• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Para Pihak Dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat Sebagai Bahan Baku Jamu Studi Kasus Di Pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemetaan Para Pihak Dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat Sebagai Bahan Baku Jamu Studi Kasus Di Pulau Jawa"

Copied!
227
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN PARA PIHAK DALAM PEMANFAATAN

TUMBUHAN OBAT SEBAGAI BAHAN BAKU JAMU:

STUDI KASUS DI PULAU JAWA

IGNATIUS ADI NUGROHO

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pemetaan Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat sebagai Bahan Baku Jamu Studi Kasus di Jawa adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi di manapun. Sumber yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Ignatius Adi Nugroho

(3)

utilization, which is in the utilization process, there are also conflicts of interest, influence and power. Those conflicts occurred because medicinal plants utilization creates social change and economic among stakeholder’s activities. Purposes of this study are (a) Identifying stakeholders, their motivation and perception in medicinal plants utilization; (b) Analyzing role, interest, influence and power among stakeholders; (c) Analyzing stakeholder’s access to medicinal plants utilization; (d) Analyzing benefit and transaction cost occurred, and (e) Describing stakeholder’s resilience relates to their safety net and stepping stone by the medicinal plants utilization. The method used in this study is survey to stakeholders by interviewing key informants. Data were captured in three clusters: (a) Production cluster in Meru Betiri National Park, Jember District, East Jawa; (b) Traditional healthcare cluster in Yogyakarta City, and (c) Industry cluster in Sukoharjo District, Central Jawa. Results of this study shows that there were totally 41 stakeholders involved in medicinal plants utilization such as government sectors, private sectors, Indonesia herbal association, Indonesia Doctors Association, Non Government Organization (NGO), Hospitals and clinics, households, traditional healers, Middleman buyers, Harvesters, Farmers, Small-Medium Entrepreneurs, and Pencak Silat Martial Arts Group. Based on mapping to the stakeholders, it was informed that almost all stakeholders were still disperse in their each different interest. Furthermore, the stakeholders need an institutional arrangement to decrease negative excess in those utilization. The stakeholders also have two access variables: access to market and access to capital. Access to market is described that stakeholders tend to sell raw materials of medicinal plants from natural forest. Most stakeholders have benefits in the activities and all transaction cost occurred in form of ad valorem and lump sum. Based on resilience analysis, the stakeholders who involved in medicinal plants utilization still has vulnerable. It means the stakeholders need protection and government should encourage them to develop safety net and stepping stone. Implication of this study, there is a need in optimally range of rehabilitation zone in Meru Betiri National Park to develop medicinal plants cultivation and to encourage institutional arrangement medicinal plants utilization. It is quite important to avoid asymmetric information among stakeholders in each cluster, to continue research study in supply-demand of medicinal plants utilization and to encourage enabling policy to secure the medicinal plants cultivation area by the routine patrol activity, so that the government policy could be perceived its presence by the stakeholders.

(4)

sebagai Bahan Baku Jamu: Studi Kasus di Pulau Jawa. Dibimbing oleh Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.ScFor.Trop., Profesor Dr. Ir. Latifah Kosim Darusman, MS., Profesor Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, MSi, Sp.F, DFM, dan Profesor Dr. Ir. Hardjanto, MS.

Penelitian ini membahas relasi para pemangku kepentingan dalam memanfaatkan bahan baku tumbuhan obat di mana dalam proses pemanfaatan tersebut terjadi konflik kepentingan, pengaruh dan kekuasaan diantara mereka. Konflik-konflik tersebut terjadi karena pemanfaatan tumbuhan obat mendorong perubahan sosial dan ekonomi para pelaku di dalamnya. Tujuan penelitian ini yaitu (a) Melakukan identifikasi terhadap pelaku, motivasi dan persepsinya dalam pemanfaatan tumbuhan obat; (b) Menganalisis peranan, kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para pelaku dalam pemanfaatan tersebut; (c) Menganalisis akses yang dimiliki oleh para pelaku; (d) Menganalisis besarnya manfaat yang diterima dan biaya transaksi yang terjadi dan (e) Menguraikan jaminan alam (natural insurance) yang dimiliki oleh para pihak di mana tumbuhan obat berperan sebagai safety net dan stepping stone sebagai kesempatan untuk meningkatkan pendapatan untuk membiayai kegiatan anggota keluarga melalui tumbuhan obat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini melalui metode survei terhadap para pemangku kepentingan dengan memanfaatkan informan kunci yang terdapat di dalamnya. Dalam pencarian data, lokasi penelitian dibagi berdasarkan 3 (tiga) klaster di mana masing klaster tidak memiliki keterkaitan pemanfaatan secara langsung, tetapi masing-masing klaster memiliki keunikan tersendiri yaitu (a) Klaster produksi berada di Taman Nasional Meru Betiri Jember Jawa Timur; (b) Klaster layanan kesehatan tradisional berada di Kota Yogyakarta, dan (c) Klaster industri berada di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.

(5)

lump sum. Artinya transaksi tersebut bersifat legal pada dua klaster yang lain, kecuali pada klaster produksi di mana pada kasus pemanfaatan tumbuhan obat potensial di masa datang terjadi transaksi yang bersifat ilegal. Berdasarkan analisis kelentingan, para pemangku kepentingan masih dikategorikan memiliki kerentanan sehingga perlu dilindungi aktifitasnya dan didorong untuk memiliki safety net dan stepping stone agar mampu menghadapi goncangan sosial dan ekonomi manakala hal tersebut terjadi di masa depan.

Implikasi dari penelitian ini bahwa diperlukan adanya pemanfaatan optimal terhadap zona rehabilitasi pada Taman Nasional Meru Betiri untuk mengembangkan budidaya tumbuhan obat hutan, memperbaiki kelembagaan pemanfaatan tumbuhan obat, mengurangi terjadinya asimetris informasi antar klaster, melakukan penelitian lanjutan mengeni aspek penawaran dan permintaan serta mendorong terjadinya kebijakan untuk mengamankan lokasi budidaya tumbuhan obat dengan kegiatan patroli rutin sehingga kehadiran negara dapat dirasakan oleh para pihak.

(6)

STUDI KASUS PULAU DI JAWA

IGNATIUS ADI NUGROHO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Tanggal sidang tertutup: 18 Mei 2016

1. Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan IPB)

2. Dr. Ir. Bambang Trihartono, M.For.Sc

(Widyaiswara pada Badan Diklat dan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka: Tanggal sidang terbuka: 28 Juli 2016

1. Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan IPB)

2. Dr. Ir. Bambang Trihartono, M.For.Sc

(8)
(9)

sehingga karya ilmiah (disertasi) ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Agustus 2015 ini adalah pemanfaatan tumbuhan obat, dengan judul Pemetaan Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat sebagai Bahan Baku Jamu: Studi Kasus di Pulau Jawa. Semoga hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai pelaku pemanfaat tumbuhan obat dan dapat digunakan oleh peneliti berikutnya dalam mengembangkan IPTEK terkait pemanfaatan sumberdaya hutan yang berkelanjutan.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada komisi pembimbing disertasi yang telah memberikan banyak masukan dan arahan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik, yaitu:

1. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. selaku pembimbing utama,

2. Prof Dr. Ir. Latifah Kosim Kadarusman, MS selaku anggota

3. Prof Dr. dr. Agus Poerwadianto, SH, MSi, SpF, DFM selaku anggota

4. Prof Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku anggota

Selain itu, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Diklat Kehutanan Badan Diklat dan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah memberikan dukungan dan bantuan beasiswa bagi penulis sehingga membantu kelancaran penyelesaian tugas akhir ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua penulis bapak FX Wasito dan ibu Veronica Suprapti, istri E.F. Ira Prabawani, dan anak-anak Paulus Madaharsa Nandanadira, Yoanes Paulus II Prameshvara Nandanata, dan mendiang Fransiskus Adyatma Nandanakristha yang telah sabar mendorong dan mendukung kegiatan penulisan ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2016

