OP
JAGUN
PTIMASI P
NG DAN U
FAK
IN
PENGGU
UBI JALA
NURM
F
ULTAS TE
NSTITUT P
UNAAN TE
AR DALAM
SKRIPSI
MA SUBANG
F24080020
EKNOLOGI
PERTANIA
BOGOR
2012
EPUNG K
M PEMBU
GKIT
I PERTANI
AN BOGOR
KOMPOSI
UATAN K
IAN
R
FORMULA AND PROCESS OPTIMIZATION OF COMPOSITE
FLOUR-BASED COOKIES
Nurma Subangkit, Dahrul Syah, Eko Hari Purnomo
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia
Phone: +62 852 92040452, E-mail: nsubangkit@gmail.com
ABSTRACT
Corn and sweet potato have been known as local resources in Indonesia.
Composite flour consisted of corn and sweet potato flour could be used to replace
wheat flour in cookies production. The aim of this research was to obtain
optimum formula and process parameters in cookies production using composite
flour. Wheat flour could be totally replaced by composite flour which were made
from 77.54% of corn flour and 22.46% of sweet potato flour. Optimum baking
parameters were 139°C for 18 minutes. The organoleptic score of the cookies
was between 5.89 (like slightly) and 7.18 (like moderately). Proximate analysis
showed that cookies contained 4.55% of water, 1.65% of ash, 5.97% of protein,
64.40% of carbohydrate (by difference), and 23.43% of fat.
Nurma Subangkit. F24080020. Optimasi Penggunaan Tepung Komposit Jagung dan Ubi Jalar dalam Pembuatan Kukis. Di bawah bimbingan Dahrul Syah dan Eko Hari Purnomo. 2012.
RINGKASAN
Industri pangan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Berkembangnya industri pangan menyebabkan kenaikan permintaan dan konsumsi bahan baku industri pangan yang salah satunya adalah tepung terigu. Namun, tepung terigu merupakan produk impor. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu. Tepung-tepungan lokal seperti tepung jagung dan tepung ubi jalar yang mengandung protein yang rendah berpotensi untuk mensubstitusi tepung terigu pada pembuatan kukis. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan formula dan parameter proses pembuatan kukis (corn flake cookies) yang terbuat dari tepung komposit jagung dan ubi jalar dengan karakteristik sensori yang dapat diterima oleh konsumen.
Penelitian ini terdiri atas lima bagian utama yaitu pembuatan tepung ubi jalar, penentuan titik maksimum substitusi, optimasi formula, optimasi proses, dan analisis. Tepung ubi jalar dibuat dengan cara penggilangan ubi jalar sawut kukus yang telah dikeringkan dengan pengering kabinet kemudian diayak untuk mendapatkan tepung yang berukuran 100 mesh. Penentuan titik maksimum substitusi dilakukan dengan uji organoleptik rating hedonik kukis dengan tingkat substitusi 50-100% (selang 10%) untuk masing-masing tepung ubi jalar dan tepung jagung terhadap tepung terigu. Metode yang digunakan dalam optimasi formula adalah metode mixture design dengan bantuan peranti lunak Design Expert 7.0.0. Faktor ujinya adalah tepung ubi jalar (10-89.98%), tepung jagung (10-89.97%), dan tepung terigu (0-20%). Batasan faktor uji tersebut digunakan untuk menentukan formula uji. Formula tepung yang teracak oleh peranti lunak tersebut kemudian diuji organoleptik dengan uji rating hedonik dalam bentuk kukis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall. Formula yang optimum kemudian dioptimasi pada tahap optimasi proses produksi dengan metode central composite design (CCD) dengan bantuan peranti lunak yang sama dengan tahap optimasi formula. Faktor ujinya adalah suhu (150-205°C) dan lama (12-25 menit) pemanggangan. Formula optimum yang didapatkan dari tahap optimasi formula dijadikan formula dasar untuk masing-masing kondisi pemanggangan dan diuji dengan uji
rating hedonik. Kukis yang teroptimasi pada tahap optimasi proses kemudian dianalisis secara fisik (tekstur) dan kimia (kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat).
Rendemen dari proses pembuatan tepung ubi jalar berkisar antara 5.96-8.34%. Rendemen yang kecil disebabkan oleh banyaknya tepung yang tidak lolos ayakan 100 mesh dan kehilangan bobot saat proses pembuatan tepung. Titik maksimum substitusi untuk tepung jagung dan tepung ubi jalar terhadap tepung terigu pada kukisadalah 100% dengan skor organoleptik berkisar antara 5.57 (agak disukai atau like slightly) dan 7.08 (agak cukup disukai atau like moderately). Formula tepung optimum yang didapatkan tersusun atas 77.54% tepung jagung dan 22.46% tepung ubi jalar tanpa tepung terigu. Kondisi pemanggangan yang optimum untuk memanggang kukisadalah pemanggangan pada suhu 139ºC selama 18 menit. Kukis yang dihasilkan memiliki tekstur yang keras dengan gaya maksimum rata-rata sebesar 1281.6 gf. Kukis berbahan baku tepung komposit jagung dan ubi jalar mengandung 4.55% (bb) air, 1.65% (bb) abu, 5.97% (bb) protein, 64.40% (bb) karbohidrat, dan 23.43% (bb) lemak. Kukis yang teroptimasi cenderung agak disukai (like slightly) hingga agak cukup disukai (like moderately).
OPTIMASI PENGGUNAAN TEPUNG KOMPOSIT
JAGUNG DAN UBI JALAR DALAM PEMBUATAN KUKIS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
NURMA SUBANGKIT
F24080020
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Optimasi Penggunaan Tepung Komposit Jagung dan Ubi Jalar dalam Pembuatan Kukis
Nama : Nurma Subangkit
NIM : F24080020
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr.Sc.) (Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc.) NIP 19650814 199002.1.001 NIP 19760412 199903.1.004
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP 19680526 199303.1.004
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Optimasi Penggunaan Tepung Komposit Jagung dan Ubi Jalar dalam Pembuatan Kukis adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012 Yang membuat pernyataan,
© Hak cipta milik Nurma Subangkit, tahun 2012 Hak cipta dilindungi
BIODATA PENULIS
Penulis yang memiliki nama lengkap Nurma Subangkit lahir di Purworejo pada tanggal 14 Februari 1991. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara oleh pasangan Iman Kusedi dan Nurhayati. Penulis menamatkan jenjang pendidikan di SD Negeri 3 Wirun (2002), SMP Negeri 3 Purworejo (2005), dan SMA Negeri 2 Purworejo (2008). Penulis masuk dan terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul Optimasi Penggunaan Tepung Komposit Jagung dan Ubi Jalar dalam Pembuatan Kukis ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan mulai bulan September 2011 sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. Orang tua tercinta, Bapak Iman Kusedi dan Ibu Nurhayati, serta kakak Anang Purwoko dan mbak Maryani atas segala doa, dukungan, kasih, dan sayang yang telah diberikan.
2. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr.Sc dan Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi. Terima kasih atas bimbingan, perhatian, dan saran yang telah diberikan.
3. Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si selaku penguji sidang. Terima kasih atas waktu dan saran yang telah diberikan.
4. PT Indofood Sukses Makmur yang secara finansial telah mendukung pelaksanaan penelitian ini melalui Program Indofood Riset Nugraha.
5. Sahabat tercinta: Sally Wiedjarnarko, Sarinah Monica, Tiur Fitri Handayani Situmorang, Virza Maradhika, Hafiz Fakhrurrozy dan Misran. Terima kasih atas semangat, doa, dan dukungan yang telah diberikan.
6. Rekan tim Bakery IRN: Stefani Hartono, Jesslyn Dwi Juniasa, dan I Kadek Putra Prawira. Terima kasih atas kerja sama, dukungan, bantuan, dan semangatnya yang telah diberikan. 7. Teman-temang seperjuangan ITP 45: Niken, KaU, Pradhini, Yufi, Eka, Gita, Yuli, Fitrina,
Euis, Iqbal, Dio, Bore, Lathifah, Bangun, Arista, Yunita dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
8. Teman-teman Perwira 77 yang sangat berkesan: Kak Debo, Titus, Kak Yudha, Devide, Edo, Kak Reny, Kak Michael Devega, Kak Eliana, Kak Ony, Kak Max, Hendra, Wahyu, Kadek, Agus, dan Aris.
9. Rekan-rekan ITP 46 dan 47 yang sangat semangat membantu dalam penyelesaian penelitian. 10. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmunya dari SD sampai universitas.
11. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Seafast Center dan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan.
12. Seluruh karyawan Bread Unit yang sangat berkesan: Mbak Deny, Mbak Sri, Mbak Ekam, Mbak Dini, dan Mbak Dwi.
13.
