KEANEKARAGAMAN HAYATI PENYAKIT-PENYAKIT
YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR PADA TANAMAN
JAGUNG (Zea mays L.) DI DATARAN TINGGI
DAN RENDAH DI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH:
CHRISTIN M.E DAMANIK
060302044
HPT
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEANEKARAGAMAN HAYATI PENYAKIT-PENYAKIT
YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR PADA TANAMAN
JAGUNG (Zea mays L.) DI DATARAN TINGGI
DAN RENDAH DI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH:
CHRISTIN M.E DAMANIK
060302044
HPT
Skripsi adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRACT
Christin Maria Eleonora Damanik ”Biodiversity of Diseases Caused by
Fungy in Corn Plants (Zea mays L.) in Highland and Lowland at North
Sumatera”, supervised by Lisnawita and Alm. Kamal Arifin. This research was
held in Purwobinangun and Namoukur, Langkat, approximetely ± 118 m from
the sea surface and Guru Kinayan, Karo, approximetely ± 1004 m from the sea
surface. This research used survey method. Survey was using random sampling
for vegetative phase & generative phase. The parameters were observed are the
kind of diseases and the percentage of diseases attack. The result showed that
diseases in highland are Nothern Leaf Blight (Exserohilum turcicum), Corn Smut
(Puccinia polysora), Gibberella Ear Rot (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme)
and in lowland are Peronosclerospora maydis, Gray Leaf Spot (Bipolaris maydis),
Diplodia Ear Rot (Diplodia maydis). The percentage of diseases attack from
highest until bottommost are 2,54 %, 1,94 %, 0,29 % and in lowland are 1,46 %,
ABSTRAK
Christin Maria Eleonora Damanik ” Keanekaragaman Hayati Penyakit –
Penyakit yang disebabkan oleh jamur Pada Tanaman Jagung (Zea mays L. ) di
Dataran Tinggi dan Rendah di Sumatera Utara” dibawah bimbingan Lisnawita.
Penelitian ini dilaksanakan di Purwobinangun dan Namoukur, Langkat dengan
ketinggian ± 118 mdpl dan Guru Kinayan, Karo dengan ketinggian ± 1004 mdpl.
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan cara mengamati langsung
tanaman jagung yang terserang penyakit baik pada fase vegetatif dan generatif di
lapangan. Parameter yang diamati adalah jenis penyakit dan persentase serangan.
Hasil penelitian menunjukkan penyakit-penyakit yang terdapat pada dataran tinggi
adalah hawar daun (Exserohilum turcicum), karat (Puccinia polysora), busuk
tongkol (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme) sedangkan pada dataran rendah
adalah bulai (Peronosclerospora maydis), bercak daun (Bipolaris maydis), busuk
tongkol (Diplodia maydis). Persentase serangan penyakit dari yang tertinggi
sampai terendah pada dataran tinggi berturut-turut adalah 2,54 %, 1,94 %, 0,29 %
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat dan kasihNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Adapun judul dari skripsi ini adalah ” KEANEKARAGAMAN HAYATI
PENYAKIT-PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR PADA
TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) DI DATARAN TINGGI DAN
RENDAH DI SUMATERA UTARA“ yang merupakan salah satu syarat untuk
dapat menempuh ujian sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen pembimbing yakni
Ibu Dr. Lisnawita, SP, MSi selaku ketua dan Bapak Ir. Kasmal Arifin, MSi selaku
anggota dan Bapak Budi Purba, SP selaku pembimbing lapangan serta teman –
teman yang telah banyak memberikan saran dan arahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi
ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Medan, September 2010
RIWAYAT HIDUP
Christin Maria Eleonora Damanik, dilahirkan di Medan pada tanggal
25 Desember 1987, puteri dari Ayah Drs. J.H Damanik dan Ibu Dra. R. Pardede.
Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Riwayat Pendidikan
1. Tahun 2000 lulus dari SD TRI RATNA Sibolga
2. Tahun 2003 lulus dari SLTP TRI RATNA Sibolga
3. Tahun 2006 lulus dari SMA TRI RATNA Sibolga
4. Tahun 2006 penulis lulus di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB.
Pengalaman Kegiatan Akademis
1. Asisten di Laboratorium Epidemiologi Penyakit Tumbuhan tahun 2009
2. Anggota Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman (IMAPTAN)
3. Mengikuti Seminar Ilmiah Dies Natalis Fakultas Pertanian USU Ke-52
Tahun 2008
4. Mengikuti Seminar Nasional ”Tindak Lanjut Pembangunan Pertanian
Pasca Swasembada Beras 2008” Tahun 2009
5. Melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTPN III Kebun
Rambutan Tebing Tinggi Bulan Juni – Juli 2010.
6. Melaksanakan Penelitian di Kabupaten Langkat dan Karo, dan di
Laboratorium Penyakit Tumbuhan Departemen Hama dan Penyakit
DAFTAR ISI
Penyakit-penyakit di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi...6
Peranan Lingkungan dalam proses epidemiologi...25
Peubah yang diamati
Jenis Penyakit...29 Intensitas Serangan Penyakit...29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Jenis Penyakit...31
Fase Vegetatif dan Generatif di Dataran Rendah
Bulai (Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw)………31 Bercak Daun (Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker)……….33 Busuk Tongkol (Diplodia maydis Schwabe)...36
Fase Vegetatif dan Generatif di Dataran Tinggi
Karat Daun (Puccinia sorghi Schw dan P. Polysora Underw)…..37 Hawar Daun (Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs)….38
Busuk Tongkol (Gibberella zeae Schw dan Fusarium moniliforme)...41
Persentase Serangan Penyakit...43
KESIMPULAN...45
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Peronosclerospora maydis... 7
2 Gejala serangan P. maydis………... 8
3 Puccinia sp……… 10
4 Gejala Serangan Puccinia sp………. 11
5 Exserohilum turcicum………... 13
6 Gejala Serangan E. turcicum……….. 14
7 Gejala Serangan Ustilago maydis………16
8 Bipolaris maydis………..18
9 Gejala Serangan Bipolaris maydis………...19
10 Diplodia maydis... 21
11 Gejala Serangan Busuk Tongkol pada Daun ...22
12 Gejala Serangan Busuk Tongkol...………..22
13 Gejala Serangan MCDV……….24
14 Gejala Serangan Bulai di Dataran Rendah……….32
15 Pengambilan Sampel Bulai di lapangan………..33
16 Peronosclerospora maydis secara mikroskopis………..33
17 Gejala Serangan Bipolaris maydis di Lapangan………34
18 Bipolaris maydis dalam Media PDA…….………35
19 Pengamatan mikroskopis Bipolaris maydis ………..35
21 Diplodia maydis dalam media PDA ………...………...37
22 Diplodia maydis mikroskopis………..38
23 Gejala Serangan Karat Daun di Lapangan...………...39
24 Gejala Serangan Hawar Daun di Lapangan……….40
25 Exserohilum turcicum dalam Media PDA………..41
26 E. turcicum di bawah mikroskop………..41
27 Gejala Serangan Fusarium graminarium……….42
28 Fusarium graminarium dalam Media PDA………43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Tempat Penelitian di Gurukinayan………. 48
2 Tempat Penelitian di Langkat………. 48
3 Panen di Langkat………. 49
4 Panen di Gurukinayan………. 49
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Persentase Serangan Penyakit……… 43
ABSTRACT
Christin Maria Eleonora Damanik ”Biodiversity of Diseases Caused by
Fungy in Corn Plants (Zea mays L.) in Highland and Lowland at North
Sumatera”, supervised by Lisnawita and Alm. Kamal Arifin. This research was
held in Purwobinangun and Namoukur, Langkat, approximetely ± 118 m from
the sea surface and Guru Kinayan, Karo, approximetely ± 1004 m from the sea
surface. This research used survey method. Survey was using random sampling
for vegetative phase & generative phase. The parameters were observed are the
kind of diseases and the percentage of diseases attack. The result showed that
diseases in highland are Nothern Leaf Blight (Exserohilum turcicum), Corn Smut
(Puccinia polysora), Gibberella Ear Rot (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme)
and in lowland are Peronosclerospora maydis, Gray Leaf Spot (Bipolaris maydis),
Diplodia Ear Rot (Diplodia maydis). The percentage of diseases attack from
highest until bottommost are 2,54 %, 1,94 %, 0,29 % and in lowland are 1,46 %,
ABSTRAK
Christin Maria Eleonora Damanik ” Keanekaragaman Hayati Penyakit –
Penyakit yang disebabkan oleh jamur Pada Tanaman Jagung (Zea mays L. ) di
Dataran Tinggi dan Rendah di Sumatera Utara” dibawah bimbingan Lisnawita.
