REFLEKSI PSIKOSIS DALAM KARYA GUY DE MAUPASSANT
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun Oleh :
Nama
:
Novi
Wijayanti
NIM
:
2301401035
Program Studi
: S1
Jurusan
: Pendidikan Bahasa Prancis
Fakultas :
FBS
▸ Baca selengkapnya: penokohan dalam cerpen tanah air karya martin aleida
(2)ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan sidang panitia ujian skripsi
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang pada:
Hari
:
Tanggal
:
Panitia Ujian
Ketua,
Sekretaris,
Prof.
Dr.
Rustono
Drs.
Sudarwoto,
M.
Pd
NIP.131
281
222
NIP.131
281
217
Penguji I,
Dra. Diah Vitri W, DEA
NIP. 131 813 669
Penguji II/ Pembimbing II
Penguji III/ Pembimbing I
Suluh Edhi Wibowo, S.S
Dr. D. Yahya Khan, M.Pd
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama
: Novi Wijayanti
NIM
:
2301401035
Prodi/ Jurusan : Pendidikan Bahasa Prancis S1/ Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas
Bahasa dan Seni. Skripsi berjudul ‘Refleksi Psikosis dalam Karya Guy de
Maupassant’ saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana ini benar-benar merupakan karya sendiri. Skripsi ini saya hasilkan
setelah melalui proses penelitian, pembimbingan, diskusi, dan pemaparan/ ujian.
Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung, maupun sumber lainnya, telah
disertai identitas sumbernya dengan cara sebagaimana yang lazim dalam penulisan
karya ilmiah. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini
membubuhkan tanda tangan sebagai keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini tetap
menjadi tanggung jawab saya sendiri. Jika kemudian ditemukan ketidakberesan, saya
bersedia menerima akibatnya.
Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.
Semarang,
2006
Yang membuat pernyataan
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri sendiri ” (Ar Ra’d:11)
“Jadilah kamu sekalian pemerhati-pemerhati ilmu, bukan sekedar
penyampai-penyampai ilmu” (Al Hadits)
“Meninggalkan maksiat adalah perjuangan, sedangkan keengganan meninggalkannya
adalah pengingkaran” (DR. Aidh al-Qarni)
Persembahan :
v
PRAKATA
Luapan rasa syukur hanya layak teruntuk Allah SWT, Sang Pemberi Rahmat
dan Nikmat yang tak terbalas oleh apapun sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan
yang sangat berarti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Pembimbing I, Dr. D.Yahya Khan, M.Pd dan pembimbing II, Suluh Edhi
Wibowo, S.S yang telah memberikan arahan, ilmu dan bimbingan serta
meluangkan waktu mendiskusikan persoalan yang berkaitan dengan skripsi ini
hingga terselesaikannya skripsi ini;
2. Penguji I, Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA terima kasih atas saran-saran yang
telah diberikan demi kesempurnaan skripsi ini;
3. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing dan Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
yang telah memberi izin dan kemudahan kepada penulis dalam menyusun skripsi
ini;
4. Para dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah berbagi ilmu,
pengetahuan, dan pengalaman kepada penulis;
5. Kedua orang tuaku terkasih dan kakak-kakakku tersayang serta para keponakan
yang senantiasa menemani langkahku dengan doa yang tiada akhir;
6. Keluarga besar Pesma Qolbun Salim, TKIT Mutiara Hati, saudara seperjuangan
vi
mendo’akanku dalam
rabithah
. Teman-teman sejati dalam roda dakwah dan
universitas kehidupan: SunMoMoers, Liqoers, para murabbi, generasi Lire
Kaiwa, aku bangga mengenal pribadi-pribadi seperti
Antum
7. Teman-teman angkatan 2001 dan adik-adik BSA tempat berbagi kasih, ilmu dan
cerita;
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Betapa bantuan kalian sangat berarti.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan lindungan-Nya kepada
pihak-pihak tersebut dan membalasnya dengan yang lebih baik.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya
pencinta karya sastra.
Semarang, ………..2006
vii
SARI
Wijayanti, Novi. 2006. Refleksi Psikosis dalam Cerpen Karya Guy de
Maupassant
.
Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: 1. Dr. Djaswadi Yahya
Khan, M.Pd, 2. Suluh Edhi Wibowo, S.S
Kunci : Psikosis
Karya Guy de Maupassant dalam cerpen
Le Horla
dan
Qui Sait ?
merupakan
karya sastra yang menceritakan tentang penyakit psikosis (gangguan kejiwaan akut).
Berawal dari riwayat hidup pengarang yang senantiasa dilanda ketakutan, kecemasan
dan bayangan kegilaan serta pengalamannya sebagai penderita psikosis, maka Guy de
Maupassant banyak mengangkat psikosis dalam karya yang dihasilkan terutama di
akhir kehidupannya. Dalam karya sastra tersebut ada pengaruh psikosis pengarang
terhadap karya sastra yang diciptakan. Berdasarkan hal inilah peneliti tertarik untuk
mengkajinya lebih lanjut.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan tokoh utama dalam
karya Guy de Maupassant dan fenomena psikosis yang terdapat di dalamnya serta
menemukan hubungan antara gejala psikosis dalam karya Guy de Maupassant dengan
psikosis yang diderita oleh Guy de Maupassant. Penelitian ini menggunakan
pendekatan psikologi sastra. Korpus data penelitian ini adalah cerpen
Le Horla
dan
Qui Sait?
, riwayat kehidupan pengarang, dan psikosis yang melanda Guy de
Maupassant. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi
pustaka dan dokumentasi. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dan
mendeskripsikan permasalahan yang ada dalam teks karya sastra tersebut.
Simpulan akhir penelitian ini adalah adanya kemiripan karakter, kepribadian,
kebiasaan maupun status sosial tokoh utama dalam cerpen
Le Horla
dan
Qui Sait
serta hubungan psikosis
Guy de Maupassant yang direfleksikan dalam cerpen
Le
Horla
dan
Qui Sait?
. Potret psikosis dalam kedua cerpen tersebut merupakan potret
psikosis pengarang. Latar kehidupan pengarang sebagai penderita psikosis
berpengaruh dalam bentuk dan tema karyanya. Kenyataan ini semakin meneguhkan
bahwa karya sastra berperan sebagai ekspresi pemikiran dan kejiwaan pengarang
dalam menghasilkan karya sastra.
viii
RÉSUMÉ
Wijayanti, Novi. 2006. Réflexion du Psychose dans Les Oeuvres de Guy de
Maupassant
.
Le mémoire. Département des Langues et des Littératures
Étrangères, programme d’étude de l’enseignement du Français, Faculté des
Langues et des Arts, Université d’État de Semarang. Directeurs: 1. Dr.
Djaswadi Yahya Khan, M.Pd, 2. Suluh Edhi Wibowo, S.S.
Mot clé: Psychose, Psychologie
A. Introduction
La France a une longue histoire de la littérature et depuis des siècles, ce pays
donne son appréciation sur les belles-lettres. La littérature se caracterise selon
l’époque, le genre, ou bien la tendance. La littérature du Moyen Age, du 16
è, du 17
è,
du 18
è, du 19
èet du 20
èsiècle appartiennent à la catégorie qui est fondée sur
l’époque.
La littérature du 19
èsiècle a sa propre particularité. Husen (1999:102) dit
qu’on appelle ce siècle: le mal du siècle, la vague des passions, le spleen, le dégoût
décadent ou le dandysme, parce qu’il y avait beaucoup de thèmes du malaise, de
l’horreur surnaturel, et de la folie. Ces thèmes font partie de la psychologie.
Selon Rokhman (2003: 43-47), la littérature n’est pas autonome. Dans
l’histoire de la littérature du 19
èsiècle, on utilise le mécanisme psychologique pour
expliquer la relation entre l’homme et la littérature. Pour cela on a déjà fait l’analyse
sur les textes de Poe et Baudelaire.
A part Poe et Baudelaire, l’écrivain qui a écrit sur l’angoisse et la folie est
Guy de Maupassant. Subissant la syphilis et la predisposition familiale à la folie,
ix
mentale et il a consommé de l’haschich en 1880. Les critiques disent que ses œuvres
psychologiques anormaux dont le thème parle d’un trouble mental sont ses œuvres
semi-autobiographiques (
Http://www.online.litterature.com/Maupassant).
Les œuvres qui parle du psychose sont
Le Horla (1887)
et
Qui Sait ? (1890).
Les raisons de ce choix sont ceci:
1.
Il y a beaucoup de phénomènes psycotiques dans
Le Horla (1887)
et
Qui
Sait?
2.