Seluruh pegawai Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Bu Novi, Bu Anie, dan Bu Darsih.Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kemaslahatan terutama terhadap perkembangan ilmu dan teknologi pangan. Teima kasih.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. LATAR BELAKANG ... 1
1.2. TUJUAN PENELITIAN ... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2
2.1. BAHAN PANGAN UTAMA YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN ... 2
2.1.1. JAGUNG ... 2
2.1.3. TEPUNG KOMPOSIT ... 4
2.1.4. KONTRIBUSI TEPUNG PADA KUKIS... 4
2.2. CORN FLAKE COOKIES ... 5
2.2.1. KARAKTERISTIK ... 5
2.2.2. PARAMETER PROSES ... 8
2.3. RESPONSE SURFACE METODOLOGY (RSM) ... 9
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 15
3.1. BAHAN DAN ALAT ... 15
3.1.1. Bahan ... 15
3.1.2. Alat ... 15
v
3.2.1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar ... 15
3.2.2. Penentuan Titik Maksimum Substitusi ... 16
3.2.3. Optimasi Formula Cookies ... 16
3.2.4. Optimasi Proses Produksi Cookies ... 17
3.2.5. Analisis ... 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
4.1. PEMBUATAN TEPUNG UBI JALAR ... 21
4.2. PENENTUAN TITIK MAKSIMUM SUBSTITUSI ... 21
4.3. OPTIMASI FORMULA ... 23
4.3.1. Respon Overall ... 26
4.3.2. Respon Warna ... 28
4.3.3. Respon Rasa ... 30
4.3.4. Respon Aroma ... 32
4.3.5. Respon Tektur ... 34
4.4. OPTIMASI PROSES ... 38
4.4.1. Respon Overall ... 40
4.4.2. Respon Warna ... 42
4.4.3. Respon Rasa ... 44
4.4.4. Respon Aroma ... 46
4.4.5. Respon Tekstur ... 48
4.5. ANALISIS ... 51
4.5.1. Analisis Fisik (Texture Analyzer) ... 51
4.5.2. Analisis Kimia ... 52
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 22
5.1. SIMPULAN ... 22
5.2. SARAN ... 22
DAFTAR PUSTAKA ... 54
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan gizi jagung dan turunannya per 100 g bahan ... 2
Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar ... 4
Tabel 3. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 ... 5
Tabel 4. SNI biskuit (SNI 2973:2011) ... 7
Tabel 5. Jumlah bahan-bahan corn flakes cookies (modifikasi dari resep Bogasari Baking Center (2004)) ... 7
Tabel 6. Setting alat Texture Analyzer ... 18
Tabel 7. Data pembuatan tepung ubi jalar ... 21
Tabel 8. Nilai kesukaan respon kukis hasil substitusi ... 24
Tabel 9. Batas minimum dan maksimum tepung komposit ... 24
Tabel 10. Formula uji yang disarankan Design Expert 7.0.0 ... 25
Tabel 11. Hasil pengujian organoleptik masing-masing formula ... 26
Tabel 12. Ringkasan hasil analisis ragam dan penentuan model respon organoleptik ... 26
Tabel 13. Faktor dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance pada tahapan optimasi formula ... 37
Tabel 14. Hasil verifikasi optimasi formula... 38
Tabel 15. Batas minimum dan maksimum faktor ... 38
Tabel 16. Kondisi pemanggangan yang disarankan oleh Design Expert 7.0.0 ... 39
Tabel 17. Hasil pengujian organoleptik masing-masing kondisi proses ... 39
Tabel 18. Hasil analisis ragam respon organoleptik ... 40
Tabel 19. Faktor dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance pada tahapan optimasi proses ... 51
Tabel 20. Hasil verifikasi optimasi proses ... 51
Tabel 21. Hasil pengukuran tekstur kukis teroptimasi dan kukis terigu (kontrol) ... 52
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Corn flakes cookies (Clara 2009) ... 6
Gambar 2. Ilustrasi proses optimasi dengan RSM (Montgomery 2001) ... 10
Gambar 3. Daerah uji mixture design dengan tiga faktor (Montgomery 2001) ... 11
Gambar 4. Daerah uji mixture design dengan tiga faktor (crosslinker, resin, dan monomer) dengan batasan tertentu pada kasus optimasi formula cat mobil (Montgomery 2001) ... 11
Gambar 5. Titik uji central composite design (CCD) (Montgomery 2001) ... 13
Gambar 6. Proses pembuatan tepung ubi jalar ... 16
Gambar 7. Diagram alir pembuatan corn flakes cookies ... 17
Gambar 8. Score penilaian sensori kukissubstitusi dengan tepung jagung ... 22
Gambar 9. Score penilaian sensori kukissubstitusi dengan tepung ubi jalar ... 22
Gambar 10. Labelled Affective Magnitude (LAM) scale (Kemp dkk 2009) ... 25
Gambar 11. Grafik tiga dimensi respon overall ... 28
Gambar 12. Grafik tiga dimensi respon warna ... 30
Gambar 13. Grafik tiga dimensi respon rasa ... 32
Gambar 14. Grafik tiga dimensi respon aroma ... 34
Gambar 15. Grafik tiga dimensi respon tekstur ... 36
Gambar 16. Overlay Plot formula optimum ... 37
Gambar 17. Grafik tiga dimensi respon overall ... 41
Gambar 18. Reaksi Maillard (Fennema 1996) ... 43
Gambar 19. Grafik tiga dimensi respon warna ... 44
Gambar 20. Grafik tiga dimensi respon rasa ... 46
Gambar 21. Grafik tiga dimensi respon aroma ... 48
Gambar 22. Grafik tiga dimensi respon tekstur ... 49
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Score sheet uji rating hedonik penentuan titik maksimum substitusi
(tepung jagung dan tepung ubi jalar) ... 58
Lampiran 2. Gambar kukistahap penentuan titik maksimum ... 59
Lampiran 3a. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon overall kukis substitusi tepung jagung ... 60
Lampiran 3b. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon rasa kukis substitusi tepung jagung ... 61
Lampiran 3c. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon warna kukis substitusi tepung jagung ... 62
Lampiran 3d. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon warna kukis substitusi tepung jagung ... 63
Lampiran 3e. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon tekstur kukis substitusi tepung jagung ... 64
Lampiran 4a. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon overall kukis substitusi tepung ubi jalar ... 65
Lampiran 4b. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon rasa kukis substitusi tepung ubi jalar ... 66
Lampiran 4c. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon warna kukis substitusi tepung ubi jalar ... 67
Lampiran 4d. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon aroma kukis substitusi tepung ubi jalar ... 68
Lampiran 4e. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon tekstur kukis substitusi tepung ubi jalar ... 69
Lampiran 5a. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap aroma kukis berbahan baku tepung jagung ... 70
Lampiran 5b. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap overall kukis berbahan baku tepung jagung ... 71
Lampiran 5c. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap rasa kukis berbahan baku
tepung jagung ... 72
Lampiran 5d. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap tekstur kukis berbahan baku tepung jagung ... 73
Lampiran 5e. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap warna kukis berbahan baku tepung jagung ... 74
Lampiran 6a. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap aroma kukis berbahan baku tepung ubi jalar ... 75
Lampiran 6b. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap overall kukis berbahan
tepung ubi jalar ... 76
Lampiran 6c. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap rasa kukis berbahan baku
ix Lampiran 6d. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap tekstur kukis berbahan
tepung ubi jalar ... 78
Lampiran 6e. Pengolahan data uji rating hedonic terhadap tekstur kukis berbahan tepung ubi jalar ... 79
Lampiran 7. Score sheet uji rating hedonik optimasi formula dan proses ... 80
Lampiran 8. Gambar kukis optimasi formula ... 81
Lampiran 9a. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon overall optimasi formula ... 82
Lampiran 9b. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon warna optimasi formula ... 84
Lampiran 9c. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon rasa optimasi formula ... 86
Lampiran 9d. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon aroma optimasi formula ... 88
Lampiran 9e. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon tekstur optimasi formula ... 90
Lampiran 9f. Rekapitulasi data uji rating hedonic verifikasi optimasi formula ... 92
Lampiran 10a. ANOVA dan persamaan polinomial respon overall optimasi formula ... 94
Lampiran 10b. ANOVA dan persamaan polinomial respon warna optimasi formula ... 95
Lampiran 10c. ANOVA dan persamaan polinomial respon rasa optimasi formula ... 96
Lampiran 10d. ANOVA dan persamaan polinomial respon aroma optimasi formula ... 97
Lampiran 10e. ANOVA dan persamaan polinomial respon tekstur optimasi formula ... 98
Lampiran 11a. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon overall kukis optimasi formula ... 99
Lampiran 11b. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon warna kukis optimasi formula ... 100
Lampiran 11c. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon rasa kukis optimasi formula ... 101
Lampiran 11d. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon aroma kukis optimasi formula ... 102
Lampiran 11e. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon tekstur kukis optimasi formula ... 103
Lampiran 12. Gambar kukis optimasi proses produksi ... 104
Lampiran 13a. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon overall optimasi proses produksi ... 105
Lampiran 13b. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon warna optimasi proses produksi ... 107
Lampiran 13c. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon rasa optimasi proses produksi ... 109
Lampiran 13d. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon aroma optimasi proses produksi ... 111
Lampiran 13e. Rekapitulasi data uji rating hedonic respon tekstur optimasi proses produksi ... 113
Lampiran 13f. Rekapitulasi data uji rating hedonic verifikasi optimasi proses produksi ... 115
Lampiran 14a. ANOVA dan persamaan polinomial respon overall optimasi proses produksi ... 117
Lampiran 14b. ANOVA dan persamaan polinomial respon warna optimasi proses produksi ... 118
x Lampiran 14d. ANOVA dan persamaan polinomial respon aroma optimasi proses
produksi ... 120
Lampiran 14e. ANOVA dan persamaan polinomial respon tesktur optimasi proses
produksi ... 121
Lampiran 15a. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon overall kukis optimasi proses ... 122
Lampiran 15b. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon warna kukis optimasi proses ... 123
Lampiran 15c. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon rasa kukis
optimasi proses ... 124
Lampiran 15d. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon aroma kukis optimasi proses ... 125
Lampiran 15e. Gambar Normal Plot of Residuals dan Contour Plot respon tekstur kukis optimasi proses ... 126
Lampiran 16a. Rekapitulasi pengukuran tekstur kukis teroptimasi dan kukis terigu
(kontrol) dengan Texture Analyzer ... 127 Lampiran 16b. Grafik pengukuran tekstur kukis teroptimasi dan kukis terigu (kontrol)
I.
