• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Strategi Pembelajaran Kontekstual dalam Menanamkan Nilai-nilai Kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Strategi Pembelajaran Kontekstual dalam Menanamkan Nilai-nilai Kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat."

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

ZURQOTUNNAJAH 1112018200003

PRODI STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

i

Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini mengenai penerapan strategi pembelajaran kontekstual dalam menanamkan nilai-nilai kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat. Penelitian ini untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara menyeluruh mengenai penanaman nilai-nilai kewirausahaan pada pelajaran kewirausahaan dengan menggunakan strategi pembelajaran kontekstual.

Metode yang digunkan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dan dianalisa dengan pendekatan analisis deskriptif yakni menggambarkan dan menginterpretasikan arti data yang terkumpul dalam sebuah predikat yang menunjuk pada pernyataan keadaan atau kualitas. Bedasarkan kebutuhan penelitian ini ditentukan sumber data yaitu guru kewirausahaan dan peserta didik. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumen, wawancara, observasi dan angket.

Hasil penelitian ini mengungkapkan beberapa hal penting: pertama, guru menerapkan strategi pembelajaran kontekstual pada pelajaran kewirausahaan di kelas.

Kedua, guru dapat menanamkan nilai-nilai kewirausahaan di dalam diri siswa.

Berikut rekomendasi yang dapat diberikan agar pembelajaran kewirausahaan di sekolah dapat berjalan maksimal. Pertama, sekolah harus memberikan dan memfasilitasi guru dalam bentuk pelatihan, workshop dan seminar. Kedua, guru harus pandai menggunakan metode pembelajaran guna tercapainya penanaman nilai-nilai kewirausahaan.

(8)

ii

Barat. “Skripsi”for Bache

Management, Faculty ofTarbiya and Teachers Training, State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta.

This study on the application of contextual learning strategies in instilling the values of entrepreneurship at SMK Kesatuan Jakarta Barat. This study was to determine and describe about the cultivation of the values of entrepreneurship on the subjects of entrepreneurship by using contextual learning strategies.

The method used in this study was a qualitative research, andthen analyzed by descriptive analysis approach which was describing and interpreting the data that was collected in a predicate which refers to the statement of situation or quality. Based on this research needs specified data source is the teachers of entrepreneurship, and learners. The data collection techniques used observations, interviews, document studies, and questionnaires.

The results of this study revealed some important things: firstly, teachers implement contextual learning strategy on entrepreneurship learning in the classroom.

Secondly, teachers can instill entrepreneurial values in students.

The following recommendations can be given that entrepreneurial learning in school can run up. firstly, schools must provide and facilitate teachers in the form of training , workshops and seminars. Secondly, teachers should be good at teaching methods in order to achieve value investment of entrepreneurship.

(9)

iii

hidayah yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Penerapan Strategi Pembelajaran Kontekstual dalam Menanamkan Nilai-nilai Kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat” penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan namun demikian penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari kekurangan tersebut.

Tidak dipungkiri selama proses penyusunan penulis banyak menerima bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang telah membantu. Semoga atas bantuan yang diberikan senantiasa mendapatkan pahala dan keridhoan Allah SWT. Khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya., MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Hasyim Asy‟ari, M.Pd., Ketua Jurusan Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin atas penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Rusydy Zakaria M.Ed, M.Phil., Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis terkait kegiatan akademik selama perkuliahan.

(10)

iv

6. Drs H. Sudimin DS. Kepala SMK Kesatuan Jakarta Barat, yang dengan ramah menerima dan mengizinkan penulis melakukan penelitian di SMK Kesatuan Jakarta Barat.

7. Bapak ibu guru dan semua staf di SMK Kesatuan Jakarta Barat, khususnya Bapak Azis Bahruddin selaku guru kewirausahaan yang telah menemani selama melakukan penelitian di SMK Kesatuan Jakarta Barat serta memberikan arahan kepada penulis.

8. Abi tercinta H. Moh. Zein, S.Pd, MM dan umi Hj. Komariyah, orang tua yang sangat penulis cinta dan sayangi, yang telah mendidik dan menasehati untuk terus berusaha keras dan orang tua terhebat yang tidak henti-hentinya mendukung penulis baik materil dan moril, menyertai langkah penulis dengan doa terbaik, dan selalu menguatkan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. 9. Kakaku tersayang Ahmad Uways, Salwa dan adik-adik Sahlah, Ziyad yang

dengan senyuman semangatnya dapat membuat penulis menyelesaikan skripsi ini.

10.Kepada sahabat-sahabatku Ajeng Yulitriani, group hayaters penuh cinta, group power ranger, group bunglon, group semoga berkah yang telah membantu menghilangkan kepenatan dan memberikan dukungan saat penulis telah lelah untuk mengerjakan skripsi ini.

11.Kepada seluruh teman-teman angkatan 2012 Manajemen Pendidikan, semoga Allah memberikan kemudahan dan kesempatan untuk bisa meraih cita-cita yang kita inginkan.

(11)

v kemajuan penulis kedepan.

Jakarta, 20 September 2016

(12)

vi

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI. ... vi

DAFTAR GAMBAR. ... viii

DAFTAR TABEL. ... ix

DAFTAR LAMPIRAN. ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah. ... 8

D. Rumusan Masalah. ... 8

E. Tujuan Penelitian. ... 8

F. Manfaat Penelitian. ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai-nilai Kewirausahaan ... 10

1. Pengertian Kewirausahaan. ... 10

2. Kewirausahaan di Sekolah. ... 11

3. Pengembangan Nilai-nilai Kewirausahaan. ... 12

B. Strategi Pembelajaran Kontekstual ... 17

1. Pengertian Strategi Pembelajaran Kontekstual. ... 18

2. Karakteristik Pembelajaran CTL... 21

3. Landasan CTL. ... 23

4. Asas-asas Pembelajaran CTL. ... 26

5. Peran Guru dan Siswa dalam Pembelajaran CTL. ... 34

(13)

vii

B. Latar Penelitian ... 41

C. Metode Penelitian... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolahan Data. ... 43

E. Teknik Analisis dan Interpretasi Data. ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 51

1. Profil SMK Kesatuan Jakarta Barat. ... 51

2. Profil Guru Kewirausahaan SMK Kesatuan Jakarta Barat. 54 B. Deskripsi, Analisis dan Interpretasi Data ... 55

1. Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Kewirausahaan... 55

2. Analisis Penanaman Nilai-nilai Kewirausahaan. ... 62

C. Pembahasan Hasil Penelitian. ... 100

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(14)

viii

C. Gambar 4.2 Penerapan Inkuiri ... 56

D. Gambar 4.3 Penerapan Questioning ... 57

E. Gambar 4.4 Penerapan Learning Community ... 57

F. Gambar 4.5 Penerapan Modeling ... 58

G. Gambar 4.6 Penerapan Refleksi ... 58

(15)

