• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi Psikosis dalam Cerpen Karya Guy de Maupassant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Refleksi Psikosis dalam Cerpen Karya Guy de Maupassant"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

REFLEKSI PSIKOSIS DALAM KARYA GUY DE MAUPASSANT

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun Oleh :

Nama

:

Novi

Wijayanti

NIM

:

2301401035

Program Studi

: S1

Jurusan

: Pendidikan Bahasa Prancis

Fakultas :

FBS

▸ Baca selengkapnya: penokohan dalam cerpen tanah air karya martin aleida

(2)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan sidang panitia ujian skripsi

Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang pada:

Hari

:

Tanggal

:

Panitia Ujian

Ketua,

Sekretaris,

Prof.

Dr.

Rustono

Drs.

Sudarwoto,

M.

Pd

NIP.131

281

222

NIP.131

281

217

Penguji I,

Dra. Diah Vitri W, DEA

NIP. 131 813 669

Penguji II/ Pembimbing II

Penguji III/ Pembimbing I

Suluh Edhi Wibowo, S.S

Dr. D. Yahya Khan, M.Pd

(3)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama

: Novi Wijayanti

NIM

:

2301401035

Prodi/ Jurusan : Pendidikan Bahasa Prancis S1/ Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas

Bahasa dan Seni. Skripsi berjudul ‘Refleksi Psikosis dalam Karya Guy de

Maupassant’ saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana ini benar-benar merupakan karya sendiri. Skripsi ini saya hasilkan

setelah melalui proses penelitian, pembimbingan, diskusi, dan pemaparan/ ujian.

Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung, maupun sumber lainnya, telah

disertai identitas sumbernya dengan cara sebagaimana yang lazim dalam penulisan

karya ilmiah. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini

membubuhkan tanda tangan sebagai keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini tetap

menjadi tanggung jawab saya sendiri. Jika kemudian ditemukan ketidakberesan, saya

bersedia menerima akibatnya.

Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.

Semarang,

2006

Yang membuat pernyataan

(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah

keadaan yang ada pada diri sendiri ” (Ar Ra’d:11)

“Jadilah kamu sekalian pemerhati-pemerhati ilmu, bukan sekedar

penyampai-penyampai ilmu” (Al Hadits)

“Meninggalkan maksiat adalah perjuangan, sedangkan keengganan meninggalkannya

adalah pengingkaran” (DR. Aidh al-Qarni)

Persembahan :

(5)

v

PRAKATA

Luapan rasa syukur hanya layak teruntuk Allah SWT, Sang Pemberi Rahmat

dan Nikmat yang tak terbalas oleh apapun sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan

yang sangat berarti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Pembimbing I, Dr. D.Yahya Khan, M.Pd dan pembimbing II, Suluh Edhi

Wibowo, S.S yang telah memberikan arahan, ilmu dan bimbingan serta

meluangkan waktu mendiskusikan persoalan yang berkaitan dengan skripsi ini

hingga terselesaikannya skripsi ini;

2. Penguji I, Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA terima kasih atas saran-saran yang

telah diberikan demi kesempurnaan skripsi ini;

3. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing dan Dekan Fakultas Bahasa dan Seni

yang telah memberi izin dan kemudahan kepada penulis dalam menyusun skripsi

ini;

4. Para dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah berbagi ilmu,

pengetahuan, dan pengalaman kepada penulis;

5. Kedua orang tuaku terkasih dan kakak-kakakku tersayang serta para keponakan

yang senantiasa menemani langkahku dengan doa yang tiada akhir;

6. Keluarga besar Pesma Qolbun Salim, TKIT Mutiara Hati, saudara seperjuangan

(6)

vi

mendo’akanku dalam

rabithah

. Teman-teman sejati dalam roda dakwah dan

universitas kehidupan: SunMoMoers, Liqoers, para murabbi, generasi Lire

Kaiwa, aku bangga mengenal pribadi-pribadi seperti

Antum

7. Teman-teman angkatan 2001 dan adik-adik BSA tempat berbagi kasih, ilmu dan

cerita;

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Betapa bantuan kalian sangat berarti.

Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan lindungan-Nya kepada

pihak-pihak tersebut dan membalasnya dengan yang lebih baik.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya

pencinta karya sastra.

Semarang, ………..2006

(7)

vii

SARI

Wijayanti, Novi. 2006. Refleksi Psikosis dalam Cerpen Karya Guy de

Maupassant

.

Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan

Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: 1. Dr. Djaswadi Yahya

Khan, M.Pd, 2. Suluh Edhi Wibowo, S.S

Kunci : Psikosis

Karya Guy de Maupassant dalam cerpen

Le Horla

dan

Qui Sait ?

merupakan

karya sastra yang menceritakan tentang penyakit psikosis (gangguan kejiwaan akut).

Berawal dari riwayat hidup pengarang yang senantiasa dilanda ketakutan, kecemasan

dan bayangan kegilaan serta pengalamannya sebagai penderita psikosis, maka Guy de

Maupassant banyak mengangkat psikosis dalam karya yang dihasilkan terutama di

akhir kehidupannya. Dalam karya sastra tersebut ada pengaruh psikosis pengarang

terhadap karya sastra yang diciptakan. Berdasarkan hal inilah peneliti tertarik untuk

mengkajinya lebih lanjut.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan tokoh utama dalam

karya Guy de Maupassant dan fenomena psikosis yang terdapat di dalamnya serta

menemukan hubungan antara gejala psikosis dalam karya Guy de Maupassant dengan

psikosis yang diderita oleh Guy de Maupassant. Penelitian ini menggunakan

pendekatan psikologi sastra. Korpus data penelitian ini adalah cerpen

Le Horla

dan

Qui Sait?

, riwayat kehidupan pengarang, dan psikosis yang melanda Guy de

Maupassant. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi

pustaka dan dokumentasi. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dan

mendeskripsikan permasalahan yang ada dalam teks karya sastra tersebut.

Simpulan akhir penelitian ini adalah adanya kemiripan karakter, kepribadian,

kebiasaan maupun status sosial tokoh utama dalam cerpen

Le Horla

dan

Qui Sait

serta hubungan psikosis

Guy de Maupassant yang direfleksikan dalam cerpen

Le

Horla

dan

Qui Sait?

. Potret psikosis dalam kedua cerpen tersebut merupakan potret

psikosis pengarang. Latar kehidupan pengarang sebagai penderita psikosis

berpengaruh dalam bentuk dan tema karyanya. Kenyataan ini semakin meneguhkan

bahwa karya sastra berperan sebagai ekspresi pemikiran dan kejiwaan pengarang

dalam menghasilkan karya sastra.

(8)

viii

RÉSUMÉ

Wijayanti, Novi. 2006. Réflexion du Psychose dans Les Oeuvres de Guy de

Maupassant

.

Le mémoire. Département des Langues et des Littératures

Étrangères, programme d’étude de l’enseignement du Français, Faculté des

Langues et des Arts, Université d’État de Semarang. Directeurs: 1. Dr.

Djaswadi Yahya Khan, M.Pd, 2. Suluh Edhi Wibowo, S.S.

Mot clé: Psychose, Psychologie

A. Introduction

La France a une longue histoire de la littérature et depuis des siècles, ce pays

donne son appréciation sur les belles-lettres. La littérature se caracterise selon

l’époque, le genre, ou bien la tendance. La littérature du Moyen Age, du 16

è

, du 17

è

,

du 18

è

, du 19

è

et du 20

è

siècle appartiennent à la catégorie qui est fondée sur

l’époque.

La littérature du 19

è

siècle a sa propre particularité. Husen (1999:102) dit

qu’on appelle ce siècle: le mal du siècle, la vague des passions, le spleen, le dégoût

décadent ou le dandysme, parce qu’il y avait beaucoup de thèmes du malaise, de

l’horreur surnaturel, et de la folie. Ces thèmes font partie de la psychologie.

Selon Rokhman (2003: 43-47), la littérature n’est pas autonome. Dans

l’histoire de la littérature du 19

è

siècle, on utilise le mécanisme psychologique pour

expliquer la relation entre l’homme et la littérature. Pour cela on a déjà fait l’analyse

sur les textes de Poe et Baudelaire.

A part Poe et Baudelaire, l’écrivain qui a écrit sur l’angoisse et la folie est

Guy de Maupassant. Subissant la syphilis et la predisposition familiale à la folie,

(9)

ix

mentale et il a consommé de l’haschich en 1880. Les critiques disent que ses œuvres

psychologiques anormaux dont le thème parle d’un trouble mental sont ses œuvres

semi-autobiographiques (

Http://www.online.litterature.com/Maupassant).

Les œuvres qui parle du psychose sont

Le Horla (1887)

et

Qui Sait ? (1890).

Les raisons de ce choix sont ceci:

1.

Il y a beaucoup de phénomènes psycotiques dans

Le Horla (1887)

et

Qui

Sait?