Penelitian ini dilaksanakan di Purwobinangun dan Namoukur, Langkat dengan
ketinggian ± 118 mdpl dan Guru Kinayan, Karo dengan ketinggian ± 1004 mdpl.
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan cara mengamati langsung
tanaman jagung yang terserang penyakit baik pada fase vegetatif dan generatif di
lapangan. Parameter yang diamati adalah jenis penyakit dan persentase serangan.
Hasil penelitian menunjukkan penyakit-penyakit yang terdapat pada dataran tinggi
adalah hawar daun (Exserohilum turcicum), karat (Puccinia polysora), busuk
tongkol (Gibberella zeae, Fusarium moniliforme) sedangkan pada dataran rendah
adalah bulai (Peronosclerospora maydis), bercak daun (Bipolaris maydis), busuk
tongkol (Diplodia maydis). Persentase serangan penyakit dari yang tertinggi
sampai terendah pada dataran tinggi berturut-turut adalah 2,54 %, 1,94 %, 0,29 %
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman purba. Hal ini ditunjukkan dari
sisaan kelobot yang terunut sampai sekitar 5000 SM yang ditemukan di
penggalian sejarah gua Tehuacan, Meksiko. Domestikasi tanaman ini diperkirakan
telah dimulai pada kurun waktu tersebut (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Jagung adalah sayuran yang penting dan popular khususnya Amerika
Serikat. Di negara ini setiap tahun lahan seluas 25000 Ha ditanami jagung manis.
Amerika Utara mendominasi produksi jagung manis dunia. Kepopuleran jagung
meningkat dengan pesat di Eropa dan Asia khususnya Jepang dan China, yang
ditandai dengan produksinya yang terus meluas (Splittstoesser, 1984).
Jagung merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi kehidupan manusia
dan hewan. Jagung mempunyai kandungan gizi dan serat kasar yang cukup
memadai sehingga jagung dapat dijadikan bahan makanan pokok pengganti beras.
Kandungan zat gizi yang terdapat dalam jagung antara lain protein, lemak,
karbohidrat dan kalsium (Iskandar, 2003).
Kebutuhan akan konsumsi jagung terus meningkat. Hal ini didasarkan
pada makin meningkatnya tingkat konsumsi perkapita per tahun dan semakin
meningkatnya jumlah penduduk Indonesia (Anonimus d, 2010). Produktivitas
jagung mulai meningkat relatif cepat setelah tahun 1980a n. Di Sulawesi Selatan
yang sebagian penduduknya mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok,
Di Sumatera Utara dan Lampung, produktivitas jagung meningkat relatif
cepat. Pada tahun 2000 produktivitas jagung di Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sumatera Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan hampir sama sedangkan di Nusa
Tenggara Timur, masih jauh ketinggalan. Peningkatan produktivitas jagung
setelah pertengahan 1990an terutama didorong oleh semakin gencarnya promosi
yang digelar oleh produsen benih jagung hibrida, seperti Charoen Pokphand dan
Pioneer. Diperkirakan lebih dari 30% areal pertanaman jagung di sentra produksi
ditanami dengan benih hibrida, bahkan di Lampung dan Sumatera Utara
diperkirakan telah mencapai lebih dari 45% (Kasryno at al, 2007).
Produksi jagung di Sumatera Utara sebagai salah satu sentra produksi
jagung di Indonesia pada tahun 2008 lebih dari satu juta ton
ini menjadikan Sumatera Utara sebagai propinsi kelima terbesar dalam produksi
jagung setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, lampung dan Sulawesi Selatan
(BPS, 2008).
Walaupun produksi jagung di Indonesia secara umum dan Sumatera Utara
mengalami peningkatan, namun peningkatan produksi ini belum optimal. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan produksi tidak optimal seperti masalah
kesuburan tanah, bibit unggul dan gangguan hama dan penyakit.
Ada banyak penyakit yang menginfeksi tanaman jagung.
Penyakit-penyakit ini dapat disebabkan oleh cendawan, bakteri, virus, nematoda dan
mikroplasma. Dari jenis-jenis penyakit yang menginfeksi tanaman jagung,
penyakit yang disebabkan oleh cendawan relatif lebih dominan dibanding dengan
Berdasarkan informasi di atas dengan pertimbangan bahwa jagung di
Sumatera Utara ditanam pada dataran tinggi dan rendah, sehingga besar
kemungkinan terdapat perbedaan jenis-jenis penyakit, maka peneliti melakukan
penelitian ini untuk mengetahui jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur
yang terdapat pada tanaman jagung dataran tinggi maupun rendah.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui penyakit yang disebabkan oleh jamur yang
menginfeksi tanaman jagung (Zea mays L.) di dataran tinggi dan dataran rendah di
Sumatera Utara.
Hipotesa Penelitian
Diduga ada perbedaan penyakit yang disebabkan oleh jamur pada
tanaman jagung di ketinggian tempat yang berbeda di Sumatera Utara.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagi bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan
2. Sebagai salah satu syarat unuk dapat memperoleh gelar sarjana di
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Jagung ( Zea mays L. )
Menurut Purwono dan Hartono (2004), jagung diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Graminae
Famili : Graminaceae
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L.
Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman.
Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan
tumbuh menyamping. Akar yang tumbuh relatif dangkal ini merupakan akar
adventif dengan percabangan yang amat lebat (Rubaztky dan Yamaguchi, 1998).
Batang tanaman jagung silindris dan tidak berlubang seperti halnya batang
tanaman padi. Batang tanaman jagung yang masih muda (hijau) rasanya manis
karena cukup banyak mengandung zat gula. Rata-rata panjang (tinggi) tanaman
jagung antara satu sampai tiga meter di atas permukaan tanah (Warisno, 1998).
Daun jagung tumbuh di setiap ruas batang. Daun ini berbentuk pipa,
daun yang menyelubungi batang. Daun mempunyai dua jenis bunga yang
berumah satu (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang
letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman,
sedangkan bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya
disebut tongkol selalu dibungkus kelopak-kelopak yang jumlahnya sekitar 6-14
helai. Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terjumbai di
ujung tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga
jantan yang terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Jagung memiliki buah matang berbiji tunggal yang disebut karyopsis.
