• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Terhadap Farid Esack

Dalam dokumen Farid Esack dan paham pluralisme agama (Halaman 93-101)

PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF FARID ESACK

C. Kritik Terhadap Farid Esack

Jika dilihat dari pernyataan-pernyataannya mengenai paham pluralisme agama dan beberapa argumentasinya melalui penguatan al-Quran dan pemahaman ulang istilah iman, islam dan kafir, serta pandangannya mengenai status iman dan nilai amal saleh penganut agama lain, maka dalam perspektif Fahmi Zarkasi, Esack dikelompokkan ke dalam penganut paham pluralisme religius filosofis atau dalam ungkapannya Siswanto, menganut prinsip azali banyak karena ia mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menyatakan pengakuan dan penerimaan terhadap eksistensi agama-agama dan menyatakan prinsip yang memberikan makna dan hukum kenyataan yang sesungguhnya yang berada di belakang gejala-gejala yang memberikan watak kenyataan yang sama pada semua kenyataan yang ada adalah ilahi.271

Adapun pernyataan-pernyataan yang menujukkan ia ke dalam paham tersebut, jika diuraikan adalah pertama, pernyataannya mengenai pengertian pluralisme agama; ia menyatakan bahwa pluralisme agama bukan sekedar toleransi saja, tapi lebih dari itu adalah pengakuan dan penerimaan atas keberbedaan dan keberagaman, baik di antara sesama maupun pada penganut agama lain; ia juga mengakui dan menerima apa pun yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang transenden, dari yang terlihat maupun tidak. Lebih jelasnya pernyataan Esack yang menyatakan pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

“Pluralisme dijabarkan sebagai pengakuan dan penerimaan, bukan sekedar toleransi, atas keberbedaan dan keberagaman, baik di antara sesama maupun pada penganut agama lain, maka dalam konteks agama 271

berarti, penerimaan perbedaan cara menanggapi dari dorongan, baik yang terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang transenden”.272

Kedua, pernyataannya mengenai alasan-alasan teologis komunitas lain dalam al- Quran; Ia menyatakan bahwa al-Quran mengakui dan menerima keberadaan kehidupan religius komunitas lain, baik itu dalam keberadaan hukum-hukumnya, norma-norma sosial dan praktik-praktik keagamaannya; artinya jika dilihat dari pernyataannya tersebut, Esack benar-benar mengakui keberadaan mereka, baik dari segi sosial, religius dan hukum-hukumnya terlebih lagi jika al-Quran yang menyatakan hal itu.273 Ketiga, pernyataannya mengenai pengertian istilah iman, islam, dan kafir; Ia menyatakan bahwa pengertian iman tidak merujuk pada komunitas Nabi Muhammad saja, tetapi juga di luar itu, adalah tindakan yang merespon aktif kehadiran Tuhan dan alam semesta dan sejarah sepanjang hidupnya;274 demikian juga dengan pengertian islam tidak diartikan sebagai label nama dari salah satu agama, tapi istilah tersebut mengandung muatan universal yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak Tuhan, yang hanya berserah diri pada yang absolut, dan penyerahan diri pada yang absolut, menurut Esack, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang sehingga cakupannya memasukkan agama lain serta beragam kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya dan apa-apa yang telah menjadi bagian dari mereka; yang terpenting menurut Esack adalah setiap tindakan respon tulus terhadap panggilan dari sang misteri yang tersembunyi, sumber segala yang 272

Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 60 pada bab ini, IV. Bag. Pengertian Pluralisme Agama.

273

Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 60-66 pada bab ini, IV.