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Industri pangan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Menurut Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2012), pertumbuhan industri makanan dan minuman di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 7.29%. Nilai tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan industri makanan dan minuman di Indonesia pada tahun 2010 yang hanya mencapai 6.41% (BPS 2012). Peningkatan pertumbuhan industri pangan ini akan menyebabkan peningkatan permintaan bahan baku industri pangan seperti terigu. Tepung terigu merupakan salah satu bahan pangan yang banyak digunakan oleh industri pangan di Indonesia seperti pada industri biskuit. Namun, tepung terigu merupakan produk impor. Menurut FAO (2011), Indonesia menduduki peringkat ke-4 negara pengimpor tepung terigu pada tahun 2009 dengan jumlah impor sebesar 646,859 ton. Data UnitedNations Commodity Trade (UN Comtrade) menyatakan bahwa pada tahun 2011 Indonesia mengimpor tepung terigu sebanyak 680,125 ton. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah impor tepung terigu naik dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu. Salah satu caranya adalah diversifikasi pangan vertikal yaitu pengembangan produksi pasca panen (Syah 2009). Salah satu contoh pengembangan produksi pasca panen adalah pemanfaatan komoditi lokal sebagai bahan baku produk pangan yang biasanya berbahan baku tepung terigu.
Jagung merupakan salah komoditi pangan terbesar kedua setelah padi (BPS 2012) dan sekaligus sumber makanan pokok bagi sebagian masyarakat di Indonesia seperti Madura dan Nusa Tenggara Timur. Namun, pemanfaatannya masih konvensional dan tradisional. Begitu pula dengan ubi jalar yang merupakan sumber makanan pokok bagi masyarakat Maluku dan Papua. Padahal, ubi jalar khususnya ubi jalar yang memiliki umbi yang berwarna merah mengandung β-karoten yaitu provitamin A yang baik untuk kesahatan mata. Kedua komoditi tersebut memiliki kandungan protein yang rendah. Kandungan protein yang rendah pada kedua komoditi tersebut memberi peluang kepada komoditi tersebut untuk dapat menggantikan tepung terigu berprotein rendah pada pembuatan produk pangan seperti kukis. Penggantian terigu dengan tepung komposit jagung dan ubi jalar kemungkinan dapat meningkatkan kandungan gizi khususnya provitamin A sekaligus mengurangi kandungan gluten. Gluten merupakan suatu protein pada terigu yang dapat menyebabkan alergi pada sebagian orang seperti bagi penderita autis. Penggunaan kedua tepung tersebut dalam bentuk tepung komposit untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan kukis diharapkan dapat menjadi alternatif pengembangan pemanfaatan kedua komoditi tersebut sekaligus menjadi salah satu solusi dari masalah ketergantungan terhadap tepung terigu di Indonesia.
1.2.
TUJUAN PENELITIAN
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
BAHAN PANGAN UTAMA YANG DIGUNAKAN DALAM
PENELITIAN
2.1.1.
JAGUNG
Menurut Rukmana (1998), tanaman jagung termasuk keluarga Gramineae. Produksi tanaman semusim ini menempati urutan ketiga setelah padi dan gandum. Penyebarannya cukup luas karena tanaman ini mudah beradaptasi pada daerah tropis atau subtropis. Jagung memiliki tujuh varietas atau jenis berdasarkan bentuk asli yaitu jagung gigi kuda (Zea mays identata), jagung mutiara (Zea mays indurata), jagung manis (Zea mays saccharata), jagung berondong (Zea mays everta), jagung pod (Zea mays tunicate), jagung ketan (Zea mays certain), dan jagung tepung (Zea mays amylacea). Di antara tujuh jenis jagung tersebut, jagung mutiara dan jagung manis yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Meskipun demikian, dari bentuk jenis asli tersebut telah ditemukan jenis jagung baru seperti jagung hibrida dan aneka macam varietas ataupun kultivar (Rukmana 1998).
Jagung mengandung glukosa yang jumlahnya tergantung dari jenisnya. Kandungan glukosa jagung relatif menurun selama proses penyimpanan karena diubah menjadi pati. Selain glukosa, jagung juga mengandung β-karoten terutama pada jagung yang berwarna kuning (Ronzio 2003). Kandungan gizi setiap 100 g jagung dan turunannya ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi jagung dan turunannya per 100 g bahan
Komposisi
Jumlah Jagung Kuning
pipil baru
Tepung Jagung Kuning
Kalori (Kal) 307 335
Protein (g) 7.90 9.20
Lemak (g) 3.40 3.90
Karbohidrat (g) 63.60 73.70
Kalsium (mg) 9.00 10.00
Fosfor (mg) 148.00 256.00
Zat besi (mg) 2.00 2.00
Vitamin A (SI) 440 510
Vitamin B1 (mg) 0.30 0.40
Vitamin C (mg) 0.00 0.00
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (2004)
3 dan1,817,906 ton. Selain digunakan di dalam negeri, menurut UN Comtrade (2012) jagung yang diproduksi di Indonesia juga diekspor dengan jumlah ekspor pada tahun 2010 sebanyak 41,954,096 kg.
2.1.2.
UBI JALAR
Ubi jalar merupakan tanaman ubi-ubian dan tergolong tanaman semusim (berumur pendek). Tanaman ubi jalar hanya satu kali berproduksi dan setelah itu tanaman mati. Tanaman ubi jalar tumbuh menjalar pada permukaan tanah dengan panjang tanaman dapat mencapai tiga meter, tergantung pada varietasnya (Juanda dan Cahyono 2009). Umbi ubi jalar ini sangat bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna, tekstur, dan rasanya. Kulit umbi warnanya ada yang merah, merah keungu-unguan, kuning, putih, dan coklat muda. Warna daging umbi ada yang putih, kuing terang, jingga, ataupun ungu. Bentuknya ada yang bulat, bulat lonjong, lonjong memanjang, ada rata atau bergelombang dengan ukuran beragam mulai dari yang kecil, sedang, dan besar (Hanifa dan Lutfheni 2006)). Tanaman ubi jalar secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Concolvulales, famili Convolvulaceae, genus Ipomoea, dan spesies Ipomoea batatas L. Sin batats edulis choisy. Sebagai keluarga kangkung-kangkungan (Convolvulaceae), ubi jalar memiliki cukup banyak kerabat dekat dengan kangkung, antara lain kangkung air (Ipomea aquatica Forsk), kangkung darat (Ipomea reptans L. Poir), kangkung pagar atau kangkung hutan (Ipomoea crassicaulus sin. I fistulosa Marf) (Juanda dan Cahyono 2009).
Menurut Suprapti (2003), ubi jalar (Ipomoea batatas) atau ketela rambat merupakan salah satu palawija yang berasal dari Amerika bagian tengah. Diperkirakan pada abad ke-16, tanaman ubi jalar tersebut mulai tersebar ke negara-negara tropis di seluruh dunia termasuk Indonesia. Penyebarannya meluas di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namanya bermacam-macam menurut daerahnya, antara lain telo rambat (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan huwi bolet (Jawa Barat, Sunda). Pada umumnya, umbi ini dimanfaatkan sebagai makanan selingan seperti direbus, dibakar, dipanggang, atau digoreng (Hanifa dan Lutfheni 2006). Selain itu, ubi jalar dijadikan makanan pokok bagi sebagian masyarakat seperti di Maluku dan Papua (Soenardi & Wulan 2009).
Ubi jalar mengandung cukup banyak karbohidrat, vitamin, dan mineral. Warna daging umbinya beraneka ragam dan menunjukkan komponen bioaktif yang bermacam-macam sesuai dengan warna dagingnya. Daging umbi berwarna kuning, oranye hingga jingga menunjukkan adanya β -karoten sebagai provitamin A. Daging umbi yang berwarna ungu mengandung antosianin yang berperan sebagai antioksidan (Soenardi & Wulan 2009). Kandungan gizi setiap 100 gram ubi jalar ditunjukkan pada Tabel 2.