Buah ini gepeng dengan permukaan atas cembung atau cekung dan dasar runcing.
Buah ini terdiri endosperma yang melindungi embrio lapisan aleuron dan jaringan
perikarp yang merupakan jaringan pembungkus
(Rubaztky dan Yamaguchi, 1998).
Syarat Tumbuh
Tanah
Tanaman jagung toleran terhadap reaksi keasaman tanah pada kisaran pH
5,5 - 7,0. Tingkat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah
pada pH 6,8. Pada tanah yang memiliki keadaan pH 7,5 dan 5,7 produksi jagung
Iklim
Untuk pertumbuhan optimalnya jagung menghendaki penyinaran matahari
yang penuh. Di tempat-tempat yang teduh pertumbuhan jagung akan merana dan
tidak mampu membentuk buah. Di Indonesia suhu semacam ini terdapat di daerah
dengan ketinggian antara 0 - 600 m dpl dan curah hujan optimal yang dihendaki
antara 85 - 100 mm per bulan merata sepanjang pertumbuhan tanaman
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah
beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung dapat
tumbuh baik di daerah yang terletak antara 50° LU - 40° LS. Pada lahan yang
tidak beririgasi memerlukan curah hujan ideal sekitar 85 - 200 mm/bulan selama
masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan
terbaiknya antara 27° - 32° C. Pada proses perkecambahan benih jagung
memerlukan suhu sekitar 30 °C (Anonimus d, 2010).
Penyakit – penyakit Jagung di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi
1. Bulai ( Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw )
Biologi Patogen Peronosclerospora maydis (Rac.)
Menurut Anonimus C (2010), klasifikasi dari patogen penyebab penyakit
bulai adalah:
Kingdom : Fungi
Filum : Oomycota
Kelas : Oomycetes
Famili : Sclerosporaceae
Genus : Peronosclerospora
Spesies : Peronosclerospora maydis Rac (Shaw)
Konidiofor berukuran 132 - 261 mikron, tipis. Konidianya hialin,
berdinding tipis, berukuran 24 - 46.6 x 12 - 20 mikron. Oogonianya berwarna
coklat kemerahan, berbentuk elips tidak beraturan, berukuran 55 - 73 x 49 - 58
mikron (Singh, 1998).
Pada umumnya konidiofor mempunyai percabangan tingkat tiga atau
empat. Cabang tingkat terakhir membentuk sterigma. Konidium yang masih muda
berbentuk bulat, sedang yang sudah masak dapat membentuk jorong. Konidium
tumbuh dengan membentuk pembuluh kecambah (Semangun, 1993) (Gambar.1)
Gambar 1. P. maydis
Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan
Tanaman yang terserang mengalami gangguan pertumbuhan. Bentuk
daunnya akan meruncing dan kecil. Bila infeksi terjadi pada tanaman yang lebih
tua, tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk buah. Buah sering mempunyai
tangkai yang panjang, dengan kelobot yang tidak menutup di ujungnya dan hanya
Gejala yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah pertumbuhan
terhambat, pada daun akan terlihat garis-garis klorotik. Penyakit akan terlihat jelas
pada saat tanaman masih muda. Daun akan berwarna putih kekuningan mulai dari
pangkalnya, infeksi kedua akan terlihat garis klorotik sempit disepanjang
permukaan daun (Singh, 1998) (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala serangan P. maydis
Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Faktor yang mempengaruhi
Penyakit bulai pada jagung terutama terdapat di dataran rendah. Konidium
yang paling baik berkecambah pada suhu 30 ºC. Infeksi hanya terjadi kalau ada
air, baik ini air embun, air hujan. Infeksi sangat ditentukan oleh umur tanaman
dan umur daun yang terinfeksi. Tanaman yang berumur lebih dari 3 minggu cukup
tahan terhadap infeksi, dan makin muda tanaman, makin rentan pula
(Semangun, 1993).
Pembentukan konidia jamur ini menghendaki air bebas, gelap dan suhu
Penyebarannya sangat luas, kehilangan hasil dapat mencapai 90%
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian
Menurut Semangun (1993), pengendalian penyakit bulai yaitu:
1. Penanaman varietas tahan seperti Arjuno, Pioner 12, Abimanyu
2. Segera mencabut tanaman yang menunjukkan gejala penyakit
3. Merawat benih dengan metalaksil (ridomil 35 SD)
Tiga cara pengelolaan penyakit bulai dengan menggunakan kultur teknis,
penggunaan fungisida dan penanaman varietas tahan bulai. Hal yang paling baik
dapat digunakan kombinasi dari ketiga pengandalian tersebut (Singh, 1998).
2. Karat (Puccinia sorghi Schw dan P. Polysora Underw)
Biologi Patogen
Menurut Anonimus b (2010), klasifikasi dari patogen penyebab karat ini
adalah:
Spesies : Puccinia sorghi Schw
Jamur mempunyai uredium pada kedua sisi daun dan upih daun, rapat atau
mikron, berdinding coklat kemerahan, berduri-duri halus. Jamur membentuk
telium terbuka (Semangun, 1993).
Tebal dinding spora 1-1,5 mikron dengan 4-5 lubang ekuator, ukuran
18-27 x 29-41 mikron, mudah lepas, dua sel, timbul pada tangkai pendek ukuran
10-30 mikron. Teliospora berwarna coklat, halus, elips, kedua ujungnya membulat,
(Wakman dan Burhanuddin, 2007) (Gambar 3).
Gambar 3. Puccinia sp.
Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan
Gejala pada tanaman jagung yang terinfeksi penyakit karat adalah adanya
bisul, terutama pada daun. Bisul terbentuk pada kedua permukaan daun bagian
atas dan bawah. Bisul dengan warna coklat kemerahan tersebar pada permukaan
daun dan berubah warna menjadi hitam kecoklatan setelah teliospora berkembang.
Bisul ini dapat terlihat jelas dan bila dipegang akan terasa kasar (Gambar.4). Pada
saat terjadi penularan berat, daun menjadi kering
Di lapang kadang-kadang epidermis tetap menutupi urediosorus sampai
matang. Tetapi adakalanya epidermis pecah dan massa spora dalam jumlah besar
menjadi tampak (Semangun, 1993).
Gambar 4. Gejala Serangan Puccinia sp.
Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Faktor yang mempengaruhi
Urediospora Puccinia polysora paling banyak dipencarkan menjelang
tengah hari. Perkecambahan spora adalah 27-28º C. Puccinia sorghi terutama
terdapat pada suhu agak rendah di daerah pegnnungan, berkembang pada suhu
16-23 ºC (Semangun, 1993).
Perbedaan ras masing-masing spesies telah diketahui dari reaksi beberapa
varietas jagung. Puccinia polysora tidak berkembang pada ketinggian 1200 m dan
diketinggian kurang dari 900 m cocok bagi perkembangan penyakit karat
Pengendalian
Penyakit karat dapat dikendalikan dengan beberapa cara yaitu penanaman
varietas tahan (arjuna, Bromo, Rama, Pioneer-3) dan aplikasi fungisida pada saat
mulai tampak bisul pada karat daun (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
3. Hawar Daun (Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs)
Biologi Patogen
Menurut Anonimus a (2010), klasifikasi patogen penyebab hawar daun
yaitu:
Spesies : Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs
Miselium dari jamur ini adalah hijau gelap. Konidiofornya berukuran
(60-280 x 6-10 mikron), konidia berukuran (40-150 x 11-27 mikron)
(Lucas at al, 1987).