Le Horla (1887)
est une nouvelle spectaculaire (chef d’œuvre) qui a été écrite
quand il soignait son frère, Hervé, à l’asile des fous de Charenton. Il avait
lui-même le syphilis, consommait de l’haschich et de l’éther.
3.
Qui Sait ?
a été écrit aux dernières années de sa vie quand son hallucination
se développait grièvement.
Le Horla (1887)
et
Qui Sait ?
contiennent des activités psychiques, alors
l’approche de la recherche convenable est la psychologie de la littérature.
Le but de cette recherche est de décrire le personnage du hero principale de
Le
Horla (1887)
et celui de
Qui Sait ?
, de decrire des symtômes psycotiques dans
Le
Horla (1887)
et
Qui Sait ?
et de trouver la relation entre le psychose dans
Le Horla
(1887)
et
Qui Sait ?
et le psychose de l’écrivain
.
Je commence par l’analyse du
personnage, ayant le psychose dans le texte, et la relation entre le psychose des
x
B. Psychose
Selon Chaplin (2004:407), psychose est une maladie mentale serieuse dont les
caractèristiques particulières sont la désorganisation de la pensée, le trouble de
l’émotion, la désorientation (d’endroit, de temps, de personne), l’hallucination et la
délusion. Il y a quelques types de psychose, ce sont: le psychose manic-dépressive, le
paranoïa, la paralysie, la schizophrénie, et le psychose alcoolique.
C. Psychologie de la Littérature
D’après Endraswara (2003:96), les bases de la recherche de la psychologie
sont: 1) une opinion disant que la littérature est un produit de pensée et de
psychologie de l’écrivain, 2) la recherche n’examine pas seulement des personnages
principaux psychiquement, mais aussi les aspects de la pensée et le sentiment de
l’écrivain quand il a créé son œuvre. Alors, on pourra psychologiquement analyser
des œuvres littéraire, et la personnalité de l’écrivain se réflète dans la psychologie de
son œuvre.
D. Relation Entre La Littérature et Le Psychanalyse
Selon Freud (dans Wellek et Warren, 1990:92), le psychanalyse stimule
“l’état de l’âme” de l’écrivain à créer l’idée du recit.
Ratna (2004:345) dit qu’on utilise le psychanalyse pour révéler des
phénomènes psychologique de l’autre côté de phénomènes de la langue, parce que la
langue littéraire est l’expression psychique de l’écrivain qui décrit son emotion et son
xi
E. Personnage
D’après Suharianto (1980:31), personnalisation est une description de héro
physiquement et moralement, sous forme de la vision de la vie, de l’attitude, de la
conviction, et des habitudes.
F. Histoire de La Santé Psychique de Guy de Maupassant
À cause du syphilis et de l’abus des drogues, Maupassant commençait à être
troublé mentalement dès 1878. Petit à petit, une profonde malaise s’est insinue dans
sa vie: ses névralgies du jeune homme, plus violentes, ont dégénéré, sous les excès
du travail et ceux de la “belle vie”, en hallucination. Hanté par l’idée de la mort,
obsédé par un “double” mystérieux et il s’enfonçait progressivement dans la folie. Il a
été est interné dans l’asile des fous du Docteur Blanche après un suicide manqué en
1891.
G. Méthode de Recherche
Cette recherche utilise une approche de la psychologie de la littérature . La
technique de la recherche est celle de bibliographie. On l’utilise pour trouver des
informations sur l’attitude anormal comme symtômes psycotique dans
Le Horla
(1887)
et dans
Qui Sait ?
H. Analyse
Dans
Le Horla (1887)
et
Qui Sait ?
, j’ai trouvé les personnages du hero de
ces nouvelles, ce sont:
xii
Dans
Le Horla (1887)
et
Qui Sait ?
, j’ai trouvé quelques manifestations
psycotique.
a.
Dans
Le Horla (1887)
: l’hallucination audio-visuelle, la désorientation d’un
endroit, la folie de la persécution, des cauchemars, l’insomnie, la peur et
l’angoisse sans raison et l’oscillation de l’émotion.
b.
Dans
Qui Sait ?
: l‘isolation, l’hallucination audio-visuelle, et la peur
excessive.
La relation entre la psychose du héro de
Le Horla (1887)
et celui de
Qui Sait ?
et l’histoire de la santé psychique de l’écrivain, sont:
a.
Guy de Maupassant avait aussi des hallucinations, des cauchemars,
l’insomnie, etc.
b.
Le héro de
Le Horla (1887)
et celui de
Qui Sait ?
et Guy de Maupassant
faisaient souvent des excursions ailleurs pour reduire sa tension nerveuse.
I. Conclusion
Cette recherche montre que:
a. il y a une relation entre la psychose du héro de
Le Horla
et celui de
Qui
Sait ?
et le trouble mentale de l’écrivain,
b. l’imagination, la connaissance, et l’expérience personnelle provoquent Guy
de Maupassant à les mettre dans la forme littéraire,
c. il y a des ressemblances de caractères, de coutumes, de personnalités et même
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ………...…... ii
HALAMAN PERNYATAAN………... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN. ………...……... iv
PRAKATA ...……….………... v
SARI………...vii
RESUME………... viii
DAFTAR ISI ………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ………...1
B.
Rumusan Masalah……….……... 9
C.
Tujuan Penelitian ………...10
D.
Manfaat Penelitian ………...10
E.
Sistematika Penelitian………...10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Psikosis …….. ………..12
xiv
C. Hubungan Sastra dan Psikoanalisa ………
D. Penokohan ……….
E. Riwayat Hidup Guy de Maupassant ……….... 26
BAB III METODE PENELITIAN
A. Sasaran Penelitian ………... 31
B. Pendekatan Penelitian ………. 31
C. Teknik Analisa Data………. 32
D. Teknik Pengumpulan Data ………. .….. 32
E. Langkah Kerja ………..
BAB IV ANALISIS KORPUS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Penokohan
A.1 Analisis Penokohan dalam Cerpen
Le Horla
A.2 Analisis Penokohan dalam Cerpen
Qui Sait ?
B. Analisis Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant
B.1 Analisis Psikosis dalam Cerpen
Le Horla
B.2 Analisis Psikosis dalam Cerpen
Qui Sait ?
C. Hubungan Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant
dengan Riwayat Kesehatan Pengarang
xv
BAB V PENUTUP
A. Simpulan………...72
B. Saran……….73
DAFTAR
PUSTAKA
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Sinopsis cerpen
Le Horla
karya Guy de Maupassant
2.
Sinopsis cerpen
Qui Sait ?
karya Guy de Maupassant
3.
Korpus data
Le Horla
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak dikenalnya tulisan, manusia mulai menorehkan hasil akal budinya
dengan untaian kata-kata tertulis. Di antara karya tertulis yang dihasilkan salah
satunya adalah seni sastra. Driyarkara dalam Taum (1997:9) menyatakan bahwa
seni sastra merupakan sebuah sebuah cabang kebudayaan manusia yang paling
tua, yang mendahului cabang-abang kebudayaan lainnya.
Menurut Taum (1997:11), istilah sastra dalam bahasa-bahasa Barat secara
etimologis diturunkan dari bahasa Latin littera ‘huruf atau karya tulis’. Istilah itu
dipakai untuk menyebut tata bahasa dan puisi. Istilah Inggris literature, istilah
Jerman literatur, dan istilah Prancis littérature berarti segala macam pemakaian
bahasa dalam bentuk tertulis. Untuk menghindari kerancuan pengetahuan tentang
sastra, dalam bahasa Prancis menggunakan istilah belles lettres (yang berarti:
tulisan yang indah dan sopan) sebagai istilah khas untuk menyebut karya sastra
yang bernilai estetik
Sumardjo dan Saini K.M. (1993:8) menyatakan sastra sebagai ungkapan
pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat
keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona
dengan alat bahasa. Sementara Lefévère dalam Taum (1997: 15) menyatakan
sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal
2
Gagasan tersebut berfungsi ganda yakni, mengkomunikasikan kenikmatan estetik
(esthetic enjoyment) dan membuat manusia pembacanya melihat kehidupan
sendiri dalam perspektif bentuk hidup lain.
Adapun produk sastra yaitu berbagai jenis sastra yang dihasilkan.
Suharianto (1982:14) menyatakan karya sastra sebagai pengungkapan hidup dan
kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta
dukungan pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut.
Kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya menjadi bahan yang
menarik untuk dituangkan dalam karya sastra. Sebuah momentum bersejarah yang
mengakibatkan perubahan paling besar dalam kehidupan masyarakat Prancis
adalah Revolusi Prancis yang terjadi pada tanggal 14 Juli 1789. Pada masa itu
terjadi goncangan peristiwa baik politik maupun sosial yang turut mengubah cara
pandang masyarakat terhadap banyak hal, di antaranya adalah agama,
pemerintahan, konsep kesetaraan, kebebasan, termasuk juga dalam bidang sastra.
Husen (2001: 101-102) mengatakan, bahwa kesusastraan Prancis abad XIX
merekam gaungnya melalui beberapa aliran dan berbagai bentuk karya sastra.
Aliran yang berkembang di antaranya adalah; romantisme, formalisme,
simbolisme, realisme dan naturalisme. Para pengarang gemar menulis masalah
sosial sosial khususnya kehidupan masyarakat kelas bawah. Selain tema sejarah
dan sosial, pada abad XIX ditampilkan juga tema kegelisahan (malaise) yang
diberi nama mal du siècle ’penyakit zaman’, vague des passions ‘gelombang
gairah’, spleen ‘kesedihan’, dégoût decadent ‘kebosanan parah’, atau muncul
3
Husen (2001:101) menyebutkan, bahwa secara politis, para pengarang
terbagi dalam klan monarkis dan liberal. Namun, keduanya menuntut hak yang
sama: kebabasan menulis, kebebasan pers, dan peningkatan peranan pengarang di
masyarakat. Berpegang pada konsep individualitas dan kebebasan, serta yakin
bahwa pengarang mempunyai misi, mereka mengambil bagian dalam mesyarakat
yang menunjang perkembangan kesusastraan, khususnya dan gagasan
sosial-politik, spiritual, keagamaan pada umumnya.
Sastra selanjutnya berlomba mentransgresikan dirinya pada ruang
abnormal dan menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam kesadaran
masyarakat. Lahirnya sastra modern yang tumbuh di tengah kemapanan bahasa
yang sudah ada dan pola linguistik yang kaku mengubah anggapan bahwa ciri
khas sastra adalah bahasa yang indah. Hal ini bisa dilihat dalam karya Marquis de
Sade. “Fenomena Sade”: sadisme dan seksualitas dieksplorasi dan dipertontonkan
habis-habisan (Taum, 1997:12). Kemudian tema-tema horor-supranatural,
kecemasan dan kegilaan yang merambah pada perilaku abnormal manusia mulai
muncul.
Rincé dan Lecherbonnier (1986: 487) mengenalkan seorang cerpenis
Rusia abad XIX, Nicolas Gogol (1809-1852) yang menderita psikosis (penyakit
mental) akut menulis Le Journal d’Un Fou (1834) yang berisi harian pribadi
seorang pegawai negeri di Saint-Petersbourg yang mengalami halusinasi sedikit
demi sedikit. Pada akhir cerita, ia menganggap dirinya sebagai Raja Spanyol,
mengalami disorientasi tempat dan waktu dan akhirnya ia tidak tahan karena
4
Safitri (2005:3) menyatakan bahwa perilaku abnormal manusia yang ada
dalam realitas kehidupan membuka kemungkinan akan terefleksinya dalam karya
sastra. Refleksi ini terwujud berkat tiruan dan gabungan imajinasi pengarang
terhadap realitas kehidupan atau realitas alam.
Seperti yang diungkapkan Fanani (2000:111) bahwa karya sastra
merupakan tiruan (mimesis) dari unsur-unsur kehidupan nyata yang ada. Dapat
dikatakan pula bahwa karya sastra mampu merekam masalah-masalah yang
sedang bergejolak dan berkembang di masyarakat. Pengarang mengajak pembaca
untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna pengalaman hidup seperti yang
dirasakan pengarang melalui karyanya.
Safitri menambahkan (2005:5) bahwa kemiripan karya sastra dengan
realita dapat dipandang dari penokohannya. Penokohan dapat dilihat melalui
pelukisan tokoh-tokoh secara fisik dan terutama psikis. Karya sastra yang
dipandang dari segi psikis berkaitan erat dengan bidang psikologi.
Rokhman dkk (2003:43-47) menjelaskan, bahwa dalam sejarah
kesusastraan abad XIX, mekanisme psikologi sudah dipergunakan untuk
menjelaskan hubungan manusia dan karya sastra. Perdebatan seru sempat muncul
manakala psikologi memasuki ranah sastra, khususnya saat psikoanalisis mulai
memeriksa karya sastra sebagai objek penelitiannya. Semenjak Freud, dan
dilanjutkan Lacan, mulai menguji validitas teori l’inconscience-nya
‘ketidaksadaran’ yang ditemukan dalam sastra, di kemudian hari pendekatan
psikoanalisis memiliki peluang signifikan. Psikokritik yang telah dikerjakan
5
Pada dasarnya psikosastra dibangun atas dasar asumsi genesis dalam
kaitannya dengan asal-usul karya sastra. Psikosastra dianalisis dalam kaitannya
dengan aspek kejiwaan pengarang (Ratna, 2004:102). Gejolak jiwa pengarang
menjadi pendorong dan berpengaruh terhadap munculnya sebuah karya sastra.
Endraswara (2003:102) menyatakan bahwa kepribadian seorang pengarang
tampak juga dalam kejiwaan karyanya karena karya sastra menjadi “objek”
ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya.
Kondisi kejiwaan seorang seniman sangat berpengaruh pada hasil karya
yang dihasilkan. Seorang dokter psikiatri Jerman, Hans Prinzhorn mengoleksi
karya seni yang dibuat pasien mental. Karya lukis tersebut mengilustrasikan
halusinasi dan fantasi paranoid yang banyak diderita oleh para pasien skizofrenik
(Atkinson 1983:452). Seperti halnya seni lukis, proses menulis sastra pun tidak
lepas dari unsur keadaan psikologis, ekspresi, kesadaran dan ketaksadaran jiwa.
Tema horor, kecemasan dan kegilaan pun berkembang pada kesusastraan
abad XIX. Berbicara tentang sastrawan abad XIX tidak akan lepas dari nama
Gustave Flaubert, Émile Zola, Charles Baudelaire, Honore de Balzac dan
sebagainya. Masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri. Jika Zola terkenal
sebagai novelis, Baudelaire sebagai penyair, maka Maupassant adalah salah satu
dari tiga raja cerpen dunia sejajar dengan O. Henry dan Anton Chekov. Di luar
Prancis, banyak sastrawan yang menaruh perhatian padanya di antaranya adalah
Henry James dan Leo Tolstoy. James menjuluki cerpenis produktif ini “Singa
Jalanan” (Lion in the path), sedangkan Tolstoy menyebutnya “a genius” (Siregar
6
Karya-karya horor Maupassant dengan imajinasi yang mengerikan sering
dibandingkan dengan karya supranatural Edgar Allan Poe. Horor fiksinya terdiri
dari tigapuluh sembilan cerita, namun hanya sepuluh yang berhasil
diselesaikannya. Para kritikus menilai bahwa karyanya yang bersifat psikologi
abnormal dengan tema gangguan jiwa adalah karya semi-otobiografi
(Http://www.online.litterature.com/Maupassant). Gejala psikosis (penyakit mental
parah) tercermin dalam beberapa karyanya di antaranya adalah La Peur ‘Rasa
Takut’, yang berkisah tentang seorang paranoid yang selalu dihantui mimpi buruk.
Narator merasa dipaksa untuk berjalan-jalan.
Karya horor Maupassant bertema kegilaan yang menjadi masterpiece
adalah Le Horla. Le Horla ditulis dalam dua versi.
« …la première version du recit, publiée en 1886, est un conte fantastique,
la seconde publiée l’année suivante, un conte psycotique… »
(http://www.keepschool.com)
« …Versi yang pertama diterbitkan tahun 1886 adalah dongeng fantastis, cerita kedua yang diterbitkan setahun kemudian adalah sebuah dongeng psikotis… »
Kedua versi sama-sama bertema tentang kegilaan yang membedakan
adalah sudut pandang dan keobjektifan penceritaan. Versi pertama menggunakan
orang ketiga tunggal yang bercerita pada para dokter tentang hal-hal aneh yang
dialaminya. Para dokter tidak tahu lagi yang dipikirkan dari pengakuan tersebut
dan akhirnya memutuskan bahwa pasien telah gila.
Le Horla versi kedua (1887) diformat dalam bentuk buku harian yang
bercerita tentang hari-hari seorang penderita psikosis yang merasa akan ‘dimakan’
7
menurut pendengarannya menamakan diri sebagai Le Horla. Le Horla adalah
sejenis vampir yang menghisap kekuatan vital manusia yang ia ‘mangsa’. Tokoh
utama Le Horla digambarkan sebagai tokoh paranoid.