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Palu Sulawesi Tengah pada tanggal 3 Maret 1972, anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Fransicus Xaverius Wasito Danudipuro, BA dan Veronica Suprapti. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) ditempuh penulis di Jakarta. Tahun 1992, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan memilih jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan lulus tahun 1998. Tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana dengan biaya sendiri dan ijin belajar dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah di program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Fakultas Kehutanan IPB dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2011 penulis berkesempatan melanjutkan studi ke jenjang program Doktor (Strata 3) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH), Sekolah Pascasarjana IPB melalui beasiswa dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kementerian Kehutanan (saat ini menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Penulis telah berkeluarga dan menikah dengan Eleonora Fibrina Ira Prabawani, S.Pi dan dikaruniai tiga orang putera yaitu Paulus Madaharsa Nandanadira, Yoanes Paulus II Prameshvara Nandanata dan Fransiskus Adyatma Nandanakristha.

Pada awalnya penulis bekerja di Kantor Wilayah (Kanwil) Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah dan diperbantukan di Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2007. Kemudian pada tahun 2007, penulis berkesempatan pindah menjadi PNS pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan RI dan ditempatkan sebagai staf Sub Bagian Kerjasama Penelitian di Sekretariat Badan Litbang Kehutanan. Tahun 2009, penulis dipromosikan menjadi Kepala Sub Bidang Program Penelitian dan Kerjasama di Pusat Litbang Hutan Tanaman Badan Litbang Kehutanan. Pada tahun 2010 terjadi perubahan organisasi di Badan Litbang Kehutanan dan penulis dipercaya memegang jabatan Kepala Sub Bidang Program dan Anggaran Penelitian di Pusat Litbang Produktivitas Hutan Badan Litbang Kehutanan sampai dengan tahun 2011 sebelum memperoleh tugas belajar di IPB. Setelah Kementerian Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penulis saat ini menempati posisi sebagai staf di Sub Bidang Kerjasama Penelitian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan pada Badan Litbang Kehutanan.

(11)
(12)

Halaman

PRAKATA i

RIWAYAT HIDUP ii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN vi

DAFTAR ISTILAH vii

I. PENDAHULUAN 1

1. Latar Belakang 1

2. Fokus Penelitian 7

3. Masalah Penelitian 8

4. Kerangka Pemikiran 10

5. Kebaruan (Novelty) 16

6. Tujuan Penelitian 17

7. Manfaat Penelitian 17

II. TINJAUAN PUSTAKA 19

1. Ekologi Politik 19

2. Konsep Politik 20

3. Pendekatan Ekologi Politik 23

4. Aktor 28

4.1. Analisis Para Pihak 30

5. Teori Akses 33

6. Analisis Biaya dan Manfaat 38

7. Biaya Transaksi 39

8. Obat Tradisional 43

8.1. Citra Jamu Sebagai Layanan Kesehatan 43

8.2. Peran Industri Jamu 45

8.3. Struktur Kelembagaan Pengembangan Obat Tradisional 47

8.4. Modernisasi Pengobatan Tradisional 50

9. Resiliensi Aktor Marjinal 52

III. METODOLOGI 56

1. Lokasi dan Waktu Penelitian 56

2. Bahan dan Alat Penelitian 59

3. Tahapan Penelitian 60

4. Metode Penelitian 61

4.1. Teknik Pengumpulan Data 62

(13)

4.2.3. Akses Terhadap Sumberdaya Tumbuhan Obat 67

4.2.4. Analisis Sosial dan Ekonomi Para Pihak 71

4.2.5. Pemetaan Posisi Para Pihak 74

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 76

1. Hasil 76

1.1. Klaster Produksi 76

1.1.1. Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur 76

1.1.1.1. Identifikasi Para Pihak 76

1.1.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak 80

1.1.1.3. Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak 80

1.1.1.4. Akses Para Pihak pada Sumberdaya Tumbuhan Obat di Klaster Produksi

82

1.1.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 85

1.2. Klaster Layanan Kesehatan 86

1.2.1. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 86

1.2.1.1. Identifikasi Para Pihak 87

1.2.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak 94

1.2.1.3. Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak 96

1.2.1.4. Akses Para Pihak terhadap Layanan Kesehatan 97

1.2.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 101

1.3. Klaster Industri 102

1.3.1. Kabupaten Sukoharjo 102

1.3.1.1. Identifikasi Para Pihak 103

1.3.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak 109

1.3.1.3. Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak 110

1.3.1.4. Akses Para Pihak pada Klaster Industri 111

1.3.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 113

2. Pembahasan 115

2.1. Persepsi dan Motivasi Para Pihak pada Tumbuhan Obat 115

2.2. Posisi Para Pihak 117

2.2.1. Taman Nasional Meru Betiri 118

2.2.1.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh 118

2.2.1.2. Konflik Kepentingan antar Pihak 122

2.2.2. Layanan Kesehatan 123

2.2.2.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh 123

2.2.2.2. Konflik Kepentingan antar Pihak 125

2.2.3. Industri Obat Tradisional 127

(14)

2.3. Akses terhadap Sumberdaya 132 2.4. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 135

2.4.1. Taman Nasional Meru Betiri 135

2.4.1.1. Biaya Manfaat 135

2.4.1.2. Biaya Transaksi 137

2.4.1.3. Natural Insurance 140

2.4.2. Layanan Kesehatan Tradisional 141

2.4.2.1. Biaya Manfaat 141

2.4.2.2. Biaya Transaksi 144

2.4.2.3. Natural Insurance 147

2.4.3. Industri Obat Tradisional 148

2.4.3.1. Biaya Manfaat 148

2.4.3.2. Biaya Transaksi 150

2.4.3.3. Natural Insurance 151

2.5. Kelestarian Bahan Baku Tumbuhan Obat 152

2.5.1. Peran Negara dalam Kelestarian 153

2.5.2. Pemanfaatan Ruang Budidaya Tumbuhan Obat 156

3. Sintesis 157

3.1. Aspek Budidaya Tumbuhan Obat 157

3.2. Sumber Daya Manusia (SDM) Profesional 158

3.3. Pembenahan Kelembagaan 159

3.4. Penegakan Hukum 160

V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 162

DAFTAR PUSTAKA 167

(15)

DAFTAR TABEL

No. Uraian Halaman

1. Hubungan Akses Para Pihak atas Sumber daya Tumbuhan Obat

14

2. Empat Tipe Sumberdaya (Goods) 27

3. Jenis Sumberdaya Alokatif dan Otoritatif 27

4. Tahapan Waktu Pelaksanaan Penelitian 58

5. Jenis Data, Metode dan Sumber Data yang Dibutuhkan 61

6. Identifikasi Para Pihak pada Lokasi Penelitian 63

7. Identifikasi Para Pihak terhadap Kepentingan dan Pengaruh 64

8. Analisis Ragam untuk Regresi Linier Berganda 70

9. Motivasi dan Persepsi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat di Klaster Produksi

80

10.Nilai Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat di Klaster Produksi

81

11.Variabel Akses Pemanfaatan Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri

83

12.Hasil Analisis Regresi Linier Berganda antara Permintaan Tumbuhan Obat terhadap Variabel Akses Ekonomi di TN Meru Betiri

84

13.Hasil Uji F terhadap Variabel Akses Permintaan Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri

84

14.Hasil Uji t-Student terhadap Permintaan Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri

17.Nilai Skor Variabel Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan

96

18.Data Variabel Akses Para Pihak Pada Klaster Layanan Kesehatan

98

19.Hasil Korelasi Pearson terhadap Akses pada Layanan Kesehatan

99

20.Anova Variabel Akses pada Klaster Layanan Kesehatan 99 21.Hasil Uji Parsial Terhadap Variabel Akses di Klaster

23.Persepsi dan Motivasi Para Pihak pada Klaster Industri 109 24.Nilai Skor Variabel Kepentingan dan Pengaruh pada

Klaster Industri

110

(16)

No. Uraian Halaman 26.Hasil Korelasi Pearson atas Data Akses Klaster Industri

Jamu

113

27.Anova Pengujian Hipotesis atas Variabel Akses di Klaster Industri Jamu

113

28.Hasil Uji t student pada Variabel Akses Klaster Industri 114 29.Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 115

30.Empat Aspek Motivasi dan Persepsi Para Pihak 116

31.Posisi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat 118

32.Musim Panen Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri 120

33.Importasi Bahan Baku Tumbuhan Obat dari Mancanegara ke Indonesia

129

34.Eksportasi Bahan Baku Tumbuhan Obat Indonesia ke Mancanegara

129

35.Akses pada Masing-Masing Klaster 133

DAFTAR GAMBAR

No. Uraian Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian 13

2. Mekanisme Pendekatan Ekologi Politik di Negara Berkembang

25

3. Matriks Interest Influence 33

4. Faktor Determinan Biaya Transaksi 42

5. Rantai Pemasaran Biofarmaka di Jawa Tengah 46

6. Struktur Industri Obat Tradisional Terkait Klaster 49

7. Tahapan Modernisasi Obat Tradisional Indonesia 51

8. Tahapan Penelitian 60

9. Posisi Para Pihak Berdasarkan Kepentingan dan Pengaruh 66 10.Alur Pemetaan Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan

Obat di Klaster Produksi, Industri dan Layanan Kesehatan

75

11.Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri

82

12.Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan

97

13.Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh pada Klaster Industri

111

14.Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Produksi di TN Meru Betiri

136

15.Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan 144

16.Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Industri 149

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Uraian Halaman

1. Daftar Bahan Baku Obat Herbal Indonesia 178

2. Daftar Tanaman Obat Berkhasiat dari Hutan Tanaman 183

3. Importasi Bahan Obat ke dalam Wilayah Indonesia 190

4. Data Nota Pengobatan Romo H. Loogman MSC 195

5. Daftar Simplisia yang Digunakan sebagai Ramuan untuk Penyembuhan di Klinik Romo H. Loogman MSC

196

6. Formula Ramuan Tradisional Rm. H. Loogman MSC 198

7. Data Harga Beberapa Tanaman Obat pada Masing-Masing Klaster

(18)

DAFTAR ISTILAH

BALITRO : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

BLANDONG : Penebang kayu di dalam hutan di Jawa

BOREK KAYU : Orang yang membeli hasil tebangan kayu dari dalam hutan

BPOM : Balai Pengawas Obat dan Makanan

BPPT : Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi

BTN : Balai Taman Nasional

CONTEXT SETTER : Pelaku yang memiliki kepentingan rendah tetapi pengaruhnya kuat

CPOTB : Cara Pembuatan Obat yang Baik

CROWD : Pelaku yang memiliki kepentingan dan pengaruh rendah

DISBUNHUT : Dinas Perkebunan dan Kehutanan

FHI : Farmakope Herbal Indonesia

GACP : Good Agricultural and Collection Process

HGU : Hak Guna Usaha

HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu

IDI : Ikatan Dokter Indonesia

IKOT : Industri Kecil Obat Tradisional

JAKETRESI : Jaringan Kerja Petani Rehabilitasi

KEY PLAYER : Pelaku yang memiliki kepentingan dan pengaruh tinggi

KOJAI : Koperasi Jamu Indonesia

LDO : Ledok Ombo Group

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

NGO : Non Government Organization

PAD : Pendapatan Asli Desa

PERHIBA : Perhimpunan Peneliti Tumbuhan Bahan Alam

PASIEN : Orang yang membutuhkan layanan kesehatan

PENDARUNG : Pemungut tumbuhan obat dari dalam hutan

PENGEPUL : Orang yang membeli hasil pungutan tumbuhan obat dari hutan PENGOBAT SPRITUAL : Orang yang melakukan pelayanan penyembuhan penyakit secara

kejiwaan

PERMENHUT : Peraturan Menteri Kehutanan

PIRT : Perusahaan Industri Rumah Tangga

POKJANAS-TOI : Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia

PP : Peraturan Pemerintah

SAKO : Surat Angkutan Kayu Olahan

STAKEHOLDER : Para Pihak

SUBJECT : Pelaku yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah

TOGA : Tanaman Obat Keluarga

TNMB : Taman Nasional Meru Betiri

UKM : Usaha Kecil Menengah

UKOT : Usaha Kecil Obat Tradisional

(19)

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang besar, salah satu diantaranya adalah kandungan sumberdaya tumbuhan obat. Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan telah mendata sekurangnya terdapat 1,200 jenis tumbuhan obat yang berhasil dikoleksi dan belum dipublikasikan. Jenis-jenis tersebut terdiri atas jenis pohon maupun herba yang memiliki khasiat dalam penyembuhan penyakit, seperti pereda panas, sakit perut, penyakit degenaratif, kanker dan lain sebagainya.1 Menurut Djojoseputro (2012), di Indonesia terdapat sekitar 30.000 jenis tanaman di mana 2.500 jenis diantaranya merupakan tanaman obat. Dari berbagai laporan penelitian dan literatur diketahui bahwa tidak kurang dari 2.039 spesies tumbuhan obat berasal dari hutan Indonesia. Setiap tipe ekosistem yang terdapat pada hutan tropika di Indonesia merupakan gudang dan pabrik keanekaragaman hayati tumbuhan obat, berevolusi dengan waktu yang sangat panjang dan telah berinteraksi dengan faktor sosial-budaya masyarakat lokalnya. Masing-masing individu dari populasi tumbuhan obat yang tumbuh secara alami di tipe ekosistem hutan tersebut merupakan unit terkecil dari pabrik alami yang melakukan proses metabolis sekunder sehingga menghasilkan beranekaragam bahan bioaktif yang khas, yang sebagian besar tidak mudah dan tidak murah ditiru oleh manusia (Zuhud & Hikmat 2009).

Pemanfaatan tumbuhan obat oleh manusia, misalnya pada masyarakat tradisional dan suku-suku pedalaman di Indonesia, tumbuhan obat sudah lama digunakan untuk penyembuhan berbagai macam penyakit. Penyembuhan tersebut menghasilkan pengetahuan/kearifan tradisional yang penting bagi mereka. Masyarakat adat Siberut, misalnya, sangat menghormati keberadaan Sikerei (dukun) sebagai penyembuh yang menggunakan doa dan pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat untuk menyembuhkan penyakit tertentu (Darmanto & Setyowati 2012). Keraf (2010) mencatat bahwa kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan tradisional tersebut bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara

1

(20)

semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib (Keraf 2010).

Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dengan jamu juga sudah dikenal sejak jaman kerajaan Hindu Jawa. Bukti sejarah tertua yang menggambarkan kebiasaan meracik dan meminum jamu serta memelihara kesehatan ditemukan pada relief-relief candi-candi yang ada di Indonesia, salah satunya di Candi Borobudur (Sutarjadi et al. 2012). Sehubungan dengan hal itu, penggambaran penggunaan tanaman obat yang digunakan sebagai bahan pembuat jamu di Indonesia, seperti nogosari, sumanggen, cendana merah, jamblang, pinang, pandan, maja, cendana wangi, kecubung dan lain-lain, masih ada sampai sekarang. Dari relief tersebut dapat diidentifikasi lebih dari 50 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang digunakan. Gambaran yang sama juga ditemukan pada relief-relief di Candi Prambanan, Candi Panataran, Candi Sukuh dan Candi Tegalwangi (Sutarjadi et al. 2012). Hal ini berarti bahwa manusia sudah lama memanfaatkan tumbuhan obat untuk kepentingan kesehatannya sendiri.

Perkembangan teknologi modern yang pesat saat ini telah mengubah cara pemanfaatan tumbuhan obat. Aspek sosial, ekonomi dan kebersihan menjadi masalah pokok yang diperhatikan oleh manusia. Pada saat ini kaum muda di Indonesia sudah enggan meramu sendiri pengobatan jamu dengan alasan sudah tidak memiliki waktu lagi untuk melakukannya. Lingkungan hidup mereka lebih banyak didominasi oleh teknologi tinggi sebagai gejala masyarakat modern. Hal ini menyebabkan tradisi meracik jamu di rumah mengalami penurunan, sehingga perlahan-lahan tradisi meminum jamu mulai memudar pada masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa. Tetapi terkait hal tersebut, industri jamu justru meningkat pesat dengan menggunakan standar pengolahan modern yang aman, bersih dan sehat. Dahulu perkembangannya relatif lambat karena adanya keengganan dan kerahasiaan membagikan resep pengobatan menggunakan jamu. Industrialisasi jamu telah mendorong terjadinya perubahan sikap yang sangat cepat karena terjadinya peningkatan permintaan terhadap pengobatan tradisional (Beers 2001).

(21)

Tradisional yang baik biasa disingkat dengan istilah CPOTB. Kedua produk kebijakan ini cukup berjalan di lapangan. Melalui informasi yang diperoleh di Pasar Nguter Sukoharjo, dapat dipastikan bahwa para pedagang pengecer simplisia jamu memahami keberadaan kedua peraturan tersebut. Pasar Nguter merupakan sentra penjualan produk-produk jamu dan simplisia tumbuhan obat terbesar di Indonesia.

Pada sektor kehutanan, produk kebijakan yang berhubungan dengan tumbuhan obat dapat dijumpai pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada tataran pelaksanaan, produk kebijakan berupa Peraturan Pemerintah (PP) juga sudah dikeluarkan. Misalnya PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Kedua peraturan tersebut mencantumkan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Bahkan pada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, pemanfaatan tumbuhan obat di hutan alam dikenai kuota 20 ton untuk setiap pemegang ijin. Artinya dari sudut kebijakan, pemerintah selaku pemegang kewenangan atas pemanfaatan sumberdaya hutan telah memberikan dukungan bagi setiap orang untuk terlibat dalam kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat dengan memerhatikan berbagai aspek, baik budidaya maupun pelestariannya.

Kementerian Koordinator Perekonomian RI juga telah menyusun sebuah peta jalan (road map) Pengembangan Djamoe 2011 – 2025, dimana istilah jamu berasal dari kata jampi dan usodo yang sudah dikenal oleh masyarakat sejak jaman dahulu sebagai way of life. Jamu sendiri didefinisikan sebagai obat tradisional, yaitu bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelanik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Kemenkes RI 2010).

(22)

diterima oleh Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT). Bahan baku tersebut kemudian diolah menggunakan sistem CPOTB dan biasanya diberi tanda kemasan khusus dalam bentuk kertas untuk membedakan antara jamu yang diproduksi oleh industri besar dan UKOT (Kemala et al. 2003; Pribadi 2009).

Dari sisi perdagangan internasional, tumbuhan obat sebagai bahan dasar jamu juga memiliki daya tarik ekonomi yang sangat besar, khususnya bagi Cina, India dan Indonesia. India sebagai salah satu “pemain” terbesar tumbuhan obat di dunia sering mengimpor bahan baku tersebut dari Nepal. Bahan baku tumbuhan obat yang diimpor biasanya dalam bentuk minyak esensial, bel squash, khoto, briket, rempah-rempah dan jahe. Bahan baku tersebut diproduksi oleh 71 unit usaha berbasis komunitas pedesaan di Koshi Hills, Nepal (Kunwar et al. 2009). Sedangkan di Congo Basin, bahan baku tumbuhan obat baik dalam bentuk daun, getah-getahan, resin, buah dan biji dimanfaatkan sebagai obat-obatan yang diekspor ke Eropa dan Amerika serta digunakan di dalam negeri (Ingram 2012). Menurut Sill et al. (2011), keragaman tumbuhan obat di alam dan pasarnya yang spesifik dapat menjadi sumber pendapatan dan pelanjutan tradisi bagi masyarakat desa di sekitar hutan. Nilai keragaman yang terkandung didalamnya merupakan perwujudan dari jaminan alam (natural insurance), penyediaan lapangan kerja dan pendapatan, tersedianya cadangan dan kecukupan bahan baku farmasi alami, sumber pangan dan gizi bagi anak-anak di pedesaan. Vodouhe et al. (2008) menyebutkan bahwa pemanenan tumbuhan obat dari hutan dilakukan oleh petani untuk mengganti pendapatan mereka ketika pendapatan dari pertanian mengalami penurunan.

(23)

sekarang pun belum menghasilkan buah (Amzu 2007). Oleh sebab itu, terjadinya kelangkaan sebuah spesies bagi para penggunanya dari sisi kebijakan tidak dapat diabaikan oleh pemerintah maupun politisi karena dapat mengganggu pasokan bahan baku tersebut bagi kepentingan masyarakat baik secara sosial, ekonomi maupun politik (Sill et al. 2011). Dengan demikian, aspek konservasi dan budidaya jenis tersebut perlu dilakukan agar menjamin pasokan bahan baku jamu bagi para pelakunya yaitu industri maupun layanan kesehatan.

Apakah tumbuhan obat sebagai salah satu sumber daya hutan tidak menarik dalam dunia politik. Pertanyaan ini perlu dijawab. Page (2003) menyebutkan, ketika tumbuhan obat menjadi faktor “pengungkit” terjadinya perubahan sosial dan lingkungan maka terjadi hubungan antara politik dan lingkungan. Adanya perubahan pengelolaan suatu kawasan hutan, misalnya ditetapkan sebagai Taman Nasional atau Kawasan Lindung, ternyata juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial di dalamnya. Hubungan antara para pemungut tumbuhan obat, masyarakat lokal dan spesies tumbuhan obat itu sendiri

memberikan pertanyaan tentang siapa yang berhak “memiliki” dan “mengelola”.

Perubahan sosial ini kemudian menciptakan hubungan antara manusia, ekonomi, politik dan aspek lingkungan yang menjadi ranah dari ekologi politik. Bryant dan Bailey (1997) mendefinisikan ekologi politik sebagai perwujudan dari kekuatan ekonomi dan politik kapitalisme yang tumbuh dan menyebar di dunia sejak abad ke 19 yang menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan di mana permasalahan tersebut tidak dapat dibatasi hanya pada gagalnya kebijakan atau kegagalan pasar, contohnya tambang, penebangan hutan, pemanenan ikan atau produksi tanaman semusim. Pendekatan yang digunakan berorientasi pada aktor yang berperanan pada lokasi terjadinya masalah lingkungan dan juga mungkin dipengaruhi oleh aktor lain yang jauh dari tempat terjadinya persoalan tersebut. Oleh sebab itu menurut Page (2003) dan Arifin (2011), dalam konteks ekologi politik selalu diperlukan adanya “negosiasi” di antara aktor dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat dengan membuka jalur-jalur komunikasi untuk mencapai kesepakatan bersama.

