KETERKAITAN MASUKAN BAHAN ORGANIK DAN
LOGAM MERKURI TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS
DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA
DI SUNGAI CILIWUNG (JAWA BARAT)
JOJOK SUDARSO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DESERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 2 Februari 2013
ABSTRACT
JOJOK SUDARSO. Effect of Organic Compound and Mercury on Community Structure and Secondary Productivity Trichoptera Larvae in Ciliwung River (West Java) under direction of YUSLI WARDIATNO, DANIEL DJOKOSETIYANTO and WORO ANGGRAITONINGSIH.
Ciliwung River is one of the big rivers in West Java Province which is polluted by organic compound and mercury. Pollution in Ciliwung River could disturb the ecological balance of Trichoptera larvae. The purpose of this study was to reveal the influence of organic compound and mercury contamination on community structure, ecology feeding, secondary productivity of Trichoptera larvae and establish a local biocriteria using multimetric concept. Research was conducted in six stations on high gradient Ciliwung River segment. Trichoptera larvae were collected using surber net with five replications in each study sites. High of organic pollution, mercury contamination, and habitat degradation could decrease number of genus Trichoptera larvae (7-2), diversity index (2.8-0 bits per individu), while increase secondary productivity of Cheumatopsyche sp. larvae (5.9-81.5 g m-2 year-1). Ecology feeding was dominated by filtering collector while disturbance was increasing. Four biological metrics (total taxa number, scores of Stream Invertebrate Grade Number-Average (SIGNAL), % abundance of three dominant taxa, number of sensitive taxa) was successfully created to be a local biocriteria which was called Trichoptera biotic index (IBT). Range the index values were 26-28 classified as least disturbance, 118 low disturbance, 7-16 medium disturbance, and 4-6 severe disturbance. Development and refinement of IBT in the future can be used to monitor and evaluate rivers quality in Indonesia especially for high gradient river.
JOJOK SUDARSO. Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat). Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, DANIEL DJOKOSETIYANTO dan WORO ANGGRAITONINGSIH.
Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah mendorong berkembangnya konsep indikator biologi guna mengetahui status kesehatan dari sebuah ekosistem. Salah satu biota yang memiliki potensi sebagai indikator biologi perairan adalah larva Trichoptera. Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain: 1). Salah satu penyusun terbesar dari komunitas makrozoobentos pada ekosistem sungai, 2) Distribusi yang luas, 3) Kelimpahan relatif tinggi, 4). Respon terhadap kualitas lingkungan bervariasi dari perubahan morfologi hingga perilaku, 5). Keanekaragaman spesies relatif tinggi (± 13.000 spesies), 6). Siklus hidup relatif panjang dengan lima tahap instar, 7). Peran penting dalam rantai makanan, 8). Ukurannya yang relatif besar (1-3 cm), 9). Tubuh relatif keras sehingga mudah dalam melihat abnormalitas, dan 10). Waktu identifikasi hewan tersebut relatif lebih singkat. Kondisi tersebut diatas merupakan potensi yang besar bagi larva Trichoptera untuk dikembangkan sebagai penyususn biokriteria lokal yang adaptif guna diterapkan di daerah tropis khususnya di Indonesia.
Salah satu sungai yang akan dijadikan model dalam penyusunan biokriteria dan penelitian tentang produktivitas sekunder larva Trichoptera adalah Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung termasuk dalam sungai besar di Jawa Barat yang memiliki aspek penting bagi sektor pertanian (irigasi), industri, maupun bahan baku air minum. Kondisi bagian hulu (Gunung Mas) dari sungai tersebut relatif masih terjaga dengan baik sehingga minim mengalami gangguan akibat aktivitas antropogenik. Berdasarkan kajian ekologis yang dilakukan BPLHD Provinsi Jawa Barat tahun 2006 menunjukkan kualitas Sungai Ciliwung di bagian Hulu (Cisarua) hingga hilir (Ancol) telah mengalami pencemaran organik yang tinggi (DO dari 8 - 0,2 mg/l, TOM dari 0,02-0,1 mg/l, TSS dari 0,01-0,6 mg/l). Sungai tersebut juga tercemar oleh logam merkuri (0,23-0,30 ppb), bisfenol A (0,46-0,83 µg/l) dan alkil fenol (33,2-191,4 µg/l) yang cukup tinggi.
komunitas larva Trichoptera. Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan (Oktober 2010-Mei 2011) dengan enam titik stasiun pengamatan. Enam lokasi yang digunakan selama penelitian meliputi: 1). Stasiun Gunung Mas yang terdiri dari dua situs pengamatan (St 1. dan 2) yang berfungsi sebagai situs rujukan (gangguan minimal). 2) Stasiun Kampung Pensiunan (St.3) mewakili daerah yang sudah mengalami gangguan oleh aktifitas perkebunan teh. 3) Stasiun Kampung Jog-jogan (St.4) mewakili daerah dari adanya aktivitas pertanian, pemukinan penduduk, dan perkebunan.4) Stasiun Katulampa (St 5) mewakili daerah dari pengaruh aktivitas pemukimam penduduk, perkotaan, maupun penambangan batu. 5) Stasiun Cibinong (St.6) mewakili daerah dengan sumber pencemar relatif kompleks (limbah domestik, perkotaan, dan industri).
Hasil analisis keanekaragaman taksa (genus) larva Trichoptera dengan menggunakan indeks Shanon-Wiener (H’) di Stasiun Gunung Mas sebesar = 1,98-2,8 bits per individu dan indek keseragaman (E) = 0,66-0,9. Kondisi ini mengindikasikan tingkat keanekaragaman taksa Trichoptera dalam kategori sedang dan penyebaran jumlah individu tiap jenisnya relatif merata (tidak ada taksa tertentu yang mendominasi populasi). Adanya aktivitas antropogenik di Stasiun Kampung Pensiunan hingga Stasiun Cibinong mengakibatkan kecenderungan menurunnya nilai indeks keanekaragaman (H’) = 0-2 bits per individu dan indeks keseragaman (E) = 0-0,8. Kondisi ini menunjukkan adanya kecenderungan struktur komunitas menjadi kurang stabil, tingkat keanekaragaman dari sedang hingga rendah, dan penyebaran jumlah individu tiap jenisnya menjadi tidak merata (ada kecenderungan terjadi dominasi oleh taksa tertentu misalnya oleh Cheumatopsyche sp.
Hasil pengukuran biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B larva hydropsychid Cheumatopsyche sp. menunjukkan biomassa hewan tersebut di bagian hulu (Stasiun Gunung Mas) hingga Stasiun Cibinong cenderung meningkat (0,09-0,29 gr.m-2). Produktivitas sekunder juga menunjukkan kecenderungan meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga Kampung Jog-jogan (5,9-26,9gr m-2 tahun-1) dan terlihat menurun di Stasiun Katulampa (8,15 gr m-2 tahun-1). Di Stasiun Cibinong produktivitas sekunder Cheumatopsyche sp. meningkat kembali hingga 81,5 gr.m-2.tahun-1. Pola yang sama dengan produktivitas sekunder juga diamati pada nilai cohort P/B yaitu kecenderungan meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga Kampung Jog-jogan (33,9-63,7) dan menurun di Stasiun Katulampa (12,1). Nilai cohort P/B di Stasiun Cibinong meningkat kembali hingga 93,4. Tingginya produktivitas sekunder, biomassa dan cohort P/B larva
Hasil seleksi metrik biologi dan normalisasi dengan persentil empat metrik biologi terpilih (Jumlah skor SIGNAL, jumlah taksa, % kelimpahan 3 taksa dominan, jumlah taksa sensitif) dihasilkan indek biologi baru dengan nama indeks biotik Trichoptera (IBT). Pada contoh kasus Sungai Ciliwung didapatkan nilai kisaran dari indeks tersebut yaitu: 26-28 dalam kategori belum/sedikit mengalami gangguan (Situs Rujukan), 17-18 kategori gangguan ringan (Kampung Pensiunan), 7-16 kategori gangguan sedang (Kampung Jog-jogan dan Katulampa), dan 4-6 kategori gangguan berat (Cibinong). Indeks IBT juga relatif sensitif (r >0,5) dalam mencerminkan gangguan pada ekosistem sungai akibat pencemaran organik, gangguan pada habitat, dan kontaminasi logam Hg.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
KETERKAITAN MASUKAN BAHAN ORGANIK DAN
LOGAM MERKURI TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS
DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER LARVA
TRICHOPTERA DI SUNGAI CILIWUNG (JAWA BARAT)
JOJOK SUDARSO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi. M.Sc.
Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumbanbatu, M.Agr
Judul Disertasi : Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat)
Nama : Jojok Sudarso NIM : C261090061
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Yusli Wardiatno, M.Sc.
