• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso Ikan Layaran (Istiophorus sp.) dari Bahan Baku Surimi Frekuensi Pencucian Satu Kali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso Ikan Layaran (Istiophorus sp.) dari Bahan Baku Surimi Frekuensi Pencucian Satu Kali"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ikan merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90% dengan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah dicerna (Adawyah 2008). Salah satu jenis ikan yang dapat dimanfaatkan dan sudah dikenal adalah ikan layaran (Istiophorus sp.). Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010), volume produksi ikan layaran dari tahun 2004–2008 yaitu 2,075; 2,054; 2,661; 3,878; dan 3,957 ton dengan rata-rata kenaikan sebesar 19,07%.

Menurut Ditjen Perikanan (1990), ikan layaran merupakan salah satu jenis ikan pelagis besar dan mempunyai nilai ekonomi penting karena mempunyai nilai pasar dan daya produksi yang tinggi dalam bentuk segar. Selain dijual dalam bentuk segar, ikan layaran juga sudah digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bakso ikan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi-Jawa Barat. Daging ikan layaran dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bakso ikan karena memiliki daging yang tebal dan mirip dengan daging sapi. Menurut data Kompas (2011), daging ikan layaran memiliki tekstur yang lembut dan rasanya juga tidak terlalu amis, tidak seperti lazimnya daging ikan lainnya. Daging ikan layaran ini berwarna kemerah-merahan dengan daging yang tebal, mirip dengan daging sapi.

(2)

dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995). Selain sebagai sumber protein, bakso ikan juga merupakan makanan jajanan yang telah diterima oleh masyarakat karena harganya terjangkau serta dapat memenuhi selera dan daya beli masyarakat (Agustin dan Mewengkang 2008). Menurut Uju et al. (2004), bakso ikan yang memiliki kualitas baik dapat dilihat dari faktor penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizinya.

Pada pembuatan gel ikan dan bakso ikan dapat memanfaatkan surimi sebagai bahan bakunya. Surimi adalah produk setengah jadi yang diolah dengan melumatkan daging ikan, kemudian dilakukan pencucian dengan air dingin untuk menghilangkan sifat organoleptis yang kurang menarik dan setelah itu dipisahkan airnya (Irianto dan Soesilo 2007). Surimi biasanya digunakan sebagai bahan baku produk-produk akhir yang menginginkan sifat gel seperti gel ikan, bakso, sosis dan lain-lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan gel pada surimi adalah proses pencucian. Menurut Suzuki (1981), lumatan daging ikan yang tidak dilakukan tahap pencucian akan memberikan hasil yang kurang baik terhadap sifat gel pada produk lanjutannya. Pencucian juga dapat menyebabkan warna daging yang lebih putih, menghilangkan bau amis dan kandungan protein sarkoplasma serta meningkatkan kandungan protein miofibril dan kekuatan gel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Poernomo et al. (2006) yang menyatakan bahwa proses pencucian pada pembuatan surimi dapat meningkatkan kandungan protein miofibril yang berfungsi dalam membentuk gel dan larutnya semua kotoran, lemak, darah dan protein sarkoplasma sehingga warna gel ikan semakin bersih dan putih.

(3)

Menurut Toyoda et al. (1992), pencucian satu kali pada pembuatan surimi sudah dapat meningkatkan kadar protein miofibril dalam daging, dimana protein miofibril tersebut bertanggung jawab terhadap pembentukan gel seiring dengan hilangnya komponen penghambat pembentukan gel seperti protein sarkoplasma, lemak dan darah.

Penggunaan surimi dengan frekuensi pencucian satu kali dapat meningkatkan kekuatan gel dan menghasilkan warna daging lebih putih daripada penggunaan daging lumat tanpa pencucian. Penggunaan surimi frekuensi pencucian satu kali biasanya hanya digunakan pada penelitian lanjutan apabila pada penelitian pendahuluan menunjukkan hasil yang baik, sehingga informasi mengenai karakteristik produk yang dihasilkannya masih terbatas. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan analisis berupa karakteristik fisika dan kimia dari gel dan bakso ikan layaran dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian satu kali. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian yang telah ada yang menggunaan surimi frekuensi pencucian satu kali pada pembuatan produk perikanan. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembanding dalam penelitian pengaruh frekuensi pencucian pada pembuatan surimi terhadap karakteristik dari produk-produk perikanan.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1 Mengkarakterisasi fisika dan kimia gel ikan layaran dari bahan baku surimi frekuensi pencucian satu kali

2 Mengkarakterisasi fisika dan kimia bakso ikan layaran dari bahan baku surimi frekuensi pencucian satu kali

(4)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Ikan layaran termasuk kedalam sumberdaya ikan pelagis besar yang termasuk jenis ikan pedang atau setuhuk. Ikan pelagis besar tersebar dihampir semua wilayah pengelolaan perikanan di mana tingkat pemanfaatan berbeda-beda antar perairan (Mallawa 2006). Daerah penyebaran ikan layaran di Indonesia meliputi : Pelabuhan Ratu, Selat Bali, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, dan perairan barat Sumatera (KKP 2006). Klasifikasi ikan layaran (Istiophorus sp.) (Saanin 1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Scombroidea Famili : Istiophoridae Genus : Istiophorus

Spesies : Istiophorus gladius Istiophorus orientalis

Istiophorus platypterus

Gambar 1 Ikan layaran (Istiophorus sp.)

(5)

kebiruan. Habitat ikan layaran adalah di permukaan laut (pelagis dan epipelagis) di atas lapisan termoklin. Ikan layaran banyak ditemukan di daerah perairan yang dekat dengan pesisir dan pulau-pulau (Shaw 1972). Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus gladius) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus gladius)

No. Komposisi Hasil (%)

1 Kadar air 66,79

2 Kadar abu 2,16

3 Kadar protein 15,15

4 Kadar lemak 3,07

Sumber : Murniyat et al. (2006)

2.2 Protein Ikan

Protein adalah komponen ikan yang sangat penting ditinjau dari sudut gizi

dan biasanya terkandung sekitar 15-25% dari berat total daging ikan (Irianto dan Giyatmi 2009). Protein ikan menyediakan kurang lebih 2/3 dari

kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Protein ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril, sarkoplasma dan stroma. Komposisi ketiga jenis protein pada daging ikan terdiri dari 65-75% miofibril, 20-30% sarkoplasma dan 1-3% stroma (Junianto 2003). Protein ikan biasanya kurang stabil bila dibandingkan dengan protein daging mamalia, artinya mudah rusak oleh pengolahan, terkoagulasi dan terdenaturasi. Hal ini disebabkan oleh struktur alamiah miosin yang labil (Winarno 1993).

2.2.1 Protein miofibril

(6)

daging lumat dan homogenat, khususnya kemampuan dalam pembentukan gel (Irianto dan Giyatmi 2009).

Miosin merupakan 50-58% fraksi miofibril (Irianto dan Giyatmi 2009). Miosin mempunyai aktivitas ATPase yang akan memindahkan energi ATP pada saat kontraksi otot (Rahayu et al. 1992). Kemampuan untuk mengekstrak protein miosin lebih besar pada pH tinggi, tetapi kekuatan gel daging ikan pada produk akhir lebih rendah meskipun jumlah miosin yang diekstrak lebih banyak (Junianto 2003). Aktin terdapat sekitar 15-20% dari jumlah total protein daging ikan. Ketika daging lumat diberikan larutan garam netral, aktin akan terekstraksi bersama-sama dengan miosin membentuk aktomiosin (Irianto dan Giyatmi 2009).

2.2.2 Protein sarkoplasma

Protein sarkoplasma merupakan protein terbesar kedua yang mengandung bermacam-macam protein larut air yang disebut miogen. Protein sarkoplasma atau

miogen terdiri dari albumin, mioalbumin dan mioprotein. Kandungan sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi. Selain tergantung dari jenis ikannya juga tergantung habitat ikan tersebut. Pada umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Junianto 2003). Menurut Shimizu et al. (1976) diacu dalam Lee and Lanier (1992), sarkoplasma tidak dapat menghasilkan gel walaupun dilakukan pemanasan dan jika tidak dihilangkan akan menghambat pembentukan gel. Tercampurnya daging putih dan daging merah selama pemfilletan dari ikan berdaging gelap akan menyebabkan penurunan kekuatan gel secara keseluruhan.