(24)

terhadap senyawa obat tradisional yang setara dengan obat kimia. Pada saat ini kategori obat tradisional yang memenuhi kriteria uji klinis baru ada 6 jenis, 38 jenis baru memenuhi kriteria terstandar dan ribuan jenis lainnya merupakan kategori jamu yang belum terstandar. Salah satu jenis tumbuhan obat yang telah diuji menggunakan profil metabolit adalah sambiloto (Andrographis paniculata) melalui senyawa penanda androga polin.2 Terkait hal itu, dalam buku Farmakope Herbal Indonesia (FHI) terdapat kurang lebih 70 jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk memenuhi standar bahan baku tersebut (Departemen Kesehatan RI 2008). Adanya standar bahan baku tumbuhan obat merupakan langkah agar produk tumbuhan obat yang dimiliki oleh Indonesia dapat diterima oleh negara pengguna akhir karena sudah dijamin aspek keamanan dan efikasinya. Standar tersebut harus memenuhi kriteria Good Agricultural and Collection Process (GACP) yang telah disepakati oleh negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sehingga melalui kriteria tersebut diharapkan agar bahan baku tumbuhan obat yang dihasilkan melalui proses budidaya maupun pemanenan di hutan alam telah memperhatikan aspek keamanan, efikasi, teknologi, pengetahuan personil (edukasi), perlindungan dan konservasi spesies tumbuhan obat agar tidak punah (WHO 2003). Dampak lain dari adanya kelangkaan bahan baku obat tradisional untuk memenuhi kriteria uji klinis yaitu makin mahalnya harga obat tradisional. Hingga saat ini, industri besar obat tradisional baru mampu memenuhi kriteria uji obat tradisional pra klinis, itu pun tidak semua industri obat tradisional memiliki fasilitas uji tersendiri.3 Salah satu contoh yang telah memenuhi kriteria tersebut adalah PT. Jamu Air Mancur di Surakarta Jawa Tengah.

Penelitian mengenai pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu ini berpusat pada relasi/hubungan para aktor dengan para pihak sebagai unit terkecilnya. Setiap pihak memiliki kepentingan tersendiri yang berbeda satu dengan lainnya sehingga menyebabkan terjadinya informasi asimetris (assymetricinformation) di antara para pihak (Bryant & Bailey 1997; Hermans & Thiesen 2008). Adanya informasi asimetris tersebut memengaruhi persepsi para pihak dalam mengambil keputusan. Suneetha dan Chandrakanth (2006) mengatakan bahwa keterbukaan persepsi di antara pihak yang berbeda dapat membantu para pihak untuk menentukan prioritas investasi pada tumbuhan obat sehingga membantu pemerintah dalam mempromosikan spesies-spesies tumbuhan obat yang diminta oleh pasar domestik, internasional atau

2

Konfirmasi kepada peneliti Pusat Instrumentasi Farmasi dan Medika BBPT tanggal 26 Juni 2013

3

(25)

mengembangkan produk baru berdasarkan pada spesies tumbuhan obat yang sudah digunakan oleh masyarakat lokal. Menurut Purwandari (2001), beberapa industri obat tradisional mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku tumbuhan obat di pasaran. Kelangkaan dan penurunan pasokan tumbuhan obat budidaya di pasaran tidak berlangsung terus menerus, hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu (musiman). Hal ini mungkin disebabkan karena (a) terjadinya panen raya terhadap tumbuhan obat sehingga harga turun dan petani mengalami kerugian; (b) beberapa jenis tumbuhan obat tersebut merupakan komoditas ekspor sehingga memengaruhi distribusi di dalam negeri; dan (c) adanya penggunaan ganda baik sebagai tumbuhan obat maupun bahan bumbu masak atau sayur. Ada 4 (empat) hal yang dapat menjelaskan terjadinya kelangkaan tersebut, yaitu (a) tumbuhan obat tersebut memang sudah mulai langka keberadaannya di alam sehingga pasokannya di pasar juga menurun; (b) jalur distribusi pemasarannya yang tidak normal; (c) bahan baku berupa buah/biji hanya didapat pada musim berbuah saja; dan (d) adanya alih profesi para pemungut tumbuhan obat (Zuhud et al. 2009).

Salah satu sumber penyedia tumbuhan obat di Pulau Jawa adalah Taman Nasional Meru Betiri yang terletak di ujung Timur Pulau Jawa. Tumbuhan obat dan atau tanaman obat merupakan salah satu bahan baku untuk memproduksi jamu, sehingga keberadaan TNMB yang terjaga dengan baik mampu menjadi pemasok bahan baku jamu. Menurut Zuhud et al. (2009), potensi tanaman obat yang terdapat di TNMB mencakup 355 spesies yang terbagi ke dalam 92 famili dan dari total tumbuhan tersebut, 291 spesies (81.7%) telah teridentifikasi mempunyai khasiat obat. Selanjutnya dikatakan bahwa TNMB mengalami tekanan yang sangat besar berupa pengambilan bambu, tumbuhan obat, kayu jati dan penyerobotan lahan, yang dilakukan oleh penduduk di sekitar kawasan hutan. Penduduk desa yang perlu mendapatkan prioritas perhatian adalah Desa Andongrejo di Kabupaten Jember dan Desa Sarongan di Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi, karena memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi terhadap TNMB. Adanya tekanan terhadap sumber daya hutan di TNMB, khususnya tumbuhan obat, menunjukkan adanya persoalan ekonomi dan politik pada sumber penyedia bahan baku obat tradisional.

2. Fokus Penelitian

(26)

keseluruhan atau sebagian sistem produksinya mulai dari hulu sampai hilir. Kelangkaan tumbuhan obat, baik disebabkan oleh pencurian kayu maupun pemanenan yang tidak terkendali tanpa upaya budidaya, dapat meningkatkan laju pengurasan sumber daya tumbuhan obat sehingga konsumsi yang diperoleh dari tumbuhan obat tidak dapat lestari. Kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para pengguna tumbuhan obat beserta aksesnya terhadap hutan perlu diatur agar pemanfaatan tumbuhan obat dapat lestari sehingga menjamin keseluruhan aspek produksi mulai dari hulu hingga hilir. Keberhasilan para pelaku dalam mengelola kepentingan, pengaruh, kekuasaan dan aksesnya terhadap konsumsi tumbuhan obat dapat menentukan keberhasilan pengelolaan tumbuhan obat pada tingkat tapak. Oleh sebab itu, pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan, pengaruh, kekuasaan dan akses para pelaku terhadap tumbuhan obat perlu diketahui agar aspek-aspek tersebut dapat dipetakan sehingga membantu pengelolaan sumber daya tumbuhan obat secara lestari.

Fokus penelitian tentang pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat ini adalah di sektor hulu, yaitu hutan alam sebagai sumber produksi tumbuhan obat yang mengalami pengurasan sumber daya alam sehingga dikhawatirkan apabila laju konsumsi para pengguna tumbuhan obat tersebut tidak dikelola akan menyebabkan terjadinya kelangkaan tumbuhan obat di hutan alam sehingga mengganggu aliran manfaatnya sampai pengguna akhir yaitu konsumen dan pasien. Lingkup penelitian terdapat pada 3 (tiga) klaster yaitu klaster produksi, industri dan layanan kesehatan, yaitu dengan cara membandingkan informasi dan pengetahuan mengenai pemanfaatan tumbuhan obat oleh para pelakunya, sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai posisi para pelaku dalam ranah ilmu pengelolaan hutan. Pengetahuan mengenai posisi para pelaku tersebut dapat diarahkan untuk meningkatkan pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari.

