinus falciformis

Ikan cucut pisang adalah jenis ikan yang biasa hidup di daerah pantai. Ikan ini termasuk kedalam jenis ikan pelagis. Ikan cucut merupakan ikan bertulang rawan (chondricthyes) hidup di perairan sub-tropis sampai tropis tepatnya pada daerah pantai sampai lepas pantai (Ditjen Perikanan 1990).

Dilaporkan oleh BRPL (2004) bahwa ikan cucut di Indonesia tertangkap sebagai hasil tangkapan samping dari tuna long line (rawai tuna) dan drift gillnet (jaring insang permukaan). Menurut elasmo-research (2005) Carcharinus falciformis adalah spesies yang sering tertangkap sebagai ikan hasil tangkapan samping pada perikanan tuna di utara pasifik tropis. Gambar ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Carcharinus falciformis (FAO 2005)

(20)

Papua (Nahumury 1994). Berdasarkan data statistik perikanan tangkap hingga tahun 2003 yang dikeluarkan oleh DKP (2005), daerah penangkapan cucut terbesar berada di pulau Sumatera dengan total penangkapan sebesar 21.870 ton. Data hasil penangkapan cucut pada tahun 2003 di Indonesia selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi perikanan cucut di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005) Propinsi Produksi tangkapan (ton) Sumatera Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

Menurut Camhi et al. (1998) ikan cucut memiliki sejarah hidup dengan karakteristik fekunditas yang rendah, pertumbuhan yang lambat, tingkat kedewasaan yang lambat, hidupnya panjang dan tingkat bertahan hidup yang tinggi.

Ikan cucut dimanfaatkan hampir semua bagian tubuhnya. Kulit ikan cucut dimanfaatkan untuk industri tas dan sepatu, siripnya diolah menjadi bahan pencampur sup (banyak diekspor ke Hongkong, Singapura, dan Malaysia), hatinya diolah menjadi minyak ikan dan giginya digunakan untuk perhiasan (Nahumury 1994). Menurut Musick (2005) bagian tubuh cucut yang dapat dimanfaatkan adalah sirip, kulit, tulang, dan hati sebagai bahan baku sup, industri kulit, suplemen anti tumor, sumber skualen dan vitamin A, dagingnya dimanfaatkan sebagai makanan di wilayah pesisir pantai sudah sejak 5000 tahun yang lalu.

(21)

mencuci daging tersebut dengan air laut, lalu menyimpannya pada es atau pada suhu beku (Musick 2005).

2.2 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen)

Ikan pari yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan pari kelapa yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Ridwan dan Murniarti 1985) :

Kingdom: Animalia Sub kingdom: Metazoa

Phylum: Chordata

Sub phylum: Vertebrata Kelas: Chondrichtyes

Sub kelas: Elasmobranchii Ordo: Batoidei

Famili: Trigonidae Genus: Trygon

Spesies: Trygon sephen

Ikan pari (batoid) adalah jenis ikan demersal yang mempunyai ciri tubuh berbentuk belah ketupat, ekor seperti cambuk, bersirip ekor yang kecil ujungnya, kulit licin dan berduri. Pada punggungnya yang berwarna merah sawo matang mengkilap terdapat duri-duri beracun dan selaput kulit bagian bawah yang menonjol berwarna biru (Kamallan 1988). Menurut Musick (2005) pada beberapa jenis batoid seperti skates (Rajidae), stingray (Dasyatidae), dan eagle ray (Myliobatidae) tubuhnya didominasi oleh sirip pektoral yang menyerupai sayap, yang berbeda dengan tubuh cucut yang berbentuk tebal dan berisi. Gambar ikan pari kelapa dapat dilihat pada Gambar 2.

(22)

Beberapa jenis batoid adalah sangat mirip dengan cucut pada morfologinya dan pengolahan dagingnya-pun sama seperti cucut (Musick 2005). Ikan pari termasuk ikan bertulang rawan, yang memiliki kadar urea yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras (Manik 2003).

Manik (2003) melaporkan bahwa di Indonesia daging ikan pari dimanfaatkan sebagai bahan makanan manusia dan pakan ternak. Minyaknya dapat digunakan sebagai obat-obatan. Ikan pari yang dijual di pasaran biasanya dalam keadaan segar atau sudah dikeringkan. Ikan tersebut merupakan ikan hasil tangkapan samping.

Ikan pari tertangkap diseluruh perairan Indonesia, dimana daerah penangkapan terbesar berada di pulau Sumatera (23.262 ton) (DKP 2005). Selengkapnya data statistik penangkapan ikan pari di Indonesia tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi perikanan pari di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005) Propinsi Produksi tangkapan (ton) Sumatera Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

2.3 Ikan Cucut dan Pari sebagai Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS)

Menurut (Camhi et al. 1998) ikan elasmobranchii memiliki tingkat produksi yang rendah di dunia dibandingkan dengan jenis ikan target (teleostei). Jenis ikan ini memiliki nilai yang rendah dan dalam jumlah yang besar tertangkap sebagai ikan HTS. Jenis ikan ini biasa tertangkap pada alat tangkap jenis pukat, jaring insang, pukat cincin, dan rawai. Menurut Francis dan Grigs (1997) diacu dalam Camhi et al. (1998) dalam penangkapan ikan teleostei laut (misalnya tuna dan billfishes) justru cucut tertangkap lebih banyak sebagai ikan HTS dibandingkan dengan ikan target penangkapan utama.

(23)

Sangat disayangkan sekali bahwa dari 10.000 ton ikan cucut yang tertangkap setiap tahunnya hanya diambil siripnya saja dan dagingnya dibuang kembali ke laut (Musick 2005).

Dalam FAO International Plan of Action for the Conservation and Management of Shark (IPOA-Shark) mewajibkan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh cucut yang telah mati, termasuk juga pada cucut yang telah dihilangkan siripnya (Musick 2005).

