• Tidak ada hasil yang ditemukan

Farid Esack dan paham pluralisme agama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Farid Esack dan paham pluralisme agama"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

FARID ESACK DAN PAHAM PLURALISME AGAMA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh

Tati Castiah

NIM: 9933116554

PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

FARID ESACK DAN PAHAM PLURALISME AGAMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh

Tati Castiah

NIM: 9933116554

Pembimbing,

Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan

PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul FARID ESACK DAN PLURALISME AGAMA telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Filsafat Islam (S. FIL. I) pada program studi Akidah Filsafat.

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, penulis

panjatkan kepada-Nya karena atas kehendak-Nya, dan kuasa-Nya-lah akhirnya

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin

menghaturkan banyak terimakasih yang tulus kepada pihak-pihak yang telah

memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini:

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A.;

Pudek I Bapak Dr. Hamid Nasuhi M.A.; Pudek III Bapak Dr. Masri Mansoer,

M.A.; Ketua Jurusan Akidah Filsafat Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils.; dan

Sekretaris Jurusan Akidah Filsafat Bapak Drs. Ramlan Abdul Gani M.Ag. Penulis

juga haturkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing akademik, Bapak

Dr. Fariz Pari, M.Fils., yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing

penulis dalam proses penulisan proposal skripsi. Penulis juga sangat bersyukur

dan sangat berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan sebagai

dosen pembimbing, beliau telah banyak membimbing penulis dalam proses

penulisan skripsi, khususnya dalam teknik penulisan. Atas masukan dan

bimbingannya selama ini penulis haturkan banyak terimakasih yang tulus kepada

beliau.

Penulis juga tak kan pernah lupa kepada sahabat-sahabat yang telah

mensupport dan berbagi dalam banyak hal dengan penulis: “Loi” April dan Vivannya; Ka ul, “kue pukis” Maya, “karkata” V, Fahim, Susi (terimakasih

karena mau direcokin, terutama dalam hal pinjam-meminjam buku di perpustakaan Pasca); Tina dan nDe, yang selalu memotivasi dari jauh; T’ neng

Sri, Wati, Neli, Hida, Rositoh, Mun Ari, Chotib May, Mukhlis, Maftuhah dan si

(5)

teman semasa sekolah hingga kuliah (terimakasih ya Iq, sudah mau berbagi dalam

banyak hal, terutama ilmu); Nanang, terimakasih karena telah banyak membantu

penulis, di saat kelimpungan, khususnya dalam menghadapi urusan perkuliahan; Tantowi, yang selalu mensupport (kapan giliran kamu wi?); “mamad” Jafar al-Hadar, terimakasih atas pertemanannya selama ini; Hamid dan Eemnya; Pranyoto,

Baehaqi, Sun, Anita, Iik, dan Pay. Tak lupa juga sahabat-sahabat Fomacian

lainnya, tempat diskusi dan berbagi dalam banyak hal: Te Piti (nuhun nya…), Neng Indri dan Saidimannya; Biya, Linda, Ayi, Zen, Ridwan, Empi, Ken Husni

dan Yangnya; Akib dan lisnya; Adri, Mud, Nana, Dedi, Didi, Arif dan pujinya.

Akhirnya penulis ucapkan terimakasih yang tak terkira kepada ayah, ibu,

kakak-kakak, dan ade yang telah mensupport dan mendo’akan penulis dalam banyak hal, terutama dalam menghadapi masa perkuliahan di Universitas ini, serta

keponakan-keponakan tercinta, yang selalu dirindu disetiap saat: Hanoy, Ebi,

Kekeh, Ge Ima, Desiti, Neng, Dean, Pitpit, Bulan, dan Si Bongsor Dafiq Ar.

Terimakasih ya …

Ciputat, 10 Juli 2008

(6)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangakan

b be

t te

ts te dan es

j je

h h dengan garis di bawah

kh ka dan ha

d de

dz de dan zet

r er

z zet

s es

sy es dan ye

s es dengan garis di bawah

d de dengan garis di bawah

t te dengan garis di bawah

z zet dengan garis di bawah

‘ Koma terbalik di atas hadap kanan

gh ge dan ha

f Ef

q Ki

k Ka

(7)

m Em

n En

w We

h Ha

` Apostrof

y Ye

Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Vokal Rangkap

!!"

!

ai a dan i

!!

#!

au a dan u

Vokal Panjang

"

$

â a dengan topi di atas

%&

î i dengan topi di atas

%'

û u dengan topi di atas

(8)

Kata sandang dalam sistem tulisan arab

#

dialih akasrakan menjadi

huruf /L/, baik yang diikuti huruf syamsiyyah maupun qamariyyah.

Syaddah (Tasydîd)

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia, sebagai negara kepulauan, mempunyai ragam bahasa, suku,

adat istiadat dan agama, dan hal ini merupakan fenomena kini, dulu dan akan

datang yang tidak bisa dihindari dan dipungkiri.1 Dengan kondisi semacam itu,

Indonesia berada dalam situasi yang rawan bagi timbulnya

pertentangan-pertentangan sosial. Apalagi jika sudah menyentuh persoalan agama.2

Telah banyak disaksikan konflik dan kekerasan yang terjadi di bumi ini

Azyumardi Azra, dkk., Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia (Ciputat: INCIS,

2003), h. 25.

3

“Kerusuhan Ambon,” diakses pada 10 September 2007 dari

www.hamline.edu/apakabar/basis data/1999/08/26/0037.html, sedangkan kerusuhan poso adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah yang melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. Peristiwa tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu Poso I terjadi pada 25-29 Desember 1998, Poso II 17-21 April 2000, dan Poso III 16 Mei-15 Juni 2000.

“Kerusuhan Poso,” diakses pada 10 september 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso. Peristiwa terakhir kerusuhan di Poso terjadi pada 28 Mei 2005. Pelaku kerusuhan adalah dari golongan Muslim yang membunuh pendeta dan mutilasi

siswa Kristen. “Pengeboman Poso Divonis 18 Tahun,” Media Indonesia, 4 Desember 2007, h. 3.

Kemudian peristiwa pengeboman di Bali terjadi pada malam hari 12 Oktober 2002 di Kuta Pulau

Bali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002 dan tahun 2005 terjadi tiga kali pengeboman di Jimbaran dua kali dan di Kuta satu kali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari

(10)

meruntuhkan gedung WTC di New York telah mengubah pandangan dunia

tentang agama karena pada saat peristiwa tersebut terjadi para pelakunya adalah

dari golongan kaum beragama, yakni Islam.4

Konflik dan kekerasan atas nama agama pun bisa terjadi dalam satu

agama. Dahulu, pada perempat kedua abad ke-16 M Syaikh Siti Jenar dihukum

mati di Masjid Demak oleh kelompok-kelompok Muslim bersenjata yang

dipimpin oleh Jakfar Shadiq, Susuhunan Kudus, dengan tuduhan telah

menyebarkan ajaran bid’ah yang, menurut mereka, ajarannya tersebut akan

membahayakan kerajaan dan masyarakat Muslim lainnya.5

Peristiwa serupa pun terjadi di Aceh, yakni menimpa pada para pengikut

Syaikh Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (w.1630). Mereka dihukum

bunuh karena pemikiran mereka dianggap telah membahayakan syariat oleh

al-Raniri (w.1658).6 Selain mereka dihukum bunuh, literatur yang mereka miliki

Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi, 2003), h. 27.

5

Pemikiran Syaikh Siti Jenar yang dianggap menyesatkan adalah ajaran tauhid yang

bersifat universal khususnya tentang ajaran sasyahidan atau wahdatusyuhud. Lebih lanjut lihat

Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, Buku Satu (Yogyakarta:

LkiS, 2003), h. xxiii-xxiv.

6

Pemikiran yang dianggap menyesatkan kedua tokoh ini di antaranya adalah yang menyatakan bahwa: alam dan manusia sama saja dengan Tuhan; wujud alam dan manusia adalah

wujud Tuhan; Tuhan itu imanen; alam itu qadim; dan ketika mereka mengatakan shatiyyat;

menurut al-Raniri mereka tidak berada dalam keadaan fana; selain itu menurut al-Raniri, keilmuan mereka dalam pencapaian makrifat masih rendah. Lihat Abdul Hadi Widji Muthari, “Estetika Sastera Sufistik Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Shaikh Hamzah Fansuri,” (Tesis S2 Universitas Sains Malaysia, 1996), h. 272-273. Lihat juga pemahaman lebih jauh mengenai

pembahasan wahdat al-wujud Syamsuddin al-Sumatrani dan kontroversinya dengan al-Raniri,

dalam Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud):

Tuhan Alam Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN IB-Press, 1999), h. 35-159.