(7)

2.2.3 Protein stroma

Stroma adalah protein jaringan ikat yang terdapat di luar serabut daging.

Stroma tidak larut dalam air, asam, basa serta larutan garam 0,01-0,1 M (Rahayu et al. 1992). Daging merah ikan pada umumnya mengandung lebih

banyak stroma, tetapi lebih sedikit mengandung sarkoplasma jika dibandingkan dengan daging putih ikan (Junianto 2003). Komponen dari stroma adalah kolagen dan elastin, atau keduanya (Rahayu et al. 1992). Pada umumnya kandungan kolagen pada daging ikan adalah sekitar 1-12% dari protein kasar. Elastin adalah protein yang dapat membentuk serat elastis seperti karet yang merupakan penyusun utama ligament pada mamalia (Irianto dan Giyatmi 2009). Apabila jaringan ikat mengandung prosentase kolagen yang besar dan dipanaskan dengan uap dengan waktu yang lama, maka kolagen akan berubah menjadi gelatin yang larut dalam air dan apabila gelatin ini dimasak akan membentuk jelly (Rahayu et al. 1992).

2.3 Surimi

Surimi adalah produk setengah jadi yang diolah dengan melumatkan daging ikan, kemudian dicuci dengan air dingin untuk menghilangkan sifat

organoleptis yang kurang menarik dan setelah itu dipisahkan airnya (Irianto dan Soesilo 2007). Menurut Winarno (1997), mutu surimi yang paling

baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel. Kekuatan gel surimi dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, kematangan gonad, tingkat kesegaran ikan, pH, kadar air, volume, dan konsentrasi dan jenis penambahan antidenaturant (cryoprotectant), serta frekuensi pencucian (Suzuki 1981).

(8)

pembentukan gel ikan (Suzuki 1981). Proses pencucian pada pembuatan surimi pada dasarnya dilakukan dengan mencuci daging lumat dengan air dingin (10-15 oC) yang ditambahkan garam 0,2-0,3% sebanyak 2-3 kali pencucian. Volume air yang digunakan adalah 4-5 kali berat daging lumat. Penambahan garam selama pencucian membantu pelepasan air dari daging lumat (Irianto dan Giyatmi 2009).

Pencucian pada pembuatan surimi dapat memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan dan pengaruh yang menguntungkan. Pengaruh pencucian yang tidak menguntungkan, yaitu hilangnya komponen rasa alami yang ada di dalam daging ikan dan berkurangnya kandungan protein. Penghilangan protein larut air memberikan pengaruh yang baik terhadap surimi, yaitu peningkatan kemampuan membentuk gel. Pengaruh pencucian pada daging lumat yang menguntungkan (Irianto dan Giyatmi 2009), antara lain :

a. Meningkatkan kemampuan daging lumat membentuk gel dengan membuang sebagian besar protein larut air yang mengganggu pembentukan gel

b. Memperbaiki warna dan penampakan daging lumat c. Menghilangkan bau yang tidak dikehendaki

d. Menghasilkan surimi beku yang memiliki rasa hambar sehingga rasa produk olahan lanjut dapat diatur sesuai selera dengan menggunakan bumbu-bumbu dan bahan-bahan pembentuk rasa

e. Memperpanjang umur penyimpanan beku dari daging yang telah dicuci dengan penambahan gula dan poliposfat

2.4 Pembentukan dan Sifat Gel Ikan

(9)

garam yang ditambahkan, lamanya penggilingan, pH, keadaan biokimia otot saat post mortem, serta suhu dan waktu pemanasan (Suzuki 1981).

Apabila daging ikan mentah digiling dengan penambahan garam, maka miosin (aktomiosin, miosin dan aktin) akan larut dalam larutan garam membentuk sol yang sangat adhesif. Sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan konstruksi seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Daging ikan yang terkoagulasi karena panas disebut pasta ikan. Sifat elastis pada pasta ikan disebut ashi. Kekuatan ashi pada tiap jenis ikan berbeda-beda (Tanikawa 1985). Pasta

surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam yang dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan ikatan hidrogen pada molekul miofibril. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada suhu pemanasan dengan suhu 50oC (Suzuki 1981).

Pemanasan gel bila ditingkatkan hingga di atas suhu 50 oC, maka struktur tersebut akan hancur, fenomena ini disebut modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 oC selama 20 menit, pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Berkaitan dengan fenomena tersebut, maka dibuat sebuah metode untuk membuat gel surimi yang kuat dengan melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada zona rentang suhu dimana modori dapat terjadi. Gel surimi yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati suhu modori, dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi lebih besar yang disebut gel ashi (Suzuki 1981). Proses pembentukan gel ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

(10)

2.5 Bakso Ikan

Bakso ikan didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995). Selain sebagai sumber protein yang mempunyai nilai gizi tinggi, bakso ikan juga merupakan makanan jajanan yang telah diterima oleh masyarakat karena harganya

yang relatif terjangkau serta dapat memenuhi selera dan daya beli masyarakat (Agustin dan Mewengkang 2008). Bahan yang diperlukan untuk membuat bakso

ikan adalah daging ikan, tepung tapioka dan bumbu-bumbu. Daging ikan yang baik untuk membuat bakso adalah daging ikan yang segar yang belum mengalami rigormortis karena daya ikat air pada daging ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging rigormotis maupun pascarigor (Pearson dan Tauber 1984 diacu dalam Astuti 2009). Bumbu yang digunakan pada pembuatan bakso ikan dapat berupa garam 2,5%, sedangkan bumbu penyedap dapat dibuat dari campuran bawang putih 3%, bawang merah 2-2,5% dan lada sebesar 0,5% dari berat daging (Waridi 2004).

(11)

Tabel 2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 2 3 4

2.5.1 Bahan utama bakso ikan

(12)

hancuran daging selama pemasakan sehingga membentuk struktur yang kompak dan berfungsi sebagai emulsifier (Winarno dan Rahayu 1994).

Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan bakso harus menggunakan bahan baku ikan segar, tidak cacat fisik dan berkualitas baik. Semakin enak daging ikan yang digunakan semakin enak pula flavor bakso yang dihasilkan. Jenis ikan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tekstur dan rendemen bakso yang diperoleh (Waridi 2004). Daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso lebih baik berupa surimi, karena menghasilkan tekstur bakso yang lebih kenyal dan warna yang lebih putih. Kriteria mutu bakso sebagai produk fish jelly adalah kelenturan dan kekenyalannya (BBPMHP 2001 diacu dalam Astuti 2009).

2.5.2 Bahan pengisi bakso ikan

Bahan pengisi berfungsi memperbaiki atau menstabilkan emulsi, meningkatkan daya mengikat air, memperkecil penyusutan, menambah berat produk dan dapat menekan biaya produksi. Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka. Dari segi biaya produksi, penggunaan tapioka sebagai bahan pengisi akan menambah keuntungan. Cita rasa dan tekstur bakso pun disukai konsumen. Makin banyak tapioka yang ditambahkan, kekenyalan bakso makin menurun dan kandungan proteinnya makin rendah karena daging makin sedikit dan kandungan karbohidrat makin tinggi (Usmiati 2009). Agar bakso lezat, teksturnya bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya sekitar 10-15 % dari daging ikan (Wibowo 2006). Semakin tinggi kandungan patinya maka semakin rendah mutu dari bakso (Winarno dan Rahayu 1994).

(13)

2.5.3 Bahan tambahan bakso ikan

Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan maksud tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, citarasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Winarno dan Srikandi 1980 diacu dalam Dewi 2005). Bahan tambahan yang digunakan pada pembuatan bakso terdiri dari garam, bawang merah, bawang putih, lada dan air es. Dalam pembuatan bakso, sebaiknya tidak menggunakan penyedap monosodium glutamate dan dapat diganti dengan campuran bawang merah, bawang putih dan jahe dengan perbandingan 15:3:1 (Wibowo 2006).