Ciri khusus dari jamur penyebab hawar daun ini yaitu konidiofor
lurus atau lentur, kadang-kadang mempunyai bengkokan seperti lutut, berwarna
coklat atau coklat tua, dekat ujungnya pucat. Konidium jelas bengkok berbentuk
perahu, coklat pucat sampai coklat emas tua, halus, hilum gelap
Gejala visual yang menunjukkan ciri khas serangan H. turcicum adalah
bercak agak memanjang, bagian tengah agak melebar, makin ke pinggir makin
kecil, berwarna cokelat keabuan, dikelilingi oleh warna kekuningan sejajar tulang
daun. Isolat Helminthosporium turcicum yang ditumbuhkan pada media potato
dextrose agar (PDA) berwarna putih keabuan dengan zonasi beraturan. Konidia
mulai terlihat setelah 6 hari dan semakin banyak pada 12 hari
(Adipala dan Latigo, 1994).
Gambar 5. E. turcicum
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan
Gejala awalnya muncul bercak-bercak kecil, jorong, hijau tua. Selanjutnya
berubah warna menjadi coklat kehijauan, kemudian bercak membesar dan
mempunyai bentuk yang khas. Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak
yang lebih besar sehingga dapat mematikan jaringan daun. Tanaman jagung yang
terinfeksi penyakit hawar daun pada fase vegetatif menyebabkan tingkat
lebih tua dan ini akan berpengaruh terhadap kehilangan hasil
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Lebar bercak 1-2 cm dan panjang 5-10 cm, tetapi lebar dapat mencapai 5
cm dan panjang 15 cm. Sehabis hujan atau banyak embun pada kedua sisi bercak
terbentuk banyak sporayang menyebabkan bercak tampak berwarna hijau tua
berbeledu yang makin ke tepi warnanya makin muda. Pertanaman yang sakit
keras tampak kering seperti habis terbakar (Gambar 6) (Semangun, 1993).
Gambar 6. Gejala Serangan E. turcicum
Faktor yang mempengaruhi
Konidium jamur disebarkan melalui angin. Suhu optimal untuk
pertumbuhan, pembentukan dan perkecambahan konidia adalah 30 ºC. Tanaman
jagung yang terinfeksi pada fase vegetatif menyebabkan tingkat penularan yang
lebih berat dibandingkan bila terjadi pada tanaman yang lebih tua
Infeksi terutama berasal dari konidia yang terbawa oleh angin, ataupun
curah hujan yang tinggi. Infeksi memerlukan waktu 6-18 jam pada suhu 18-27º C.
Kondisi ideal untuk siklus hidup patogen ini adalah 60 - 70 hari
(Lucas at al, 1987).
Pengendalian
Menurut Wakman dan Burhanuddin (2007), pengendalian dari
penyakit hawar daun dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
► Varietas tahan
► Sanitasilingkungan
► Pengaturan jarak tanam
► Fungisida dengan bahan aktif carbendazin,mankozeb
► Perlakuan benih dengan perendaman dengan Thiram dan Karboxin
4. Penyakit Gosong (Ustilago maydis (DC) Cda)
BiologiPatogen
Menurut Anonimus d (2010), klasifikasi dari patogen penyebab penyakit
gosong ini adalah:
Teliosporanya berbentuk bulat atau elips, berwarna coklat sampai hitam,
diameter 8 - 11 mikron. Spora diploid ini tumbuh membentuk promiselium
dengan empat atau lebih sporidia (Wakman dan Burhanuddin,2007).
Dalam kelenjar jamur membentuk teliospora, yang berbentuk bulat atau
jorong. Teliospora berkecambah dengan membentuk basidium atau promiselium,
kemudian membentuk basidiospora atau sporidium (Semangun, 1993).
Gejala Serangan
Gejala awal berupa pembengkakan atau gall yang dibungkus dengan
jaringan berwarna putih kehijauan sampai putih perak mengkilat. Bagian dalam
gall berwarna gelap dan berubah menjadi massa tepung spora berwarna coklat
sampai hitam. Apabila bunga jantan terinfeksi, maka semua tongkol pada tanaman
tersebut terinfeksi penyakit gosong (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Biji-biji yang terinfeksi membengkak, membentuk kelenjar-kelenjar.
Dengan makin membesarnya kelenjar-kelenjar,kelobot terdesak ke samping,
sehingga sebagian dari kelenjar itu tampak dari luar (Gambar 7). Akhirnya
kelenjar pecah dan spora jamur yang berwarna hitam terhambur keluar
(Semangun, 1993).
Gambar 7. Gejala Serangan Gosong
Faktor yang mempengaruhi
Penyakit ini lebih banyak terdapat di pegunungan. Pertanaman yang rapat
membantu perkembangan penyakit. Makin panjang umur tanaman, biasanya
makin besar pula kemungkinan untuk mendapatkan serangan (Semangun, 1993).
Ustilago maydis meghendaki keadaan iklim kering dan suhu antara 26-34 ºC. Periode inkubasi dari infeksi sampai timbul gall sekitar 1 sampai beberapa
minggu. Pemupukan N dan pupuk kandang meningkatkan penyakit ini
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian
Menurut Singh (1998), pengendalian penyakit gosong adalah rotasi tanaman,
sanitasi lahan,dan perlakuan benih yang mungkin dapat membantu terjadinya
infeksi.
Menurut Semangun(1993), pengendalian yang tepat untuk penyakit ini
adalah:
o Membakar atau memendam dalam tanah tanaman yang telah terinfeksi
o Melakukan seed treatment
5. Bercak Daun (Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker)
Biologi Patogen
Menurut Anonimus d (2010), klasifikasi dari patogen penyebab bercak
daun adalah:
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Dothideomycetes
Ordo : Pleosporales
Famili : Pleosporaceae
Genus : Bipolaris
Spesies : Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker
Miselium dan sporanya dapat bertahan hidup pada sisa tanaman dan biji
terinfeksi. Siklus hidup lengkapnya mencapai 60-72 jam. Konidia diterbangkan
oleh angin atau terbawa percikan air untuk sampai ketanaman yang baru. Konidia
mempunyai 6 sampai 8 sekat (Gambar 8) (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Gambar 8. Bipolaris maydis
Gejala Serangan
Pada daun terdapat halo kuning yang mengelilingi bercak, lama kelamaan
bercak ini akan melebar dan berwarna kecoklatan. Dalam kondisi yang ideal,
bercak akan berkembang dan dapat menyebabkan tanaman mati (Jardine, 1998).
Lesio pada daun biasanya memanjang diantara tulang daun dengan warna
coklat muda dan ukuran mencapai 1,2 x 2,7 cm, berbentuk elip. Lesio sering
dikelilingi oleh warna coklat dan dapat terjadi di batang, upih daun dan tongkol
(Gambar 9). Tanaman yang tumbuh dari biji yang terinfeksi akan layu dan mati
pada umur 3 - 4 minggu (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Gambar 9. Gejala Serangan Bercak Daun
Sumber
Faktor yang mempengaruhi
Jamur berkembang baik pada keadaan udara lembab dengan suhu
20-23 ºC. Umumnya dijumpai di daerah dataran rendah. Bercak daun ini selalu
terjadi sepanjang tahun, dengan intensitas yang berfluktuasi karena pengaruh
Pengendalian
Penyakit bercak daun ini dapat dikendalikan dengan varietas tahan,
penanaman serempak, waktu tanam yang tepat dan eradikasi gulma inang
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian yang tepat adalah dengan kombinasi rotasi tanaman,
pengolahan tanah, aplikasi fungisida dan varietas tahan (Jardine, 1998).