4 Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar
Komposisi Jumlah
Ubi Putih Ubi Merah Ubi Kuning
Kalori (Kal) 123.00 123.00 114
Protein (g) 1.80 1.80 0.80
Lemak (g) 0.70 0.70 0.50
Karboidrat (g) 27.90 27.90 26.70
Kalsium (mg) 30.00 30.00 51.00
Fosfor (mg) 49.00 49.00 47.00
Zat besi (mg) 1.00 1.00 0.90
Vitamin A (SI) 60.00 7700.00 0.00 Vitamin B1 (mg) 0.100 0.10 0.10 Vitamin C (mg) 22.00 22.00 22.00 Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (2004)
2.1.3.
TEPUNG KOMPOSIT
Menurut Djuwardi (2009), tepung komposit merupakan tepung yang tersusun atas campuran beberapa tepung dengan formula tertentu. Tepung komposit dapat terbuat dari campuran tepung jagung dan tepung ubi jalar. Tepung komposit tersebut digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk makanan berbahan tepung seperti kukis, kue basah, dan sebagainya. Tepung jagung dan tepung ubi jalar masing-masing terbuat dari jagung dan ubi jalar yang digiling. Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang baik dan bersih. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 ditunjukkan pada Tabel 3.
Menurut Suprapti (2003), tepung ubi jalar merupakan hancuran ubi jalar yang dihilangkan sebagian kadar airnya. Tepung ubi jalar tersebut dapat dibuat secara langsung dari ubi jalar yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan, tetapi dapat pula dibuat dari gaplek ubi jalar yang dihaluskan (digiling) dengan tingkat kehalusan ± 80 mesh. Tepung jagung dan tepung jalar sudah lama dikenal dan dimanfaatkan baik sebagai bahan makanan pokok maupun bahan pengganti tepung terigu. Menururt Suprapti (2003), di India dan Afrika, tepung ubi jalar digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan kue dan roti tepung terigu. Di Indonesia, pemanfaatan tepung ubi jalar masih kurang dibandingkan tepung jagung. Tepung jagung pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan mi jagung, beras tiruan, atau produk makanan ringan. Pada umumnya masyarakat lebih sering mengkonsumsi ubi yang dimasak daripada memanfaatkan tepungnya.
2.1.4.
KONTRIBUSI TEPUNG PADA KUKIS
5 Tabel 3. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995
Kriteria uji Satuan Persyaratan
Keadaan:
Bau - Normal
Rasa - Normal
Warna - Normal
Benda-benda asing - Tidak boleh ada
Serangga dalam bentuk
stadia dan potong-potongan - Tidak boleh ada
Jenis pati lain selain pati
jagung - Tidak boleh ada
Kehalusan
Lolos ayakan 80 mesh % Min. 70.00
Lolos ayakan 60 mesh % Min. 99.00
Air % b/b Maks. 10.00
Abu % b/b Maks. 1.50
Silikat % b/b Maks. 0.10
Serat kasar % b/b Maks. 1.50
Derajat asam ml NaOH 0.1 N/100 g Maks. 4.00
Cemaran logam
Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.00
Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.00
Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.00
Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05
Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0.50
Cemaran mikroba
Angka lempeng total koloni/gr Maks. 1×106
E.coli APM/gr Maks. 1×101
Kapang koloni/gr Maks. 1×104
2.2.
CORN FLAKE COOKIES
2.2.1.
KARAKTERISTIK
Menurut Manley (2000), istilah ‘cookie’ merupakan sinonim dari biskuit yang banyak digunakan di USA sedangkan istilah biskuit banyak digunakan di UK. Menurut SNI 2973:2011, kukis adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan lunak, renyah dan bila dipatahkan penampangnya bertekstur kurang padat. Syarat mutu biskuit ditunjukkan pada Tabel 4. Menurut Suryani (2006), kukis merupakan kue kering yang memiliki bentuk beraneka ragam, berukuran kecil, dan umumnya memiliki rasa manis. Menurut Manley (2001), kukis termasuk ke dalam short dough biscuits, yaitu adonan dengan ekstensibilitas dan elastisitas yang kurang. Kurangnya ekstensibilitas dan elastisitas ini disebabkan oleh sedikitnya jaringan gluten yang terbentuk karena tepung yang digunakan adalah jenis tepung yang rendah protein.
6 Langkah pembuatannya ditunjukkan pada Gambar 2. Margarin dan gula halus dicampur kemudian dikocok sehingga terbentuk krim. Adonan krim kemudian dicampur dengan kuning telur. Adonan krim kemudian dicampur dengan tepung dan baking powder. Adonan kemudian dicampur dengan
corn flakes dan kacang cincang. Adonan dicetak, ditaburi dengan corn flakes, dan dipanggang pada suhu 150°C selama 20 menit. Kukis kemudian didinginkan dan disimpan dalam toples.
Tepung terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan kukis corn flake atau corn flake cookies. Menurut Respati (2008), tepung terigu yang digunakan pada pembuatan kukis memiliki kandungan protein yang rendah atau sedang (tidak lebih dari 10%) agar dihasilkan kukis yang garing, renyah, dan tidak terlalu padat. Margarin dapat ditambahkan agar tekstur kukis lebih kokoh dan lebih lezat. Gula digunakan untuk menambah rasa manis dan meningkatkan warna kukis. Kuning telur mengandung zat pengemulsi dan merupakan pengembang alami. Kemampuan pembentukan emulsi disebabkan oleh adanya lesitin pada kuning telur. Menurut Manley (2000), lesitin memiliki struktur phospolipid yang dapat menyatukan lemak dan air sehingga lemak dapat tersebar lebih merata pada adonan dan menghasilkan kukis yang lebih lembut. Menurut Manley (2000), pada kuning telur segar terkandung lesitin sebesar 8-10%. Menurut Matz (1992), baking powder mengandung natrium bikarbonat yang merupakan pengembang kimia (chemical leavening agent) dan bahan-bahan lain seperti pati dan garam fosfat. Corn flake dan kacang cincang merupakan bahan pelengkap.
7 Tabel 4. SNI biskuit (SNI 2973:2011)
Parameter Nilai
Keadaan (bau, rasa, warna) Normal
Kadar air (% b/b) Maksimum 5.00
Protein (N x 6.25) (% b/b) Minimum 5.00 Minimum 4.50*) Minimum 3.00**) Asam lemak bebas (sebagai asam
oleat) (% b/b)
Maksimum 1.00
Abu (% b/b) Maksimum 2.00
Cemaran logam
Timbal (mg/kg) Maksimum 0.50
Kadmium (mg/kg) Maksimum 0.20
Timah (mg/kg) Maksimum 40.00
Merkuri (mg/kg) Maksimum 0.05
Arsen (mg/kg) Maksimum 0.50
Cemaran mikroba
Angka lempeng total (koloni/g) Maksimum 1x104
Coliform (APM/g) 20
E.coli (APM/g) < 3
Salmonella sp. Negatif/ 25 g
Staphylococcus aureus (koloni/g) Maksimum 1×102
Bacillus cereus (koloni/g) Maksimum 1×102 Kapang dan khamir (koloni/g) Maksimum 2×102
Catatan: *
) untuk produk biskuit yang dicampur dengan pengisi dalam adonan **
) untuk produk biskuit yang diberi pelapis atau pengisi (coating filling) dan pai
Tabel 5. Jumlah bahan-bahan corn flakes cookies (modifikasi dari resep Bogasari Baking Center
(2004))
Bahan Jumlah (g)
Tepung terigu berprotein rendah 233.40
Gula 200.00
Margarin 166.67
Kuning telur 38.00
Baking powder 6.67
Corn flake 66.67
8
2.2.2.
PARAMETER PROSES
Seperti yang telah dijelaskan di awal, corn flake cookies terbuat dari tepung terigu berprotein rendah, margarin, gula, kuning telur, baking powder, corn flakes, dan kacang cincang (Bogasari
Baking Center 2004). Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur (mixing), dicetak, dan dipanggang. Menurut Manley (2000), pencampuran (mixing) adonan memiliki tiga fungsi utama yaitu (1) mencampur dan membasahi bahan-bahan adonan, (2) mengembangkan adonan, dan (3) memerangkap udara ke dalam adonan. Menurut Manley (2000), proses pencampuran pada pembuatan kukis terdiri atas dua bagian utama yaitu pencampuran atau mixing untuk membentuk krim dan pencampuran tepung dan bahan lainnya. Tujuan pembuatan pencampuran pada pembuatan krim adalah melarutkan gula, pembentukan emulsi dengan lemak, dan aerasi atau pemasukan udara dalam adonan. Proses pencampuran pertama ini dilakukan dengan kecepatan mixer yang tinggi dan diakhiri saat diperoleh krim berwarna putih dan dilanjutkan dengan pencampuran yang kedua. Pencampuran yang kedua dilakukan untuk mendispersikan bahan-bahan kering seperti tepung, baking powder, dan bahan pelengkap (dalam hal ini kacang dan corn flake). Proses pencampuran ini dilakukan dengan kecepatan mixer yang rendah dan tidak terlalu lama. Pencampuran kedua ini diakhiri saat diperoleh adonan yang homogen. Namun, menurut Manley (2000), proses pencampuran atau mixing tidak terlalu kritis pada proses pembuatan kukis.