7

Lihat, Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud), h.

(11)

Peristiwa-peristiwa tersebut cukup menjelaskan bahwa ketegangan yang

terjadi di antara penganut agama yang sama dapat menimbulkan tindak kekerasan

dan kekejaman, jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Walaupun

misalnya, kematian Syekh Siti Jenar telah banyak menimbulkan kontroversi yang

sangat membingungkan.8 Demikian juga halnya, yang menimpa kepada para

pendahulunya sufi, al-Hallaj (w. 308 H). Pada usia 53 tahun, telah dibunuh

dengan sangat kejam oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah tahun 922 M/308 H.

Selain ia dipenjara dan dipertontonkan di khalayak ramai, tubuhnya disalib,

dicameti dan dilempari batu. Tangan, kaki dan lidahnya dipotong, dan matanya

dicukil. Bahkan setelah meninggal, jasadnya dibakar dan abunya di buang ke

sungai Tigris.9

Sejak dulu, hingga sekarang sejarah terus berulang-ulang menyaksikan

peristiwa tersebut. Tidak saja di negara kita, di negara lain pun sama. Hanya

karena alasan agama, manusia saling membunuh, merusak, dan mencaci.

Peperangan yang terjadi di Palestina antara umat Yahudi dan Muslim yang

berlangsung sampai sekarang adalah peperangan atas nama agama.10 Demikian

8

Pasalnya tokoh-tokoh yang menentukan hukum bunuh terhadap Syaikh Siti Jenar, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah dan Sunan Ampel telah meninggal belasan, bahkan puluhan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi, dan dikabarkan bahwa susuhunan Kudus yang membunuh Syaikh Siti Jenar bersama bala tentaranya adalah orang yang sangat menghormati dan

memuliakan Syaikh Siti Jenar. Lihat Sunyoto, Suluk Abdul Jalil, h, xvi-xx.

9

Tak jauh beda dengan pembunuhan sufi-sufi lainnya, ia pun dibunuh oleh penguasa

karena ajarannya dipandang menyesatkan. Lebih jauh lihat, Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan:

Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 27-30.

10

Mereka berperang memperebutkan tanah suci, Israel. Salah satu alasan umat Yahudi memerangi Palestina adalah karena secara religius mereka telah dijanjikan oleh Tuhan, bahwa satu-satunya tempat suci yang diperuntukan bagi mereka adalah Israel. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, mereka harus mengusir dan mengosongkan tanah Palestina dari orang-orang yang bukan Yahudi. Sedangkan di daerah tersebut telah lebih dulu umat Muslim tinggal dan bermukim di sana. Oleh karena itu, mereka menolaknya karena mereka telah lebih dulu tinggal dan bermukim di sana selama beratus-ratus tahun, maka terjadilah peperangan di antara mereka sampai sekarang demi memperebutkan tanah suci Israel. Lihat, Huston Smith,

(12)

juga, pertentangan yang terjadi di Irlandia adalah pertentangan antara kaum

Katolik dan Protestan. Kemudian konflik yang terjadi antara pemerintahan Iran

dan Irak, juga didominasi oleh Islam Sunni dan Syii’. Demikian pula yang terjadi

di Pakistan, adalah konflik antara Islam Sunni dengan Islam Syii’.11 Sedangkan di

Philipina, konflik antar Katolik dengan Hindu, dan di Thailand, adalah konflik

antara Islam dengan Buddha.12

Jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat bahwa perang Salib yang

dilakukan oleh umat Kristen terhadap umat Muslim dan Yahudi beberapa abad

yang lalu, atau hukum bunuh yang dilakukan oleh golongan Mutakallimin adalah

karena alasan agama. Di antara golongan Mutakalimin yang telah melakukan

hukum bunuh adalah kaum Khawarij Muhakkimah dan Azariqah. Ketegangan ini

bermula dari peristiwa arbitrase antara pihak Ali dan pihak Muawiyah. Bagi kaum

Khawarij Muhakkimah, orang yang menerima arbitrase adalah kafir dan telah

murtad, maka mereka wajib dibunuh. Selanjutnya permasalahan ini bagi

Azariqah, berkembang menjadi faham yang sangat ekstrem. Selain mereka

membunuh orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, mereka pun

membunuh orang Islam yang telah masuk golongan mereka dan tidak tinggal di

daerah kekuasaan mereka. Bahkan untuk menguji orang yang mengaku-ngaku

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 341-352. Untuk penjelasan mengenai sejarah Yahudi

lihat juga Armstrong, Perang Suci, h. 29-65.

11

Kedua mazhab ini satu sama lain suka saling mencela. Celaan yang sering dilontarkan oleh siswa-siswa di Karachi, Pakistan yang bermazhab Syi’ah mengatakan, bahwa orang-orang Sunnah melipat tangan mereka ketika shalat karena mereka menyembunyikan berhala-berhala kecil di dalamnya. Sementara celaan yang dilontarkan oleh seorang Maulana yang bermazhab Sunnah ketika mengajar murid-muridnya di kelas tiga mengatakan, bahwa orang-orang Syi’ah tidak percaya terhadap al-Quran karena mereka percaya, bahwa kambing milik istri nabi memakan

sepuluh surat. Lihat, Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam

Liberal-Plural. Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 232.

12

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru

(13)

pengikutnya pun, terlebih dahulu mereka mengujinya dengan disuruh membunuh

tawanan. Jika ternyata tidak membunuhnya, maka kepalanya orang tersebutlah

yang akan mereka penggal. Tak hanya itu, mereka juga membunuh, menawan dan

menjadikan budak, anak, istri dan keluarga mereka yang tidak sefaham dengan

mereka, golongan Azariqah.13

Tampaknya undang-undang kerukunan umat beragama14 atau Pancasila

bagi masyarakat Indosesia tidak bisa menahan kaum beragama untuk tidak saling

melakukan tindak kekerasan. Padahal di setiap periode beberapa kepengurusan

Menteri Agama sering diadakan dialog agama-agama, tentang pentingnya

kerukunan hidup umat beragama. Di antara keputusan Menteri Agama pada

kepengurusan Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti Ali adalah ditanamkannya

prinsip agree with disagree (setuju dalam perbedaan).15 Namun tampakmya belum berhasil.16 Bahkan dialog agama-agama tidak saja dilakukan di dalam

Negeri, di tingkat dunia pun seringkali dilakukan. Namun sayang, pada tingkat itu

13

Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan

(Jakarta: UI-Press, 1986), h.5-15.

14

Hal tersebut tercantum dalam pasal 29 ayat I dan 2 UUD (Undang-Undang Dasar) 45 berikut, “Negara berdasarkan Tuhan yang maha Esa”, dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya

dan kepercayaannya itu. Lihat, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, Kompilasi

Perundang-Undang Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemaen Agama RI, Edisi Ketujuh

(Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 7.

15

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta, Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara,

Ham, dan Agama-Agama. Pengantar Quraish Shihab (Jakarta: MUI, 1996), h. xii-xiv.

16

Data yang dihasilkan dari penelitian yang diadakan oleh Badan Litbang Agama dan

Diklat Keagamaan di beberapa propinsi mengenai kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, masih menunjukan adanya potensi konflik yang setiap saat bisa muncul. Konflik tersebut di antaranya adalah isu Kristenisasi dan Islamisasi yang diadakan oleh umat Kristen atau Islam; penolakan pendirian rumah ibadah oleh penganut yang berbeda agama; dendam karena pembakaran gereja atau masjid yang dilakukan oleh salah satu umat beragama tersebut; konflik antara Hindu Bali dengan Hindu yang berafiliasi ke India; Protestan dengan Katolik. Lihat, Badan

Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Riuh di Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beragama di

(14)

pun tampaknya dialog belum berhasil karena ironisnya ketika kegiatan tersebut

berlangsung, ada sebagian peserta dialog yang menghina agama lain.17

Ada dua hal penting, khususnya bagi Indonesia, yang menjadi alasan

mengapa fenomena tersebut bisa terjadi. Pertama karena sebagian besar penduduknya masih percaya terhadap agama dan mengkaitkan hidup dalam aturan

dan keyakinan agama. Kedua, terlebih lagi jika dalam setiap kelompok agama ada kelompok yang mempunyai klaim kebenaran, yang menyatakan bahwa ajarannya

merupakan totalitas sistem makna yang berlaku bagi seluruh kehidupan, baik

individual maupun sosial. Namun keyakinan tersebut ketika hadir dalam pluralitas

keagamaan, maka akan membawa dampak yang berbahaya dalam hubungan

beragama.18 Pengaruhnya sangat dahsyat kepada kelangsungan hidup manusia.