6. Busuk Tongkol (Diplodia maydis Schwabe, Gibberella zeae Schw)
Biologi Patogen
Menurut Anonimus d (2010), klasifikasi dari pathogen penyebab
busuk tongkol adalah:
Spesies : Diplodia maydis Schwabe
Konidium teratur seperti jari, berbentuk sabit (Gambar 10). Klamidospora
interkalar, bulat, berdinding tebal, hialin atau coklat pucat dengan dinding luar
licin atau agak kasar, dengan garis tengah 10-12 mikron, membentuk rantai atau
Gambar 10. Diplodia maydis
Sumber
Gejala Serangan
Tanaman jagung tampak layu atau seluruh daun menguning. Gejala pada
daun terdapat bercak yang ditengahnya seperti mata (Gambar 11). Gejala tersebut
umumnya terjadi pada stadia generative, yaitu setelah fase pembungaan. Pangkal
batang yang terinfeksi berubah warna dari hijau menjadi kecoklatan, bagian dalam
busuk, sehingga mudah rebah dan bagian kulit luarnya tipis. Pada pangkal batang
yang terinfeksi tersebut terlihat warna merah jambu, merah kecoklatan atau coklat
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Infeksi dimulai pada dasar tongkol, berkembang ke bonggol, kemudian
merambat ke permukaan biji dan menutupi kelobot. Tongkol menjadi busuk dan
kelobotnya saling menempel erat pada tongkol (Gambar 11) (Semangun, 1993).
Gejala busuk tongkol Diplodia adalah kelobot yang terinfeksi pada
umumnya berwarna coklat. Infeksi pada kelobot setelah dua minggu keluar
Miselium berwarna putih. Piknidia berwarna hitam tersebar pada kelobot. Gejala
busuk tongkol Gibberella adalah tongkol menjadi busuk dan kelobotnya saling
menempel erat pada tongkol, buah berwarna biru hitam di permukaan kelobot dan
bongkol (CIMMYT, 2004).
Busuk tongkol yang disebabkan oleh Gibberella zeae sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan yang sejuk sedangkan busuk tongkol yang disebabkan
oleh Fusarium graminarium terjadi di daerah yang panas yang juga dipengaruhi
oleh luka yang diakibatkan oleh serangga pada kernel jagung (Ali at al, 2005).
Gambar 11. Gejala Serangan Diplodia maydis pada daun
Gambar 12. Gejala Serangan Busuk Tongkol
Faktor yang mempengaruhi
Penyakit ini terutama berkembang setelah tanaman membentuk benang
sari. Banyak infeksi terjadi pada suhu 16-20 °C. Penyakit lebih banyak terjadi di
pegunungan pada musim hujan (Semangun, 1993).
Infeksi awal dapat melalui luka atau membentuk sejenis appresoria yang
mampu berpenetrasi ke jaringan tanaman. Spora/konidia yang terbawa angin
dapat menginfeksi ke tongkol. Biji yang terinfeksi bila ditanam dapat
menyebabkan penyakit busuk batang (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian
Menurut Anonimus b (2010), pengeloloaan penyakit ini adalah:
1. Teknik bercocok tanam
- Menanam varietas unggul
- Pergiliran tanaman
- Mengatur jarak tanam
- Seed dressing
2.Aplikasi Fungisida
7. Penyakit Virus Kerdil Khlorotik Jagung (Maize Chlorotic Dwarf
Virus Disease Virus = MCDV)
Gejala Serangan
Gejala awal ditandai oleh warna khlorose pada daun muda di pucuk
atau kemerahan dan pemendekan ruas batang umum terjadi
(Wakman dan Burhanuddin, 2007) (Gambar 13).
Gambar 13. Gejala Serangan MCDV
Sumber
Penularan
Virus ditularkan oleh serangga vektor, wereng daun jagung Granminella
nigrifrons (Forbes) dan G. Sonora (Ball) secara semipersisten. Wereng mesih
infektif sampai 8 jam setelah mengisap cairan tanaman yang terinfeksi
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian
Penyakit virus kerdil klorotik jagung dapat dikendalikan dengan
pemberantasan rumput inang dengan herbisida dan pemberantasan serangga
Peranan Lingkungan Dalam Proses Epidemiologi
Konsep segitiga penyakit merupakan hubungan antara tiga faktor, yaitu
inang, patogen dan lingkungan. Inang dalam keadaan rentan, patogen bersifat
virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang
mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban,
cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Dari konsep
tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh
terhadap intensitas penyakit yang muncul (Wiyono, 2007).
Penyakit sporadis merupakan penyakit epifitotik yang tidak selalu terjadi
setiap musim dan dengan interval yang tidak teratur. Adapun penyakit ”endemik”
menggambarkan suatu penyakit yang terbatas pada wilayah geografis tertentu,
atau penyakit yang selalu terdapat di daerah tertentu dengan menimbulkan
kerusakan ringan sampai berat (Wiyono, 2007).
Secara ideal, wilayah pertanaman dapat dibagi menjadi sejumlah daerah
agroklimat yang seragam tanggapannya seperti sifat tanah dan cuaca
(Petersen, 1994). Masing – masing agroklimat dibutuhkan oleh patogen – patogen
tertentu dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga menjadi penyebab
penyakit pada tanaman jagung. Beberapa penyakit yang sering menyerang
tanaman jagung adalah bulai, bercak daun, hawar daun, karat daun, busuk batang
bakteri (Wakman dan Burhanuddin, 2007), bercak abu – abu, busuk tongkol
Diplodia dan busuk tongkol Gibberella (CIMMYT, 2004).
Lingkungan dapat mempengaruhi kemampuan, pertumbuhan, dan
kerentanan genetik inang. Faktor lingkungan yang sangat penting yang
suhu, curah hujan, lama penyinaran matahari, angin. Kelembapan akan
meningkatkan sporulasi jamur, pelepasan spora, perbanyakan bakteri. Begitu juga
dengan suhu, pengaruh yang paling umum suhu terhadap epidemi yaitu
pengaruhnya terhadap patogen selama stadia patogenitas yang berbeda, seperti
pada perkecambahan spora, penetrasi inang, pertumbuhan dan reproduksi patogen,
invasi inang dan sporulasi (Abadi, 2003).
Ketiga golongan lingkungan (makro, meso dan mikro) berubah-ubah
setiap saat. Dalam skala mikro pengaruh perubahan iklim terhadap proses
epidemiologi diukur dalam detik. Dalam lingkungan meso ukuran proses epidemi
lebih panjang, mungkin dalam jam atau mungkin hari. Sedangkan skala makro
diukur dalam hari, minggu, musim atau malah bulan dan tahun (Oka, 2003).
