• Tidak ada hasil yang ditemukan

The design of sustainable seaweed industry cluster development model

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The design of sustainable seaweed industry cluster development model"

Copied!
564
0
0

Teks penuh

(1)

YULI WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi tentang Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2011

(3)

ii

YULI WIBOWO. The Design of Sustainable Seaweed Industry Cluster Development Model. Supervised by M. SYAMSUL MA'ARIF, ANAS M. FAUZI, and LUKY ADRIANTO

The application of cluster approach is performed to further utilize and develop seaweed industry to become an integrated, powerful industry from upstream to downstream and highly competitive one. The purpose of this research was to design a model of seaweed industry cluster development by using economic, social and environmental aspects of sustainable development approach. This model was composed of three key sub-models, i.e.: diagnosis of feasibility of development, operations development, and prediction of performance development. The model formulation used both of soft and hard system methodology. This research produced a decision support system named Model KlasteRula, which used a programming language called Visual Basic Version 6. This model can be used to assist in the decision making process of sustainable seaweed industry cluster development. The model design was implemented in Sumenep district, East Java province. From the result of model implementation, it showed that the model has been able to perform simulations and produced behaviors that match the expected system. Sustainable seaweed industry cluster development was predicted to be able to enhance profits of business actors in the cluster, increase labor absorption, and suppress potential environmental pollution caused by agro-industry liquid waste through the recycling process, so as to increase water-use efficiency.

(4)

iii

YULI WIBOWO. Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA’ARIF, ANAS M. FAUZI, dan LUKY ADRIANTO

Indonesia merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia, khususnya untuk rumput laut penghasil karaginan, yaitu jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut di Indonesia, penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan. Strategi pengembangan industri rumput laut di Indonesia masih kurang terencana dengan baik, karena belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya. Pada sisi yang lain, secara internal industri rumput laut didalam negeri masih menghadapi berbagai kendala pada hampir semua segmen, baik pada tingkat pembudidaya, pengepul atau kolektor, maupun di tingkat industri pengolahan. Permasalahan industri rumput laut di Indonesia pada umumnya terkait dengan permasalahan budidaya, pascapanen, pengolahan dan pemasaran.

Berdasarkan pada kondisi-kondisi tersebut, maka langkah yang perlu segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir, diantaranya melalui pendekatan klaster industri. Penerapan pendekatan klaster industri rumput laut dilakukan untuk lebih mendayagunakan dan mengembangkan industri rumput laut Indonesia sehingga menjadi industri yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta berdaya saing tinggi.

Penelitian ini bermaksud untuk merancang model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Rancangan model tersusun atas tiga submodel utama, yaitu submodel diagnosis kelayakan pengembangan, operasi pengembangan, dan kinerja pengembangan. Formulasi model menggunakan soft system metodhology dan hard system metodhology, yang meliputi teknik heuristic, independent preference evaluation (IPE), ordered weighted averaging (OWA), sistem pakar, interpretive structural modeling (ISM), analytical hierarchy process (AHP), serta analisis kelayakan usaha. Proses verifikasi model dilakukan melalui pengujian logika, kesesuaian konseptual dan kerja komputasi, sementara validasi model menggunakan teknik face validity, event validity, sensitivity analysis, animation dan predictive validation.

(5)

iv

koperasi, dan agroindustri. Kualitas rumput laut yang baik menjadi faktor pendorong dalam penciptaan produk alkali treated cottonii (ATC) yang berkualitas dengan harga yang kompetitif. Pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong peningkatan harga pada setiap simpul rantai usaha didalam klaster rata-rata sebesar 19,06% dengan asumsi kualitas produk (gel strength/GS) meningkat dari 775 gr/cm2 menjadi 900 gr/cm2.

Pengembangan klaster industri rumput laut dirancang untuk menghasilkan produk karaginan semi murni dalam bentuk alkali treated cottonii (ATC) dengan kapasitas sebesar 1.575 kg/hari, atau 472,5 ton/tahun. Berdasarkan target kapasitas tersebut, maka jumlah kebutuhan rumput laut kering (Eucheuma cottonii) sebagai bahan baku ATC adalah 1.575 ton/tahun. Untuk mendapatkan jumlah bahan baku yang sesuai dengan kapasitas tersebut, maka kebutuhan lahan untuk budidaya yang perlu disediakan adalah 210 ha dengan luasan kebun bibit mencapai 60 ha. Kebutuhan lahan ini dapat terpenuhi mengingat potensi luas lahan budidaya di Kabupaten Sumenep cukup besar, yaitu 11.500 ha.

Terkait dengan permasalahan limbah yang dihasilkan agroindustri ATC, penanganannya diprioritaskan pada upaya pemanfaatan kembali air limbah yang digunakan untuk proses pencucian (bobot=0,462), yang diikuti oleh upaya peningkatan nilai tambah limbah menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis (bobot=0,430). Sementara, peningkatan kinerja IPAL belum menjadi prioritas utama dalam penanganan permasalahan limbah industri (bobot=0,108). Penanganan limbah melalui proses daur ulang selain bermanfaat untuk mengurangi permasalahan pencemaran lingkungan, maka hal ini juga dapat menjadi solusi bagi agroindustri ATC yang mempunyai keterbatasan dalam penyediaan air bersih.

Strukturisasi elemen-elemen sistem pengembangan klaster industri rumput laut menghasilkan: (a) elemen kendala dalam pengembangan, dengan elemen kunci yaitu keterbatasan SDM yang berkualitas serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk; (b) elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, dengan elemen kunci yaitu penurunan potensi pencemaran lingkungan dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster; (c) elemen aktivitas pengembangan, dengan elemen kunci yaitu memberikan bimbingan dan pendampingan serta memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran dan elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan; (d) elemen pelaku pengembangan, dengan elemen kunci meliputi industri inti, pembeli, kelompok usaha pembudidaya, dan masyarakat lokal. Elemen-elemen ini digunakan untuk merumuskan model konseptual dalam pengembangan klaster industri rumput laut.

(6)

v

dimana nilai tambah tersebut sebagian besar dinikmati oleh pembudidaya secara agregat dengan proporsi 66,14% kemudian disusul agroindustri sebesar 20,67%, dan selebihnya dinikmati oleh koperasi dan kelompok pembudidaya masing-masing sebesar 4,55% dan 8,64%. Hasil ini menunjukkan bahwa pengembangan klaster sangat bermanfaat bagi pelaku usaha yang terlibat dalam rantai usaha rumput laut karena dapat meningkatkan pendapatannya. Pengembangan klaster juga bermanfaat bagi daerah karena dapat menciptakan sumber pendapatan bagi daerah. Kontribusi klaster industri terhadap PAD mencapai 1,14%.

Pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong penyerapan jumlah tenaga kerja, khususnya tenaga kerja pada usaha budidaya rumput laut. Jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster berbanding lurus dengan jumlah kapasitas produksi yang ditetapkan didalam klaster. Jumlah tenaga kerja yang terserap akan semakin bertambah dengan meningkatnya kapasitas produksi klaster. Jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster industri rumput laut mencapai 14,56% dari total angkatan kerja yang ada.

(7)

vi

© Hak Cipta Milik IPB Tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang

(8)

Yuli Wibowo

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Ujian Tertutup Penguji Luar Komisi

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS. Dr. Ir. Sukardi, MM.

Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi

(10)

Nama Mahasiswa : Yuli Wibowo

NIM : F361050041

Disetujui Komisi pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng. Ketua

Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, MEng. Anggota

Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(11)

xi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul “Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan”. Penelitian ini menghasilkan sistem penunjang keputusan yang dapat bermanfaat bagi para pengambil keputusan dan pihak-pihak terkait dalam rangka mengembangkan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan.