2.5.3.1 Garam

Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada pembuatan bakso. Pemakain garam biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada keperluan. Makanan yang mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi (Winarno 1997). Selain itu, garam juga berfungsi sebagai pengawet karena garam berperan sebagai penghambat selektif terhadap mikroorganisme pencemar (Buckle et al. 1978). Pada konsentrasi rendah (1-3%) garam tidak bersifat membunuh mikroorganisme tetapi hanya sebagai bumbu yang akan memberikan citarasa gurih pada bahan pangan (Dewi 2005). Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet. Garam yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso adalah sekitar 2,5% (Wibowo 2006).

2.5.3.2 Bawang merah

(14)

2.5.3.3 Bawang putih

Bawang putih termasuk salah satu anggota bawang-bawangan yang paling popular di dunia. Bawang putih merupakan senyawa pembentuk aroma dan juga senyawa-senyawa khasiatnya. Bawang putih berfungsi untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih merupakan produk alami yang biasanya ditambahkan ke dalam bahan makanan. Bawang putih termasuk dalam familia Licliaceae yang popular dengan nama ilmiah Allium sativum Linn. Komposisi kimia bawang putih antara lain air sebesar 60,9-67,8%, protein sebesar 3,5-7%, lemak sebesar 0,3%, karbohidrat sebesar 24,0%-27,4%, total karbohidrat termasuk seratnya mencapai 24,0-27,4% dengan serat 0,7%. Selain itu, bawang putih juga mengandung mineral penting dan beberapa vitamin dalam jumlah tidak besar (Wibowo 1999).

2.5.3.4 Minyak Goreng

Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian yang meliputi degumming, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi. Secara umum komponen utama minyak yang sangat menentukan mutu minyak adalah asam lemak karena asam lemak menentukan sifat kimia dan stabilitas minyak (Djatmiko 1974 diacu dalam Winarno 1999). Setiap minyak goreng tidak boleh berbau dan sebaiknya beraroma netral. Warna minyak merah orange atau kuning biasanya dapat disebabkan adanya pigmen karetonoid yang larut dalam minyak tersebut. Minyak goreng yang dihasilkan dari bahan yang berbeda mempunyai stabilitas yang berbeda pula karena stabilitas minyak goreng dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain derajat ketidakjenuhan asam lemak yang dikandungnya, penyebaran ikatan rangkap dan bahan-bahan pembantu yang dapat

mempercepat atau menghambat proses kerusakan pada minyak goreng (Griswold 1962 diacu dalam Winarno 1999).

2.5.3.5 Lada

(15)

beraroma merangsang dan menghangatkan badan (Sutarno dan Andoko 2005). Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimia yang terdapat pada lada. Rasa pedas pada lada disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta hapisin (Rismunandar 1993). Lada yang digunakan umumnya sekitar 1% dari berat daging (Wibowo 2006).

2.5.3.6 Air es

Air es atau es merupakan bahan penting lainnya yang digunakan dalam pembuatan bakso. Penggunaan air es atau es berfungsi meningkatkan air ke dalam adonan kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan dan dapat membantu pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Dengan adanya air es atau es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Oleh karena itu, dalam adonan bakso dapat ditambahakan air es atau es sebanyak 5-20% atau bahkan 30% dari berat daging (Wibowo 2006).

2.5.4 Pembuatan bakso ikan

Pada prinsipnya pembuatan bakso terdiri atas empat tahap yaitu: (1) penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso; dan (4) pemasakan. Pada proses penggilingan daging harus diperhatikan kenaikan suhu akibat panas karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi adalah di bawah 20 oC (Bakar dan Usmiati 2007).

(1) Penghancuran daging

(16)

(2) Pembuatan adonan

Setelah daging lumat dibersihkan menjadi surimi, daging ikan dicampur dengan garam dan bumbu secukupnya. Setelah tercampur merata, ke dalam surimi tersebut ditambahakan tepung tapioka sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dilumatkan hingga homogen. Pada pembentukan adonan bakso ikan ditambahakan es sekitar 15-20% atau 30% dari berat daging ikan lumat (Wibowo 2006). Penggunaan es pada saat pengadonan dapat mempertahankan suhu adonan tetap dingin yaitu sekitar 20 oC. Penambahan es dapat berpengaruh terhadap tekstur bakso dan penggunaan suhu 20 oC dapat mempertahankan stabilitas emulsi (Usmiati 2009).

(3) Pencetakan bakso

Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan menggunakan tangan, caranya adalah adonan diambil dengan sendok makan kemudian diputar-putar menggunakan tangan sehingga terbentuk bola bakso. Bagi mereka yang sudah mahir, untuk membuat bola bakso ini cukup dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas kearah ibu jari. Adonan yang keluar dari lubang ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan kemudian bulatan tersebut diambil dengan sendok (Wibowo 2006).

(4) Pemasakan

(17)

3

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai dengan Maret 2012. Pelaksanaan penelitian berlangsung dibeberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Teknologi Pangan (uji kekuatan gel, derajat putih, Water Holding

Capacity (WHC) dan protein larut garam), Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan (analisis proksimat), Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan (uji pH), Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan (pembuatan surimi pencucian satu kali, gel ikan dan bakso ikan) dan Laboratorium Organoleptik Teknologi Hasil Perairan (uji organoleptik), Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan adalah ikan layaran (Istiophorus sp.) yang diperoleh dari TPI Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat yang kemudian dilakukan proses pencucian sebanyak satu kali dalam pembuatan surimi. Bahan lain yang digunakan antara lain tepung tapioka, garam, bawang merah goreng, bawang putih, lada, minyak goreng, air dan es. Bahan yang digunakan untuk analisis fisika dan kimia adalah akuades, H2S04, NaOH, H3BO3,

HCl 0,2 N dan NaCl 5%.

Alat yang digunakan dalam pembuatan surimi, gel dan bakso ikan antara lain pisau, plastik, cool box, talenan, karet, tali kasur, serokan, sendok, kain blacu, food processor, baskom, alat pengepres surimi, panci perebusan, meat grinder,

(18)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi penentuan kesegaran ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ikan, pembuatan surimi dengan proses pencucian satu kali, pembuatan gel ikan dan pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.), serta analisis karakteristik fisika kimia gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.) dari surimi frekuensi pencucian satu kali.

3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.)

Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel ikan layaran dari TPI Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. Ikan layaran ditransportasikan menuju Bogor dengan menggunakan bus dan ikan disimpan dalam cool box dan

sterofoam yang diberikan tambahan es untuk tetap menjaga kesegaran ikan. Ikan

ditransportasikan hingga sampai ke laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Peraiaran dan kemudian disimpan dalam freezer. Ikan yang sudah ada disiapkan untuk pengujian organoleptik. Pengujian

organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan yang dilakukan oleh panelis semiterlatih sebanyak 30 orang. Diagram alir penentuan kesegaran ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) Pembelian ikan layaran di TPI

Penyimpanan ikan layaran dalam cool box yang diberi es (2:1)

Pentransportasian ikan layaran

Penyimpanan sementara dalam freezer

Uji organoleptik ikan layaran

(19)

3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.)

Ikan layaran yang telah dilakukan pengujian organoleptik kemudian disiapkan untuk melakukan preparasi. Ikan layaran yang akan digunakan di

thawing terlebih dahulu dan kemudian dicuci untuk menghilangkan kotoran.

Setelah pencucian dilakuakn proses fillet untuk memisahkan daging ikan dengan bagian lain (kepala, isi perut, sirip dan tulang) dan kemudian di pisahkan kulitnya serta dilakukan pemisahan antara serat daging dengan daging untuk mempermudah proses pelumatan daging dengan menggunakan meat grinder. Selanjutnya dilakukan pencampuran seluruh bagian daging ikan yang sudah dilumatkan. Hal ini dilakukan agar seluruh bagian daging ikan layaran dapat tercampur dengan rata. Daging lumat yang dihasilkan dilakukan uji proksimat untuk mengetahui komposisi kimianya. Diagram alir penyiapan daging lumat ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alir penyiapan daging lumat ikan layaran (Istiophorus sp.) Ikan layaran

Thawing dan Pencucian

Pelumatan dengan meat grinder Pemisahan serat daging dengan daging

Pelepasan kulit Pem-fillet-an

Pencampuran seluruh daging lumat

(20)

3.3.3 Pembuatan surimi ikanlayaran (Istiophorus sp.)

Daging ikan layaran yang sudah lumat ditimbang untuk mengetahui berat awal daging lumat, kemudian dicuci sebanyak satu kali dengan perbandingan air es dan daging lumat sebesar 3:1. Pada proses pencucian daging lumat dicuci dengan air es (5-8 oC) dan diaduk selama 10 menit dengan penambahan garam 0,3% (b/b). Setelah itu, daging lumat disaring menggunakan kain blacu dan diperas menggunakan alat pemeras surimi untuk menghilangkan air dengan tingkat pemerasan yang sama. Daging lumat yang sudah menjadi surimi ditimbang untuk mengetahui berat akhirnya. Surimi yang dihasilkan kemudian dilakukan pengujian kadar air. Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) frekuensi pencucian satu kali dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.)