3. Masalah Penelitian

(27)

terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi. Lemahnya teknologi dan informasi pasar menjadi kendala sehingga produk tumbuhan obat yang di ambil dari hutan alam selalu memiliki kualitas yang beragam dan dihargai lebih murah apabila dibandingkan dengan produk yang sama yang diperdagangkan di pasar.

Permasalahan utama yang diajukan dalam penelitian ini berhubungan dengan ilmu politik ekologi, yaitu bagaimana memetakan kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para pelaku serta aksesnya dalam memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat pada tiga klaster, yaitu klaster produksi, layanan kesehatan dan industri. Pemanfaatan tumbuhan obat tersebut telah menimbulkan kesenjangan (gap) yang berhubungan dengan aspek lingkungan dan ekonomi di mana para pelaku yang terdapat pada sektor hilir menikmati nilai manfaat riil yang lebih tinggi dibandingkan pelaku yang terdapat di sektor hulu. Kesenjangan tersebut kemudian menimbulkan terjadinya perbedaan persepsi dan motivasi di antara para pelaku, perbedaan akses dalam pemanfaatan, perbedaan biaya manfaat dan transaksi serta perbedaan natural insurance para pelaku. Penggambaran sementara mengenai dinamika relasi para pelaku dengan akses terhadap sumber daya tumbuhan obat tersebut disajikan pada Tabel 1. Para pelaku mulai dari pemerintah, dokter, penyembuh tradisional, NGO, petani, asosiasi dan industri memiliki kepentingan dan pengaruh yang berbeda-beda, mulai dari rendah sampai dengan tinggi, tergantung pada besarnya akses yang dapat dikuasainya dalam mengendalikan tumbuhan obat. Semakin banyak jumlah akses yang berhasil dikuasai oleh salah satu aktor, maka potensinya untuk menguasai sumber daya tumbuhan obat dapat semakin besar. Kegiatan ekstraksi tumbuhan obat dari hutan alam juga merupakan bagian dari persoalan pemanfaatan tumbuhan obat oleh para pelakunya yang membentuk kepentingan mereka terhadap sumber daya tumbuhan obat di hutan alam4. Oleh sebab itu, kegiatan ekstraksi langsung tumbuhan obat berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya tersebut di lapangan.

Penelitian ini menelusuri bagaimana para pelaku dan jaringannya memanfaatkan tumbuhan obat pada klaster produksi, industri dan layanan kesehatan. Para pelaku yang

4

(28)

menjadi pusat kajian terletak pada hubungan key players, subject, context setters dan crowd yang selalu berinteraksi satu sama lain dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Bryant & Bailey 1997; Hermans & Thiesen 2008; Reed et al. 2009). Kemudian hubungan antara pelaku tersebut digali lebih dalam lagi dengan melihat aspek sosial dan ekonominya (Klemperer 1997), aksesnya (Ribot & Peluso 2003), biaya transaksinya (Zhang 2000; Yustika 2006) dan natural insurance-nya bagi pelaku dalam memanfaatkan tumbuhan obat (Schreckenberg et al, 2006; Sill et al 2011; Dzerefos et al, 2012). Oleh sebab itu, beberapa pertanyaan yang hendak diajukan dalam penelitian ini antara lain:

1. Mengapa pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat di lapangan begitu banyak?

2. Mengapa persepsi, motivasi, kepentingan dan pengaruh para pelaku berpengaruh dalam pemanfaatan tumbuhan obat?

3. Mengapa akses yang dikuasai oleh pelaku dalam pemanfaatan tumbuhan obat juga digunakan?

4. Mengapa tumbuhan obat memberikan manfaat yang besar bagi para pelaku dan mengapa terjadi biaya transaksi dalam pemanfaatan tersebut?

5. Mengapa jaminan alami dalam pemanfaatan tersebut berguna bagi para pelaku dalam pemanfaatan tumbuhan obat?

4. Kerangka Pemikiran

(29)

kekuasaannya terhadap tumbuhan obat yang dikuasainya. Pengelolaan terhadap kepentingan pelaku dalam pemanfaatan tumbuhan obat dapat dilihat dari besarnya manfaat yang diperoleh (Klemperer 1996; Olurinde 2010) dan biaya transaksi yang mampu dikelolanya (Collins & Fabozzi 1996; Zhang 2000; Barron & Karpoff 2002; Liu 2004; Crozet & Soubeyran 2004; Yustika 2006; Wang 2010; Tita et al. 2011). Agar mampu bertahan dari tekanan-tekanan yang di alami akibat biaya transaksi yang dikeluarkan, para pelaku mengembangkan sebuah langkah agar dapat memantul keluar dari persoalan sosial, ekonomi dan politik melalui natural insurance yang dimilikinya (Sill et al. 2011; Schreckenberg et al. 2006; Sill et al. 2011; Dzerefos et al. 20121). Hasil yang diharapkan melalui penggunakan kerangka teoritik di atas dalam penelitian ini adalah untuk memetakan para pihak yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya tumbuhan obat. Dengan dihasilkannya pemetaan terhadap para pihak, maka diharapkan pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari dapat dilakukan.

(30)
(31)

PELAKU

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

EKOLOGI POLITIK

(32)

Pemetaan relasi para pelaku terhadap akses atas sumberdaya tumbuhan obat merupakan salah satu cara untuk memahami dinamika kekuasaan yang ada didalamnya. Pemetaan ini diperlukan untuk memberikan gambaran sementara bagi peneliti sehingga diperlukan adanya konfirmasi kebenaran melalui kegiatan penelitian. Pemetaan akses para pihak atas sumberdaya tumbuhan obat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan Akses Para Pihak dengan Sumberdaya Tumbuhan Obat

Akses Pemerintah Dokter Pengusaha NGO Petani/Masyara

kat Adat

Media

(33)

Tabel 1. Lanjutan

Akses Pemerintah Dokter Pengusaha NGO Petani/Masyara

kat Adat

Media

(34)

Tabel 1. Lanjutan

Akses Pemerintah Dokter Pengusaha NGO Petani/Masyara

kat Adat

Pemetaan pemanfaatan tumbuhan obat oleh para pelaku pada tiga klaster, yaitu mulai dari klaster produksi bahan baku di Taman Nasional Meru Betiri, klaster layanan kesehatan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan klaster industri di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah memberikan kebaruan penelitian dalam 5 (lima) aspek, yaitu:

1. Pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat berguna dalam rangka pembenahan sektor hulu sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam pemanfaatan tumbuhan obat.

2. Pemetaan tersebut memberikan sudut pandang baru mengenai pengaruh, kepentingan, akses dan aspek sosial ekonomi para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat.

(35)

4. Penguatan kelembagaan elaboratif di mana kelembagaan pada sektor hulu dapat memperkuat kelembagaan pada sektor hilir dalam pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari.

5. Menyediakan informasi mengenai obat bahan alam di sektor hulu.

6. Tujuan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) tujuan, yaitu:

1. Mengidentifikasi para pelaku, motivasi dan persepsi yang dimilikinya dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu.

2. Menganalisis peranan, kepentingan, pengaruh dan kekuatan pelaku dalam memanfaatkan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu

3. Menganalisis akses yang dimiliki pelaku untuk memanfatkan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu

4. Menganalisis besarnya manfaat yang diterima dan transaksi yang dilakukan oleh pelaku dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu

5. Menguraikan fungsi tabungan dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu pada aspek safety net dan stepping stone.

7. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan kontribusi untuk memetakan relasi kepentingan, pengaruh, kekuatan dan akses pelaku dalam memanfaatkan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu sehingga dapat membantu pengambil kebijakan dalam mengelola tumbuhan obat pada tingkat tapak.

2. Mendorong terwujudnya kelestarian pengelolaan tumbuhan obat mulai dari hulu sampai hilir dengan mempertimbangkan faktor-faktor kepentingan, pengaruh, kekuatan, akses dan sosial ekonomi yang mempengaruhi para pelaku dalam mengambil keputusan memanfaatkan tumbuhan obat.

(36)

4. Mendukung informasi mengenai aspek sosial ekonomi dan politik dalam pemanfaatan tumbuhan obat sehingga dapat menambah wawasan dalam pengembangan Rencana Penelitian Integratif (RPI) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Ekologi Politik

1.1. Pengertian

Pengertian ekologi politik memiliki kedekatan dengan pengertian politik ekologi. Menurut Blaikie dan Brookfield (1987), dikutip oleh Bryant dan Bailey (1997) ekologi politik merupakan kombinasi antara berbagai aspek yang berhubungan dengan ekologi dan ekonomi politik di mana kepentingan politik dan tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor yang terlibat telah menimbulkan konflik yang berhubungan dengan aspek politis dan ekologis. Oleh sebab itu, pendekatan ini berorientasi pada aktor yang menyebabkan terjadinya perubahan. Menurut Forsyth (2004), politik ekologi sendiri merupakan ilmu yang mempelajari tentang kebijakan lingkungan, sehingga dalam politik ekologi faktor lingkungan ekologis yang mendorong terjadinya perubahan. Dalam pendekatan ini ada upaya untuk mendekatkan konsep ekologi politik dan politik ekologi sebagai ilmu politik lingkungan (Forsyth 2004). Dalam beberapa hal, istilah ekologi politik dan politik ekologi di Indonesia tidak dibedakan sama sekali, tetapi pengertiannya sama dengan ekologi politik yang disampaikan oleh Bryant dan Bailey (1997) di mana aktor merupakan pihak yang terlibat dalam kajian (Hidayat et al. 2011).

Forsyth (2004) menyebutkan bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam memberi makna terhadap ekologi dalam ekologi politik, yaitu:

1. Upaya untuk menjelaskan masalah-masalah lingkungan sebagai sebuah interaksi fenomena dari proses biofisik, kebutuhan manusia dan sistem politik yang lebih luas.

2. Politik ekologi merupakan kegiatan politik praktis dari Deep Green Environtalisme atau gerakan politik hijau dan kritiknya atas modernitas dan kapitalisme. Wujudnya berupa gerakan sosial (ecology movement). 3. Ekologi digunakan sebagai metafora hubungan antar relasi politik. 4. Penggunaan analisis marxis untuk memperdebatkan antara

(38)

kapitalis, dengan maksud untuk mencapai keadilan distribusi terhadap hak dan sumberdaya.

5. Istilah umum pada politik masalah-masalah lingkungan tanpa pembahasan tertentu mengenai ekologi.

Penelitian tentang pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu ini lebih dekat pada pengertian tentang ekologi politik karena aktor yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat mempengaruhi terjadinya perubahan lingkungan baik yang terletak di sektor hulu maupun hilir (Bryant & Bailey 1997). Oleh sebab itu, ekologi politik dan politik ekologi memiliki irisan dalam penelitian ini di mana pemanfaatan sumber daya lingkungan (tumbuhan obat) berhubungan dengan manusia dan politik yang terlibat di dalamnya sehingga terjadi ketidakseimbangan pemanfaatan (Forsyth 2004).

2. Konsep Politik

Surbakti (2010) menyebutkan sekurangnya terdapat lima konsep atau paradigma politik, yaitu:

2.1. Pandangan klasik, politik dilihat sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Tokoh penganut pandangan klasik ini adalah Aristoteles. Tekanan yang diberikan pada pandangan klasik berpusat pada aspek filosofis dari

kebaikan bersama berupa “apa yang seharusnya” dicapai demi

kebaikan bersama seluruh warga negara polis dan “dengan cara apa

sebaiknya” tujuan-tujuan itu dicapai.

(39)

kekuasaan untuk melakukan paksaan fisik dengan memaksakan ketaatan. Tokohnya Max Weber.

2.3. Kekuasaan, politik dirumuskan sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat sehingga pencarian kekuasaan dengan cara memperjuangkannya, mempertahankan, melaksanakan, mempengaruhi pihak lain atau pun menentang pelaksanaan kekuasaan memperoleh legitimasi dalam pandangan ini. Kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi. Ada hubungan pengaruh dan kepatuhan dalam relasi dua belah pihak, entah orang, masyarakat, lembaga atau pun Negara. Tokohnya adalah Robson.

2.4. Fungsionalisme, politik dipandang sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum sehingga peran elite dalam politik lebih ditekankan. Alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan, sehingga mengikat untuk suatu kelompok masyarakat. Oleh sebab itu, perilaku politik berupa setiap kegiatan yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Who gets what, when, how sehingga perumusan politik dalam pengertian

fungsional menjadi “siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana”.

(40)

secara singkat dapat disebut sebagai nilai spiritual dan nilai material jasmaniah. Kelemahan dari paradigma ini yaitu menempatkan pemerintah sebagai sarana dan wasit dalam persaingan berbagai kekuatan politik untuk memperoleh nilai-nilai terbanyak. Pemerintah memiliki kepentingan sendiri diabaikan oleh teori ini. Tokohnya adalah David Easton dan Harold Lasswell.

2.5. Konflik, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum merupakan upaya untuk mendapatkan dan atau mempertahankan nilai-nilai di mana dalam upaya untuk mempertahankannya terjadi persaingan, perbedaan pendapat, bahkan pertentangan yang bersifat fisik antara para pihak. Pihak yang berupaya mendapatkan nilai terbanyak akan berhadapan dengan pihak yang berupaya mempertahankan nilai yang telah dimilikinya. Konsensus, kerjasama dan integrasi kurang diperhatikan dalam teori ini sementara persaingan, perdebatan, perbedaan pendapat maupun pertentangan seringkali diselesaikan melalui proses dialog diantara para pihak yang bertikai. Tokohnya adalah Karl Marx.

Budiardjo (2010) menyebutkan bahwa teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan pernyataan lain, teori politik (Gaus & Kukathas 2012) merupakan bahasan dan renungan atas: a) tujuan dan kegiatan politik; b) cara-cara mencapai tujuan itu; c) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu; d) Kewajiban-kewajiban (obligation) yang diakibatkan oleh tujuan politik tersebut. Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup masyarakat, kelas sosial, Negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi.

(41)

adalah politik behavioralis, teori pilihan rasional dan analisis identifikasi yang banyak digunakan untuk analisis politik yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan dan kekuasaan yang terdapat di dalamnya. Kedua, politik dipandang sebagai suatu proses sosial yang dapat diobservasi dalam berbagai setting, yaitu membahas tentang pembagian kekuasaan yang tidak seimbang dalam masyarakat, bagaimana perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dilakukan dan dampaknya terhadap penciptaan dan pembagian modal sosial, kesempatan hidup, dan kesejahteraan.