Le caractère paranoïaque du personage, qui se croit obligé de brûler sa maison, puis de se suicider, pour venir à bout du Horla, indique plutôt les signes d’une maladie mentale, dont le héro n’est pas concient : une psychose (http://www.keepschool.com).
Karakter paranoid tokoh utama yang yakin dirinya diperintah untuk
membakar rumahnya dan kemudian bunuh diri untuk melenyapkan Le
Horla, yang tokohnya dalam keadaan tidak sadar, mengindikasikan tanda-tanda penyakit mental, yaitu psikosis.
« …au personnage de Guy de Maupassant, dans récit Le Horla, pris dans un féroce face-à-face avec la schizophrénie ». (http://wwwcvm.qc.ca.ca)
« …tokoh Guy de Maupassant, dalam cerpen Le Horla, menjadi beringas saat berhadapan dengan penyakit skizofrenia »
Cerpen lain yang bertema tentang psikosis adalah Qui Sait ?. Karya ini
ditulis tahun 1890, saat Maupassant menderita gangguan jiwa serius. Qui Sait?
bercerita tentang seorang pria penyendiri yang mengalami halusinasi tentang
furnitur dalam rumahnya yang berpindah sendiri.
Le Horla (1887) dan Qui Sait ? sangat menarik untuk diteliti karena di samping
Le Horla adalah karya masterpiece yang bercerita tentang kehidupan
penderita psikosis, Le Horla juga ditulis oleh de Maupassant yang saat itu tengah
merawat adiknya, Hervé de Maupassant, yang terganggu jiwanya. Ia sendiri
dalam keadaan sakit akibat infeksi sifilis, kecanduan ganja dan eter dan penyakit
8
adpf.asso.fr). Sedangkan Qui Sait ? ditulis saat halusinasi yang dideritanya
berkembang semakin parah (Http://www.cvm.qc.ca/ enchephi/syllabus/litterature/
19e/fantastique.htm).
Hal-hal di luar karya sastra (unsur ekstrinsik) perlu diperhatikan dalam
menganalisis sebuah karya sastra. Oleh karena cerpen Le Horla dan Qui Sait ?
berisi aktivitas kejiwaan, maka pendekatan yang paling sesuai untuk cerpen
tersebut adalah psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra mengacu pada
psikoanalisis yang membahas tentang keadaan jiwa pencipta yang mendorong
munculnya ide teks sastra. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap gejala
psikosis Guy de Maupassant yang terefleksi dalam cerpen Le Horla dan Qui
Sait?.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dibahas adalah:
1. Bagaimanakan gambaran penokohan tokoh utama dalam cerpen Le Horla
dan Qui Sait ? karya Guy de Maupassant ?
2. Bagaimana gambaran psikosis yang terdapat dalam cerpen Le Horla dan
Qui Sait ? karya Guy de Maupassant ?
3. Adakah hubungan antara psikosis pengarang dengan gejala psikosis dalam
9
C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan penokohan tokoh utama dalam cerpen Le Horla dan Qui
Sait ? karya Guy de Maupassant.
2. Mendeskripsikan gejala psikosis dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ?
karya Guy de Maupassant
3. Menemukan hubungan psikosis pengarang yang terefleksi dalam cerpen
Le Horla dan Qui Sait ?.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Menambah khazanah penelitian di bidang sastra khususnya di jurusan
Bahasa dan Sastra Asing.
2. Meningkatkan motivasi dan apresiasi mahasiswa terhadap karya sastra
Prancis melalui studi atau analisis sastra beserta unsur-unsur
pembangunnya.
3. Memberi informasi pada pembaca tentang psikosis.
E. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi yang berjudul Refleksi Psikosis dalam Karya
Guy de Maupassant ini terdiri dari lima bab, sistematikanya adalah sebagai
10
Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
skripsi.
Bab kedua memuat landasan teori. Landasan teori dalam penelitan ini
berisi tentang pengertian psikosis, psikologi sastra, hubungan sastra dan
psikoanalisa, penokohan dan biografi pengarang.
Bab ketiga berisi tentang metode penelitian yang mencakup sasaran,
pendekatan penelitian, teknik analisis korpus data, teknik pengumpulan data, dan
langkah kerja.
Bab keempat berisi tentang hasil penelitian yang mencakup penokohan
tokoh utama, gejala psikosis dan psikosis pengarang dalam cerpen Le Horla dan
Qui Sait ?.
Bab kelima merupakan simpulan dari pembahasan yang dilengkapi dengan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Psikosis
1. Pengertian
Istilah psikosis (psychosis) pertama kali digunakan pada tahun 1845 oleh
Ernst Von Feuchtersleben sebagai alternatif untuk menyatakan penyakit gila atau
keranjingan. Psikosis berasal dari bahasa Yunani psyche (pikiran/ jiwa) dan osis
(penyakit/ keadaan tidak normal). Kata ini digunakan untuk membedakan antara
gangguan jiwa dengan neurosis yang berasal dari gangguan syaraf. Psikosis sering
digambarkan sebagai hilangnya hubungan dengan kenyataan
(http://www.en.wikipedia.org/wiki/etymology).
Chaplin (2005:407) mendefinisikan psikosis sebagai suatu penyakit mental
yang parah dengan ciri-ciri khas adanya disorganisasi proses pikiran, gangguan
dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang, person atau orang, dan pada
beberapa kasus disertai halusinasi dan delusi.
Atkinson (1993:452) mendefinisikan halusinasi sebagai pengalaman
sensorik palsu tanpa adanya stimulus eksternal yang relevan atau adekuat.
Bentuknya bisa berupa halusinasi auditorik (dengar), visual (lihat), maupun
halusinasi sensorik lain (bau busuk yang keluar dari tubuh penderita, rasa racun
dalam makanan, merasa kulit ditusuk-tusuk jarum). Walgito (1980: 99)
menambahkan pada orang yang berhalusinasi, ia merasa seolah-olah menerima
suatu stimulus yang sebenarnya secara objektif stimulus itu tidak ada dan ia tidak
12
Menurut Chaplin (2005:407) ada beberapa tipe khusus psikosis, antara
lain: manic-depressive psychosis, paranoia, schizophrenia, paresis dan alcoholic
psychosis. Adapun penjelasan dari masing-masing istilah adalah sebagai berikut:
a. Manic-Depressive Psychosis (Psikosis Manik Depresif)
Manic-Depressive Psychosis adalah satu penyakit mental yang berat,
dicirikan dengan ayunan-ayunan dalam emosi atau suasana hati. Dalam fase
manik, timbul hyperexitability (rangsangan kegemparan yang hebat dan
berlebihan), kegirangan ekstrem, perbuatan motorik berlebihan, dan mengalirnya
arus ide-ide. Dalam fase depresif, sedikit sekali kegiatan, ketidaktanggapan,
perlambatan, hambatan ide, kecemasan, kesedihan, dan kadangkala impuls bunuh
diri. Dalam bentuk klasiknya, penyakit ini merupakan perselang-selingan antara
kedua fase tadi. Pasien mungkin memperlihatkan periode depresi dengan
sebentar-sebentar diselingi periode mania dengan disertai keringanan relatif.
b. Paranoia
Paranoia adalah satu penyakit psikotik yang dicirikan dengan adanya
delusi penyiksaan (delusion of persecution) atau delusi kebesaran (delusion of
grandeur) yang sangat tersistemasi dengan kemerosotan jiwa yang ringan. Dalam
PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, Edisi III) ada
beberapa tambahan yaitu: ‘delusion of control’, delusi tentang dirinya
dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar, ‘delusion of influence’,
waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar dan ‘delusion of
perception’, pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas
13
c. Paresis
Paresis adalah satu psikosis disertai kelumpuhan progresif. Paresis
disebabkan oleh sifilis dari sistem syaraf.
d. Schizophrenia (Skizorenia)
Schizophrenia adalah nama umum untuk sekelompok reaksi psikotis,
dicirikan dengan adanya pengunduran atau pengurungan diri, gangguan pada
kehidupan emosional, afektif dan bergantung pada tipe dan adanya halusinasi,
delusi, tingkah laku, negativistis dan kemunduran atau kerusakan progresif.
Atkinson (1983:452) menyebutkan pada episode skizofrenik akut, sebagian pasien
mengalami gangguan persepsi yaitu tidak dapat mengenali diri sendiri di cermin
atau melihat bayangannya sebagai tiga citra.
e. Alcoholic Psychosis (Psikosis Alkoholik)
Alcoholic Psychosis adalah penyakit mental parah ditandai oleh
peradangan kronis atau akut di otak, hadirnya delirium, halusinasi, kerusakan pada
daya ingatan dan kemunduran umum dari daya pertimbangan.