ix

Tabel 3.2 Pedoman Wawancara. ... 43

Tabel 3.3 Daftar Cheklis. ... 44

Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Angket. ... 45

Tabel 3.5 Kegiatan Pengumpulan Data dan Intrumen. ... 47

Tabel 4.1 Mengerjakan Tugas Tanpa Bergantung Kepada Orang Lain... 63

Tabel 4.2 Tidak Mencontek dalam Ulangan ... 64

Tabel 4.3 Mengikuti Kegiatan Ekstrakuriukuler dengan Tekad yang Kuat... 64

Tabel 4.4 Percaya Diri Mengerjakan Tugas Individu ... 65

Tabel 4.5 Percaya Diri Mengerjakan Tugas Kelompok ... 66

Tabel 4.6 Mengulang Kembali Materi Pelajaran di Rumah ... 66

Tabel 4.7 Bersungguh-sungguh Memperoleh Hasil yang Baik ... 67

Tabel 4.8 Bekerja Keras dalam Menyelesaikan PR ... 68

Tabel 4.9 Semangat Mengikuti Pembelajaran ... 69

Tabel 4.10 Setiap Mata Pelajaran Datang Tepat Waktu ... 70

Tabel 4.11 Tidak Putus Asa jika Mendapatkan Nilai Jelek ... 70

Tabel 4.12 Menghargai Perbedaan Pendapat dengan Teman dalam Berdiskusi .. 71

Tabel 4.13 Menyukai Hal-hal Baru yang Bersifat Menantang ... 72

Tabel 4.14 Menyukai Pekerjaan yang Memiliki Batas Waktu ... 73

Tabel 4.15 Mengambil Keputusan yang Cepat ... 73

Tabel 4.16 Mengambil Keputusan yang Tepat ... 74

Tabel 4.17 Menerima Kritikan dari Guru ... 75

Tabel 4.18 Menerima Kritikan dari Teman... 76

Tabel 4.19 Mudah Bergaul ... 76

Tabel 4.20 Disukai Teman dalam Bergaul ... 78

(16)

x

Tabel 4.26 Tekad yang Kuat Meraih Cita-cita ... 82

Tabel 4.27 Membuat Catatan Kecil untuk Belajar ... 82

Tabel 4.28 Mendaur Ulang Benda dari Bahan Bekas ... 83

Tabel 4.29 Menyukai Pengetahuan Baru ... 84

Tabel 4.30 Bisa Mengerjakan Tugas yang Dibebankan ... 85

Tabel 4.31 Kesesuaian Pokok Bahasan dengan Kebutuhan Peserta Didik ... 86

Tabel 4.32 Urgensi Materi Kewirausahaan dalam Kehidupan Sehari-hari ... 87

Tabel 4.33 Pembelajaran Kewirausahaan ada dalam Kehidupan Sehari-hari ... 87

Tabel 4.34 Pemahaman Nilai-Nilai Kewirausahaan ... 88

Tabel 4.35 Kaitan Materi Pelajaran Kewirausahaan dengan Kehidupan Nyata ... 89

Tabel 4.36 Manfaat Belajar Kewirausahaan ... 90

Tabel 4.37 Pemahaman Kewirausahaan yang Lebih Luas ... 90

Tabel 4.38 Pemahaman Materi yang Diajarkan ... 91

Tabel 4.39 Menciptakan Suasana Belajar yang Menarik ... 92

Tabel 4.40 Mendorong Dunia Wirausaha Lebih Jauh ... 93

Tabel 4.41 Media Pembelajaran ... 93

Tabel 4.42 Metode Pembelajaran ... 94

Tabel 4.43 Percaya Diri... 95

Tabel 4.44 Berorientasi Tugas dan Hasil ... 96

Tabel 4.45 Berani Mengambil Resiko ... 97

Tabel 4.46 Kepemimpinan ... 98

Tabel 4.47 Berorientasi ke Masa Depan ... 98

Tabel 4.48 Kreatif dan Inovasi ... 99

(17)
(18)

xii

Lampiran 3 : Nilai KKM SMK kesatuan Jakarta Barat Lampiran 4 : Daftar Nilai Kewirausahaan Kelas X dan XI

Lampiran 5 : Panduan Wawancara Guru Kewirausahaan SMK Kesatuan Jakarta Barat

Lampiran 6 : Panduan Wawancara Siswa SMK Kesatuan Jakarta Barat Lampiran 7 : Lembar Uji Referensi

Lampiran 8 : Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 9 : Surat Izin Penelitian SMK Kesatuan Jakarta Barat

Lampiran 10 : Surat Keterangan Telah Penelitian di SMK Kesatuan Jakarta Barat Lampiran 11 : Pedoman Angket

Lampiran 12 : Hasil Input Data Angket

Lampiran 13 : Program Tahunan SMK Kesatuan Jakarta Barat Lampiran 14 : Silabus Kewirausahaan Kelas X dan XI

(19)

1

Dalam sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang dan entrepre mancanegara yang pawai. Beliau adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat. Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah asing jika dikatakan bahwa mental entrepreneurship inheren dengan jiwa umat islam itu sendiri. Bukanlah Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia setidanya sampai abad ke-13 M, oleh para pedagang muslim.

Dari aktivitas perdagangan yang dilakukan, Nabi dan sebagian besar sahabat telah meubah pandangan dunia bahwa kemulian seseorang bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan. Oleh karena itu, Nabi juga bersabda

“Innallaha yuhibbul muhtarif” (sesungguhnya Allah sangat mencintai yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan).1

Setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keeping mata uang.

Budaya masyarakat kita kurang mengahargai peran seorang wirausahawan, status seorang Pegawai Negeri Sipil dianggap lebih menjanjikan masa depan dan terhormat. Wirausahawan belum dapat disejajarkan dengan suatu karir professional lainnya. Beda dengan budaya Negara maju, dimana menjadi bos bagi diri sendiri lebih dihargai daripada bekerja dengan orang lain.