2.

Le Horla (1887)

est une nouvelle spectaculaire (chef d’œuvre) qui a été écrite

quand il soignait son frère, Hervé, à l’asile des fous de Charenton. Il avait

lui-même le syphilis, consommait de l’haschich et de l’éther.

3.

Qui Sait ?

a été écrit aux dernières années de sa vie quand son hallucination

se développait grièvement.

Le Horla (1887)

et

Qui Sait ?

contiennent des activités psychiques, alors

l’approche de la recherche convenable est la psychologie de la littérature.

Le but de cette recherche est de décrire le personnage du hero principale de

Le

Horla (1887)

et celui de

Qui Sait ?

, de decrire des symtômes psycotiques dans

Le

Horla (1887)

et

Qui Sait ?

et de trouver la relation entre le psychose dans

Le Horla

(1887)

et

Qui Sait ?

et le psychose de l’écrivain

.

Je commence par l’analyse du

personnage, ayant le psychose dans le texte, et la relation entre le psychose des

(10)

x

B. Psychose

Selon Chaplin (2004:407), psychose est une maladie mentale serieuse dont les

caractèristiques particulières sont la désorganisation de la pensée, le trouble de

l’émotion, la désorientation (d’endroit, de temps, de personne), l’hallucination et la

délusion. Il y a quelques types de psychose, ce sont: le psychose manic-dépressive, le

paranoïa, la paralysie, la schizophrénie, et le psychose alcoolique.

C. Psychologie de la Littérature

D’après Endraswara (2003:96), les bases de la recherche de la psychologie

sont: 1) une opinion disant que la littérature est un produit de pensée et de

psychologie de l’écrivain, 2) la recherche n’examine pas seulement des personnages

principaux psychiquement, mais aussi les aspects de la pensée et le sentiment de

l’écrivain quand il a créé son œuvre. Alors, on pourra psychologiquement analyser

des œuvres littéraire, et la personnalité de l’écrivain se réflète dans la psychologie de

son œuvre.

D. Relation Entre La Littérature et Le Psychanalyse

Selon Freud (dans Wellek et Warren, 1990:92), le psychanalyse stimule

“l’état de l’âme” de l’écrivain à créer l’idée du recit.

Ratna (2004:345) dit qu’on utilise le psychanalyse pour révéler des

phénomènes psychologique de l’autre côté de phénomènes de la langue, parce que la

langue littéraire est l’expression psychique de l’écrivain qui décrit son emotion et son

(11)

xi

E. Personnage

D’après Suharianto (1980:31), personnalisation est une description de héro

physiquement et moralement, sous forme de la vision de la vie, de l’attitude, de la

conviction, et des habitudes.

F. Histoire de La Santé Psychique de Guy de Maupassant

À cause du syphilis et de l’abus des drogues, Maupassant commençait à être

troublé mentalement dès 1878. Petit à petit, une profonde malaise s’est insinue dans

sa vie: ses névralgies du jeune homme, plus violentes, ont dégénéré, sous les excès

du travail et ceux de la “belle vie”, en hallucination. Hanté par l’idée de la mort,

obsédé par un “double” mystérieux et il s’enfonçait progressivement dans la folie. Il a

été est interné dans l’asile des fous du Docteur Blanche après un suicide manqué en

1891.

G. Méthode de Recherche

Cette recherche utilise une approche de la psychologie de la littérature . La

technique de la recherche est celle de bibliographie. On l’utilise pour trouver des

informations sur l’attitude anormal comme symtômes psycotique dans

Le Horla

(1887)

et dans

Qui Sait ?

H. Analyse

Dans

Le Horla (1887)

et

Qui Sait ?

, j’ai trouvé les personnages du hero de

ces nouvelles, ce sont:

(12)

xii

Dans

Le Horla (1887)

et

Qui Sait ?

, j’ai trouvé quelques manifestations

psycotique.

a.

Dans

Le Horla (1887)

: l’hallucination audio-visuelle, la désorientation d’un

endroit, la folie de la persécution, des cauchemars, l’insomnie, la peur et

l’angoisse sans raison et l’oscillation de l’émotion.

b.

Dans

Qui Sait ?

: l‘isolation, l’hallucination audio-visuelle, et la peur

excessive.

La relation entre la psychose du héro de

Le Horla (1887)

et celui de

Qui Sait ?

et l’histoire de la santé psychique de l’écrivain, sont:

a.

Guy de Maupassant avait aussi des hallucinations, des cauchemars,

l’insomnie, etc.

b.

Le héro de

Le Horla (1887)

et celui de

Qui Sait ?

et Guy de Maupassant

faisaient souvent des excursions ailleurs pour reduire sa tension nerveuse.

I. Conclusion

Cette recherche montre que:

a. il y a une relation entre la psychose du héro de

Le Horla

et celui de

Qui

Sait ?

et le trouble mentale de l’écrivain,

b. l’imagination, la connaissance, et l’expérience personnelle provoquent Guy

de Maupassant à les mettre dans la forme littéraire,

c. il y a des ressemblances de caractères, de coutumes, de personnalités et même

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN ………...…... ii

HALAMAN PERNYATAAN………... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN. ………...……... iv

PRAKATA ...……….………... v

SARI………...vii

RESUME………... viii

DAFTAR ISI ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xvi

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ………...1

B.

Rumusan Masalah……….……... 9

C.

Tujuan Penelitian ………...10

D.

Manfaat Penelitian ………...10

E.

Sistematika Penelitian………...10

BAB II LANDASAN TEORI

A. Psikosis …….. ………..12

(14)

xiv

C. Hubungan Sastra dan Psikoanalisa ………

D. Penokohan ……….

E. Riwayat Hidup Guy de Maupassant ……….... 26

BAB III METODE PENELITIAN

A. Sasaran Penelitian ………... 31

B. Pendekatan Penelitian ………. 31

C. Teknik Analisa Data………. 32

D. Teknik Pengumpulan Data ………. .….. 32

E. Langkah Kerja ………..

BAB IV ANALISIS KORPUS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Penokohan

A.1 Analisis Penokohan dalam Cerpen

Le Horla

A.2 Analisis Penokohan dalam Cerpen

Qui Sait ?

B. Analisis Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant

B.1 Analisis Psikosis dalam Cerpen

Le Horla

B.2 Analisis Psikosis dalam Cerpen

Qui Sait ?

C. Hubungan Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant

dengan Riwayat Kesehatan Pengarang

(15)

xv

BAB V PENUTUP

A. Simpulan………...72

B. Saran……….73

DAFTAR

PUSTAKA

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Sinopsis cerpen

Le Horla

karya Guy de Maupassant

2.

Sinopsis cerpen

Qui Sait ?

karya Guy de Maupassant

3.

Korpus data

Le Horla

(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak dikenalnya tulisan, manusia mulai menorehkan hasil akal budinya

dengan untaian kata-kata tertulis. Di antara karya tertulis yang dihasilkan salah

satunya adalah seni sastra. Driyarkara dalam Taum (1997:9) menyatakan bahwa

seni sastra merupakan sebuah sebuah cabang kebudayaan manusia yang paling

tua, yang mendahului cabang-abang kebudayaan lainnya.

Menurut Taum (1997:11), istilah sastra dalam bahasa-bahasa Barat secara

etimologis diturunkan dari bahasa Latin littera ‘huruf atau karya tulis’. Istilah itu

dipakai untuk menyebut tata bahasa dan puisi. Istilah Inggris literature, istilah

Jerman literatur, dan istilah Prancis littérature berarti segala macam pemakaian

bahasa dalam bentuk tertulis. Untuk menghindari kerancuan pengetahuan tentang

sastra, dalam bahasa Prancis menggunakan istilah belles lettres (yang berarti:

tulisan yang indah dan sopan) sebagai istilah khas untuk menyebut karya sastra

yang bernilai estetik

Sumardjo dan Saini K.M. (1993:8) menyatakan sastra sebagai ungkapan

pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat

keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona

dengan alat bahasa. Sementara Lefévère dalam Taum (1997: 15) menyatakan

sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal

(23)

2

Gagasan tersebut berfungsi ganda yakni, mengkomunikasikan kenikmatan estetik

(esthetic enjoyment) dan membuat manusia pembacanya melihat kehidupan

sendiri dalam perspektif bentuk hidup lain.

Adapun produk sastra yaitu berbagai jenis sastra yang dihasilkan.

Suharianto (1982:14) menyatakan karya sastra sebagai pengungkapan hidup dan

kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta

dukungan pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut.

Kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya menjadi bahan yang

menarik untuk dituangkan dalam karya sastra. Sebuah momentum bersejarah yang

mengakibatkan perubahan paling besar dalam kehidupan masyarakat Prancis

adalah Revolusi Prancis yang terjadi pada tanggal 14 Juli 1789. Pada masa itu

terjadi goncangan peristiwa baik politik maupun sosial yang turut mengubah cara

pandang masyarakat terhadap banyak hal, di antaranya adalah agama,

pemerintahan, konsep kesetaraan, kebebasan, termasuk juga dalam bidang sastra.