Sama dahsyatnya, seperti pengaruh narkotika kepada manusia. Namun bahayanya

berbeda, tapi keduanya sama-sama akan mengancam kelangsungan daya tahan

sebuah kehidupan. Jika narkotika memberi pengaruh kepada pribadi saja, maka

klaim kebenaran, selain memberi pengaruh pada pribadi, juga akan mengasilkan

gerakan sosial, yaitu suatu gerakan yang melahirkan sikap eksklusif dan intoleran

bagi penganutnya.19 Mereka memandang bahwa hanya pandangan mereka sajalah

yang benar, keselamatan hanya ada pada diri mereka dan tidak ada keselamatan

bagi orang lain. Oleh karena itu, untuk menyampaikan misi mereka, mereka

melakukan ekspansi dan penetrasi, yang kemudian dikenal dengan konsep jihad

dalam Islam, atau misionaris dalam Kristen. Mereka sama-sama membawa misi

17

Penganut Islam menghina penganut agama lain. Lebih lanjut lihat, MUI (Majelis Ulama

Indonesia) Jakarta, Kerukunan Beragama, h. 91-96.

18

Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2001), h. xxi.

19

Nurcholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi

(15)

keselamatan, maka tak heran jika setiap penganut keyakinan saling memaksakan

pandangannya. Mereka tak segan-segan mencaci, mengejar, dan membunuh orang

yang tidak sepaham dengan mereka.20

Jika pandangan seperti itu dibiarkan dan dipertahankan, maka konflik dan

kekerasan yang terjadi di bumi ini akan terus berlangsung. Apalagi jika melihat

perkembangan sejarah, Indonesia merupakan lahan subur untuk pertumbuhan dan

perkembangan agama atau aliran kepercayaan,21 maka untuk menopang

kehidupan yang damai, dibutuhkan wawasan yang membawa masyarakat ke

dalam suasana rukun, damai egaliter, toleran dan saling menghargai tanpa harus

ada konflik dan kekerasan.

Di antara beberapa pemikir yang telah berusaha keras untuk mengatasi hal

itu adalah Wilfred Cantwell Smith. Ia adalah seorang teolog Kristen dan

sejarawan yang telah menyusun teori-teori teologis dan meyakinkan secara

akademis bahwa semua agama, baik itu dari golongan Islam, Kristen, Yahudi atau

Buddha akan mengarah kepada tujuan akhir, yakni Allah. Allah adalah tujuan

akhir dari semua agama. Kemudian pahamnya tersebut dikenal dengan paham

pluralisme agama. Oleh karena itu, agama manapun menurutnya, tidak berhak

mengklaim kebenaran agamanya atas agama lain, dan pada tataran itu,

menurutnya, konsep agama berakhir.22 Ia juga mengatakan bahwa kebenaran

20

M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang

Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 995), h. 229.

21

Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 229.

22

Mengenai pengertian agama, lihat juga Armstrong. Menurutnya, terlepas dari sifat non duniawinya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik karena pada kenyataannya seringkali disaksikan bahwa sebuh ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah yang penting bisa

diterima. Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh

(16)

agama bersifat relatif dan mempunyai nilai yang sama sehingga kita harus

berusaha menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani

perbedaan-perbedaan, dan mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa

yang sedang berupaya menemukan Dia yang sedang dicari-cari oleh-Nya, dan

mustahil jika orang Kristen mengatakan, kami diselamatkan, kalian orang Islam,

Hindu atau Buddhis dihukum. Padahal mereka semua, orang Islam, Hindu atau

Buddhis adalah orang-orang yang saleh dan cerdas. Baginya tidak logis jika

mereka dihukum dengan alasan mereka bukan seorang Kristiani.23

Smith mendasarkan pandangannya tersebut pada Allah yang diwahyukan

melalui Kristus, yakni yang menyatakan bahwa Allah mengulurkan tangan kepada semua orang dalam cinta, dan sebagai makhluk Allah yang terbatas, menurutnya, kita tidak dibatasi oleh cinta itu. Kemudian wahyu Allah yang lain

adalah yang menyatakan, bahwa Allah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam, dan Hendaknya agama dipandang sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Ilahi dan manusia.24

Selanjutnya salah satu tokoh muslim Indonesia yang mempopulerkan

paham tersebut adalah Nurcholish Madjid (1939-2005). Ia menyatakan, bahwa

pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap

kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik

mungkin berdasarkan kenyataan itu,25 dan tidak boleh hanya dipahami sebagai

bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,

23

Coward, Pluralisme, h. 61-64.

24

Coward, Pluralisme, h. 62-63.

25

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang

(17)

tetapi hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam

ikatan-ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi

keselamatan umat manusia26 yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin

dilawan atau diingkari.27

Selain dalam Islam dan Krisrten, paham pluralisme agama pun terdapat

dalam Hindu dan Buddha. Dalam Hindu dikatakan bahwa setiap konsep adalah

benar dalam perpektifnya sendiri. Oleh karena itu, setiap pandangan merupakan

suatu kesimpulan logis yang didasarkan pada praanggapan pada perspektifnya

sendiri. Namun karena keterbatasan manusiawi, terpaksa manusia harus memilih

salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk untuk menyalurkan apresiasi

kecintaanya pada Yang Ilahi,28 dan dalam Bhagawad-Ghita dikatakan bahwa Yang Ilahi menerima orang-orang yang datang kepada-Nya melalui jalan agama

yang berbeda-beda, dan Hindu menurutnya telah menyesuaikan dirinya dengan

rahmat yang tak terbatas untuk setiap kebutuhan manusia tersebut.29 Salah satu

tokohnya adalah Radhakrishnan, sedangkan dalam Buddha dinyatakan terdapat

pengakuan nilai-nilai yang terdapat dalam agama-agama lain, serta tidak perlu

merubah label-labelnya, dan yang menyatakan hal tersebut adalah sang Buddha

sendiri.30

26

Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman

(Jakarta: Paramida, 2001), h. 31.

27

Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixxvii- Ixxviii.

28

Coward, Pluralisme, h. 118.

29

Coward, Pluralisme, h. 138-139.

30

Fazlur Rahman, dkk., Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman

(18)

Sebenarnya jauh sebelum itu pun, pendekatan esoteris yang dibawa oleh

al-Hallaj dan pengikutnya, Ibnu Arabi (1165-1240)31 melalui konsep wahdatul wujudnya,32 telah membawa mereka kepada konsep wahdatul al adyan, satunya semua agama. Menurut al-Hallaj, keanekaragaman agama di dunia ini hanya

sekedar bentuk, hakekatnya sama, bertujuan sama, yakni mengabdi kepada Tuhan

pencipta alam semesta. Bahkan Allahlah menurutnya, yang telah menetapkan dan

memilihkan agama untuk masing-masing orang sehingga manusia tidak memiliki

kemampuan untuk memilihnya. Oleh karena itu, manusia menurutnya, tidak boleh

saling mencela dan menyalahkan agama yang dianut oleh orang lain,33 sementara

Ibnu Arabi mengatakan, bahwa yang ada di balik semua agama yang hanya

merupakan bayangan itu adalah Al-Haqq, yang dipuja oleh orang Nasrani Yahudi, Hindu, Buddha dan lain-lain adalah sama, dengan yang dipuja oleh orang Islam,

yaitu hakikat yang satu, Al-Haqq. Dia adalah Allah, Tuhan seluruh manusia (rabb al-nas), Tuhan alam semesta (rabb al-‘alamin), dan Tuhan seluruh langit dan bumi (rabb al-samawat wal al-ard).34 Oleh karena itu, menurutnya, hamba Tuhan merasakan ketentraman yang sama di dalam sinagog, kuil, gereja, atau masjid

31

Nama lengakap Ibnu Arabi Adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Abdullah Hatimi Al-Thai. Dia adalah seorang sufi terbesar dalam dunia Islam, bahkan seorang pemikir mistik besar dalam dunia Islam. Untuk penjelasan ini, lihat

Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ibnu Arabi,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi

Islam, vol. II (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997), h. 150.