Disertasi ini dapat terselesaikan berkat peran yang besar dari komisi pembimbing. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sangat tulus dan mendalam kepada Prof.Dr.Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng. selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Prof.Dr.Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng. dan Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc. masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan, arahan, nasihat dan dorongan moral dengan penuh dedikasi kepada penulis dari awal hingga selesainya disertasi ini.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan dan pelayanan yang diberikan selama ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS. dan Dr. Ir. Sukardi, MM. atas segala masukan dan saran yang berharga untuk kesempurnaan disertasi pada saat pelaksanaan Ujian Tertutup. Penulis juga tidak lupa menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS. dan Dr. Ir. Eddy Supriyono, MSc. yang telah banyak memberikan masukan berupa kritik dan saran yang berharga untuk kesempurnaan disertasi pada saat pelaksanaan Ujian Terbuka.

Terimakasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Jember, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih yang sama juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan staf pengajar dan pegawai pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember atas segala bantuan dan dorongan moralnya.

(12)

xii

Perikanan Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep, Ketua Koperasi Aneka Usaha Kabupaten Sumenep, Ketua KUB Rumput Laut Mitra Bahari Kabupaten Pamekasan, Pimpinan PT. Indonusa Algaemas Prima, pengusaha rumput laut di Kabupaten Sumenep, dan semua nara sumber yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala waktu, pengalaman, ilmu dan pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama penulis melakukan pengumpulan data di lapangan.

Kepada rekan-rekan seperjuangan TIP Angkatan 2005, Dr.Ir. Luluk Sulistiyo Budi, MP., Dr.Ir. I Gusti Bagus Udayana, MS., Dr.Ir. Novizar Nazir, MS., Dr.Ir. Cut Meurah Rosnelly, MT., Ir. Fahmi Riadi, MSi., Henny Purwaningsih, SSi, MSi., dan Herfiani Rizkia, STp, MSi., penulis menyampaikan terimakasih atas kerjasama dan kebersamaannya selama mengikuti pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bambang Herry Purnomo, STp, MSi., atas segala kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin selama ini khususnya selama mengkuti pendidikan. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan sampai selesainya disertasi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, disampaikan terimakasih.

Rasa hormat dan terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Ayahanda Soedarminto (almarhum) dan Ibunda Sunarti yang tidak kenal lelah untuk memberikan doa, motivasi, semangat, dan pengorbanan yang tulus kepada penulis selama mengikuti pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pada pendidikan tinggi. Kepada Bapak Mertua Muhammad Santoso (almarhum) dan Ibu Mertua Nastuti Heruwati yang juga telah memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam mengikuti pendidikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik semuanya yang telah memberikan dorongan dan motivasi. Penghargaan dan kebanggaan yang tak terhingga dengan segala ketulusan penulis sampaikan kepada istri tercinta Rr. Rizkika Hidayasanti dan ananda tersayang Arya Mahdi Panji Wibowo atas segala pengorbanan, pengertian, ketulusan, ketabahan, dan dorongan semangat yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran akan selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Disertasi ini. Semoga disertasi dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Terimakasih.

Bogor, September 2011

(13)

xiii

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 30 Juli 1972. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Soedarminto (almarhum) dan Sunarti. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Jember pada tahun 1995. Penulis menyelesaikan Pendidikan Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005. Kemudian pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.

Selama mengikuti program S3, penulis berkesempatan menulis artikel dan terpublikasi secara ilmiah pada beberapa jurnal, antara lain: (i) Strategi Pengembangan Agroindustri Karaginan Menggunakan Perspektif Keunggulan Bersaing yang Berkelanjutan, Jurnal Agrointek Volume 4 Nomor 1 Tahun 2009, Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Trunojoyo; (ii) Diagnosis Kelayakan Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan, Jurnal Agrointek Volume 4 Nomor 3 Tahun 2011, Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Trunojoyo; dan (iii) Strategi Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan, Jurnal Agritek: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Eksakta Volume 12 Nomor 1 Tahun 2011, Universitas Merdeka Madiun.

(14)

xv

Halaman KATA PENGANTAR... xi DAFTAR ISI... xv Kerangka Pemikiran...

Tahapan Penelitian... Tempat Penelitian... Metode Pengumpulan Data...

41 42 50 51 ANALISIS SISTEM... 53

Deskripsi Sistem Klaster Industri Rumput Laut... Analisis Kebutuhan... PEMODELAN SISTEM... 75

Model Diagnosis Kelayakan Pengembangan Klaster... Model Operasi Pengembangan Klaster... Model Prediksi Kinerja Pengembangan... Perancangan Sistem Penunjang Keputusan...

(15)

xvi

Implementasi Model... Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut... Keterbatasan Model...

115 163 173 SIMPULAN DAN SARAN... 177 Simpulan ...

Saran...

(16)

xvii

Tabel Halaman

1 Nilai nutrisi rumput laut jenis Eucheuma sp.... 9

2 Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri... 16

3 Struktur model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan... 46

4 Formulasi model pengembangan klaster industri... 47

5 Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia... 56

6 Permintaan rumput laut dunia... 61

7 Permintaan rumput laut Indonesia... 62

8 Analisis kebutuhan komponen sistem... 66

9 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut……... 78

10 Kelas kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut... 78

11 Indikator prasyarat ekonomi... 80

12 Indikator prasyarat sosial... 80

13 Indikator prasyarat kelembagaan... 81

14 Nilai label output dan input sistem pakar... 84

15 Skala dasar perbandingan pada proses hirarki analitik... 95

16 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut... 116

17 Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut... 117

18 Penilaian prasyarat ekonomi... 119

19 Potensi sumberdaya manusia di Kabupaten Sumenep... 120

20 Penilaian prasyarat sosial... 121

21 Penilaian prasyarat kelembagaan... 121

22 Hasil agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster... 123

23 Skenario harga rumput laut di tingkat agroindustri... 125

24 Skenario harga maksimum rumput laut di tingkat agroindustri... 126

25 Skenario harga rumput laut di tingkat koperasi... 127

26 Skenario harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya... 128

27 Skenario harga rumput laut di tingkat pembudidaya... 129

(17)

xviii

29 Prioritas penanganan limbah cair ATC... 148

30 Skenario keuntungan pembudidaya... 150

31 Tingkat keuntungan pembudidaya... 151

32 Analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut... 151

33 Perubahan teknik budidaya rumput laut... 153

34 Skenario peningkatan keuntungan pembudidaya... 154

35 Skenario pendapatan agroindustri... 155

36 Skenario peningkatan keuntungan agroindustri... 155

37 Ikhtisar hasil analisis kelayakan finansial agroindustri ATC... 156

38 Skenario keuntungan koperasi... 157

39 Skenario keuntungan kelompok pembudidaya... 157

40 Proporsi keuntungan klaster... 158

41 Kontribusi agroindustri terhadap pendapatan daerah... 159

42 Penyerapan tenaga kerja klaster... 160

(18)

xix

Gambar Halaman

1 Rumput laut (Eucheuma cottonii)... 8

2 Proses pembuatan ATC... 11

3 Skema pengembangan agroindustri rumput laut... 12

4 Tata niaga rumput laut... 13

5 Model Berlian... 15

6 Metodologi pendekatan sistem... 31

7 Struktur dasar sistem penunjang keputusan... 35

8 Kerangka pemikiran penelitian... 42

9 Tahapan penelitian... 43

10 Model berlian klaster industri rumput laut... 54

11 Jumlah tenaga kerja sektor kelautan dan perikanan... 55

12 Permintaan karaginan Indonesia... 58

13 Produksi rumput laut Indonesia... 59

14 Proyeksi Produksi rumput laut Indonesia... 59

15 Estimasi kebutuhan pasar karaginan... 60

16 Produksi rumput laut Indonesia dan Filipina... 62

17 Diagram lingkar sebab akibat pengembangan klaster industri rumput laut... 71

18 Diagram input – output sistem pengembangan klaster rumput laut... 72

19 Rancangan model pengembangan klaster industri rumput laut... 76

20 Diagram alir model prasyarat ekologi... 79

21 Diagram alir model prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan... 82

22 Diagram alir model agregasi prasyarat kelayakan pengembangan... 84

23 Diagram alir model penentuan harga di tingkat agroindustri... 86

24 Diagram alir model penentuan harga di tingkat koperasi... 87

25 Diagram alir model penentuan harga di tingkat kelompok pembudidaya... 87

(19)

