EKSEKUSI BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN HUTANG AKIBAT WANPRESTASI DEBITUR (STUDI MENGENAI
PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn)
S K R I P S I
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
OLEH :
MUHAMMAD FEBRIANSYAH PUTRA NIM. 070200149
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
EKSEKUSI BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN HUTANG AKIBAT WANPRESTASI DEBITUR (STUDI MENGENAI
PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn)
S K R I P S I
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
OLEH :
MUHAMMAD FEBRIANSYAH PUTRA NIM. 070200149
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN Diketahui dan Disahkan oleh
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
DR. HASIM PURBA, SH, M.HUM NIP. 196660303 198508 1 001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
PROF. DR. TAN KAMELLO, S.H., M.S. M. HAYAT, S.H.
NIP. 19620421 198803 1 004 NIP. 19580202 198803 1 004 FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAKSI
Kesejahteraan masyarakat kerat berkaitan dengan kebutuhan primer. Salah
satu kebutuhan primer adalah rumah. Rumah merupakan kebutuhan mendasar yang
sangat dibutuhkan masyarakat. Namun dalam kenyataannya tidak semua masyarakat
mampu membeli rumah secara tunai. Berdasarkan kondisi ini banyak masyarakat
yang menggunakan jasa lembaga keuangan yakni bank dalam membantu memenuhi
kebutuhan perimer ini, yakni dengan jalan menggunakan fasilitas kredit yang
disediakan oleh Bank. Salah satu Bank yang memberikan fasilitas ini ialah PT BANK
UOB BUANA Tbk. Keberdaan faslitas keredit ini sangat membantu masyarakat yang
mempunyai finansial rendah untuk mencukupi dana untuk memiliki rumah pribadi.
Pada pelaksanaan kredit tidaklah selalu berjalan lancar, salah satunya bila terjadi
wanprestasi oleh pihak debitur, yang mana bila berlangsung terus menerus dapat
menyebatkan kredit menjadi bermasala. Hal ini membuat keingintahuan untuk
mengetahui secara lebih jauh mengenai pelaksanaan kredit dan pnyelesaiannya bila
terjadi permasalahan hingga menjadi sengketa. Adapun yang menjadi permsalahan
pada skripsi ini adalah, bagaimana pengaturan mengenai proses eksekusi di
Indonesia, siapa saja pihak-pihak yang terkait dalam proses eksekusi, apakah telah
sesuai pengaturan eksekusi dengan kenyataan yang ada ditinjau dari kasus Nomor
71/Eks/HT/2008/PN.Mdn.
Penulisan skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif, Penelitian ini
bahan-bahan hukum lain. Data yang digunakan adalah data skunder. Alat pengumpulan data
yang digunakan adalah studi pustsaka. Data-data yang diperoleh selanjutnya
dianalisis dengan analisis kualitatif.
Pada pelaksanaan perjanjian kredit tidak jarang terjadi permasalahan, salah
satunya ialah wanprestasi yang dilakukan debitur. Salah satu bentuk wanprestasi yang
sering terjadi yanki debitur menunggak dalam pembayaran, yang mana bila hal ini
berlangsung terus menurus akan menyembabkan permasalahan berupa kredit macet.
Bila terjadi hal seperti ini, tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan sengketa.
untuk menghindari hal ini para pihak diharapkan saling bekerja sama, pihak kreditur
lebih berhati-hati dalam memberikan kredit, sedangkan pihak debitur diharpkan
mampu manjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
tugas akhir selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Penulisan skripsi merupakan suatu kewajiban dan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan studinya pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan sebagai suatu karya ilmiah dalam
melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Penulisan skripsi ini sangatlah penting sebagai suatu sarana meningkatkan
mutu pendidikan mahasiswa/i pada khususnya dan dunia perguruan tinggi pada
umumnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis mengetengahkan sebuah
karya ilmiah atau skripsi dengan judul:
“EKSEKUSI BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN
HUTANG AKIBAT WANPRESTASI DEBITUR (STUDI MENGENAI
PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn)”.
Pada penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi bahasa penulisan maupun penjabarannya yang mana masih
dikarenakan kurangnya pengalaman penulis dan terbatasnya pengetahuan yang
dimiliki penulis sehingga penulis sangat mengharapkan kemakluman dan bimbingan
serta kritikan yang membangun sebagai penyempurna tulisan ini.
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain
serta hidup bermasyarakat dalam perjalanannya menempuh kehidupan di dunia ini
khususnya dalam mengemban tugas-tugasnya yang tidak akan lepas dari bantuan dari
berbagai pihak. Maka dari itu penulis pada kesempatan ini menghanturkan terima
kasih yang tidak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr Runtung Sitepu S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Sumatra Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan
Fakultas Hukum Sumatra Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.H., D.F.M. selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Sumatra Utara
4. Bapak M. Husni S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Sumatra Utara.
5. Bapak Dr. Hasim Purba S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan
Perdata BW
6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello S.H., M.S. Selaku pembimbing I penulis
7. Bapak M. Hayat SH., Selaku Pembimbing II Penulis
8. Ibu Rabiatul Syahriah S.H., M.Hum. selaku Sekertaris departemen Hukum
9. Kepada Papa dan Mama yang selalu memberi semangat dan dukungan yang
begitu besar
10. Tak lupa pula kepada teman dan adik yang memberi motifasi dan dukungan
sepenuhnya , penulis mengucapkan terima kasih.
11.Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum USU Medan.
12.Bapak dan Ibu Dosen serta Seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum USU
penulis mengucapkan terima kasih.
Atas semua bantuan dan bimbingan serta dorongan yang diberikan kepada
penulis, akhirnya penulis menyerahkan kepada Allah SWT semoga dapat
memberikan balasan yang berlipat ganda atas jasa – jasa meareka. Amin ya rabbal
alamin.