2. Gejala Psikosis
Dr. Irmansyah, Sp.KJ, kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM dan Dr.
L.S. Chandra, Sp.KJ mengatakan adanya perubahan pikiran, perasaan, dan tingkah
laku manusia yang tidak normal dan berlangsung terus-menerus mengindikasikan
adanya gejala psikosis. Gejala psikosis antara lain: gangguan tidur, hilangnya
energi atau motivasi, kemorosotan prestasi, mengisolasi diri dari teman dan
keluarga, gagasan atau perilaku yang tidak lazim, selera makan yang tiba-tiba
14
merasa diikuti, energi yang melimpah (eforia), merasa lebih super dari yang lain,
merasa mempunyai kekuatan khusus, percaya hal yang aneh, perilaku yang
agitatif, emosional, melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh orang lain, mendengar
suara yang tidak didengar oleh orang lain, menuruti kata hati dalam menghabiskan
uang, perilaku ingin menyakiti (agresif) baik diri sendiri maupun orang lain, sulit
konsentrasi, susah dalam mengingat dan tidak fokus, merasa curiga, depresi,
cemas, tegang, marah dan ayunan emosi.
(http://www.jiwasehat.com)
3. Penyebab Psikosis
Lalang Ken Handita menuliskan penyebab psikosis menurut laporan WHO
(http://www.seniornews.co.id) di antaranya adalah depresi, penggunaan alkohol,
penyalahgunaan obat-obatan psikotropika, kecelakaan lalu lintas, luka karena
kecerobohan sendiri, trauma peperangan dan kekerasan.
Menurut Coleman dkk dalam Supratiknya (1995: 23-32) ada beberapa
penyebab antara lain:
a. Faktor biologis
Dalam hal ini adalah genetika keluarga. Penelitian terhadap keluarga
menunjukkan bahwa terdapat predisposisi herediter untuk terjadinya gangguan
jiwa; kerabat dari penderita psikosis lebih besar kemungkinannya untuk
15
b. Faktor psikososial
Faktor psikososial diantaranya adalah trauma masa kanak-kanak, struktur
keluarga dan hubungan orang tua dan anak yang patogenik, stres berat karena
frustasi, konflik nilai maupun tekanan hidup.
c. Faktor sosiokultural
Penyebab sosiokultural antara lain: korban perang, diskriminasi, terpaksa
menjalankan peran sosial yang bertentangan dengan hati seperti menjadi tentara
dalam peperangan yang harus membunuh musuh, dan terlibat dalam situasi
kekerasan.
d. Penyebab primer
Penyebab primer adalah penyebab yang tanpa kehadirannya tidak akan
muncul, misalnya infeksi sifilis tahap lanjut yang menyerang otak dan
menghancurkan sistem syaraf. Penderita akan mengalami kemunduran secara
progresif dan paresis umum.
e. Keracunan obat dan malnutrisi yang dapat mempengaruhi secara negative kerja
otak.
Dr. L.S. Chandra, SpKJ menambahkan bahwa penggunaan ganja (kanabis)
secara oral dapat menginduksi psikosis akut (http://www.jiwasehat.com).
4. Pengobatan
Seperti halnya penyakit fisik, psikosis pun dapat diobati tergantung jenis
penyakitnya. Sebagian besar dapat berobat jalan tanpa harus dimasukkan ke
16
a. Psikoterapi dan konseling
Terapi ini dilakukan untuk membantu pasien memahami diri dan perasaannya
lebih mendalam.
b. Obat psikoterapetik
Obat-obatan jenis antipsikotik bisa mengurangi atau menghilangkan gejala
psikosis.
c. Perawatan tingkah laku
Terapi ini membantu pasien mengubah cara berpikir atau tingkah laku tertentu
yang mengganggu dan teknik yang digunakan diantaranya adalah teknik
relaksasi.
d. Terapi Elektrokonvulsif
Terapi ini diberikan melalui arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk
menghasilkan kejang mirip dengan kejang epileptik. Biasanya diberikan pada
pasien yang mengalami kemurungan serius dan pasien akan dibius terlebih
dahulu.
(http://www.sabah.org.m/6m/nasihat/artikel_kesihatan/penyakit_mental.htm)
B. Psikologi Sastra
Endraswara (2003: 96) menerangkan asumsi dasar penelitian psikologi
sastra antara lain: dipengaruhi oleh hal pertama, adanya anggapan bahwa karya
sastra merupakan produk dari kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada
pada situasi setengah sadar atau subconscious setelah jelas baru dituangkan ke
17
Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti tokoh secara psikologi
juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya
tersebut.
Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama,
penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Peneliti
berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan
karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan.
Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca (Wellek dan
Warren 1990: 90).
Jatman dalam Endraswara (2003:97) menyatakan bahwa psikologi sastra
memiliki pertautan yang erat, secara tidak langsung dan fungsional serta memiliki
landasan pijak yang kokoh. Pertautan yang tidak langsung karena baik sastra
maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi
dan sastra memiliki hubungan fungsional karena baik sastra maupun psikologi
sama-sama mempelajari kejiwaan manusia. Bedanya, kalau karya sastra
mempelajari kejiwaan manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan
psikologi mempelajari kejiwaan manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil.
C. Hubungan Sastra dan Psikoanalisa
Menurut Freud dalam Alwisol (2005: 17), kehidupan jiwa memiliki tiga
tingkat kesadaran, yakni; sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak
18
dan superego. Ketiga sistem ini satu sama lain merupakan produk interaksi
ketiganya. Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Ego
(das ich) adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia
luar, mengarahkan individu kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan
fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Superego berkembang mengontrol
dorongan-dorongan “buta” id tersebut. Superego berisi nilai-nilai atau aturan yang
bersifat evaluatif (menyangkut baik-buruk).
Atmaja dalam Endraswara (2003: 101) memandang id sebagai satu acuan
penting untuk memahami mengapa seniman atau sastrawan menjadi kreatif.
Dengan id sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam
karyanya. Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia
yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa “energi
buta”. Id berada dan beroperasi dalam daerah bawah sadar. Lebih lanjut dikatakan
bahwa ketaksadaran dapat menyublim ke dalam proses kreatif pengarang.
Wellek dan Warren (1990: 97) menambahkan bahwa proses kreatif
meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan
karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi
sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling
kreatif.
Psikoanalisa merangsang pada “keadaan jiwa” pencipta sehingga muncul
ide teks sastra. Menurut Freud, penyair kadang-kadang menjadi seorang
19
pelarian (escapisme). Keadaan itulah yang mengarahkan pada studi psikologi
sastra terhadap proses kreatif pengarang (Dalam Wellek dan Warren 1990: 92).
Endraswara (2003: 103) menambahkan bahwa munculnya asumsi tersebut
berarti psikologi sastra dapat mempelajari karya-karya secara psikologis.
Kepribadian pengarang akan tampak juga dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra
menjadi “objek” ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi
hatinya.
Masuknya sastra menuju interdisipliner lain (dalam hal ini adalah
psikologi) membuktikan bahwa sastra bukanlah sebuah otonomi. Ratna (2004:63)
menyebutkan bahwa psikoanalisis Freud dalam mempelajari teks sastra bertumpu
pada; 1) bahasa pasien, adanya keterlibatan sastra, 2) memakai objek mimpi,
fantasi, dan 3) mite yang dalam karya sastra, ketiganya merupakan sumber
imajinasi. Lebih lanjut Ratna (2004:345) mengatakan, bahwa teori Freud
dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di balik gejala
bahasa.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sastra dan
psikoanalisa. Hubungan itu adalah (1) ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang
tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan hadirnya karya sastra dan
(2) ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini karya sastra
menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh
Freud disebut “pekerjaan mimpi” (Milner dalam Endraswara 2003:102). Jadi
20
Karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang yang menggambarkan
emosi dan pemikirannya.
D. Penokohan
Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1996: 165), penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita. Suharianto (1980: 31) menambahkan bahwa pelukisan tokoh cerita dapat
dilihat dari keadaan lahir maupun batinnya yang berupa; pandangan hidupnya,
sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya dan lain-lain.
E. Riwayat Hidup Guy de Maupassant
1. Masa Kecil
Cerpenis Prancis abad XIX ini mempunyai nama asli Henry Albert Guy de
Maupassant. Ia lahir di kastil Mirosmenil, dekat Dieppe, yang disewa orangtuanya
tidak lama sebelum persalinan agar ia lahir di tempat kediaman para bangsawan,
pada tanggal 5 Agustus 1850. Sementara di surat kematiannya, ia lahir di
Sottleville. Tahun 1856, lahirlah adik laki-lakinya, Hervé de Maupassant, kali ini
di kastil Grainville-Ymauville dekat Le Havre.