Prof.Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto
Anggota Anggota
Prof. Dr. Woro Anggraitoningsih
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dr.Ir. Enan M. Adiwilaga Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya, serta shalawat dan salam tetap tercurah pada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul “Keterkaitan Masukan
Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan
Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera: Studi Kasus Sungai Ciliwung-Jawa
Barat”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya pada ketua komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno,
M.Sc dan anggota komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto dan
Ibu Prof. Dr. Woro Anggraitoningsih yang telah meluangkan waktunya dalam
memberikan arahan dan bimbingan selama penelitian. Ucapan terima kasih
disampaikan pada Dr. Tri Widiyanto M.Si sebagai Kapuslit Limnologi-LIPI yang
telah memberikan ijin pada peneliti untuk melakukan penelitian di Puslit
Limnologi-LIPI. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada tim penguji tertutup
(Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc. dan Dr. Majariana Krisanti, M.Si) dan tim
penguji terbuka (Dr. Tri Widiyanto M.Si dan Prof. Dr. Djamar T.F. Lumbanbatu,
M.Agr) yang telah banyak memberikan koreksi pada desertasi ini. Terima kasih
juga disampaikan kepada ayah (Bapak Purnomo), ibu (Ny. Sudarmasih), istriku
(Fitria Handayani), keluarga besar Bapak Iskandar Setjodihardjo, dan segenap staf
pegawai di Puslit Limnologi LIPI atas segala doa dan dorongan semangat dalam
menyelesaikan studi di IPB.
Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih pada Kementrian Riset
dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa pada promofendus guna
menempuh pendidikan doktor dan segenap dosen Fakultas Perikanan IPB yang
telah memberikan bekal ilmu pada penulis selama kuliah di pascasarjana.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
perbaikan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya dan kemajuan IPTEK di Indonesia. Aamiin
Bogor, 2 Februari 2013
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang Jawa Timur tanggal 12 Juni 1972 sebagai
anak ke tiga dari pasangan Bapak Purnomo dan Ibu Sudarmasih. Pendidikan
sarjana S1 ditempuh di Jurusan Biologi Universitas Brawijaya Malang dan lulus
tahun 1995. Pada tahun 2007, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB melalui beasiswa LIPI dan menamatkan
kuliah tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan di tahun yang sama (2009)
melalui beasiswa dari Kementrian Ristek.
Penulis bekerja di Puslit Limnologi-LIPI Cibinong-Bogor mulai tahun
1996 hingga sekarang dan posisi terakhir dalam jabatan fungsional sebagai
Peneliti Muda. Bidang penelitian yang ditekuni dan menjadi tanggung jawab
penulis sebagai peneliti adalah bioassessment dan ekologi makrozoobentos.
Publikasi yang telah dihasilkan dari penelitian desertasi ini adalah:
“Pengaruh Aktivitas Antropogenik di Sungai Ciliwung Terhadap Komunitas
Larva Trichoptera” dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan tahun 2012 volume 19
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………. xv
DAFTAR GAMBAR ……… xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
i 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……… 1
1.2. Perumusan Masalah ……… 4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 5
1.4. Kebaruan Penelitian ..……….. 5
2. KERANGKA TEORI 2.1. Ekobiologi Trichoptera ……… 7
2.2. Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera ………. 12
2.3. Faktor Lingkungan Penting Dalam Mengatur Komunitas dan Produktivitas sekunder larva Trichoptera ………. 13
2.4. Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan Logam Berat ………. 20
2.5. Kerangka Pemikiran ……… 23
3. METODE PENELITIAN 3.1. Metode/Desain Penelitian ………. 24
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ……… 24
3.3. Variabel (yang ditera dan kerja)………. 25
3.4. Teknik Pengumpulan Data ……… 27
3.5. Metode Pengukuran ………... 29
3.6. Analisis Data ………. 31
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Sungai Ciliwung ………... 41
4.2. Telaah Kualitas Fisik Air Sungai Ciliwung ………... 42
4.3. Telaah Kualitas Habitat ……….. 50
4.4. Telaah Kualitas Kimia Sungai Ciliwung ……… 51
4.5. Telaah Kualitas Biologi ………. 66
4.6. Pengaruh Masukan Bahan Organik dan Struktur Komunitas terhadap Ekologi Feeding Larva Trichoptera …... 68
4.8. Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera
(Cheumatopsyche sp.) ………….………... 78
4.9. Penyusunan Biokriteria dengan Menggunakan Konsep Multimetrik ………..……… 83
4.10. Aplikasi Indek Biotik Trichoptera (IBT) dalam Mendukung Pengelolaan Sungai Ciliwung ……... 90
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……….………... 93
5.2. Saran ……….…………..…… 93
DAFTAR PUSTAKA ……… 95
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Titik koordinat lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung. 25
2. Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari
protokol US-EPA (1999) ……… 27
3. Parameter lingkungan yang diukur dalam penelitian …………. 30 4. Kriteria indeks kimia Kirchoff (1991) guna menggolongkan
status pencemaran organik ……….. 32
5. Klasifikasi status pencemaran logam di sedimen dari Chen et
al. (2005) ……… 32
6. Sistem penilaian kualitas lingkungan dengan menggunakan interaksi antara indeks keanekaragaman dengan variabel
lingkungan ………... 35
7. Keterangan nilai skor untuk prediksi gangguan ekologi pada
sungai ……….. 35
8. Kandidat metrik biologi yang digunakan untuk diskriminasi
tingkat gangguan ekologi pada sungai Ciliwung ……… 38
9. Perubahan tutupan lahan di DAS Ciliwung dari tahun
2000-2008 (Anonim 2011) ……….. 42
10. Gambaran kondisi umum lokasi penelitian ………. 43
11. Status gangguan ekologi akibat pencemaran di Sungai
Ciliwung ……….. 70
12. Korelasi ranking Spearman antara indeks keanekaragaman dan
keseragaman dengan variabel lingkungan ……….. 70
13. Biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B dari larva
Cheumatopsyche sp di Sungai Ciliwung……….. 80
14. Kemampuan diskriminasi masing-masing metrik biologi dalam
mencerminkan gangguan di Sungai Ciliwung ……… 84
15. Uji masing-masing metrik antara situs rujukan dengan situs uji dengan menggunakan analisis non parametrik Mann-Whitney
U-test ………. 85
16 Tahap scoring dalam penyusunan biokriteria (Indeks biotik
Trichoptera) ………. 88
17 Korelasi rangking Spearman antara indeks biotik Trichoptera
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Siklus hidup dari larva Trichoptera ……… 7
2. Bentuk dewasa dari Trichoptera. Dari kiri atas ke samping kanan: Hydrobiosidae (Atopsyche), Calamoceratidae (Phylloicus), Xiphocentronidae (Xipocentron), dan
Leptoceridae (Nectopsyche) di pojok kanan bawah ……… 7
3. Morfologi kepala Tricoptera dewasa ………. 8 4. Bentuk morfologi kepompong dari Trichoptera ……… 9
5. Larva Hydropsychidae yang hidup dalam kondisi normal, warna insang trachea tampak pucat (kiri) dan penghitaman
warna pada bagian insang (kanan) ……… 15
6. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan
organisasi biologi ……… 21
7. Diagram alir pendekatan pemecahan masalah ……… 23 8. Peta lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung …………. 26
9. Evaluasi sensitifitas metrik. Kotak kecil merupakan nilai median, sedangkan kotak besar merupakan kisaran IQ
(persentil ke 25 hingga 75). a) tidak ada IQ yang overlap, b). IQ overlap tetapi kedua nilai median tidak ada yang overlap, c).IQ overlap dengan satu nilai median yang overlap, d). IQ
sebagian besar overlap atau kedua nilai median overlap ……… 39 10. Hasil pengukuran suhu air di setiap stasiun pengamatan ……… 44
11. Hasil pengkuran kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan .. 45
12. Komposisi substrat dasar di masing-masing stasiun pengamatan 46 13. Nilai turbiditas di masing-masing stasiun pengamatan ………. 47
14. Hasil pengukuran konduktivitas di masing-masing stasiun
pengamatan ……… 48
15. Konsentrasi CPOM (gr berat kering/m2) di masing-masing
stasiun pengamatan ……… 49
16. Status gangguan yang terjadi pada sungai Ciliwung
berdasarkan indeks habitat ………. 50
17. Hasil pengukuran pH air di masing-masing stasiun pengamatan 52
18. Konsentrasi DO dan COD di masing-masing stasiun
pengamatan ……… 53
19. Konsentrasi amonium di air pada masing-masing stasiun
pengamatan ………. 54