Husen (2001: 101-102) mengatakan, bahwa kesusastraan Prancis abad XIX

merekam gaungnya melalui beberapa aliran dan berbagai bentuk karya sastra.

Aliran yang berkembang di antaranya adalah; romantisme, formalisme,

simbolisme, realisme dan naturalisme. Para pengarang gemar menulis masalah

sosial sosial khususnya kehidupan masyarakat kelas bawah. Selain tema sejarah

dan sosial, pada abad XIX ditampilkan juga tema kegelisahan (malaise) yang

diberi nama mal du siècle ’penyakit zaman’, vague des passions ‘gelombang

gairah’, spleen ‘kesedihan’, dégoût decadent ‘kebosanan parah’, atau muncul

(24)

3

Husen (2001:101) menyebutkan, bahwa secara politis, para pengarang

terbagi dalam klan monarkis dan liberal. Namun, keduanya menuntut hak yang

sama: kebabasan menulis, kebebasan pers, dan peningkatan peranan pengarang di

masyarakat. Berpegang pada konsep individualitas dan kebebasan, serta yakin

bahwa pengarang mempunyai misi, mereka mengambil bagian dalam mesyarakat

yang menunjang perkembangan kesusastraan, khususnya dan gagasan

sosial-politik, spiritual, keagamaan pada umumnya.

Sastra selanjutnya berlomba mentransgresikan dirinya pada ruang

abnormal dan menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam kesadaran

masyarakat. Lahirnya sastra modern yang tumbuh di tengah kemapanan bahasa

yang sudah ada dan pola linguistik yang kaku mengubah anggapan bahwa ciri

khas sastra adalah bahasa yang indah. Hal ini bisa dilihat dalam karya Marquis de

Sade. “Fenomena Sade”: sadisme dan seksualitas dieksplorasi dan dipertontonkan

habis-habisan (Taum, 1997:12). Kemudian tema-tema horor-supranatural,

kecemasan dan kegilaan yang merambah pada perilaku abnormal manusia mulai

muncul.

Rincé dan Lecherbonnier (1986: 487) mengenalkan seorang cerpenis

Rusia abad XIX, Nicolas Gogol (1809-1852) yang menderita psikosis (penyakit

mental) akut menulis Le Journal d’Un Fou (1834) yang berisi harian pribadi

seorang pegawai negeri di Saint-Petersbourg yang mengalami halusinasi sedikit

demi sedikit. Pada akhir cerita, ia menganggap dirinya sebagai Raja Spanyol,

mengalami disorientasi tempat dan waktu dan akhirnya ia tidak tahan karena

(25)

4

Safitri (2005:3) menyatakan bahwa perilaku abnormal manusia yang ada

dalam realitas kehidupan membuka kemungkinan akan terefleksinya dalam karya

sastra. Refleksi ini terwujud berkat tiruan dan gabungan imajinasi pengarang

terhadap realitas kehidupan atau realitas alam.

Seperti yang diungkapkan Fanani (2000:111) bahwa karya sastra

merupakan tiruan (mimesis) dari unsur-unsur kehidupan nyata yang ada. Dapat

dikatakan pula bahwa karya sastra mampu merekam masalah-masalah yang

sedang bergejolak dan berkembang di masyarakat. Pengarang mengajak pembaca

untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna pengalaman hidup seperti yang

dirasakan pengarang melalui karyanya.

Safitri menambahkan (2005:5) bahwa kemiripan karya sastra dengan

realita dapat dipandang dari penokohannya. Penokohan dapat dilihat melalui

pelukisan tokoh-tokoh secara fisik dan terutama psikis. Karya sastra yang

dipandang dari segi psikis berkaitan erat dengan bidang psikologi.

Rokhman dkk (2003:43-47) menjelaskan, bahwa dalam sejarah

kesusastraan abad XIX, mekanisme psikologi sudah dipergunakan untuk

menjelaskan hubungan manusia dan karya sastra. Perdebatan seru sempat muncul

manakala psikologi memasuki ranah sastra, khususnya saat psikoanalisis mulai

memeriksa karya sastra sebagai objek penelitiannya. Semenjak Freud, dan

dilanjutkan Lacan, mulai menguji validitas teori l’inconscience-nya

‘ketidaksadaran’ yang ditemukan dalam sastra, di kemudian hari pendekatan

psikoanalisis memiliki peluang signifikan. Psikokritik yang telah dikerjakan

(26)

5

Pada dasarnya psikosastra dibangun atas dasar asumsi genesis dalam

kaitannya dengan asal-usul karya sastra. Psikosastra dianalisis dalam kaitannya

dengan aspek kejiwaan pengarang (Ratna, 2004:102). Gejolak jiwa pengarang

menjadi pendorong dan berpengaruh terhadap munculnya sebuah karya sastra.

Endraswara (2003:102) menyatakan bahwa kepribadian seorang pengarang

tampak juga dalam kejiwaan karyanya karena karya sastra menjadi “objek”

ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya.

Kondisi kejiwaan seorang seniman sangat berpengaruh pada hasil karya

yang dihasilkan. Seorang dokter psikiatri Jerman, Hans Prinzhorn mengoleksi

karya seni yang dibuat pasien mental. Karya lukis tersebut mengilustrasikan

halusinasi dan fantasi paranoid yang banyak diderita oleh para pasien skizofrenik

(Atkinson 1983:452). Seperti halnya seni lukis, proses menulis sastra pun tidak

lepas dari unsur keadaan psikologis, ekspresi, kesadaran dan ketaksadaran jiwa.

Tema horor, kecemasan dan kegilaan pun berkembang pada kesusastraan

abad XIX. Berbicara tentang sastrawan abad XIX tidak akan lepas dari nama

Gustave Flaubert, Émile Zola, Charles Baudelaire, Honore de Balzac dan

sebagainya. Masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri. Jika Zola terkenal

sebagai novelis, Baudelaire sebagai penyair, maka Maupassant adalah salah satu

dari tiga raja cerpen dunia sejajar dengan O. Henry dan Anton Chekov. Di luar

Prancis, banyak sastrawan yang menaruh perhatian padanya di antaranya adalah

Henry James dan Leo Tolstoy. James menjuluki cerpenis produktif ini “Singa

Jalanan” (Lion in the path), sedangkan Tolstoy menyebutnya “a genius” (Siregar

(27)

6

Karya-karya horor Maupassant dengan imajinasi yang mengerikan sering

dibandingkan dengan karya supranatural Edgar Allan Poe. Horor fiksinya terdiri

dari tigapuluh sembilan cerita, namun hanya sepuluh yang berhasil

diselesaikannya. Para kritikus menilai bahwa karyanya yang bersifat psikologi

abnormal dengan tema gangguan jiwa adalah karya semi-otobiografi

(Http://www.online.litterature.com/Maupassant). Gejala psikosis (penyakit mental

parah) tercermin dalam beberapa karyanya di antaranya adalah La Peur ‘Rasa

Takut’, yang berkisah tentang seorang paranoid yang selalu dihantui mimpi buruk.

Narator merasa dipaksa untuk berjalan-jalan.

Karya horor Maupassant bertema kegilaan yang menjadi masterpiece

adalah Le Horla. Le Horla ditulis dalam dua versi.

« …la première version du recit, publiée en 1886, est un conte fantastique,

la seconde publiée l’année suivante, un conte psycotique… »

(http://www.keepschool.com)

« …Versi yang pertama diterbitkan tahun 1886 adalah dongeng fantastis, cerita kedua yang diterbitkan setahun kemudian adalah sebuah dongeng psikotis… »

Kedua versi sama-sama bertema tentang kegilaan yang membedakan

adalah sudut pandang dan keobjektifan penceritaan. Versi pertama menggunakan

orang ketiga tunggal yang bercerita pada para dokter tentang hal-hal aneh yang

dialaminya. Para dokter tidak tahu lagi yang dipikirkan dari pengakuan tersebut

dan akhirnya memutuskan bahwa pasien telah gila.

Le Horla versi kedua (1887) diformat dalam bentuk buku harian yang

bercerita tentang hari-hari seorang penderita psikosis yang merasa akan ‘dimakan’

(28)

7

menurut pendengarannya menamakan diri sebagai Le Horla. Le Horla adalah

sejenis vampir yang menghisap kekuatan vital manusia yang ia ‘mangsa’. Tokoh

utama Le Horla digambarkan sebagai tokoh paranoid.

Le caractère paranoïaque du personage, qui se croit obligé de brûler sa maison, puis de se suicider, pour venir à bout du Horla, indique plutôt les signes d’une maladie mentale, dont le héro n’est pas concient : une psychose (http://www.keepschool.com).