32

Konsep wahdatul wujud Ibnu Arabi yaitu yang menyatakan bahwa hakikat segala

sesuatu adalah Tuhan. Di sebalik benda, manusia, alam, langit atau bumi Ia-lah yang sebenarnya ada. Dia menampakan diri melalui alam. Alam adalah bayangan-Nya. Melalui bayangan-Nyalah Ia dikenal. Perumpamaannya, seperti pohon dan bayangannya. Pohonlah yang mempunyai wujud,

bayangan pohon tidak mempunyai. Dengan demikian, yang ditangkap oleh sufisme adalah Al

Haqq itu sendiri. Sedangkan bagi non sufi, yang ditangkap oleh mereka hanyalah bayangannya

saja. Lihat Harun Nasution, dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, Penyunting

Imran Rasyidi (Jogja: Tiara Wacana, 1997), h. 252. Lihat juga Armstrong mengenai penjelasan

wahdatulwujud Ibnu Arabi. Menurutnya Arabi mendasarkan pemikirannya tersebut kepada hadits Qudsi yang menyatakan, bahwa aku adalah perbendaharaan tersebunyi dan aku ingin dikenal

kemudian aku diciptakan makhluk-makhluk agar dikenal oleh mereka. Armstrong, Sejarah Tuhan,

h. 315.

33

Usman, Wahdat Al-Adyan, h. 11-14.

34

(19)

karena semuanya menyediakan pemahaman yang sama tentang Tuhan. Ia juga

mengecam sikap eksklusif karena sama artinya dengan mengingkari yang lain,

dan telah gagal menemukan kebenaran sejati. Baginya, Tuhan yang Maha Berada

tidak dibatasi oleh keyakinan apa pun, sebagaimana firman-Nya, “Kemanapun

engkau memalingkan pandanganmu, maka di sanalah ada wajah Allah” (Q.S.

al-Baqarah/2: 102.).35

Namun dalam hal ini penulis akan meneliti paham pluralisme agama

dalam perpektif Farid Esack. Adapun alasan penulis memilih Esack sebagai bahan

kajian penulisan skripsi ini, pertama adalah karena ia mempunyai perspektif yang lebih progress dalam memahami pluralisme agama, yakni untuk mendukung pahamnya tersebut, selain ia membahas pluralisme agama melalui pembuktian

al-Quran, ia juga meredifinisi pengertian iman, islam dan kafir dengan penggunaan

dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang,

khususnya pluralitas agama. Alasan kedua, adalah latar belakang budaya Esack ada kemiripan dengan konteks Indonesia, yakni memiliki kekayaan budaya,

agama, dan aliran kepercayaan yang beragam,36 sedangkan alasan terakhir adalah karena konflik dan kekerasan yang terjadi di kedua negeri ini kebanyakan

didominasi oleh faktor agama, dan Esack adalah salah satu sosok intelektual

Muslim Afrika Selatan yang telah ikut andil besar dalam meruntuhkan sistem

apartheid,37 yakni dengan mengusung gagasan pluralisme agama berdasarkan

35

Armstrong, Sejarah Tuhan, h, 317.

36

Gifford, “Afrika Selatan,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk

Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., (Jakarta: Lentera Abadi., 2006), h. 380-383.

37

(20)

perspektif al-Quran, setidaknya pada waktu itu masyarakat Afrika Selatan dari

berbagai agama telah sadar akan pentingnya bergabung bersama dan berjuang

dalam meruntuhkan sistem apartheid di Afrika Selatan yang telah

menyengsarakan kehidupan mereka semua. Pasalnya, ada juga sebagian kelompok

agama yang tidak bersedia ikut bergabung karena takut terjerumus pada

kekufuran, khususnya Islam. Bagi mereka agama yang diterima disisi Allah

hanyalah Islam, dan kaum yang berada di luar diri mereka adalah kafir. Oleh

karena itu, orang Muslim yang ikut bergabung dengan Call of Islam38 adalah kafir. Padahal menurut Esack, mereka juga sama-sama telah mengalami

penderitaan dan telah menumpahkan darah akibat kekejaman apartheid.39

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang punya tanggungjawab

moral terhadap umatnya, maka dalam bukunya yang pertama,40 sebagaimana yang

telah dikemukakan di muka, selain ia membahas pluralisme agama melalui

pembuktian al-Quran, termasuk juga di dalamnya ia banyak membahas

penggunaan dan pemaknaan istilah iman, islam dan kafir, namun dengan

terutama dalam bidang politik dan ekonomi, misalnya secara politik orang kulit hitam yang mayoritas tidak diperbolehkan duduk di pemerintahan; secara ekonomi tidak diperbolehkan mempunyai pekerjaan, sebagaimana yang diperuntukan untuk orang kulit putih; dan dilarang tinggal di lokasi yang tidak ditentukan untuk mereka. Sistem aparteid telah dipraktikkan sebelum tahun 1948 diberlakukan. Lihat, Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, “Apartheid,”

dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, vol. II(Jakarta: Delta Pamungkas., 2004), h. 187-188.

38

Call of Islam adalah nama kelompok yang didirikan oleh Adli Jacobs, Ebrahim Rasool,

Shamiel Manie dan Farid Esack sendiri pada Juni 1984. Sebenarnya nama The Call of Islam

adalah nama yang dipakai pada lembar beritanya, sedangkan pertama kali kelompok tersebut

dinamakan Muslims Against Oppression. Nama tersebut dipakai untuk keperluan resmi publikasi

pamflet. Komunitas tersebut sangat berperan penting dalam membujuk kaum Muslim untuk

menerima keharusan politik dan legitimasi teologis bagi solidaraitas antar iman dan menerima tanpa ragu kaum Kristen dan Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman, dan hal tersebut merupakan babak baru bagi kehidupan agama-agama di Afrika Selatan, yakni ketika dari berbagai penganut agama ikut bersedia bergabung bersama dalam meruntuhkan aparteid di Afrika Selatan.

Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah

Watung A. Budiman (Badung: Mizan, 2000), h.h. 66-79.

39

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66.

40

(21)

penggunaan dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi

sekarang, khususnya dengan konteks pluralisme agama. Terlebih lagi al-Quran

bagi umat Islam adalah satu-satunya kitab suci yang dipercaya sebagai yang

betul-betul otentik,41 maka diharapkan dengan adanya penelusuran makna tersebut,

menurut Esack orang atau sekelompok orang tidak sembarang untuk mengatakan

orang lain sebagai kawan dan lawan, juga agar kaum lain dari agama apa pun

tidak akan menderita akibat ketidakberimanan oleh golongan lain karena ia yakin,

bahwa al-Quran memperhatikan dan menampilkan Tuhan sebagai yang

memperhatikan apa yang dilakukan manusia, yang artinya Tuhan telah ikut

campur dalam sejarah manusia.42 Ia tidak berbicara pada ruang yang hampa.

Terlebih manusia itu lebih banyak dibentuk oleh konteks dari pada teks.43 Selain

itu, ia juga ingin memperlihatkan bahwa adalah mungkin kaum beriman dari

berbagai agama hidup berdampingan dalam keimanan kepada al-Quran dalam

konteks kekinian dan bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang

lebih manusiawi.44

Maka dengan sosok dan pemikirannya tersebut, penulis tertarik untuk

menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul, “Farid Esack dan Paham

Pluralisme Agama”. Diharapkan dengan pengalaman dan keberhasilan Esack,

khususnya dalam menghadapi pluralitas agama di Afrika Selatan dapat menjadi

kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah

pemikiran intelektual Indonesia, dan masyarakat umumnya dalam mewujudkan

proses demokrasi yang rukun, aman dan damai, serta berkeadaban.

41

Esack, Membebaskan yang Tertindas. h. 39-40.

42

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 34.

43

Esack, Membebaskan Yang Tertindas, h. 131.