Saat ini yang menjadi persoalan dasar ialah bagaimana pemerintah daerah dapat semakin memperlebarkan dan memperluas usaha yang kian merata, agar mampu menaikkan pendapatan dan taraf kehidupan masyarakat. Pemerintah juga perlu berperan serta untuk merubah persepsi masyarakat agar masyarakat bangga menjadi seorang wirausahawan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh ialah

1

(20)

masyarakat. Sebab para wirausaha inilah yang mampu menciptakan lapangan kerja baru sehingga dapat menyerap tenaga kerja baru yang lebih banyak, sehingga pada gilirannya tersciptalah pemerataan pendapatan.2

Wirausaha merupakan potensi pengembangan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu wirausaha tersebut. Saat ini, kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah wirausahawan indonesia masih sedikit dan mutunya belum sepenuhnya baik, sehingga persoalan pembangunan wirausah indonesia merupakan persoalan mendesak bagi suksesnya pembangunan. Adapun manfaat wirausaha secara lebih terperinci, yaitu : pertama, menambah daya tampung tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Kedua, sebegai generator pembangunana lingkungan, bidang produksi, distribusi, pemeliharaan lingkungan, kesejahteraan, dan sebagainya. Ketiga, menjadi contoh bagi anggota masyarakt lain, sebagai pribadi unggul yang patut dicontoh dan diteladani karena seorang wirausaha adalah orang terpuji: jujur, berani, hidup tidak merugikan orang lain. Keempat, menghormati hukum dan peraturan yang berlaku, berusaha selalu memperjuangkan lingkungan. Kelima, memberi bantuan kepada orang lain dan pembangunan sosial, sesuai dengan kemampuannya. Keenam, mendidik karyawannya menjadi orang mandiri, disiplin, jujur, tekun dalam menghadapi pekerjaan. Ketujuh, memberi contoh tentang cara beekrja keras tanpa melupakan perintah-perintah agama, dekat kepada allah SWT. Kedelapan, hidup secara efisien, tidak berfoya-foya, dan tidak boros. Kesembilan, memelihara keserasian lingkungan, baik dalam pergaulan maupun kebersihan lingkungan.3

Setiap kegiatan disadari atau tidak tentu mempunyai tujuan, apalagi kegiatan pembelajaran kewirausahaan. Arah proses kewirausahaan dimulai dari imitasi dan duplikasi. Sedangkan hasil akhir yang ingin dicapai dari pembelajaran kewirausahaan pada diri seseorang, sehingga yang bersangkutan menjadi seseorang wirausaha dengan kompetensinya.4 Tujuan pembelajaran dapatlah

2

Ibid., h. 2

3

Rusdiana. Kewirausahaan Teori dan Praktik, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 19. 4

(21)

harus memuat hal-hal yang berhubungan dengan: pemahaman terhadap konsep kewirausahaan, membentukan jiwa wirausaha, pengembangan diri, teknik-teknik berwirausaha, aspek manajemen bisnis(usaha), pemasaran, penjualan, dan teknik optimalisasi risiko, kreatifitas, inovasi, kepemimpinan dan komunikasi, langkah-langkah memasuki dunia usaha, dasar-dasar ilmu ekonomi, pengembangan usaha, studi kelayakan, etika bisnis. Dari tujuan pembelajaran kewirausahaan yang telah dikemukakan, dapatlah diketahui bahwa tujuan tersebut pada dasarnya mengarah pada kewirausahaan dilihat dari sisi bisnis atau usaha dalam arti sempit, yakni membuat, memasarkan dan menjual produk guna mendapatkan keuntungan finansial. Padahal secara hakiki, jiwa wirausaha mestinya bukan hanya berguna bagi pendiriandan pengelolaan usaha mandiri, melainkan dapat pula dimanfaatkan untuk bekerja pada orang lain, atau lembaga atau instansi sejenis.

Jadi, tujuan pembelajaran kewirausahaan hendaknya dapat memberikan bekal bagi peserta didik melalui tiga dimensi, yaitu aspek managerial skill, production technical skill, dan personality develovemental skill. Dari ketiga hal utama tersebut intinya ialah menanamkan sikap dan semangat mandiri serta kemampuan kerjasama dan tertanamnya paradigma wirausaha.5

Penanaman nilai-nilai kewirausahaan yaitu sangat penting diterapkan dalam pembelajaran kewirausahaan, nilai-nilai kewirausahaan tersebut yaitu: Pertama, percaya diri, seorang pengusaha harus memiliki kepercayaan diri. Segala sesuatu yang telah diyakini dan dianggap benar harus dilakukan sepanjang tidak melanggar hukum dan norma yang berlaku. Percaya diri merupakan sikap dan keyakinan untuk memulai, melakukan dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang dihadapi. Kedua, berorientasi pada tugas dan hasil, seorang wirausaha harus fokus pada tugas dan hasil. Apa pun pekerjaannya harus jelas apa hasilnya. Apa pun jenis usahanya, seberapa pun kerasnya usaha yang dilakukan apabila ternyata tidak berhasil, maka tidak ada gunanya. Ketiga, berani mengambil resiko, setiap proses bisnis harus memiliki resikonya masing-masing, dan apabila anda ingin memperoleh keuntungan, maka anda harus mengeluarkan biaya sekecil apa pun

5

(22)

sukses terus-menerus. Keempat, kepemimpinan, wirausahawan yang berhasil, ditentukan pula oleh kemampuan dalam memimpin atau yang kita sebut dengan

kepemimpinan. Memberikan suri teladan, berpikir positif, tidak antikritik, dan memiliki kecakapan dalam bergaul merupakan hal-hal yang sangat diperlukan dalam berwirausaha. Kelima, keorsinalan, nilai keorsinalan dari semua yang dihasilkan oleh wirausahawan akan sangat menentukan keberhasilan mereka dalam mencapai keunggulan bersaing. Keorsinalan dan keunikan dari suatu barang atau jasa merupakan hasil inovasi dan kreativitas yang diterapkan, mereka harus bertindak dengan cara yang baru atau berpikir sesuatu yang lama dengan cara-cara baru. Intinya bahwa kewirausahawan harus mampu menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Keenam, berorientasi pada masa depan, memiliki pandangan jauh ke depan dan bila perlu sudah tiba dahulu pada masa depan merupakan kemampuan yang biasanya ada pada setiap wirausahawan yang sukses. Oleh karena itu wirausahawan akan terus berupaya untuk berkarya dengan menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan yang sudah ada saat ini.6

Alangkah baiknya jika seorang guru kewirausahaan memiliki usaha-usaha yang dijalani, agar guru tersebut tidak hanya mengetahui teori pelajaran akan

tetapi bagaimana praktek kewirausahaan dimasyarakat, agar dalam

pembelajarannya mengetahui bagaimana menghubungkan antara teori mata pelajaran dengan kehidupan nyata dimasyarakat. Dan sekolah juga harus bisa mendukung dari segi sarana dan prasana dalam pembelajaran kewirausahaan, seperti diadakannya koperasi yang kegiatannya untuk siswa yang ingin langsung praktek dalam berwirausaha. Jika nantinya terjun langsung ke masyarakat sudah mengetahui bagaimana dalam berwirausaha. Kepala sekolah harus bisa mendukung kegiatan berwirausaha setiap siswa, seperti memperbolehkan usaha atau dagangannya dibawa ke dalam lingkungan sekolah agar siswa lebih mendalami cara berwirausaha dengan menjual barang dagangannya sendiri. Dari guru kewirausahaan juga harus memberikan motivasi yang besar terhadap

6

(23)

dan mempunyai kepercayaan yang besar dalam berwirausaha. Buku di perpustakaannya juga harus mendukung dalam pembelajaran kewirausahaan, agar suatu pembelajaran di sekolah dapat berjalan dengan semestinya.

