• Tidak ada hasil yang ditemukan

Argumentasi Pluralisme Agama

Dalam dokumen Farid Esack dan paham pluralisme agama (Halaman 69-89)

PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF FARID ESACK

B. Konsep Pluralisme Agama dalam Perspektif Farid Esack

2. Argumentasi Pluralisme Agama

Berikut ini adalah beberapa argumentasi mengenai penerimaan dan pengakuan keberadaan kehidupan religius komunitas lain menurut Esack dalam al-Quran, baik secara sosial maupun spiritual, dan sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa pembahasan ulang mengenai istilah iman, islam, dan kafir dalam pandangan Esack menjadi salah satu argumentasi yang sangat penting untuk memahami pengertian pluralisme agama, khususnya dam Islam karena ia telah menggunakan istilah-istilah tersebut dengan makna yang kontekstual dan eksistensial dengan paham pluralisme agama. Adapun argumentasi- argumentasinya adalah sebagai berikut:

a. Pengakuan dan Penerimaan Kaum Lain Sebagai Komunitas Sosioreligius yang Sah

Menurut Esack, argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan atas kaum lain sebagai komunitas sosioreligius yang sah, tertulis

185

dalamteks Q.S. al-Baqarah/2: 62186, dan ayat yang sejenis dalam Q.S. al- Maidah/5: 69.187

Teks tersebut menjelaskan bahwa kaum Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in, diakui sebagai komunitas sosioreligius yang sah, dan siapa saja akan mendapat keselamatan asalkan mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir dan berbuat kebajikan. Kebajikan yang mereka lakukan tidak akan sia-sia. Allah akan memberi pahala sesuai dengan apa yang telah Ia janjikan.188

Ia mengutip penjelasan tersebut yang dijelaskan oleh Ridha (1865- 1935)189 dan Al-Thabathaba’i (1903-1981)190; mereka menyatakan bahwa semua yang beriman kepada Allah dan beramal saleh tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka, akan diselamatkan sebab Allah tidak mengutamakan satu kelompok seraya menzalimi kelompok yang lain.191

Bagi al-Thabathaba’i, tak ada nama dan tak ada sifat yang bisa memberi kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal saleh, dan aturan ini berlaku untuk seluruh umat manusia. Satu-satunya kriteria dan standar ketinggian martabat dan kebahagiaan menurutnya adalah keimanan 186

Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”.

187

Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in dan Nasroni, siapa saja yang benar-benar beriman, kepada Allah dan Hari Kemudian, dan beramal saleh, maka tak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”

188

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 207.#

189

Nama lengkapnya adalah#Muhammad Rasyid Ridha, (Suriah, 1865-1935). Dia adalah

seorang pemikir dan ulama pembaru dalam Islam di Mesir pada awal abad ke 20. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Rasyid Ridha, Syekh Muhammad,” Dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed.,

Ensiklopedi Islam, vol. IV (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 161.

190

Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i, lahir pada 29 Zulhijjah 1321 H/1903-1401/1981 M. Rosihan Anwar, “Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Al- Thabathaba’i,” (Disertasi S3 Tafsir Hadits, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 8.

191

yang benar kepada Allah dan Hari Kiamat, disertai dengan amal-amal yang saleh. Begitupun dengan Ridha, ia menyatakan bahwa keselamatan tidak dapat ditemukan dalam sektarianisme keagamaan, tetapi di dalam keyakinan yang benar dan kebajikan. Aspirasi kaum Muslim, Yahudi, atau Nasrani terhadap pentingnya keberagaman tak memberi pengaruh apa pun bagi Allah, tidak juga menjadi dasar ditetapkannya suatu keputusan. Adapun orang yang mengklaim agama dan kebajikannya saja yang dapat memberi keselamatan, menurut keduanya, mereka adalah termasuk orang- orang yang terkungkung dalam sektarianisme dan chauvinisme keberagaman yang sempit.192

b. Pengakuan dan Penerimaan Kaum Lain Sebagai Komunitas Spiritual yang Sah

Adapun argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan spiritual komunitas lain yang sah, menurutnya, tertulis dalam Q.S. al- Hajj/22: 40.193 Teks tersebut menjelaskan tentang perintah yang pertama kali ketika diizinkannya berperang adalah keharusan memelihara kesucian tempat-tempat ibadah, baik itu biara, gereja, sinagog ataupun masjid. Pemeliharaan tempat-tempat tersebut, menurut Esack, tidak semata-mata untuk menjaga integritas masyarakat multi agama saja, tapi selain itu

192

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 212-213.