44

(22)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan beberapa alasan dan pemilihan judul tersebut, maka penulis

akan membatasi pembahasan paham pluralisme agama dalam perspektif Esack

dan agama-agama pada umumnya. Namun pada pembahasan paham pluralisme

agama dalam perpektif agama-agama penulis membatasinya pada empat agama,

yakni Islam, Buddha, Hindu dan Kristen.

Adapun perumusan masalah yang akan dirumuskan adalah pertama, bagaimana paham pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, kedua bagaimana paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama pada

umumnya, yakni dalam perspektif Islam, Buddha, Hindu dan Kristen.

C. Tinjauan Kepustakaan

Terdapat beberapa karya ilmiah, yang penulis telusuri yang berkaitan

dengan paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama dan yang

berkaitan dengan Farid Esack. Di antara buku yang membahas pluralisme agama

dalam perpektif Islam adalah Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman

(Jakarta: Paramadina, 2001), karya Budi Munawar Rahman. Buku tersebut, di

antaranya memuat tulisan mengenai prinsip-prinsip pluralisme agama yang

diusung oleh gurunya, Nurcholish Madjid, seperti pentingnya pemikiran

pluralisme dalam teologi agama-agama demi tercapainya kedamaian dan keadilan

di bumi ini, sedangkan Nurcholish Madjid sendiri membahas pluralisme agama

(23)

Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000). Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap

kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik

mungkin berdasarkan kenyataan itu, dan tidak boleh hanya dipahami sebagai

bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, tapi

hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan

keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi

keselamatan umat manusia karena merupakan sebuah aturan, sunatullah yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari.

Kemudian buku Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama

(Yogyakarta: LkiS, 2002) karya Fathimah Usman. Buku tersebut berisi gagasan

pluralisme agama dalam al-Quran, dan gagasan wahdat al-adyan yang diusung oleh al-Hallaj.

Selanjutnya buku The Children of Adam: An Islamic Perspektif on Pluralism (Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, 1996) karya Mohamed Fathi Osman, dan telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah dan Perdaban (Jakarta: Paramadina, 2006). Buku tersebut mengusung gagasan pluralisme agama berdasarkan al-Quran dan sejarah kehidupan agama-agama

pada masa pemerintahan Islam di Yasrib, sekarang Madinah. Pembahasan

pluralisme agama dalam konteks pemerintahan Islam, ia banyak menguraikan

pluralisme dari banyak hal; sisi agama, sosial, hukum, sampai bagaimana caranya

(24)

Secara garis besar pada dasarnya buku-buku tersebut sama-sama

menggagas nilai-nilai pluralisme agama berdasarkan perpektif al-Quran dan

sejarah kehidupan agama-agama pada masa pemerintahan Islam. Demikian juga

dengan bukunyaJalaluddin Rakhmat yang berjudul Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006), isi pembahasannya hampir sama dengan penulis sebelumnya. Namun masing-masing penulis dalam merujuk

ayat-ayat pluralisme agama dalam al-Quran berbeda-beda, ada yang sama dan ada

yang menambahkannya, misalnya dalam buku Fathimah Usman dan Jalaluddin

Rakhmat sama-sama merujuk Q.S. al-Baqarah/2: 62 untuk menjelaskan

pengakuan atas eksistensi agama-agama. Kemudian Jalal menambahkannya

dengan Q.S. al-Maidah/5: 69 dan Q.S. al-Hajj/22: 17. Fathimah Usman merujuk

Q.S. al-Baqarah/2: 256 untuk menjelaskan tidak ada paksaan dalam beragama,

Q.S. al-Anam/6: 108, dan Q.S. al-Syuro ayat 13 untuk menjelaskan kesatuan

kenabian, Q.S. al-Nisa/3: 131.

Selanjutnya pluralisme agama dalam bentuk skripsi di antaranya adalah

yang berjudul: Gagasan Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003)

ditulis oleh Sutisna; Pluralisme Agama dalam Penafsiran Sayyid Quthb Kajian Tematik atas Tafsir fi Zhilal Al-Quran (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Akbar Imanuddin;

Konsep Pluralisme Agama Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah,(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis

oleh Muhammad Arham Mursidin. Isi ketiga skripsi tersebut sama-sama

(25)

yang telah dirujuk oleh penulis-penulis buku sebelumnya, yang berbeda hanyalah

pada pemikiran tokohnya saja. Demikian juga dengan skripsi yang berjudul

Konsep Al-Quran Tentang Pluralisme (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Faturrahman.

Walaupun ia tidak merujuk pada pemikiran tokoh, tapi ayat-ayat yang ia rujuk

dalam menjelaskan pluralisme agama sama, sebagimana yang telah dirujuk oleh

penulis-penulis skripsi dan buku yang telah disebutkan di muka. Namun dalam

membahas kesatuaan keagamaan, ia menambahkannya dengan merujuk pada Q.S.

al-Baqarah /2: 132 dan Q.S. Ali Imran/3: 85, pesan kenabian, Q.S. al-Baqarah 2:

132, dan pesan Tuhan Q.S. al-Nisa/3: 131.

Sedangkan buku yang membahas pluralisme agama dalam perpektif

agama-agama di antaranya adalah buku Harold Coward. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Di dalamnya di jelaskan tentang kandungan paham pluralisme agama dari

berbagai agama-agama dunia.

Kemudian yang menulis tokoh pemikiran Farid Esack adalah Burhanuddin

dan Irwandi dalam bentuk skripsi. Keduanya tidak membahas pluralisme agama

dalam pemikiran Farid Esack, tapi keduanya sama-sama membahas hermeneutik

dalam pemikiran Farid Esack. Mereka sama-sama menjelaskan prinsip-prinsip

hermeneutik yang digunakan oleh Farid Esack berdasarkan perspektif al-Quran.

Prinsip-prinsip hermeneutiknya adalah taqwa (integritas dan kesadaran akan

kehadiran Tuhan), tauhid (keutuhan dan kesatuan ketuhanan), al-nâs (manusia), al-mustada’fun fi al-ard (yang tertindas dan tersisih di dunia), qist dan ‘adl

(26)

Letak perbedaan tulisan Burhanuddin dan Irwandi adalah dalam tulisan

Burhanuddin, selain membahas prinsip-prinsip hermeneutik Farid Esack, ia juga

menyandingkannya dengan hermeneutik Charles Kurzman, sedangkan Irwandi,

khusus membahas prinsip-prinsip hermeneutik Farid Esack saja. Lebih lanjut

skripsi Burhanuddin berjudul Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perpektif Farid Esack dan Charles Kurzman tentang Islam, Modernitas, dan Masa Lalu yang Diciptakan (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003), sedangkan skripsi Irwandi berjudul

Reception Teori Hermeneutika Farid Esack (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).

D. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui paham

pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, dan menjelaskan paham

pluralisme agama dalam perspektif agama-agama sebagai bahan pengantar.

Adapun tujuan lain dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah

kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah

pemikiran intelektual Indonesia dalam mewujudkan proses demokrasi yang aman

dan damai di Indonesia.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan

(27)

penelitian kepustakaan terhadap buku-buku, jurnal-jurnal, majalah-majalah, atau

data-data yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ini, baik itu yang bersumber

dari penulis asli atau penulis lain.45 Buku yang dijadikan rujukan utama adalah

buku yang ditulis oleh penulis asli dan telah diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia yaitu Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme

dan On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural,

sedangkan untuk pluralisme agama-agama, menggunakan buku Harold Coward.

Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Selanjutnya setelah penulis melakukan pengumpulan data melalui

penelitian kepustakaan, penulis melakukan analisa. Analisa data yang digunakan

penulis adalah analisa data deskriptif,46 yakni penulis berusaha menggambarkan dan menggali penjelasan pluralisme agama baik itu dalam perpektif agama-agama

dan Farid Esack.

Adapun dalam teknik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman,

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang ditulis oleh Tim Penyusun Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.47

F. Sistematika Penulisan

45

John W. Creswell, Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitaf. Pengantar

Supardi Suparlan. Penerjemah Angkatan III dan IV KIK-UI dengan Nur Khabibah (Jakarta: KIIK Press, 2003), h. 21.

46

Creswell, Desain Penelitian, h. 147-150.

47

Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)

(28)

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Uraiannya sebagai berikut: bab

pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah; pembatasan dan perumusan masalah; tinjauan kepustakaan; tujuan penelitian;

metode penelitian dan teknik penulisan; terakhir adalah sistematika penulisan.