Hanya sedikit guru kewirausahaan yang benar-benar berlatar belakang usaha dan memiliki usaha salah satunya adalah guru kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat. Dari hasil pengamatan awal bahwa guru tersebut sudah mempunyai pengalaman dalam berwirausaha dan sudah banyak usaha yang dijalani oleh guru tersebut. Seperti usaha percetakan buku, pertamanan, gas elpiji, laundry. Dengan pengalaman-pengalaman berwirausahanya tersebut, guru kewirausahaan tidak hanya mengetahui teorinya saja akan tetapi bagaimana pengalaman dalam

berwirausaha. Sehingga dapat berdampak baik dalam pembelajaran

(24)

kewirausahaan dapat berjalan dengan lancar. Peran dilingkungan sekolah sangat penting seperti kepala sekolah, guru, sarana dan prasarana, buku dll. Agar terciptanya dan menumbuhkan nilai-nilai kewirausahaan di setiap siswa.7

Nampaknya upaya sekolah dalam rangka menanamkan nilai-nilai kewirausahaan sudah optimal hal ini dapat dilihat dari banyaknya program-program yang sudah dilaksanakan namun demikian masih dirasakan kurangnya sarana dan prasarana walaupun sarana dan prasarana bukan menjadi hal yang penting namun keberadaannya sangat mempengaruhi siswa untuk giat dan termotivasi dalam pembelajaran kewirausahaan. Sekolah yang menerapkan strategi pembelajaran kontekstual dalam menanamkan nilai-nilai kewirausahaan yaitu sekolah SMK Kesatuan, karena dari ciri kontekstual tersebut yaitu sudah diadakannya praktek kewirausahaan ke dunia masyarkat melalui kerjasama dengan perusahaan dan dari sebagian siswa juga sudah mempunyai usaha dirumah masing-masing, namun demikian sarana dan prasarana yang diadakannya kurang memadai dalam pembelajaran kewirausahaan kali ini diakui oleh guru pelajaran kewirausahaan.8 Walaupun sarana bukan hal satu-satunya pemicu keberhasilan pembelajaran kewirausahaan namun dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai akan menjadikan siswa giat dan termotivasi dalam pembelajaran kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat.

Salah satu dalam menanamkan nilai-nilai kewirausahaan yaitu dengan menggunakan strategi pembelajaran CTL (contextual teaching and learning).

Pembelajaran kontekstual atau CTL (contextual teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran yang diajarkan dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Belajar tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan kemampuan pengetahuan yang teoritis saja, akan tetapi bagaimana agar

7

Wawancara dengan pak Azis guru kewirausahaan SMK Kesatuan Jakarta Barat pada tanggal 5 Desember 2015 pukul 09.30 WIB.

8

(25)

permasalahan aktual yang terjadi dilingkungannya.

Berdasarkan dari berbagai permasalahan tersebut maka penulis bermaksud mengambil judul “Penerapan Strategi Pembelajaran Konteksktual dalam Menanamkan Nilai-nilai Kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah yang timbul dapat diidentifikasi sebagai berikut;

1. Masih terdapat kurangnya sarana dan prasana sehingga pembelajaran belum optimal.

2. Masih terdapat siswa yang belum giat dalam pembelajaran kewirausahaan 3. Masih terdapat siswa yang belum termotivasi dalam pembelajaran

kewirausahaan

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini di batasi pada penerapan strategi pembelajaran kontekstual dalam menanamkan nilai-nilai kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat.

D. Rumusan Masalah

Berkenaan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah “bagaimana penerapan strategi pembelajaran konstektual dalam menanamkan nilai-nilai kewirausahaan di SMK Kesatuan Jakarta Barat?”

E. Tujuan Penelitian

(26)

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan S1 dalam pembuatan skripsi pada fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan sekaligus memberikan manfaat dan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti 2. Bagi siswa, penelitian ini berguna bagi mereka untuk memotivasi dan

meningkatkan hasil belajar serta meningkatkan keterampilan siswa dalam ber usaha.

3. Bagi para guru, bermanfaat sebagai bahan masukan dalam menjalankan proses pembelajaran di sekolah.

4. Bagi sekolah, agar dapat memberikan warna baru tentang pembelajaran kontekstual yang diinginkan oleh pembaca dan peneliti

(27)

9

Nilai-nilai kewirausahaan menjadi sebuah kata yang akhir-akhir ini sering didengungkan bahkan menjadi sebuah solusi bagi permasalahan yang terkait kemajuan bangsa.

1. Pengertian kewirausahaan

Berwirausaha (enterpeneurship) adalah tindakan menjadi seorang usahawan, yang dalam bahasa prancis, kata itu berarti “orang yang melakukan inovasi dan mempunyai keahlian keuangan dan bisnis dalam rangka mentransformasi inovasi menjadi benda-benda ekonomis.” Singkatnya sikap itu berarti memulai bisnis baru. 1 Dalam perkembangannya sikap ini telah melahirkan aktivitas sosial dan politik.

Menurut Mark Casson, kewirausahaan adalah konsep dasar yang menghubungkan berbagai bidang disiplin ilmu yang berbeda antara lain ekonomi, sosiologi dan sejarah. kewirausahaan bukanlah hanya bidang interdisiplin yang biasa kita lihat, tetapi ia adalah pokok-pokok yang menghubungkan kerangka-kerangka konseptual utama dari berbagai disiplin ilmu. 2 Tepatnya, ia dapat dianggap sebagai kunci dari blok bangunan ilmu social yang terintegrasi.

Menurut Franky Slamet, kewirausahaan adalah sebuah proses disiplin dan sistematis dalam menerapkan kreativitas dan inovasi terhadap kebutuhan, problem dan peluang pasar. Bagaimana seorang wirausaha mengatasi permasalahan pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, dan memanfaatkan peluang dengan cara melahirkan dan memodifikasi bentuk produk maupun jasa.3 Wirausaha juga orang yang imajinatif, yang ditandai

1

Mohammad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), Cet. 1, h. 60.

2

Mark Casson, Entrepreneurship, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 3-4. 3

(28)

oleh kemampuannya dalam menetapkan sasaran serta dapat mencapai sasaran-sasaran itu.4 Dan menurut Harimurti Subanar dengan itu dia harus memiliki kesadaran tinggi untuk menemukan peluang-peluang, membuat keputusan dengan menerapkan inovasi yang memiliki risiko moderat.

Menurut Robert D. Hisrich, kewirausahaan(entrepreneurship) sebuah proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko keuangan, fisik, serta risiko social yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi.5 Oleh karena itu wirausaha harus produktivitas dan bisa menanggung risiko yang akan muncul.