Medan, September 2011
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI... iv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10
D. Keaslian Penulisan... 11
E. Tinjauan Kepustakaan ... 11
F. Metode Penelitian... 17
G. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II: TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA TIDAK BERGERAK A. Pengertian Wanprestasi ... 22
B. Macam-macam Prestasi dan Wanprestasi ... 27
C. Sebab Terjadinya Wanprestasi ... 29
BAB III: TINJAUAN UMUM ATAS JAMINAN HUTANG DAN PELAKSANAAN EKSEKUSI
A. Pengertian Jaminan Hutang ... 56
B. Proses Terlaksananya Hutang dengan Jaminan... 57
C. Pengaturan Tentang Jaminan Hutang ... 58
D. Pengertian Eksekusi ... 64
E. Objek Eksekusi Dan Proses Pelaksanaannya ... 64
BAB IV: PENELAAHAN KASUS PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn A. Pengaturan Mengenai Proses Eksekusi ... 68
B. Pihak Yang Terkait Dalam Proses Eksekusi ... 69
C. Penelaahan Kasus Nomor 31/Eks/HT/2008/PN. Mdn ... 69
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 80
ABSTRAKSI
Kesejahteraan masyarakat kerat berkaitan dengan kebutuhan primer. Salah
satu kebutuhan primer adalah rumah. Rumah merupakan kebutuhan mendasar yang
sangat dibutuhkan masyarakat. Namun dalam kenyataannya tidak semua masyarakat
mampu membeli rumah secara tunai. Berdasarkan kondisi ini banyak masyarakat
yang menggunakan jasa lembaga keuangan yakni bank dalam membantu memenuhi
kebutuhan perimer ini, yakni dengan jalan menggunakan fasilitas kredit yang
disediakan oleh Bank. Salah satu Bank yang memberikan fasilitas ini ialah PT BANK
UOB BUANA Tbk. Keberdaan faslitas keredit ini sangat membantu masyarakat yang
mempunyai finansial rendah untuk mencukupi dana untuk memiliki rumah pribadi.
Pada pelaksanaan kredit tidaklah selalu berjalan lancar, salah satunya bila terjadi
wanprestasi oleh pihak debitur, yang mana bila berlangsung terus menerus dapat
menyebatkan kredit menjadi bermasala. Hal ini membuat keingintahuan untuk
mengetahui secara lebih jauh mengenai pelaksanaan kredit dan pnyelesaiannya bila
terjadi permasalahan hingga menjadi sengketa. Adapun yang menjadi permsalahan
pada skripsi ini adalah, bagaimana pengaturan mengenai proses eksekusi di
Indonesia, siapa saja pihak-pihak yang terkait dalam proses eksekusi, apakah telah
sesuai pengaturan eksekusi dengan kenyataan yang ada ditinjau dari kasus Nomor
71/Eks/HT/2008/PN.Mdn.
Penulisan skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif, Penelitian ini
bahan-bahan hukum lain. Data yang digunakan adalah data skunder. Alat pengumpulan data
yang digunakan adalah studi pustsaka. Data-data yang diperoleh selanjutnya
dianalisis dengan analisis kualitatif.
Pada pelaksanaan perjanjian kredit tidak jarang terjadi permasalahan, salah
satunya ialah wanprestasi yang dilakukan debitur. Salah satu bentuk wanprestasi yang
sering terjadi yanki debitur menunggak dalam pembayaran, yang mana bila hal ini
berlangsung terus menurus akan menyembabkan permasalahan berupa kredit macet.
Bila terjadi hal seperti ini, tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan sengketa.
untuk menghindari hal ini para pihak diharapkan saling bekerja sama, pihak kreditur
lebih berhati-hati dalam memberikan kredit, sedangkan pihak debitur diharpkan
mampu manjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dewasa ini perkembangan pembangunan ekonomi dalam bidang perbankan
menunjukkan peningkatan yang pesat. Hal itu dapat dilihat dari semakin besarnya
kredit yang disalurkan ke masyarakat sebagai akibat paket kebijakan di bidang
perbankan.
Pembangunan ekonomi di bidang perbankan ini membutuhkan modal yang
sangat besar dalam penanganannya, sehingga masalah hutang piutang dewasa ini
sudah merupakan suatu masalah umum yang terjadi di dunia perbankan. Dalam
perkembangannya, hutang piutang ini banyak dimanfaatkan di dalam dunia usaha.
Hal ini sejalan dengan kemajuan yang dicapai dari kebijaksanaan pembangunan
perekonomian yang menimbulkan permintaan akan modal melalui fasilitas kredit1.
Muchdarsyah Sinungan menyebutkan bahwa lembaga keuangan bank sangat
dibutuhkan keberadannya oleh masyarakat sesuai dengan defenisinya, yaitu “lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa – jasa dalam lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang”2. Lembaga keuangan dengan kegiatan utamanya
. Mantayborbir, dkk, Pengurusan Piutang Negara Macet Pada PUPN/BUPLN (Suatu
Kajian Teo dan Praktik), (Medan:Putaka Bangsa press, 2001), hal. 1.
S
ri
menghimpun dana dan menyalurkan kredit, mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam kegiatan prekonomian.
Lembaga keuangan bank tersebut di atas dalam operasionalnya diatur dalam
Undang – Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang –Undang nomor
7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal 1 angksaa 2 disebutkan “Bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk – bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Bank dalam hal ini berperan sebagai pemberi kredit kepada debitur. Kredit
yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank
harus memperhatikan asas perkreditan yang sehat.
Faktor – faktor yang harus di perhatikan dalam pemberian kredit adalah
sebagai berikut:
1. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati – hatian (prudential principles)
2. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
3. Wajib memenuhi cara – cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank.
4. Harus memperhatikan asas – asas perkreditan yang sehat.
Karena perkembangan ekonomi dan perdagangan akan diikuti oleh
perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit memerlukan
jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut maka adanya jaminan dalam
pemberian kredit merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari lagi. Karena
Karena itu pemberian kredit perlu didukung dengan agunan yang memadai
sebagaimana disebutkan pada pasal 1 butir 23 Undang – Undang Nomor 10 Tahun
1998 bahwa “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah”. Oleh karena itu agunan tersebut adalah upaya preventif apabila di
kemudian hari pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai
dengan persyaratan yang telah disepkati bersama, atau dengan istilah lain akhirnya
akan melahirkan kredit bermasalah atau kredit macet.3
Dengan demikian berarti, istilah “agunan” sebagai terjemahan dari istilah
collecteral merupakan bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Artinya pengertian “jaminan” lebih luas
daripada pengertian “agunan”, dimana agunan berkaitan dengan “barang”, sementara
“jaminan” tidak hanya berkaitan dengan “barang”, tetapi berkaitan pula dengan
chracter, capacity, capital dan condition of economic4 dari nasabah debitur yang
bersangkutan.
Munir Fuady, Hukum perbankan Modern, Buku I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 201. Lihat Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 1996, hal 177. Lihat jug Rhmad Usman, Aspek – Aspek hukum perbankan Di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jkarta, 2001, hal 225, menyataka bank harus meyakini bahwa kredit yang akan diberikannya dapat dilunasi kembali pada waktunya oleh nasabah debitur dan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah atau macet. Lihat juga hasanuddin Rahman, Aspek – Aspek Hukum pemberian kredit Perbankan di Indonesia (Panduan Dasar Legal Officer), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 120.
Djuhendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaaan Bahi Tanah Dan Benda Lain yang
Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
Menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum perdata menetapkan
bahwa
“Segala kebendaan siberutang, baik yang berupa benda bergerak maupun
benda yang tidak bergerak/benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”5
Menurut J. Satrio hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang
mengatur tentang jaminan – jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang
debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan
piutang seseorang (J. Satrio, 2002: 3). 6
Hukum jaminan memiliki kaitan erat dengan
bidang hukum benda dan perbankan yakni sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Di samping itu juga
fungsi jaminan berfungsi melindungi bank dari kerugian yang terjadi baik disengaja
maupun yang tidak di sengaja dari pihak debitur. Jaminan kredit biasanya harus
melebihi nilai kredit yang diberikan, sehingga jaminan ini bisa dijadikan beban
kepada debitur untuk dapat mengembalikan kredit dalam jangka waktu yang telah
diperjanjikan.
Nilai dan legalitas dari sebuah jaminan yang dikuasai oleh bank atau yang
disediakan oleh debitur harus cukup untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima
nasabah/ debitur.
R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Edisi Revisi,
cetakan du puluh delapan, PT. Pradnya Paramita, 1996, hal 291
a
Kegunaan jaminan adalah untuk:
1. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk dapat pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu, tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang – kurangnya kemungkinan untuk dapat berbut demikian diperkecil terjadinya. 3. Memeberi dorongan kepada debitur (tertagih) unutuk memenuhi
perjanjiankredit khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijamin kepada bank.
Perjanjian kredit harus diukung dengan jaminan dan agunan yang memadai.
Dukungan jaminan ini merupakan upaya preventif bank, dimana apabila debitur tidak
memenuhi kewajibannya atau wanprestasi dikemudian hari maka bank dapat
mengeksekui jaminan/agunan untuk membayar hutang dari debitur, maka didalam
akta perjanjian kredit tersebut disebutkan jaminan atau agunan. Dalam hal si debitur
melalaikan atau tidak memenuhi kewajiban – kewajibannya seperti apa yang telah
disepakati bersama dalam perjanjian kredit atau adanya itikad tidak baik dari debitur
maka terjadilah wanprestasi atau kredit macet.
Berbagai macam banyaknya barang jaminan yang dapat dijadikan sebagai
jaminan kredit, maka dalam hal ini tanah merupakan barang jaminan yang banyak
disukai oleh kreditur, karena tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus
meningkat dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang – undang Hak Tanggungan menyebutkan
bahwa:
Hak Tanggungan atas tanah beserta beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalh hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengfan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memeberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.7
Dengan keluarnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT)
maka UUHT tersebutlah yang ada dan berlaku di Indonesia saat ini. Lahirnya undang
– undang ini merupakan perwujudan dari ketentuan pasal 51 UUPA yang
mengamanahkan terciptanya suatu lembaga jaminan yang dapat dibebankan pada hak
atas tanah.
Dasar pertimbangan hukum terbentuknya UUHT diantaranya adalah sejalan
dengan meingkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi
dikaitkan dengan kebutuhan penyediaan dana yang cukup besar dan memerlukan
suatu lembaga jaminan yang kuat serta mampu memberikan kepastian hukum bagi
pihak yang berkepentingan, hal ini dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan dapat
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang
menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.
7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum
Dasar pertimbangan hukum terbentuknya UUHT diantaranya adalah sejalan
dengan meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang
ekonomi dikaitkan dengan kebutuhan penyediaan dana yang cukup besar dan
memerlukan suatu lembaga jaminan yang kuat serta mampu memberikan kepastian
hukum bagi pihak yang berkepentingan.
Sambutan positif terhadap lahirnya UUHT muncul dari berbagai pihak
termasuk lembaga perbankan milik Negara sebagai pihak pemberi kredit, dengan
mengharapkan undang-undang ini dapat menjadi suatu lembaga jaminan yang kuat
serta mampu memberikan kepastian hukum dalam rangka melindungi jaminan
kreditnya, sebagaimana dijanjikan dengan ketentuan hukumnya. UUHT yang berlaku
saat ini merupakan suatu lembaga jaminan hak atas tanah yang cukup kuat dan
mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut:
1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau memiliki hak mendahului
(prefern) bagi pemegangnya.
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek
jaminan itu berada
3. Memenuhi asas Spesialitas dan Publisitas yang dapat memihak pihak
ketiga serta memberikan kepastian hukum kepada pihak yang
berkepentingan.
Pada prinsipnya dalam suatu kredit perbankan menghendaki bahwa si
debitur/penanggung hutang dapat mengembalikan hutang-hutangnya berupa hutang
pokok dan bunga tepat waktu sesuai dengan perjanjian kepada kreditur/bank. Namun
dapat pula terjadi bahwa si debitur/penanggung hutang tidak dapat mencicil/melunasi
hutangnya berupa hutang pokok dan bunga kredit, baik sebahagian maupun
keseluruhan tepat pada waktu yang diperjanjikan sehingga tunggkan hutang pokok
maupun bunga kredit berubah statusnya menjadi kredit macet.
Dalam hal ini terjadi kredit macet biasanya terlebih dahulu diselesaikan
secara intern oleh pihak bank dengan pihak penerima kredit (debitur), tapi kalau
ternyata piutang tersebut tetap tidak dapat diselesaikan secara intern, hutang tersebut
dikategorikan sebagai kredit macet. Maka jalan yang harus ditempuh oleh pihak bank
selaku kreditur dalam upaya untuk mengebalikan uangnya adalah dengan menggugat
nasabah atau debiturnya atas pertanggungan hutangnya melalui pengadilan negeri,
tetapi khusus untuk bank pemerintah, sebelum keluarnya peraturan pemerintah
Nomor 33 Tahun 2006 maka usaha pengembalian kredit macet tersebut
pengurusannya diserahan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Namun
dengan keluarnya peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2006 maka pengurusan
piutang perusahaan Negara/daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang perseroan terbatas dan badan usaha milik Negara
berserta peraturan pelaksanaannya.
Pada dasarnya baik kreditur maupun debitur tidak menghendaki transaksi
membantu debitur berusaha secara lebih baik dibandingkan sebelum menerima kredit,
sehingga akan mampu memperoleh keuntungan lebih banyak dan dapat melunasi
pinjamannya. Eksekusi jaminan hanya dijalankan bilamana tidak ada jalan lain yang
lebih baik untuk menyelesaikan kredit bermasalah.