Adonan yang sudah diperoleh selanjtnya dicetak dan dipanggang. Pencetakan dilakukan dengan alat cetakan manual dengan bentuk tertentu misanya bentuk hati. Pemanggangan dilakukan pada suhu 150-180 selama 15-30 menit (Stewart 2008). Menurut Dobraszczyk (2006), pemanggangan adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk produksi produk berbasis serealia seperti roti, biscuit, cakes, pizza, dan sebagainya. Tujuan dari proses pemanggangan adalah meningkatkan karakteristik sensori makanan, meningkatkan palatabilitas, dan membuat berbagai macam produk yang memiliki berbagai rasa, aroma, tekstur dari bahan baku yang sama (Fellows 2009). Selain itu, selama pemanggangan juga terjadi perusakan enzim dan mikroorganisme pengkontaminan. Oleh karena itu, umur simpan produk dapat lebih panjang.
Menurut Fellows (2009), proses pemanggangan melibatkan transfer panas kepada produk pangan secara simultan dan penghilangan kelembaban melalui evaporasi dari produk pangan ke udara di sekitar. Selama proses pemanggangan, panas menyebabkan kelembaban pada permukaan produk menguap dan udara panas menciptakan perbedaan tekanan uap yang menyebabkan perpindahan kelembaban dari dalam produk pangan ke permukaan. Perpindahan tersebut dapat melalui aliran kapiler atau difusi uap melewati saluran pada produk pangan. Ketika laju kehilangan kelembaban pada permukaan melebihi laju perpindahan dari dalam produk, daerah penguapan merambah ke dalam, permukaan mengering, suhu permukaan meningkat hingga mencapai suhu udara panas dan
crust terbentuk. Crust yang terbentuk dapat meningkatkan eating qualities dan mencegah keluarnya kelembaban pada produk pangan yang bulky. Saat crust mengering, konduktifitas termal turun dan laju penetrasi panas melambat. Pada produk pangan yang membutuhkan kadar air yang rendah seperti biskuit dan crackers, pembentukan crust tersebut dihindari agar air pada adonan yang dioven dapat menguap hingga tercapai kadar air 5%. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan suhu pemanggangan yang tidak terlalu tinggi.
9 terjadi akibat dari pemanasan adonan oleh udara panas selama pemanggangan. Perubahan warna yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal seperti reaksi Maillard dan karamelisasi gula. Reaksi Maillard atau reaksi pencoklatan nonenzimatik merupakan reaksi kimia antara gula pereduksi dan asam amino bebas atau gugus amino dari suatu asam amino suatu protein. Rekasi ini menghasilkan warna gelap pada produk panggang atau produk yang dipanaskan seperti pada kecap kedelai dan permukaan roti (Fennema 1996). Reaksi karamelisasi merupakan reaksi kompleks yang terjadi akibat adanya pemanasan terhadap karbohidrat (sukrosa dan gula pereduksi) tanpa adanya komponen yang mengandung nitrogen. Reaksi ini menghasilkan senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi yang menyerap warna sehingga produknya berwarna gelap. Reaksi ini banyak terjadi pada proses pembuatan produk panggang, sirup, permen, dan minuman (Fennema 1996).
2.3.
RESPONSE SURFACE METODOLOGY (RSM)
Proses optimasi formula dan proses produksi pada penelitian ini menggunakan peranti lunak (software) Design-Expert 7.0.0. Peranti lunak ini menyediakan fasilitas mixture design (D-optimal) dan response surface design (central composite design). Mixture design atau desain campuran digunakan untuk mendapatkan formula yang optimum. Response surface design atau desain permukaan respon digunakan untuk mendapatkan parameter proses yang optimum. Baik mixture design maupun response surface merupakan metode yang menggunakan prinsip response surface methodology.
Menurut Montgomery (2001), Response Surface Methodology (RSM) atau metodologi permukaan respon adalah kumpulan teknik-teknik statistik dan matematika yang berguna untuk memodelkan dan menganalisis masalah-masalah dimana responnya dipengaruhi oleh beberapa variabel. Menurut Box dan Draper (2007), Response Surface Methodology (RSM) meringkas sebuah kelompok teknik statistik untuk membangun model empiris dan eksploitasi model. Metode ini menghubungkan sebuah respon atau variabel keluaran (output) dengan data masukan (input) yang mempengaruhinya. Jika suatu daerah dengan respon optimum ditemukan maka dibuat suatu model untuk menghubungkan ke daerah tersebut sehingga analisis dapat dilakukan untuk mencapai daerah optimal tersebut. Menurut Myers et al (2009), pengaplikasian (RSM) membutuhkan model perkiraan untuk mendapatkan permukaan respon yang benar. Model tersebut adalah model empiris yang biasanya menggunakan model multipel regresi. Model regresi yang sederhana adalah model regresi linear yang ditunjukkan pada persamaan (1).
y=β +β x +β x +… β x ε (1)
Persamaan (1) merupakan sebuah model regresi linear multipel dengan dua variabel bebas. Variabel bebas ini sering disebut dengan variabel pemprediksi (predictors) atau regresor. β merupakan intersep dengan nilai yang tetap. β dan β merupakan koefisien regresi parsial dimana β mengukur perubahan y setiap perubahan unit x dan β mengukur perubahan y setiap perubahan unit x . Model yang lebih kompleks ditunjukkan pada persamaan (2). Persamaan tersebut mencantumkan interaksi antara kedua regresor.
10 Menurut Montgomery (2001), RSM merupakan prosedur yang berurutan. Ketika suatu kejadian fisik berada jauh dari titik optimum ( Gambar 2) maka model yang pertama (persamaan 1) digunakan. Model ini akan mendekatkan atau menunjukkan peneliti pada daerah optimum melalui jalur pengoptimasian atau path of improvement. Ketika suatu daerah optimum ditemukan maka model yang lebih kompleks seperti model kedua (persamaan 2) digunakan. Selanjutnya proses analisis permukaan respon dilakukan untuk untuk mendapatkan titik optimum.
Gambar 2. Ilustrasi proses optimasi dengan RSM (Montgomery 2001)
Analisis permukaan respon dilakukan dengan menggunakan permukaan respon yang cocok. Jika permukaan yang cocok merupakan perkiraan dari fungsi respon yang sesungguhnya maka analisis permukaan yang cocok ini akan sebanding dengan analisis sistem yang sesungguhnya. Parameter modelnya dapat diperkirakan secara efektif jika desain eksperimental yang tepat digunakan untuk mengumpulkan data. Desain untuk mencocokkan permukaan respon disebut response surface design
atau desain permukaan respon (Montgomery 2001). Pencocokkan model pertama (persamaan 1) menggunakan orthogonal first model design atau simplex. Pencocokkan model dengan persamaan yang kompleks atau persamaan (2) dapat menggunakan central composite design (CCD). Pada tahap optimasi proses, peneliti menggunakan CCD.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, mixture design digunakan karena dapat membantu dalam menentukan formula dengan hasil (dalam hal ini respon organoleptik) yang optimum dari beberapa faktor (dalam hal ini ada tiga faktor: tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi jalar). Menurut SAS Institute (2010), nilai sebuah faktor dalam mixture design menunjukkan proporsi faktor tersebut di dalam sebuah campuran yang nilainya berkisar antara 0 dan 1. Jumlah proporsi seluruh faktor pada suatu campuran adalah 1 (100%). Menurut Montgomery (2001), faktor pada mixture experiments
11 uji (diluar batasan) sedangkan daerah berwarna putih merupakan daerah uji. Berdasarkan daerah uji tersebut, peranti lunak komputer (dalam hal ini Design-Expert 7.0.0) akan menentukan titik uji (formula yang akan diujikan). Titik-titik uji dipilih berdasarkan beberapa titik utama sehingga kurang-lebih akan menghasilkan permukaan respon yang tepat. Design-Expert 7.0.0 akan menggunakan the vertices, the edge centers, the overall centroid, dan the check runs sebagai titik-titik ujinya. The vertices merupakan titik ujung faktor (berada di pojok segitiga) dan memiliki dua faktor dengan nilai terendah. The edge centers adalah titik yang bersebrangan dengan the vertices dan merupakan titik dengan proporsi terendah salah satu faktor. The overall centroid merupakan titik tengah ketiga faktor. The check runs merupakan titik yang berada di pertengahan the vertices dan the overall centroid. Penentuan titik-titik ini mempertimbangkan batasan uji atau contraints. Beberapa titik akan diulang atau replicated untuk mendapatkan nilai pure error yang akan berguna pada analisis ragam. Respon yang didapatkan akan digambarkan oleh sebuah plot kontur atau contour plot. Contour plot atau plot kontur berperan penting dalam studi permukaan respon. Dengan membuat plot kontur, bentuk permukaan dapat dikarakterisasi dan titik optimum dapat dicapai dengan presisi yang tinggi. Data respon akan dimodelkan oleh sebuah model matematika tertentu. Model untuk mixture design atau desain campuran ada empat yaitu linear, kuadratik, kubik, dan kubik spesial.