Ibunya Laure Le Poittevin (1821-1903) berasal Normandia. Ia seorang
yang terdidik, sensitif dan gila kebangsawanan. Sayangnya sejak pernikahannya,
kehidupannya tidak bahagia. Ia menderita gangguan syaraf seperti; migren dan
kegugupan seumur hidup. Ia pernah mencoba bunuh diri dengan menggunakan
rambutnya yang panjang. Suaminya, Gustave de Maupassant (1821-1899),
21
Lorraine. Keluarganya menetap di Normandia sejak generasi sebelumnya. Ia
mendapat gelar kebangsawanannya tanggal 9 Juli 1846 dan menikah dengan
Laure empat bulan kemudian.
Dibesarkan di tengah-tengah keluarga kaya dan terpenuhi segala
kebutuhannya tidak membuat kehidupan Guy sepenuhnya bahagia, karena ia
sering menyaksikan pertengkaran ayah ibunya. Sikap ayahnya yang kasar dan
suka berselingkuh membuatnya memihak pada ibunya. Hingga dewasa ia selalu
perhatian dengannya. Kelak ‘suami kasar dan kejam’ itu sering muncul dalam
cerita-ceritanya. Perkawinan mereka berakhir tahun 1860 dan anak-anak tinggal
bersama ibunya.
Guy dididik oleh ibunya dan pastor Aubourg, yang mengajarnya
matematika, bahasa Yunani, bahasa Latin dan agama Katholik. Sebelum ia masuk
sekolah, ibunya mengajarinya membaca dan menulis. Ia juga mengajari cara
membaca karya Shakespeare, terutama Macbeth dan Midsummer Night’s Dream.
Guy melewatkan masa kecilnya di tengah-tengah kehidupan petani dan nelayan
Normandia yang sebagian besar menjadi latar dan tema dalam karya-karyanya di
masa mendatang.
2. Masa Muda dan Karya Guy de Maupassant
Menginjak usia ke-13, ia dikirim ke asrama Katholik mengikuti
pendidikan formal di Yvetot yang sama sekali tidak sesuai dengan kehendaknya.
Disipiln kaku para pengajarnya membuatnya tertekan. Sikapnya menjadi tidak
22
memberontak bersama teman-temannya dengan cara ‘merampok’ toko makanan
dan melakukan pesta seks.
Kebiasaan Guy saat liburan sekolah adalah mandi di laut di Êtretat yang
biasa dikunjungi para seniman. Suatu kali ia menolong Charles Algernon
Swinburn yang tenggelam di laut. Merekapun berkenalan dan sebagai wujud
terima kasih, Swinburn mengundangnya ke rumahnya. Guy yang sangat tertarik
dengan sastra menyambut baik tawaran itu. Di rumah itu Swinburn tinggal dengan
seorang pria yang ternyata adalah teman kencannya. Swinburn adalah penyair
Inggris yang terlibat skandal homoseksual dan sadisme. Guy sendiri adalah
remaja yang biasa melakukan seks bebas.
Tahun 1868, ia dipulangkan oleh sekolah dan melanjutkan ke sekolah
asrama di Rouen. Ibunya mengenalkannya dengan teman-temannya diantaranya,
Louis Bouillet dan Gustave Flaubert. Guy yang kurang kasih sayang dari ayahnya
menjadi sangat dekat dengan keduanya. Ia sangat kehilangan atas kematian
Bouillet, namun demikian akhirnya ia dapat menyelesaikan baccalaureat-nya
(ujian Sekolah Menengah Atas). Dengan bimbingan Flaubert, ia mulai memasuki
lingkungan sastra Paris.
Ketika berusia sembilan belas tahun, Guy masuk sekolah tinggi dan
belajar ilmu hukum. Setahun kemudian pecah perang Prancis-Prusia dan ia
dikirim ke Rouen. Sebagai prajurit infantri, ia nyaris tertangkap dan kejadian ini
diceritakan pada ibunya. Iapun kemudian melarikan diri dari kesatuannya karena
tidak tahan dengan kondisi perang dan selalu dibayangi ketakutan apalagi setelah
23
bekas suaminya. Berkat lobi ayahnya, ia akhirnya dipindah ke markas besar dan
tidak di garis depan lagi. Usai perang, ayahnya melakukan lobi lagi sehingga Guy
dapat bekerja di kementerian kelautan dan kondisi kejiwaannya mulai stabil.
Kehidupan birokrat tidak membuat Guy merasa nyaman dan ia lebih
tertarik pada sastra. Masa mudanya ia lewatkan dengan berkorespondensi dengan
para sastrawan dan mengunjungi temu sastra di rumah Flaubert di Croisset. Ia
membantu penelitian dalam karya L’Éducation Sentimentale(1869) dan Bouvard
et Pécuchet (1880). Cerpen pertamanya berjudul Une Main d’Ecorchée, sebuah
cerpen fantastis ditulis tahun 1875 dengan nama samaran Joseph Prunier. Tahun
1876 ia menulis di Bulletin Français sebuah cerpen berjudul En Canot yang
terinspirasi dari hasratnya pada elemen cair dan aktivitas favorit setiap hari
Minggu yang biasa ia lewatkan di Sungai Seine, antara Bezons, Chatou, dan Pulau
Pecq.. Flaubert juga mengenalkannya pada Huysmann, Yvon Tourgueniev, Réné
Maizeroy, Emile Zola dan lain-lain. Ia bergabung dengan para sastrawan dan
menulis antologi yang bertemakan perang dengan nama Les Soirées de Médan.
Karyanya yang berjudul Boule de Suif, terinspirasi oleh pengalaman perang tahun
1870, menjadi sukses besarnya dan langsung membuatnya terkenal dalam
beberapa minggu. Atas bantuan Flaubert pula ia mendaftar di harian Le Gaulois.
Flaubert benar-benar mengasuh dan membentuk de Maupassant dengan
keras. Selama tujuh tahun semua karya yang ditulis tidak satupun yang
diterbitkan. Semuanya masih dalam ‘tahap belajar’. Untuk menggambarkan
24
harus menggali ‘sesuatu’ yang belum dilihat atau tereksplor oleh orang lain
(Sabtu, 6 September 2001, http://www.minggupagi.com.).
“Pendant 7 ans, je fis des vers, je vis des contes, je fis des nouvelles, je fis même un drame détestable. Il n’en n’est rien resté. Le maître lisait tout, puis les dimanches suivant en déjeunant, développait ses critiques et enfonçait en moi peu à peu, deux ou trois principes qui sont résumé de ses longs et patiens enseignements…”
(www.cours.uqam.ca)
“Selama tujuh tahun, aku menulis sajak, aku menulis dongeng, aku menulis novel, bahkan aku menulis drama yang jelek sekali. Tidak ada yang tersisa. Guru membaca semuanya, kemudian setiap hari Minggu berikutnya sambil makan siang, mengembangkan kritiknya dan menanamkan padaku sedikit demi sedikit, dua atau tiga prinsip yang diringkasnya dari pengajarannya yang panjang dan penuh kesabaran…”
Flaubert menasehatinya untuk mengorbankan segalanya untuk seni. Dalam
sastra, ia menemukan kebahagiaan. Namun kebahagiannya tidak bertahan lama
karena kematian Flaubert,’ayah angkat’nya akibat pendarahan otak pada tanggal 8
Mei 1880. Ia habiskan hidupnya untuk jurnalisme, bepergian dan berkarya
sebanyak mungkin. Setelah kematian Flaubert, ia menulis:
“Chaque fois qu’il me semble avoir oublié mon métier, je relis ses livres. C’est le maître, le vrai maître”
“Setiap kali aku lalai dengan pekerjaanku, aku membaca lagi buku-bukunya. Ia memang seorang guru, guru sejati”
Catatan perjalanannya ia kirimkan ke harian Le Gaulois (sejak
1880-1888), harian Gil Blas (sejak 1881) dan secara periodik ke harian Le Figaro.
Berkat kerja kerasnya ia menjadi sangat kaya. Ia tinggal di apartemen mewah di
Sartrouville yang ia sewa sejak 1881-1884. Tahun 1883, ia membangun vila La
25
membeli sebuah kapal layar yang ia beri nama Bel Ami, memberi banyak uang
pada anggota keluarganya, para wanita simpanannya, dan anak-anak di luar
pernikahan, hasil hubungan gelapnya dengan Joséphine Litzelmann, yaitu Lucien
(1883), Lucienne (1884), dan Marthe (1887).