Pada bagian latar belakang masalah di antaranya berisi tentang alasan penulis

mengambil judul skripsi. Kemudian pada bagian pembatasan masalah berisi

tentang batasan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini, yakni

membatasinya pada pembahasan pluralisme agama dalam perpektif agama-agama

dan khususnya dalam perpektif Farid Esack. Pada bagian tinjauan kepustakaan

berisi tentang siapa saja orang yang telah membahas pluralisme agama dan

menulis tokoh Farid Esack, sedangkan pada metode penelitian dan teknik

penulisan berisi tentang metode penelitian dan teknik penulisan yang digunakan

oleh penulis, dan yang terakhir dari penulisan bab pertama ini adalah sistematika

penulisan yang berisi tentang pembagian bab dari skripsi ini, disertai dengan

uraian singkat pada masing-masing babnya.

Selanjutnya pada bab dua berisi tentang riwayat hidup Farid Esack, yang

terdiri dari: latar belakang sosial; latar belakang intelektual; dan karya-karyanya.

Pada bab ini sangat diperlukan untuk mengetahui landasan pemikiran dia

mengenai pluralisme agama. Oleh karena itu, pada bab ini penulis berusaha

menguraikan sekilas faktor sosial dan intelektual Esack yang berkaitan dengan

lahirnya pemikiran dia mengenai paham pluralisme agama.

Pada bab tiga berisi tentang pembahasan pluralisme agama perspektif

agama-agama; dibatasi hanya empat agama saja yaitu Islam, Hindu, Buddha, dan

(29)

penting untuk dibahas, yakni untuk mendukung dan mengimbangi pemikiran

pluralisme agama dalam pemikiran Farid Esack yang notabene seorang pemikir pluralisme agama dari Muslim. Lebih lanjut sistematika penulisan bab tiga ini

sebagai berikut: pluralisme agama dalam perspektif Islam; pluralisme agama

dalam perspektif Hindu; pluralisme agama dalam perspektif Buddha; pluralisme

agama dalam perspektif Kristen.

Kemudian, bab empat berisi tentang konsep pluralisme agama dalam

pemikiran Farid Esack dan pengertian pluralisme agama dalam beberapa

perspektif. Adapun isinya adalah sebagai berikut: pengertian pluralisme agama;

konsep pluralisme agama dalam perspektif Esack, alasan dan argumentasinya, dan

diakhiri dengan kritik terhadapa pemikiran Esack.

Selanjutnya bab terakhir dari penulisan ini adalah bab lima sebagai

penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Dalam simpulan penulis

berusaha menyimpulkan hasil penelitian mengenai paham pluralisme agama

dalam perpektif Esack dan agama-agama, yakni dengan merujuk kepada rumusan

masalah yang telah disebutkan pada penulisan skripsi ini. Kemudian diakhiri

(30)

BAB II

RIWAYAT HIDUP FARID ESACK

A. Latar Belakang Sosial Farid Esack

Esack adalah seorang aktivis dan intelektual Muslim asal Afrika Selatan

yang dikenal luas oleh dunia melalui pemikiran-pemikirannya mengenai persoalan

agama, politik dan sosial,48 terutama yang tertuang dalam karyanya yang berjudul

Quran Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Agains Oppression (England: Oneworld, 1997). Bahkan beberapa kali ia pernah datang ke Indonesia dalam rangka mensosialisasikan

pemikiran-pemikirannya tersebut, salah satunya datang ke Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tanggal 23 Maret 2001. Ia dilahirkan di South Road, Cape

Town, Wynberg, Afrika Selatan, tahun 1959,49 dan dibesarkan di Bonteheuwel,

Cape Flats. Ia tinggal bersama ibu dan kelima saudara laki-lakinya. Ia adalah anak

ketiga dari perkawinan ibunya yang kedua. Namun ayahnya meninggalkanya

ketika ia baru mencapai usia tiga minggu sehingga ibunyalah yang mengurus

semua keenam anaknya, sedangkan tiga saudara laki-lakinya yang lain adalah

hasil dari pernikahan ibunya yang pertama. Namun pernikahan pertama ibunya

kandas ketika anak ketiganya baru berusia tiga bulan.50 Menurut Esack, inilah

48

Farid Esack. On Being A Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern. Penerjemah Dadi

Darmadi dan Jajang Jamroni (Jakarta: Erlangga, 2004), h. xii.

49

The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack,” artikel diakses tanggal 10 September 2007 dari http://www.hsf.org.za/%23article_view.asp?id=34

50

Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.

(31)

kebetulan-kebetulan serba tiga yang cukup untuk mendorong orang pada

trinitarianisme.51 Menurut Esack peranan agama dalam seluruh lapisan masyarakat Afrika

Selatan sangat memainkan peranan penting. Bahkan sistem apartheid yang

diberlakukan oleh pemerintahan tersebut pun disebabkan atas nama dan terkadang

dukungan kitab suci agama. Salah satunya adalah umat Kristen. Tidak sedikit

mereka dengan kitab sucinya ikut mendukung tindakan tersebut, tapi tidak

seluruhnya karena ada juga organisasi, seperti Christian Institute atau individu-individu, seperti pendeta Theo Kotze dan Beyers Naude yang tidak ikut

mendukung tindakan tersebut.52

Bonteheuwel, Cape Flats, tempat Esack dibesarkan adalah salah satu

bentuk pemberlakuan sistem apartheid. Daerah tersebut merupakan daerah

pembuangan bagi orang kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna, dan

merupakan daerah yang tanahnya paling tandus yang berada di Afrika Selatan.

Tidak ada apa pun di sana, selain terdapat bukit-bukit pasir dan pohon Port

Jackson. Di sanalah Esack dan keluarganya beserta sekian banyak penduduk

tinggal. Mereka dipaksa pindah ke daerah tersebut oleh Akta Wilayah Kelompok

(Group Areas Act) ketika pada tahun 1961 daerah mereka, Milford Road, dideklarasikan sebagai kawasan kulit putih (South Road White).53 Pengusiran tersebut menurut Esack adalah salah satu bentuk pemberlakuan

sistem apartheid yang sangat menghancurkan dan menyengsarakan kehidupan

51

Rasisme, kapitalisme, dan patriarkhi. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 7.

52

Esack, Membebaskan yang Tertindas h. 27.

53

Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural.

Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h.187. Lihat juga Esack, Membebaskan

(32)

mereka. Dua juta orang manusia tidur di lantai, tanah berdebu, dan tumpukan

jerami. Mereka tertidur dalam keadaaan perut kosong. Terkadang untuk

mengenyangkan perut, mereka terpaksa mencampur pasir dengan tepung.54

Bahkan kekejaman yang dilakukan oleh rezim apartheid tidak itu saja, pada tahun

1980-an, orang kulit hitam yang jumlahnya hampir tiga perempat total populasi,

hanya mendapat seperempat dari pendapatan nasional. Sementara orang kulit

putih yang jumlahnya hanya seperenam total populasi, memperoleh hampir dua

pertiganya. Jutaan orang penganggur, tidur dimana saja. Mereka tertidur dengan

perut kosong, dan bangun tanpa ada yang bisa dimakan. Jika keesokan hari

mereka mencari-cari kerja, kemudian tidak mendapatkanya, maka ketika pulang,

mereka mencari-cari sesuatu di tempat sampah yang kira-kira bisa dikunyah.55

Selama Esack dan keluarganya tinggal di daerah pengusiran, kehidupan

mereka tak jauh berbeda dengan yang lainnya, sangat mengkhawatirkan. Apalagi

jika musim dingin tiba. Jika Esack dan kakaknya hendak pergi ke sekolah, mereka

harus berlari agar kaki mereka tidak sempat membeku karena mereka tidak

memakai alas kaki, dan biasanya pada musim itu, tidak ada makanan di rumah

sehingga terpaksa mereka harus memungut sisa apel yang dibuang di jalanan atau

pun di selokan. Jika mereka tidak menemukannya, maka terpaksa mereka harus

berkeliling rumah mengetuk pintu untuk meminta sepotong roti.56

Beruntunglah tetangganya, Nyonya Ellen Batista yang selalu membantu di

masa-masa sulit mereka selama mereka tinggal di tempat pengusiran. Ia selalu

memberi mereka secangkir gula, minyak ikan, atau pinjaman uang. Terkadang ia

54

Esack, On Being A Muslim, h. 33. Lihat juga, Esack, Membebaskan yang Tertindas, h.