2.4 Kemunduran Mutu Ikan selama Masa Penyimpanan Suhu Dingin

Kualitas daging ikan yang disimpan selama suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Sun Pan 1994).

(24)

2 Pi defosforilasi

Adenosin monofosfat (AMP) NH3 deaminasi

Inosin monofosfat (IMP) 2 Pi defosforilasi

Inosin hidrolisis

Hipoksantin

oksidasi

Xantin oksidasi

Adenosin trifosfat (ATP)

Asam urat

Gambar 3 Degradasi nukleotida pada saat fase rigormortis ikan (Botta 1994)

Menurut Clucas dan Ward (1996) mikroorganisme yang ada pada kulit, insang, dan alat pencernaan pada kondisi ikan mati akan segera menggandakan diri untuk menyerang daging ikan karena didukung oleh kondisi lingkungan yang baik untuk tumbuh. Selanjutnya Connell (1980) menyatakan bahwa selama ikan hidup, tubuh ikan akan terjaga tetap steril dari mikroorganisme pembusuk karena tubuh ikan memiliki kemampuan diri untuk mempertahankan hidupnya.

Menurut Connell (1980) penguraian tingkat lanjut oleh enzim terjadi setelah proses rigormortis selesai yang dimulai dengan meningkatnya nilai pH. Menurut Amlacher (1961) setelah rigor, enzim proteolisis aktif. Enzim ini akan menguraikan protein. Tingkat akhir dari hasil penguraian ini adalah terbentuknya senyawa amonia.

(25)

lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah.

2.5 Surimi

Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia. Surimi sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992).

Pengolahan surimi dari jenis ikan HTS dapat membantu nelayan untuk meningkatkan nilai tambah dari ikan HTS tersebut, misalnya ikan cucut dan pari.

2.5.1 Pengertian surimi

Menurut Pipatsattayanuwong et al. (1995) surimi adalah protein miofibril ikan yang telah distabilisasikan dan diproduksi melalui tahap proses secara kontinu yang meliputi penghilangan kepala, penghilangan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air, dan pembekuan dengan cryoprotectant, juga dapat diartikan sebagai suatu proses pencucian dan penghilangan air pada daging lumat ikan dari protein sarkoplasma, lemak, dan bahan-bahan yang tak diinginkan seperti kulit dan tulang.

Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses yang diperlukan untuk mengawetkannya (Surimithailand 2005). Surimi adalah produk antara, yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan (fish jelly product) seperti: bakso ikan, sosis ikan, siomay, otak-otak, fish cake, kamaboko, dan sebagainya yang spesifikasinya menuntut kelenturan (spinginess) yang merupakan kriteria mutu utama produk tersebut (BPPMHP 1987).

2.5.2 Pengolahan surimi

(26)

Pencucian Pemfiletan

Ikan

Pemisahan tulang dan pelumatan

Meat-bone separator Daging Lumat

Pertama: air dingin Kedua: air dingin

Ketiga: air dingin + NaCl 0,2-0,3 % Screwpress

Pengurangan air

Surimi beku

Pengepakan dan pembekuan Penambahan cryoprotectant Pencucian

Silent cutter

Gambar 4 Proses pengolahan surimi (Shimizu et al. 1992)

Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan yang ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, sebab kemampuan pembentukan gel ini akan mempengaruhi elastisitas tekstur. Untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik, sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar, karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar (BBPMHP 1987).

Kualitas dari surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari surimi tersebut. Menurut Winarno (1993) kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel.

(27)

Menurut Benjakul et al. (1996) pencucian adalah tahap kritis dalam proses pembuatan surimi. Pencucian dapat menghilangkan materi yang dapat larut air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik, dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti trimetilamin oksida.

Pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma, serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Menurut Lee (1986) diacu dalam Benjakul et al. (1996) komponen utama yang dapat larut dalam air akan hilang dalam jumlah yang banyak pada siklus pencucian pertama kali. Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali pencucian untuk pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Lin et al. (1996) diacu dalam Benjakul et al. (1996) melaporkan bahwa 27 % dan 38 % protein hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali dalam proses pengolahan surimi.

2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi

Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa (Winarno et al. 1980).

Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahan-bahan tambahan yang ditambahkan dengan maksud dan tujuan tertentu. Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam dan cryoprotectant (gula dan polifosfat).

2.5.3.1 Garam

Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl. Garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Menurut Zaitsev et al. (1969) garam memiliki tekanan osmosis yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya proses osmosis dengan sel daging ikan dan sel-sel mikroorganisme. Akibat plasmolisis sel mikroorganisme akan turun kadar airnya sehingga mikroorganisme akan mati karena kekurangan air sebagai media untuk hidup.

(28)

digunakan lebih utama sebagai agen pelarut bagi protein miofibril daripada sebagai penambah cita rasa. Penambahan NaCl pada konsentrasi dibawah 2 % akan menyebabkan protein miofibril tidak dapat larut, namun penambahan NaCl pada konsentrasi diatas 12 % akan menyebabkan daging terdehidrasi dan menyebabkan efek salting-out dari NaCl. Penambahan NaCl terbaik dalam pembentukan ashi adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi (5-10 %), tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies dan produk, karena untuk menghindari rasa asinnya (Niwa 1992).

2.5.3.2 Anti denaturan (cryoprotectant)

Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama.

Fungsi cryoprotectant adalah sebagai zat anti denaturan. Penyimpanan surimi dalam waktu yang lama bertujuan untuk menjaga stok daging ikan di pasaran. Penambahan cryoprotectant dalam pembuatan surimi dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan (Nielsen dan Piegott 1994). Menurut Pipattasatayanuwong et al. (1995) cryoprotectant dibutuhkan untuk meminimalisasikan denaturasi protein selama masa penyimpanan beku. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium fosfat.

Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee 1984). Menurut Peranginangin et al. (1999) penambahan cryoprotectant dapat meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari 350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan.

Jenis polifosfat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain adalah dinatrium fosfat, natrium heksametafosfat dan natrium tripolifosfat (STPP). Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992) fosfat digunakan pertama kali oleh Nishiya’s Group (industri surimi di Jepang). Pirofosfat dan tripolifosfat dilaporkan memiliki efek untuk melindungi protein. Nishiya’s Group melaporkan bahwa pirofosfat dan tripolifosfat adalah lebih efektif dibandingkan dengan tetrapolifosfat dan heksametafosfat.

(29)

menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi.

Matsumoto dan Noguchi (1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama polifosfat adalah untuk meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari polifosfat pada pH otot dan dengan mengkelatkan ion metal.

Penambahan bahan tambahan makanan menurut Codex Alimentarius Abridged Version (1990) diacu dalam Matsumoto dan Noguchi (1992) ditetapkan bahwa penggunaan sodium tripolifosfat yang diizinkan penggunaanya adalah 3 g/kg daging ikan. Apabila ditinjau dari komposisinya ternyata sodium tripolifosfat terdiri dari natrium dan fosfat yang keduanya tidak mengganggu kesehatan bahkan fosfat dapat digunakan sebagai sumber mineral.

Surimi bebas fosfat dapat diproduksi dengan maksud menyingkirkan masalah konsumen yang kawatir terhadap keseimbangan nutrisi dari kalsium dan fosfat (Matsumoto dan Noguchi 1992).

2.5.4 Mekanisme terbentuknya gel

Mutu surimi yang baik ditentukan oleh kemampuan dari surimi tersebut untuk membentuk gel. Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk lanjutan yang diolah dari surimi tersebut. Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Interaksi ini berlangsung cepat pada kandungan protein yang tinggi karena akan sering terjadi kontak intermolekul. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak.

Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen disulfida. Menurut Jaczynski dan Park (2004) gelasi adalah hasil dari denaturasi protein, yang dimulai dengan interaksi intermolekul dan intramolekul kovalen dan non-kovalen, termasuk ikatan disulfida (SS) dan interaksi hidrofobik.

(30)

hidrofobik secara signifikan dapat mempengaruhi terbentuknya gel. Besarnya interaksi non-kovalen dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti pH dan konsentrasi zat terlarut. Sedangkan ikatan hidrogen dan kekuatan hidrofobik tergantung kepada jumlah air sebagai zat pelarut (Baier dan Mc Clements 2005).

2.5.4.1 Pengaruh garam terhadap protein miofibril

Proses gelasi daging ikan adalah peristiwa dimana daging ikan membentuk gel karena pemberian perlakuan khusus yaitu dengan penambahan garam dan seiring dengan peningkatan suhu tertentu (BPPMHP 1987).

Niwa (1992) melaporkan bahwa dalam proses pembentukan gel surimi, miofibril akan hilang karena larut dalam air yang telah ditambahkan garam. Ketika garam masuk, maka ion garam secara individu terhidrasi dengan air, kemudian akan berikatan dengan grup yang berlawanan pada permukaan protein. Ikatan garam intermolekul diantara protein miofibril akan melemah dan protein akan terlarut di dalam air karena peningkatan afinitasnya terhadap air. Secara simultan miosin yang larut akan berkombinasi dengan aktin untuk membentuk struktur makromolekul aktomiosin. Proses pembentukan aktomiosin dari miofibril dapat dilihat pada Gambar 5.

A M

NaCl

A M

Keterangan: A = aktin M = miosin

Gambar 5. Pembentukan aktomiosin dari miofibril (Niwa 1992)

(31)

2.5.4.2 Perubahan sol menjadi gel

Menurut Hudson (1992) gel protein didefinisikan sebagai jaringan tiga dimensi dimana polimer-polimer dan polimer-pelarut berinteraksi yang menghasilkan imobilisasi dari sejumlah besar air dari proporsi protein yang kecil.

Niwa (1992) menyatakan bahwa ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu: ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik.

Menurut Baier dan Mc Clements (2005) protein akan segera bereaksi karena adanya aktifitas dari air. Hal ini dapat terjadi karena sifat yang unik dari air. Air adalah ligan terbanyak yang mengelilingi molekul protein. Niwa (1992) melaporkan bahwa asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin, dan treonin tergabung dalam grup hidroksil, dan prolin dan hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai donor dan akseptor proton, sedangkan glutamin dan aspargin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai akseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang akan memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan.

Hudson (1992) membagi proses gelasi dari protein menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi dari protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992) ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai hadirnya dari beberapa poliol dan asam amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 ºC. Menurut Jaczynski dan Park (2004) interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilisasikan sistem protein.

(32)

Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).

Menurut Suzuki (1981) ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Dilaporkan bahwa gel suwari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul protein miofibril. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 °C.

Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga di atas suhu 50 °C, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 °C selama 20 menit. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk.

Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dibuat sebuah metode untuk membuat gel kamaboko yang kuat dengan melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada zona rentang suhu dimana modori dapat terjadi. Menurut Suzuki (1981) gel kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati zona suhu modori. Dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi. Proses pembentukan gel kamaboko dapat dilihat pada Gambar 6.