3.3.4 Pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.)

Daging lumat yang telah menjadi surimi ditimbang dan dilakukan pencampuran dengan garam 2,5% (b/b) menggunakan food processor selama 3 menit hingga adonan homogen dan dicetak dengan menggunakan tabung stainless. Hasil pencetakan tersebut kemudian dilakukan pemanasan dengan suhu

45-50 oC selama 20 menit dan dilanjutkan dengan suhu 80-90 oC selama 30 menit. Pencucian satu kali (air es : ikan = 3:1)

+ garam 0,3% (b/b) 10 menit Daging lumat

Penimbangan berat awal

Penyaringan

Surimi Pemerasan

(21)

Gel ikan yang dihasilkan dilakukan analisis untuk mengetahui karakteristik fisik dan kimia dengan melakukan pengujian sensori, uji lipat, uji gigit, uji kekuatan gel, uji proksimat, uji protein larut garam, uji derajat putih dan uji WHC. Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) 3.3.5Pembuatan bakso ikanlayaran (Istiophorus sp.)

Bahan baku pembuatan bakso ikan menggunakan surimi dengan pencucian satu kali. Surimi yang akan digunakan ditimbang terlebih dahulu, kemudian dimasukan ke dalam food processor dan ditambahkan garam 2,5% sambil terus diaduk hingga terbentuk adonan yang lengket. Setelah itu, dilakukan penambahan bumbu seperti bawang merah goreng 2,5%, bawang putih 4% dan lada 1% yang kemudian diaduk, tambahkan tepung tapioka 10% lalu diaduk, minyak goreng 10% dan air es sedikit demi sedikit kemudian diaduk hingga homogen. Pengadukan adonan dilakukan selama 5 menit.

Analisis :

Penampakan, warna, aroma, tekstur, rasa, uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, derajat putih, WHC, proksimat dan PLG Surimi

Penimbangan

Pencampuran dengan garam 2,5% (b/b)

Homogenisasi dengan food processor

Pemanasan I suhu 45-50 OC (20 menit) Pemanasan II suhu 80-90 OC (30 menit)

Pencetakan dalam tabung stainless (diameter 3,25 cm; tinggi 3 cm)

(22)

Adonan yang dihasilkan dicetak menyerupai bola kecil dengan menggunakan tangan oleh karyawan yang sudah ahli dalam proses pencetakan bakso. Adonan yang telah dicetak kemudian dilakukan pemanasan dengan proses pemanasan dibagi menjadi 2 kali, yaitu pemanasan I dengan suhu 45-50 oC selama ± 5 menit dan pemanasan II dengan suhu 80-90oC selama ± 15 menit. Bakso yang dihasilkan didinginkan terlebih dahulu dan kemudian dilakukan analisis, baik analisis sensori, fisika maupun kimia. Selain itu, bakso ikan layaran yang telah dihasilkan kemudian dibandingkan dengan bakso ikan komersial 1 (bakso ikan dari Pelabuhan ratu) dan bakso ikan komersial 2 (bakso ikan dari swalayan). Analisis yang dilakukan terdiri dari uji sensori (penampakan, warna, tekstur, rasa, aroma), uji kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji lipat, uji gigit, analisis proksimat dan uji protein larut garam. Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.) Ikan layaran

Bakso ikan Surimi

Pengadonan

Pemanasan I suhu 45-50oC selama ± 5 menit Pemanasan II suhu 80-90oC selama ± 15 menit

Pendinginan suhu ruang Pencetakan bakso

Garam 2,5% Bawang merah goreng 2,5% Bawang putih 4% Lada 1%

Tepung tapioka 10% Minyak goreng 10% Air es

Analisis:

Penampakan, warna, aroma, rasa, tekstur, kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji lipat, uji gigit,

(23)

3.4 Prosedur Analisis

Analisis pada penelitian ini meliputi uji organoleptik, rendemen, fisika dan kimia. Analisis fisika yang dilakukan terdiri dari kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji lipat dan uji gigit. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat, protein larut garam dan pengukuran nilai pH.

3.4.1 Uji organoleptik (Rahayu 1998)

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan, panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan disebut skala hedonik dan dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya. Penelitian ini menggunakan sembilan skala hedonik yang menunjukkan tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan cara menyajikan bakso yang telah diberi kode (menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penampakan, termasuk uji lipat dan uji gigit. Parameter rasa dinilai pada saat memakan produk. Parameter warna dan aroma dinilai dengan melihat dan mencium aroma produk yang disajikan. Parameter tekstur dinilai dengan perabaan oleh lidah pada saat produk dimakan dan parameter kekenyalan dinilai berdasarkan kemudahan dalam melipat bakso ikan.

3.4.2 Rendemen daging dan surimi

Rendemen daging dihitung dengan cara membandingkan antara berat daging dengan berat ikan utuh. Ikan layaran utuh ditimbang sebagai berat awal (a). Kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut, sirip dan kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Selanjutnya rendemen daging dihitung dengan persamaan :

Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan berat daging lumat ikan yang digunakan. Daging lumat ikan yang digunakan

(24)

ditimbang sebagai berat awal (c). Kemudian daging lumat tersebut dicuci dan diperas lalu ditimbang sebagai berat akhir (d). Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan persamaan :

3.4.3 Analisis fisika

Analisis fisika yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji WHC, uji lipat dan uji gigit.

(1) Uji kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Granada 2011)

Pengukuran kekuatan gel dilakukan secara obyektif dengan menggunakan Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan bakso ikan dinyatakan dalam

gram force tiap cm2(gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan dibawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali dan hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel pada suatu bahan.

(2) Uji derajat putih (Park 1994 dalam Chaijan et al. 2004)

Derajat putih sampel dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu analisis warna secara obyektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur. Skala warna yang digunakan untuk mengukur tingkatan dari lightness L* adalah hitam (0) sampai cerah/terang (100), a* adalah merah (60) sampai hijau (-60) dan b* adalah kuning (60) sampai biru (-60). Bila ΔL* bernilai positif contoh lebih putih dibandingkan standar, sedangkan bila bernilai negatif artinya contoh lebih gelap dibandingkan standar. Bila Δa* positif artinya contoh lebih merah dibandingkan dengan standar, sedangkan bila Δa* negatif artinya contoh lebih hijau dibandingkan standar. Bila Δb* bernilai positif contoh lebih kuning dibandingkan standar, dan Δb* bernilai negatif artinya contoh

(25)

lebih biru dibandingkan standar. Nilai derajat putih atau whiteness dihitung dengan rumus:

(3) Uji lipat (Suzuki 1981)

Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu surimi dan bakso yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 4-5 mm. Potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya retakan pada bakso. Tingkat kualitas dan contoh lembar penilaian uji lipat dapat dilihat pada Lampiran 3.

(4) Uji gigit (Suzuki 1981)

Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk. Uji ini memberi taksiran secara obyektif dari seorang panelis terhadap produk, panelis yang melakukan pengujian ini sebanyak 30 orang. Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki vketebalan 5 mm. Tingkat kualitas uji lipat dan contoh lembar penilaian uji lipat dapat dilihat pada Lampiran 2.

(5) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Granada 2011) Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel sebanyak 0,3 gram diletakkan dikertas saring dan dijepit dengan carverpress, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman no 40. Luas area bebas yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam gel dan bakso yang terlepas) dapat dihitung sebagai berikut :

Derajat putih atau whiteness (%) = 100-[(100-L*)2 + a*2 + b*2]1/2

Berat air bebas =

% air bebas = berat air x 100% mg sampel

(26)

3.4.4 Analisis kimia

Analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), protein larut garam dan pengukuran nilai pH.