Karakter paranoid tokoh utama yang yakin dirinya diperintah untuk

membakar rumahnya dan kemudian bunuh diri untuk melenyapkan Le

Horla, yang tokohnya dalam keadaan tidak sadar, mengindikasikan tanda-tanda penyakit mental, yaitu psikosis.

« …au personnage de Guy de Maupassant, dans récit Le Horla, pris dans un féroce face-à-face avec la schizophrénie ». (http://wwwcvm.qc.ca.ca)

« …tokoh Guy de Maupassant, dalam cerpen Le Horla, menjadi beringas saat berhadapan dengan penyakit skizofrenia »

Cerpen lain yang bertema tentang psikosis adalah Qui Sait ?. Karya ini

ditulis tahun 1890, saat Maupassant menderita gangguan jiwa serius. Qui Sait?

bercerita tentang seorang pria penyendiri yang mengalami halusinasi tentang

furnitur dalam rumahnya yang berpindah sendiri.

Le Horla (1887) dan Qui Sait ? sangat menarik untuk diteliti karena di samping

Le Horla adalah karya masterpiece yang bercerita tentang kehidupan

penderita psikosis, Le Horla juga ditulis oleh de Maupassant yang saat itu tengah

merawat adiknya, Hervé de Maupassant, yang terganggu jiwanya. Ia sendiri

dalam keadaan sakit akibat infeksi sifilis, kecanduan ganja dan eter dan penyakit

(29)

8

adpf.asso.fr). Sedangkan Qui Sait ? ditulis saat halusinasi yang dideritanya

berkembang semakin parah (Http://www.cvm.qc.ca/ enchephi/syllabus/litterature/

19e/fantastique.htm).

Hal-hal di luar karya sastra (unsur ekstrinsik) perlu diperhatikan dalam

menganalisis sebuah karya sastra. Oleh karena cerpen Le Horla dan Qui Sait ?

berisi aktivitas kejiwaan, maka pendekatan yang paling sesuai untuk cerpen

tersebut adalah psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra mengacu pada

psikoanalisis yang membahas tentang keadaan jiwa pencipta yang mendorong

munculnya ide teks sastra. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap gejala

psikosis Guy de Maupassant yang terefleksi dalam cerpen Le Horla dan Qui

Sait?.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dibahas adalah:

1. Bagaimanakan gambaran penokohan tokoh utama dalam cerpen Le Horla

dan Qui Sait ? karya Guy de Maupassant ?

2. Bagaimana gambaran psikosis yang terdapat dalam cerpen Le Horla dan

Qui Sait ? karya Guy de Maupassant ?

3. Adakah hubungan antara psikosis pengarang dengan gejala psikosis dalam

(30)

9

C. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan penokohan tokoh utama dalam cerpen Le Horla dan Qui

Sait ? karya Guy de Maupassant.

2. Mendeskripsikan gejala psikosis dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ?

karya Guy de Maupassant

3. Menemukan hubungan psikosis pengarang yang terefleksi dalam cerpen

Le Horla dan Qui Sait ?.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Menambah khazanah penelitian di bidang sastra khususnya di jurusan

Bahasa dan Sastra Asing.

2. Meningkatkan motivasi dan apresiasi mahasiswa terhadap karya sastra

Prancis melalui studi atau analisis sastra beserta unsur-unsur

pembangunnya.

3. Memberi informasi pada pembaca tentang psikosis.

E. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan skripsi yang berjudul Refleksi Psikosis dalam Karya

Guy de Maupassant ini terdiri dari lima bab, sistematikanya adalah sebagai

(31)

10

Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang berisi latar belakang

masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika

skripsi.

Bab kedua memuat landasan teori. Landasan teori dalam penelitan ini

berisi tentang pengertian psikosis, psikologi sastra, hubungan sastra dan

psikoanalisa, penokohan dan biografi pengarang.

Bab ketiga berisi tentang metode penelitian yang mencakup sasaran,

pendekatan penelitian, teknik analisis korpus data, teknik pengumpulan data, dan

langkah kerja.

Bab keempat berisi tentang hasil penelitian yang mencakup penokohan

tokoh utama, gejala psikosis dan psikosis pengarang dalam cerpen Le Horla dan

Qui Sait ?.

Bab kelima merupakan simpulan dari pembahasan yang dilengkapi dengan

(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Psikosis

1. Pengertian

Istilah psikosis (psychosis) pertama kali digunakan pada tahun 1845 oleh

Ernst Von Feuchtersleben sebagai alternatif untuk menyatakan penyakit gila atau

keranjingan. Psikosis berasal dari bahasa Yunani psyche (pikiran/ jiwa) dan osis

(penyakit/ keadaan tidak normal). Kata ini digunakan untuk membedakan antara

gangguan jiwa dengan neurosis yang berasal dari gangguan syaraf. Psikosis sering

digambarkan sebagai hilangnya hubungan dengan kenyataan

(http://www.en.wikipedia.org/wiki/etymology).

Chaplin (2005:407) mendefinisikan psikosis sebagai suatu penyakit mental

yang parah dengan ciri-ciri khas adanya disorganisasi proses pikiran, gangguan

dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang, person atau orang, dan pada

beberapa kasus disertai halusinasi dan delusi.

Atkinson (1993:452) mendefinisikan halusinasi sebagai pengalaman

sensorik palsu tanpa adanya stimulus eksternal yang relevan atau adekuat.

Bentuknya bisa berupa halusinasi auditorik (dengar), visual (lihat), maupun

halusinasi sensorik lain (bau busuk yang keluar dari tubuh penderita, rasa racun

dalam makanan, merasa kulit ditusuk-tusuk jarum). Walgito (1980: 99)

menambahkan pada orang yang berhalusinasi, ia merasa seolah-olah menerima

suatu stimulus yang sebenarnya secara objektif stimulus itu tidak ada dan ia tidak

(33)

12

Menurut Chaplin (2005:407) ada beberapa tipe khusus psikosis, antara

lain: manic-depressive psychosis, paranoia, schizophrenia, paresis dan alcoholic

psychosis. Adapun penjelasan dari masing-masing istilah adalah sebagai berikut:

a. Manic-Depressive Psychosis (Psikosis Manik Depresif)

Manic-Depressive Psychosis adalah satu penyakit mental yang berat,

dicirikan dengan ayunan-ayunan dalam emosi atau suasana hati. Dalam fase

manik, timbul hyperexitability (rangsangan kegemparan yang hebat dan

berlebihan), kegirangan ekstrem, perbuatan motorik berlebihan, dan mengalirnya

arus ide-ide. Dalam fase depresif, sedikit sekali kegiatan, ketidaktanggapan,

perlambatan, hambatan ide, kecemasan, kesedihan, dan kadangkala impuls bunuh

diri. Dalam bentuk klasiknya, penyakit ini merupakan perselang-selingan antara

kedua fase tadi. Pasien mungkin memperlihatkan periode depresi dengan

sebentar-sebentar diselingi periode mania dengan disertai keringanan relatif.

b. Paranoia

Paranoia adalah satu penyakit psikotik yang dicirikan dengan adanya

delusi penyiksaan (delusion of persecution) atau delusi kebesaran (delusion of

grandeur) yang sangat tersistemasi dengan kemerosotan jiwa yang ringan. Dalam

PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, Edisi III) ada

beberapa tambahan yaitu: ‘delusion of control’, delusi tentang dirinya

dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar, ‘delusion of influence’,

waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar dan ‘delusion of

perception’, pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas

(34)

13

c. Paresis

Paresis adalah satu psikosis disertai kelumpuhan progresif. Paresis

disebabkan oleh sifilis dari sistem syaraf.

d. Schizophrenia (Skizorenia)

Schizophrenia adalah nama umum untuk sekelompok reaksi psikotis,

dicirikan dengan adanya pengunduran atau pengurungan diri, gangguan pada

kehidupan emosional, afektif dan bergantung pada tipe dan adanya halusinasi,

delusi, tingkah laku, negativistis dan kemunduran atau kerusakan progresif.

Atkinson (1983:452) menyebutkan pada episode skizofrenik akut, sebagian pasien

mengalami gangguan persepsi yaitu tidak dapat mengenali diri sendiri di cermin

atau melihat bayangannya sebagai tiga citra.

e. Alcoholic Psychosis (Psikosis Alkoholik)

Alcoholic Psychosis adalah penyakit mental parah ditandai oleh

peradangan kronis atau akut di otak, hadirnya delirium, halusinasi, kerusakan pada

daya ingatan dan kemunduran umum dari daya pertimbangan.

2. Gejala Psikosis

Dr. Irmansyah, Sp.KJ, kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM dan Dr.