20. Konsentrasi nitrogen-nitrat di air pada masing-masing stasiun
pengamatan ………. 55
21. Konsentrasi ortofosfat di air pada masing-masing stasiun
22. Hasil analisis kesadahan (mg/l setara CaCO3) di
masing-masing stasiun pengamatan ……… 57
23. Konsentrasi C dan N pada seston di masing-masing stasiun
pengamatan ……… 58
24. Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing
stasiun pengamatan ……… 60
25. Konsentrasi logam merkuri di air pada masing-masing stasiun
pengamatan ……… 61
26. Konsentrasi logam merkuri sedimen pada masing-masing
stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 62
27. Status pencemaran logam merkuri pada masing-masing stasiun
pengamatan ………. 63
28. Konsentrasi logam merkuri (ppm) di tubuh larva Trichoptera 64
29. Nekrosis pada insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. di
Stasiun Cibinong ……… 65
30. Hubungan antara jumlah invidu larva Trichoptera yang mengalami nekrosis pada insang dengan kontaminasi
merkuri di Stasiun Cibinong ……….……. 66 31. Rerata kelimpahan perifiton di Sungai Ciliwung ……… 67
32. Sebaran nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks
keseragaman di Sungai Ciliwung (E) ………. 69
33. Nilai rerata dari tipe ekologi feeding di setiap stasiun pengamatan. (Om = omnivora, GC = gatherer collector, Car =
carnivora, Sc= scraper, Sh = shredder, FC = filtering
collector) ……… 72
34. Grafik biplot antara faktor lingkungan dengan tipe ekologi
feeding larva Trichoptera dengan menggunakan analisis
komponen utama ……… 73
35. Grafik triplot hasil ordinasi komunitas Trichoptera dengan
variabel lingkungan di Sungai Ciliwung ……… 75
36. Perkembangan instar larva Cheumatopsyche sp di setiap bulan
pada masing-masing stasiun pengamatan ……….. 79
37. Data curah hujan dari Bulan Agustus 2010 hingga Mei
2011………..……….. 80
38. Hubungan antara konsentrasi bahan organik (TOM) di perairan dan meningkatnya logam merkuri mampu mendorong
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
I Isian Penilaian yang digunakan dalam penghitungan indeks habitat .. 108
II Foto situasi lokasi pengamatan ……… 115
III Rerata kelimpahan total perifiton (sel/cm2) ……… 117 IV Komposisi dan kelimpahan rerata (idv/m2
120 ) dari larva Trichoptera di Sungai Ciliwung ……….. V Hubungan lebar kepala dengan berat tubuh larva Cheumatopsyche
sp. Pada masing-masing stasiun pengamatan ……… 122 VI Penghitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di
masing-masing stasiun pengamatan ……… 125
VII Metrik biologi dari Larva Trichoptera dalam mencerminkan
gangguan pada Sungai Ciliwung ………. 131
1.1 Latar Belakang
Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah
mendorong berkembangnya konsep indikator biologi guna mengetahui status
kesehatan dari sebuah ekosistem akuatik (Norris & Thoms 1999; Dziock et al.
2006). Konsep indikator biologi merujuk pada penggunaan hewan atau tumbuhan
sebagai instrumen guna menilai kondisi kualitas lingkungan yang lampau,
sekarang, dan akan datang. Salah satu biota yang memiliki potensi sebagai
indikator biologi perairan adalah larva Trichoptera. Penggunaan hewan tersebut
sebagai indikator biologi didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: 1). Salah
satu penyusun terbesar dari komunitas makrozoobentos pada ekosistem sungai
(Wiggins 1996; Vuori &Kukkonen 1996). 2) Distribusinya yang luas (Mackay &
Wiggins 1979), 3) Kelimpahannya relatif tinggi, 4). Respon terhadap kualitas
lingkungan bervariasi yang ditunjukkan dengan perubahan morfologi,
kemampuan akumulasi bahan polutan, maupun perilaku (Sola & Prat 2006), 5).
Keanekaragaman spesies yang relatif tinggi hingga ± 13.000 spesies (Holzenthal
2009) dan 89 spesies hidup di Sulawesi Utara (Geraci & Morse 2008), 6). Siklus
hidup relatif panjang dengan lima tahap instar (Wiggins 1996), 7). Peran penting
dalam rantai makanan sebagai dekomposer dan mangsa bagi burung maupun ikan,
8). Ukurannya relatif besar yaitu 1-3 cm dengan berat mencapai 30-100 mg (Vuori
& Kukkonen 1996; Berra et al. 2006), 9). Tubuh relatif keras sehingga
memudahkan dalam melihat abnormalitas/kecacatan, dan 10). Waktu untuk
identifikasi hewan relatif lebih singkat (Vuori & Kukkonen 1996).
Aktivitas antropogenik dapat secara dramatik mengubah regim dari input
bahan organik, nutrien, maupun logam berat ke ekosistem sungai melalui
perubahan penggunaan lahan maupun urbanisasi (Singer & Battin 2007).
Pencemaran organik dan logam berat di ekosistem sungai telah diketahui
memberikan dampak negatif bagi stabilitas komunitas larva Trichoptera (Winner
et al.1980; Chakona et al. 2009). Pengaruh bahan polutan pada makrozoobentos
hilangnya spesies yang tergolong sensitif (Timm et al. 2001; Chakrabarty & Das
2006) yang pada akhirnya dapat menurunkan atau mengubah produktivitas
sekunder dan biomassa organisme yang tergolong sensitif terhadap pencemaran
(Carlise & Clements 2003). Sedangkan efek tidak langsung berupa modifikasi
dari interaksi spesies dan penurunan kualitas makanan (Courtney & Clements
2002). Pada skala yang lebih luas dapat mempengaruhi siklus perombakan materi
organik, rantai makanan, maupun integritas ekologi perairan secara keseluruhan
(Dahl et al. 2004). Chatzinikolaou et al. (2008) mendefinisikan integritas ekologi
pada sungai sebagai adanya gangguan minimal dari kondisi alami di situs
rujukannya (reference site).
Produktivitas sekunder merupakan bagian dari dinamika populasi yang
memberikan pemahaman tentang proses transfer materi dan energi yang terjadi
mulai tingkatan individu, populasi, maupun dalam ekosistem. Pada produktivitas
sekunder mengukur pertumbuhan somatik terakhir dan merupakan bentuk ukuran
aliran energi yang melalui suatu populasi. Penelitian tentang pengaruh aktivitas
antropogenik di sungai terhadap produktivitas sekunder makrozoobentos masih
jarang dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya yaitu: kontaminasi pestisida (Lugthart & Wallace 1992), logam Zn
(Carlise & Clements 2003), dan urbanisasi (Shieh et al. 2002). Informasi
mengenai produktivitas sekunder larva Trichoptera yang hidup di daerah tropis
yang dihubungkan dengan aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung masih
belum tersedia, oleh sebab itu penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut perlu
pengkajian lebih lanjut.
Keberadaan larva Trichoptera di daerah tropis seperti Indonesia belum
secara optimal dikaji dan dikembangkan sebagai indikator biologi perairan.
Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator perairan masih terbatas dan hanya
sebagai komponen dari indeks biologi yang sudah ada misalnya indeks
Ephemeroptera Plecoptera dan Trichoptera (EPT) dan family biotic index (FBI).
Pengembangan biokriteria yang hanya melibatkan komunitas Trichoptera masih
jarang dilakukan dan belum dikaji secara mendalam, dibandingkan dengan biota
lainnya (larva capung/Odonata) yang sudah lebih dahulu digunakan dalam
Dengan kondisi tersebut, merupakan suatu potensi yang besar dari larva
Trichoptera untuk dikembangkan sebagai biokriteria lokal yang adaptif guna
diterapkan di daerah tropis di masa mendatang.
Sungai Ciliwung termasuk dalam salah satu sungai besar di daerah Jawa
Barat yang memiliki aspek penting bagi sektor pertanian (irigasi), industri,
maupun bahan baku air minum untuk daerah Jakarta (Kido et al. 2009).
Berdasarkan kajian ekologis yang dilakukan oleh BPLHD Jawa Barat tahun 2006
menunjukkan kualitas Sungai Ciliwung di bagian Hulu (Cisarua) hingga hilir
(Ancol) telah mengalami pencemaran organik yang relatif tinggi (DO dari 8 mg/l -
0,2 mg/l, TOM dari 0,02 mg/l - 0,1 mg/l, TSS dari 0,01 - 0,6 mg/l). Penelitian
Kido et al. (2009) menunjukkan sungai tersebut juga tercemar oleh logam merkuri
(0,23-0,30 ppb), bisphenol A (0,46-0,83 µg/l) dan alkil fenol (33,2-191,4 µg/l)
yang cukup tinggi. Adanya kontaminasi logam merkuri di Sungai Ciliwung dapat
menjadi isu utama dari sisi lingkungan maupun kesehatan, karena logam tersebut
memiliki daya toksisitas akut dan kronis yang tergolong tinggi bagi sebagian
besar makhluk hidup. Toksisitas akut pada biota air dapat menyebabkan kematian,
sedangkan pada konsentrasi sub letal/kronis menyebabkan: penurunan
kemampuan mencari makan, menghindari pemangsa, berkembang biak,
pertumbuhan maupun penyimpangan tingkah laku (Bank et al. 2007). Konsentrasi
merkuri di air yang mencapai 0,26 ppb dapat menimbulkan toksisitas kronis bagi
ikan fathead minnow (US-EPA 1986).
Sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai
Ciliwung berasal dari sistem drainase dari masukan limbah rumah tangga,
pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al. 2009). Adanya pencemaran
yang terjadi di Sungai Ciliwung dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan
ekologi dari larva Trichoptera dan berpotensi menurunkan integritas ekologi
sungai tersebut secara keseluruhan.
1.2 Perumusan Masalah
Kondisi kualitas air Sungai Ciliwung pada saat ini telah mengalami
pencemaran oleh bahan organik (biodegradable) maupun kontaminasi logam
Adanya pencemaran di Sungai Ciliwung dikhawatirkan mampu menyebabkan
gangguan ekologi bagi larva Trichoptera yang pada akhirnya dapat menurunkan
integritas ekologi dari sungai tersebut. Larva Trichoptera menduduki posisi
penting dalam rantai makanan sebagai mangsa dan pemakan bahan organik
(bahan organik partikel kasar/CPOM, bahan organik partikel halus/FPOM) di
sungai. Oleh sebab itu keberadaan hewan tersebut sangat dibutuhkan guna
mendukung kehidupan biota lainnya agar tetap lestari, proses transfer enegi dapat
berjalan secara normal, dan produktivitas hewan tersebut mencukupi guna
keberlanjutan ekologi di Sungai Ciliwung.
Pemantauan kualitas sungai di Indonesia hingga saat ini umumnya masih
didominasi oleh pengukuran kualitas fisik dan kimianya saja, dan belum secara
rutin mengintegrasikan parameter biologi seperti makrozoobentos. Disamping itu
indeks biologi yang digunakan selama ini masih banyak mengadopsi dari luar
negeri, yang kadangkala kriteria yang dihasilkan belum tentu cocok untuk
diterapkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Kondisi demikian
merupakan suatu peluang untuk dapat dikembangkan suatu biokriteria lokal guna
menentukan status gangguan ekologi di sungai-sungai di Jawa Barat yang
memiliki kesamaan ekoregion.
Larva Trichoptera merupakan salah satu komponen penting dari komunitas
makrozoobentos yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai indikator biologi
perairan guna mencerminkan adanya gangguan ekologi akibat aktivitas
antropogenik di Sungai Ciliwung. Respon yang ditimbulkan oleh hewan tersebut
akibat masukan bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung antara lain
rendahnya jumlah taksa dan kelimpahan yang tergolong sensitif, dan adanya
dominansi oleh jenis taksa tertentu. Adanya ketidakstabilan ekologi dari struktur
komunitas larva Trichoptera ini diduga disebabkan oleh :
1. Penurunan kualitas perairan akibat pencemaran oleh bahan organik dan
kontaminasi logam merkuri.
2. Rusak atau berubahnya kondisi habitat yang salah satunya disebabkan oleh
rendahnya ketersediaan materi/substrat kasar (CPOM) sebagai bahan pembuat
Adanya permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian
tentang peran masukan bahan organik dan kontaminasi logam merkuri beserta
beberapa variabel lingkungan penting lainnya dalam mempengaruhi produktivitas
sekunder maupun struktur komunitas dari larva Trichoptera. Dari karakteristik
dan sensitifitas masing-masing metrik biologi (kekayaan taksa dan komposisi,
toleransi terhadap polutan, atribut populasi, ekologi feeding) larva Trichoptera
pada berbagai tingkatan pencemaran organik dan kontaminasi logam merkuri,
maka dapat dibuat sebuah biokriteria lokal guna menilai status gangguan ekologi
yang terjadi di Sungai Ciliwung.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari dilakukan penelitian ini adalah: 1). Mendeskripsikan struktur
komunitas dan proporsi komposisi ekologi feeding larva Trichoptera berdasarkan
gradien konsentrasi bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung, 2).
Mengetahui produktivitas sekunder larva Trichoptera (Cheumatopsyche sp.) di
Sungai Ciliwung, dan 3). Menyusun sebuah biokriteria lokal dari komunitas larva
Trichoptera guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung
dengan menggunakan konsep multimetrik.
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1). alat/tools dalam
mengkategorikan status gangguan ekologi di sungai akibat pencemaran maupun
perubahan habitat yang terjadi di Sungai Ciliwung. 2). evaluasi tingkat
keberhasilan pengelolaan lingkungan yang telah diambil dalam mengatur
masuknya bahan polutan dari aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung.
1.4 Kebaruan penelitian
Kebaruanpenelitian ini adalah informasi mengenai produktivitas sekunder
larva Trichoptera di perairan tropis khususnya di Indonesia dan dihasilkannya
biokriteria lokal dari komunitas larva Trichoptera dengan pendekatan konsep
multimetrik guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai
II. KERANGKA TEORI
2.1 Ekobiologi Trichoptera
Trichoptera atau yang lebih dikenal sebagai lalat caddis (caddisfly)
merupakan insekta yang dalam daur hidupnya melibatkan dua ekosistem yang
berbeda yaitu ekosistem akuatik (perkembangan dari telur hingga pupa) dan
ekosistem terestrial (dewasa). Serangga dari Ordo Trichoptera merupakan salah
satu serangga yang bertipe holometabolous (metamorfosis sempurna). Hewan
tersebut memiliki lima tahap perkembangan larva hingga menjadi pupa. Siklus
hidup dari hewan tersebut secara ringkas dapat dilihat dalam Gambar 1. Ditinjau
dari waktu generasi dalam setahunnya, maka serangga Trichoptera memiliki
waktu generasi dari multivoltine (beberapa generasi dalam setahun) hingga satu
kali dalam setahun (univoltine). Contoh dari lamanya siklus hidup yang ekstrim
dari larva Trichoptera adalah Brachycentrus yang berukuran relatif besar dan
mempunyai waktu siklus hidup hingga tiga tahun (Hershey & Lamberti 1998).
Larva Trichoptera tinggal di dalam air kurang lebih selama dua bulan dan
kemudian bermetamorfosis menjadi lalat seperti ngengat. Trichoptera dewasa
umurnya kurang lebih selama dua minggu hingga dua bulan dan aktif di malam
hari. Trichoptera dewasa terbang untuk melakukan kawin dan meletakkan telur di
dasar sungai atau di permukaan tanaman air submerged. Lama periode antara telur
dan tahap larva memakan waktu sekitar 10-12 hari. Tahap pupa umumnya
berlangsung dua hingga tiga minggu dan dalam tahap ini, pupa biasanya berenang
menuju permukaan. Tahap dewasa umumnya muncul dari bulan April sampai
November, namun dapat bervariasi berdasarkan spesiesnya (Hall 2012).
Hewan Trichoptera merupakan salah satu penyusun tujuh ordo Insekta
terbesar di seluruh dunia. Di seluruh dunia diperkirakan jumlah spesies dari
Trichoptera mencapai 50.000 dengan 45 famili dan 600 genus yang telah
diketahui (Holzenthal 2009). Trichoptera dewasa yang hidup terestrial sepintas
dekat dengan Ordo Lepidoptera (kupu-kupu) yang keduanya termasuk dalam
super ordo Amphiesmenoptera atau “sayap melipat ke samping” (Gambar 2).
Gambar 1. Siklus hidup dari larva Trichoptera (Hall 2012)
Pada Trichoptera dewasa, kedua pasang sayap dan tubuh yang ditutupi
dengan rambut atau tambahan sisik. Warna lalat caddis dewasa biasanya coklat
atau abu-abu yang kurang menarik perhatian, sebagai bentuk adaptasi untuk
bersembunyi di siang hari pada vegetasi riparian. Sejumlah spesies memiliki
warna cerah antara lain kuning, oranye, hijau, perak, biru, atau berwarna-warni.
Hewan dewasa dapat mempunyai panjang tubuh bervariasi dari beberapa
milimeter (Famili Hydroptilidae dan beberapa spesies Glossosomatidae) hingga
4,5 cm di Famili Phryganeidae (terbesar).
Trichoptera dewasa mudah diketahui dengan adanya sejumlah fitur
morfologi tambahan. Bagian mulut mereduksi, mandible tidak ada atau sangat
kecil dan bersifat nonfunctional, tetapi maxillary dan labial palps tampak jelas
(Gambar 3). Fitur utama dari mulut Trichoptera adalah haustellum yang
merupakan struktur unik terdiri dari penyatuan labium (prelabium) dan hipofaring
membentuk proboscis pendek yang digunakan untuk menyerap air atau cairan
gula (Holzenthal 2009).
Gambar 3. Morfologi kepala Tricoptera dewasa (Holzenthal 2009).