(1) Kadar air (AOAC 1995)

Prinsip analisis kadar air yaitu mengetahui jumlah air yang terdapat pada suatu bahan. Penetapan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Tahap pertama yang dilakukan adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven suhu 105 oC selama 30 menit, kemudian didinginkan selama 15 menit dalam desikator dan kemudian ditimbang sebagai berat cawan kering. Sampel sebanyak 5 gram dimasukan dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven selama 6 jam suhu 105 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang kembali. Perhitungan kadar air:

Keterangan : B = berat sampel (g)

B1 = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g) B2 = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g)

(2) Kadar abu (AOAC 1995)

Prinsip penetapan kadar abu adalah mengetahui sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 600 oC. Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator (15 menit) dan ditimbang beratnya. Sampel sebanyak 5 gram diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam tanur. Secara bertahap suhu tanur dinaikkan hingga mencapai suhu 600 oC selama 8 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit, setelah dingin cawan ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar air (%) = x 100%

(27)

(3) Kadar protein (AOAC 1995)

Penentuan kadar protein yaitu dengan mengukur kandungan nitrogen yang ada di dalam bahan makanan menggunakan metode Kjeldahl. Tiga tahapan yang dilakukan meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi.

1) Destruksi

Sampel ditimbang seberat 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec, lalu ditambahkan satu butir kjeltab dan 15 ml H2SO4 pekat ditambahkan

secara perlahan ke dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 0C selama 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. 2) Destilasi

Tahap ini dimulai dari memindahkan sampel dari tabung kjeltec ke alat destilasi kemudian mencuci tabung kjeltec dengan akuades lalu air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman dan dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4% yang

mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 1 % dengan perbandingan 2:1.

3)Titrasi

Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Pembacaan volume titran kemudian dilanjutkan dengan perhitungan kadar protein.

Perhitungan kadar protein dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(4) Kadar lemak (AOAC 1995)

Contoh diekstrak dengan pelarut heksana, kemudian pelarut yang digunakan diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh. Lemak tersebut kemudian ditimbang dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi soxhlet. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dihaluskan

Kadar N (%) = (ml HCL – ml blanko) x N HCL x 14,007x fp x 100% mg sampel

(28)

ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, lalu dialiri dengan air pendingin melalui kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Berat residu dalam labu lemak dinyatakan sebagai berat lemak. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

(5) Kadar karbohidrat (by difference)

Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan mengunakan rumus:

(6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Eryanto 2006)

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit pada suhu 10 oC. Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring whatman no 40. Filtrat ditampung dalam Erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 oC. Sebanyak 25 ml dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah:

Kadar lemak (%) = x 100%

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak)

(29)

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel B = ml titrasi HCl blanko W = berat sampel (g) FP = faktor pengenceran (7) Nilai pH (Suzuki 1981)

(30)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Organoleptik Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Penelitian ini menggunakan bahan baku ikan layaran (Istiophorus sp.) yang diperoleh dari TPI Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. Ikan layaran yang sudah diperoleh selanjutnya dilakukan pengujian orgenoleptik. Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu ikan hidup dan produk perikanan yang segar utuh. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji skor, yaitu menentukan tingkat mutu berdasarkan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 9 (Sembilan) sebagai nilai tertinggi dengan menggunakan lembar penilaian (SNI 2346:2011).

Parameter yang diuji pada pengujian organoleptik ikan segar ini terdiri dari mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau dan tekstur. Lembar

penilaian yang digunakan adalah lembar penilaian ikan segar menurut SNI 01-2729.1-2006. Adapun karakteristik organoleptik ikan layaran yang akan

digunakan memiliki bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan dan kornea agak keruh, insang mulai ada diskolorisasi, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih dan kurang transparan, sayatan daging kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang dan dinding perut daging utuh, bau netral dan tekstur daging ikan agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek tulang daging dari belakang.

4.2 Rendemen Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

(31)

untuk perhitungan rendeman memiliki berat sebesar 20000 gram. Rendemen ikan tubuh layaran dihitung dengan cara persentase perbandingan dari bagian tubuh ikan dengan berat ikan utuh. Rendemen dari tiap bagian ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Rendemen ikan layaran (Istiophorus sp.)

Rendemen terbesar pada tubuh ikan layaran adalah daging dengan nilai sebesar 44,49%. Rendahnya nilai rendemen daging yang diperoleh diduga karena ikan layaran memiliki bentuk tubuh memanjang, kepala berbentuk kerucut dengan paruh panjang, sirip punggung yang lebar seperti layar, banyaknya serat pada bagian daging ikan dan banyaknya bagian daging samping yang terdapat pada tubuh ikan yang cukup sulit untuk diambil. Selain itu, saat proses pemisahan daging dengan serat banyak daging yang terjatuh sehingga sekitar 3% dari tubuh ikan layaran tidak diketahui berupa apa.

Rendemen daging lumat dihitung dengan cara persentase perbandingan berat daging lumat dengan berat daging yang dihasilkan. Berat daging ikan layaran yang dihasilkan adalah sebesar 8898 gram dengan berat daging lumat yang dihasilkan sebesar 7724 gram, sehingga menghasilkan rendemen daging lumat sebesar 86,81 %. Hilangnya sebagian daging ikan setelah dilumatkan dapat dikarenakan adanya daging ikan yang tertinggal dalam grinder saat melakukan proses pelumatan daging.

(32)

menghasilkan berat surimi hasil pencucian 1 kali sebesar 2286 gram, sehingga menghasilkan nilai rendemen surimi sebesar 76,20%. Proses pencucian dapat menyebabkan berkurangnya rendemen yang dihasilkan. Berkurangnya rendemen pada frekuensi pencucian 1 kali adalah sebesar 23,8%. Menurut Venugopal et al. (1994), setelah mengalami poses pencucian maka akan menyebabkan semakin berkurangnya rendemen karena semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air, antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak dan darah. Menurut Poernomo et al. (2006), akibat adanya proses pemerasan, air yang berada dalam daging giling ikut tereduksi yang menyebabkan berkurangnya bobot daging dari setiap pemerasan, juga terdapatnya daging yang menempel pada kain saring. Menurut Astawan et al. (1996), air pada proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma, sedangkan pencucian menggunakan garam bertujuan untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin.

4.3 Komposisi Kimia Ikan Layaran(Istiophorus sp.)

Ikan layaran yang sudah diuji secara organoleptik kemudian dipreparasi untuk menghasilkan daging lumat. Daging lumat ikan layaran yang dihasilkan dilakukan pengujian berupa analisis proksimat. Analisis proksimat yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia daging lumat ikan layaran yang akan digunakan sebagai bahan baku. Hal ini dilakukan karena komposisi kimia ikan sebagai bahan baku sangat berperan terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Komposisi kimia daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.)

No. Komposisi Hasil (%)

1 Kadar air 79,11±0,25

2 Kadar abu 1,09±0,15

3 Kadar protein 12,43±0,02

4 Kadar lemak 0,39±0,02

5 Kadar karbohidrat 6,98±0,39

(33)

ikan layaran adalah 0,39%. Artinya ikan layaran yang akan digunakan termasuk dalam kelompok ikan kurus. Menurut Adawyah (2008), tidak semua jenis ikan memiliki kandungan lemak yang tinggi, jika kandungan lemak ikan kurang dari 0,5% termasuk dalam kelompok ikan kurus. Kadar abu merupakan komponen penyususn terkecil kedua sebelum kadar lemak. Kadar abu yang terdapat pada daging lumat ikan layaran adalah 1,09%. Kandungan protein pada daging lumat ikan layaran sebesar 12,43%. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar (Adawyah 2008). Kadar karbohidrat ikan layaran adalah 6,98%. Kadar karbohidrat yang dihasilkan merupakan perhitungan dengan cara pengurangan 100% dengan total rata-rata komponen lain (air, abu, protein dan lemak). Metode ini sering disebut sebagai metode by difference.