2-3% NaCl

~50°C ~60°C 90°C~

Daging Ikan Sol Aktomiosin (pasta daging)

Suwari Gel Modori Gel Kamaboko

Gambar 6 Proses pembentukan gel kamaboko (Suzuki 1981) 2.5.5 Mutu surimi

Karakteristik kesegaran bahan baku surimi menurut SNI (01-2694.1-1992) secara organoleptik sekurang-kurang sebagai berikut:

(33)

b) aroma : segar spesifik jenis c) daging : elastis, padat dan kompak d) rasa : netral agak manis

Untuk mempertahankan mutu, bahan baku harus segera diolah. Apabila terpaksa harus menunggu, maka bahan baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5°C), kondisi saniter dan higienis (SNI 2694.1-1992). Syarat mutu surimi beku berdasarkan SNI 01-2693-1992 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)

Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

a) Organoleptik

Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total AMP = Angka Paling Memungkinkan

2.6 Non Nitrogen Protein (NNP)

Senyawa NNP memegang peranan penting dalam proses metabolisme binatang laut dan juga berperan dalam proses pembusukan serta membentuk flavor makanan hasil laut. Pada elasmobranchii, non nitrogen protein berjumlah sekitar 30 %, sedangkan pada teleostei yang ditangkap di India kandungan NNP-nya adalah sekitar 10 %, dan pada golongan krustasea mengandung NNP sekitar 23 % dari total nitrogen (Govindan 1985).

(34)

keras berkisar antara 9,2–18,3 % dari total nitrogen, dan pada ikan bertulang rawan berkisar antara 33-38,6 %.

Menurut Simidu (1961) senyawa yang terdapat pada fraksi NNP dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) basa volatil (amonia, mono, di-, dan trimetilamin); (b) basa trimetilamonium (trimetilamin oksida dan betain); (c) turunan guanidin (kreatin dan arginin); (e) variasi (urea, asam amino, dan turunan purin).

Kandungan NNP dari setiap spesies ikan adalah berbeda. Kandungan NNP dari berbagai jenis ikan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Distribusi dari senyawa NNP (%) pada beberapa spesies ikan (Shahidi 1994)

Spesies Asam Amino

Bebas Peptida Nukleotida Kreatin/ Kreatinin Betain Lainnya

a

Keterangan : a) amonia, urea, trimetilamin oksida dan amida, b) kandungan utamanya urea, c) mengandung 10 % oktopin

Govindan (1985) menyatakan bahwa senyawa NNP secara umum terkandung di dalam otot ikan. Senyawa tersebut mempengaruhi kualitas serta berkontribusi terhadap flavor. NNP memainkan peranan yang penting dalam proses metabolisme dari hewan laut, dan juga dalam proses kebusukan (Simidu 1961).

Urea merupakan sumber amonia, dimana senyawa ini merupakan karakteristik dari daging ikan bertulang rawan. Urea terdapat baik pada ikan bertulang rawan, maupun ikan bertulang keras. Perbedaannya, ikan bertulang keras mengeluarkan urea dengan cepat, sedangkan pada ikan bertulang rawan urea tetap tinggal di dalam darah dan cairan tubuh.

Keberadaan urea di dalam ikan bertulang rawan adalah sebagai pengatur tekanan osmosis atau sebagai osmoregulator tubuh ikan dengan lingkungannya (Musick 2005). Tekanan osmosis laut memiliki perbedaan kurang lebih sebesar 100 kali dibandingkan dengan air tawar (Govindan 1985).

(35)

enzim arginase. Enzim arginase berperan mengubah arginin menjadi ornitin dan urea di seluruh tubuh.

Urea memiliki sifat tidak berwarna, mudah larut dalam air dan alkohol, asam asetat dan pirimidin, tidak berbahaya namun dapat menghasilkan aroma yang spesifik dan rasa sour bitter (Kreuzer dan Ahmed 1978). Menurut Simidu (1961) sintesis senyawa ini terjadi pada seluruh organ tubuh ikan elasmobranchii, karena dilaporkan bahwa enzim arginase terdapat di seluruh tubuhnya.

Mekanisme pembentukan urea secara biokimia terjadi melalui siklus Krebs yang diperlihatkan dalam Gambar 7.

1) CO2 + NH3 Karbamilfosfat

2) Karbamilfosfat + Ornitin Sitrulin 3) Sitrulin + Aspartat Arginosuksinat 4) Arginosuksinat Arginin

5) Arginin Arginase Urea + Ornitin

Gambar 7 Mekanisme pembentukan urea (Simidu 1961)

Musick (2005) menyatakan bahwa setelah ikan mati, urea akan diuraikan menjadi amonia yang dapat menghasilkan aroma yang kuat dimana pada konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan toksik. Selanjutnya Simidu (1961) melaporkan bahwa terjadi pembentukan amonia dalam jumlah yang besar selama masa penyimpanan daging ikan elasmobranchii, yang secara jelas diindikasikan bahwa urea sebagi prekursornya. Enzim urease bertanggung jawab terhadap proses dekomposisi ini, akan tetapi aksi dari bakteri juga dapat menyebabkan dekomposisi urea. Tidak ada periode inaktif yang ditemukan pada daging yang disimpan pada suhu tinggi maupun rendah atau ketika dilumatkan terhadap dekomposisi urea menjadi amonia. Menurut Walser (1981) konversi dari N-urea menjadi N-amonia disebabkan oleh bakteri yang memproduksi enzim urease.