Larva Trichoptera hidup dalam air dan membangun sarang yang bersifat
portabel, kecuali beberapa famili yang hidup bebas. Kapsul kepala berkembang
dengan baik dan tersklerotisasi sempurna. Antena sangat pendek dan terdiri dari
segmen tunggal, meskipun pada Famili Leptoceridae dan beberapa Hydroptilidae
memiliki antena yang panjang dan mencolok. Seperti kebanyakan dari larva
holometabolous, hewan tersebut memiliki mulut tipe pengunyah yang terdiri dari
labrum kecil, sepasang mandible yang berkembang dengan baik dan pendek,
maxillae kompak, dan sebuah labium. Mandible pada shredders dan herbivora
lebih lebar, dengan gigi pemotong pada ujungnya, sedangkan pada kelompok
scraper lebih memanjang pada keseluruhan tepi. Pada larva predator seperti di
genus Oecetis, gigi apikal lebih meruncing.
Segmen toraks terlihat jelas perbedaannya dan masing-masing ada
sepasang kaki. Pada beberapa Famili Hydrospychidae dan Hydroptilidae bagian
mesonotum dan metanotum tersklerotisasi dengan baik, tetapi dalam Famili
lainnya di bagian toraks (mesonotum dan metanotum) sepenuhnya membran atau
terpendek dan kaki belakang terpanjang. Larva dari beberapa Famili
Brachycentridae memiliki rambut di kaki tengah dan belakang yang digunakan
untuk menyaring partikel makanan dari arus air. Bagian abdomen terdiri dari 10
segmen dan sepenuhnya membran yang biasanya terlihat telanjang kecuali
beberapa setae yang tersebar. Abdomen pada larva Hydropsychidae tertutup padat
oleh rambut pendek atau sisik berambut dan sepasang proleg anal yang pendek
dan cakar yang kuat (Holzenthal 2009).
Tipe pupa Trichoptera termasuk dalam jenis exarate, dengan antena, kaki,
dan perkembangan sayap bebas dari tubuh. Antena terletak di belakang atas dari
dada dan perut. Pada spesies dengan antena yang panjang, dan melingkar sekitar
ujung dari abdomen. Toraks tidak mengalami modifikasi, tetapi kaki toraks sering
memiliki rambut renang. Pada bagian abdomen akhir terdapat sepasang
pemanjangan /processes anal (Gambar 4).
Gambar 4. Bentuk morfologi pupa dari Trichoptera (Holzenthal 2009).
Taksonomi dan identifikasi dari hewan Trichoptera secara rinci telah
dijelaskan dalam Clifford (1991) dan Wiggins (1996). Salah satu contoh
taksonomi dari serangga Trichoptera dari spesies Hydropsyche pellucidula
sebagai berikut:
Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Trichoptera Famili : Hydropsychidae Genus : Hydropsyche
Larva Trichoptera umumnya dapat hidup pada habitat lotik maupun lentik
dan banyak spesies dari hewan tersebut memakan alga (Keiper 2002). Hampir
keseluruhann famili dari larva Trichoptera hidup pada ekosistem air mengalir
(running water), namun banyak spesies yang terbatas distribusinya di sepanjang
gradien continuum sungai. Adanya suksesi longitudinal yang berkaitan dengan
spesies seringkali terjadi pada sempitnya/overlap dari zone sungai yang dapat
diamati dari beberapa famili antara lain: Hydropsychidae, Polycentropodidae,
Glossosomatidae, Limnephelidae, dan Rhyacophilidae. Pada habitat sungai yang
bersifat temporer, larva Trichoptera biasanya hidup dengan cara menggali lubang
pada substrat yang basah guna menghindari kondisi kekeringan. Pada sungai
dengan cukupnya tutupan vegetasi riparian dapat berfungsi menyediakan
partikulat organik kasar (coarse particulate organic matter/ CPOM) dari jatuhan
daun maupun ranting ke perairan, yang dapat mempengaruhi distribusi larva
Trichoptera. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada komposisi dari larva
Trichoptera yang bertipe feeding Shredder untuk mendominasi perairan. Larva
Trichoptera lainnya (filtering collector dan scraper) di bagian hilir membutuhkan
suhu yang lebih hangat untuk pertumbuhan dengan cara memakan alga berfilamen
dan partikulat organik halus (fine particulate organic matter/ FPOM) (Mackay &
Wiggins 1979; Cummins & Klug 1979).
Larva Trichoptera umumnya dijumpai pada permukaan batuan dari dasar
sungai atau danau (Mackay & Wiggins 1979). Sebagian besar larva Trichoptera
lebih menyukai hidup pada tipe perairan dangkal (5-10 cm) dengan air yang
mengalir di atas permukaan batuan dan sedikit spesies yang ditemukan pada
substrat halus di bagian air yang dalam (Urbanic et al. 2005). Hewan tersebut
untuk memperoleh makanan biasa menggunakan jaring perangkap mirip sutera.
Beberapa spesies larva Trichoptera sering hidup dalam seludang pelindung guna
mempertahankan diri dari predator maupun sebagai adaptasi perilaku terhadap
arus air (Mackay & Wiggins 1979).
2.2 Produktivitas sekunder larva Trichoptera.
Produktivitas sekunder secara umum didefinisikan sebagai pembentukan
sekunder tahunan merupakan jumlah dari biomassa total yang diproduksi oleh
sebuah populasi selama satu tahun. Kondisi ini termasuk produktivitas yang
tersisa pada akhir tahun dan yang hilang selama periode tersebut. Hilangnya
produktivitas ini termasuk kematian (misalnya oleh penyakit, parasitisme,
kanibalisme, predasi), hilangnya jaringan yang tersisa (misalnya oleh molting,
kelaparan), dan emigrasi. Satuan dari produktivitas sekunder dapat berupa:
Kcal.m-2/tahun or KJ/m2
Secara umum pendugaan produktivitas sekunder dikelompokkan menjadi
dua kategori yaitu: teknik kohort dan non kohort. Teknik kohort digunakan ketika
populasi memungkinkan mengikuti sebuah kohort (misalnya: individu yang
menetas dari telur dengan selang waktu yang relatif singkat dan laju
pertumbuhannya relatif sama) sepanjang waktu. Ketika sejarah hidup lebih
komplek, maka tehnik non kohort sering digunakan. Sebagai sebuah kohort yang
berkembang sepanjang waktu, adanya penurunan kelimpahan secara umum
disebabkan oleh kematian & peningkatan berat individu dikarenakan
pertumbuhan. Interval produksi (misalnya waktu diantara dua data sampling)
dapat mudah dihitung secara langsung dari data lapangan melalui metode
penambahan sesaat (increment-summation method) sebagai produk dari rerata
kelimpahan antara dua data sampling (
/tahun (satuan energi), berat kering/ berat kering bebas
abu, atau unit karbon mirip pada studi produktivitas primer. Standar konversi dari
masing-masing satuan yaitu: 1gr berat kering ≈ 6 gr berat basah ≈ 0,9 gr berat
kering bebas abu ≈ 0,5 gr C ≈ 5 Kcal ≈21 KJ (Benke & Huryn 2007).
Produktivitas sekunder dapat menyediakan informasi gabungan pada pertumbuhan
individu dan keberlangsungan hidup populasi dan dianggap mewakili jumlah
energi yang tersedia untuk tingkatan trofik yang lebih tinggi (Jin & Ward 2007).
Oleh sebab itu produktivitas sekunder seringkali dikaitkan dengan teori
bioenergetik. Pada teori bioenergetik biasanya membahas transformasi energi di
dalam dan di antara organisme, yang difokuskan pada aliran energi diantara
spesies melalui konsumsi sepanjang rantai makanan (Benke 2010).
) dan peningkatan berat individu (ΔW)
yaitu x ΔW. Asumsi dari teknik kohort ini adalah satu generasi pertahun (Benke
estimasi interval ditambah dengan biomassa awal. Secara matematis dapat
digambarkan sebagai berikut:
Teknik non kohort digunakan ketika sejarah kehidupan sebuah populasi
bersifat lebih kompleks atau tidak mengikuti sebagai kohort dari data lapangan.
Metode tersebut membutuhkan independensi dari waktu perkembangan atau laju
pertumbuhan biomassa. Salah satu metode umum yang digunakan pada teknik
non kohort adalah metode frekwensi-ukuran (size frequency method) yang
sebelumnya dikenal sebagai metode Hynes & Coleman (1968). Metode tersebut
mengasumsikan sebuah rerata distribusi frekuensi-ukuran yang ditentukan dari
sampel yang dikumpulkan sepanjang tahun mengikuti suatu kurva mortalitas
untuk sebuah rata-rata kohort. Benke (1979) telah melakukan koreksi dari metode
Hynes & Coleman (1968) dengan cara mengalikan nilai produktivitas yang telah
dihasilkan dengan sebuah faktor koreksi yaitu 365/CPI (cohort production
interval) ketika hewan tersebut memiliki waktu generasi yang lebih dari sekali
bereproduksi dalam jangka waktu satu tahun (multivoltine). CPI umumnya
ditetapkan dari rerata waktu (dalam hari) yang dibutuhkan dari mulai menetas
hingga mencapai ukuran akhir. Kadangkala faktor koreksi tersebut menggunakan
bulan dibandingkan dengan menggunakan hari yang rumusnya adalah sebagai
berikut: 12/CPI (Benke & Huryn 2007).