4.4 Kadar Air Surimi Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat memberikan pengaruh terhadap karakteristik penampakan, tekstur dan cita rasa (Winarno 2008). Kadar air surimi akan mempengaruhi kekuatan gel, pH, sejumlah garam yang ditambahkan, waktu dan proses pemanasan (Utomo 2004). Kadar air yang dihasilkan pada surimi ikan layaran dengan frekuensi pencucian sebanyak 1 kali adalah 78,33%. Nilai kadar air surimi ini termasuk dalam kategori tinggi karena menurut Lanier (1992), standar mutu kadar air surimi adalah 75%. Nilai kadar air surimi yang dihasilkan ini hampir sama dengan hasil penelitian Haryati (2001), yaitu 77,55% dan termasuk dalam kategori tinggi.

(34)

4.5 Karakteristik Gel Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Penelitian pembuatan gel ikan bertujuan untuk mengetahui karakteristik sensori, fisika dan kimia dari produk gel ikan layaran dengan bahan baku surimi frekuensi pencucian 1 kali. Penelitian ini berupa pengujian karakteristik sensori (warna, penampakan, aroma, rasa dan tekstur), karakteristik fisik (kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji lipat dan uji gigit) dan karakteristik kimia (analisis proksimat dan protein larut garam).

4.5.1 Karakteristik sensori

Karakteristik sensori gel ikan layaran yang dihasilkan dapat diketahui dengan cara melakukan pengujian secara sensori. Pengujian sensori merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk perikanan yang sudah mengalami proses pengolahan. Analisis sensori yang dilakukan adalah uji hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk dengan menggunakan lembar penilaian (SNI 2346:2011). Tingkatan-tingkatan dalam lembar penilaian disebut sebagai skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka yang semakin naik menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). Hasil analisis sensori gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis sensori gel ikan layaran (Istiophorus sp.) No. Parameter Hasil Kriteria

1 Warna 6 Agak suka

2 Penampakan 6 Agak suka

3 Aroma 5 Netral

4 Tekstur 6 Agak suka

5 Rasa 5 Netral

Hasil analisis sensori pada Tabel 4 menunjukkan bahwa parameter warna, penampakan dan tekstur gel ikan layaran hasil penelitian menghasilkan nilai rata-rata sebesar 6 (agak suka). Hasil analisis sensori parameter aroma dan rasa gel ikan layaran hasil penelitian menghasilkan nilai rata-rata sebesar 5 (netral). 4.5.1.1Warna

(35)

konsumen dan paling cepat pula memberi kesan disukai atau tidak disukai adalah sifat warna (Soekarto 1990). Berdasarkan uji hedonik, parameter warna gel ikan layaran menghasilkan nilai rata-rata sebesar 6 (agak suka). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pusparani (2003) yang menghasilkan nilai 6 (agak suka) pada parameter warna gel ikan daging merah ikan tuna pada pencucian 1 kali. Warna yang dihasilkan pada gel ikan diduga dipengaruhi oleh adanya proses pencucian sebanyak 1 kali yang dapat melarutkan darah, lemak dan kotoran pada daging ikan. Proses pencucian dapat menyebabkan warna daging yang lebih putih (Suzuki 1981). Menurut Haryati (2001), perlakuan pencucian surimi secara umum mampu memperbaiki nilai penampakan yaitu warna gel ikan yang dihasilkan menjadi lebih putih. Hal tersebut dikarena selama proses pencucian akan terlarut zat-zat yang dapat mempengaruhi warna gel seperti darah, kotoran dan pigmen pada daging.

4.5.1.2 Penampakan

Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual (Soekarto 1985). Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata penampakan gel ikan layaran hasil penelitian adalah 6. Artinya penampakan gel ikan tersebut berada pada kriteria agak suka. Sedangkan menurut hasil penelitian Haryati (2001), nilai rata-rata penampakan gel ikan layaran dari surimi pencucian 1 kali bernilai 7 (suka). Perbedaan ini dapat dikarenakan pengujian yang digunakan merupakan pengujian yang bersifat hedonik atau tergantung pada tingkat kesukaan panelis sehingga setiap panelis akan memberikan penilaian yang berbeda-beda tergantung tingkat kesukaannya. Menurut Haryati (2001), perlakuan pencucian surimi secara umum mampu memperbaiki nilai penampakan karena selama pencucian terlarut zat-zat yang dapat mempengaruhi warna gel seperti darah, kotoran dan pigmen pada daging. 4.5.1.3Aroma

(36)

atau tidak (Soekarto 1985). Nilai rata-rata aroma gel ikan layaran hasil penelitian adalah 5. Artinya gel ikan yang dihasilkan memiliki kriteria netral. Hasil ini menunjukkan bahwa larutnya komponen-komponen flavor yang terkandung dalam daging ikan pada proses pencucian 1 kali masih berada dalam tingkat penerimaan. Menurut penelitian Haryati (2001), nilai rata-rata penerimaan aroma gel ikan layaran pada pencucian 1 kali bernilai 6 (agak suka). Perbedaan ini dapat disebabkan adanya perbedaan tingkat kesukaan pada panelis.

Aroma gel ikan dapat dipengaruhi oleh penambahan bumbu-bumbu dan proses pencucian pada pembuatan surimi sebagai bahan bakunya. Proses pembuatan gel ikan tidak ada penambahan bumbu-bumbu lain kecuali garam. Garam yang ditambahkan hampir tidak berbau sehingga ketika diaplikasikan ke dalam produk gel ikan tidak menimbulkan aroma yang spesifik. Pencucian yang pada pembuatan surimi dilakukan untuk menghilangkan darah, lemak yang dapat menyebabkan warna dan bau yang tidak disukai (Astawan et al. 1996).

4.5.1.4Tekstur

Tekstur merupakan suatu sifat karakteristik kelenturan dari produk yang berbentuk padat (SNI 2346:2011). Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gel ikan karena memiliki sifat elastisitas dan kekenyalan (Soekarto 1985). Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata tekstur gel ikan yang dihasilkan adalah 6 (agak suka). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2001), gel ikan layaran pada pencucian 1 kali bernilai 6 (agak suka). Hasil ini dapat dipengaruhi oleh adanya proses pencucian selama pembuatan surimi yang dapat membentuk tekstur yang kompak. Proses pencucian dapat menyebabkan tekstur semakin baik karena pada saat proses pencucian akan terjadi penghilangan protein larut air yang dapat menghambat pembentukan gel dan dapat meningkatkan protein larut garam. Menurut Djazuli et al. (2009), protein larut garam berperan penting dalam menentukan mutu fungsional surimi, terutama pembentukan gel dan tekstur.

4.5.1.5Rasa

(37)

mempunyai rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan diterima oleh konsumen walaupun warna dan aromanya baik (Winarno 1997). Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata rasa gel ikan layaran yang dihasilkan adalah 5 (netral). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2001), nilai rata-rata gel ikan layaran dari pencucian 1 kali menghasilkan nilai 5 (netral). Hasil ini dapat dipengaruhi oleh adanya frekuensi pencucian pada pembuatan surimi yang dilakukan sebanyak sebanyak 1 kali. Frekuensi pencucian pada pembuatan surimi bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki flavor (Toyoda et al. 1992). Pada pembuatan gel ikan hanya menggunakan garam

dan tidak menggunakan tambahan bumbu-bumbu lain, sehingga rasa yang dihasilkan masih berada pada kriteria netral. Garam yang ditambahkan sebesar 2,5% (b/b) pada saat pencampuran berfungsi bukan sebagai bumbu, melainkan untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan mengekstrak aktomiosin sehingga terbentuk sol (Astawan et al. 1996).

4.5.2Karakteristik fisika

Sifat-sifat fisika biasanya banyak digunakan untuk perincian mutu komoditas dan standarisasi mutu karena sifat-sifat fisik lebih mudah dan lebih cepat dikenali dibandingkan dengan sifat kimia, mikrobiologik dan fisiologik (Soekarto 1990). Analisis fisika yang dilakukan terdiri dari kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji lipat dan uji gigit. Hasil analisis fisika gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil analisis fisika gel ikan layaran (Istiophorus sp.)

No. Parameter Hasil

1 Kekuatan gel (gf) 1870,05±92,56 2 Derajat putih (%) 68,11±0,84

3 WHC (%) 59,45±0,61

4 Uji lipat 3

5 Uji gigit 7

(38)

4.5.2.1 Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Daya tahan pecah gel merupakan batas elastis gel yang

menunjukkan besarnya daya tahan gel terhadap deformasi saat gel menjadi sobek (Matz 1959 diacu dalam Poernomo et al. 2006). Berdasarkan Tabel 5, kekuatan

gel yang dihasilkan pada gel ikan layaran hasil penelitian adalah 1870,05 gf. Nilai kekuatan gel yang dihasilkan sudah termasuk dalam kriteria yang tinggi. Menurut Uju et al. (2004), proses pencucian pertama sudah dapat meningkatkan kekuatan gel yang tajam dan sudah dapat mencapai tingkat maksimum.