24.

55

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 24

56

(33)

hanya sekedar teman berbincang ibunya, sedangkan tetangganya yang lain adalah

Tuan Frank. Dia adalah orang yang selalu memberi perpanjangan waktu

pembayaran pinjaman uang kepada mereka, yang seolah tanpa akhir.57

Sebenarnya ibu Esack bekerja. Namun pekerjaannya tidak bisa mencukupi

kebutuhan hidup beserta keenam anaknya. Walaupun ia bekerja dari pagi buta

hingga malam gelap.58 Bahkan mulai sejak kecil pun ibunya sudah bekerja di

sebuah binatu Wynberg. Namun upah mingguannya amat kecil. Perjalanan yang

ia tempuh menuju tempat pekerjaannya pun sangatlah jauh. Ia harus berlari

mengejar kereta di pagi hari, jauh sebeum fajar menyingsing, di saat para

mandornya masih asyik menikmati kopi hangat dan membaca koran pagi. Yang

dipedulikan para bosnya, hanyalah produksi, produksi, dan produksi. Tidak ada

waktu untuk istirahat. Kalaupun ada, hanyalah sekotak kecil coklat di Hari Natal.

Itupun hanya sebagai pengganti bonus istirahat.59

Sebenarnya, sebagian anak-anaknya yang lain membantu pekerjaan

ibunya. Namun tugas-tugas mereka hanya sebatas mencuci, membersihkan rumah,

dan menyeterika. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang berat tetap dipikul oleh

ibunya karena menurut tradisi mereka, pekerjaan berat bukanlah panggilan utama

bagi hidup laki-laki. Laki-laki adalah sultan dalam keluarga, dan merupakan

syahadat yang harus selalu diikuti oleh tradisi mereka.60 Ibunya meninggal dalam

57

Mereka adalah tetangga Esack yang berlainan agama dengannya di tempat pengusiran,

South Road Wynberg, Cape. Nyonya Ellen Batista adalah seorang Katolik yang taat, juga sahabat ibunya. sedangkan Tuan Frank adalah berdarah Yahudi dan Tahiroh. Dia berprofesi sebagai tukang kredit. Kemudian teman sekolah dasarnya adalah seorang gadis Baha’i yang orang tuanya

melarang anak tersebut untuk membicarakan agamanya kepada siapa pun. Esack, Membebaskan

yang Tertindas, h. 25. 58

Esack, On Being A Muslim, h. 188.

59

Esack, On Being A Muslim, h. 187.

60

(34)

usia lima puluh dua tahun, tepat sebelum Hari Raya ‘Id. Pada saat ibunya

meninggal, ibunya sedang bekerja sebagai tukang seterika di Parow.61

B. Latar Belakang Intelektual Farid Esack

Esack dididik di sekolah berdasarkan Pendidikan Nasional Kristen yang

mempunyai sebuah ideologi keagamaan konservatif. Tujuan pendidikan mereka

adalah untuk membentuk warga apartheid yang patuh dan takut pada Tuhan.62

Sebagaimana tradisi di Cape Town, sejak usia dini ia dikirim oleh ibunya

ke madrasah dan berpindah-pindah dari satu madrasah ke madrasah yang lain.

Sampai kemudian ketika usianya mencapai dua belas tahun ia bertemu dengan

Boeta Samodin Friseslar, gurunya di sekolah baru. Di sekolah tersebut, Esack

mendapat pengalaman yang melukai hatinya, yaitu ditertawakan oleh

teman-temannya saat membaca al-Quran di depan kelas karena ia tidak bisa

membedakan antara alif dan ba. Padahal menurut pendapatnya, ia sudah bisa membaca, meskipun surat-surat pendek di bagian akhir al-Quran. Bahkan di

sekolah lamanya, ia adalah termasuk anak yang paling pandai di antara

teman-temannya. Maka, setibanya di rumah, Esack menceritakan peristiwa tersebut

kepada ibunya sambil memperlihatkan buku kaidah membaca al-Quran yang ia

beli dari gurunya tersebut. Kemudian ibunya berkonsultasi dengan bibinya yang

juga guru di sebuah madrasah. Namun menurut bibinya, buku tersebut tidak baik.

Dengan alasan tersebut, keesokan harinya, Esack tidak kembali lagi ke sekolah

sementara untuk laki-laki tidak ada prasarat “jika mampu” karena dengan gender laki-laki sudah

cukup memenuhi persyaratan untuk jadi penguasa dalam pemerintahan tersebut. Esack, On Being

A Muslim, h. 189.

61

Esack, On Being A Muslim, h. 219.

62

(35)

tersebut. Sebenarnya lebih jauh, menurut Esack karena buku tersebut adalah milik

Ahmadiyah Qodaniyah63 yang keberadaan mereka dianggap bid’ah oleh

kebanyakan Muslim lainnya.64

Sejak kanak-kanak sampai remaja Esack sudah dianggap alim oleh

masyarakat Muslim sekitarnya. Saat masih sekolah, ia pernah menjadi guru

madrasah, dan ketika dewasa, ia menjadi wakil masyarakat yang mengelola

masjid. Bahkan, di saat usianya masih kecil, pada umur sembilan tahun, demi

kecintaannya pada Islam ia sudah bergabung dengan Jama’ah Tabligh. Namun

secara formal, ia bergabung dengan jama’ah tersebut pada usia sepuluh tahun.

Semua hari libur dan akhir pekan ia habiskan dengan jama’ah tersebut selama

sebelas tahun. Namun karena alasan absolutisme, akhirnya ia keluar, yakni yang

menyatakan bahwa “hanya kita, dan kegiatan kita yang penting dan bermakna”.

Sedangkan alasan lain adalah ia merasa bahwa selama bergabung dengan jama’ah

tersebut, spiritualitasnya hanya merupakan upaya menghindar dari

kenyataan-kenyataan yang tidak menyenangkan tentang dirinya.65 Namun ia juga tidak

menghindar untuk mengatakan bahwa ia merasa senang selama sepuluh tahun

berada dalam jama’ah tersebut.66

Ketika masih sekolah, Esack pernah ditahan oleh polisi keamanan karena

bergabung dengan Aksi Pemuda Nasional (National Youth Action) dan Asosiasi Cendikiawan Kulit Hitam Afrika Selatan (South African Black Scholars Association). Kedua organisasi ini menuntut adanya perubahan sosial politik 63

Ahmadiah Qodian adalah salah satu sekte yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, yang menganggap bahwa ia adalah Nabi. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ahmad, Mirza

Ghulam,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: Ikhtiar Baru van

Hoeve, 1997), h. 81.

64

Esack, On Being A Muslim, h. 83.

65

Esack, On Being A Muslim, h. 35.

66

(36)

radikal. Markas yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul, adalah gedung

Christian Institut, yang dipimpin oleh pendeta Theo Kotze. Pendeta Theo Kotze sangat baik. Dialah yang memberikan fasilitas beribadah bagi para Muslim, dan

pendeta Theo jualah yang datang mengunjungi keluarganya setelah ia lepas dari

tahanan untuk menghibur dan meyakinkan keluarganya bahwa berurusan dengan

polisi sebenarnya merupakan suatu kehormatan.67

Setelah menyelesaikan sekolah madrasahnya, pada umur lima belas tahun

Esack mendapatkan beasiswa untuk belajar teologi selama delapan tahun

(1974-1982)68 di sebuah Institut Karachi, Pakistan, yang sebagian besar, menurutnya,

teramat konservatif, yang memandang jelek sesuatu yang berbau duniawi.69 Di

sana, Esack belajar di dua tempat yang berbeda, yaitu di Jama’ah Al-Islamiyah

dan Jama’ahAlimiyah. Di Jama’ah Al-Islamiyah ia mendapat gelar BA dalam hukum Islam, dan di Jama’ahAlimiyahAl-Islamiyah ia juga mendapat gelar BA dalam bidang teologi. Di sana juga ia mendapatkan gelar Maulana.70

Selain belajar di Pakistan, Esack juga pernah belajar hermeneutik di

Jerman dan teologi di Inggris selama beberapa tahun. 71 Ia mendapat gelar

Ph.D-nya dari University of Birmingham, Inggris dalam bidang Tafsir al-Quran dan

pernah tercatat sebagai associate professor dalam studi Islam di University of Western Cape, Afrika Selatan.72

Selama belajar di Pakistan dan tetap aktif di Jama’ah Tabligh yang

dipimpin oleh Haji Bhai Padia, ia juga aktif terlibat dalam gerakan Islam Ittihad

67

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 26.