Pada hampir setiap definisi kewirausahaan, terdapat kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan sejumlah perilaku yang meliputi: (1) pengambilan inisiatif, (2) pengorganisasian dan pengorganisasian kembali mekanisme social dan ekonomis untuk mengubah sumber daya dan situasi menjadi praktis, (3) penerima pengambil risiko atau kegagalan. Jadi intinya dari kewirausahaan tersebut adalah kemampuan untuk melakukan inovasi agar terjadi pemindahan sumber daya ekonomi dari kawasan produktivitas rendah kekawasan produktivitas tinggi. Dengan kata lain inovasi merupakan alat spesifik kewiraswastaan.

2. Kewirausahaan di Sekolah

Kewirausahaan sudah menjadi bagian penting dibeberapa sekolah untuk membiasakan bangsa Indonesia atau menggali potensi bangsa indonesia untuk berwirausaha maka kemudian kewirausahaan dikembangkan diberbagai bidang salah satunya di sekolah, di sekolah-sekolah kewirausahaan menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan. Kewirausahaan di sekolah ada yang menjadikan mata pelajaran dan ada yang menjadikan sebagai praktikum atau nilai-nilai kewirausahaan dijadikan sebuah mata pelajaran.

4

Harimurti Subanar, Manajemen Usaha Kecil, (Yogyakarta: BPFE, 2009), Cet. 5, h. 11. 5

(29)

Pencapaian tujuan pembelajaran kewirausahaan memang tidak serta merta hanya bertumpu pada „pundak‟ seorang pendidik. Tetapi menurut para ahli, keberhasilan pendidikan tergantung pada 3 komponen utama yakni peserta didik, pendidik, dan manajemen lembaga pendidikan yang bersangkutan. Meskipun pendidik memiliki peran sentral, namun perlu ditopang oleh perangkat pembelajaran terkait lainnya secara sistemik. Dengan demikian, hendaknya ada satu sistem yang dijadikan pedoman oleh semua unsur pembelajaran agar bila ada persoalan bukan aspek personal yang menjadi acuan dalam mencari solusi, melainkan aspek manajerial yang dijadikan pola untuk mengatasi dan menyelesaikan setiap masalah yang terjadi. Jika demikian, tujuan pembelajaran kewirausahaan akan tercapai. Adapun indikasi penting tercapainya tujuan pembelajaran kewirausahaan ialah tumbuhnya jiwa wirausaha dalam pribadi setiap peserta didik, sehingga dapat membentuk komunitas”business” perekonomian negeri merdeka ini, mengurangi kemiskinan dan menanggulangi masalah pengangguran yang kian hari makin bertambah. 6 Dengan demikian kewirausahaan di sekolah harus mandiri untuk melakukan kerjasama atau harus mampu melaksanakan kerjasama dalam kemandirian.

3. Pengembangan Nilai-nilai Kewirausahaan

Di atas sudah dijelaskan bahwa kewirausahaan merupakan sebuah proses disiplin dan sistematis dalam menerapkan kreativitas dan inovasi terhadap kebutuhan, problem dan peluang pasar. Dengan demikian ada beberapa nilai penting yang terdapat dalam kewirausahaan yaitu: (1) percaya diri, (2) berorientasi pada tugas dan hasil, (3) keberanian mengambil resiko, (4) kepemimpinan, (5) berorientasi ke masa depan, (6) keorisinalan(kreativitas dan inovasi).

a. Percaya diri

Modal utama seorang wirausahawan adalah kemauan yang kuat serta rasa percaya diri. Mereka mempunyai keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan

6

(30)

tekad dan kemauan yang tinggi akan mampu mengatasi semua permasalahan dilapangan. Dalam menyelesaikan suatu persoalan biasanya mereka cenderung tidak mau menerima sesuatu dalam kondisi apa adanya atau dalam keadaan yang belum tuntas. Mereka sangat yakin bahwa segala sesuatu tugas dan pekerjaan dapat diselesaikan secara tuntas sesuai dengan rencana dan dorongan nurani. Seringkali dalam mengatasi dan menyelesaikan permasalahan dilapangan dilakukan dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Mereka menemukan sesuatu cara yang dikembangkan dari kebuntuan jalan yang dihadapi. Mereka melakukan suatu inovasi, atau mendapatkan temuan yang unik guna memecahkan permasalahan yang dihadapi. Hal yang demikian telah sering kita dengar bahwa produk-produk baru ada kalanya telah tanpa sengaja ditemukan, melainkan buah dari dampak sebuah kegagalan.7 Keberhasilan dalam mencapai sesuatu hasil merupakan kepuasan batin yang tidak dapat dinilai dengan materi dan itulah yang dianggap kesuksesan dan memberikan motivasi untuk bekerja.

Orang yang memiliki keyakinan pada dirinya sendiri merasa dapat menjawab tantangan yang ada di depan mereka. Mereka mempunyai pemahaman atas segala jenis masalah yang mungkin muncul. Penelitian menunjukkan bahwa banyak wirausaha yang sukses adalah orang yang percaya pada dirinya sendiri, yang mengakui adanya masalah di dalam peluncuran perusahaan baru, tapi mempercayai kemampuan dirinya untuk mengatasi masalah tersebut.8 Oleh karena itu orang yang tinggi percaya dirinya adalah orang yang sudah matang jasmani dan rohaninya.

b. Berorientasi pada tugas dan hasil

Seseorang yang selalu mengutamakan tugas dan hasil adalah orang yang selalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat,

7

Mulyadi Nitisusastro, Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 29.

8

(31)

energik dan berinisiatif. Berinisiatif artinya selalu ingin mencari dan memulai sesuatu. Untuk memulai diperlukan adanya niat dan tekad yang kuat serta karsa yang besar. Sekali sukses atau berprestasi, maka sukses berikutnya akan menyusul, sehingga usahanya semakin maju dan berkembang. Dalam kewirausahaan, peluang hanya diperoleh apabila terdapat inisiatif. Perilaku inisiatif ini biasanya diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman selama bertahun-tahun, dan pengembangannya diperoleh dengan cara disiplin diri, berpikir kritis, tanggap, dan semangat berprestasi.9 Orang ini tidak mengutamakan prestide dulu, prestasi kemudian. Akan tetapi, ia cendrung pada prestasi kemudian setelah berhasil prestisenya akan naik. c. Keberanian mengambil resiko

Kemauan dan kemampuan mengambil risiko merupakan salah satu nilai utama dalam kewirausahaan. Wirausaha yang tidak mau mengambil risiko akan sukar memulai dan berinisiatif. Menurut Angelita S.Bajaro, seorang wirausaha yang berani menanggung risiko adalah orang yang selalu ingin jadi pemenang dan memenangkan dengan cara yang baik(Yuyun Wirasasmita, 1994: 2). Wirausaha adalah orang yang lebih menyukai usaha-usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan atau kegagalan daripada usaha yang kurang menanatang. Oleh sebab itu, wirausaha kurang menyukai risiko yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Risiko yang terlalu rendah akan memperoleh sukses yang relatif rendah. Sebaliknya, risiko yang tinggi kemungkinan memperoleh sukses yang tinggi, tetapi dengan kegagalan yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, ia akan lebih menyukai risiko yang seimbang(moderat). Dengan demikian, keberanian untuk menanggung risiko yang menjadi nilai kewirausahaan adalah pengambilan risiko yang penuh dengan perhitungan dan realistis. Kepuasan yang besar diperoleh apabila berhasil dalam melaksanakan tugas-tugasnya secara realistis. Situasi risiko kecil dan situasi risiko tinggi dihindari karena sumber kepuasan tidak mungkin didapat pada masing-masing situasi tersebut. Artinya, wirausaha menyukai tantangan yang sukar namun dapat dicapai(Geoffrey G Meredith,