xx

27 Diagram alir model keseimbangan bahan baku... 90

28 Diagram alir model strukturisasi sistem pengembangan kelembagaan... 91

29 Diagram alir model penanganan limbah industri ATC... 94

30 Diagram alir model penentuan tingkat pendapatan pembudidaya... 99

31 Diagram alir model peningkatan pendapatan pembudidaya... 99

32 Diagram alir model pendapatan agroindustri... 100

33 Diagram alir model peningkatan pendapatan agroindustri... 100

34 Diagram alir model kontribusi agroindustri terhadap pembangunan daerah... 103

35 Diagram alir model perhitungan jumlah rakit budidaya... 104

36 Diagram alir model tingkat penyerapan tenaga kerja... 105

37 Model prediksi kinerja lingkungan... 107

38 Konfigurasi SPK pengembangan klaster industri rumput laut... 109

39 Struktur Model KlasteRula... 110

40 Tampilan awal Model KlasteRula... 111

41 Potensi pengembangan rumput laut di Kabupaten Sumenep... 118

42 Rantai usaha klaster industri rumput laut... 130

43 Hubungan antara produksi ATC dengan kebutuhan bahan baku... 133

44 Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster... 135

45 Struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster... 137

46 Klasifikasi elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster... 139

47 Struktur hirarki elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan... 140

48 Klasifikasi elemen aktivitas pengembangan klaster... 142

49 Struktur hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster... 144

50 Klasifikasi elemen pelaku pengembangan klaster... 145

51 Struktur hirarki elemen pelaku pengembangan klaster... 146

52 Struktur hirarki penanganan limbah... 148

53 Pengolahan ATC dan daur ulang limbah... 161

54 Rantai usaha rumput laut saat ini... 163

55 Rantai usaha rumput laut didalam klaster... 164

(20)

xxi

Lampiran Halaman 1 Kondisi ekologi perairan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma

cottonii) di Kabupaten Sumenep...... 189 2 Penilaian indikator prasyarat ekonomi, sosial dan kelembagaan kelayakan

pengembangan klaster industri rumput laut... 195

3 Aturan-aturan yang digunakan dalam pengembangan sistem pakar diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut... 203

4 Penentuan harga rumput laut... 215

5 Harga pokok produksi usaha budidaya... 219

6 Keseimbangan bahan baku... 221

7 Strukturisasi elemen sistem pengembangan klaster... 223

8 Prioritas penanganan limbah agroindustri... 231

9 Analisis usaha budidaya rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan metode rakit di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep... 237

10 Analisis kelayakan finansial usaha agroindustri pengolahan rumput laut (alkali treated cottonii/ATC)... 245

11 Proporsi keuntungan pelaku usaha di dalam klaster... 255

12 Efisiensi penggunaan air melalui proses daur ulang... 261

13 Industri rumput laut... 263

(21)

1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009). Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar, terutama sumberdaya perikanan laut baik dari segi kuantitas maupun diversitas dengan sejumlah keunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang sangat tinggi (Dahuri 2003). Sebagai negara kepulauan, Indonesia diharapkan mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya hayati laut sebaik-baiknya, termasuk diantaranya adalah pengembangan komoditas rumput laut (seaweed).

Rumput laut merupakan salah satu komoditas strategis dalam bidang kelautan disamping udang dan tuna. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut mencapai 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha atau 20% dari luas areal potensial. Hal ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut di Indonesia. Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dimana sebagian besar potensi berada di daerah Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Bali (DKP 2005). Jenis rumput laut yang dikembangkan di Indonesia antara lain adalah Kappaphycus alvarezii (cottonii), Eucheuma denticulatum (spinosum) dan Gracilaria sp.

(22)

Indonesia diyakini merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia, khususnya untuk rumput laut penghasil karaginan, yaitu jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Saat ini diperkirakan produksi rumput laut Indonesia untuk jenis tersebut sudah melampaui produksi rumput laut Filipina yang merupakan negara produsen rumput laut terbesar di dunia. Menurut Dakay (2008), rata-rata produksi rumput laut Filipina pada tahun 2002-2007 cenderung menurun dengan rata-rata penurunan hingga mencapai 0,61%. Sementara, produksi rumput laut Indonesia pada periode yang sama mengalami peningkatan sebesar 257,98% dengan rata-rata kenaikan per tahun mencapai 29,72%. Tahun 2007 jumlah produksi rumput laut penghasil karaginan di Indonesia mencapai 92.000 ton (kering).

Meskipun saat ini Indonesia merupakan negara produsen rumput laut penghasil karaginan terbesar di dunia, namun peran dan kontribusi Indonesia dalam industri pengolahan rumput laut masih perlu ditingkatkan mengingat peluangnya masih cukup besar. Dengan dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan Indonesia dimana rumput laut menjadi salah satu komoditas utama yang direvitalisasi, industri pengolahan rumput laut berkembang cukup pesat. Orientasi pemanfaatan rumput laut sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material saat ini sudah mulai bergeser menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi, khususnya dalam bentuk ATC (alkali treated cottonii). ATC merupakan suatu produk karaginan semi jadi yang berasal dari proses pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii yang pada umumnya digunakan sebagai pengatur keseimbangan, pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi dalam industri pangan dan non pangan.

(23)

Dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut di Indonesia, maka penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan. Hal ini disebabkan meskipun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia, namun harga bahan baku masih dikendalikan oleh pembeli dari luar negeri (buyer market). Strategi pengembangan industri rumput laut masih kurang terencana dengan baik. Strategi belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya, sehingga sangat rentan terhadap perubahan (BPPT 2010).

Pada sisi yang lain, secara internal industri rumput laut didalam negeri masih menghadapi berbagai kendala pada hampir semua segmen, khususnya di tingkat pembudidaya dan industri pengolahan. Beberapa permasalahan yang menonjol diantaranya terkait dengan: (i) kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya umumnya masih rendah karena teknik budidaya dan penanganan pascapanen belum dilakukan secara benar, yang mengakibatkan industri pengolahan kesulitan dalam memproduksi produk akhir yang sesuai dengan standar mutu internasional; (ii) industri pengolahan tidak mendapatkan jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, mutu, waktu dan harga, karena rumput laut menjadi komoditas dagang dan lebih banyak dijual dalam bentuk rumput laut kering; (iii) harga rumput laut sering tidak rasional sebagai bahan baku industri karena tidak ada tata niaga yang terkoordinir dengan mengacu kepada norma industri dengan banyaknya spekulan bahan baku (DKP 2005; Ma’ruf 2007; Sulaeman 2006; BI 2008); serta (iv) industri pengolahan menghasilkan limbah yang sangat besar yang berpotensi mencemari lingkungan sekitar (Sedayu et al. 2007).

(24)

industri inti, industri pendukung bagi industri inti, serta pihak atau lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti.

Pengembangan klaster telah dilakukan di berbagai negara industri, seperti Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Portugal, Selandia Baru, dan Jepang, serta telah diaplikasikan pula pada beberapa negara berkembang (Doeringer dan Terkla 1996; Schmitz dan Nadvi 1999). Menurut Bulu et al. (2004), pendekatan klaster saat ini telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan daya saing daerahnya.