274

ada.275 Demikian juga dengan pernyataan istilah kafir. Ia menyatakan bahwa istilah tersebut tidak diartikan sebagai label bagi kelompok yang berbeda atau bagi orang yang tidak percaya pada Tuhan, tapi lebih digunakan kepada tindakan- tindakan yang menggambarkan tindakan yang tidak menghiraukan perintah Tuhan, seperti berbuat kebaikan, berbagi kekayaan dengan orang miskin; orang yang tidak tahu terimakasih, tidak bersyukur mengingkari dan menutupi atas kebaikan dari Tuhan.276

Terakhir, adalah pernyataannya mengenai status iman dan nilai amal saleh agama lain; ia menyatakan bahwa status iman dan nilai amal saleh agama lain akan diterima dan mendapat pahala dari Tuhan, sebagaimana yang telah Tuhan janjikan dan tegaskan bahwa Ia akan memberi pahala bagi siapapun yang melakukan tindakan amal saleh walaupun tidak beriman seperti yang dibahas dalam teologi Islam karena Islam tidak lantas semata-mata merujuk pada kebetulan biologis yang dilahirkan dalam keluarga Muslim. Begitu juga dengan kafir tidak lantas merujuk pada kebetulan dilahirkan bukan dari keluarga Muslim, sebagaiman yang telah dijelaskan di muka, pengertian kufr tidak digunakan dalam pengertian orang yang tidak percaya terhadap Nabi dan Tuhan, tetapi digunakan sebagai penunjukan perilaku yang bermusuhan terhadap Islam dan Muslim

sebagai pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasikan keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan itu, yakni islam, yaitu ajaran yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang adil, baik secara ekonomi maupun sosial: menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari eksploitasi ke keadilan, dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari arogan ke 275

Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 69-75 pada bab ini, IV.

276

kerendahan hati, dari kesukuan yang sempit menuju persatuan. Dengan kata lain Esack lebih melihat tindakan seseorang yang merespon tulus kehadiran Tuhan yang dilakukan oleh siapa pun.277

Demikianlah pernyataan-pernyataan Esack yang menunjukkan ia ke dalam paham tersebut karena dari pernyataan-pernyataannya, ia telah mengemukakan hal-hal yang mengedepankan eksistensi transenden di dalam diri setiap manusia di sepanjang hidupnya. Dengan demikian, penulis memasukkan pandangan- pandangannya tersebut ke dalam kelompok paham pluralisme agama religius filosofis atau dalam bahasanya Siswanto, menganut prinsip azali banyak.

277

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan penelitian terhadap paham pluralisme agama

dalam perspektif Esack, maka penulis mengambil simpulan bahwa pluralisme agama menurutnya, tidak hanya sekedar toleransi atas keberbedaan, tapi lebih dari itu adalah penerimaan perbedaan cara menanggapi dari dorongan, baik yang terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang transenden, dan secara teologis al-Quran menurutnya, mengakui keberadaan agama-agama lain, baik secara sosial maupun spritual; hukum-hukumnya, norma- norma sosialnya dan praktik-praktik keagamaannya. Bahkan tidak itu saja, agama- agama lain pun menurutnya akan mendapat keselamatan meskipun jalan yang mereka lalui berbeda-beda. Yang terpenting menurutnya adalah keimanan yang benar kepada Allah, Hari Akhir dan disertai dengan berbuat kebajikan, sedangkan pluralisme agama dalam perspektif agama Hindu, Buddha, dan Kristen, secara teologis di dalamnya dijelaskan tentang pengakuan paham pluralisme agama; dalam Hindu dikatakan bahwa Yang ilahi menerima orang-orang yang yang datang kepadanya melalui jalan agama yang berbeda-beda; dalam Buddha dikatakan sang Buddha tidak berharap meninggalkan agama mereka sebelumnya, ia hanya ingin meningkatkan kebenaran dan kebaikan, seperti yang diajarkan agama mereka sebelumnya; demikian juga dalam Kristen, dikatakan Allah mengulurkan tangan kepada semua orang dalam cinta.

Adapun penjelasan-penjelasan Esack yang menyatakan paham pluralisme

agama adalah selain mendasarkan pada al-Quran, adalah meredifinisi pengertian iman, islam dan kafir dengan makna yang sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham pluralisme agama. Menurutnya, pengertian islam mengandung muatan universal yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak Tuhan, dan lebih untuk menyebut kepada tindakan pribadi daripada untuk menyebut nama dari suatu sistem agama. Oleh karena itu, Islam tidak lantas semata-mata merujuk pada kebetulan biologis yang dilahirkan dalam keluarga Muslim. Begitu juga kafir tidak lantas merujuk pada kebetulan dilahirkan bukan dari keluarga Muslim. Pengertian kufr tidak digunakan dalam pengertian orang yang tidak percaya terhadap Nabi dan Tuhan, tetapi digunakan sebagai penunjukan perilaku yang bermusuhan terhadap Islam dan Muslim sebagai pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasikan keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan itu, yakni islam, yaitu ajaran yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang adil, baik secara ekonomi maupun sosial: menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari eksploitasi ke keadilan, dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari arogan ke kerendahan hati, dari kesukuan yang sempit menuju persatuan. Demikian juga, dengan istilah din. Istilah tersebut tidak diartikan sebagai