Banyak bank yang mengalami kesulitan dalam menangani kasus kredit,
Karena tidak cermat dalam meneliti aspek hukum dan nilai harta yang diajukan oleh
debitur sebagai jaminan kredit, walaupun di pengadilan bank menangani kredit
bermasalah dengan debitur, namun pelaksanaan eksekusi jaminan sering kali
memakan waktu yang dan biaya yang tidak sedikit. Eksekusi Hak Tanggungan telah
diatur dalam pasal 20 dan pasal 21 UUHT. Apabila debitur cidera janji dapat
ditempuh eksekusi Hak Tanggungan lewat dua kemungkinan yaitu:
1. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melelui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
2. Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan seperti putusan hakim yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana tanah tersebut terletak.
B. Perumusan masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat diasimpulkan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Dimanakah diatur mengenai tata cara eksekusi dalam peraturan
2. Siapa pihak-pihak yang teribat dalam pelaksanaan eksekusi hak
tanggungan sebagai mana yang tertera dalam undang – undang?
3. Apakah prosedur pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh PT. BANK
UOB BUANA dengan JOHN JERRY sebagai cidera janji dalam
undang-undang telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku?
C. Tujuan dan Manfaat Peneliti11an
Berkaitan dengan uraian rumusan permasalahan diatas, maka tujuan
penenilitan ini adalah sebagai berikut:
1. untuk mengetahui sebab-sebab eksekusi itu dilaksankan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. untuk mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan
eksekusi
3. untuk mengetahui apakah kasus yang dibahas mengenai pelaksanaan
eksekusi yang dilakukan telah benar terlaksana seperti di dalam undang-
undang atau tidak,
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat:
1. secara teoritis dapat menambah kepustakaan tentang pelaksanaa eksekusi
benda tidak bergerak sebagai jaminan hutang akibat wanprestasi debitur
pengetahuan hukum pada umumnya, juga menjadi bahan untuk
pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut tetang pelaksanaan
eksekusi benda tidak bergerak.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan membawa dampak positif
bagi instansi pelaksana dari suatu eksekusi.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini yang berjudul: “Eksekusi Benda Tidak Bergerak
Sebagai Jaminan Hutang Akibat Wanprestasi Debitur (Tinjauan kasus Pengadilan
Negeri Medan)” merupakan hasil dari pemikiran penulis sendiri Judul ini diangkat
agar diketahui lebih lanjut mengenai eksekusi dalam pelaksanaannya diatur dalam
undang-undang. Oleh karena itu Skripsi ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai
dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Tulisan ini
belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada, penulisan penulis yakni substansi
pembahasannya berbeda. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan
E. Tinjauan Kepustakaan
Istilah eksekusi menurut Subekti dan Retno Wulan Sutanto diartikan sebagai
pelaksanaan putusan. R. Soepomo menyatakan bahwa hal menjalankan putusan
hakim sama artinya dengan eksekusi.8
Eksekusi merupakan suatu tindakan yang berkesinambungan dari
keseluruhan proses hukum acara. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisah dari pelakasanaan tata tertib beracara di pengadilan.( Yahya Harahap:2004).
Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melakasanakan isi putusan
pengadilan, yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan
alat-alat Negara apabila pihak yang kalah tiadak menjalankan secara sukarela. Pada
masa belakangan ini, menurut yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum
“eksekusi” atau “menjalankan eksekusi” (Yahya Harahap).
Sita Eksekusi (executoir beslag) ialah sita yang yang diletakkan atau
barang-barang yang tercantum dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. Dimana barang – barang tersbut tidak dapat dieksekusi secara langsung,
tetapi harus melalui pelangan.9
Hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh
alat-alat Negara guna mambantu pihak berkepentingan untuk menjalankan putusan
hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia dengan sukarela memenuhi bunyi
Soetarwo Soemowidjojo, eksekusi oleh PUPN, proyek pendidikan dan latihan BLPK Departeman Keungan RI, Jakarta 1996, hal 7, dikutip dari S. Mantayborbir, Iman Jauhari, Agus Hari Widodo, H kum piutang dan Lelang Negara di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa, 2002), hal 163. u
putusan dalam waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang.10 Hal tersebut
memberikan kesempatan bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan dengan sukarela
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, namun apabila pihak yang
kalah tersebut tidak mau melaksanakannya, maka disinilah fungsi eksekusi tersebut.
Akan tetapi. Menurut Wirjono Prodjodikoro11 tidak semua putusan pengadilan itu
dilaksanakan, misalnya:
a. putusan yang menolak permohonan gugatan
b. putusan yang menyatakan suatu keadaan yang sah (atau disebut juga
keputusan declaratoir)
c. putusan yang menciptakan suatu yang baru (putusan constitutief)
Di dalam KUH Perdata di temukan dua istilah yaitu, benda (zaak) dan
barang (goed). Pada umumnya yang diartikan dengan benda (berwujud, bagian
kekayaan, hak), ialah segala sesuatu / yang ‘dapat’ dikuasai manusia dan dapat
dijadikan obyek hukum (499 KUHD). Pengertian ini adalah abstrak, yang dinamakan
dengan istilah subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban). Kata ‘dapat’ di sini
mempunyai arti yang penting, karena membuka berbagai kemungkinan, yaitu pada
saat-saat yang tertentu sesuatu itu belum berstatus sebagai obyek hukum, namun pada
saat-saat yang lain merupakan byek hukum, seperti aliran listrik. Untuk menjadi
obyek hukum ada syarat harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai
nilai ekonomi dan karena itu dapat dijadiakan sebagai obyek (perbuatan) hukum.
10
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Fazco, 1958), Hal 175
11
Terlihat di sini ‘proses’ yang teriakat pada waktu jika seseorang membuka hutan, dan
mengolahnya, lahir penguasaan terhadap tanah tersebut. Penguasaan itu menjadi pasti
setelah pohon-pohon yang ditanami pembuka tanah itu tumbuh berbuah, sehingga
hutan yang dibuka itu tadi, bukan lagi merupakan ‘res nulus’ akan tetapi sudah ada
pemiliknya.12
Benda dalam arti Ilmu Pengetahuan Hukum ialah segala sesuatu yang dapat
menjadi objek hukum sedangkan menurut pasal 499 KUHD benda ialah segala
barang dan hak yang dapat menjadi milik orang (objek hak milik). Benda-benda
tersebut dapat dibedakan menjadi:13
a. Benda tetap ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dianyatakan sebagai benda tak bergerak misalnya bangun-bangunan, tanah tanam-tanaman (karena sifatnya) mesin-mesin pabrik, sarang burung yang dapat dimakan (karena tujuannya), hak postal, hak erpah, hak hipotik (karena penentuan undang-undang) dan sebagainya.
b. Benda bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak misalnya alat-alat pekakas, kenderaan, binatang (karena sifatnya), hak-hak yang terdapat surat-surat berharga (karena undang-undang dan sebagainya).