2.3 Faktor Lingkungan Penting Dalam Mengatur Komunitas dan Produktivitas sekunder larva Trichoptera.
Kualitas air dapat mempengaruhi nilai produktivitas sekunder dari larva
Hydropsychidae terutama yang hidup di daerah yang belum mengalami gangguan
dari aktivitas antropogenik. Hal ini berkaitan dengan cukupnya nutrien yang
terkandung dalam air dalam mendorong pertumbuhan alga atau perifiton yang
berfungsi sebagai makanan larva Trichoptera. Ross &Wallace (1983) melakukan
penelitian pada Famili Hydropsychidae di Sungai Appalachian Selatan (elevasi
600 m) menunjukkan produktivitas dari larva tersebut berkisar 23-983 mg berat
rendahnya nilai nutrisi di bagian hulu sungai yang mengurangi kualitas makanan
detritus, pertumbuhan alga, dan produktivitas dari invertebrata kecil lainnya yang
dimakan oleh larva hydropsychid sebesar 72%. Konsentrasi sebagian besar ion di
sungai tersebut relatif rendah yaitu < 1 mg/l, nitrat 0,03 mg N/l, fosfat
0,001-0,002 mg P/l, dan pH 6,6-6,8.
Dalam hubungannya dengan faktor kimia di perairan, larva Trichoptera
dapat dijumpai dari perairan yang belum tercemar hingga tercemar berat. Sebagai
contoh genus Hydropsyche dan Cheumatopsyche relatif sensitif terhadap air yang
tercemar (Chakona et al. 2009) dan keberadaan hewan tersebut akan meningkat
kembali di bagian hilir ketika kualitas airnya meningkat (Mackay & Wiggins
1979). Stuijfzand et al. (1999) menggunakan larva Hydropsyche sp. untuk
evaluasi kualitas air Sungai Rhine dan Sungai Meuse. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa distribusi dan kelangsungan hidup larva Hydropsyche sp.
cukup tinggi di Sungai Rhine dan hampir tidak ada yang hidup di Sungai Meuse.
Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya kualitas air Sungai Meuse yang
ditunjukkan dengan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut (1,7 mg/l) dan
tingginya konsentrasi amonium (4,1 mg/l), di-isopropylether (60 µg/l), flourida
(1,3 mg/l), dan diuron (0,8 µg/l) sebagai faktor pembatas utama, di samping faktor
fisik lainnya seperti kecepatan arus.
Redell et al. (2009) menunjukkan larva Oligostomis ocelligera (Famili
Phryganeidae) mampu bertahan dalam kondisi lingkungan akuatik yang ekstrim
(air masam tambang) akibat aktivitas antropogenik penambangan. Larva tersebut
mampu hidup pada pH yang rendah (2,58 – 3,13), konsentrasi sulfat (542 mg/l),
logam berat Fe (12 mg/l), Mn (14 mg/l), dan Al (16 mg/l) yang tinggi. Mackay &
Wiggins (1979) menyebutkan larva Helicopsyche borealis dapat hidup pada
sumber mata air panas dengan kandungan hidrogen sulfida yang tinggi dan sungai
yang menerima buangan limbah domestik. Hewan tersebut telah dilaporkan
mampu mentolerir adanya kebocoran dari tangki bensin yang masuk ke dalam
sungai yang mengakibatkan sebagian besar makrozoobentos yang ada mengalami
drifting (penghanyutan) atau kematian. Larva Hydropsyche betteni dan
Brachycentrus americanus mampu bertahan hidup pada nilai pH yang rendah
Penelitian yang dilakukan Clements (1994) di bagian hulu Sungai
Arkansas, Colorado menunjukkan hasil yang berlawanan dengan Stuijfzand et al.
(1999). Sungai yang mendapat masukan dari air asam tambang dalam kategori
tercemar sedang hingga berat didominasi oleh larva Chironomid Othocladiinae
dan Trichoptera. Beasley &Kneale (2004) menyebutkan larva Trichoptera Famili
Hydropsychidae relatif toleran terhadap kontaminasi logam berat Cu, Cd, dan Pb
di perairan. Peningkatan dominansi makrozoobentos pada beberapa spesies Famili
Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari meningkatnya
kontaminasi logam (Winner et al. 1980; Luoma & Carter 1991; Canfield et al.
1994).
Hydropsychid merupakan salah satu penyusun larva Trichoptera yang
umum dijumpai dan memiliki peran penting di sungai terutama dalam aliran
energi, nutrisi, dan jaring-jaring makanan. Sejarah kehidupan hewan tersebut
bervariasi dari univoltine hingga multivoltine yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang turut berkontribusi dalam mengatur produktivitas sekundernya
(Alexander & Smock 2005). Gurtz & Wallace (1986) menyebutkan faktor
lingkungan seperti ukuran partikel, kecepatan arus, kelimpahan dan kualitas
makanan, serta lokasi mikro pada habitat memiliki peran besar dalam mengatur
produktivitas larva hydropsychid. Alexander & Smock (2005) telah mengkaji
produktivitas sekunder tahunan dari larva hydropsychid Cheumatopsyche analis
di Sungai Upham Brook Virginia dapat mencapai 18,2 g/m2
Tingginya pencemaran di ekosistem air tawar telah diketahui dapat
meningkatkan insiden abnormalitas morfologi dari hewan air tawar. Abnormalitas
morfologi dari serangga akuatik telah lama digunakan dalam studi yang berkaitan
dengan pengaruh polutan toksik di ekosistem akuatik (Wiederholm 1984;
Warwick 1985; Dickman et al. 1992; Bisthoven et al. 1998). Respon subletal
berupa kecacatan insang dan anal papilae dari larva Trichoptera telah dipelajari
secara mendalam guna pengembangan indikator biologi perairan khususnya dalam
bidang biomarker. Biomarker secara umum didefinisikan sebagai substansi yang
digunakan sebagai indikator dari suatu proses biologi. Abnormalitas pada insang /thn. Tingkat toleransi
hewan tersebut cukup luas dari kualitas air yang belum terpolusi hingga tercemar
trachea, organ regulasi ion, dan anal papilae dapat menunjukkan adanya
gangguan pada respirasi dan fungsi pengaturan ion pada individu (Vuori &
Kukkonen 1996). Adanya perubahan morfologi dari insang larva Hydropsychidae
berupa penghitaman warna, reduksi dari anal papilae dan insang abdominal ketika
larva tersebut dipaparkan dengan menggunakan logam berat: kadmium, tembaga,
aluminium (Vuori & Kukkonen 1996), dan chromium (Leslie et al. 1999).
Munculnya penghitaman warna dan kelainan pada insang ini umumnya dijumpai
pada larva instar terakhir atau yang lebih tua (Vuori & Kukkonen 2002).
Camargo (1991) mengamati adanya gangguan berupa penonjolan dan
penghitaman warna pada anal papilae dan insang abdominal pada larva
Hydropsyche pellucidula yang dipaparkan dengan air yang terklorinasi. Jumlah
cabang-cabang pada insang abdominal mengalami reduksi hingga menjadi
potongan tunggal yang pendek. Adanya penghitaman warna insang di larva
Trichoptera dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Larva Hydropsychidae yang hidup dalam kondisi normal, warna insang trachea tampak pucat (kiri) dan penghitaman warna pada bagian insang (kanan). (Disadur dari Vuori & Kukkonen 2002).
Pengaruh fisik berupa gangguan pada habitat terhadap komunitas
Trichoptera telah dipelajari secara mendalam oleh Camargo (1991) dan Takao et
al. (2006). Takao et al. (2006) menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi
dari debit sungai merupakan pengendali utama dari organisasi biologi yang ada
dalam sistem lotik. Tingginya arus sungai dapat menyebabkan perubahan pada
populasi larva Trichoptera dengan cara menghanyutkan semua individu atau
(1991) menunjukkan dampak negatif dari pembangunan dam bendungan air di
Rio Duraton (Spanyol) pada komunitas Hydropsychidae berupa menurunnya
kekayaan taksa, keanekaragaman spesies, dan dominansinya. Biomassa total dan
kelimpahan larva Hydropsychidae juga mengalami penurunan di bawah dam
secara langsung. Semakin jauh dari bangunan dam, kelimpahan total dan
biomassa menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan di bagian hulu sungai. Hal ini
mungkin erat kaitannya dengan peningkatan ketersediaan suplai makanan dan
habitat di daerah tersebut. Kelimpahan Cheumatopsyche lepida, Hydropsyche sp.
dan H. pellucidula secara signifikan menurun di bagian hilir, namun H. siltalai, H.
exocellata dan H. bulbifera mengalami peningkatan secara drastis.