Di Indonesia, pendekatan klaster industri mulai diperkenalkan sebagai salah satu agenda prioritas kebijakan pembangunan nasional melalui UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing industri nasional.

Penerapan pendekatan klaster industri dilakukan untuk lebih mendayagunakan dan mengembangkan industri rumput laut Indonesia sehingga menjadi usaha yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta berdaya saing tinggi. Program penguatan struktur industri rumput laut berbasis klaster dilakukan melalui sinergi dan koordinasi dari berbagai pihak, baik antar kementerian terkait dari pihak pemerintah, maupun para pelaku usaha di pihak lain seperti pembudidaya, pedagang, eksportir, dan industri pengolah, termasuk di dalamnya lembaga keuangan bank dan non bank. Keterlibatan para pemangku kepentingan ini akan menjadi kunci keberhasilan pencapaian dalam pengembangan industri rumput laut nasional secara berkelanjutan.

(25)

yang selama ini dilakukan telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan yang cenderung hanya bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata. Tantangan yang dihadapi bagi pengembang klaster saat ini tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga terkait dengan aspek lingkungan dan sosial (Martin dan Mayer 2008; Allen dan Potiowski 2008).

Penelitian ini bermaksud merancang suatu model pengembangan klaster industri rumput laut menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan merupakan salah satu upaya dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut secara berkelanjutan sekaligus sebagai upaya dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi industri rumput laut di Indonesia selama ini. Dalam konteks ini, tidak hanya manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dalam pengembangan klaster industri rumput laut, melainkan juga manfaat lingkungan dan sosial yang perlu diperhatikan secara seimbang.

Tujuan

Tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan yang dirancang dalam bentuk sistem penunjang keputusan (SPK).

Ruang Lingkup

1 Model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dirancang berdasarkan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan yang difokuskan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

2 Model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan mencakup beberapa aspek kajian, meliputi: (i) diagnosis kelayakan pengembangan klaster; (ii) operasi pengembangan klaster; dan (iii) prediksi kinerja pengembangan klaster.

(26)

Manfaat

1 Bagi masyarakat ilmiah, penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran dan bahan rujukan dalam bidang manajemen industri pertanian, khususnya untuk mengkaji pengembangan klaster industri rumput laut.

2 Bagi pemerintah pusat, dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang akan dikembangkan di daerah-daerah.

3 Bagi pemerintah daerah, merupakan bahan dalam pengambilan keputusan untuk penyusunan program dan pembinaan pengembangan klaster industri rumput laut dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya yang berkelanjutan.

(27)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Laut Profil Komoditas

Rumput laut adalah bentuk poliseluler dari ganggang (macro-algae) yang hidup di laut. Rumput laut atau alga laut adalah tanaman tingkat rendah dari Divisio Thallophyta (Deptan 1990). Berdasarkan pigmentasinya, rumput laut diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu alga merah (Rhodophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae). Dari ketiga kelas tersebut, hanya Rhodophyceae dan Paeophyceae yang dikenal dalam dunia perdagangan. Jenis Eucheuma sp, Hypnea sp, Chondrus sp, dan Gigartina sp dari kelas Rhodophyceae merupakan rumput laut penghasil karaginan (karaginofit), sementara jenis lainnya yaitu Gracilaria sp dan Gelidium sp sebagai penghasil agar (agarofit). Dari kelas Phaeophyceae dikenal .jenis Ascophyllum, Laminaria sp, Macnocystis sp, dan Sargassum sebagai penghasil algin (alginofit) (McHugh 2003).

Makroalga merupakan sumberdaya hayati laut Indonesia yang sangat potensial dan bernilai ekonomis tinggi, terutama dari golongan alga merah dan alga coklat. Masyarakat pada umumnya dan dunia perdagangan lebih mengenal makroalga sebagai rumput laut karena beberapa diantaranya menyerupai rumput. Di perairan laut Indonesia telah ditemukan paling tidak sebanyak 555 jenis rumput laut (DKP 2006a).

(28)

Eucheuma merupakan rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di perairan laut Indonesia karena tingkat permintaan pasar yang tinggi, serta didukung oleh kondisi perairan dan iklim tropik yang sangat cocok untuk pertumbuhannya (Anggadiredja et al. 2006; DKP 2006a). Kelebihan rumput laut jenis Eucheuma antara lain bentuk dan ukuran thallus lebih besar yang memungkinkan jenis ini mengandung karaginan yang tinggi, pertumbuhannya cepat (quick yield), serta mudah dibudidayakan dengan teknologi sederhana (BI 2008). Eucheuma memiliki thallus dan cabang-cabang yang berbentuk silinder atau pipih dengan bentuk yang tidak teratur dengan permukaan licin. Ketika masih hidup Eucheuma memiliki warna hijau hingga kemerahan, namun bila kering warnanya menjadi kuning kecoklatan (Doty 1973).

Gambar 1 Rumput laut (Eucheuma cottonii). Karaginan

(29)

Tabel 1 Nilai nutrisi rumput laut (Eucheuma sp.)

Komponen E. spinosum Bali Sulawesi Selatan E. spinosum E. cottonii Bali

Kadar air (%) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%)

Sumber: BBPPHP (2009); Istini et al. (1986)

Karaginan adalah senyawa kompleks polisakarida yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6-anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan α-1,3-D-galaktosa dan β-1,4-3,6-anhydro-galaktosa secara bergantian (Soegiarto 1978). Pada dasarnya ada tiga tipe karaginan komersial, yaitu tipe kappa, lambda, dan iota. Karaginan tipe lambda banyak dijumpai pada Chondrus crispus. Jenis Eucheuma cottonii merupakan sumber karaginan tipe kappa, sementara Eucheuma spinosum sumber karaginan iota (Salasa 2002). Ketiga jenis karaginan ini dibedakan atas sifat jelly yang terbentuk. Iota karaginan berupa jelly lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jelly bersifat kaku dan getas serta keras. Sementara, lambda karaginan tidak dapat membentuk jelly, tetapi berbentuk cair yang viscous.

Karaginan sangat penting peranannya sebagai pengatur keseimbangan (stabilisator), pengental (thickener), pembentukan gel (gelating), dan pengemulsi (emulsifier). Sifat-sifat ini dapat dimanfaatkan secara luas dalam industri makanan, farmasi, kosmetika, pasta gigi, dan industri penting lainnya (Basmal 2000).

(30)

industri kosmetika digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan untuk mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dsb. Karaginan digunakan pula pada industri non pangan seperti pada industri tekstil, kertas, cat air, transportasi minyak mentah, penyegar udara dan telah ditambahkan pula pada makanan hewan peliharaan (pet food) (Basmal 2000).

Dalam dunia perdagangan, karaginan bisa diperoleh dalam bentuk karaginan murni maupun semi murni. Produk karaginan semi murni merupakan bahan baku bagi karaginan murni yang berkualitas tinggi yang memiliki kekuatan gel serta rendeman yang tinggi. Karaginan semi murni memiliki beberapa istilah, antara lain semi refined carrageenan, alkali modified flour, alkali treated carrageenophyte, seaweed flour, alternatively refined carrageenan, dan processed seaweed flour. Ada pula istilah alkali treated cottonii (ATC) atau alkali treated cottonii chips (ATCC) yang merupakan produk karaginan semi murni yang masih dalam bentuk chips yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii (McHugh 2003).