Benda tidak bergerak di dalam KUH Perdata terletak di dalam pasal 509
yang menyebabkan adanya penggolongan benda, penggolongan itu terjadi karena:14
1. sifatnya sendiri menggolongkan kedalam golongan itu, misalnya:
a. Tanah serta segala yang tetap ada disitu, umpamanya bangunan, tanaman, pohon-pohonan, kekayaan alam yang ada di dalam bumi dan
ng belum terpisah dari rumah itu. barang-barang ya
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,(Bandung: Alumni, 19 ), Hal 35.
97
C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-asas
Hukum Pe ata Cetakan ke Tiga, (Jakarta: Pradya Paramita, 2000) Hal 157. rd
b. Rumah
2. tujuan menggolongkannya ke dalam golongan itu misalnya:
a. Segala macam peralatan yang dipergunakan buat suatu pabrik, atau pertukangan besi.
b. Segala macam kaca, gambar serta perhiasan lain yang diikatkan atau diantungkan atau merupakan bagian dari dinding atau kamar atau ruangan pada sebuah rumah atau tempat tinggal
c. Segala macam pupuk yang dipergunakan untuk tanah d. Ikan-ikan yang masih dalam kolam-kolam dan sebagainya. 3. Undang-undang menggolongkan ke dalam golongan itu misalnya:
a. hak penggunaan hasil atau pemakaian dasi benda itu b. hak servitut
c. hak optal
d. segala macam tuntutan hukum untuk menuntut kembali suatu barang
yang tak bergerak
Pada sistem perbankan juga dikenal istilah mengenai jaminan dari suatu
benda, khusunya benda tidak bergerak. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa
objek dari jaminan merupakan benda.
Jaminan adalah suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan
dalam bentuk pinjaman uang. Selain itu jaminan menurut kamus diartikan sebagai
tanggungan (Wjs Poerwardaminta, kamus umum bahasa Indonesia). Di dalam
literatur lain disebutkan bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada debitur
akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan (Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok hukum perikatan dan Jamin).
Istilah “Jaminan” merupakan terjemahan dari istilah Zakerhaeid atau cautie
yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada
sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap
kreditornya. 15
Dalam perspektif hukum perbankan, istilah “jaminan” ini dibedakan dengan
istilah “agunan”. Di bawah Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan, tidak dikenal dengan istilah “agunan”, yang ada istilah “jaminan”.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagai
mana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, memberi
pengertian yang tidak sama dengan istilah “jaminan” menurut Udang-Undang Nomor
14 Tahun 1967.
Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah
“agunan” atau “tanggungan”, sedangkan “jaminan” menurut Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, diberi arti lain, yaitu “keyakinan atas itikad dengan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan Perjanjian”.
Jaminan hutang dari suatu kegiatan kredit di dalam bank diartikan sebagai
“benda” dimana benda tersebut dijadikan sebagai alat untuk menjamin si debitur
membayar kewajiban/hutangnya terhadap kreditur. Jaminan hutang ini
dimungkinkan, ketika si debitur tidak dapat membayar hutangnya, maka jaminan
tersebut sebagai pegangan kreditur agar tidak rugi.
Sebuah perjanjian kredit memerlukan jaminan, dimana jaminan itu berupa
benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Dalam perjanjian kredit
sering terjadi suatu kecurangan-kecurangan, yaitu berupa cidera janji atau dapat
disebut juga wanprestasi. Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa
belanda “wanprestatie”, artinya tidak memenuhu kewajiban yang telah ditetapkan
dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang
timbul karena undang-undang.16
Wanprestasi juga terdapat di dalam kitap Undang – Undang Hukum Perdata
yang terletak di dalam pasal 1238, bahwa “si berutang adalah lalai, apabila ia dengan
surat perintah atau denagn sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dengan demikian wanprestasi merupakan
sebuah bentuk perbuatan yang dilakuka seseorang dengan sengaja maupun tidak
disengaja untuk mengingkari suatu perjanjian yang telah dibuat, antara kreditur dan
debitur.
Dengan adanya sebuah perjanjanjian maka salah satu yang sangat
diperhatikan adalah debitur. Debitur merupakan pihak peminjam kepada pihak
kreditur. Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ‘Nasabah
debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah atau dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian
bank dengan nasabah yang bersangkutan.
F. Metode Penelitian
Untuk menghasilkan karya tulis lmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang
diperoleh melalui penelitian. Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya
pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek
yang mudah terpegang, di tangan.17
Pada dasarnya sesuatu yang dicari itu tidak lain
adalah pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan
yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan
tertentu.18
Dalam penulisan skripsi ini penulis berusaha untuk mengumpulkan
informasi dan data-data yang diperlukan untuk menjadi bahan dalam penulisan
skripsi ini. Bahan-bahan yang telah dikumpulkan tersebut haruslah mempunyai
hubungan satu sama lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dalam
penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan adalah Penelitian Hukum Normitif,
penelitian ini sering juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997), hal. 27.
18
Penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis
atau bahan-bahan hukum lain.19
2. Data dan Sumber Data
Pada umumnya data dibagi dalam dua jenis data yakni data primer dan data
sekunder. Data primer (primary data) adalah data yang diperoleh peneliti langsung
dari sumber pertama, yakni perilaku individu atau masyarakat. Untuk memperoleh
data primer, perlu dilakukan pengumpulan data langsung kepada masyarakat dengan
cara wawancara, quisioner/angket, pengamatan (observasi) baik secara partisipatif
maupun nonpartisipatif. Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber
pertama. Data sekunder bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya.20
Pada penulisan skripsi ini data yang digunakan adalah data sekunder. Di
dalam penelitian hukum, data skunder mencakup:21
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri
dari: (a) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu pembukaan UUD
1945; (b) Perturan Dasar:mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD
1945; (c) peraturan perundang-undangan; (d) Bahan hukum yang tidak
Ali Murthado, Mustafa Kamal Rokan, Metode Penelitian Hukum suatu pemikiran
dan penerapan, (Medan: Wal Ashri Publishing, 2008), hal 27.
Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum,(Medan : Fakultas Hukum USU), hal. 29.
dikodifikasikan, seperti hukum adat; (e) Yurisprudensi; (f) Traktat; (g)
Bahan Hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil
karya dar kalangan hukum seterusnya.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan pentunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder;
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan
sebagainya.