Chakona et al. (2009) menggunakan komunitas larva Trichoptera guna
mendeteksi gangguan ekosistem sungai akibat deforestasi dan aktivitas pertanian
di dua daerah tangkapan (DAS) yaitu Nyaodza-Gachegache dan Chimanimani
(Zimbabwe). Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam
komposisi genus akibat perubahan pada tata guna lahan dan geomorfologi. Genus
Anisocentropus, Dyschimus, Lepidostoma, Leptocerina, Athripsodes,
Parasetodes, Aethaloptera, Hydropsyche, dan Polymorphanisus keberadaannya
terbatas pada daerah hutan yang belum mengalami gangguan dengan karakteristik
rendahnya suhu, kekeruhan, konsentrasi silt (lanau), dan tingginya elevasi,
oksigen terlarut, dan transparansi. Sedangkan kelimpahan larva Hydroptila
cenderung menyukai habitat yang sudah mengalami gangguan khususnya di
daerah pertanian. Hilangnya beberapa genus larva Trichoptera (Hydropsyche,
Lepidostoma, Macrostemum) yang tergolong sensitif di daerah yang mengalami
deforestasi kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya material tanaman
yang masuk pada sungai sebagai bahan makanan bagi larva tersebut maupun
disebabkan rusaknya habitat akibat sedimentasi.
Suhu dan pergerakan air memainkan peran penting dalam proses fisiologi
pernafasan dengan mengendalikan ketersediaan oksigen terlarut. Larva
Trichoptera mampu menempati habitat hampir seluruh kisaran temperatur lotik,
termasuk mata air dingin dan panas. Sebagai contoh Eobrachycentrus gelidae
mampu hidup di mata air pegunungan yang bersuhu 2° C. Apatania muliebris
ekstrem lainnya, Oligoplectrum echo dan Helicopsyche borealis dapat hidup pada
sungai termal yang mencapai suhu 34° C atau lebih (Mackay & Wiggins 1979).
Larva Trichoptera memiliki preferensi atau kekhususan tertentu terhadap
kisaran kecepatan arus air. Spesies yang telah beradaptasi dengan ekosistem air
mengalir dapat mengalami stress dalam respirasinya ketika ditempatkan pada air
menggenang. Hewan tersebut dapat mentoleransi konsentrasi oksigen terlarut
yang rendah dan suhu air yang meningkat ketika hidup dalam arus air yang
mengalir secara cepat. Stimulus untuk memilin/membuat jala sangat ditentukan
oleh kecepatan minimum arus air. Jala yang dibentuk untuk menangkap makanan
pada arus air yang deras cenderung memiliki mata jala yang kasar dan jalinan
yang kuat guna menahan kuatnya arus, berlindung terhadap predator, dan sebagai
tempat untuk mengkaitkan anchor larva agar tidak hanyut. Sedangkan larva yang
hidup pada arus air lambat, mata jalanya terlihat lebih halus dan berukuran besar
(Mackay & Wiggins 1979).
Substrat dasar sungai dapat memberikan pengaruh pada distribusi dan
kelimpahan hewan avertebrata lotik dan hewan tersebut mampu merespon
terhadap gangguan. Faktor yang mempengaruhi spesifikasi substrat terhadap
kelimpahan atau produktivitas sekunder dari organisme makrozoobentos antara
lain: ukuran partikel, kecepatan arus, kestabilan fisik, dan ketersediaan makanan.
Oleh sebab itu produktivitas sekunder dari serangga akuatik dapat berubah secara
signifikan pada substrat yang berbeda (Gurtz & Wallace 1986).
Substrat merupakan materi yang ada di dasar sungai yang didistribusikan
oleh arus air akibat erosi di daerah substrat mineral kasar dan daerah endapan
sedimen halus yang banyak mengandung bahan organik. Ke dua daerah tersebut
mampu mendukung tumbuhan atau alga berfilamen yang menempel pada batu
yang dapat dianggap sebagai substrat pada habitat lotik. Larva Trichoptera
cenderung memilih substrat kasar sebagai respon terhadap derasnya arus air
daripada ukuran substrat (Mackay & Wiggins 1979).
Pemilihan substrat juga didasarkan pada mekanisme feeding larva
Trichoptera. Perilaku larva yang hidup di permukaan batu mungkin strategi untuk:
a). mendapatkan makanan berupa diatom, lumut, Cladophora dan Podostemum,
Trichoptera menjadi pupa di bagian bawah batu. Hal ini mungkin strategi dari
hewan tersebut pada saat musim panas yang rentan terhadap penurunan level air,
dan perlindungan dari predator seperti ikan. Spesies lain yang hidup pada substrat
yang lebih halus dapat beradaptasi dengan cara menggali lubang pada daerah yang
berarus lambat dan endapan sedimen. Larva sericostomatid genus Agarodes dan
Fattigia membuat liang yang portable dari bahan butiran pasir guna memberikan
perlindungan dan tidak menghambat untuk melakukan penggalian. Beberapa
spesies dari larva Sericostoma. tidak menggali liang dan tampak aktif di
permukaan kerikil hanya pada saat malam hari (Mackay & Wiggins 1979).
Tipe substrat dapat mempengaruhi kelimpahan larva Trichoptera, sehingga
secara langsung akan berpengaruh pada produktivitas sekundernya. Sebagai
contoh studi yang dilakukan oleh Jin & Ward (2007) pada larva Glossosoma
nigrior yang hidup di sungai kecil Collier USA menunjukkan pada habitat kerikil
mendukung kelimpahan dan biomassa G. nigrior secara substansial lebih besar
dibandingkan dengan habitat bed rock. Pada habitat kerikil dapat mencapai
rata-rata kelimpahan 147 m-2 (kisaran: 0-607 m-2) dibandingkan pada bed rock dengan
kelimpahan 15 m-2 (kisaran: 0-306 m-2). Rata-rata biomassa di habitat kerikil
mencapai rata-rata 13 mg (kisaran: 0-39 mg AFDM m-2) dibandingkan pada
bagian bed rock dengan rata-rata 3 mg, (kisaran: 0-22 mg AFDM m-2).
Produktivitas sekunder larva tersebut mencapai 115 mg AFDM m–2
Fenomena berbeda ditunjukkan pada dua larva hydropsychid yaitu
Parapsyche cardis dan Diplectrona modesta yang memiliki preferensi berbeda
terhadap substrat. Larva hydropsychid memiliki preferensi yang kuat terhadap
spesifikasi substrat antara lain ukuran partikel, kecepatan arus air, kelimpahan
lumut, dan lokasi mikro substrat. Larva Trichoptera yang bertipe penyaring
(filtering collector) relatif sensitif terhadap perubahan kualitas dan kuantitas
makanan di sepanjang hulu sungai sebagai akibat adanya gangguan di daerah
tangkapannya. Oleh sebab itu larva hydropsychid merupakan spesies yang cocok
untuk pengujian terhadap perbedaan diantara sungai, produksi, dan kelimpahan
dalam kaitannya dengan substrat yang spesifik. Produktivitas dan kelimpahan dari
P. cardis secara signifikan lebih tinggi pada rock face > cobble riffle > kerikil > dengan P/B =
pasir. Sedangkan distribusi D. modesta relatif sama diantara tipe substrat dan
kadangkala sifatnya tidak stabil (kelimpahan dan produktivitas kadang kala lebih
tinggi di cobble atau rock face) diantara sungai. Rendahnya kelimpahan dari D.
modesta pada bagian cobble mungkin disebabkan oleh rendahnya kelimpahan
lumut yang dapat berfungsi menyediakan cukupnya mikrohabitat bagi hewan
tersebut dibandingkan pada bagian rock face yang relatif tebal (Gurtz & Wallace
1986).
Ukuran partikel dari makanan diduga juga turut berpengaruh pada
kelimpahan dan pergeseran dari spesies larva hydropsychid, walaupun pengaruh
dari ukuran partikel itu sendiri hingga saat ini masih belum dapat dipahami secara
pasti. Sebagai contoh produktivitas dan kelimpahan larva Hydropsyche
menunjukkan lebih tinggi (2,5 g/m2/tahun dan 156 ind/m2) pada bagian hilir (1 km
setelah dam) dibandingkan dengan larva Cheumatopsyche yang jauh berlimpah
setelah di bawah Dam Upham Brook-Virginia (18,2 g/m2/tahun dan 2490 ind/m2
2.4. Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan Logam Berat.
).