Produk karaginan semi murni biasanya diproduksi oleh negara-negara penghasil rumput laut, seperti Filipina dan Indonesia. Produk ini lebih diminati oleh industri-industri pengolah seperti di Eropa dan USA, karena negara-negara tersebut dapat menekan biaya transportasi sehingga akan lebih efisien dibandingkan mengimpor produk dalam bentuk rumput laut kering (raw dried seaweed). Selain itu, industri pengolah juga tidak tertarik untuk mengolah rumput laut menjadi ATC dengan alasan untuk menghindari adanya limbah dalam proses pengolahannya, sehingga hal ini akan mengurangi biaya dalam penanganan limbah (McHugh 2003). Agroindustri Rumput Laut

(31)

Menurut Kustantiny et al. (2009), saat ini agroindustri ATC semakin berkembang seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan di Indonesia. Proses pengolahan ATC tidak membutuhkan penerapan teknologi tinggi. Proses pengolahan rumput laut menjadi ATC pada prinsipnya sangat sederhana yaitu dengan merebusnya dalam larutan KOH pada suhu 85°C selama 2-3 jam. Rumput laut kemudian dicuci berulang-ulang, dipotong-potong, dan dikeringkan sehingga diperoleh ATC yang berbentuk chips (Salasa 2002). Diagram alir proses pembuatan ATC dapat dilihat Gambar 2.

Gambar 2 Proses pembuatan ATC (Salasa 2002).

(32)

Sejauh ini sebagian besar rumput laut, baik hasil pembudidayaan maupun pengambilan di alam, masih diolah sebatas rumput laut kering (raw seaweed). Indonesia masih dikenal sebagai negara produsen raw seaweed dikarenakan sebagian besar rumput laut Indonesia masih diekspor dalam bentuk rumput laut kering (Kustantiny et al. 2009). Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh menjadi relatif rendah (DKP 2006a).

Pengembangan budidaya rumput laut perlu diikuti dengan pengembangan industri pengolahannya karena nilai tambah rumput laut sebagian besar terletak pada industri pengolahannya. Sebagian besar produksi rumput laut diekspor dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya belum dinikmati oleh pembudidaya, produsen, pemerintah daerah dan stakeholders lainnya. Pengembangan agroindustri rumput laut mempunyai nilai strategis dari hulu sampai hilir.

Dalam pengembangan agroindustri rumput laut, Ma’ruf (2002) menyarankan perlunya dibentuk suatu sistem penyerasian antara penyediaan bahan baku, sumberdaya manusia, permodalan, hukum, kelembagaan dan sistem pemasaran dan perlunya sosialisasi hasil riset yang melibatkan pemerintah daerah, institusi riset dan swasta.

Gambar 3 Skema pengembangan agroindustri rumput laut (Ma’ruf 2002).

Tata Niaga Rumput Laut

(33)

produksinya kepada pedagang pengumpul lokal atau ke koperasi. Pengumpul lokal kemudian memproses ulang dengan melakukan pembersihan, sortasi, dan mengeringkan rumput laut sebelum dikemas dan dijual kepada pembeli baik eksportir maupun pabrikan pengolahan rumput laut (Anggadiredja et al. 2006). Saat ini pembudidaya sudah mulai membentuk organisasi di tingkat pembudidaya, yaitu kelompok-kelompok pembudidaya, dimana ketua kelompoknya umumnya bertindak sebagai pengepul yang mengumpulkan rumput laut yang dihasilkan oleh pembudidaya (BI 2008).

Simpul-simpul perdagangan ini sulit bisa diputus mengingat jarak yang jauh antara produsen rumput laut (pembudidaya) dengan pasar di hilirnya, yaitu pabrikan atau processor dan eksportir. Setiap simpul akan memproses lebih lanjut hasil panen pembudidaya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas rumput laut agar bisa diterima oleh pabrikan pengolah rumput laut, baik didalam maupun di luar negeri (Anggadiredja et al. 2006). Model keterkaitan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha dan tata niaga rumput laut dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembudidaya / petani rumput laut

Pedagang pengumpul di pulau atau lokal

Koperasi Unit Desa

(KUD) Pedagang antar pulau

Pedagang pengumpul di kota

Pedagang besar di kota

Eksportir Pabrikan

(34)

Klaster Industri Model Klaster Industri

Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan konsep klaster industri. Pertama, konsep klaster yang lebih menyoroti aspek aglomerasi, yaitu pendekatan yang menekankan pada aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai keserupaan aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan berdasarkan pemikiran Marshal (1920). Kedua, konsep yang lebih menyoroti aspek keterkaitan (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan oleh Porter (1990), serta para peneliti lain seperti Bergman dan Feser (1999), Roelandt dan den Hertog (1998), dll.

Konsep klaster industri yang dikembangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada pendekatan yang kedua. Pada pendekatan ini, Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena kebersamaan (commonalities) dan melengkapi (complementarities). Senada dengan pemikiran Porter, Roelandt dan den Hertog (1998) berpendapat bahwa klaster adalah jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi) yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah. Dalam kasus tertentu, klaster juga mencakup aliansi strategis antara agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara, dan pelanggan.

(35)

biasanya didasarkan pada sistematika produk, karakteristik produk atau pohon industrinya.

Pemikiran-pemikiran tentang klaster industri yang berkembang dewasa ini pada umumnya merujuk kepada model berlian (diamond model) yang dikembangkan Porter (1990). Porter mengembangkan model berlian yang memberikan kerangka determinan keunggulan daya saing suatu bangsa yang sering dirujuk dan dianggap sebagai pemicu atau menjadi kerangka dasar dalam model atau pendekatan klaster industri.

Dalam perspektif Porter, faktor penentu dari daya saing adalah interaksi dari empat faktor spesifik dan dua faktor eksternal yang disebut sebagai faktor berlian (diamond). Empat faktor tersebut mencakup: (i) kondisi faktor; (ii) kondisi permintaan; (iii) industri terkait dan pendukung; serta (iv) strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha. Porter selanjutnya menyempurnakan dua faktor tambahan pada modelnya, yaitu kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan (chance events) dan peran pemerintah.

Gambar 5 Model Berlian (Porter 1990).

(36)

walaupun bisa saling terkait. Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri

Kriteria Klaster Industri Sentra Industri

Batasan Industri Himpunan para pelaku dalam konteks tertentu baik pelaku industri tertentu yang berperan sebagai industri inti, pemasok kepada pelaku industri inti, industri pendukung bagi industri inti, pihak/lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti

Himpunan para pelaku (produsen) di bidang usaha industri tertentu yang serupa

Faktor penting yang menjadi pertimbangan

Nilai tambah dan daya saing serta hal positif lain yang terbentuk atas rangkaian rantai nilai keseluruhan industri

Hal positif yang diperoleh karena aglomerasi fisik para pelaku usaha

Keterkaitan antara keduanya

Dalam suatu klaster industri, suatu sentra bisa ditempatkan sebagai salah satu subsistem dalam rangkaian rantai nilai sistem industri tertentu

Sentra industri bisa menjadi salah satu himpunan simpul (subgroup)

dari suatu klaster industri, baik sebagai industri inti, pemasok, atau pendukung. Suatu sentra mungkin saja tidak/belum menjadi bagian dari klaster industri tertentu

Batasan lokasi/ wilayah

Dimungkinkan terbentuknya klaster industri yang bersifat lintas batas dalam konteks batasan kewilayahan tertentu

Sentra industri tertentu hanya ada di suatu lokasi (desa/kelurahan) tertentu

Sumber: Taufik (2005b)

Manfaat Pengembangan Klaster Industri

Pengembangan klaster industri diyakini merupakan alternatif pendekatan yang efektif untuk membangun keunggulan daya saing industri pada khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya. Pengembangan ekonomi berbasis klaster merupakan kunci bagi pengembangan daya saing daerah. Menurut EDA (1997), kerangka klaster dapat menjadi sebuah alat yang sangat berguna bagi perubahan ekonomi secara efektif karena:

Market-driven, berfokus pada upaya mempertemukan sisi permintaan dan penawaran ekonomi secara bersama untuk bekerja secara lebih efektif.