Hampir sebagian besar penyebab penyakit tanaman, terutama golongan
jamur akan berkembang dengan pesat pada kelembapan yang tinggi. Begitu juga
halnya dengan curah hujan. Tumbukan air hujan ke permukaan tanah akan
menimbulkan cipratan-cipratan. Patogen yang ada pada tanah ikut terlempar, lalu
menempel pada bagian tanaman yang lunak, terutama tanaman muda atau
tanaman semusim kemudian memarasit tanaman tersebut. Tanah yang mempunyai
pH rendah juga disukai oleh sebagian besar jamur. Pada tanah masam, jamur
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Percobaan
Penelitian dilakukan di Desa Purwobinangun dan Desa Namoukur, Kab.
Langkat ± 118 mdpl dan Desa Guru Kinayan Kabupaten Karo dengan ketinggian
± 1004 mdpl. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2010 sampai dengan Mei
2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah 21 varietas jagung, masing – masing 12
varietas berasal dari Pioneer brand, yaitu varietas 30A97, 30A55, 30Y87, 3014,
30B80, P5027, P4199, P3326, P3482, P3645, X4B184, X7B458; dan 9 varietas
berasal dari produsen benih lainnya yang ada di pasar, yaitu: varietas NKNK48,
NKNK6204, NKNK8840, EDBISI 16, EDBISI-816, AHSASIA 3, PACPAC 105,
DKPDK979 dan DKPDK818; pupuk N, P2O5, K2O, fungisida (Metalaxyl),
Lactophenol cotton blue, Potato Dextrose Agar (PDA).
Alat yang digunakan adalah pelubang tanam, meteran, cangkul, ajir
bambu, kotak tray, kapas, gelas objek, mikroskop, cawan petri, aluminium foil
dan lain- lain.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan cara mengamati
langsung tanaman jagung yang terserang penyakit baik pada fase vegetatif dan
Pelaksanaan Penelitian
Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan bertujuan untuk menentukan desa yang mewakili
daerah sentra produksi yaitu desa Purwobinangun dan desa Namoukur di
Kabupaten Langkat serta desa Guru Kinayan Kabupaten Karo.
Pengambilan Sampel
Luas area penelitian adalah 800 m2 dengan jumlah populasi jagung
sebanyak 22.875. Sampel diambil dengan melihat tanaman yang terserang
penyakit saja dan dimasukkan kedalam kotak tray yang dilapisi kapas basah dan
diberi label tanggal dan lokasi pengambilan. Selanjutnya sampel dibawa ke
laboratorium untuk dibiakkan.
Isolasi Jamur
Isolasi dilakukan dengan mengambil sampel bagian tanaman jagung yang
terinfeksi dan sedikit bagian yang sehat kemudian dibersihkan dengan
menggunakan aquadest steril, dipotong dengan ukuran 1x1 cm. Sampel
disterilisasi dengan klorox 0,1 % selama ± 5 menit, dibilas dengan aquadest steril
dan dikeringanginkan di atas tissue. Sampel dibiakkan dalam media PDA dengan
metode three point dan diinkubasi pada temperatur ruang. Jamur yang tumbuh
diisolasi kembali sampai diperoleh biakan murni.
Identifikasi Jamur
Identifikasi jamur dilakukan dengan membuat preparat dari biakan murni.
Satu tetes lactophenol cotton blue diletakkan di atas preparat, kemudian diambil
menggunakan mikroskop Compaund Olympus tipe BH-12. Identifikasi dilakukan
dengan menggunakan buku identifikasi (Alexopolus, 1987).
Peubah Amatan
1. Jenis Penyakit
Pengamatan jenis penyakit dilakukan pada fase vegetatif dan pada
fase generatif. Khusus untuk penyakit bulai, karena tidak dapat dibiakkan
pada media biakan, pengamatan dilakukan pada pagi hari dengan
mengambil langsung spora yang terdapat di balik daun menggunakan
selotip dan diletakkan di atas preparat.
2. Persentase Serangan
Persentase serangan dari setiap gejala penyakit yang di dapat di
lapangan pada fase vegetatif maupun generatif. Persentase serangan
dihitung dengan rumus :
P = a X 100 %
b
P = Persentase Serangan
a = Jumlah tanaman yang terserang
b = Jumlah seluruh tanaman
Cara menghitung sampel:
1. Bulai
a = 285 tanaman
b = 22.875 tanaman
2. Bercak Daun
a = 335 tanaman
b = 22.875 tanaman
maka P = 335/22.875 x 100% = 1,46%
3. Busuk Tongkol Diplodia
a = 85 tanaman
5. Karat Daun (P.polysora) Karat Daun (P.sorghi)
a = 235 tanaman a = 445 tanaman
b = 22.875 tanaman b = 22.875 tanaman
maka P = 235/22.875 x 100% = 1,02% maka P = 445/22.875 x 100%
= = 1,94%
6. Busuk Tongkol Gibberella
Data Pendukung :
1. Curah Hujan
Data curah hujan diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian yang ada di
masing-masing tempat penelitian. Data ini berguna untuk mengetahui berapa
besar curah hujan dan jumlah hari hujan yang terjadi pada saat penelitian
berlangsung.
2. Kelembaban
Data kelembaban ini diperlukan untuk mengetahui berapa besar tingkat
kelembaban yang terjadi di masing-masing tempat penelitian yang dapat
mempengaruhi berkembang atau tidaknya beberapa penyakit tertentu di
ketinggian tempat yang berbeda. Data ini juga diperoleh dari Balai
Penyuluhan Pertanian yang ada di masing-masing tempat penelitian.
3. pH Tanah
pH tanah diukur dengan menggunakan Soil pH & Moisture Tester. Data
ini diperlukan untuk mengetahui kondisi pH tanah dan kelembaban dalam tanah
yang mempengaruhi terjadinya kejadian penyakit di masing-masing tempat
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengamatan Jenis Penyakit
Banyak jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur yang menginfeksi
tanaman jagung mulai dari fase vegetatif hingga generatif. Penanaman jagung
pada ketinggian yang berbeda akan mempengaruhi jenis-jenis jamur yang
menginfeksi tanaman jagung. Pada pengamatan gejala penyakit yang dilakukan
pada masing-masing lokasi penelitian ditemukan penyakit-penyakit seperti
yang diuraikan di bawah ini:
A.Penyakit-penyakit di Dataran Rendah
1. Bulai (Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw)
Dari hasil pengamatan di lapangan, penyakit bulai muncul pada tanaman
berusia ± 80 hari. Pada daun terlihat garis-garis klorotik. Spora di jumpai pada
bagian bawah daun dan pada daun-daun yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
daun-daun yang terinfeksi ditutupi spora yang berwarna putih (Gambar 14). Singh
(1998) menyatakan bahwa gejala yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah
pertumbuhan terhambat, pada daun akan terlihat garis-garis klorotik. Penyakit
akan terlihat jelas pada saat tanaman masih muda. Daun akan berwarna putih.
Selain gejala di atas juga terlihat tanaman yang terserang, mengalami
gangguan pertumbuhan yaitu bentuk daunnya mengecil dan meruncing. Hal ini
sesuai dengan literatur Semangun (1993) yang menyatakan bahwa tanaman yang
terserang mengalami gangguan pertumbuhan. Bentuk daunnya akan meruncing
P. maydis merupakan patogen yang bersifat obligat, yang berarti patogen yang hanya dapat hidup pada jaringan yang hidup. Oleh karena itu untuk dapat
mengamati patogen penyebab penyakit bulai ini dilakukan pada pagi hari dalam
keadaan daun masih berembun. Dimana spora yang terdapat di balik daun
langsung diambil dengan selotip dan di letakkan di atas preparat, kemudian
diamati di bawah mikroskop (Gambar 15).