3. Alat Pengumpul Data
Pada skripsi ini digunakan alat pengumpul data yang digunakan yakni, Studi
Kepustakaan, yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan,
dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur, dan peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Sebagai penelitian normatif Ronald Dworkin dalam buku Ali Murthado
menyatakan penelitian harus berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum dalam
arti law as it is written in the the books maupun hukum sebagai putusan-putusan
pengadilan (law as it is decided by judge throught judicial process). Dengan
demikian objek yang dianalisis adalah norma hukum yang terdapat dalam peraturan
G. Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan skripsi sangatlah diperlukan suatu sistematika penulisan.
Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam melakukan penulisan ini, dan
juga untuk memudahkan pembaca untuk mengerti dan memahami isi dari skripsi ini.
Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab.
Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan merupakan gambaran terhadap masalah-masalah yang akan
dibahas pada bab-bab selanjutnya. Pada bab ini terdiri atas 7 (tujuh) sub bab
yakni latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA TIDAK
BERGERAK
Pada bab ini dibahas mengenai pengertian wanprestasi secara menditail dan
pengertian benda tidak bergerak. Bab ini terdiri dari 4 (empat) sub bab
yakni, pengertian wanprestasi, sebab terjadinya wanprestasi, akibat
wanprestasi, dan pengertian benda di dalam kitab undang-undang hukum
perdata.
BAB III : TINJAUAN UMUM ATAS JAMINAN HUTANG DAN EKSEKUSI
Pada bab ini dibahas mengenai pemahaman mengenai jaminan hutang dan
pengertian jaminan hutang, proses terlaksananya hutang dengan jaminan,
pengaturan tentang jaminan hutang, pengertian eksekusi, objek eksekusi dan,
proses pelaksanaannya.
BAB IV : PENELAAHAN KASUS PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 /
PN. Mdn
Pada bab ini akan dibahas mengenai kasus terjadi pada perjanjian kredit
antara PT BANK OUB BUANA Tbk (kreditur) dengan JHON
JERRY(debitur). Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub bab yakni, praturan tentang
proses eksekusi, pihak – pihak yang terkait dengan proses eksekusi,
BAB II
TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA TIDAK BERGERAK
A. Pengertian Wanprestasi 1. Prestasi
Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan.22
Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Kewajiban memenuhi
prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab (liability), artinya debitur
mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan hutangnya kepada
kreditur. Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua harta
kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur, jaminan
semacam ini disebut jaminan umum.23
Pada prakteknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat
dibatasi sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitur untuk memenuhinya yang
disebutkan secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim dapat
menetapkan batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya. Jaminan harta
kekayaan yang dibatasi ini disebut jaminan khusus.24 Artinya jaminan khusus itu
hanya mengenai benda tertentu saja yang nilainya sepadan dengan nilai hutang
22
Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perikatan, (Medan: FH USU,1970), hal 8.
23
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal 17.
24
debitur, misalnya rumah,kendaraan bermotor. Bila debitur tidak dapat memenuhi
prestasinya maka benda yang menjadi jaminan khusus inilah yang dapat diuangkan
untuk memenuhi hutang debitur.
Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi
ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi
itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus
diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni :25
i. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
ii. Harus mungkin
iii. Harus diperbolehkan (halal)
iv. Harus ada manfaatnya bagi kreditur
v. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan
2. Wanprestasi
Semua subjek hukum baik manusia atau badan hukum dapat membuat suatu
persetujuan yang menimbulkan prikatan diantara pihak-pihak yang membuat
persetujuan tersebut. Persetujuan ini mempunyai kekuatan yang mengikat bagi para
pihak yang melakukan perjanjian tersebut sebagai mana yang diatur di dalam pasal
1338 KUH Perdata.
Di dalam perjanjian selalu ada dua subjek yaitu pihak yang berkewajiban
untuk melaksanakan suatu prestasi dan pihak yang berhak atas suatu prestasi.
25
Didalam pemenuhan suatu prestasi atas perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak
tidak jarang pula debitur (nsabah) lalai melaksanakan kewajibannya atau tidak
melaksanakan kewajibannya atau tidak melaksanakan seluruh prestasinya, hal ini
disebut wanprestasi.
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda
“wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah
ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan
yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena
undang-undang.26
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih
terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak
terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan.
Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji,
cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.
Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah
menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada
beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi
pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.
26
Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, mengatakan bahwa wanprestasi adalah
ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus
dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia
dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya
janji untuk wanprestasi”.27
Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian
atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana
yang diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
4. Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat
dilakukan.28
H. Mariam Darus Badrulzaman SH, mengatakan bahwa apabila debitur
“karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu
wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena
dabitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena
salahnya.29
R.Subekti, Hukum perjanjian Cet.ke-II,(Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hal 50 . Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, hal 17.
Menurut M.Yahya Harahap bahwa “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga
sebagai pelaksanaan kewajuban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksankan
tidask selayaknya.30
Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memnuhi atau tidak
melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat
maka yang telah melanggar isi perjajiab tersebut telah melakukan perbuatan
wanprestasi.
Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui maksud dari wanprestasi
itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang diakatakan melakukan
wanprestasi bilamana : “tidak memberikan prestasi sama sekali, telamabat
memberikan prestasi, melakukan prestsi tidak menurut ketentuan yang telah
ditetapkan dalam pejanjian”.
Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena dapat
dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak
menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena
penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya
waktu yang berkewajiban untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu
perjanjian yang telah disepakati.
Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu
yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prests merupakan isi dari
suatu perjanjian, pabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan wanprestasi.
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya
dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk
menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga
oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena
wanprestasi tersebut.
B. Macam-Macam Prestasi dan Wanprestasi
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Maka dari itu wujud prestasi itu berupa :
1. Memberikan Sesuatu
Dalam pasal 1235 dinyatakan :“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan
sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang
bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai
pada saat penyerahannya.
Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap
perjanjian-perjanjian tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini ditunjuk dalam
bab-bab yang bersangkutan”
Pasal ini menerangkan tentang perjanjian yang bersifat konsensual (yang
saat tercapainya kesepakatan tersebut, orang yang seharusnya menyerahkan barang
itu harus tetap merawat dengan baik barang tersebut sebagaimana layaknya
memelihara barang kepunyaan sendiri sama halnya dengan merawat barang miliknya
yang lain,yang tidak akan diserahkan kepada orang lain.31
Kewajiban merawat
dengan baik berlangsung sampai barang tersebut diserahkan kepada orang yang harus
menerimanya. Penyerahan dalam pasal ini dapat berupa penyerahan nyata maupun
penyerahan yuridis.32
2. Berbuat Sesuatu
Berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti melakukan perbuatan
seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Jadi wujud prestasi disini adalah
melakukan perbuatan tertentu.33 Dalam melaksanakan prestasi ini debitur harus
mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas
perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan oleh para pihak.