Gambar 3. Daerah uji mixture design dengan tiga faktor (Montgomery 2001)
Gambar 4. Daerah uji mixture design dengan tiga faktor (crosslinker, resin, dan monomer) dengan batasan tertentu pada kasus optimasi formula cat mobil (Montgomery 2001)
The edge centers
The check runs the overall centroid
12 Model yang baik sebaiknya memenuhi beberapa kriteria yaitu signifikansi model, signifikansi
lack of fit, adjusted R-square, dan predicted R-square. Kriteria-kriteria tersebut dapat dilihat pada analisis ragam atau ANOVA. Signifikansi model dilihat dari nilai probabilitas atau Prob>F. Probabilitas merupakan peluang atau probability nilai F. Nilai probabilitas tersebut didapatkan dari tabel probabilitas pada derajat bebas error dan derajat model tertentu yang menunjukkan letak nilai F. Nilai Fmerupakan hasil perhitungan dari mean square atau rataan kuadrat dibagi dengan rataan error
kuadrat atau residual mean square. Jika nilai probabilitas kurang dari nilai α (5%) maka dapat dikatakan faktor berpengaruh nyata atau signifikan terhadap respon pada taraf signifikansi 5%.
Lack of fit menunjukkan ketidaksesuaian model dengan data. Jika nilai lack of fit kurang dari nilai α (5%) atau signifikan maka model dikatakan tidak sesuai dengan data yang ada. Model yang baik memiliki nilai lack of fit yang tidak signifikan atau lebih dari nilai α (5%). Hal tersebut menunjukkan bahwa model yang didapatkan sesuai dengan data yang ada atau dapat memodelkan data secara tepat.
Adjusted R-square dan predicted R-square merupakan R-square atau R2. R-square atau R2 menunjukkan variasi data disekitar rataan data yang dijelaskan oleh model dalam hal ini model atau persamaan masing-masing respon sensori. Jika nilai R-square atau R2 tinggi (mendekati 1) maka data tidak terlalu bervariasi atau sedikit pencilan (outlier). Adjusted R-square adalah R-square hitung berdasarkan data yang diperoleh sedangkan predicted R-square adalah R-square prediksi. Design Expert 7.0.0 memberikan toleransi selisih antara kedua R2 dengan nilai 2. Jika selisih nilai kedua R2 kurang atau sama dengan 2 maka dikatakan data in reasonable agreement yang berartitidak banyak data pencilan atau nilai respon prediksi sesuai dengan nilai respon aktual sehingga model yang diperoleh dapat memodelkan data dengan baik. Nilai Predicted R-square dan Adjusted R-square
diperoleh dari persamaan berikut.
1-PRESS total SS
1-SS error
SS model + SS error
df model + df error
PRESS atau Predicted Residual Sum of Squares merupakan jumlah kuadrat residu prediksi yang digunakan untuk memperkirakan jumlah kuadrat residu setiap titik uji. Total SS atau sum of square merupakan total jumlah kuadrat deviasi yang diperoleh pada analisis ragam. Jika nilai PRESS lebih besar dari nilai total SS maka nilai predicted R-square menjadi bernilai negatif (-). Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan data yang diperoleh lebih tidak bervariasi dari prediksi. SS error
adalah jumlah kuadrat deviasi residu. SS model adalah jumlah kuadrat deviasi model. df merupakan derajat bebas.
Selain keempat kriteria tersebut, ada kriteria tambahan yaitu Adeq Precision. Adeq Precision
atau adequate precision merupakan ukuran rentang nilai respon prediksi yang dihubungkan dengan
error. Nilai Adequate Precision menunjukkan presisi data. Nilai adeq Precision yang baik adalah lebih dari 4 yang berarti presisinya baik.
13 faktor dalam model atau pesamaan tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap respon pada taraf signifikansi 5% sehingga model tersebut dipilih untuk memodelkan respon tersebut. Jika model memiliki probabilitas lebih dari α (5%) disarankan untuk mengganti model hingga diperoleh probabilitas yang signifikan. Hal yang sama dilakukan jika nilai probabilitas lack of fit-nya kurang dari nilai α (5%) atau signifikan.
Seperti yang disebutkan di awal bahwa pada tahap optimasi proses peneliti menggunakan
central composite design (CCD). CCD dipilih karena memiliki rotatability atau pada semua titik x yang berada pada jarak yang sama dari titik tengah desain akan memiliki nilai (y(x)) yang sama. Hal ini penting karena tujuan dari RSM adalah untuk optimasi dan lokasi yang optimal tidak diketahui sehingga dibutuhkan suatu desain yang menyediakan presisi perkiraan yang tinggi di semua arah. CCD rotatable dengan adanya α. Nilai α tergantung dari jumlah titik pada bagian faktorial desainnya. Pada umumnya, α= (nf)1/4 dimana nf adalah jumlah titik uji yang digunakan pada bagian
faktorial desain. Namun, jika jumlah faktor hanya dua maka nilai α= √k dimana k adalah jumlah faktor sehingga nilai α= 1.4142. Nilai α ini akan mempengaruhi pada titik uji yang akan diuji. Titik uji yang disarankan diambil berdasarkan titik-titik pada Gambar 5. Nilai +1 merupakan nilai maksimum batasan uji yang ditentukan untuk masing-masing faktor (x1 dan x2). Nilai α pada Gambar 5 diperoleh dari persamaan dibawah ini. Sama seperti pada mixture design, titik-titik uji yang terpilih pada CCD merupakan titik uji yang dianggap akan menghasilkan permukaan respon yang tepat untuk mendapatkan titik optimum. Data respon yang diperoleh dimodelkan oleh model matematika yang sesuai. CCD memiliki beberapa model yaitu mean, linear, 2FI, quadratic, dan cubic (aliased).
Kriteria pemilihan model respon sama seperti pada mixture design.
α=(nilai +1 – nilai -1)
2 1.4142 + 1)
Gambar 5. Titik uji central composite design (CCD) (Montgomery 2001)
14 respon yang dimaximize berarti saat dioptimasi jumlahnya diarahkan untuk mendekati jumlah tertinggi atau batas atas. Komponen atau respon yang in range berarti saat dioptimasi jumlahnya diarahkan untuk berada di daerah antara batas atas dan batas bawah. Importance berarti seberapa penting komponen atau respon tersebut untuk dioptimasi dibandingkan komponen atau respon lainnya. Semakin tinggi nilai importance (mendekati 5) semakin penting komponen atau respon tersebut. Kriteria-kriteria tersebut akan menentukan titik optimum dengan nilai desirability tertentu.
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
BAHAN DAN ALAT
3.1.1.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi jalar varietas Ceret, air, gula halus, margarin, tepung komposit (tepung jagung dan tepung ubi jalar) ukuran 100 mesh. Tepung jagung yang digunakan merupakan tepung jagung kuning yang diperoleh dari Seafast Center IPB sedangkan tepung ubi jalar merupakan hasil penepungan ubi jalar varietas Ceret. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah tepung terigu rendah protein, telur, corn flakes, kacang tanah sangrai, baking powder, kalium hidroksi phthalate (KHP), NaOH 0.02 N, H2SO4 pekat, HgO, K2SO4, NaOH 60%, Na2S2O3.5H2O 5%, H2BO3 jenuh, HCl 0.02 N, indikator PP 1%, indikator MR-MB, heksana, HCl 25%, dan air destilata.
3.1.2.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, pisau, peeler, slicer, pengering kabinet, disk mill, vibrating screen, baskom stainlesss steel, twist, piring, sendok kayu, sudip, sendok makan, cetakan, loyang, oven gas, texture analyzer (Stable Micro System, TA-XT 2i), piring saji, cawan alumunium, desikator, oven, spatula, kaca pengaduk, neraca analitik, gegep, cawan porselen bertutup, tanur listrik, pemanas Kjeldhal, labu Kjeldhal, buret, labu takar, pipet Mohr, Erlenmeyer, gelas beaker, pipet tetes, alat Soxhlet, labu lemak, pendingin balik, dan kertas saring.
3.2.
METODE PENELITIAN
Penelitian optimasi penggunaan tepung komposit jagung dan tepung ubi jalar pada pembuatan kukis terbagi menjadi lima yaitu pembuatan tepung ubi jalar, penentuan titik maksimum substitusi, optimasi formula, optimasi proses, dan analisis.
3.2.1.
Pembuatan Tepung Ubi Jalar
16
3.2.2.