Dorn (2005) menjelaskan tentang konversi urea menjadi amonia. Hasil dari uraian urea adalah amonia dan karbondioksida. Proses konversi tersebut berlangsung dalam dua tahap. Ketika urea (CO(NH2)2) bertemu dengan air (hidrolisis) akan membentuk ammonium

karbonat (NH4)2CO3. Amonium sangat tidak stabil dan akan terurai untuk membentuk gas

amonia (NH3) dan karbondioksida (CO2). Menurut Camberato (2001) hidrolisis urea adalah

(36)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2005. Penelitian utama dan penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Organoleptik Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), Muara Baru, Jakarta Utara. Pengujian kadar urea pada penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Kimia Pengujian Mutu Hasil Perikanan Dinas Perikanan DKI Jakarta, Pluit, Jakarta Utara. Pengujian kadar urea dan derajat putih pada penelitian utama dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS. Tubun Petamburan VI, Jakarta Pusat dan pengujian daya ikat air (WHC) pada penelitian utama dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan dan Gizi, Pusat Antar Universitas (PAU-Pangan dan Gizi), Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi: bahan-bahan untuk pembuatan surimi dan analisis karakteristik surimi. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah: ikan cucut pisang, ikan pari kelapa, garam, sukrosa, sodium tripolifosfat (STPP), dan es curai. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi meliputi bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis protein, lemak, total volatil basa nitrogen (TVBN), trimetilamin (TMA), urea, dan protein larut garam (PLG)). 3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian dapat dibagi menjadi: peralatan yang digunakan untuk pembuatan surimi (cool box, wadah air (teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator) Muika Equipment MS-120, pelumat daging (grinder) elektrik, food processor, pres hidraulik, kain kasa saring, plastik polyetilen (PE), show case

cabinet (suhu 4-5 ºC), termokopel digital, timbangan digital, water bath, dan peralatan yang digunakan untuk analisis mutu surimi (proksimat (kjeltec system, oven, tanur,

(37)

kekuatan gel, WHC (pengepres hidraulik), dan derajat putih (Whiteness meter merek: Kett electric).

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

1) Penelitian pendahuluan, yaitu analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku (rendemen daging lumat, proksimat, pH, dan TVBN), penentuan frekuensi pencucian dan komposisi daging lumat terbaik).

Penentuan frekuensi pencucian terbaik ditentukan berdasarkan jumlah penurunan kadar urea dan jumlah peningkatan kadar protein larut garam daging lumat, sedangkan komposisi daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan nilai kekuatan gel daging lumat tertinggi.

2) Penelitian utama, yaitu mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik mutu fisika-kimia surimi (kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih, dan daya ikat air).

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisika dan kimia ikan, mencari jumlah pencucian terbaik yang mampu mereduksi kadar urea daging lumat serta meningkatkan kadar protein larut garam, dan mencari kombinasi komposisi pencampuran daging lumat terbaik antara ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa. Kombinasi pengkomposisian daging lumat dapat dilihat pada Tabel 6. Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 6 Rasio pengkomposisian daging lumat ikan cucut dan ikan pari Kombinasi komposisi daging lumat Jenis ikan

A B A1B1 A2B1 A1B2

Cucut 100 % 0 % 50 % 75 % 25 %

Pari 0 % 100 % 50 % 25 % 75 %

Keterangan : A adalah daging lumat cucut 100 %, B adalah daging lumat pari 100 %, A1B1 adalah

daging lumat cucut 50 % : pari 50 %, A2B1 adalah daging lumat cucut 75 % : pari 25

(38)

Gambar 8 Diagram alir penelitian pendahuluan Cucut

kepala, sirip, ekor, isi perut dan kulit

Jumlah pencucian dan kombinasi komposisi terbaik Ditimbang

(39)

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis ikan elasmobranchii yaitu ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa. Ikan tersebut diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara pada pagi hari. Ikan diangkut ke Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan BPPMHP Muara Baru, Jakarta Utara dengan jarak kurang lebih 10 km, waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Ikan terlebih dahulu dimasukkan kedalam cool box yang ditambahkan dengan es curai dan ditutup rapat.

Setelah sampai di Laboratorium pengolahan hasil perikanan BPPMHP, kedua ikan tersebut masing-masing ditimbang untuk mengetahui berat utuh ikan tersebut. Kemudian ikan disiangi untuk membersihkan kulit, kepala dan isi perut. Selanjutnya daging ikan tersebut dibersihkan dengan air dingin untuk menghilangkan darah dan kotoran-kotoran. Kemudian daging ikan tersebut dimasukkan kedalam mesin meat-bone separator secara bergantian untuk memisahkan daging dengan tulang, yang akhirnya didapatkan daging lumat dari hasil pemisahan tersebut. Daging ikan akan terjepit diantara sabuk berjalan (belt conveyor) dan silinder berpori. Daging ikan hancur (menjadi daging lumat) karena terjepit dan masuk kedalam pori-pori, kulit dan tulang terpisah dan dibuang melalui pembuangan. Dihitung nilai rendemen berat daging lumat dari kedua jenis ikan tersebut.

Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap karakteristik kimia dari kedua jenis daging ikan tersebut. Pengamatan yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), dan analisis kesegaran (nilai pH dan kadar TVBN).

Pada kedua jenis daging ikan tersebut dilakukan proses pencucian sebanyak empat kali. Perbandingan air (PAM) dan daging yang digunakan adalah 4:1, dilakukan selama 10 menit, suhu dingin (suhu < 10 ºC).

Pada setiap tahap frekuensi pencucian, dimulai dari tahap tanpa pencucian hingga pencucian empat kali dilakukan pengamatan terhadap kadar urea dan PLG daging lumat kedua jenis ikan tersebut. Frekuensi pencucian yang terbaik dinilai berdasarkan besarnya penurunan kadar urea, dan peningkatan kadar PLG. Frekuensi pencucian terbaik tersebut akan digunakan dalam proses pembuatan surimi pada penelitian utama.

(40)

Setelah mengetahui frekuensi pencucian terbaik maka daging lumat ikan cucut pisang dan pari kelapa dikomposisikan dengan jumlah pengkomposisian yang telah ditetapkan pada Tabel 6. Selanjutnya pada masing-masing kombinasi pengkomposisian tersebut dievaluasi kekuatan gelnya, dengan tahapan proses sebagai berikut: pertama-tama daging dilarutkan pada larutan garam 3 % (b/b) dan air dingin 30 % (b/v), kemudian dilakukan pemanasan (setting) pada suhu 40 ºC selama 20 menit, kemudian perebusan (cooking) pada suhu 90 ºC selama 20 menit. Pengukuran kekuatan gel menggunakan alat texture analyzer tipe TA-XT2i, dengan probe berdiameter 2,5 inchi.