L.S. Chandra, Sp.KJ mengatakan adanya perubahan pikiran, perasaan, dan tingkah

laku manusia yang tidak normal dan berlangsung terus-menerus mengindikasikan

adanya gejala psikosis. Gejala psikosis antara lain: gangguan tidur, hilangnya

energi atau motivasi, kemorosotan prestasi, mengisolasi diri dari teman dan

keluarga, gagasan atau perilaku yang tidak lazim, selera makan yang tiba-tiba

(35)

14

merasa diikuti, energi yang melimpah (eforia), merasa lebih super dari yang lain,

merasa mempunyai kekuatan khusus, percaya hal yang aneh, perilaku yang

agitatif, emosional, melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh orang lain, mendengar

suara yang tidak didengar oleh orang lain, menuruti kata hati dalam menghabiskan

uang, perilaku ingin menyakiti (agresif) baik diri sendiri maupun orang lain, sulit

konsentrasi, susah dalam mengingat dan tidak fokus, merasa curiga, depresi,

cemas, tegang, marah dan ayunan emosi.

(http://www.jiwasehat.com)

3. Penyebab Psikosis

Lalang Ken Handita menuliskan penyebab psikosis menurut laporan WHO

(http://www.seniornews.co.id) di antaranya adalah depresi, penggunaan alkohol,

penyalahgunaan obat-obatan psikotropika, kecelakaan lalu lintas, luka karena

kecerobohan sendiri, trauma peperangan dan kekerasan.

Menurut Coleman dkk dalam Supratiknya (1995: 23-32) ada beberapa

penyebab antara lain:

a. Faktor biologis

Dalam hal ini adalah genetika keluarga. Penelitian terhadap keluarga

menunjukkan bahwa terdapat predisposisi herediter untuk terjadinya gangguan

jiwa; kerabat dari penderita psikosis lebih besar kemungkinannya untuk

(36)

15

b. Faktor psikososial

Faktor psikososial diantaranya adalah trauma masa kanak-kanak, struktur

keluarga dan hubungan orang tua dan anak yang patogenik, stres berat karena

frustasi, konflik nilai maupun tekanan hidup.

c. Faktor sosiokultural

Penyebab sosiokultural antara lain: korban perang, diskriminasi, terpaksa

menjalankan peran sosial yang bertentangan dengan hati seperti menjadi tentara

dalam peperangan yang harus membunuh musuh, dan terlibat dalam situasi

kekerasan.

d. Penyebab primer

Penyebab primer adalah penyebab yang tanpa kehadirannya tidak akan

muncul, misalnya infeksi sifilis tahap lanjut yang menyerang otak dan

menghancurkan sistem syaraf. Penderita akan mengalami kemunduran secara

progresif dan paresis umum.

e. Keracunan obat dan malnutrisi yang dapat mempengaruhi secara negative kerja

otak.

Dr. L.S. Chandra, SpKJ menambahkan bahwa penggunaan ganja (kanabis)

secara oral dapat menginduksi psikosis akut (http://www.jiwasehat.com).

4. Pengobatan

Seperti halnya penyakit fisik, psikosis pun dapat diobati tergantung jenis

penyakitnya. Sebagian besar dapat berobat jalan tanpa harus dimasukkan ke

(37)

16

a. Psikoterapi dan konseling

Terapi ini dilakukan untuk membantu pasien memahami diri dan perasaannya

lebih mendalam.

b. Obat psikoterapetik

Obat-obatan jenis antipsikotik bisa mengurangi atau menghilangkan gejala

psikosis.

c. Perawatan tingkah laku

Terapi ini membantu pasien mengubah cara berpikir atau tingkah laku tertentu

yang mengganggu dan teknik yang digunakan diantaranya adalah teknik

relaksasi.

d. Terapi Elektrokonvulsif

Terapi ini diberikan melalui arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk

menghasilkan kejang mirip dengan kejang epileptik. Biasanya diberikan pada

pasien yang mengalami kemurungan serius dan pasien akan dibius terlebih

dahulu.

(http://www.sabah.org.m/6m/nasihat/artikel_kesihatan/penyakit_mental.htm)

B. Psikologi Sastra

Endraswara (2003: 96) menerangkan asumsi dasar penelitian psikologi

sastra antara lain: dipengaruhi oleh hal pertama, adanya anggapan bahwa karya

sastra merupakan produk dari kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada

pada situasi setengah sadar atau subconscious setelah jelas baru dituangkan ke

(38)

17

Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti tokoh secara psikologi

juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya

tersebut.

Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama,

penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Peneliti

berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan

karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan.

Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.

Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca (Wellek dan

Warren 1990: 90).

Jatman dalam Endraswara (2003:97) menyatakan bahwa psikologi sastra

memiliki pertautan yang erat, secara tidak langsung dan fungsional serta memiliki

landasan pijak yang kokoh. Pertautan yang tidak langsung karena baik sastra

maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi

dan sastra memiliki hubungan fungsional karena baik sastra maupun psikologi

sama-sama mempelajari kejiwaan manusia. Bedanya, kalau karya sastra

mempelajari kejiwaan manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan

psikologi mempelajari kejiwaan manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil.

C. Hubungan Sastra dan Psikoanalisa

Menurut Freud dalam Alwisol (2005: 17), kehidupan jiwa memiliki tiga

tingkat kesadaran, yakni; sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak

(39)

18

dan superego. Ketiga sistem ini satu sama lain merupakan produk interaksi

ketiganya. Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Ego

(das ich) adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia

luar, mengarahkan individu kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan

fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Superego berkembang mengontrol

dorongan-dorongan “buta” id tersebut. Superego berisi nilai-nilai atau aturan yang

bersifat evaluatif (menyangkut baik-buruk).

Atmaja dalam Endraswara (2003: 101) memandang id sebagai satu acuan

penting untuk memahami mengapa seniman atau sastrawan menjadi kreatif.

Dengan id sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam

karyanya. Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia

yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa “energi

buta”. Id berada dan beroperasi dalam daerah bawah sadar. Lebih lanjut dikatakan

bahwa ketaksadaran dapat menyublim ke dalam proses kreatif pengarang.

Wellek dan Warren (1990: 97) menambahkan bahwa proses kreatif

meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan

karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi

sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling

kreatif.

Psikoanalisa merangsang pada “keadaan jiwa” pencipta sehingga muncul

ide teks sastra. Menurut Freud, penyair kadang-kadang menjadi seorang

(40)

19

pelarian (escapisme). Keadaan itulah yang mengarahkan pada studi psikologi

sastra terhadap proses kreatif pengarang (Dalam Wellek dan Warren 1990: 92).

Endraswara (2003: 103) menambahkan bahwa munculnya asumsi tersebut

berarti psikologi sastra dapat mempelajari karya-karya secara psikologis.

Kepribadian pengarang akan tampak juga dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra

menjadi “objek” ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi

hatinya.

Masuknya sastra menuju interdisipliner lain (dalam hal ini adalah

psikologi) membuktikan bahwa sastra bukanlah sebuah otonomi. Ratna (2004:63)

menyebutkan bahwa psikoanalisis Freud dalam mempelajari teks sastra bertumpu

pada; 1) bahasa pasien, adanya keterlibatan sastra, 2) memakai objek mimpi,

fantasi, dan 3) mite yang dalam karya sastra, ketiganya merupakan sumber

imajinasi. Lebih lanjut Ratna (2004:345) mengatakan, bahwa teori Freud

dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di balik gejala

bahasa.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sastra dan

psikoanalisa. Hubungan itu adalah (1) ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang

tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan hadirnya karya sastra dan

(2) ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini karya sastra

menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh

Freud disebut “pekerjaan mimpi” (Milner dalam Endraswara 2003:102). Jadi

(41)

20

Karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang yang menggambarkan

emosi dan pemikirannya.

D. Penokohan

Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1996: 165), penokohan adalah

pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah

cerita. Suharianto (1980: 31) menambahkan bahwa pelukisan tokoh cerita dapat

dilihat dari keadaan lahir maupun batinnya yang berupa; pandangan hidupnya,

sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya dan lain-lain.

E. Riwayat Hidup Guy de Maupassant

1. Masa Kecil

Cerpenis Prancis abad XIX ini mempunyai nama asli Henry Albert Guy de

Maupassant. Ia lahir di kastil Mirosmenil, dekat Dieppe, yang disewa orangtuanya

tidak lama sebelum persalinan agar ia lahir di tempat kediaman para bangsawan,

pada tanggal 5 Agustus 1850. Sementara di surat kematiannya, ia lahir di

Sottleville. Tahun 1856, lahirlah adik laki-lakinya, Hervé de Maupassant, kali ini

di kastil Grainville-Ymauville dekat Le Havre.