9

(32)

1996: 37). Wirausaha menghindari situasi risiko yang rendah karena tidak ada tantangan dan menjauhi situasi risiko yang tinggi karena ingin berhasil. Seperti persaingan, harga turun naik, barang tidak laku, dan sebagainya.10 Oleh karena itu semua tantangan ini harus dihadapi dengan penuh perhitungan. Jika perhitungan sudah matang, membuat pertimbangan dari segala macam segi, maka berjalanlah terus dengan tidak lupa berlindung kepada-Nya.

Sifat orang yang menunjukkan bahwa wirausaha selalu

memperhitungkan keberhasilan dan kegagalan dalam melaksanakan kegiatan mencapai tujuan usaha, biasanya akan melangkah bila kemungkinan gagal tidak terlalu besar. Dengan kemampuan mengambil risiko yang diperhitungkan wirausaha tidak takut menghadapi situasi yang tidak menentu, yang tidak ada jaminan keberhasilan.11 Segala tindakannya diperhitungkan dengan cermat, selalu membuat antisipasi atas kemungkinan adanya hanbatan yang dapat meninggalkan usahanya.

Dengan kata lain, wirausahawan yang sukses bukanlah pengambil risiko, tetapi lebih sebagai pengahapus risiko, membuang sebanyak mungkin halangan terhadap keberhasilan peluncuran perusahaan mereka.12 Salah satu cara terbaik untuk menghapus risiko adalah dengan menyusun perencanaan bisnis yang kokoh untuk usaha.

d. Kepemimpinan

Sifat kepemimpinan memang ada dalam diri masing-masing individu. Namun sekarang ini, sifat kepemimpinan sudah banyak dipelajari dan dilatih. Ini tergantung kepada masing-masing individu dalam menyesuaikan diri dengan organisasi atau orang yang ia pimpin.

Ada pemimipin yang disenangi oleh bawahan, mudah memimpin sekelompok orang, ia diikuti, dipercaya oleh bawahannya. Namun, adapula

10

Ibid., h. 40. 11

Yuyus Suryana, Kartib Bayu, Kewirausahaan Pendekatan Karakteristik Wirausahawan Sukses, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. 1, h.46.

12

(33)

pemimpin yang tidak disenangi bawahan, atau ia tidak senang kepada bawahannya, ia banyak curiga kepada bawahannya, ia mau mengawasi bawahannya tetapi tidak ada waktu untuk itu. Menanam kecurigaan kepada orang lain, pada suatu ketika kelak akan berakibat tidak baik pada usaha yang sedang dijalankan.13 Pemimpin yang baik harus mau menerima kritik dari bawahan, ia harus bersifat responsif.

e. Berorientasi ke masa depan

Seorang wirausahawan harus mempunyai visi masa depan, tentang tindakan yang hendak dilakukan dan hasil yang ingin dicapai. Sebuah usaha bukan didirikan untuk sementara waktu, melainkan untuk selamanya. Oleh karena itu, faktor kontinuitasnya harus dijaga dan pandangan harus ditujuhkan jauh ke depan.14 Seorang wirausahawan harus menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar jelas langkah-langkah yang akan dilaksanakan dan selalu mencari suatu peluang.

f. Keorisinalan: Kreativitas dan Inovasi

Sifat orisinal tentu tidak selalu ada pada diri seseorang. Orisinil, artinya, tidak mengekor pada orang lain. Orisinal tidak berarti baru, tetapi mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari komponen-komponen yang sudah ada, sehingga melahirkan sesuatu yang baru.15 Bobot kreativitas orisinal produk akan tampak sejauh manakah ia berbeda dari yang sudah ada sebelumnya.

Inovasi merupakan inti dari kewiraswastaan, dengan kata lain inovasi merupakan alat spesifik kewiraswastaan.16 Inovasi yang kreatif berperan besar dalam entrepreneurship. Walaupun pada entrepreneur beroperasi dalam lingkungan yang mendukung ataupun tidak mendukung tumbuhnya ide/gagasan baru, eksperimentasi, solusi baru, atau proses kreatif, tetapi mereka tetap mebutuhkan sikap inovatif sebagai dimensi yang sangat penting

13

Buchari Alma, Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum, (Bandung: Alfabeta, 2009), Cet. 15, h. 54.

14

Rusdiana, Kewirausahaan Teori dan Praktik, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 128. 15

Ibid.,h. 128. 16

(34)

untuk menjalankan usaha.17 Budaya inovatif kreatif yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar dalam perkembangan teknologi baru, produk baru, jasa baru, atau proses baru di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Yuyus Suryana seseorang yang memiliki nilai-nilai kewirausahaan dapat di identifikasikan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

1) Lebih menyukai pekerjaan dengan risiko yang realistis.

2) Bekerja lebih giat dalam tugas-tugas yang memerlukan kemampuan mental.

3) Tidak bekerja lebih giat karena adanya imbalan uang.

4) Ingin bekerja pada situasi di mana dapat diperoleh pencapaian pribadi(personal achievement)

5) Menunjukkan kinerja yang lebih baik dalam kondisi yang memberikan umpan balik yang jelas positif.

6) Cenderung berpikir ke masa depan serta memiliki pemikiran jangka panjang.18

Jadi, nilai-nilai kewirausahaan mampu menunjukkan seberapa besar jiwa entrepreneur seseorang. Semakin besar nilai-nilai kewirausahaan seseorang, semakin besar pula bakat potensialnya untuk menjadi entrepreneur yang sukses.

Pengembangan nilai-nilai kewirausahaan tidak mungkin dapat dicapai tanpa pendekatan yang menarik, maka sekolah harus menggunakan strategi pembelajaran yang dapat menghubungkan mata pelajaran yang dipelajarinya dengan dunia nyata siswa. Pembelajaran akan bermakna jika guru lebih menekankan agar siswa mengerti relevansi apa yang mereka pelajari di sekolah dengan situasi kehidupan nyata dimana isi pelajaran akan digunakan.

B. Strategi Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran di sekolah tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan kemampuan pengetahuan yang bersifat teoritis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa senantiasa terkait dengan permasalahan-permasalahn aktual yang terjadi di lingkungannya.

17

Arman Hakim Nasution, Bustanul Arifin, dan Mokh Suef, Entrepreneurship Membangun Spirit Teknopreneurship, (Yogyakarta: Andi, 2007), h. 10.