68

The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack.”

69

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27.

70

Irwandi, “Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002), h. 16.

71

Esack, On Being A Muslim, h. 19-20.

72

(37)

Al-Tulaba Al-Muslimin (Persatuan Pelajar Muslim),73 dan sering ikut dalam diskusi yang diadakan oleh kelompok pelajar Kristen yang bernama

Breakthrough,74kemudian bergabung bersama mereka, melibatkan para medis di penjara pusat Karachi, dan mengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kriten,

serta merawat anak-anak terlantar di sebuah rumah75 hingga kemudian pada tahun

1970-an, dia diundang dan diminta oleh Norman Wray untuk mengajar Studi

Islam di sekolah yang ia pimpin.76

Selama delapan tahun tinggal di Pakistan dan bergaul dengan

orang-orangnya. Esack telah banyak menyaksikan penderitaan yang disebabkan oleh

agama, khususnya penderitaan yang dialami kaum minoritas Kristen oleh kaum

Muslim. Mereka dilecehkan secara secara sosial maupun agama.77 Padahal

73

Esack, On Being A Muslim, h. 19-20.

74

Breakthrough adalah kumpulan pemuda Kristen yang peduli dengan nasib kaum yang tertindas dan yang berjuang menegakkan keadilan di Pakistan dengan iman mereka. Para

pendirinya adalah Norman Wray, Derrick Dean, Lucia Gomes, Kenny Fernandes. Esack, On Being

A Muslim, h. 18.

75

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27-28.

76

Esack diminta untuk mengajar di Sekolah Menengah Teknik St. Patrick, Karachi. Dia ditawari untuk mengelola studi Islam di Sekolah tersebut dan mentransformasikannya menjadi

suatu program diskusi perkemahan dan kegiatan darmawisata. Lihat Esack, On Being A Muslim, h.

16.

77

Secara sosial, mereka dilarang makan di café-cafe pinggir jalan. Mereka juga dilarang minum dari sumber air kepunyaan kaum Muslim sehingga mereka, Kristen Punjab, harus berjalan bermil-mil jauhnya demi mendapatkan air, padahal sumber air yang dimiliki kaum Muslim lebih dekat. Alasan kaum Muslim melakukan hal itu adalah karena mereka beragama Kristen ketika peristiwa tersebut sampai ke telinga Jerman, maka Jerman membuatkan sumur untuk saudara mereka sesama Kristen di Pakistan. Namun setelah sumur itu selesai dibangun, ternyata perlakuan mereka sama persisnya seperti perlakuan kaum Muslim terhadap mereka. Bedanya yang mereka

balas adalah orang Hindu yang dekil dan lemah. Tindakan chauvinisme yang dilakukan oleh kaum

(38)

mereka pun, umat Islam Pakistan pernah mengalami perlakuan tidak adil selama

berabad-abad oleh kaum Hindu kelas atas ketika mereka masih bersatu dengan

India, dan menjadi kaum minoritas.78 Namun pengalaman tersebut ternyata tidak

menyadarkan mereka untuk tidak berlaku adil terhadap mereka, kaum minoritas

Kristen. Perlakuan mereka sama buruknya, sebagaimana yang pernah dilakukan

kaum Hindu kelas atas terhadap mereka saat itu.79

Kasus serupa pun menurut Esack, pernah menimpa kaum minoritas

beragama di Afrika Selatan, tapi kebalikannya. Di Afrika Selatan, kaum minoritas

Muslimlah yang pernah mendapat perlakuan tidak adil oleh penguasa Kristiani

yang mayoritas, dan akibat pemberlakuan apartheid yang dijalankan oleh mereka,

hampir dua abad kaum minoritas Muslim mengalami penderitaan; perkawinan

mereka dianggap tidak sah dan dihinakan; kewarganegaraannya ditolak; mereka

juga tidak boleh memiliki tanah atau menetap di wilayah koloni, walaupun

mereka dilahirkan di sana; mereka juga melakukan kerja paksa tanpa dibayar;

dihukum sekehendak tuannya dengan cambuk dan dipenjara; mereka juga tidak

bisa keluar dari kampung halamannya tanpa izin, dan rumah-rumah mereka

dimasuki dan dijamah oleh polisi dengan sewenang-wenang.80

Menurut Esack, tindakan-tindakan buruk tersebut yang dilakukan oleh

kaum beragama karena ditopang oleh paham keagamaan mereka masing-masing

karena tidak yakin orang Muslim melakukan hal itu karena mereka Muslim,

belakang murid-murid Muslim dikeluarkan dari sejumlah sekolah. Lebih jauh lihat Esack, On

Being A Muslim, h. 222-232.

78

Pemisahan kedua daerah tersebut terjadi pada tahun 1948. Para penganut Hindu mendirikan negara sendiri yaitu Republik India, sedangkan para penganut Islam mendirikan

Republik Islam Pakistan. Esack, On Being A Muslim, h. 222.

79

Esack, On Being A Muslim, h. 222-223.

80

(39)

ataupun orang Kristen karena mereka Kristen,81 maka sekembalinya dari Pakistan,

tepatnya tahun 1982, untuk menyalurkan aspirasinya, ia bergabung dengan

Gerakan Pemuda Muslim (Muslim Youth Movement),82 tapi hanya sebentar karena ternyata pemikiran Esack dengan organisasi tersebut, tidaklah cocok. Oleh karena

itu, untuk melanjutkan aspirasinya, pada Juni 1984, ia bersama temannya Adli

Jacobs, Ebrahim Rasool dan Syamiel Manie mendirikan Call of Islam.83 Di sana mereka membangun kembali apresiasi yang baru terhadap al-Quran. Mereka

melakukan pembacaan ulang terhadap ajaran Islam, seperti bagaimana seharusnya

memaknai teks al-Quran dalam konteks perjuangan dan kebebasan dari eksploitasi

ekonomi, penindasan rasial, atau penindasan terhadap kaum wanita, dan

ketidakadilan politis yang dilakukan oleh rezim apartheid karena Esack percaya,

bahwa Tuhan telah dan sedang ikut dalam sejarah.84

Call, hanyalah satu dari sekian banyak organisasi berbasis agama yang

terlibat dalam perjuangan dalam Front Demokasi Bersatu (United Democratic Front). UDF adalah organisasi pergerakan Muslim terbesar untuk kemerdekaan yang berdiri pada tahun 1983. Organisasi ini paling aktif dalam memobilisasi

aktivitas perjuangan dalam menentang apartheid, diskriminasi gender, dan

pencemaran lingkungan, serta menggalang usaha antar iman.85

Selanjutnya untuk mendukung perjuangan tersebut, Call mengajak kaum

beriman dari semua golongan untuk bergabung membentuk solidaritas antar iman

dan berjuang bersama melawan apartheid tanpa memandang apakah ia beragama

81

Esack, On Being A Muslim, h. 223.

82

MYM adalah gerakan pemuda Muslim yang didirikan pada 1670.

83

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 79.

84

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 31-32.

85

Referensi

Dokumen terkait

rang yang seagama dengan Anda merendahkan agama lain Didiamkan saja Dimusywarahkan oleh pimpinan umat Diproses secara hukum Tidak tahu/menjawab Grafik 27:. Pilihan Penyelesaian

Inilah khazanah relasi antara Islam, Yahudi dan Nasrani, sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat. Disisi lain ada ketegangan antara umat

Penjelasan surat al-Kafirun oleh ulama yang menentang adanya paham pluralisme agama adalah ayat tersebut menunjukkan bahwa sebagai umat Islam tidak boleh

Penginjil berani meminta Toba dianeksasi oleh pemerintah kolonial Belanda setelah basis umat Kristen di Toba sudah mulai kokoh... Sistem bius berganti dengan sistem

Cara-cara yang dilakukan Situbondo, khususnya oleh umat beragama yang terlibat konflik menarik untuk diteliti yaitu, dengan menggunakan modal sosial yang dimiliki