Ibunya Laure Le Poittevin (1821-1903) berasal Normandia. Ia seorang

yang terdidik, sensitif dan gila kebangsawanan. Sayangnya sejak pernikahannya,

kehidupannya tidak bahagia. Ia menderita gangguan syaraf seperti; migren dan

kegugupan seumur hidup. Ia pernah mencoba bunuh diri dengan menggunakan

rambutnya yang panjang. Suaminya, Gustave de Maupassant (1821-1899),

(42)

21

Lorraine. Keluarganya menetap di Normandia sejak generasi sebelumnya. Ia

mendapat gelar kebangsawanannya tanggal 9 Juli 1846 dan menikah dengan

Laure empat bulan kemudian.

Dibesarkan di tengah-tengah keluarga kaya dan terpenuhi segala

kebutuhannya tidak membuat kehidupan Guy sepenuhnya bahagia, karena ia

sering menyaksikan pertengkaran ayah ibunya. Sikap ayahnya yang kasar dan

suka berselingkuh membuatnya memihak pada ibunya. Hingga dewasa ia selalu

perhatian dengannya. Kelak ‘suami kasar dan kejam’ itu sering muncul dalam

cerita-ceritanya. Perkawinan mereka berakhir tahun 1860 dan anak-anak tinggal

bersama ibunya.

Guy dididik oleh ibunya dan pastor Aubourg, yang mengajarnya

matematika, bahasa Yunani, bahasa Latin dan agama Katholik. Sebelum ia masuk

sekolah, ibunya mengajarinya membaca dan menulis. Ia juga mengajari cara

membaca karya Shakespeare, terutama Macbeth dan Midsummer Night’s Dream.

Guy melewatkan masa kecilnya di tengah-tengah kehidupan petani dan nelayan

Normandia yang sebagian besar menjadi latar dan tema dalam karya-karyanya di

masa mendatang.

2. Masa Muda dan Karya Guy de Maupassant

Menginjak usia ke-13, ia dikirim ke asrama Katholik mengikuti

pendidikan formal di Yvetot yang sama sekali tidak sesuai dengan kehendaknya.

Disipiln kaku para pengajarnya membuatnya tertekan. Sikapnya menjadi tidak

(43)

22

memberontak bersama teman-temannya dengan cara ‘merampok’ toko makanan

dan melakukan pesta seks.

Kebiasaan Guy saat liburan sekolah adalah mandi di laut di Êtretat yang

biasa dikunjungi para seniman. Suatu kali ia menolong Charles Algernon

Swinburn yang tenggelam di laut. Merekapun berkenalan dan sebagai wujud

terima kasih, Swinburn mengundangnya ke rumahnya. Guy yang sangat tertarik

dengan sastra menyambut baik tawaran itu. Di rumah itu Swinburn tinggal dengan

seorang pria yang ternyata adalah teman kencannya. Swinburn adalah penyair

Inggris yang terlibat skandal homoseksual dan sadisme. Guy sendiri adalah

remaja yang biasa melakukan seks bebas.

Tahun 1868, ia dipulangkan oleh sekolah dan melanjutkan ke sekolah

asrama di Rouen. Ibunya mengenalkannya dengan teman-temannya diantaranya,

Louis Bouillet dan Gustave Flaubert. Guy yang kurang kasih sayang dari ayahnya

menjadi sangat dekat dengan keduanya. Ia sangat kehilangan atas kematian

Bouillet, namun demikian akhirnya ia dapat menyelesaikan baccalaureat-nya

(ujian Sekolah Menengah Atas). Dengan bimbingan Flaubert, ia mulai memasuki

lingkungan sastra Paris.

Ketika berusia sembilan belas tahun, Guy masuk sekolah tinggi dan

belajar ilmu hukum. Setahun kemudian pecah perang Prancis-Prusia dan ia

dikirim ke Rouen. Sebagai prajurit infantri, ia nyaris tertangkap dan kejadian ini

diceritakan pada ibunya. Iapun kemudian melarikan diri dari kesatuannya karena

tidak tahan dengan kondisi perang dan selalu dibayangi ketakutan apalagi setelah

(44)

23

bekas suaminya. Berkat lobi ayahnya, ia akhirnya dipindah ke markas besar dan

tidak di garis depan lagi. Usai perang, ayahnya melakukan lobi lagi sehingga Guy

dapat bekerja di kementerian kelautan dan kondisi kejiwaannya mulai stabil.

Kehidupan birokrat tidak membuat Guy merasa nyaman dan ia lebih

tertarik pada sastra. Masa mudanya ia lewatkan dengan berkorespondensi dengan

para sastrawan dan mengunjungi temu sastra di rumah Flaubert di Croisset. Ia

membantu penelitian dalam karya L’Éducation Sentimentale(1869) dan Bouvard

et Pécuchet (1880). Cerpen pertamanya berjudul Une Main d’Ecorchée, sebuah

cerpen fantastis ditulis tahun 1875 dengan nama samaran Joseph Prunier. Tahun

1876 ia menulis di Bulletin Français sebuah cerpen berjudul En Canot yang

terinspirasi dari hasratnya pada elemen cair dan aktivitas favorit setiap hari

Minggu yang biasa ia lewatkan di Sungai Seine, antara Bezons, Chatou, dan Pulau

Pecq.. Flaubert juga mengenalkannya pada Huysmann, Yvon Tourgueniev, Réné

Maizeroy, Emile Zola dan lain-lain. Ia bergabung dengan para sastrawan dan

menulis antologi yang bertemakan perang dengan nama Les Soirées de Médan.

Karyanya yang berjudul Boule de Suif, terinspirasi oleh pengalaman perang tahun

1870, menjadi sukses besarnya dan langsung membuatnya terkenal dalam

beberapa minggu. Atas bantuan Flaubert pula ia mendaftar di harian Le Gaulois.

Flaubert benar-benar mengasuh dan membentuk de Maupassant dengan

keras. Selama tujuh tahun semua karya yang ditulis tidak satupun yang

diterbitkan. Semuanya masih dalam ‘tahap belajar’. Untuk menggambarkan

(45)

24

harus menggali ‘sesuatu’ yang belum dilihat atau tereksplor oleh orang lain

(Sabtu, 6 September 2001, http://www.minggupagi.com.).

“Pendant 7 ans, je fis des vers, je vis des contes, je fis des nouvelles, je fis même un drame détestable. Il n’en n’est rien resté. Le maître lisait tout, puis les dimanches suivant en déjeunant, développait ses critiques et enfonçait en moi peu à peu, deux ou trois principes qui sont résumé de ses longs et patiens enseignements…”

(www.cours.uqam.ca)

“Selama tujuh tahun, aku menulis sajak, aku menulis dongeng, aku menulis novel, bahkan aku menulis drama yang jelek sekali. Tidak ada yang tersisa. Guru membaca semuanya, kemudian setiap hari Minggu berikutnya sambil makan siang, mengembangkan kritiknya dan menanamkan padaku sedikit demi sedikit, dua atau tiga prinsip yang diringkasnya dari pengajarannya yang panjang dan penuh kesabaran…”

Flaubert menasehatinya untuk mengorbankan segalanya untuk seni. Dalam

sastra, ia menemukan kebahagiaan. Namun kebahagiannya tidak bertahan lama

karena kematian Flaubert,’ayah angkat’nya akibat pendarahan otak pada tanggal 8

Mei 1880. Ia habiskan hidupnya untuk jurnalisme, bepergian dan berkarya

sebanyak mungkin. Setelah kematian Flaubert, ia menulis:

“Chaque fois qu’il me semble avoir oublié mon métier, je relis ses livres. C’est le maître, le vrai maître”

“Setiap kali aku lalai dengan pekerjaanku, aku membaca lagi buku-bukunya. Ia memang seorang guru, guru sejati”

Catatan perjalanannya ia kirimkan ke harian Le Gaulois (sejak

1880-1888), harian Gil Blas (sejak 1881) dan secara periodik ke harian Le Figaro.

Berkat kerja kerasnya ia menjadi sangat kaya. Ia tinggal di apartemen mewah di

Sartrouville yang ia sewa sejak 1881-1884. Tahun 1883, ia membangun vila La

(46)

25

membeli sebuah kapal layar yang ia beri nama Bel Ami, memberi banyak uang

pada anggota keluarganya, para wanita simpanannya, dan anak-anak di luar

pernikahan, hasil hubungan gelapnya dengan Joséphine Litzelmann, yaitu Lucien

(1883), Lucienne (1884), dan Marthe (1887).

Siregar (dalam http://www. tripod.com/ruangsastra/biografi/htm)

menyebutkan, bahwa dalam waktu sepuluh tahun De Maupassant telah

menghasilkan 6 roman, 300 cerpen, 3 cerita perjalanan, 200 artikel di surat kabar,

dan satu jilid puisi Des Vers. Saat ditanyai dari mana ide-ide karyanya, ia

menjawab bahwa karyanya banyak diilhami dari sumber sederhana biasanya dari

berita di koran atau obrolan santai dengan teman-temannya. Siregar

menambahkan bahwa cara bercerita de Maupassant menjadi kekuatan utama

cerita-ceritanya. Para kritikus mengkategorikannya sebagai pengarang beraliran

realis naturalis, yaitu gaya penceritaan yang alami dengan penggambaran yang

konkret, tidak sentimentil dan tidak romantis. Ciri khas tulisannya adalah

objektivitas, bahasa yang terkontrol, lurus dan ketat, serta sesekali lelucon.