Penentuan Titik Maksimum Substitusi
[image:32.612.240.403.276.599.2]Penentuan titik maksimum substitusi ini diawali dengan membuat corn flakes cookies seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Jumlah tepung terigu diubah-ubah dan tepung komposit ditambahkan sesuai dengan formula. Langkah selanjutnya adalah menguji sensori enam formula kukis. Enam formula tersebut adalah formula dengan tingkat substitusi 50-100% baik tepung jagung maupun tepung ubi jalar. Keseluruhan formula diuji sensori terhadap 30 panelis dengan uji rating hedonik. Uji ini bertujuan melihat kesukaan konsumen terhadap atribut sensori aroma, rasa, warna, tekstur, dan overall. Menurut Stone dan Sidel (2004) serta Resurreccion (1998) uji penerimaan dengan skala hedonik dapat dilakukan di laboratorium dengan jumlah panelis 25-50 hingga 75. Jika jumlah panelisnya kurang maka memungkinkan untuk salah dalam mengambil keputusan. Semakin banyak jumlah panelis semakin meningkat signifikansi statistik dan kredibilitas hasil (Stone, Sidel 2004). Tingkat substitusi tertinggi yang masih disukai panelis akan ditentukan sebagai titik maksimum dan digunakan dalam penentuan formula dalam tahap optimasi formula.
Gambar 6. Proses pembuatan tepung ubi jalar
3.2.3.
Optimasi Formula
Cookies
Formulasi tepung komposit menggunakan metode mixture design dengan bantuan peranti lunak Design-Expert 7.0.0. Jumlah faktor yang digunakan ada 3, yaitu tepung ubi jalar, tepung jagung, dan tepung terigu. Parameter yang dijadikan sebagai respon adalah skor dari uji rating
Ubi jalar
Pengupasan
Pencucian air
Pengukusan 100°C selama10 menit Pengirisan
Pengeringan
Penggilingan
Pengayakan 100 mesh
17 hedonik terhadap karakteristik rasa, aroma, warna, kekerasan, dan keseluruhan (overall) dengan menggunakan 70 panelis. Formula yang diperkirakan optimal kemudian diverifikasi dengan cara dibuat dan diuji sensori kembali. Jika hasil sensori masih dalam rentang yang diperbolehkan untuk tetap optimum (95% CI dan 95% PI) maka formula selanjutnya diuji pada tahap optimasi produksi.
Gambar 7. Diagram alir pembuatan corn flakes cookies
3.2.4.
Optimasi Proses Produksi
Cookies
Formula yang diperoleh dari tahap optimasi formula kemudian diuji pada tahap optimasi proses produksi. Pada tahap ini, formula diaplikasikan dengan proses produksi yang memiliki dua
adonan
Margarin Gula halus
Pencampuran
Adonan krim
Pencampuran
Kuning Telur
Krim
Tepung terigu
Pencampuran Tepung
komposit
Pencetakan
Pemanggangan 150ºC 20 menit
Cookies
Baking powder
Pencampuran
Kacang cincang
Corn flakes
adonan
18 faktor yaitu suhu dan waktu pemanggangan. Masing-masing faktor memiliki level yang akan diperoleh melalui metode Response Surface Methodology (RSM) dengan bantuan peranti lunak
Design-Expert 7.0.0. Parameter yang dijadikan sebagai respon sama dengan tahap optimasi formula yaitu skor dari uji rating hedonik terhadap karakteristik rasa, aroma, warna, kekerasan, dan keseluruhan (overall) dengan menggunakan 70 panelis. RSM akan memberikan kondisi proses dengan hasil sensori yang optimum. Persamaan tersebut kemudian verifikasi. Jika masih dalam rentang (95% CI dan 95% PI) maka persamaan tersebut dapat diterima sebagai persamaan yang dapat mengoptimalkan formula.
3.2.5.
Analisis
3.2.5.1.
Analisis Fisik (
Texture Analyzer
)
[image:34.612.176.479.396.633.2]Pengukuran tekstur dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer (Stable Micro System, TA-XT 2i) dengan setinggan alat seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Prinsip dari pengukuran ini adalah dengan memberikan gaya tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan dapat diukur. Probe yang digunakan untuk mengukur tekstur kukis adalah probe tipe P2 (probe silinder 2 mm). Setelah pemasangan probe, sampel diletakkan di atas meja uji dan kemudian texture analyzer dinyalakan. Sampel diukur tiga kali atau triplo. Data yang diperoleh kemudian divisualisasikan dalam bentuk grafik dan dapat dilakukan pengolahan lanjutan dengan menggunakan program dari komputer yang terhubung dengan texture analyzer.
Tabel 6. Setting alat Texture Analyzer
No. Parameter Ukuran
1. Type TA-XT2
2. Test mode Measure force in compression
3. Option Return to start
4. Pre test speed 2.0 mm/s
5. Test speed 0.5 mm/s
6. Post test speed 10.0 mm/s
7. Rupture test distance 1mm
Distance 4 mm
Force 100 g
Time 5 s
Count 1
8. Trigger
Type Auto
Force 20 g
Stop plot at Final
19
3.2.5.2.
Analisis Kimia
3.2.5.2.1.
Kadar Air (SNI 01-2891-1992)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cawan alumunium dan tutupnya dikeringkan terlebih dahulu sebelum digunakan pada suhu 1000C selama 15 menit dan didinginkan di dalam desikator. Cawan kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik (a gram). Sebanyak 1-2 gram (x gram) contoh ditimbang dalam cawan tersebut kemudian dikeringkan dalam oven 1050C selama 3 jam. Cawan dan isinya kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan (y gram).
Kadar air (%wb)=x-(y-a)
x %
Kadar air (%db)=x-(y-a)
(y-a) %
3.2.5.2.2.
Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)
Cawan porselen dikeringkan dengan oven pada suhu 1050C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan tersebut ditimbang dengan timbangan analitik (a g). Sebanyak 2-3 g contoh (w g) ditimbang dalam cawan tersebut. Contoh diarangkan di atas hot plate selama 30-60 menit sampai tidak berasap. Kemudian dimasukkan kedalam tanur bersuhu 5500C sampai pengabuan sempurna, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (x gram).
Kadar abu % bb =x-a w ×100%
3.2.5.2.3.
Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC
Method
960.52 yang
dimodifikasi)
Contoh ditimbang sebanyak 0.1-0.25 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Selanjutnya, ke dalam contoh tersebut ditambahkan 1.0 g campuran K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4 pekat, kemudian dididihkan dalam digestion system hingga larutan menjadi jernih. Modifikasi dilakukan pada jumlah H2SO4 pekat yang ditambahkan. Pada motode AOAC 960.52, jumlah H2SO4 pekat ditambah sebanyak 0.1 ml untuk setiap 10 mg berat sampel jika sampel beratnya lebih dari 15 mg. Namun, hal tersebut tidak dilakukan dengan asumsi 2 ml H2SO4 pekat yang digunakan sudah cukup untuk mendetruksi sampel. Labu didinginkan dan ditambahkan sedikit air destilata. Larutan hasil destruksi dituang kedalam alat destilasi, ditambahkan 8-10 ml NaOH 60%- Na2S2O3 5%. Destilat ditampung dalam 5 ml asam borat yang telah dicampur dengan lima tetes indikator MB:MM. Destilasi dilakukan selama 15 menit atau sampai volume penampung mencapai 15 ml. Larutan tersebut kemudian dititrasi dengan HCL 0.02 N.
20
3.2.5.2.4.
Kadar Lemak / Metode Hidrolisis (SNI 01-2891-1992)
Contoh seberat 1-2 g ditambahkan air 20 ml dan HCL 25% sebanyak 30 ml. Contoh dipanaskan selama 15 menit. Sesudah dipanaskan, contoh disaring dengan menggunakan kertas saring, dibilas dengan air panas hingga tidak asam, dan dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C sampai kering. Analisis dilanjutkan dengan metode soxhlet, dimana contoh dimasukkan ke dalam labu soxhlet dan diisi dengan ± 150 ml heksan, lalu direfluks 5-6 jam. Setelah itu dipanaskan pada oven bersuhu 1050C selama 30 menit atau sampai pelarut pada labu lemak menguap semua. Labu lemak didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya.
Kadar lemak (%bb)=b-b
a %
3.2.5.2.5.