(37)

Collaborative, sangat menekankan solusi kolaboratif pada isu-isu daerah oleh para partisipan yang termotivasi oleh keinginannya masing-masing.

Strategic, membantu para stakeholder untuk menciptakan visi strategis daerahnya menyangkut ekonomi generasi berikutnya atas dasar kesepakatan bersama dari beragam pihak yang berbeda, dan mendorong motivasi serta komitmen untuk melakukan tindakan.

Value-creating, memperbaiki kedalaman (dengan pemasok yang lebih banyak) dan cakupan (dengan menarik lebih banyak industri) untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Pengembangan klaster industri diyakini mampu menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2004) menjelaskan bahwa peningkatan daya saing dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara, yaitu: (i) meningkatkan produktivitas perusahaan; (ii) mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai pondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan; dan (iii) menstimulasi tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat memperkuat dan memperluas klaster.

Beberapa manfaat pengembangan klaster industri disampaikan oleh Porter (1998a), Desrochers dan Sautet (2004), Waits (2000), Martin dan Sunley (2003), yaitu:

1 Memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi dan membantu pengembangan agenda bersama;

2 Meningkatkan kerjasama antar perusahaan untuk memperkuat industrinya. Kerjasama antar-perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif dimana terjadi pengembangan saling-tukar pendapat, pengetahuan dan informasi dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan; 3 Meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta mengurangi biaya

(38)

4 Menciptakan aset secara kolektif dan memungkinkan terciptanya inovasi yang mendorong peningkatan produktifitas dan diversifikasi produk;

5 Meningkatkan keahlian pelaku melalui proses pembelajaran bersama antar perusahaan potensial yang ada dalam klaster yang mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti dan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif;

6 Setiap perusahaan yang ada dalam klaster memperoleh potensi economic of scale dengan adanya spesialisasi produksi serta dengan adanya pasar bersama atau melalui pembelian bahan mentah bersama;

7 Perusahaan dapat meningkatkan hubungan bisnis dengan pelanggan dan pemasok secara lebih baik.

Keberadaan klaster tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster, namun juga menguntungkan pengambil kebijakan untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Manfaat utama yang diperoleh pemerintah adalah: (i) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster; (ii) dapat menyusun program dan pembinaan pengembangan klaster industri dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya secara berkelanjutan; (iii) penciptaan lapangan kerja dari wilayah geografis di mana klaster berada; dan (iv) peningkatan perekonomian daerah/nasional secara lebih luas (Martin dan Sunley 2003).

Tahapan Pengembangan

(39)

Dalam klaster embrio, pemerintah dan perantara mempunyai peran penting dalam peningkatan kerjasama dan berfungsi sebagai broker informasi. Sedangkan pada klaster dewasa dan klaster menurun, peningkatan keterbukaan dan inovasi juga diperlukan untuk mencegah bahaya lock-in wilayah. Selain membantu menjaga daya saing klaster tradisional, peningkatan keterbukaan dan inovasi dapat menjadi titik awal kemajuan pengembangan industri baru. Beberapa bentuk intervensi diperlukan di setiap tahapan siklus, namun intensitas dan cara penyampaiannya yang perlu penyesuaian (Bappenas 2006).

Dalam konteks pengembangan ekonomi daerah, EDA (1997) menetapkan empat tahapan umum dalam pengembangan klaster industri, meliputi:

1 Mobilisasi, yaitu membangun minat dan partisipasi di antara konstituen, yang diperlukan untuk melaksanakan prakarsa;

2 Diagnosis, yaitu mengkaji klaster industri yang mencakup ekonomi (daerah) dan infrastruktur ekonomi yang mendukung kinerja klaster;

3 Strategi kolaboratif, yaitu menghimpun stakeholder dari sisi permintaan (seperti perusahaan dalam setiap klaster) dan stakeholder dari sisi sisi penawaran (termasuk lembaga pendukung ekonomi baik publik maupun swasta) dalam kelompok kerja untuk mengidentifikasi tantangan utama dan prakarsa aksi dalam mengatasi persoalan bersama; dan

4 Implementasi, yaitu membangun komitmen peserta kelompok kerja klaster dan stakeholder daerah atas tindakan dan mengembangkan lembaga/ organisasi untuk memelihara terlaksananya implementasi.

Faktor Kunci Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri

(40)

budaya kewirausahaan. Faktor lainnya yang juga berkontribusi pada keberhasilan perkembangan klaster adalah akses pada pasar, finansial, dan jasa-jasa khusus.

Selain faktor-faktor diatas, Tambunan (2008) mengamati beberapa faktor penentu keberhasilan klaster lainnya, meliputi: (i) ketersediaan bahan baku terjamin dengan jangkauan harga yang telah diperhitungkan masih menguntungkan; (ii) ada tradisi budaya dan skill tenaga kerja dalam hand craft yang turun temurun dipelajari oleh masyarakat setempat, tenaga kerja terampil tersedia di sekitar lokasi dimana klaster industri tertentu tumbuh; dan (iii) didalam masyarakat ada sikap kewirausahaan (entepreneur) yang cukup berpengetahuan pasar sehingga mampu menyusun jaringan pasar (market network) didalam dan luar agen daerah.

Berdasarkan pengalaman BPPT dalam pengembangan klaster, Taufik (2007) melaporkan faktor-faktor keberhasilan klaster yang dianggap penting, yaitu: (i) potensi lokal yang khas; (ii) kehendak/motivasi kuat pelaku bisnis dan mitra kerja (terutama untuk berubah ke arah perbaikan); (iii) individu setempat dengan kepeloporan yang tinggi (local champions); dan (iv) faktor kolaborasi dalam pengembangan UKM semakin menentukan keberhasilan di arena persaingan global.

Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil dengan baik. Pada umumnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Meskipun klaster industri diyakini dapat memberikan peluang dan manfaat bagi pelaku industri, termasuk bagi daerah dimana klaster tersebut berada, namun proses mengembangkan klaster bukanlah merupakan persoalan yang mudah.

(41)

Berdasarkan beberapa pengalaman BPPT, Taufik (2007) melaporkan tantangan terbesar dalam pengembangan klaster, meliputi: (i) perubahan paradigma (personil internal dan mitra kerja dan pola sektoral yang masih sangat terkotak-kotak). Perlu perbaikan paradigma (pola pikir, sikap dan tindakan) segenap aktor/pelaku (pelaku bisnis, pihak non-pemerintah, pemerintah) dalam menjalankan peran masing-masing; (ii) komitmen; (iii) konsistensi; serta (v) semakin siap dengan beragam paradoks dari perubahan.

ADB (2001) juga telah melaporkan hasil-hasil kajian yang menghambat keberhasilan perkembangan klaster di Indonesia, yang pada umumnya disebabkan oleh: (i) mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar; (ii) mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi; (iii) ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk; dan (iv) keterbatasan kemungkinan pemerintah deerah untuk mendorong perkembangan klaster industri.

Dalam pendekatan klaster industri, pergeseran paradigma peran pemerintah dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan. Peran pemerintah yang ideal menurut Roelandt dan den Hertog (1998) adalah: (i) sebagai fasilitator dalam pengembangan jaringan dalam klaster; (ii) katalis dalam mengembangkan keunggulan daya saing yang dinamis; (iii) pengembang/penguat kelembagaan; dan (iv) menciptakan struktur insentif untuk menghilangkan/mengurangi ketidakefisienan pasar dan sistemik yang terjadi dalam sistem inovasi.