Satu kombinasi komposisi daging lumat terbaik berdasarkan nilai maksimum kekuatan gel yang dihasilkan dipilih untuk dipelajari pengaruh penyimpanan pada suhu dingin. Tiga komposisi, yaitu komposisi daging lumat A, B, serta kombinasi komposisi terpilih akan digunakan pada tahap penelitian utama.

3.3.2 Penelitian utama

Daging lumat komposisi A, B, dan komposisi terbaik pertama-tama ditimbang sebanyak 600 g, kemudian dimasukkan kedalam plastik polyethilene (PE) dan ditutup rapat. Kemudian semua daging tersebut disimpan pada show case cabinet (suhu 4-5 °C) selama sembilan hari. Dilakukan pengamatan berupa analisis pH, TVBN, TMA, urea dan PLG terhadap semua komposisi daging lumat pada hari ke-0, 3, 6, dan 9.

(41)

Pengolahan

Analisis pH, kadar TVBN, TMA, urea, dan PLG

Penyimpanan suhu dingin (4-5 °C) selama sembilan hari

Gambar 9 Diagram alir penelitian utama 3.4 Perlakuan

(42)

Faktor pengkomposisian daging lumat terbagi menjadi tiga taraf perlakuan yaitu: (1) A (komposisi cucut 100%)

(2) B (komposisi pari 100%) (3) Komposisi terbaik

Faktor penyimpanan dingin daging lumat terbagi menjadi empat taraf perlakuan yaitu : (1) 0 (penyimpanan pada hari pertama)

(2) 3 (penyimpanan pada hari ketiga) (3) 6 (penyimpanan pada hari keenam) (4) 9 (penyimpanan pada hari kesembilan) 3.5 Pengamatan

Hal yang diamati selama proses penelitian ini akan dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu: pengamatan pada penelitian pendahuluan, pengamatan pada daging lumat, dan pengamatan pada surimi.

3.5.1 Pengamatan pada penelitian pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan beberapa pengamatan yang sangat mempengaruhi penelitian selanjutnya. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah: rendemen berat daging, analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), pH, TVBN, urea, PLG dan pengamatan terhadap kekuatan gel daging lumat.

3.5.2 Pengamatan pada daging lumat

Pada daging lumat yang disimpan pada suhu dingin selama sembilan hari dilakukan pengamatan terhadap pH, TVBN, TMA, protein larut garam dan urea, masing-masing pada hari penyimpanan ke-0, 3, 6, dan 9 hari.

3.5.3 Pengamatan pada surimi

Pengamatan terhadap karakteristik mutu surimi dilakukan dengan menghitung nilai kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih dan daya ikat air.

3.6 Uji Fisik

(43)

3.6.1 Rendemen berat (SNI-19-1705-2000 diacu dalam Pranira 2003) Rendemen berat daging dihitung menggunakan rumus :

% Rendemen = berat daging lumat x 100 % berat ikan utuh

3.6.2 Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi)

Pertama kali dilakukan persiapan sampel surimi. Sebanyak 300 g surimi ditambahkan NaCl sebesar 3 % (b/b) dari berat surimi dan 30 % air dingin (b/v). Adonan tersebut diaduk hingga merata pada food processor, sampai dihasilkan pasta surimi.

Pasta surimi selanjutnya dimasukkan kedalam stuffle dan dicetak pada selongsong dengan diameter 25-35 mm untuk direbus dengan dua tahap perebusan yaitu tahap pertama direbus pada suhu 40 ºC selama 20 menit dan tahap kedua direbus pada suhu 90 ºC selama 20 menit.

Selanjutnya sampel didinginkan pada suhu dingin (4-5 ºC) selama lima menit lalu didiamkan pada suhu ruang (30 ºC) selama 12-24 jam sebelum diuji, dengan maksud untuk mendapatkan suhu yang sama dengan suhu ruang karena pengujian kekuatan gel dilakukan pada suhu ruang.

Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer jenis TA-XT2i Texture Analyzer (Texture Technologist Corp., Scarsdale NY/Stable Microsystem, Godalmin, Surrey, UK). Sampel dipotong dengan panjang 2,5 cm. Nilai kekuatan gel diukur menggunakan probe dengan diameter ¼ inchi yang terbuat dari bahan baja stainless dan kecepatan pengukuran sebesar 10 mm/detik. Nilai kekuatan gel yang dihasilkan adalah hasil perkalian antara daya tekan (force) (g) dan jarak pecah (distance) (cm). Nilai kekuatan gel dapat dihitung dengan rumus: Kekuatan gel (g.cm) = force (g) x distance (cm).

3.6.3 Analisis derajat putih (Kett Electric Laboratory 1981)

Pengujian terhadap derajat putih surimi dilakukan dengan menggunakan alat KETT Digital Whiteness Meter, model C-100. Prinsip pengujian menggunakan alat ini adalah membandingkan derajat putih sampel dengan derajat putih standar yang telah ditentukan berdasarkan jenis sampel yang diuji.

(44)

kedalam alat whiteness meter. Tombol “on” ditekan dan ditunggu hingga enam menit sampai tanda peringatan “wait” berhenti. Setelah itu akan terbaca pada layer (LED) nilai kalibrasi dari lempeng kalibrasi tersebut. Nilai akan terbaca 100 %.