Tingginya kekuatan gel dapat dikarenakan adanya pengaruh peningkatan kandungan protein miofibril dan rendahnya kandungan lemak dalam daging. Protein ini mempunyai kemampuan pembentukan gel yang terbentuk dengan adanya proses penggilingan, pemanasan dan pemberian garam (Pomeranz 1991 diacu dalam Uju et al. 2004). Adanya penambahan garam dan proses pemanasan pada pembuatan gel ikan menyebabkan protein miofibril larut dan kemudian membentuk gel. Menurut Reinheimer et al. (2010), peningkatan konsentrasi protein dapat menyebabkan peningkatan kekuatan gel serta kandungan lemak yang relatif tinggi dapat menurunkan kekuatan gel. Proses pencucian pada pembuatan surimi dapat melarutkan protein sarkoplasma serta zat-zat lain sebagai penghambat pembentukan gel, sedangkan bagian yang tidak terlarut adalah protein miofibril yang berperan dalam pembentukan gel. Komponen-komponen yang dapat mengganggu pembentukan gel terutama lemak, protein larut air (sarkoplasma), darah dan kotoran-kotoran lainnya (Suzuki 1981).

4.5.2.2 Derajat putih

(39)

proses pencucian dilakukan untuk mendapatkan warna putih dan menghilangkan protein sarkoplasma yang mengganggu pembentukan gel. Menurut Poernomo et al. (2006), saat proses pencucian dan pemerasan berlangsung, semua kotoran,

lemak, darah dan protein sarkoplasma dapat terlarut bersama dengan air pencucian sehingga warna gel ikan semakin bersih dan putih.

4.5.2.3 Water holding capacity (WHC)

Daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada

dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau kemampuan

struktur bahan untuk menahan air bebas dari struktur tiga dimensi protein

(Zayas 1997 diacu dalam Chairita 2008). Nilai rata-rata WHC gel ikan layaran hasil

penelitian menunjukkan nilai sebesar 59,45%. Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun meningkat. Menurut Kramlich (1971) diacu dalam Granada (2011), daya ikat air sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan garam. Jumlah garam yang ditambahkan dalam pembuatan emulsi daging berkisar antara 1-5%. Semakin banyak garam yang digunakan maka dapat mengakibatkan tingginya daya mengikat air. Hal ini dapat disebabkan karena garam dapat memperluas ruang antar filament dalam protein miofibril sehingga terjadi pengembangan diameter miofibril dan menyebabkan semakin banyaknya air yang diikat oleh protein miofibril (Ockerman 1983 diacu dalam Poernomo et al. 1999). Menurut Huff dan Lonergan (2005), peningkatan nilai kadar air berhubungan dengan menurunnya kemampuan bahan dalam mengikat air sehingga kekuatan gel akan menurun. Surimi yang digunakan sebagai bahan baku mengalami penurunan kadar air sehingga dapat meningkatkan daya mengikat air dan kekuatan gel.

4.5.2.4 Uji lipat

(40)

lipat sebesar 3,5. Hasil tersebut diduga akibat menurunnya sifat kelarutan protein miofibril sehingga hanya sebagian protein yang terekstrak oleh garam. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Penurunan kelarutan protein terbukti pada saat penggilingan daging surimi dengan penambahan garam, pasta ikan yang terbentuk bergerombol sehingga mempersulit pencetakan. Kejadian tersebut menyebabkan adanya rongga-rongga udara yang dapat mempengaruhi nilai uji lipat gel ikan yang dhasilkan (Haryati 2001). Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Santoso et al. 1997). Hasil uji lipat gel ikan masih termasuk dalam kisaran mutu cukup baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Lee (1984) yang menyatakan bahwa uji pelipatan dengan nilai tiga menunjukkan tingkat elastisitas yang cukup baik.

4.5.2.5 Uji gigit

(41)

4.5.3Karakteristik kimia

Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui karakteristik kimia dari gel ikan layaran dari bahan baku surimi frekuensi pencucian 1 kali. Analisis kimia yang dilakukan terdiri dari analisis proksimat dan protein larut garam. Hasil analisis kimia gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisis kimia gel ikan layaran (Istiophorus sp.)

No. Parameter Hasil (%)

1 Kadar air 73,08±0,14

2 Kadar abu 2,96±0,00

3 Kadar protein 13,01±0,00

4 Kadar lemak 0,60±0,00

5 Kadar karbohidrat 10,35±0,14 6 Protein larut garam 3,87±0,03

Tabel 6 menunjukkan hasil analisis proksimat dan protein larut garam pada gel ikan layaran dari surimi frekuensi pencucian 1 kali. Berdasarkan data diatas, diketahui bahwa gel ikan layaran hasil penelitian memiliki kadar air sebesar 73,08%, kadar abu 2,96%, kadar protein 13,01%, kadar lemak 0,60%, kadar karbohidrat 10,35% dan kadar protein larut garam sebesar 3,87%.

4.5.3.1 Kadar air

(42)

4.5.3.2 Kadar abu

Bahan makanan terdiri dari bahan organik dan air sekitar 95%, sisanya terdiri dari unsur mineral yang dikenal sebagai unsur anorganik (kadar abu). Bahan-bahan organik terbakar saat proses pembakaran, namun zat anorganiknya tidak karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Nilai kadar abu gel ikan dari surimi pencucian 1 kali dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar abu yang dihasilkan adalah 2,96%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2001) yang menghasilkan nilai kadar abu sebesar 2,49% pada gel ikan layaran dari surimi pencucian 1 kali. Kandungan abu menggambarkan jumlah mineral total yang terdapat pada makanan. Kandungan abu dapat berasal dari mineral makro atau zat organik pada ikan dan garam yang ditambahkan (Winarno 2008). Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium (Rosa et al. 2007). Garam mempunyai unsur-unsur mineral seperti NaCl, MgCl, Na2SO4, CaCl2 hingga KCl sehingga dapat

meningkatkan kadar abu bahan pangan yang ditambahkan garam (Budiono 2010).

4.5.3.3 Kadar protein

(43)

4.5.3.4 Kadar lemak

Lemak merupakan bahan penghasil energi terbesar dibandingkan dengan unsur gizi lainnya. Lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan kadar karbohidrat dan kadar protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal/gram, sedangkan satu gram karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram (Winarno 2008). Berdasarkan Tabel 6, kadar lemak gel ikan layaran hasil penelitian adalah 0,60%. Kadar lemak yang rendah dikarenakan kadar lemak merupakan kandungan gizi terkecil dari kelima kandungan gizi yang lainnya. Rendahnya kadar lemak yang dihasilkan diduga karena adanya proses pencucian pada pembuatan surimi yang digunakan sebagai bahan baku. Proses pencucian dapat menghilangkan komponen-komponen pengganggu seperti darah, lemak dan substansi lainnya (Kaba 2006). Kandungan lemak pada daging pun akan semakin menurun ketika frekuensi pencucian ditingkatkan (Pattaravivat et al. 2008). Pengurangan kadar lemak pada proses pembuatan gel sangat diperlukan karena lemak termasuk salah satu faktor yang dapat menghambat pembentukan gel (Nielsen dan Pigott 1994).

4.5.3.5 Kadar karbohidrat

(44)

4.5.3.6 Protein Larut Garam (PLG)

Protein larut garam (PLG) yaitu protein miofibril yang terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi tropomiosin, troponin, dan aktinin. Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam pembentukan gel. Protein larut garam sangat berperan dalam proses pembentukan gel, diakibatkan terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981). Berdasarkan data pada Tabel 6, nilai rata-rata protein larut garam gel ikan hasil penelitian adalah sebesar 3,87%.