193

Terjemahannya: “Dan sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.”

karena Tuhan merupakan zat tertinggi bagi agama-agama itu telah disembah di dalam tempat-tempat tersebut.194

c. Pengakuan dan Penerimaan Aturan-Aturan dan Hukum-Hukum Komunitas Lain

Selanjutnya argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan aturan-aturan komunitas lain, menurut Esack, tertulis dalam Q.S. al- Maidah/5: 42-43195dan 47.196 Teks tersebut menjelaskan pengakuan dan penerimaan aturan-aturan yang dibawa oleh Taurat dan Injil.197

Menurutnya, Tuhan telah menetapkan aturan dan jalan yang berbeda-beda bagi semua orang, baik sebagai individu maupun komunitas agama, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Maidah/5: 48.198 Dia telah mengirimkan nabi-nabi-Nya kepada mereka sesuai dengan konteks situasi umat mereka yang bermacam-macam dan berbeda-beda tersebut. Namun

194

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 207.

195

Terjemahannya: “Mereka sangat suka berita bohong, banyak memakan makanan yang haram. Jika orang Yahudi datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan) maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikitpun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil dan bagaimana mereka akan mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, nanti mereka berpaling (dari putusanmu) setelah itu?

Sungguh mereka bukan orang-orang yang beriman.”#

196

Terjemahannya: “Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa

yang diturunkan Allah di dalamnya; barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang Fasik.”

197

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 205.

198

Terjemahannya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian atas kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syir’ah dan minhaj. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu telah dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu tentang apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

misi yang dibawa oleh mereka sama, yaitu untuk menyadarkan kembali komitmen umatnya kepada tauhid, dan mengingatkannya tentang pertangungjawaban kepada Tuhan, juga untuk menegakkan keadilan, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Syuro/42: 13199 yang menjelaskan bahwa din yang sama telah diwasiatkan kepada Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa.200

Oleh karena itu, dengan penjelasan-penjelasan tersebut, klaim eksklusif yang ditujukan oleh sebagian, atau kelompok orang, menurutnya, tidaklah dibenarkan karena secara eksplisit al-Quran benar-benar mengakui keberadaan komunitas lain di luar komunitas Nabi Muhammad, baik secara sosial maupun spiritual. Bahkan celaan Allah pun pernah terlontar pada komunitas Yahudi dan Nasrani yang mengklaim keimanan dan kepemilikan sosioreligius mereka adalah satu-satunya keimanan yang diterima oleh Allah Swt. Celaan-celaan-Nya tersebut tertulis dalam Q.S.al- Baqarah/2: 111-113 dan 135, Ali Imran/3 : 67 dan 69.201

199

Terjemahannya: “Dia Allah telah mensyariatkan kepadamu din yang telah diwasiatkan-

Nya kepada Nuh dan dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu tegakkanlah din dan janganlah kamu pecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik din yang kamu serukan untuk mereka. Allah memilih orang yang dia kehendaki dan dan memberi petunjuk kepada orang yang kembali padanya.”

200

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 205.

201

Terjemahan QS. al-Baqarah 111-113 berikut: “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani)#

berkata tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasroni. Itu hanya angan-angan mereka, katakanlah tunjukanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar. Barang siapa tidak menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendpat pahala disisi Tuhan-Nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Dan orang Yahudi berkata, “orang-orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani juga berkata, “orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu pegangan padahal Mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, seperti ucapan mereka itu . Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan”. Ayat 135 Terjemahannya berikut: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian atas kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan

Oleh karena itu, menurut Esack, kedatangan Nabi Muhammad tidaklah menghapus keberimanan umat sebelumnya. Dia hanyalah sebagai pemberi peringatan bagi umat sebelumnya karena sebenarnya menurut Esack, jika Tuhan menghendaki tentu Dia telah membuat manusia menjadi umat yang satu, dan alasan Tuhan menghendaki keanekaragaman jalan keimanan, menurutnya adalah agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan, dan sekiranya jalan itu penuh cobaan sehingga tidak memungkinkan seseorang untuk melewatinya, maka dia bebas memilih jalan lain yang telah ditetapkan oleh-Nya.202

d. Pengertian Ulang Iman

Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka bahwa pengertian ulang istilah iman dalam pemikiran Esack sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham pluralisme agama. Oleh karena itu, dalam memahami istilah tersebut, Esack lebih menelusuri makna yang sebenarnya yang terkandung dalam istilah tersebut.

Menurutnya, jika pengertian iman merujuk pada pengunaannya dalam al-Quran dan teologi Islam, iman adalah bentuk kata benda verbal

kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syir’ah dan minhaj. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu telah dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu tentang apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Q.S. Ali Imran/3: 67 Terjemahannya berikut: “Ibrahim bukanlah Seorang yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus dan tidak lah termasuk orang-orang yang musyrik.” Ayat 69 Terjemahannya adalah berikut: “Segolongan Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal sesungguhnya mereka

tidak menyesatkan melainkan diri mereka sendiri, tetapi mereka tidak menyadar.”#Esack,

Membebaskan yang Tertindas, h. 204-205.

201

Terjemahannya: “Dan mereka berkata, jadilah kamu penganut Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.“ katakanlah, “(tidak) tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan dia tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.”

202

keempat dari akar kata a-m-n, pengertiannya merujuk pada aman, mempercayakan, berpaling kepada. Kemudian dari pengertian tersebut diperoleh makna keyakinan yang baik, ketulusan, ketaatan atau kesetiaan,

sedangkan dalam bentuk keempatnya adalah amanah, mempunyai makna ganda, yaitu percaya dan menyerahkan keyakinan. Makna primernya

adalah menjadi setia pada apa yang telah dititipkan Tuhan kepada dirinya dengan keyakinan teguh di dalam hati bukan hanya di lidah. Ketika a-m-n

yang diikuti oleh partikel bi, kata tersebut berarti mengakui atau mengenali. Kata tersebut juga dipakai dalam makna percaya, yaitu ketika orang merasa aman untuk mempercayakan sesuatu kepada seseorang.203

Penggunaan dalam arti menyerahkan sesuatu kepada seseorang untuk disimpan (u tumina), tercantum dalam Q.S. al-Baqarah/2: 283. Kemudian dima'nai sebagai rasa tentram dan kepuasan hati (âminatan), tercantum dalam Q.S. an-Nahl/16: 112. Perlindungan terhadap ancaman dari luar (amnan), tercantum dalam Q.S. al-Baqarah/2: 125. Iman kepada Nabi Muhammad atau para nabi secara umum (âmana), tercantum dalam Q.S. al-Baqarah/2: 177. Hari akhir (yu minûna) Q.S. al-Baqarah/2: 4.204

Dari beberapa pengertian tersebut, menurut Esack, dapat diasumsikan bahwa objeknya dapat dipahami, dan penggunaan dalam bentuk tersebut menghubungkan makna keamanan dan kepercayaan

dengan ide implisit bahwa siapapun yang beriman akan memperoleh kedamaian dan perasaan aman. Dapat dikatakan iman menurut al-Quran adalah tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan

203

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 159.

204

dan firman-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman dan benteng terhadap cobaan,205 sedangkan, kata Mu’min dalam al-Quran bentuk kata bendanya adalah mu'minûn, yakni tercantum dalam Q.S. al-Anfal/8: 2-4 berikut:

“Sungguh mu'minûn adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, semakin kuatlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka menyerahkan diri, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. Itulah mu'minûn yang sebenar-benarnya mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian disisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (ni'mat) yang mulia.”206