Perhitungan sampel dilakukan setelah proses kalibrasi selesai. Dilakukan persiapan sampel sama seperti proses kalibrasi, namun yang diletakkan pada wadah berbentuk piring kecil adalah sampel berupa surimi. Kemudian sampel yang telah diisikan pada wadah berbentuk piring kecil tersebut dimasukkan kedalam kotak sampel dan ditutup dengan kover penutup. Tombol “on” ditekan dan akan muncul pada LED waktu pengujian dan nilai derajat putih dari surimi. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

3.7 Uji sensori

3.7.1 Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981)

Pertama kali dilakukan persiapan sampel (cara persiapan sampel sama seperti cara persiapan sampel pada pengukuran kekuatan gel), namun menggunakan tebal sampel sebesar 4-5 mm.

Tingkat kualitas uji lipat menurut Suzuki (1981) adalah sebagai berikut :

1. Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran, kualitas “AA” dengan nilai adalah 5 2. Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran, kualitas “A” dengan nilai adalah 4. 3. Retak jika dilipat menjadi setengah lingkaran, kualitas “B” dengan nilai 3.

4. Putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran, kualitas “C” dengan nilai 2. 5. Pecah menjadi bagian-bagian kecil jika ditekan dengan jari-jari tangan, kualitas “D”

dengan nilai 1.

3.7.2 Uji gigit (teeth cutting test)(Suzuki 1981)

Persiapan sampel sama seperti pada kekuatan gel, namun menggunakan ukuran tebal/tinggi 1 cm. Pengujian dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut :

10 : daya lenting amat sangat kuat 9 : daya lenting amat kuat

(45)

5 : daya lenting agak diterima 4 : daya lenting agak lemah 3 : daya lenting lemah 2 : daya lenting amat lemah

1 : tidak ada daya lenting, seperti bubur

3.8 Analisis Kimia

Analisis kimia yang dilakukan meliputi pengujian terhadap: kadar proksimat, urea, PLG, pH, TMA, dan TVBN daging lumat serta daya ikat air surimi.

3.8.1 Analisis proksimat

3.8.1.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan didalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga mendapatkan berat konstan (A). Ditimbang sampel sebanyak 2 g (B), dimasukkan kedalam cawan porselin kemudian dikeringkan di dalam oven 105 °C selama lima jam atau hingga berat konstan. Setelah itu cawan yang berisi sampel itu didinginkan didalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (C). Apabila belum didapatkan berat konstan, cawan porselin dipanaskan lagi kedalam oven (105 °C) selama 30 menit, kemudian didinginkan selama 30 menit. Jika perlu, hal tersebut dilakukan berulang kali hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar air menggunakan rumus:

Kadar air = (A + B) - C x 100 % (B)

3.8.1.2 Analisis kadar abu (AOAC 1995)

(46)

Penentuan kadar abu menggunakan rumus:

Kadar abu = B - A x 100 % berat sampel

3.8.1.3 Analisis kadar lemak total (AOAC 1995)

Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105 ºC) ditimbang hingga didapatkan berat konstan (A). Sebanyak 2 g daging (C) dibungkus dengan kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan kedalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan kedalam tabung soxhlet. Sebanyak 150 ml kloroform dimasukkan kedalam labu lemak. Sampel direfluks selama delapan jam, dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak sudah terekstrak semua. Selanjutnya pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak, kemudian labu lemak dikeringkan dalam oven 105 °C selama 30 menit. Setelah itu ditimbang hingga didapatkan berat konstan (B). Penentuan kadar lemak menggunakan rumus:

Kadar lemak = (B - A) x 100 % C

3.8.1.4 Analisis protein kasar (AOAC 1995)

Penentuan kadar protein kasar ini menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Daging sebanyak 0,75 g dimasukkan kedalam labu Kjeldahl. Kedalam labu tersebut ditambahkan 6,25 g K2SO4 dan 0,6225 g CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat dan 3 ml

H2O2 secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam labu dan didiamkan selama 10 menit dalam

ruang asam.

Tahap selanjutnya adalah proses destruksi pada suhu 410 ºC selama ± 2 jam atau hingga didapatkan larutan jernih, didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-75 ml akuades.

Disiapkan erlenmeyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4 % yang mengandung indikator

(bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1 % (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Ditambahkan 50 ml Na2(SO4)3 (alkali).

Dilakukan destilasi dan destilat ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau).

(47)

Kadar protein dihitung dengan rumus :

Kadar protein = (A-B) x N HCl x 14,007 x 6,25 x 100 % W (g) x 1000

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel, B = ml titrasi HCl blanko

3.8.2Kadar urea (AOAC 1995) Persiapan larutan standar :

Dilarutkan 5 gram urea pro analyst grade kedalam akuades dan diencerkan sampai 1 liter dengan akuades. Disiapkan larutan kerja 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; 1,6; 1,8 dan 2,0 mg/ml, dengan cara memipet 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 ml larutan stok kedalam setiap labu ukur 250 ml, kemudian diencerkan sampai tanda tera dengan buffer fosfat.

Kurva standar dibuat dengan cara memipet 5 ml masing-masing larutan kerja kedalam tabung reaksi 25 ml dan ditambahkan 5 ml p-dimetil amino benzaldehid (DMAB) kedalam masing-masing tabung. Disiapkan pula pereaksi blanko yang terdiri dari 5 ml larutan buffer dan 5 ml larutan DMAB. Semua tabung reaksi dikocok mekanik selama 10 menit dalam bak air bersuhu 25 ○C. Masing-masing larutan standar dilakukan pengukuran nilai absorbansi pada panjang gelombang 420 nm.