Kandungan protein larut garam atau miofibril dapat dipengaruhi oleh proses pencucian pada pembuatan surimi. Pada saat proses pencucian diduga sebagian protein miofibril dapat ikut terlarut dalam air pencucian dan ikut menempel pada kain saring blacu pada saat pemerasan. Menurut Suzuki (1981), proses pencucian tidak hanya melarutkan protein sarkoplasma, tetapi juga menyebabkan protein ikan seperti miofibril dan stroma dalam tubuh ikan mengalami degradasi menjadi komponen yang lebih sederhana. Komponen sederhana ini kemudian larut bersama air. Namun, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Pusparani (2003) dengan nilai PLG sebesar 1,13% pada pencucian 1 kali daging merah ikan tuna, hasil ini masih tergolong tinggi.

4.6Karakteristik Bakso Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

(45)

4.6.1Karakteristik sensori

Karakteristik sensori bakso ikan dapat diketahui dengan cara melakukan pengujian organoleptik secara sensori. Analisis sensori yang dilakukan adalah uji hedonik, yang digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk dengan menggunakan lembar penilaian (SNI 2346:2011). Menurut SPI-Kan-PPO-1978 diacu dalam Chaidir (2001), batas pengolahan nilai minimum suatu produk adalah 5, artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai sama atau lebih kecil dari 5, maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar. Hasil analisis sensori bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil analisis sensori bakso ikan Parameter Bakso ikan

layaran Tabel 7 menunjukkan bahwa bakso ikan layaran hasil penelitian memiliki

nilai rata-rata uji hedonik yang sama pada parameter warna dan penampakan, sedangkan pada parameter aroma, tekstur dan rasa menghasilkan nilai rata-rata yang lebih rendah. Bakso ikan komersial 1 memiliki nilai rata-rata uji hedonik yang paling rendah dari setiap parameter pengujian jika dibandingkan dengan bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial 2.

4.6.1.1 Warna

Warna merupakan salah satu aspek penting bagi makanan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dibeli apabila memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno 1997). Menurut SNI 01-3819-1995, bakso ikan harus mempunyai warna yang normal dan putih tanpa warna asing lainnya.

(46)

sebesar 5 (netral). Hasil ini menunjukkan bahwa bakso ikan layaran pada penelitian ini sudah memiliki karakteristik sensori warna yang sama dengan bakso ikan komersial yang banyak dijual. Padahal pembuatan bakso ikan layaran pada penelitian ini hanya menggunakan surimi frekuensi pencucian 1 kali dan tidak menggunakan bahan kimia untuk menstabilkan warna seperti yang ditambahkan pada pembuatan bakso ikan komersial 2, yaitu berupa skuestran. Sekuestran atau zat pengikat logam merupakan bahan penstabil yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan, senyawa ini dapat membantu menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Rendahnya tingkat penerimaan warna bakso ikan komersial 1 dikarenakan bakso tersebut tidak menggunakan bahan baku surimi yang dalam pembuatannya dilakukan proses pencucian, tetapi menggunakan bahan baku berupa daging lumat ikan. Proses pencucian pada pembuatan surimi dapat memperbaiki warna daging ikan (Irianto dan Giyatmi 2009), sehingga bakso ikan yang dihasilkan dapat mempunyai warna putih sesuai dengan standar SNI 01-3819-1995. Menurut Astawan et al. (1996) dalam penelitiannya juga meyatakan bahwa tahap pencucian memberikan warna yang lebih putih.

4.6.1.2 Penampakan

Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual. Meskipun penampakannya tidak menggunakan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen (Soekarto 1985).

(47)

panelis menunjukkan respon kesukaan terhadap bentuk bakso yang bulat utuh, halus, cemerlang (tidak kusam), dan menarik (menimbulkan selera). Pembuatan bakso secara manual juga dapat ikut mempengaruhi respon panelis terhadap penampakan. Walaupun bakso ikan layaran pada penelitian ini dibuat secara manual, tetapi bakso ikan yang dihasilkan ini sudah dapat memberikan hasil yang baik. Hal ini sudah termasuk dalam keunggulan produk bakso ikan layaran yang dihasilkan.

4.6.1.3 Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak menggunakan berbagai ramuan atau campuran

empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 2008). Menurut SNI 01-3819-1995, bakso ikan harus memiliki aroma normal khas ikan.

Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa bakso ikan layaran hasil penelitian memiliki nilai rata-rata aroma sebesar 6 atau agak suka. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Uju et al. (2004) dengan nilai aroma bakso ikan layaran pencucian 1 kali sebesar 5 atau netral. Bakso ikan komersial 1 mempunyai nilai rata-rata sebesar 4 atau agak tidak suka dan bakso ikan komersial 2 sebesar 7 atau suka. Hasil ini menunjukkan bahwa bakso ikan layaran yang dihasilkan masih berada pada tingkat penerimaan kesukaan panelis dan telah lulus uji organoleptik. Rendahnya nilai aroma bakso ikan komersial 1 diduga karena bau amis daging lumat ikan yang digunakan masih tercium menyengat, sehingga panelis kurang menyukainya. Bakso ikan komersial 1 ini juga tidak menggunakan surimi sebagai bahan bakunya, dimana bahan baku yang digunakan tersebut hanya dicuci dan tidak menggunakan cara pencucian untuk dapat menghasilkan surimi. Menurut Fardiaz (1985), fungsi pencucian antara lain adalah membersihkan darah, lendir, protein yang larut dalam air (sarkoplasma), pigmen dan untuk memperbaiki bau yang dihasilkan.

4.6.1.4 Tekstur

(48)

serat daging, tanpa duri atau tulang, tidak lembek, tidak basah berair serta tidak rapuh (Wibowo 2006). Berdasarkan SNI 01-3819-1995, bakso ikan harus mempunyai tekstur yang kenyal.

Nilai rata-rata tekstur bakso ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai rata-rata tekstur bakso ikan layaran hasil penelitian adalah 6 atau agak suka. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Uju et al. (2004) dengan nilai tekstur sebesar 5 atau netral. Hasil tersebut juga berbeda dengan bakso ikan komersial 1 dengan nilai rata-rata tekstur sebesar 4 atau agak tidak suka, sedangkan nilai rata-rata tekstur bakso ikan komersial 2 sebesar 7 atau suka. Tingginya nilai rata-rata tekstur bakso ikan komersial 2 dapat dikarenakan adanya penambahan sekuestran. Sekuestran merupakan bahan tambahan makanan yang dapat membantu menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial 2 memiliki tekstur yang lebih baik karena pengaruh penggunaan surimi sebagai bahan bakunya. Tekstur pada bakso ikan dapat dipengaruhi oleh kandungan protein miofibril. Pada proses pencucian dalam pembuatan surimi, protein sarkoplasma akan terlarut sehingga kandungan protein miofibril akan meningkat. Menurut Djazuli et al. (2009), protein larut garam berperan sangat penting dalam menentukan mutu fungsional surimi, terutama pembentukan gel dan tekstur.

4.6.1.5 Rasa

Gambar

Gambar 1 Ikan layaran (Istiophorus sp.)
Gambar 2 Mekanisme pembentukan gel ikan  Sumber : Suzuki (1981)
Tabel 2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)
Gambar 3 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini benuium unl~rk mendapatkan bakso ikan dengan invama potih serta tektur yang kompak d m kenyal dengan cara perla6uan pencucian pada bahan intermediet b a

Tingkat kekerasan bakso ikan dinyatakan dalam gram force tiap cm 2 (gf/cm 2 ) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan surimi pada suhu –15 o C selama 4 minggu berpengaruh nyata terhadap perubahan kekuatan gel bakso ikan yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi pencucian terhadap kualitas bakso ikan Gabus serta menentukan frekuensi pencucian yang tepat dan

Selain bahan baku dari ikan segar, bakso juga dapat dibuat dari produk yang sudah setengah jadi yang dikenal dengan nama Suzimi (daging ikan lumat).. Jika digunakan bahan baku

Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai warna gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,73 dibandingkan penelitian lain pada warna gel daging merah ikan tuna mata besar

Kadar lemak surimi cucut dengan perlakuan pencucian daging lumat dua, empat, dan enam kali, semuanya dibawah dua persen sehingga cucut dapat diolah menjadi surimi dan

Kadar lemak manyung dan surimi manyung dengan perlakuan pencucian daging lumat satu, dua, tiga, empat, dan lima kali, semuanya dibawah dua persen sehingga