Siregar (dalam http://www. tripod.com/ruangsastra/biografi/htm)
menyebutkan, bahwa dalam waktu sepuluh tahun De Maupassant telah
menghasilkan 6 roman, 300 cerpen, 3 cerita perjalanan, 200 artikel di surat kabar,
dan satu jilid puisi Des Vers. Saat ditanyai dari mana ide-ide karyanya, ia
menjawab bahwa karyanya banyak diilhami dari sumber sederhana biasanya dari
berita di koran atau obrolan santai dengan teman-temannya. Siregar
menambahkan bahwa cara bercerita de Maupassant menjadi kekuatan utama
cerita-ceritanya. Para kritikus mengkategorikannya sebagai pengarang beraliran
realis naturalis, yaitu gaya penceritaan yang alami dengan penggambaran yang
konkret, tidak sentimentil dan tidak romantis. Ciri khas tulisannya adalah
objektivitas, bahasa yang terkontrol, lurus dan ketat, serta sesekali lelucon.
Anatole France dalam La Vie Littéraire mengungkapkan:
“Monsieur de Maupassant est certainement un des plus francs conteurs de ce pays où l’on fit tant de conte, et de si bons. Sa langue, forte, simple, naturelle, a un goût de terroir qui nous la fait aimer chèrement. Il possède les trois qualités de l’écrivain français: d’abort la clarté, puis encore la clarté, et enfin la clarté. Il a esprit de mesure et d’ordre qui est celui de notre race.” (http://www. kirjasto.sci.fi/maupassant.htm)
26
3. Perjalanan-Perjalanan
Guy de Maupassant telah melakukan perjalanan-perjalanan antara lain ke
Cannes (1884) dan tinggal di sana setiap musim dingin hingga tahun 1890.
Kemudian ke Antibe tempat saudaranya, Hervé, bertani (1885, 1886, 1887).
Setelah menulis Le Horla, ia terbang ke Belanda dengan balon udara yang ia
namai Le Horla. Dengan kapal layarnya, Bel Ami, ia menyeberangi Laut Tengah
(April 1888), pergi ke Afrika Utara (1887,1888,1889,1890), ke Korsika bersama
ibunya (1880), ke Italia (Venisia, Roma, Naple, dan Sisilia 1885) dan ke
Livourne, Pisa, Florence (1889). Fiksi tentang perjalanannya antara lain; Au Soleil
(1884), Sur L’Eau (1888) dan La Vie Errante (1890).
4. Teman Wanita
Berkat kehandalan menulis, kekayaan dan ketampanannya tidak sulit bagi
De Maupassant untuk bergaul dengan banyak wanita. Ia sering mengunjungi
wanita para pemilik salon littéraire, antara lain; Hermine Lecomte de Noüy,
Comtesse Potocka (wanita Italia dengan nama Polandia), Marie Kann (wanita
Yahudi simpanannya, seorang imigran Rusia), dan lain-lain. Ia juga berhubungan
intim dengan banyak wanita antara lain; Joséphine Litzelmann (pemberi air di
Chatelguyon dan memberinya tiga orang anak), seorang penari opera selama dua
tahun, Gisèle d’Estoc (wanita lesbian yang juga seorang penulis dan pemahat).
De Maupassant tidak percaya pada cinta dan menolak ikatan perkawinan
karena ia seorang yang tidak ingin diatur dan terikat oleh suatu hubungan.
27
“Rien dans la vie ne semble plus attristant et plus pénible que ces liaisons de longue durée”
“Je n’ai pas eu, de toute ma vie, une apparence d’amour, bien que j’ai simulé souvent ce sentiment que je n’éprouverai sans doute jamais”. (1881- Lettre à Gisèle d’Estoc”
(www.cours.uqam.ca)
“Aku takut dengan rantai paling kecil sekalipun yang datang dari sebuah pikiran atau seorang wanita”
“Tidak ada dalam hidup yang paling menyedihkan dan paling berat melainkan hubungan dalam waktu lama”
“Selama hidupku, aku kelihatannya tidak memiliki cinta, meskipun aku sering berpura-pura merasakannya, tak diragukan lagi aku tidak akan pernah merasakannya”. (1881- surat kepada Gisèle d’Estoc)
5. Kesehatan Kejiwaan
De Maupassant adalah seorang yang kesepian meski hidup dalam
ketenaran. Dari kediamannya di Êtretat di bulan Januari 1881, ia menulis surat
pada ibunya.
“J’ai froid plus encore de la solitude de la vie que de la solitude de la maison. Je sens cet immense égaremant de tout les êtres, le poid du vide. Et au milieu de cette débandade de tout, mon cerveau fonctionne, lucide, exact, m’éblouissant avec Rien eternal” (Http://www.adpf.asso.fr/ adpf_publi/ folio/ Maupassant/recits.htm).
“Aku merasa lebih dingin karena sepinya kehidupan, daripada sepinya keadaan rumah. Aku merasa bahwa semua makhluk sudah tersesat jauh, beratnya kekosongan. Di tengah semua kekacauan ini, otakku bekerja, jelas, benar, mempesonakanku dengan Dzat yang kekal”.
De Maupassant juga seorang yang sangat pesimis dan rapuh. Baginya
dunia penuh dengan kekuatan membabi buta dan sulit dipahami. Agama serta
persahabatan hanyalah tipuan belaka. Manusia sulit dimengerti dan cenderung
hidup dalam kesepian. Kebodohan manusia sangat mengecewakan sekaligus
28
keterbatasan manusia yang mengalami tua, sakit, dan mati serta kekuatan aneh di
luar jangkauan manusia dan sesuatu yang mengendalikan manusia. Ia tertarik
dengan hal yang berkaitan dengan kegilaan, bahkan ia mengikuti kuliah Profesor
Charcot di Salpêtrière tentang hipnosisme dan histeria yang pada masa itu sangat
marak dihadiri. Terlebih lagi ia mengenal Charcot secara pribadi saat makan
malam di rumah Edmond de Goncourt dan pada satu kesempatan ibunya diperiksa
oleh Charcot sendiri.
Akibat seks bebas yang dilakukannya, ia menderita sifilis sejak usia
duapuluh tahun, yang kemudian berkembang dengan adanya gangguan
penglihatan, lemah syaraf dan kejiwaan yang tak terkendali. Tahun 1880, di
samping menghisap ganja dan eter, ia juga mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
Hidupnya yang kacau semakin memperburuk kesehatannya. Sejak tahun 1883, ia
sering mengambil air di Chatelguyon, Aix, Plombières, Luchon dan Divonne.
Tahun 1887, ia menjaga adiknya yang dirawat di Charenton (Rumah Sakit Jiwa
Val de Marne) dan akhirnya meninggal. Untuk melupakan kesedihannya, ia
berlayar ke Laut Tengah dengan kapal layarnya, Bel Ami.
Gangguan kejiwaan yang diderita membuatnya sering berhalusinasi. Hal
ini terlihat dalam suratnya pada Paul Bourget, temannya, bahwa suatu kali ia
pulang dan melihat ‘sosok gandanya’ (double) sedang duduk di kursinya. Dia tahu
bahwa itu hanyalah halusinasi dan jika dia tidak mempunyai akal sehat, dia pasti
akan ketakutan (http://www.watarts.waterloo.ca/~acheyne/lehorla.htm).
Frank Harris menuliskan tiga atau empat tahun masa-masa terakhirnya, De
29
pada kegilaan dan kematian sebelum masanya. Pertama, dirinya yang gila-gilaan
mengakibatkan kebutaan sebagian, sakit syaraf akut, dan masa-masa tidak dapat
tidur yang ia tunjukkan dalam tulisan-tulisannya yang berisi ketakutan-ketakutan
yang mengerikan. Kemudian keputusasaan panjang yang berbuntut pada depresi
dan kadang-kadang luapan kegembiraan dan kesenangan yang berlebihan. Ia
menyebutnya sebagai penderitaan jiwa yang tak terlukiskan dan tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Masa-masa sehatnya adalah masa tanpa istirahat.
Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menghindari udara dan kebisingan
Paris yang dia katakan menyebabkan sakit kepala yang dahsyat. Sakit yang ia
rasakan sangat menyiksa, serasa memecahkan kepala, membuat gila,
membingungkan pikiran, tidak ada yang menyamainya dan membubarkan
ingatannya seperti debu ditiup angin. Ia terpaksa harus berbaring di ranjang
dengan botol eter di bawah lubang hidungnya. Roger Williams berpendapat
bahwa sakit kepala itu adalah wujud tekanan permasalahan, neurosis turunan yang
berhubungan dengan tekanan masalah keluarga. Ketakutan memasuki masa tua
dan kematian lama kelamaan memenuhi pikirannya. Dia meninggalkan Prancis
dan melakukan perjalanan ke Italia untuk melupakan bayangan kegilaan yang
mengejarnya.