Pengukuran Sampel :

Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam labu ukur 500 ml. Kemudian ditambahkan 100 g charcoal, 250 ml akuades, 5 ml Zn(OAc)2 dan 5 ml K4Fe(CN)6. Kemudian distirer selama 30

menit dengan kecepatan tinggi dan volumenya ditempatkan sampai tanda tera. Larutan didiamkan sampai terjadi endapan, kemudian disaring dengan kertas Whatmann no. 40 dan diambil filtratnya yang bening. Setelah itu filtrat dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 5 ml DMAB dan dikocok sampai merata. Bersama-sama dengan larutan blanko 5 ml, kedua tabung tersebut dibiarkan selama 10 menit dalam bak air 25 ○C. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 420 nm.

3.8.3Kadar protein larut garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Wahyuni 1992)

(48)

pada suhu 4 °C. Sebanyak 25 ml filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah:

Kadar PLG = (A-B) x N HCl x 14,007 x FP x 6,25 x 100 % W (g) x 1000

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel; B = ml titrasi HCl blanko

3.8.4 Nilai pH (Suzuki 1981)

Sebelum melakukan pengukuran, pH meter harus dikalibrasi terlebih dahulu, dengan cara mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7. Perhitungan sampel dilakukan dengan cara menimbang 5 g sampel kemudian dihomogenkan dalam 45 ml akuades dingin. Setelah homogen diukur pH-nya dengan pH-meter. Pengukuran menggunakan pH meter digital merk inoLAB. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

3.8.5 Total volatil basa nitrogen (TVBN) (SNI-01-4495-1998 yang telah dimodifikasi) Prinsip dari pengujian terhadap kadar TVBN contoh adalah: senyawa-senyawa basa volatil (amonia, mono-, di-, trimetilamin, dll) yang terdapat dalam sampel yang bersifat basa diuapkan. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N

Penentuan TVBN dilakukan dengan Metode Conway, dimana pertama-tama 25 g sampel diblender selama 1 menit dengan 75 ml larutan TCA 7 %, lalu disaring untuk mendapatkan filtrat yang bening. Sebanyak 2 ml H3BO3 2 % dimasukkan ke dalam inner

chamber cawan Conway dan 1 ml filtrat ke outer chamber sehingga kedua macam larutan bercampur di outer chamber. Sebelum cawan ditutup, pinggir cawan diolesi vaselin agar penutupan sempurna. Pada posisi hampir menutup ditambahkan K2CO3 1:1 (b/v) ke dalam

outer chamber sebanyak 1 ml kemudian cawan Conway segera ditutup.

(49)

Kadar TVBN (mg N/100 g) = (i-j) x N HCl x 14,007 x FP x 100

berat sample (g)

Keterangan : i = volume titrasi sampel (ml) j = volume titrasi blanko (ml) FP = faktor pengenceran

3.8.6 Trimetilamin (TMA) (BPPMHP 2001)

Prinsip pengerjaan analisis TMA hampir sama dengan pengujian kadar TVBN, namun pada analisis TMA ditambahkan formaldehid. Sampel dicacah hingga halus, kemudian ditimbang sebanyak 25 g sampel, ditambahkan 75 ml TCA 7 % dan dihaluskan dengan waring blender dan disaring dengan kertas Whatmann no.1 hingga didapat filtrat bening. Filtrat dapat disimpan pada suhu 4 ºC apabila belum dilakukan analisis.

Cawan Conway disiapkan dengan mengolesi bagian pinggir cawan dengan vaselin sehingga diperoleh penutup yang rapat. Dipipet 2 ml H3BO3 2 % kedalam inner chamber

Conway. Filtrat sampel dipipet sebanyak 1 ml kebagian outer chamber Conway (misal: bagian kanan). Sebanyak 1 ml K2CO3 jenuh ditambahkan kebagian outer chamber Conway (misal:

bagian kiri). Ditambahkan 0,5 ml formaldehid kebagian tengah outer chamber Conway dan segera cawan Conway ditutup dengan rapat. Blanko dikerjakan sama seperti pada tahap pengerjaan sampel, namun filtrat diganti dengan larutan TCA 7 %. Kemudian cawan digoyangkan perlahan-lahan hingga larutan pada bagian kanan dan kiri outer chamber menyatu. Setelah itu diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama 2 jam atau pada suhu kamar selama 24 jam.

Blanko dan contoh ditetesi dengan indikator (methyl red 0,1 % dan bromtimol blue 0,1 % (2:1)). Kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna menjadi pink. Perhitungan kadar TMA adalah sama dengan perhitungan kadar TVBN.

3.8.7 Daya ikat air (Water Holding Capacity (WHC))(Dagbjartsson dan Solberg 1972 diacu dalam Wahyuni 1992)

Gambar

Tabel 2. Produksi perikanan cucut di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005)
Gambar 1 Carcharinus falciformis (FAO 2005)
Tabel 2. Produksi perikanan cucut di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005)
Gambar 2 Trygon sephen (Fishbase 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan daging lumatan ikan nilem (Osteochilus hasselti) terhadap mutu produk simping.. Hasil pengarnatan

Pengaruh Lama Waktu Penyimpanan Eeku Daging Lumat Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) terhadap Mutu Fisiko-Kimia

Hasil memperlihatkan bahwa frekuensi pencucian tiga kali dan konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% menyebabkan penurunan kadar lemak dan kadar protein yang paling tinggi

Sidik Ragam Kadar Air Pengaruh Jenis Ikan, Metode Pengolahan.. dan Lama Penyimpanan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis dan kadar tepung sagu atau jagung terhadap kualitas fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik fish flakes ikan pari,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis ikan yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rendemen, kadar protein dan pH,

Tekstur pada surimi ikan gabus ini diduga dipengaruhi oleh kandungan miosin pada tepung sagu yang bereaksi dengan komponen protein pada daging ikan gabus

beda.Hal ini pengaruhi oleh jenis ikan, habitat, umur, pakan, juga ukuran ikan tersebut.Berikut kadar Kadar proksimat dari daging ikan baung yang meliputi kadar