Diduga meningkatnya pertumbuhan, kelimpahan, dan produktivitas dari larva
hydropsychid umumnya disebabkan oleh peningkatan makanan pada kolom air
berupa fitoplankton dan zooplankton. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dari
pori-pori lubang jaring hydropsychid dalam menyaring ukuran partikel yang
terhanyut pada kolom air yang semakin ke arah hilir semakin lebih kecil. Ukuran
pori-pori jaring larva Hydropsyche menunjukkan lebih besar dibandingkan dengan
larva Cheumatopsyche. Faktor lain yang turut mempengaruhi dalam distribusi
larva hydropsychid tersebut antara lain suhu, kecepatan arus, substrat, dan
interaksi biotik (Alexander & Smock 2005).
Logam merkuri termasuk dalam jenis logam yang sangat beracun dan
memiliki kemampuan untuk akumulasi pada makhluk hidup dan biomagnifikasi
pada rantai makanan. Unsur merkuri mudah menguap dan tidak mudah larut
dalam air, sehingga logam ini cenderung untuk menguap. Merkuri terdapat di
seluruh alam namun demikian distribusinya tidak merata. Kandungan merkuri
30 – 500 ppb, dan dalam batuan vulkanik antara 10-100 ppb (Keckes &
Mienttinen, 1972).
Toksisitas umumnya didefinisikan sebagai munculnya efek biologi yang
merugikan. Biasanya satu tingkat organisasi biologi saja yang dipilih dalam
mempelajari sebuah efek/pengaruh toksikan ke makhluk hidup. Toksisitas logam
di alam dapat berpengaruh pada seluruh tingkat organisasi biologi (seluler hingga
populasi). Toksisitas dapat melibatkan suatu reaksi penggantian dan kegagalan
interaksi dari suatu mekanisme yang lebih komplek. Gambar 6 memperlihatkan
urutan pengaruh toksisitas logam terhadap seluruh tingkatan organisasi biologi
dari paling rendah (seluler) hingga paling tinggi (populasi). Proses detoksifikasi
dan kompensasi terjadi pada masing-masing tingkat organisasi biologi. Efek
merugikan dari logam terjadi ketika mekanisme kompensasi dan detoksifikasi
berlebih pada pengaruh sekunder. Semakin besar pemaparan logam, maka
semakin panjang reaksi ke bagan bagian bawah yang akan diproses. Biasanya
reaksi kontaminasi logam spesifik paling mudah diidentifikasi pada tingkatan
organisasi biologinya yang paling rendah. Kompleksitas semakin tinggi mulai dari
bagan di bagian atas hingga bagan bagian bawah (Luoma 1995).
Konsentrasi merkuri anorganik yang menyebabkan toksisitas akut
terhadap biota avertebrata umumnya berkisar antara 5 hingga 5600 µg Hg/L, sedangkan terhadap ikan berkisar antara 150 hingga 900 µg Hg/L. Pada alga nilai LC50 pada 24 jam antara 9 hingga 27 µg Hg/L (CCME 2002). Toksisitas kronis
merkuri di avertebrata memiliki sensitivitas hampir sama dengan di ikan.
Konsentrasi merkuri anorganik yang dapat menimbulkan efek (Effect
concentration, EC50) pada avertebrata berkisar antara 1,28 sampai 12,0 µg Hg/L.
Tingkat organisasi biologi Pengaruh sekunder Pengaruh primer
Molekuler/biokimia (individu) Detoksifikasi Bioakumulasi - Lisosom
- Metallothionin
Detoksifikasi berlebih
Mengubah atau mengganggu proses biokimia
Fisiologi Detoksifikasi - Aklimatisasi
- Adaptasi siklus reproduksi
Kompensasi berlebih
Stress fisiologi - Lemahnya individu - Menghambat reproduksi - Mudah stress
Organisme (spesies) Detoksifikasi
- Kelulushidupan pada dewasa
Kompensasi berlebih
Individu tidak dapat lolos hidup atau reproduksi
Populasi Detoksifikasi - Rendahnya toleransi - Imigrasi
- Struktur umur
Kompensasi berlebih
Hilangnya spesies
Komunitas - Dominansi dan kelimpahan meningkat - Kekayaan taksa menurun
- Ekologi feeding berubah
Integritas ekologi menurun
[image:40.595.82.510.66.722.2]2.5 Kerangka Pemikiran
Masuknya beban polutan dari aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung
seperti bahan organik, logam merkuri, dan substansi lainnya dapat mempengaruhi
kualitas air dan kelayakan habitat bagi kehidupan biota akuatik. Penguraian bahan
organik berupa nutrien yang ada di perairan diperlukan guna pertumbuhan
perifiton dan seston (plankton) guna membentuk biomassa yang berfungsi sebagai
sumber makanan bagi larva Trichoptera. Kehidupan larva Trichoptera sangat
dipengaruhi oleh kualitas air, ketersediaan pakan (seston), perifiton, maupun
ketersediaan habitat (misalnya materi organik kasar/CPOM) yang berfungsi
sebagai sarang maupun sumber energi. Adanya interaksi dari empat komponen di
atas akan menentukan pola adaptasi dari larva Trichoptera yang dicirikan dari
struktur komunitas dan ekologi feedingnya.
Bentuk proses adaptasi dari struktur komunitas dan ekologi feeding dapat
dilihat dari jumlah kekayaan taksa (genus) dan komposisinya, sifat toleran atau
sensitivitasnya terhadap bahan polutan, atribut populasi, tipe kebiasaan feeding
dalam mendapatkan makanan, maupun suksesnya dalam bereproduksi atau
melanjutkan keturunan (produktivitas sekunder). Adanya pengelompokan stasiun
pengamatan dan karakterisasi spesies indikator sepanjang gradien lingkungan
dapat dibuat suatu biokriteria lokal yang didasarkan pada konsep multimetrik
guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung. Biokriteria
yang baru dihasilkan diharapkan mampu digunakan untuk evaluasi suksesnya
program pengelolaan Sungai Ciliwung yang telah dilakukan. Diagram alir
pendekatan dalam proses pemecahan masalah pada penelitian ini secara rinci
III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode/Desain Penelitian
Desain penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan survei
post facto. Dasar sistematik penelitian adalah keterkaitan antara masukan bahan
organik dan logam berat merkuri di Sungai Ciliwung dengan struktur komunitas
dan produktivitas sekunder larva Trichoptera.
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam waktu delapan bulan (Oktober 2010-Mei
2011) yang mengambil lokasi di beberapa titik dari ruas Sungai Ciliwung. Waktu
pengambilan sampel dilakukan setiap akhir bulan (tanggal 29 atau 30) dan
diusahakan ketika debit air sungai relatif rendah (tidak hujan). Lokasi sampling
ditetapkan secara purposive yang didasarkan pada pertimbangan beban dan
sumber pencemar yang masuk pada masing-masing stasiun. Pengamatan mulai
dari site/situs yang sedikit mengalami gangguan (reference site/ situs rujukan)
hingga situs yang sudah diprediksi telah mengalami gangguan sedang atau berat
(test site/ situs uji). Pemilihan lokasi sampling juga didasarkan pada pertimbangan
kesamaan kondisi ekoregion yang masih termasuk dalam gradien tinggi dan
banyaknya substrat batuan yang tertanam di dasar sungai. Secara teknis di
lapangan, sungai yang masih termasuk dalam gradien tinggi ditetapkan dari
persentase keberadaan batuan cobble (Ф 64-256 mm) di dasar sungai lebih dari
30% dan kecepatan arus lebih dari 0,5 m/detik (Komunikasi pribadi: Michael T.
Barbour, 2004, Tetra Tech Inc, Owings Mills, Madison, USA). Faktor kedalaman
sungai yang masih ± 50 cm juga turut memudahkan saat pengambilan sampel
dengan menggunakan alat jala surber.
Lokasi yang digunakan selama penelitian dalam menyusun biokriteria
maupun produktivitas sekunder larva Trichoptera adalah:
1. Stasiun Gunung Mas yang terdiri dari dua situspengamatan(St. 1 dan 2) yang
berfungsi sebagai situs rujukan pada bagian hulu dengan kondisi habitat yang
2. Stasiun Kampung Pensiunan (St. 3) mewakili daerah yang sudah mengalami
gangguan oleh aktifitas perkebunan teh.
3. Stasiun Kampung Jog-jogan (St. 4) mewakili daerah dari adanya aktivitas
pertanian, pemukinan penduduk, dan perkebunan.
4. Stasiun Katulampa (St. 5) mewakili daerah dari adanya aktivitas pemukimam
penduduk, perkotaan, maupun penambangan batu.
5. Stasiun Cibinong (St. 6) mewakili daerah dengan sumber pencemar yang relatif
lebih kompleks (limbah domestik, perkotaan dan industri).
[image:45.595.74.488.0.812.2]Titik koordinat dan peta lokasi pengambilan sampel secara rinci disajikan pada