18

(35)

1. Pengertian Strategi Pembelajaran Kontekstual

Dalam pengertian etimologis kata kontekstual berasal dari bahasa inggris,

contextual, yang berarti mengikuti konteks atau dalam konteks. Secara umum kata contextual berarti, sesuatu yang berkenaan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks, atau sesuatu yang membawa maksud, makna dan kepentingan.19

Pembelajaran kontekstual(contextual teaching and learning) adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofis bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya,20 dan pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat erat kaitannya. Faktor-faktor tersebut bisa dating dari dalam diri peserta didik(internal), dan dari luar dirinya atau dari lingkungan di sekitarnya(eksternal).21

CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam simulatif ataupun nyata, baik sendiri maupun bersama-sama.22 Tujuannya untuk membantu siswa melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan mata pelajaran akademik, dengan isi kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks kehidupan pribadi, social dan budaya.

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai

19

Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 248.

20

Elaine B. Johnson, Contextual Teaching And Learning Menjadikan kegiatan belajar mengajar mengasyikan dan bermakna, (Bandung: Mizan Media Utama, 2014), Cet. 1, h.14.

21

Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), Cet. 3, h. 175.

22

(36)

anggota keluarga dan masyarakat. Untuk memperkuat dimilikinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa, tentu saja diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri(learning to do), dan bahkan sekedar pendengar yang pasif sebagaimana penerima terhadap semua informasi yang disampaikan guru.23 Oleh sebab itu, mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa akan tetapi lebih ditekankan siswa untuk mencari apa yang dipelajarinya.

Beberapa pengertian pembelajaran kontekstual menurut para ahli pendidikan sebagai berikut:

Pertama, The Washington State Consortium For Contextual Teaching and Learning mengartikan pembelajaran kontekstual adalah pengajaran yang

memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan

pengetahuan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar belakang dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata.24 Jadi pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan mengenai apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka dan sebagai anggota keluarga, masyarakat, siswa, dan selaku pekerja.

Kedua, CTL merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran kontekstual merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan

23

Rusman, Model-model pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. 6, h. 190.

24

(37)

mereka sendiri dalam lingkungan social dan budaya masyarakat.25 Oleh karena itu pembelajaran kontekstual mengajarkan siswa menghubungkan dengan realitas kehidupan sehari-hari.

Ketiga, CTL adalah pengajaran yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas, dan menereapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam memecahkan masalah di dunia nyata. Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai.26 Dengan demilikan guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.

Keempat, CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.27 Jadi, konsep CTL proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung.

Kelima, merupakan proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dalam konteks kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka.28 Tugas guru adalah membimbing peserta didik mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi

25

Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 79-80.

26

Sofan Amri, Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010) Cet. 1, h. 193.

27

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. 1, h.255.

28

(38)

informasi.29 Oleh karena itu, guru mengelola kelas untuk menemukan sesuatu baru dikelas baik pengetahuan maupun keterampilan.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa yang mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang bertujuan menolong para peserta didik memahami makna dari materi pembelajaran yang dipelajari, dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan pribadi, social dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Karakteristik Pembelajaran CTL

CTL memiliki karakteristik yang membadakan dengan model pembelajaran lainnya, yaitu: (1) kerja sama; (2) saling menunjang; (3)

menyenangkan, mengasyikkan; (4) tidak membosankan(joyfull,

comfortable); (5) belajar dengan bergairah; (6) pembelajaran terintegrasi; dan (7) menggunakan berbagai sumber siswa aktif.30 Jadi pembelajaran kontekstual memiliki karakteristik yang menyenangkan bagi peserta didik dan menekankan siswa untuk belajar aktif di kelas.

Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual, yaitu sebagai berikut:

a. Dalam CTL pembelajaran merupakan proses pengaktifan

pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

b. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka

memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring

knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memerhatikan detailnya.

29

Ibid., h. 74. 30

(39)

c. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan pengembangan. d. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying

knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.

e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini, dilakukan seagai umpan balik untuh proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.31

Oleh karena itu, karakteristik pembelajaran kontekstual bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari

Karakteristik Contextual Teaching Learning adalah sebagai berikut: a. Kerja sama antarpeserta didik dan guru(cooperative).

b. Saling membantu antarpeserta didik dan guru(assist).

c. Belajar dengan bergairah(enjoyfull learning).

d. Pembelajaran terintegrasi secara kontekstual. e. Menggunakan multi media dan sumber belajar. f. Cara belajar siswa aktif(student active learning).

g. Sharing bersama teman(take and give).

h. Siswa kritis dan guru kreatif.

i. Dinding kelas dan lorong kelas penuh dengan karya siswa.

j. Laporan siswa bukan hanya buku rapor, tetapi juga hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan sebagainya.32 Jadi, karakteristik pembelajaran kontekstual lebih kepada pembelajaran aktif siswa, guru hanya memberikan informasi dan siswa bagaimana menemukan materi pembelajaran sendiri.

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan dengan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau pembelajaran

31

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. 1, h. 256.

32

(40)

yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).

b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning).

c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman

bermakna kepada siswa (learning by doing).

d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kinerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antar teman (learning in a group).

e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan

kebersamaan, kerjasama, dan saling memahami antar satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply). f. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif dan

mementingkan kerjasama (learning to ask, to inquiry, to work together).

g. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan

(learning as an enjoy activity).33

Secara lebih sederhana Nurhadi (2002) mendeskripsikan karakteristik pembelajaran kontekstual dengan cara menderetkan sepuluh kata kunci yaitu: (1) kerjasama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan, tidak membosankan, (4) belajar dengan gairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) tukar pendapat dengan teman, (9) siswa kritis, dan (10) guru aktif.34 Oleh karena itu karakteriktik pembelajaran kontekstual lebih mengedepankan siswa agar lebih aktif dikelas dan membuat pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan.

3. Landasan CTL

Ada dua macam landasan yang digunakan dalam pembelajaran CTL yaitu:

a. Landasan filosofi

Pembelajaran kontekstual mendasarkan filosofi konstruktivisme. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan(realitas). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu

33

Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, h.42.

34

(41)

konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat, melainkan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksi dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang(guru) ke kepala orang lain(siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.35 Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut.

Dalam proses konstruksi itu, diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali

pengalaman; (2) kemampuan membandingkan, mengambil

keputusan(justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan; dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.36 Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain karena kadang seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain, maka muncullah soal nilai dari pengalaman yang kita bentuk.

Dengan demikian, konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuan

35

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. 1, h. 113.

36

(42)

mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang.37 Tiap orang harus mengonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus.

b. Landasan psikologis

Sesuai dengan filasafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi, dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu.38 Mengapa demikian? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku.

Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, terdapat beberapa hal yang harus dipahami tantang belajar dalam konteks CTL sebagai berikut:

1) Belajar bukanlah mengahafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.