Namun bila ketentuan tersebut tidak diperjanjikan, maka disini berlaku ukuran
kelayakan atau kepatutan yang diakui dan berlaku dalam masyarakat.34 Artinya
sepatutnya berbuat sebagai seorang pekerja yang baik.
31
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 5.
32
J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 84.
33
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 19.
34
3. Tidak Berbuat Sesuatu
Tidak berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti tidak melakukan
suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan.35 Jadi wujud prestasi di sini adalah
tidak melakukan perbuatan. Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat
aktif, tetapi justru sebaliknya yaitu bersifat pasif yang dapat berupa tidak berbuat
sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung.36 Disini bila ada pihak yang berbuat
tidak sesuai dengan perikatan ini maka ia bertanggung jawab atas akibatnya.
4. Wujud wanprestasi
Untuk menetapkan apakah seorang debitur itu telah melakukan wanprestasi
dapat diketahui melalui 3 keadaan berikut :37
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
Artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk
dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan
undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.
2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
Artinya debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau
apa yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut
kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan oleh
undang-undang.
35
Ibid.
36
J.Satrio, Op. cit, hal. 52.
37
3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya
Artinya debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat, waktu yang ditetapkan
dalam perjanjian tidak dipenuhi.
Prof. Subekti menambah lagi keadaan tersebut di atas dengan “melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya”.
C.Sebab Terjadinya Wanprestasi
Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan dalam
suatu perjanjian yang sah, tidak jarang terjadi wanprestasi oleh pihak yang dibebani
kewajiban (debitur) tersebut. Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban
(wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan. Dua kemungkinan
alasan tersebut antara lain yakni :
1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya.
Kesalahan di sini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian.38Dikatakan
orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia sebenarnya dapat
menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tidak berbuat atau
berbuat lain dan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dimana tentu
kesemuanya dengan memperhitungan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu
terjadi.
Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur
kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri debitur yang
38
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Kita katakan debitur sengaja kalau
kerugian itu memang diniati dan dikehendaki oleh debitur, sedangkan kelalaian
adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa
dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian.39
Disini
debitur belum tahu pasti apakah kerugian akan muncul atau tidak, tetapi sebagai
orang yang normal seharusnya tahu atau bisa menduga akan kemungkinan munculnya
kerugian tersebut.40 Dengan demikian kesalahan disini berkaitan dengan masalah
“dapat menghindari” (dapat berbuat atau bersikap lain) dan “dapat menduga” (akan
timbulnya kerugian).41
2. Karena keadaan memaksa (overmacht / force majure) , diluar kemampuan debitur,debitur tidak bersalah.
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak
debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana
tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan.42 Vollmar menyatakan bahwa overmacht itu hanya dapat timbul dari
kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih dahulu.43 Dalam
hukum anglo saxon (Inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan dengan istilah
“frustration” yang berarti halangan, yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi
39
J. Sa rio, Op. cit, hal. 91. t
40
Ibid.
41
Ibid.
42
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 27.
43
diluar tanggung jawab pihak-pihak yang membuat perikatan (perjanjian) itu tidak
dapat dilaksanakan sama sekali.44
Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena
keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur.
Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa bisa terjadi karena benda yang
menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, bisa juga terjadi karena perbuatan
debitur untuk berprestasi itu terhalang seperti yang telah diuraikan diatas. Keadaan
memaksa yang menimpa benda objek perikatan bisa menimbulkan kerugian sebagian
dan dapat juga menimbulkan kerugian total. Sedangkan keadaan memaksa yang
menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun
bersifat tetap.45
Unsur –unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah :46
a) Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap
b) Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.
c) Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.
Ajaran tentang Keadaan Memaksa (overmacht)
Mengenai keadaan memaksa yang menjadi salah satu sebab timbulnya
wanprestasi dalam pelaksaanaan perjanjian. Dikenal dua macam ajaran mengenai
44
Ibid. Hal. 27.
45
Ibid.
46
keadaan memaksa tersebut dalam ilmu hukum, yaitu ajaran memaksa yang bersifat
objektif dan subjektif. Yang mana ajaran mengenai keadaan memaksa
(overmachtsleer) ini sudah dikenal dalam Hukum Romawi, yang berkembang dari
janji (beding) pada perikatan untuk memberikan suatu benda tertentu.47
Dalam hal
benda tersebut karena adanya keadaan yang memaksa musnah maka tidak hanya
kewajibannya untuk menyerahkan tetapi seluruh perikatan menjadi hapus, tetapi
prestasinya harus benar-benar tidak mungkin lagi.48 Pada awalnya dahulu hanya
dikenal ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat objektif. Lalu dalam
perkembangannya, kemudian muncul ajaran mengenai keadaan memaksa yang
bersifat subjektif.
1. Keadaan memaksa yang bersifat objektif
Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin
dapat dipenuhi oleh siapapun.49 Menurut ajaran ini debitur baru bisa
mengemukakan adanya keadaan memaksa (overmacht) kalau setiap orang
dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana
mestinya).50 Jadi keadaan memaksa tersebut ada jika setiap orang sama
sekali tidak mungkin memenuhi prestasi yang berupa benda objek perikatan
itu. Oleh karena itu ukurannya “orang” (pada umumnya) tidak bisa
dak bisa berprestasi, sehingga kepribadiannya, berprestasi bukan “debitur” ti
47
J. Satrio, Op. cit. hal. 254
48
Ibid.
49
Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 28.