Menurut Esack, jika melihat teks tersebut, maka dapat dipetakan tiga pengertian iman, yaitu iman dalam pengertian spiritual/personal secara esensial, religius, dan sosioekonomi. Iman dalam pengertian spiritual/personal secara esensial, dijelaskan dengan bergetarlah hati mereka ketika disebut nama Allah, sedangkan pengertian religius, dijelaskan dengan mereka tak henti-hentinya beribadah, dan dalam pengertian sosioekonomi, menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepadanya. Teks tersebut menggambarkan sifat orang yang benar-benar beriman atau orang-orang yang benar-benar percaya. Menurut Zamakhsyari, karakter ini adalah syarat bagi iman yang sempurna, sedangkan menurut al-Razi, iman harus berakibat pada kepatuhan, dan bagi Ibn al-Arabi, iman secara intrinsik terkait dengan pencarian keyakinan yang lebih mendalam, tidak sekedar pengakuan rasional akan

205

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 159-160.

206

kehadiran Tuhan, tetapi lebih dari itu, perhatian pada kualitas dan kehadiran hati yang harus mewarnai ibadah seseorang.207

Namun, persoalan yang paling penting mengenai iman, menurut Esack, adalah iman merupakan pengakuan pribadi akan, dan respon aktif terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di dalam sejarah. Aspek aktif dan pribadi iman tersebut mengimplikasikan bahwa ia berfluktuasi dan dinamis,208 yakni tetap terkait dengan kesadaran terdalam manusia, sosok makhluk yang hingga tingkat tertentu senantiasa berubah oleh berbagai pengalaman sosial maupun personalnya, meski sumber aslinya adalah karunia dari Tuhan. 209

Beberapa penafsir merujuk dua hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa iman akan menyelamatkan manusia di akhirat nanti, dan iman itu bermacam-macam dan punya tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Kerendahan hati adalah salah satu cabangnya.210

e. Pengertian Ulang Islam

207

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 163-164.##

208

Esack memberi tiga alasan bagi iman bersifat dinamis dan senantiasa berubah.

Pertama, pengertian iman dalam al-Quran dan Muslim awal lebih dalam satu jenis dan dalam

berbagai tingkatan. Kedua, ketika al-Qur’an menghimbau para pemeluk Islam awal sebagai “wahai

orang-orang yang beriman”, imbauan tersebut, mengajak mereka untuk membawa diri kearah tertentu, menjauh dari berbagai kesesatan di dalam masyarakat dan mendekat kepada Tuhan. Mereka dituntut dengan cara tertentu, bukan untuk mengklaim diri sebagai pemilik substansi

khusus yang disebut iman itu. Ketiga, pemahaman bahwa iman merupakan sebuah atribut karakter

yang aktif, juga didukung oleh fakta lawan katanya, yaitu kufr. Esack, Membebaskan yang

Tertindas, h. 162.

209

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 161.##

210

Sebagaimana dalam memahami pengertian iman, pengertian istilah islam pun dalam Esack sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham pluralisme agama. Oleh karena itu, dalam memaknai istilah tersebut Esack lebih menelusuri makna yang sebenarnya.

Adapun teks al-Quran yang biasa dijadikan klaim kaum Muslim sebagai satu-satunya ekspresi keagamaan yang diterima Tuhan sejak kenabian Muhammad adalah Islam, menurut Esack, tercantum dalam Q.S. Ali Imron/3: 19 adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya din di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali telah datang pengetahuan kepada mereka, karena dengki di antara mereka. Siapa saja yang menolak ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” 211

Padahal menurut Esack, penjelasan din tersebut menitikberatkan pada proses, pada din sebagai penyerahan diri kepada Tuhan. Bukan pada bentuk ekspresi kehidupan agama yang sistematis dan terlembagakan. Smith menjelaskannya dengan ketundukan, kepatuhan, berbakti menuju kebenaran dalam huda dan bayan-Nya, berbakti kepada Tuhan, respon total kepada Tuhan itu sendiri, bukan diartikan sebagai agama Tuhan. 212

Demikian juga dengan penggunaan istilah islam dalam teks tersebut, mengandung muatan universal. Istilah tersebut memberi pemahaman bahwa teks tersebut ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak Tuhan, lebih untuk menyebut kepada tindakan pribadi

211

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168.