Dalam pengembangan klaster industri, Roelandt dan den Hertog (1998) menyarankan beberapa hal berikut untuk dihindari:

1 Pengembangan klaster sebaiknya bukan semata karena keinginan pemerintah melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis yang bersangkutan.

2 Kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar. 3 Kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk

(42)

4 Pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster, melainkan berperan sebagai katalis dan broker yang membawa bersama seluruh para pelaku dalam klaster serta insentif untuk memfasilitasi proses inovasi dan klasterisasi.

5 Kebijakan klaster sebaiknya tidak mengabaikan klaster kecil dan yang sedang muncul ataupun memfokuskan hanya pada klaster yang sudah ada dan klasik. 6 Kebijakan klaster tidak hanya cukup dengan analisis/studi, tetapi juga

tindakan nyata. Kebijakan klaster yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta menciptakan suatu forum untuk dialog yang konstruktif.

7 Klaster sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar dan industri yang menurun.

Beberapa contoh klaster industri yang dianggap berhasil, baik di luar negeri maupun didalam negeri, adalah sebagai berikut:

1 Klaster industri alas kaki di Sinos Valley Brazil. Klaster ini beranggotakan 480 perusahaan produsen alas kaki yang didukung berbagai pemasok bahan baku utama dan penunjang, mesin, dan pemasok komponen manufaktur, lembaga pelatihan khusus bidang manajemen dan finansial, serta lembaga informasi. Faktor kunci sukses klaster ini meliputi adanya latar belakang dan tujuan ke depan yang kuat, adanya kemampuan untuk meningkatkan produk dengan kualitas tinggi secara konsisten, dan kepedulian dari lembaga, institusi, dan asosiasi pendukung alas kaki untuk membagi ide dan beradaptasi terhadap perubahan permintaan dari pasar dunia.

(43)

3 Klaster industri anggur di Victorian Australia. Salah satu kunci sukses klaster ini adalah peningkatan nilai tambah yang ditunjukkan oleh peningkatan harga buah anggur sebesar lima kali lipat dengan mutu ekspor. Klaster juga memiliki visi dan misi yang kuat yang menjadi bagian dari rencana nasional. Selain itu, klaster juga mendapat dukungan pemerintah dalam bentuk perumusan strategi dan peraturan pemerintah yang sangat mendukung pertumbuhan industrinya. Ditambah lagi dengan transfer teknologi antar industri dan promosi internasional secara bersama-sama.

4 Klaster industri optik di Arizona Amerika Serikat. Klaster ini beranggotakan 150 perusahaan industri kunci dengan kegiatan yang sangat inovatif yang telah mematenkan 3400 produk. Selain industri kunci, stakeholders utamanya juga terdiri dari institusi dan lembaga pemberdayaan industri lokal, organisasi perdagangan, dan universitas. Faktor keberhasilannya meliputi pengembangan teknologi dan proses transformasi yang didukung oleh institusi penelitian dan pendidikan, inisiasi dan pengembangan hubungan timbal balik antar industri terkait, pengembangan keahlian pekerja, dan kolaborasi antar perusahaan dalam berbagai segi.

(44)

Pembangunan Berkelanjutan Konsep dan Definisi

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dapat dianggap sebagai suatu proses atau evolusi dalam pembangunan (Glavic dan Lukman 2007). Pemikiran pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan respon atas kecenderungan sistem pembangunan ekonomi yang masih berorientasi pada ekspansi atau perluasan pasar, pengabaian biaya eksternalitas, dan berorientasi untuk sekedar mendapatkan keuntungan (economic growth) dengan kelemahan mendasar yang terletak pada tidak atau kurang dipertimbangkannya aspek daya dukung dan kelestarian alam (Dahuri 2003). Gowdy dan Howarth (2007) menegaskan bahwa suatu proses pembangunan tidak hanya terkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga harus memperhatikan kualitas lingkungan hidup dan modal sosial.

Konsepsi pembangunan berkelanjutan sebagai suatu terminologi secara luas diperkenalkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 melalui publikasinya yang berjudul Our Common Future pada saat Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan (UNCED). WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Howarth 2007; Glavic dan Lukman 2007).

Definisi tersebut mempunyai makna bahwa dalam pemanfaatan semua bentuk sumberdaya atau kapital sebagai upaya pembangunan untuk dapat menciptakan perbaikan kualitas hidup (quality of life) seluruh umat manusia, maka harus disertai dengan kesadaran baru bahwa tindakan pada saat ini membawa konsekuensi dan resiko yang harus dipertimbangkan bagi semua bentuk kehidupan dan generasi pada saat ini dan yang akan datang.

(45)

para peneliti dan organisasi sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya seperti yang dilakukan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), the U.S. Environmental Protection Agency (EPA), the European Environmental Agency (EEA), the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), the Journal of Cleaner Production, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa definisi pembangunan berkelanjutan secara operasional mempunyai berbagai dimensi yang luas khususnya terkait dengan dimensi-dimensi keberlanjutan yang digunakan (Glavic dan Lukman 2007).

Pilar Pokok Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pilar utama, yang meliputi pilar ekonomi, lingkungan, dan sosial. Agar pembangunan dapat berkelanjutan, maka secara ideal manfaatnya harus berkesinambungan dan dipertahankan secara kontinyu. Ini berarti bahwa pembangunan harus memenuhi berbagai tujuan secara seimbang, baik tujuan ekonomi, lingkungan, dan sosial (Harris 2000; Glavic dan Lukman 2007).

Pilar ekonomi. Suatu kawasan pembangunan secara ekonomi berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sektor sekunder (manufaktur), atau sektor tersier (Harris 2000). Dimensi ekonomi ini juga merepresentasikan permintaan (demand side) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah dimaksud (Dahuri 2003).

(46)

Pilar sosial. Suatu kawasan pembangunan yang secara sosial disebut berkelanjutan, apabila seluruh kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan) bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender, dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik (Harris 2000).

Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Operasionalisasi atau implementasi konsep pembangunan berkelanjutan memerlukan indikator-indikator untuk menilai efektifitasnya, dalam arti untuk mengetahui apakah suatu kegiatan, program ataupun kebijakan dapat dikatakan berkelanjutan (sustainable) atau tidak berkelanjutan (Kuik dan Verbruggen 1991). Walaupun secara prinsip indikator keberlanjutan terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan, namun indikator-indikator tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena bisa ditambah atau diganti dengan indikator lain sesuai dengan kebutuhan (Glavic dan Lukman 2007).

Indikator pembangunan berkelanjutan dapat dikembangkan sesuai dengan keperluannya pada setiap tingkatan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang ada. Kerangka pembangunan berkelanjutan yang mencakup dimensi dan indikator keberlanjutan menjadi pijakan bagi sejumlah kajian tentang keberlanjutan usaha pada berbagai industri walaupun dimensi serta indikator yang digunakan telah disesuaikan dengan tujuan kajian secara khusus.

McCool dan Stankey (2004) menjelaskan bahwa penentuan indikator harus selalu terkait dengan tujuan dari keberlanjutan itu sendiri (what is to be sustained). Beberapa kriteria yang digunakan dalam pemilihan indikator meliputi: (i) indikator merupakan bagian dari sistem atau seperangkat variabel kunci/khusus yang mampu menggambarkan kinerja sistem yang kompleks secara efektif; (ii) dapat digunakan untuk melakukan pengukuran sistem secara efektif; dan (iii) dapat menggambarkan keadaan masa mendatang (predictable) atau antisipasi, sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan kebijakan.

(47)

pengukuran dapat dilakukan oleh semua orang, bahkan yang bukan pakar pun dapat melakukannya (understandable); (iii) akurat dan terpercaya (accurate and reliable); serta (iv) informasinya mudah diperoleh (accesible data). Selain karakteristik di atas, Opschoor dan Reijnders (1991) menambahkan kriteria ideal bagi indikator pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) dapat dikuantitatifkan; (ii) sensitif terhadap perubahan lokasi atau grup masyarakat; (iii) memiliki acuan atau nilai ambang; serta (iv) metodologi yang digunakan untuk membangun indikator harus jelas terdefinisikan dengan akurat, secara ilmiah dan sosial diterima.