agama Tuhan yang diekspresikan melalui kehidupan agama yang sistematis dan terlembagakan, tetapi untuk menjelaskan proses. Pada din sebagai penyerahan diri kepada Tuhan dengan ketundukan, kepatuhan, berbakti menuju kebenaran dalam

huda dan bayan-Nya. Begitupun pengertian iman. Iman merupakan pengakuan pribadi akan, dan respon aktif terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di

dalam sejarah yang mencakup tindakan seorang individu yang sepanjang hidupnya merespon suara Tuhan, juga sebagai kualitas yang dapat dimiliki individu, dinamis dan beragam intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap dalam hidup individu itu. Terlebih lagi Allah telah berjanji akan memberikan pahala bagi siapa pun yang berbuat kebajikan sehingga tidak mungkin jika Ia ingkar janji seraya menzalimi yang lain. Adapun alasan Tuhan menghendaki keanekaragaman jalan keimanan, menurut Esack, agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan. Namun sekiranya jalan itu penuh cobaan, yang tidak memungkinkan seseorang untuk melewatinya, maka dia bebas memilih jalan lain yang telah ditetapkan oleh- Nya. Oleh karena itu, para penganut agama apa pun tidak berhak mengklaim kebenaran atas kebenaran yang lainnya karena selain itu pun Tuhan telah mengutus para nabi-Nya dengan misi yang sama, yakni untuk menyadarkan kembali komitmen umatnya kepada tauhid, dan mengingatkannya tentang pertangungjawabannya kepada Tuhan, serta untuk menegakkan keadilan sesuai dengan konteks situasi umat mereka yang bermacam-macam dan berbeda-beda, dan kedatangan Nabi Muhammad tidak akan menghapus keberimanan umat sebelumnya karena ia hanyalah sebagai pemberi peringatan yang sama, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Oleh karena itulah jika digolongkan, penulis memasukkan Esack kepada kelompok yang menganut paham pluralisme agama

religius filosofis atau dalam bahasanya Siswanto, menganut prinsip azali banyak.

Dalam hal ini penulis menyarankan untuk lebih menggali literatur perpektif agama-agama lain selain Islam karena sementara ini penulis sedikit menemukan literatur yang berkaitan dengan pembahasan pluralisme agama dalam perspektif agama-agama, seperti Hindu dan Buddha. Kemudian paham pluralisme agama yang dijelaskan oleh Esack, juga tidak jauh berbeda dengan gagasan pluralisme agama yang diusung oleh pemikir-pemikir Muslim lainnya, dalam konteks Indonesia salah satunya adalah Nurcholis Madjid. Namun tetap Esack memiliki keunggulan karena ia lebih berani mendefinisikan ulang istilah-istilah iman, islam dan kafir secara bersamaan dengan makna yang lebih luas. Selanjutnya dalam mengutip gagasan-gagasan pluralisme agama ia juga banyak mengutip pemikir Muslim terdahulu, seperti Ridha, al-Razi, Ibn al-Arabi, Asad, dan al-Thabathaba’i, seperti mengutip penggunaan dan pemaknaan istilah-istilah iman, islam dan kafir. Walaupun demikian, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa gagasan-gagasan yang diusung Esack mengenai paham pluralisme agama, khususnya bagi Afrika Selatan tidak hanya sekedar wacana, tetapi telah menjadi solusi bagi perubahan situasi politik dan agama di Afrika Selatan pada saat itu, dan hal tersebut layak menjadi kontribusi pemikiran yang sangat berharga bagi dunia, khususnya dunia Islam.

Dalam dokumen Farid Esack dan paham pluralisme agama (Halaman 93-101)