50
kecakapan, keadaannya, kemampuan finansialnya tidak dipakai sebagai
ukuran, yang menjadi ukuran adalah orang pada umumnya dan karenanya
dikatakan memakai ukuran objektif.51 Dasar ajaran ini adalah
ketidakmungkinan. Vollmarr menyebutkan keadaan memaksa ini dengan
istilah “absolute overmacht” apabila benda objek perikatan itu musnah diluar
kesalahan debitur.52 Marsch and soulsby juga menyatakan bahwa suatu
perjanjian tidak mungkin dilaksanakan apabila setelah perjanjian dibuat
terjadi perubahan dalam hukum yang mengakibatkan bahwa perjanjian yang
telah dibuat itu menjadi melawan hukum jika dilaksanakan.53
Dalam keadaan
yang seperti ini secara otomatis keadaan memaksa tersebut mengakhiri
perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi. Dengan kata lain perikatan
menjadi batal, keadaan memaksa disini bersifat tetap.54
2. Keadaan Memaksa yang Bersifat Subjektif
Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu
sendiri, menyangkut kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada
perbuatan atau kemampuan debitur.55 Salah seorang sarjana yang terkenal
mengembangkan teori tentang keadaan memaksa adalah houwing. Menurut
pendapatnya keadaan memaksa ada kalau debitur telah melakukan segala
n yang berlaku dalam masyarakat yeng upaya yang menurut ukura
51
Ibid. Hal. 255.
52
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.
53
Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 29.
54
Ibid.
55
bersangkutan patut untuk dilakukan,sesuai dengan perjanjian tersebut.56
Yang dimaksud dengan debitur oleh houwing adalah debitur yang
bersangkutan. Disini tidak dipakai ukuran “debitur pada
umumnya”(objektif), tetapi debitur tertentu, jadi subjektif. Oleh karena yang
dipakai sebagai ukuran adalah subjek debitur tertentu, maka kita tidak bisa
melepaskan diri dari pertimbangan “debitur yang bersangkutan dengan
semua ciri-cirinya” atau dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial,
kemampuan ekonomis debitur yang bersangkutan turut diperhitungkan.57
Dasar ajaran ini adalah kesulitan-kesulitan. Menurut ajaran ini debitur
itu masih mungkin memenuhi prestasi walaupun mengalami kesulitan atau
menghadapi bahaya. Vollmar menyebutnya dengan istilah “relatieve
overmacht”. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara.58 Oleh
karenanya perikatan tidak otomatis batal melainkan hanya terjadi penundaan
pelaksanaan prestasi oleh debitur. Jika kesulitan yang menjadi hambatan
pelaksanaan prestasi tersebut sudah tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi
diteruskan.
Timbulnya ajaran mengenai keadaan memaksa seperti yang telah
diuraikan di atas dikarenakan keadaan memaksa tidak mendapatkan
56
J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 263, dikutip dari V.Brakel, Leerboek van het Nederlandse Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat, Tjeenk Willink, Zwolle, 1948, hal. 122
57
Ibid. Hal. 263.
58
pengaturan secara umum dalam undang-undang.59 Karena itu hakim
berwenang menilai fakta yang terjadi (wanprestasi) bahwa debitur sedang
dalam keadaan memaksa (overmacht) atau tidak, sehingga diketahui apakah
debitur dapat dibebani kewajiban atas resiko atau tidak atas wanprestasi
tersebut.
D. Akibat Hukum Dari Wanprestasi
1. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena Kesalahan Debitur
Sejak kapan debitur dapat dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi, hal ini sangat perlu dipersoalkan, karena wanprestasi tersebut
memiliki konsekuensi atau akibat hukum bagi debitur. Untuk mengetahui sejak kapan
debitur itu dalam keadaan wanprestasi maka perlu diperhatikan apakah di dalam
perikatan yang disepakati tersebut ditentukan atau tidak tenggang pelaksanaan
pemenuhan prestasi.
Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu
pihak-pihak menentukan dan dapat juga tidak menentukan tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi oleh debitur.60 Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan maka dipandang perlu untuk
memperingatkan debitur guna memenuhi prestasinya tersebut dan dalam hal tenggang
59
Ibid. Hal. 31.
60
waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan maka menurut ketentuan pasal
1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.61
Pasal 1238 KUHPerdata :
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri,
ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan.”
Pasal ini menerangkan bahwa wanprestasi itu dapat diketahui dengan 2 cara,
yaitu sebagai berikut :62
1. Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan
waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian
tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang
wanprestasi debitur, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut
tentang kelalaiannya atau wanprestasinya. Jadi pada intinya ada
pemberitahuan, walaupun dalam pasal ini dikatakan surat perintah atau
akta sejenis. Namun, yang paling penting ada peringatan atau
pemberitahuan kepada debitur agar dirinya mengetahui bahwa dirinya
dalam keadaan wanprestasi.
61
Ibid, Hal. 22.
62
2. Sesuai dengan perjanjian, yaitu jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka
waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu
tersebut, dia telah wanprestasi.
Ketentuan pasal 1238 KUHPerdata ini hanya mengatur tentang perikatan
untuk memberikan sesuatu, sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu tidak ada
ketentuan spesifik semacam pasal ini. Namun ketentuan pasal ini dapat juga diikuti
oleh perikatan untuk berbuat sesuatu.63Sebaiknya ketentuan pasal 1238 KUHPerdata
ini dapat diperluas juga meliputi perikatan untuk berbuat sesuatu. Jadi dalam
penyusunan hukum perikatan nasional nanti ketentuan semacam pasal ini dapat ditiru
dan meliputi perikatan untuk memberikan sesuatu dan perikatan untuk berbuat
sesuatu.64
Dalam perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, prestasinya adalah tidak
berbuat sesuatu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam hal ini tidak perlu
dipersoalkan apakah ditentukan jangka waktu atau tidak. Karena sejak perikatan itu
berlaku dan selama perikatan tersebut berlaku, kemudian debitur melakukan
perbuatan itu maka ia dinyatakan telah lalai (wanprestasi).65
Adapun akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah
hukuman atau sanksi sebagai berikut :66
63
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.
64
Ibid.
65
Ibid. Hal. 23.
66
a) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. Apakah yang dimaksud
dengan ganti rugi , kapan ganti kerugian itu timbul, dan apa yang menjadi ukuran
ganti kerugian tersebut, dan bagaimana pengaturannya dalam undang-undang.
Pasal 1243 KUHPerdata :
“penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya, hanya dapat diberikan dan dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya.”
Berdasarkan pasal ini, ada dua cara penentuan titik awal penghitungan ganti
kerugian, yaitu sebagai berikut :
a. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran
ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan
lalai, tetapi tetap melalaikannya.
b. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu,
pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka
waktu yang telah ditentukan tersebut.67
67
Yang dimaksud dengan ganti kerugian itu ialah ganti kerugian yang timbul
karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai. Ganti kerugian itu haruslah
dihitung berdasarkan nilai uang, jadi harus berupa uang bukan berupa barang.
Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata ganti kerugian terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni :
(1) Ongkos-ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya
ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.
(2) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan
kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah
sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah – buahan karena
kelambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah
konstruksi sehingga merusak per