Dari hasil pengamatan mikroskopis diketahui bahwa konidiofor P. maydis
mempunyai percabangan tiga dengan bentuk spora bulat (Gambar 16). Hal ini
sesuai dengan literatur Semangun (1993) yang menyatakan bahwa pada umumnya
konidiofor mempunyai percabangan tingkat tiga atau empat. Cabang tingkat
terakhir membentuk sterigma. Konidium yang masih muda berbentuk bulat,
sedang yang sudah masak dapat membentuk jorong.
Gambar 15. Pengambilan sampel bulai di lapangan
Gambar 16. Peronosclerospora maydis
2. Bercak Daun (Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker)
Di lapangan tanaman yang terinfeksi B. maydis menunjukkan gejala
pada daun yaitu lesio yang memanjang diantara tulang daun dan berwarna
coklat muda. Lama kelamaan bercak berkembang dan dapat menyebabkan
tanaman mati (Gambar 17). Wakman dan Burhanuddin (2001) menyatakan
bahwa lesio pada daun biasanya memanjang diantara tulang daun dengan
warna coklat muda dan ukuran mencapai 1,2 x 2,7 cm, berbentuk elip. Konodiofo
Selanjutnya Jardine (1998) melaporkan bahwa lama kelamaan bercak ini
akan melebar dan berwarna kecoklatan. Dalam kondisi yang ideal, bercak
akan berkembang dan dapat menyebabkan tanaman mati.
Gambar 17. Gejala Serangan B. maydis di Lapangan
Dari hasil pengamatan di laboratorium diketahui jika patogen di
biakkan dalam media PDA, jamur tumbuh pada hari keempat.
Perkembangan jamur ini dalam media lambat. Miselium berwarna putih,
bertekstur kasar dan pinggiran dari miselium bergerigi atau tidak rata
(Gambar 18). Pada pengamatan mikroskopis diketahui bahwa makrokonidia
dari patogen ini mempunyai 6-8 sekat, mikrokonidianya berwarna hialin dan
berbentuk elip (Gambar 19). Hal ini sesuai dengan literatur Wakman dan
Burhanuddin (2007) yang menyatakan bahwa konidia mempunyai 6 sampai
Gambar 18. B. maydis dalam media PDA
Gambar 19. Bipolaris maydis
Miselium
3. Busuk Tongkol (Diplodia maydis Schwabe)
Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa gejala serangan
D. maydis pada tongkol dimulai dari dasar tongkol hingga berkembang ke kelobot. Miselium berwarna putih menutupi tongkol, biji yang terinfeksi
menjadi kecoklatan sedangkan gejala pada daun yaitu terdapat bercak yang di
tengahnya terlihat seperti mata (Gambar 20). Di lapangan penyakit ini di
jumpai pada fase vegetatif dan generatif. CIMMYT (2004) menjelaskan
gejala busuk tongkol Diplodia adalah kelobot yang terinfeksi pada umumnya
berwarna coklat. Infeksi pada kelobot setelah dua minggu keluar rambut
jagung menyebabkan biji berubah menjadi coklat, kisut dan busuk. Miselium
berwarna putih.
Dari tongkol jagung yang terserang D. maydis diinokulasi jamurnya
dan dibiakkan dalam media PDA. Setelah beberapa hari miselium tumbuh
pada media. Miselium berwarna putih dan bertekstur kasar (Gambar 21).
Dalam media PDA miselium jamur tumbuh sangat lambat. Hal ini sesuai
dengan literatur CIMMYT (2004) yang menyatakan bahwa infeksi pada
kelobot setelah dua minggu keluar rambut jagung menyebabkan biji berubah
menjadi coklat, kisut dan busuk. Miselium berwarna putih. Piknidia berwarna
hitam tersebar pada kelobot.
Dari hasil pengamatan dibawah mikroskop diketahui bahwa konidia
teratur, berbentuk bulan sabit, konidiofornya mempunyai sekat dan
bercabang dua (Gambar 22). Hal ini sesuai dengan literatur Semangun (1993)
bersekat 3 - 7. Klamidospora interkalar, bulat, berdinding tebal, hialin atau
coklat pucat dengan dinding luar licin atau agak kasar.
Gambar 20. Gejala serangan pada tongkol dan daun
Gambar 22. Diplodia maydis mikroskopis
B. Penyakit-penyakit Di Dataran Tinggi
Beberapa penyakit yang ditemukan pada pertanaman jagung di dataran
tinggi adalah sebagai berikut:
1. Karat Daun (Puccinia sorghi Schw dan P. Polysora Underw)
Pada daun yang bergejala terlihat adanya bisul berwarna coklat kemerahan
di atas permukaan daun, kalau di pegang di atas permukaan daun akan terasa
kasar (Gambar 23). Di lapangan, penyakit ini hanya muncul pada fase vegetatif.
Hal ini sesuai dengan literatur Wakman dan Burhanuddin (2007) yang
menyatakan gejala pada tanaman jagung yang terinfeksi penyakit karat adalah
adanya bisul, terutama pada daun. Bisul terbentuk pada kedua permukaan daun
bagian atas dan bawah. Bisul ini dapat terlihat jelas dan bila dipegang akan terasa
kasar.
Bisul yang terdapat di permukaan daun terasa kasar dikarenakan
epidermis yang pecah sehingga massa spora yang banyak akan tampak. Menurut
Semangun (1993) di lapang kadang-kadang epidermis tetap menutupi urediosorus Konidiofo
sampai matang, tetapi adakalanya epidermis pecah dan massa spora dalam jumlah
besar menjadi tampak.
Gambar 23. Gejala Serangan Karat Daun di Lapangan
2. Hawar Daun (Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs)
Dari hasil pengamatan di lapangan tanaman yang terserang hawar daun
terlihat pada umur ± 90 hari. Gejala pada daun terdapat bercak – bercak kecil
berwarna coklat kehijauan dan lama kelamaan berkembang menjadi bercak yang
besar yang dapat mematikan jaringan (Gambar 24). Gejala awal penyakit ini
muncul bercak-bercak kecil, jorong, hijau tua. Selanjutnya berubah warna menjadi
coklat kehijauan, kemudian bercak membesar dan mempunyai bentuk yang khas.
Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak yang lebih besar sehingga dapat
mematikan jaringan daun (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa dalam media biakan PDA, miselium
berwarna putih. Miselium tumbuh lambat dalam media dengan permukaan yang
dan Latigo (1994) yang menyatakan bahwa isolat Helminthosporium turcicum
yang ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA) berwarna putih
keabuan dengan zonasi beraturan. Konidia mulai terlihat setelah 6 hari dan
semakin banyak pada 12 hari.
Dari hasil pengamatan di bawah mikroskop diketahui bahwa konidiofor
membengkok seperti lutut. Konidia mempunyai sekat berjumlah 4-6,
konidiofornya juga memiliki sekat (Gambar 26). Miselium berwarna hialin.
Semangun (1993) yang menyatakan bahwa konidiofor lurus atau lentur,
kadang-kadang mempunyai bengkokan seperti lutut, berwarna coklat atau coklat tua,
dekat ujungnya pucat. Konidium jelas bengkok berbentuk perahu.