37

Ibid.,h. 16. 38

(43)

2) Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir.

3) Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab, dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh, bukan hanya secara intelektual, melainkan juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi setiap persoalan.

4) Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap diri yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu, belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.

5) Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak.39

Oleh karena itu peran guru dalam pembelajaran kontesktual adalah setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia nyata siswa. Artinya, guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa.

4. Asas-asas Pembelajaran CTL

Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Dalam pembelajaran kontekstual ada 7 hal yang harus dikembangkan oleh guru agar pembelajaran efektif yaitu: a. Konstruktivisme(Constructivisme)

Salah satu landasan teoretik pendidikan modern termasuk CTL adalah teori pembelajaran konstruktivis. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pada pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student-centered daripada teacher-centered. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivis siswa40

dan pada dasarnya mendorong agar siswa bisa mengkontruksi

39

Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2012), Cet. 1, h. 179.

40

(44)

pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman.41 Sebab pengetahuan hanya akan fungsional manakala dibangun oleh individu. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.

Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:

1) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.

2) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri,

3) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Pengetahuan tumebuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sasma bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak(struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. struktur dikembangakan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi atau akomodasi. Asimilasi maksudnya struktur pengetahuan yang baru dibuat berdasarkan struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur pengetahuanyang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengetahuan baru.42 Oleh karena itu pada umumnya kita juga sudah menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari, yaitu ketika kita merancang pembelajaran dalam bentuk siswa

41

Jumanta Hamdayama, Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014), Cet. 1, h. 53.

42

(45)

bekerja, praktek mengerjakan sesaat, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide, dan sebagainya.

b. Menemukan(Inquiry)

Menemukan merupakan kegiatan inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dari keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.43 Guru harus merencanakan situasi sedemikian rupa, sehingga para siswa bekerja menggunakan prosedur mengenali masalah, menjawab pertanyaan, menggunakan prosedur mengenali masalah, menjawab pertanyaan, menggunakan prosedur penelitian/investigasi, dan menyiapkan kerangka berpikir, hipotesis, dan penjelasan yang relevan dengan pengalaman dunia nyata.44

Langkah-langkah kegiatan menemukan(inquiry):

1) Merumuskan masalah

2) Mengamati atau melakukan observasi

3) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar laporan, bagan, tabel atau karya lainnya.

4) Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audiensi yang lain.45

Jadi, penerapan asas ini dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian, siswa harus mendorong untuk menemukan masalah. Jika masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. c. Bertanya(Questioning)

Unsur lain yang menjadi karakteristik utama CTL adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu bertanya merupakan strategi utama dalam pendekatan CTL.

43

Ibid., h. 171. 44

Sumiati, Asra, Metode Pembelajaran, (Bandung: CV Wacana Prima, 2009), h. 16. 45

(46)

Penerapan unsur bertanya dalam pendekatan CTL harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemamapuan guru dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran. Seperti pada tahapan sebelumnya, berkembangnya kemampuan dan keinginan untuk bertanya, sangat dipengaruhi oleh suasana pembelajaran yang dikembangkan oleh guru.

Dalam implementasi CTL, pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa harus dijadikan alat atau pendekatan untuk menggali informasi atau sumber belajar yang ada kaitannya dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain tugas bagi guru adalah membimbing siswa melalui pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan menemukan kaitan antara konsep yang dipelajari dalam kaitan dengan kehidupan nyata. Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan banyak ditemukan unsur-unsur lain yang terkait yang sebelumnya tidak terpikirkan baik oleh guru maupun oleh siswa.46 Oleh karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.

Dalam sebuah pembelajaran produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: 1) Menggali inforministratif maupun akademis.

2) Mengecek pemahaman peserta didik.

3) Membangkitkan respon kepada peserta didik.

4) Mengetahui sejauh mana keingin tahuan peserta didik. 5) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui peserta didik.

6) Memfokuskan perhatian peserta didik pada sesuatu yang dikehendaki pembelajar/guru.

7) Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari peserta didik.

46

(47)

8) Untuk menyegarkan kembali pengetahuan peserta didik.47

Oleh sebab itu, aktivitas bertanya dapat dilakukan oleh peserta didik dengan siapapun yang terlibat dalam proses pembelajaran, bertanya dapat dilakukan dalam diskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan lain sebagainya.

d. Masyarakat Belajar(Learning Community)

Maksud dari masyarakat belajar adalah mebiasakan siswa untuk melakukan kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya. Seperti yang disarankan dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman(sharing). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sifat ketergantungan yang positif dalam learning community dikembangkan.

Manusia diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Hal ini berimplikasi pada ada saatnya seseorang bekerja sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan, akan tetapi disisi lain tidak bisa melepaskan diri ketergantungan dengan pihak lain, penerapan learning community dalam pembelajaran di kelas akan banyak bergantung pada model komunikasi pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Dimana dituntut keterampilan dan profesionalisme guru untuk mengembangkan komunikasi banyak arah(interaksi), yaitu model komunikasi yang bukan hanya hubungan antara guru dengan siswa atau sebaliknya, akan tetapi secara luas dibuka jalur hubungan komunikasi pembelajaran antara siswa dengan siswa lainnya.

Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam pendekatan CTL sangat dimungkinkan dan dibuka dengan luas memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas. Setiap siswa selayaknya dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan sumber belajar secara luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat belajar di dalam kelas akan tetapi sumber manusia lain di luar

47

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara
Tabel 3.3 Daftar Cheklis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Assam University Journal of Science & Technology: Biological and Environmental Sciences Vol.. Introduction to Food Colloids , Oxford University Press, Oxford,

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul

OPTIMASI NAÏVE BAYES CLASSIFIER DENGAN MENGGUNAKAN PARTICLE SWARM OPTIMIZATION PADA DATA IRIS.. Husin Muhamad 1 , Cahyo Adi Prasojo 2 , Nur Afifah Sugianto 3 , Listiya Surtiningsih 4

Untuk memperoleh data yang diperlukan, sesuai dengan teknik. pengumpulan data yang telah ditetapkan sebelumnya, maka

Jumlah kalor yang diterima benda bersuhu rendah sama dengan jumlah kalor yang dilepas benda bersuhu tinggib. Jumlah kalor yang diterima benda bersuhu rendah tidak

Dalam lembaga pendidikan islam, ilmu kepemimpinan sangat penting, semua orang yang terlibat dalam lembaga pendidikan islam adalah seorang pemimpin, sebagai contoh dalam suatu sekolah

3) Blok yang sudah disiapkan dipotong dengan ketebalan 5 mikron, lalu dimasukkan air panas ±60 o C. Setelah jaringan mengembang, jaringan diambil menggunakan kaca

Posisi Kabupaten Dharmasraya sangat strategis yaitu berbatasan langsung dengan Provinsi yang menjadi pusat pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia untuk