Anatole France dalam La Vie Littéraire mengungkapkan:

“Monsieur de Maupassant est certainement un des plus francs conteurs de ce pays où l’on fit tant de conte, et de si bons. Sa langue, forte, simple, naturelle, a un goût de terroir qui nous la fait aimer chèrement. Il possède les trois qualités de l’écrivain français: d’abort la clarté, puis encore la clarté, et enfin la clarté. Il a esprit de mesure et d’ordre qui est celui de notre race.” (http://www. kirjasto.sci.fi/maupassant.htm)

(47)

26

3. Perjalanan-Perjalanan

Guy de Maupassant telah melakukan perjalanan-perjalanan antara lain ke

Cannes (1884) dan tinggal di sana setiap musim dingin hingga tahun 1890.

Kemudian ke Antibe tempat saudaranya, Hervé, bertani (1885, 1886, 1887).

Setelah menulis Le Horla, ia terbang ke Belanda dengan balon udara yang ia

namai Le Horla. Dengan kapal layarnya, Bel Ami, ia menyeberangi Laut Tengah

(April 1888), pergi ke Afrika Utara (1887,1888,1889,1890), ke Korsika bersama

ibunya (1880), ke Italia (Venisia, Roma, Naple, dan Sisilia 1885) dan ke

Livourne, Pisa, Florence (1889). Fiksi tentang perjalanannya antara lain; Au Soleil

(1884), Sur L’Eau (1888) dan La Vie Errante (1890).

4. Teman Wanita

Berkat kehandalan menulis, kekayaan dan ketampanannya tidak sulit bagi

De Maupassant untuk bergaul dengan banyak wanita. Ia sering mengunjungi

wanita para pemilik salon littéraire, antara lain; Hermine Lecomte de Noüy,

Comtesse Potocka (wanita Italia dengan nama Polandia), Marie Kann (wanita

Yahudi simpanannya, seorang imigran Rusia), dan lain-lain. Ia juga berhubungan

intim dengan banyak wanita antara lain; Joséphine Litzelmann (pemberi air di

Chatelguyon dan memberinya tiga orang anak), seorang penari opera selama dua

tahun, Gisèle d’Estoc (wanita lesbian yang juga seorang penulis dan pemahat).

De Maupassant tidak percaya pada cinta dan menolak ikatan perkawinan

karena ia seorang yang tidak ingin diatur dan terikat oleh suatu hubungan.

(48)

27

“Rien dans la vie ne semble plus attristant et plus pénible que ces liaisons de longue durée”

“Je n’ai pas eu, de toute ma vie, une apparence d’amour, bien que j’ai simulé souvent ce sentiment que je n’éprouverai sans doute jamais”. (1881- Lettre à Gisèle d’Estoc”

(www.cours.uqam.ca)

“Aku takut dengan rantai paling kecil sekalipun yang datang dari sebuah pikiran atau seorang wanita”

“Tidak ada dalam hidup yang paling menyedihkan dan paling berat melainkan hubungan dalam waktu lama”

“Selama hidupku, aku kelihatannya tidak memiliki cinta, meskipun aku sering berpura-pura merasakannya, tak diragukan lagi aku tidak akan pernah merasakannya”. (1881- surat kepada Gisèle d’Estoc)

5. Kesehatan Kejiwaan

De Maupassant adalah seorang yang kesepian meski hidup dalam

ketenaran. Dari kediamannya di Êtretat di bulan Januari 1881, ia menulis surat

pada ibunya.

“J’ai froid plus encore de la solitude de la vie que de la solitude de la maison. Je sens cet immense égaremant de tout les êtres, le poid du vide. Et au milieu de cette débandade de tout, mon cerveau fonctionne, lucide, exact, m’éblouissant avec Rien eternal” (Http://www.adpf.asso.fr/ adpf_publi/ folio/ Maupassant/recits.htm).

“Aku merasa lebih dingin karena sepinya kehidupan, daripada sepinya keadaan rumah. Aku merasa bahwa semua makhluk sudah tersesat jauh, beratnya kekosongan. Di tengah semua kekacauan ini, otakku bekerja, jelas, benar, mempesonakanku dengan Dzat yang kekal”.

De Maupassant juga seorang yang sangat pesimis dan rapuh. Baginya

dunia penuh dengan kekuatan membabi buta dan sulit dipahami. Agama serta

persahabatan hanyalah tipuan belaka. Manusia sulit dimengerti dan cenderung

hidup dalam kesepian. Kebodohan manusia sangat mengecewakan sekaligus

(49)

28

keterbatasan manusia yang mengalami tua, sakit, dan mati serta kekuatan aneh di

luar jangkauan manusia dan sesuatu yang mengendalikan manusia. Ia tertarik

dengan hal yang berkaitan dengan kegilaan, bahkan ia mengikuti kuliah Profesor

Charcot di Salpêtrière tentang hipnosisme dan histeria yang pada masa itu sangat

marak dihadiri. Terlebih lagi ia mengenal Charcot secara pribadi saat makan

malam di rumah Edmond de Goncourt dan pada satu kesempatan ibunya diperiksa

oleh Charcot sendiri.

Akibat seks bebas yang dilakukannya, ia menderita sifilis sejak usia

duapuluh tahun, yang kemudian berkembang dengan adanya gangguan

penglihatan, lemah syaraf dan kejiwaan yang tak terkendali. Tahun 1880, di

samping menghisap ganja dan eter, ia juga mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

Hidupnya yang kacau semakin memperburuk kesehatannya. Sejak tahun 1883, ia

sering mengambil air di Chatelguyon, Aix, Plombières, Luchon dan Divonne.

Tahun 1887, ia menjaga adiknya yang dirawat di Charenton (Rumah Sakit Jiwa

Val de Marne) dan akhirnya meninggal. Untuk melupakan kesedihannya, ia

berlayar ke Laut Tengah dengan kapal layarnya, Bel Ami.

Gangguan kejiwaan yang diderita membuatnya sering berhalusinasi. Hal

ini terlihat dalam suratnya pada Paul Bourget, temannya, bahwa suatu kali ia

pulang dan melihat ‘sosok gandanya’ (double) sedang duduk di kursinya. Dia tahu

bahwa itu hanyalah halusinasi dan jika dia tidak mempunyai akal sehat, dia pasti

akan ketakutan (http://www.watarts.waterloo.ca/~acheyne/lehorla.htm).

Frank Harris menuliskan tiga atau empat tahun masa-masa terakhirnya, De

(50)

29

pada kegilaan dan kematian sebelum masanya. Pertama, dirinya yang gila-gilaan

mengakibatkan kebutaan sebagian, sakit syaraf akut, dan masa-masa tidak dapat

tidur yang ia tunjukkan dalam tulisan-tulisannya yang berisi ketakutan-ketakutan

yang mengerikan. Kemudian keputusasaan panjang yang berbuntut pada depresi

dan kadang-kadang luapan kegembiraan dan kesenangan yang berlebihan. Ia

menyebutnya sebagai penderitaan jiwa yang tak terlukiskan dan tidak dapat

diungkapkan dengan kata-kata. Masa-masa sehatnya adalah masa tanpa istirahat.

Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menghindari udara dan kebisingan

Paris yang dia katakan menyebabkan sakit kepala yang dahsyat. Sakit yang ia

rasakan sangat menyiksa, serasa memecahkan kepala, membuat gila,

membingungkan pikiran, tidak ada yang menyamainya dan membubarkan

ingatannya seperti debu ditiup angin. Ia terpaksa harus berbaring di ranjang

dengan botol eter di bawah lubang hidungnya. Roger Williams berpendapat

bahwa sakit kepala itu adalah wujud tekanan permasalahan, neurosis turunan yang

berhubungan dengan tekanan masalah keluarga. Ketakutan memasuki masa tua

dan kematian lama kelamaan memenuhi pikirannya. Dia meninggalkan Prancis

dan melakukan perjalanan ke Italia untuk melupakan bayangan kegilaan yang

mengejarnya.

Tahun 1891, ia berobat di sumber air panas di Divonne-les-Bains. Ia ingin

mengeluarkan satu gumpalan dalam kepalanya. Sakit kepala yang selalu

menyerangnya membuatnya tidak dapat membaca. Semua huruf yang ditulisnya

(51)

30

tidak memiliki pikiran yang satu. Ia lupa kata-kata, nama-nama semua benda,

berhalusinasi dan rasa sakitnya membuatnya serasa hancur berkeping-keping.