Kadar Karbohidrat / Metode
By Difference
(Nielsen 2010)
Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein.IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
PEMBUATAN TEPUNG UBI JALAR
Pembuatan tepung ubi jalar dalam penelitian ini dilakukan sebanyak empat kali. Tepung ubi jalar yang dihasilkan digunakan sebagai bahan baku pembuatan kukis pada tahap optimasi formula dan proses. Rincian data masing-masing pembuatan tepung ubi jalar tersebut ditunjukkan pada Tabel 7. Pada Tabel 7 terlihat bahwa rendemen tepung yang dihasilkan (dengan basis bobot ubi sebelum dikupas) cukup rendah yaitu 5.96-8.34%. Rendemen pada pembuatan ke-1 dan ke-2 lebih kecil dari rendemen pada pembuatan ke-3 dan ke-4. Kecilnya rendemen tersebut terjadi karena kehilangan bobot saat proses pembuatan tepung ke-1 dan ke-2 lebih besar dari kehilangan bobot pada pembuatan tepung ke-3 dan ke-4. Kehilangan bobot tersebut terjadi saat pengupasan, pengeringan, dan pengayakan. Kehilangan bobot yang tinggi pada pengupasan dapat disebabkan oleh lamanya pengupasan dengan peeler yang terlalu lama sehingga banyak kulit dan daging ubi yang ikut terbuang. Selain itu, kehilangan bobot pada proses pengupasan juga dapat disebabkan oleh banyaknya bagian ubi yang harus dibuang karena rusak saat penyimpanan. Kehilangan bobot saat pengeringan disebabkan oleh kandungan air ubi yang tinggi pada ubi jalar. Menurut Hanafi (1999), kadar air ubi jalar sebesar 60.32-76.19%. Sebagian air pada ubi jalar tersebut hilang saat proses pengeringan ubi sawut. Ubi sawut mengalami penurunan bobot hingga 77-78% akibat proses pengeringan. Kehilangan bobot saat pengayakan disebabkan oleh tepung hasil penggilingan dengan disk mill masih kasar sehingga banyak yang tidak lolos ayakan 100 mesh dan tidak dapat digiling kembali sehingga dibuang.
Tabel 7. Data pembuatan tepung ubi jalar
Bahan Pembuatan ke-
1 2 3 4
Ubi belum dikupas (kg) 105.480 76.323 151.921 54.980
Ubi kupas (kg) 83.473 48.208 121.929 42.028 Ubi sawut (kg) 76.518 56.428 121.820 41.570 Ubi kering (kg) 17.710 12.870 28.575 9.180 Total tepung (kg) 16.215 10.455 26.540 5.590
Tepung 100 mesh (kg) 6.290 4.285 13.520 4.585
Rendemen (%) 5.96 5.61 8.90 8.34
4.2.
PENENTUAN TITIK MAKSIMUM SUBSTITUSI
22 Lampiran 1. Tingkat substitusi yang diujikan adalah 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% untuk masing-masing tepung. Respon sensori yang diujikan adalah overall, rasa, warna, aroma, dan tekstur. Hasil penilaian atribut sensori kukisuntuk masing tepung pensubtitusi pada masing-masing tingkat substitusi (50%, 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% ) ditunjukkan pada Gambar 8 dan 9. Gambar kukis hasil substitusi ditunjukkan pada Lampiran 2. Rekapitusi data penilaian organoleptik tersebut ditunjukkan pada Lampiran 3 dan 4. Kedua gambar tersebut (Gambar 8 dan 9) menunjukkan bahwa kukis yang disubstitusi dengan tepung jagung lebih disukai panelis daripada kukis yang disubstitusi oleh tepung ubi jalar. Hal ini terlihat dari nilai kesukaan untuk semua respon sensori kukis yang disubstitusi dengan tepung jagung lebih tinggi dari nilai respon sensori kukis yang disubstitusi dengan tepung ubi jalar. Hasil penilaian sensori tersebut kemudian dideskripsikan dan dianalisis ragamnya dengan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan dengan software SPSS 16.0. Analisis ini dilakukan untuk melihat apakah score masing-masing respon berbeda nyata atau tidak pada taraf signifikansi (α) 5%.
Gambar 8. Score penilaian sensori kukissubstitusi dengan tepung jagung
Gambar 9. Score penilaian sensori kukissubstitusi dengan tepung ubi jalar 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8
40 50 60 70 80 90 100
S core ra ta an pe neri m aa n pane li s
Tingkat substitusi terigu oleh tepung jagung (%)
Overall rasa warna aroma Tekstur 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8
40 50 60 70 80 90 100
S core ra ta an penerim aa n pane li s
Tingkat substitusi terigu oleh tepung ubi (%)
Overall
Rasa
Warna
Aroma
23 Nilai respon kesukaan hasil uji organoleptik kemudian dideskripsikan dengan menggunakan acuan Labelled Affective Magnitude (LAM) scale (Kemp dkk 2009). Skala tersebut ditunjukkan pada Gambar 10. Nilai yang diperoleh dari uji organoleptik (Tabel 8) dikalikan dengan 10 untuk mendapatkan kisaran nilai yang sama dengan kisaran nilai Labelled Affective Magnitude (LAM) scale
yaitu 0-100. Deskripsi kesukaannya disesuaikan dengan deskripsi yang ada pada skala tersebut. Hasil pencocokan nilai dengan skala LAM menunjukkan bahwa nilai kesukaan panelis terhadap respon aroma baik pada kukis yang disubstitusi dengan tepung jagung maupun tepung ubi jalar berada dalam kelompok like slightly dan like moderately. Nilai kesukaan panelis terhadap respon rasa pada kukis yang disubstitusi dengan tepung ubi jalar berada dalam rentang neither like or dislike dan like moderately sedangkan nilai kesukaan panelis terhadap respon rasa pada kukis yang disubstitusi dengan tepung jagung berada dalam rentang like slightly dan like very much. Nilai kesukaan panelis terhadap respon warna pada kukis yang disubstitusi dengan tepung ubi jalar berada dalam rentang kesukaan dislike slightly dan like moderately sedangkan kukisyang disubstitusi dengan tepung jagung berada pada rentang kesukaan like moderately dan like very much. Nilai kesukaan panelis terhadap respon tekstur baik pada cookies yang disubstitusi dengan tepung jagung maupun tepung ubi jalar berada dalam kelompok like slightly dan like moderately. Nilai kesukaan panelis terhadap respon
overall kukis yang disubstitusi dengan tepung ubi berada dalam rentang kesukaan like slightly dan like moderately. Nilai kesukaan panelis terhadap respon overall kukis yang disubstitusi dengan tepung jagung berada pada rentang kesukaan like slightly dan like moderatly.
Hasil ringkasan analisis ragam dengan menggunakan software SPSS 16.0 ditunjukkan pada Tabel 8. Hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa masing-masing score respon sensori untuk masing-masing tepung tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% yang berarti perbedaan tingkat substitusi tidak mempengaruhi respon sensori yang menyebabkan perbedaan kesukaan respon sensori secara nyata pada taraf signifikansi 5%. Hasil analisis ragamnya secara lengkap ditunjukkan pada Lampiran 5 dan 6. Oleh karena kukis hasil substitusi, baik dengan tepung jagung maupun tepung ubi jalar, pada tingkat substitusi 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% dan formula dengan tingkat substitusi 100% masih disukai secara organoleptik, maka tingkat substitusi yang dipilih sebagai titik maksimum substitusi untuk masing-masing tepung pensubstitusi adalah tingkat subtitusi 100%. Titik maksimum ini selanjutnya digunakan sebagai batasan untuk menentukan titik pada tahap optimasi formula dengan menggunakan peranti lunak Design-Expert 7.0.0 dengan mixture design.
4.3.
OPTIMASI FORMULA
24 Tabel 8. Nilai kesukaan respon kukis hasil substitusi
Tingkat Substitusi 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Tepung Ubi Jalar
Aroma 5.91a 5.70a 5.59a 5.74a 5.60a 5.63a
Rasa 5.85a 5.46a 5.92a 6.02a 6.33a 5.58a
Warna 4.95a 4.56a 5.40a 5.32a 5.32a 5.57a
Tekstur 6.08a 5.61a 6.25a 6.02a 6.36a 5.67a
Overall 5.80a 5.69a 5.96a 6.02a 6.21a 5.75a
Tepung Jagung
Aroma 6.50a 6.58a 6.50a 6.65a 6.50a 5.96a
Rasa 6.66a 6.85a 6.66a 6.89a 6.75a 6.77a
Warna 6.84a 6.86a 6.21a 6.44a 6.79a 7.08a
Tekstur 6.38a 6.76a 6.52a 6.52a 6.30a 6.45a
Overall 6.75a 6.98a 6.57a 6.69a 6.66a 6.68a
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%
Formula pada Tabel 10 tersebut kemudian digunakan untuk membuat corn flake cookies dan diujikan secara organoleptik kepada 70 panelis dengan menggunakan uji rating hedonik terhadap respon rasa, warna, aroma, tekstur, dan overall. Score sheet uji tersebut ditunjukkan pada Lampiran 7. Gambar kukis masing-masing formula ditunjukkan pada Lampiran 8. Hasil pengujian organoleptik untuk masing-masing formula ditunjukkan pada Tabel 11. Rekapitulasi data uji organoleptik ditunjukkan pada Lampiran 9a-9e. Nilai sensori yang diperoleh akan dijadikan input lanjutan untuk dianalisis ragam sehingga diperoleh model matematika yang memodelkan data masing-masing respon. Ringkasan hasil analisis untuk masing-masing atribut sensori ditunjukkan pada Tabel 12. Data respon tersebut kemudian diubah dalam bentuk plot kontur atau contour plot dan grafik tiga dimensi untuk dianalisis sehingga diperoleh titik optimum.
Tabel 9. Batas minimum dan maksimum tepung komposit Komponen Minimum Level (%) Maksimum Level (%)
Terigu 0.00 20.00
Tepung Jagung 10.00 89.98