Tahun 1891, ia berobat di sumber air panas di Divonne-les-Bains. Ia ingin
mengeluarkan satu gumpalan dalam kepalanya. Sakit kepala yang selalu
menyerangnya membuatnya tidak dapat membaca. Semua huruf yang ditulisnya
30
tidak memiliki pikiran yang satu. Ia lupa kata-kata, nama-nama semua benda,
berhalusinasi dan rasa sakitnya membuatnya serasa hancur berkeping-keping.
Natal tahun 1891, ia mengajak dua wanita berlayar dan semuanya
kelihatan baik-baik saja, tetapi kemudian ia mengadu bahwa dia baru saja melihat
hantu. Pada tahun baru jam dua pagi kurang seperempat, pembantunya
menemukannya dengan leher tersayat. Di juga mencoba menembak dirinya tetapi
lukanya tidak serius. Setelah koma selama sehari, ia bangun dan mengumumkan
bahwa dia harus ke perbatasan; perang telah dikumandangkan. Teman-temannya
membawanya ke kapalnya berharap bahwa itu akan menyadarkannya. Tanggal 6
Januari, ia dibawa ke Paris dalam pengamanan dan dipindahkan ke rumah sakit
jiwa Dr. Ésprit Blanche di Passy.
Bulan-bulan berikutnya dalam keadaan normal, ia senang menyambut
tamunya dengan cerita-cerita gembira; di waktu lain ia berhalusinasi, kasar dan
harus diamankan. Dari bulan April kesehatannya menurun tajam. Seorang dokter
menjaganya setiap hari. Surat-surat terakhirnya berbicara tentang keberuntungan
besar yang diperoleh dari bongkahan emas dan harta karun terpendam. Dia
membayangkan bahwa ia adalah anak Perawan Maria yang kaya. Dia menanam
ranting-ranting di sekitar kebun berharap akan tumbuh menjadi bayi Maupassant.
Dia memukul-mukul dinding selnya dan menyimpan air seninya, berpikir itu
terbuat dari berlian dan permata. Dia menggonggong seperti anjing. Ketika
pikirannya serasa lari dari kepalanya, dengan cemas ia bertanya-tanya dan
kembali bersemangat dan gembira ketika ia berpikir telah menemukannya dalam
31
muda adalah keceriaan dan ungu sebagai perzinahan. Dia lelah menangkap
kupu-kupu bayangan yang terbang. Pada akhirnya ia menjadi kasar dan harus memakai
pengekang mesin. Perkembangan infeksi sifilis secara progresif mengakibatkan
kelumpuhan pada tahun 1892. Setelah mengalami penderitaan panjang dalam
keterasingan, de Maupassant meninggal tanggal 7 Juli 1893 dengan kata-kata
terakhir “des ténèbres, des ténèbres” (kegelapan, kegelapan).
(http://www.poxhistory.com/work8.htm,http://watars.waterloo.ca,http://perso.wan adoo.fr/calounet/biographies/maupassant_biographie.htm,
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Sasaran Penelitian
Sesuai dengan tujuan yang dipaparkan pada Bab I, maka beberapa sasaran
lebih khusus yang ingin dicapai adalah mendeskripsikan psikosis dalam cerpen
Le Horla dan Qui Sait ? dan mencari hubungan antara psikosis pengarang yang
terefleksi dalam kedua cerpen tersebut berupa gejala psikosis yang ada.
Data dalam penelitian ini berupa peristiwa-peristiwa atau masalah-masalah
tokoh cerita yang dapat memberikan informasi tentang perilaku abnormal sebagai
perwujudan psikosis yang tertuang dalam cerpen ini. Adapun sumber datanya
adalah teks sastra, yaitu cerpen Le Horla (1887-versi kedua) yang merupakan
kumpulan cerpen berjudul Le Horla dan cerpen Qui Sait ? karya Guy de
Maupassant. Qui Sait ? diterbitkan oleh L’Écho de Paris tanggal 6 April 1890 dan
merupakan kumpulan cerpen berjudul L’Inutile Beauté.
B. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan
psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang sastra sebagai aktivitas
kejiwaan (Endraswara 2003:96). Pendekatan psikologi sastra menekankan analisis
terhadap keseluruhan unsur pembangun karya sastra baik dari segi intrinsik
maupun ekstrinsik. Dari segi intrinsik yang ditekankan adalah penokohan atau
perwatakan, dan dari segi ekstrinsik yang ditekankan adalah mengenai diri
33
falsafah hidup, obsesi dan lain-lain. Dalam kaitan ini, perlu dicari riwayat hidup
pengarang sejak kecil hingga dewasa agar kita tahu endapan pengalaman pribadi
yang diekspresikan dalam karyanya.
C. Teknik Analisis Data
Data penelitian ini dianalisis dengan teknik Pilah Unsur Penentu (PUP),
yaitu alat yang digunakan untuk memilih data yang akan diteliti
(Sudaryanto,1993: 21). Setelah itu, menentukan unsur-unsur yang akan dianalisis.
Unsur penentu di dalam analisis data ini adalah korpus data yang berupa kata,
frasa atau kalimat yang menunjukkan gejala psikosis. Setelah ditentukan unsur
penentunya, dilanjutkan dengan menganalisis korpus data tersebut. Setelah
melewati tahapan di atas kemudian ditarik kesimpulan dari data yang telah
dianalisis.
D. Teknik Pengumpulan Data
Korpus penelitian ini diperoleh dengan cara:
1. Metode studi pustaka, yaitu dengan cara membaca isi cerpen keseluruhan
secara teliti, selanjutnya menggarisbawahi kalimat-kalimat dalam cerpen yang
mengandung gejala-gejala psikosis.
2. Metode dokumentasi, yaitu dengan cara mencatat dan mendokumentasikan
data yang ditemukan dari sumber data kemudian menuliskannya dalam sebuah
34
1. Kartu yang terbuat dari kertas HVS.
2. Kartu data tersebut terdiri dari lajur. Lajur pertama tercetak di sudut kiri
atas, terdiri dari nomor kalimat yang dianalisis, judul cerpen, tahun, dan
halaman. cerpen. Sebagai contoh 1/LH/1887/42 artinya nomor kalimat 1,
dari cerpen berjudul Le Horla, tahun terbit 1887, halaman 42.
3. Lajur kedua berisi kalimat yang dianalisis.
4. Lajur ketiga berisi terjemahan yang terdapat pada kolom.
5. Lajur keempat berisi analisis data hasil penelitian, dan untuk lebih jelasnya
berikut ini adalah contoh katu data :
1/LH/1887/42
Qu’ai- je donc? C’est lui, lui, le Horla, qui me hante, qui me fait penser ces folies! il est en moi, il devient mon âme; je le tuerai
Ada apa denganku ? Itulah dia, dia, le Horla, yang menghantuiku, yang membuatku memikirkan kegilaan-kegilaan ini. Ia berada dalam diriku, dia menjadi jiwaku; aku akan membunuhnya.
Narator mengalami delusion of persecution (delusi kejar), yaitu perasaan dihantui oleh makhluk tak terlihat yang merasuk pada dirinya dan menguasainya. Keinginannya untuk melenyapkan makhluk tersebut adalah
sebagai bentuk mechanisme defence (pertahanan diri) untuk lepas dari
ketidaknyamanan dalam bentuk perlawanan.
E. Langkah Kerja
1. Membaca seluruh isi teks cerpen Le Horla dan Qui Sait ?
2. Mencari dan mencatat gejala psikosis dalam teks
3. Mencari fakta-fakta mengenai psikosis pengarang
4. Menganalisis teks sastra sebagai cermin kejiwaan pengarang dengan cara
35
pengalaman hidup pengarang sebagai penderita psikosis untuk menentukan
sampai sejauhmana peran pengarang sebagai penghasil karya sastra
5. Menyimpulkan hasil analisis yang didasarkan pada analisis data secara
BAB IV
ANALISIS KORPUS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas tentang (1) penokohan tokoh utama sebagai sarana
pendeskripsian karakter terkait dengan pendapat yang menyatakan sastra sebagai
gambaran kejiwaan pengarang, (2) psikosis dalam karya Guy de Maupassant, dan
(3) refleksi psikosis dalam karya Guy de Maupassa