Klaster Industri yang Berkelanjutan

Dalam konteks industri, konsep keberlanjutan dapat diterapkan sebagai bagian dari strategi bisnis untuk mencapai keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang (industrial sustainability). INA (2005) menerangkan bahwa industrial sustainability merupakan suatu pendekatan bisnis yang bertujuan untuk menciptakan nilai bagi shareholder dalam jangka panjang dengan mengambil peluang dan mengelola risiko yang diderivasi dari aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Industrial sustainability merupakan suatu konsep yang menggambarkan proses perencanaan dan manajemen stratejik suatu industri untuk mencapai keseimbangan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Secara umum, industrial sustainability mencakup strategi, model, aksi, dan praktik-praktik yang bertujuan tidak hanya pada kebutuhan ekonomi (misalnya untuk shareholders,), tetapi juga bertujuan untuk melindungi, mendukung, dan meningkatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang diperlukan untuk generasi yang akan datang. Model ini memungkinkan suatu industri memperoleh keuntungan yang berkesinambungan, dan secara stratejik dan proaktif menanggulangi dan menghindari dampak negatif yang mungkin akan terjadi pada lingkungan dan masyarakat sekitar (Wilson 2003).

(48)

Studi-studi yang dilakukan tersebut lebih banyak membahas tentang penggunaan indikator-indikator keberlanjutan dalam rangka mengembangkan industrinya secara berkelanjutan. Secara umum, indikator-indikator yang digunakan meliputi indikator ekologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan kelembagaan, yang disesuaikan dengan konteks tujuan penelitian.

Keberlanjutan adalah sebuah konsep yang luas yang mencakup gagasan bahwa setiap jenis pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tidak boleh menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sebagaimana tercantum dalam Laporan Brundtland tahun 1987 dari PBB. Dalam konteks ini, Martin dan Mayer (2008) mengeksplorasi hubungan antara berbagai dimensi keberlanjutan yang berkaitan dengan klaster industri dan daya saing daerah.

Martin dan Mayer (2008) mencermati adanya trade-off antara tujuan ekonomi klaster (economic development) dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Martin dan Mayer menyatakan bahwa berbagai kajian, tulisan-tulisan ilmiah tentang kluster industri, dan praktek-praktek pembangunan ekonomi berbasis klaster selama ini telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan. Allen dan Potiowski (2008) lebih tegas menyatakan bahwa praktek-praktek pengembangan klaster industri yang telah dilakukan selama ini cenderung bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata. Argumentasi yang melandasinya adalah bahwa daya saing klaster industri saat ini tidak hanya bertumpu pada faktor ekonomi, melainkan harus mempertimbangkan pula faktor-faktor keberlanjutan dalam pengembangannya. Menurut Campbell (1996), faktor ekonomi sesungguhnya hanya salah satu pilar dari tiga pilar yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

(49)

Gagasan tentang klaster industri yang berkelanjutan disampaikan dan dibahas pada konferensi klaster yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Oregon dan Departemen Pengembangan dan Portland State University di Portland Oregon pada tahun 2007. Konferensi ini membahas tentang hubungan antara klaster industri dan keberlanjutan.

Klaster industri yang berkelanjutan merupakan suatu langkah inovatif klaster dalam rangka meningkatkan daya saing klaster secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan persaingan terjadi secara dinamis, perusahaan-perusahaan didalam klaster akan tumbuh dan berkembang, maka klaster akan terus bergerak dan bergeser dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kapasitas untuk meningkat dan bertumbuh. Peningkatan kualitas produk dalam rangka memenuhi keinginan konsumen yang dinamis akan mendorong klaster untuk inovatif, sehingga mampu berkompetisi, termasuk pula dalam hal ini peningkatan produktivitas dan efisiensi. Agar dapat berkelanjutan, maka klaster harus dinamis.

Pendekatan Sistem Konsepsi Kesisteman

Definisi sistem menurut Manetsch dan Park (1977) adalah gugus dari elemen-elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan, atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Menurut Pritsker dan Reilly (1999), sistem adalah sekumpulan elemen-elemen dengan pembatas yang jelas, pada tingkat tertentu yang saling berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan dari suatu studi.

Berdasarkan konsepsi sistem tersebut, maka karakteristik sistem adalah: (i) terdiri dari elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan sistem; (ii) adanya tujuan dan kesaling-tergantungan; (iii) adanya interaksi antar elemen; (iv) mengandung elemen yang sering juga disebut sebagai transformasi; serta (v) adanya lingkungan yang mengakibatan dinamika sistem.

(50)

suatu sistem (Marimin 2005). Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, oleh karena itu diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (Eriyatno 1999).

Pendekatan sistem merupakan metoda pengkajian masalah yang dimulai dari analisis atau identifikasi kebutuhan yang menghasilkan suatu sistem operasional yang efektif. Pendekatan sistem ini dicirikan dengan adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan yang bersifat multidisiplin dan terorganisir, penggunaan model matematika, mampu berfikir secara kualitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi, serta dapat diaplikasikan dengan komputer (Manetsch dan Park 1977).

Pendekatan sistem diperlukan karena dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem. Masalah-masalah yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tapi memerlukan peralatan yang lebih komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh. Pendekatan sistem memberikan gambaran yang lebih luas mengenai variabel-variabel yang harus ditangani dalam menangani suatu sistem (Marimin 2005).

Menurut Eriyatno (1999), pendekatan sistem adalah metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif yang memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya yaitu masalah yang memenuhi karakteristik: (i) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (ii) dinamis, dimana faktor-faktornya yang menyusun sistem berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa mendatang; dan (iii) probabilistik, memerlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan atau rekomendasi (Eriyatno 1999).

(51)

serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno 1999).

Menurut Eriyatno (1999), penyelesaian suatu persoalan melalui pendekatan sistem umumnya terdiri dari beberapa tahapan, yang meliputi: (i) analisis kebutuhan, (ii) formulasi masalah, (iii) identifikasi sistem, (iv) formulasi model, (v) verifikasi dan validasi model, serta (vi) implementasi model. Metodologi pemecahan masalah menggunakan pendekatan sistem secara grafis dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Metodologi pendekatan sistem (Eriyatno 1999).

Pemodelan Sistem

Gambar

Tabel 2  Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri
Gambar 6  Metodologi pendekatan sistem (Eriyatno 1999).
Gambar 8.  
Gambar 9  Tahapan penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan perdesaan khususnya di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang yang berbasiskan pertanian harus mulai didorong guna mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi

Hasil analisis model kelembagaan memperlihatkan untuk pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan diperlukan 4 elemen penting yang dapat menjadi faktor

Pembangunan perdesaan khususnya di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang yang berbasiskan pertanian harus mulai didorong guna mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi

Hasil analisis model kelembagaan memperlihatkan untuk pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan diperlukan 4 elemen penting yang dapat menjadi faktor

Sementara untuk analisis interaksi spasial yang terkait dengan biaya transportasi sebagai cost antara entitas pabrik pengolahan kelapa sawit dengan alternatif

Permasalahan dalam budidaya rumput laut adalah sulitnya menentukan pola pertumbuhan yang baik, waktu panen yang tepat, serta bobot maksimal yang bisa dicapai.. Dalam

Sekalipun pemerintah sebagai pihak yang terlibat dalam pengembangan klaster terus melakukan peningkatan dengan berbagai cara, seperti menentapkan peta panduan ( road map )