Gambar 25. Exserohilum turcicum dalam media PDA
Gambar 26. Exserohilum turcicum dibawah mikroskop
Makro
3. Busuk Tongkol (Gibberella zeae Schw, Fusarium graminarium)
Gejala penyakit busuk tongkol yang disebabkan Fusarium adalah pada
tongkol terdapat miselium berwarna merah jambu sedangkan yang disebabkan
Gibberella tongkol busuk dan berwarna biru hitam. Busuk tongkol yang disebabkan oleh Fusarium banyak dijumpai di dataran rendah sedangkan
Gibberella banyak dijumpai di dataran tinggi (Gambar 27).
Selanjutnya jamur di isolasi dan dibiakkan pada media PDA. Setelah
beberapa hari miselium tumbuh pada media. Miselium berwarna putih bercampur
dengan sedikit warna merah jambu. Pertumbuhan miselium berlangsung cepat.
Dalam media PDA tekstur miselium yang tumbuh terlihat halus dan
pinggirannya bergelombang (Gambar 28). Pengamatan di bawah mikroskop
menunjukkan bahwa konidia dari Fusarium graminarium berbentuk sabit dan
mempunyai sekat. Makrokonidia dan konidiofor berwarna hialin (Gambar 29).
Gambar 28. Fusarium graminarium dalam media PDA
Gambar 29. Fusarium graminarium mikroskopis
2. Persentase Serangan Penyakit
Penanaman jagung pada ketinggian yang berbeda akan mempengaruhi
jenis-jenis jamur yang menginfeksi tanaman jagung. Demikian halnya dengan
Makrokonidi
persentase serangan penyakit di tiap lokasi penelitian juga berbeda. Hal ini dapat
dilihat dari tabel.1 di bawah ini:
Tabel 1. Persentase Serangan Penyakit pada Tanaman Jagung
Jenis Penyakit Persentase Serangan(%)
Dari tabel.1 terlihat persentase serangan penyakit untuk semua penyakit
yang di temukan di lapangan relatif rendah yaitu antara 0,29 - 2,54 %. Walaupun
persentase serangan relatif rendah kita tetap harus waspada. Infeksi penyakit pada
tanaman dapat terjadi jika faktor lingkungan mendukung patogen untuk
berkembang dengan cepat. Sehingga tanpa kita sadari persentase serangan
penyakit pada pertanaman jagung di lapangan akan semakin tinggi.
Dari hasil pengamatan data klimatologi dari bulan Januari sampai dengan
Mei 2010 curah hujan berkisar 44,5 mm dan kelembapan 69,2%. Hal ini
menunjukkan kelembaban yang sesuai untuk perkembangan patogen penyebab
seperti bulai di dataran rendah akan cepat berkembang. Hal ini sesuai dengan
literatur Abadi (2003) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan yang sangat
penting yang mempengarui perkembangan epidemi penyakit tumbuhan adalah
kelembapan, suhu, curah hujan, lama penyinaran matahari, angin. Kelembaban
akan meningkatkan sporulasi jamur, pelepasan spora, perbanyakan bakteri.
Dari hasil pengamatan juga diketahui bahwa keadaan faktor lingkungan
pada ketinggian tempat yang berbeda menunjukkan beberapa penyakit yang
berbeda pula. Penyakit hawar daun hanya muncul di dataran tinggi, begitu juga
halnya dengan penyakit bulai yang hanya berkembang pada pertanaman jagung di
dataran rendah. Hal ini sesuai dengan literatur Petersen (1994) yang menyatakan
bahwa secara ideal, wilayah pertanaman dapat dibagi menjadi sejumlah daerah
agroklimat yang seragam tanggapannya seperti sifat tanah dan cuaca.
Masing – masing agroklimat dibutuhkan oleh patogen – patogen tertentu dalam
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jenis penyakit yang diperoleh berbeda pada dataran tinggi dan dataran
rendah.
2. Penyakit yang terdapat di dataran rendah adalah bulai
(Peronosclerospora maydis), bercak daun (Bipolaris maydis), busuk
tongkol (Diplodia maydis).
3. Penyakit yang terdapat di dataran tinggi adalah hawar daun
(Exserohilum turcicum), karat (Puccinia polysora), busuk tongkol
(Gibberella zeae, Fusarium moniliforme).
4. Persentase serangan dari masing-masing penyakit yaitu bulai
(Peronosclerospora maydis) sebesar 1,24 %, bercak daun
(Bipolaris maydis) sebesar 1,46 %, Diplodia maydis sebesar 0,37 %,
hawar daun (Exserohilum turcicum) sebesar 2,54 %, karat daun
(Puccinia polysora) sebesar 1,94 %, busuk tongkol Giberrela sebesar
0,29 %.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai perkembangan penyakit-penyakit
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A.L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayumedia Publishing, Malang.
Adipala, J.P. and M.W Latigo. 1994. Nothern Leaf Blight Progress and Spread
Infested Maize Residue. African Crop Science Journal. 2(2), pp. 197-205.
Ali, M., Jeff H.T., Liu Jie, Genlou Sun, Manilal W., Ken J., Lana Reid, K. Pieter. 2005. Molecular Mapping of QTLs for Resistance to Gibberella ear rot
In Corn, Caused by Fusarium granarium.University of Guelph, Canada.
Anonimus a. 2010.
Tanggal 5 Januari 2010.
_________ b.2010. http://en.wikipedia.org/wiki/Corn-Smut. Diakses Tanggal 5 Januari 2010.
_________c.
Tanggal 5 Januari 2010.
__________d. 2010.
Badan Pusat Statistik. 2008.
CIMMYT. 2004. Maize Diseases: A Guide for Field Identification. 4th edition. The CIMMYT Maize Program, Mexico.
Iskandar, D. 2003. Pengaruh Dosis Pupuk N,P dan K Terhadap Pertumbuhan
Dan Produksi Tanaman Jagung Manis di Lahan Kering.
Dalam Prosiding Seminar Teknologi Untuk Negeri (II) hal. 1-5.
Jardine, D.J. 1998. Gray Leaf Spot of Corn. Kansas State University, Kansas.
Kasryno, F., Effendi P., Suyamto dan Made O. 2007. Gambaran Umum
Ekonomi Jagung di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Bogor.
Lucas, G.B, C.L Campbell and L.T Lucas. 1987. Introduction to Plant Disease. Van Nostrand Reinhold Publishing, New York.
Muis, A. 2007. Pengelolaan Penyakit Busuk Pelepah (Rhizoctonia solani) Pada Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 26(3)
Petersen, R. G., 1994. Agriculture Field Experiments: design and analysis. CRC PRESS. 409pp.
Purwono, R dan Hartono., 2004. Produktivitas Jagung Unggul. Bayumedia Publishing. Malang
Rubatzky, V.E dan Yamaguchi, M., 1998. Sayuran Dunia 1. ITB Press, Bandung.
Semangun, H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan Di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Singh, R. S. 1998. Plant Diseases. Oxford and IBH Publishing, New Delhi.
Splittstoesser,W.E., 1984. Vegetable Growing Hand Book. Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Wakman, W dan Burhanuddin. 2007. Pengelolaan Penyakit Prapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Warisno, 1998. Budidaya dan Produksi Jagung di Indonesia. Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, Jakarta.
Wiyono, S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit
Tanaman. Dalam Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tempat Penelitian di Guru Kinayan
Lampiran 3. Panen di Langkat
Lampiran 6. pH Tanah
No Lokasi pH Kelembapan
1 Namoukur 4,2 Kelembapan Basa
2 Purwobinangun 5 3,5
3 Guru Kinayan 4,8 8,5