212

daripada untuk menyebut nama dari suatu sistem agama.213 Cakupan tersebut menurut Esack, memasukkan agama lain serta beragam kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya dan apa-apa yang telah menjadi bagian dari mereka, dan penjelasan tersebut bisa dilihat dengan merujuk teks selanjutnya,214 yang menjelaskan perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada para penentangnya bahwa ajaran yang dibawanya adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dan ajaran tersebut ini juga ditujukan kepada mereka, orang Kristiani.215

Lagi pula, menurut Esack, pada masa-masa awal pemikir Muslim dan istilah Arabnya arti islam adalah tunduk, menyerah memenuhi atau melakukan, dan merupakan bentuk infinitif dari aslama, dan satu-satunya orang yang membedakan secara eksplisit antara islam yang dilembagakan dengan yang tidak, adalah Ridha. Munurutnya, penggunaan al islam

dengan makna doktrin, tradisi, dan praktik yang dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut muslim masih relatif baru, dan didasarkan atas prinsip fenomenologi, yaitu agama sebagai apa yang dianut oleh para 213

Penjelasan tersebut tercantum dalam Q.S. al-Hujurat/49: 17 dan al-Taubah/9: 74. Q.S. al-Hujurat/49: 17 Terjemahannya berikut: “Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka, katakanlah janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu sebenarmya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukan kamu kepada keimanan jika kamu orang yang benar.” Sedangkan Q.S. al-Taubah/9: 74 berikut: “Mereka (orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti) Muhammad. Sungguh mereka telah mengatakan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya. Dan mereka tidak mencela Allah dan rasulnya sekiranya Allah dan Rasulnya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di Dunia dan Akhirat. Dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di bumi.”

214

Q.S. Ali Imran/3: 20 Terjemahannya berikut: “Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, “aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang- orang yang mengikuti.” Dan katakanlah orang-orang yang telah diberi Kitab dankepada orang- orang buta hurufsudahkah kamu berserah diri? jika mereka sudah berserah diri berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyapaikan. Dan

Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” #

215

pemeluknya. Yang demikian, menurutnya, adalah al din dalam arti komunitas (jinsi) atau kebiasaan (urf) etno-sosiologis, maka jika islam dilakukan seperti itu, menurutnya, adalah penerimaan yang tidak kritis dan tidak ada hubungannya dengan Islam yang sebenarnya, sebaliknya ia menyimpang dari iman yang sejati.216

Bagi Ridha, muslim yang sejati adalah yang tak ternodai oleh dosa syirk, tulus dalam tindakannya dan memiliki iman, dari komunitas apa pun, dalam periode kapan pun dan tempat asal mana pun inilah makna “Barang siapa yang mencari din selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima pilihannya itu”. Q.S. Ali Imron/3: 85.217

Adapun penggunaan istilah din dalam al-Quran tidak menggunakan kata adyan sebagai bentuk pluralnya, menurut Esack, hal tersebut mencerminkan kenyataan bahwa kehidupan beragama pada saat itu tidak sepenuhnya terlembagakan, seperti yang terjadi kemudian,218dan hal tersebut menunjukkan bahwa al-Quran selalu berada dalam hubungan yang dinamis dengan pendengarnya dan dapat dimengerti oleh komunitas atau individu sesuai dengan tahapan tertentu perkembangan mereka,219 maka pengertian yang universal saat ini tentang din sebagai agama dan

216

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 172-174.#

217

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 176.

218

Din mengalami perubahan makna dari komitmen pribadi menjadi komitmen kolektif

dan dipakai sebagai respon yang benar terjadi sejak akhir periode Makkah berlanjut hingga

periode Madinah. lihat perubahan makna din disetiap periode yang dijelaskan oleh Yvonne

Haddad dalam Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171.

219

Menurut Esack istilah din dalam bahasa Arab selama abad ke tujuh sudah dipakai

dalam makna yang berbeda-beda dan selalu berubah. Ia memiliki beragam makna berbeda yang

Dalam dokumen Farid Esack dan paham pluralisme agama (Halaman 69-89)