Natal tahun 1891, ia mengajak dua wanita berlayar dan semuanya

kelihatan baik-baik saja, tetapi kemudian ia mengadu bahwa dia baru saja melihat

hantu. Pada tahun baru jam dua pagi kurang seperempat, pembantunya

menemukannya dengan leher tersayat. Di juga mencoba menembak dirinya tetapi

lukanya tidak serius. Setelah koma selama sehari, ia bangun dan mengumumkan

bahwa dia harus ke perbatasan; perang telah dikumandangkan. Teman-temannya

membawanya ke kapalnya berharap bahwa itu akan menyadarkannya. Tanggal 6

Januari, ia dibawa ke Paris dalam pengamanan dan dipindahkan ke rumah sakit

jiwa Dr. Ésprit Blanche di Passy.

Bulan-bulan berikutnya dalam keadaan normal, ia senang menyambut

tamunya dengan cerita-cerita gembira; di waktu lain ia berhalusinasi, kasar dan

harus diamankan. Dari bulan April kesehatannya menurun tajam. Seorang dokter

menjaganya setiap hari. Surat-surat terakhirnya berbicara tentang keberuntungan

besar yang diperoleh dari bongkahan emas dan harta karun terpendam. Dia

membayangkan bahwa ia adalah anak Perawan Maria yang kaya. Dia menanam

ranting-ranting di sekitar kebun berharap akan tumbuh menjadi bayi Maupassant.

Dia memukul-mukul dinding selnya dan menyimpan air seninya, berpikir itu

terbuat dari berlian dan permata. Dia menggonggong seperti anjing. Ketika

pikirannya serasa lari dari kepalanya, dengan cemas ia bertanya-tanya dan

kembali bersemangat dan gembira ketika ia berpikir telah menemukannya dalam

(52)

31

muda adalah keceriaan dan ungu sebagai perzinahan. Dia lelah menangkap

kupu-kupu bayangan yang terbang. Pada akhirnya ia menjadi kasar dan harus memakai

pengekang mesin. Perkembangan infeksi sifilis secara progresif mengakibatkan

kelumpuhan pada tahun 1892. Setelah mengalami penderitaan panjang dalam

keterasingan, de Maupassant meninggal tanggal 7 Juli 1893 dengan kata-kata

terakhir “des ténèbres, des ténèbres” (kegelapan, kegelapan).

(http://www.poxhistory.com/work8.htm,http://watars.waterloo.ca,http://perso.wan adoo.fr/calounet/biographies/maupassant_biographie.htm,

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Sasaran Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang dipaparkan pada Bab I, maka beberapa sasaran

lebih khusus yang ingin dicapai adalah mendeskripsikan psikosis dalam cerpen

Le Horla dan Qui Sait ? dan mencari hubungan antara psikosis pengarang yang

terefleksi dalam kedua cerpen tersebut berupa gejala psikosis yang ada.

Data dalam penelitian ini berupa peristiwa-peristiwa atau masalah-masalah

tokoh cerita yang dapat memberikan informasi tentang perilaku abnormal sebagai

perwujudan psikosis yang tertuang dalam cerpen ini. Adapun sumber datanya

adalah teks sastra, yaitu cerpen Le Horla (1887-versi kedua) yang merupakan

kumpulan cerpen berjudul Le Horla dan cerpen Qui Sait ? karya Guy de

Maupassant. Qui Sait ? diterbitkan oleh L’Écho de Paris tanggal 6 April 1890 dan

merupakan kumpulan cerpen berjudul L’Inutile Beauté.

B. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan

psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang sastra sebagai aktivitas

kejiwaan (Endraswara 2003:96). Pendekatan psikologi sastra menekankan analisis

terhadap keseluruhan unsur pembangun karya sastra baik dari segi intrinsik

maupun ekstrinsik. Dari segi intrinsik yang ditekankan adalah penokohan atau

perwatakan, dan dari segi ekstrinsik yang ditekankan adalah mengenai diri

(54)

33

falsafah hidup, obsesi dan lain-lain. Dalam kaitan ini, perlu dicari riwayat hidup

pengarang sejak kecil hingga dewasa agar kita tahu endapan pengalaman pribadi

yang diekspresikan dalam karyanya.

C. Teknik Analisis Data

Data penelitian ini dianalisis dengan teknik Pilah Unsur Penentu (PUP),

yaitu alat yang digunakan untuk memilih data yang akan diteliti

(Sudaryanto,1993: 21). Setelah itu, menentukan unsur-unsur yang akan dianalisis.

Unsur penentu di dalam analisis data ini adalah korpus data yang berupa kata,

frasa atau kalimat yang menunjukkan gejala psikosis. Setelah ditentukan unsur

penentunya, dilanjutkan dengan menganalisis korpus data tersebut. Setelah

melewati tahapan di atas kemudian ditarik kesimpulan dari data yang telah

dianalisis.

D. Teknik Pengumpulan Data

Korpus penelitian ini diperoleh dengan cara:

1. Metode studi pustaka, yaitu dengan cara membaca isi cerpen keseluruhan

secara teliti, selanjutnya menggarisbawahi kalimat-kalimat dalam cerpen yang

mengandung gejala-gejala psikosis.

2. Metode dokumentasi, yaitu dengan cara mencatat dan mendokumentasikan

data yang ditemukan dari sumber data kemudian menuliskannya dalam sebuah

(55)

34

1. Kartu yang terbuat dari kertas HVS.

2. Kartu data tersebut terdiri dari lajur. Lajur pertama tercetak di sudut kiri

atas, terdiri dari nomor kalimat yang dianalisis, judul cerpen, tahun, dan

halaman. cerpen. Sebagai contoh 1/LH/1887/42 artinya nomor kalimat 1,

dari cerpen berjudul Le Horla, tahun terbit 1887, halaman 42.

3. Lajur kedua berisi kalimat yang dianalisis.

4. Lajur ketiga berisi terjemahan yang terdapat pada kolom.

5. Lajur keempat berisi analisis data hasil penelitian, dan untuk lebih jelasnya

berikut ini adalah contoh katu data :

1/LH/1887/42

Qu’ai- je donc? C’est lui, lui, le Horla, qui me hante, qui me fait penser ces folies! il est en moi, il devient mon âme; je le tuerai

Ada apa denganku ? Itulah dia, dia, le Horla, yang menghantuiku, yang membuatku memikirkan kegilaan-kegilaan ini. Ia berada dalam diriku, dia menjadi jiwaku; aku akan membunuhnya.

Narator mengalami delusion of persecution (delusi kejar), yaitu perasaan dihantui oleh makhluk tak terlihat yang merasuk pada dirinya dan menguasainya. Keinginannya untuk melenyapkan makhluk tersebut adalah

sebagai bentuk mechanisme defence (pertahanan diri) untuk lepas dari

ketidaknyamanan dalam bentuk perlawanan.

E. Langkah Kerja

1. Membaca seluruh isi teks cerpen Le Horla dan Qui Sait ?

2. Mencari dan mencatat gejala psikosis dalam teks

3. Mencari fakta-fakta mengenai psikosis pengarang

4. Menganalisis teks sastra sebagai cermin kejiwaan pengarang dengan cara

(56)

35

pengalaman hidup pengarang sebagai penderita psikosis untuk menentukan

sampai sejauhmana peran pengarang sebagai penghasil karya sastra

5. Menyimpulkan hasil analisis yang didasarkan pada analisis data secara

(57)

BAB IV

ANALISIS KORPUS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang (1) penokohan tokoh utama sebagai sarana

pendeskripsian karakter terkait dengan pendapat yang menyatakan sastra sebagai

gambaran kejiwaan pengarang, (2) psikosis dalam karya Guy de Maupassant, dan

(3) refleksi psikosis dalam karya Guy de Maupassa

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil wawancara tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perempuan ibu rumah tangga termotivasi bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka

Jipangan dengan kantor sekretariat beralamat di desa Jipangan RT. 04, Bangunjiwo, Kasihan, Kabupaten Bantul. Mas Panji didirikan dengan tujuan sebagai sarana komunikasi antar perajin

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana formulasi kebijakan pengadaan tanahnya, untuk mengetahui apakah implementasinya sudah sesuai dengan peraturan perundangan

Fungsi Pendidikan dalam keluarga adalah untuk mendidik anak mulai dari awal pertumbuhan anak hingga terbentuk personality -nya. Anak-anak itu lahir tanpa bekal

SIFAT UDARA PADA TEKANAN ATMOSFER.. Universitas

belajar siswa pada mata pelajaran Akuntansi antara kelas eksperimen yang. diberikan perlakuan menggunakan model pembelajaran Participant

$100.0 million of this deficit was financed through the ESI, $4.4 million was financed through loans, and $113.8 million was used from the

Quarterly Fiscal Bulletin April – June 2016 Page 3 Taxes in the second quarter of 2016 totalled $70.4 million, mostly due to income taxes recorded under taxes on income, profits