Modal sosial adalah kekuatan yang dimiliki oleh suatu masyarakat karena adanya saling kepercayaan, jejaring, komunikasi, hirarki kepemimpinan dan norma tertentu yang diakui bersama (Putnam et al. 1993). Sedangkan menurut Bourdieu dan Wacquant (1992) yang disitir oleh Gauntlett (2011) dan Suminar (2013) menyebutkan bahwa modal sosial adalah kumpulan sumberdaya, baik aktual atau virtual, yang terdapat pada seorang individu atau kelompok melalui kepemilikan aset yang ada pada suatu jaringan dan relasi pertemanan. Selain itu, modal sosial merupakan sebuah sumberdaya yang dibangun berdasarkan kepercayaan (trust) dan pemberian nilai (shared value) serta terbangun dari rajutan kebersamaan dari orang-orang yang ada dalam komunitas (Coleman 1988; Gauntlett 2011). Dalam situasi tertentu, modal sosial dapat bertransformasi menjadi modal politik dimana kekuatan-kekuatan sosial yang melekat pada diri individu dan atau komunitas secara nyata dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam suatu proses politik (Birner & Wittmer 2000).

3. Pendekatan Ekologi Politik

Bryant dan Bailey (1997) menyebutkan ada lima pendekatan yang digunakan dalam penelitian terkait dengan ekologi politik, khususnya kasus-kasus yang terjadi di negara berkembang, yaitu:

(42)

3.2. Konsepsi yang berhubungan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai ekologi politik. Pemikiran-pemikiran yang dibangun dan dipahami oleh aktor-aktor yang berbeda, diskursus yang menyertainya dikembangkan untuk memfasilitasi atau mengendalikan kepentingan aktor-aktor tertentu (Escobar 1996; Bryant & Bailey 1997).

3.3. Menguji hubungan antara masalah-masalah ekologi dan politik dalam konteks wilayah geografis tertentu. Ekologi politik berdasarkan wilayah geografis ini mencerminkan perhatian pada perbedaan lingkungan dan variasi spasial pada resiliensi dan sensitivitas lahan (Blaike & Brookfield 1987; Bryant & Bailey 1997).

3.4. Menggali pertanyaan-pertanyaan mengenai ekologi politik yang berhubungan dengan karakteristik sosial ekonomi seperti kelas, etnis atau gender.

3.5. Menekankan pada kepentingan, karakteristik dan tindakan dari aktor yang berbeda dalam memahami konflik-konflik ekologi politik. Pendekatan berorientasi aktor ini mencari pemahaman pada sejumlah konflik (termasuk kerjasama juga) sebagai hasil dari interaksi aktor-aktor yang berbeda terkait dengan tujuan dan kepentingan tertentu (Long & Long 1992; Bryant & Bailey 1997).

Mekanisme pendekatan ekologi politik menurut Bryant dan Bailey dapat dilihat pada Gambar 2.

Karakteristik sosial ekonomi:

- kelas, (Watts, 1983a) - etnis (Hong, 1987) - gender (Schroeder,

1993)

Masalah lingkungan: - Erosi tanah (Blaike, 1985) - Degradasi lahan (Blaike &

Brookfield, 1987) - Deforestasi (Hecht &

(43)

Gambar 2. Mekanisme Pendekatan Ekologi Politik di Negara Berkembang

Sumber: Bryant dan Bailey (1997)

Pendekatan ekologi politik menggunakan pendekatan aktor sebagai unit analisisnya, yaitu bagaimana interaksi para aktor dapat memengaruhi terjadinya perubahan lingkungan. Ada beberapa manfaat yang diperoleh melalui pendekatan aktor untuk analisis pemanfaatan tumbuhan obat, yaitu: a) Mampu memberikan informasi mengenai banyaknya para aktor pada tingkat lokal yang terlibat dalam perubahan kinerja tumbuhan obat. Pengurasan sumberdaya tumbuhan obat, langkanya jenis-jenis tertentu dan degradasi lingkungan menjadi gambaran situasi terjadinya perubahan lingkungan; b) Mampu memberikan alasan mengenai motivasi, kepentingan dan tindakan yang dilakukan para aktor hingga menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan tumbuhan obat. Kompleksitas yang terjadi diantara para aktor mempengaruhi relasinya terhadap aktor lain

Ekonomi politik Perubahan Lingkungan

di Dunia Ketiga

Aktor:

- bisnis (Pearson, 1987) -pastoralist (Bessett,

1988)

- negara (Guha, 1989; Peluso, 1992)

Konsep:

- Sustainable/green development (Redcliff, 1987; Adams, 1990) - Hazard, disaster,

vulnerability (Blaike et al, 1994)

- Forestry discourse (Jewitt, 1995)

Ekologi politik regional: -Afrika Barat (Franke &

Chasin, 1980) - Asia Tenggara (Bryant

et al, 1993) - Afrika Utara (Nile)

(Collins, 1990)

Menunjukkan interaksi yang kuat

(44)

khususnya dalam posisi politik. Aktor yang memiliki posisi politik lebih kuat akan mendominasi aktor lain yang posisi politiknya lebih lemah; c) Mampu memberikan pemahaman mengenai peranan dan interaksi para aktor terhadap konflik mengenai lingkungan. Konflik-konflik yang terjadi dalam pemanfaatan tumbuhan obat seringkali menyingkirkan aktor-aktor yang lebih lemah. Pertarungan tersebut ditujukan untuk menguasai sumberdaya tumbuhan obat. Hanya saja aktor-aktor yang “kalah” juga memiliki kekuatan untuk bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri (Bryant & Bailey 1997).

Para aktor memiliki kepentingan sendiri-sendiri terhadap sumberdaya tumbuhan obat yang sama sehingga proses negosiasi dan pengambilan keputusan terhadap penggunaan sumberdaya tersebut merupakan hal yang

penting. Hanya saja “siapa yang memutuskan” merupakan persoalan

tersendiri karena terdapat hak para aktor untuk memanfaatkan sumberdaya tumbuhan obat tersebut (Stenley et al. 2012; Borrow et al. 2002). Sebagian besar sumberdaya tumbuhan obat yang terdapat di hutan dimiliki dan dikuasai oleh Negara sehingga Negara memiliki hak untuk memutuskan kepada siapa sumberdaya tersebut dikelola. Dengan demikian, dalam pemanfaatan tumbuhan obat, Negara bersama dengan agennya adalah aktor dalam kegiatan tersebut. Ketika peran Negara sangat besar untuk menentukan kepada siapa hak pengelolaan tumbuhan obat diberikan, biasanya masyarakat di pedesaan dan komunitas pengelola tumbuhan obat akan tersingkir. Pertentangan kepentingan dalam perebutan sumberdaya yang sama akan terjadi. Sifat common pool resources tumbuhan obat berhadapan dengan berbagai kepentingan sehingga kelestarian pemanfaatannya akan terganggu (Ostrom et al. 1994). Ostrom (2005) menyebutkan empat tipe produk (goods) sebagai sumberdaya yang dimanfaatkan oleh manusia. Pembagian produk tersebut berdasarkan pada penggunaan dan potensi manfaat yang diperoleh, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Empat Tipe Sumberdaya (goods)

Subtractability of Use

(45)

excluding

Menurut Giddens (2011), kekuasaan dihasilkan dalam dan melalui reproduksi struktur-struktur dominasi. Sumber daya yang menyusun struktur dominasi terdiri atas dua jenis, yaitu sumberdaya alokatif dan sumberdaya otoritatif. Koordinasi apapun sistem sosial lintas ruang dan waktu pasti melibatkan gabungan dua jenis sumberdaya ini. Jenis sumberdaya alokatif dan sumberdaya otoritatif disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Sumberdaya Alokatif dan Otoritatif

Sumberdaya alokatif Sumberdaya Otoritatif 1. Ciri lingkungan material (bahan

mentah, sumber kekuasaan materi)

Organisasi ruang-waktu sosial (penyusunan jalur dan kawasan secara temporal-spasial)

2. Alat produksi/reproduksi material (piranti produksi, teknologi)

Sumberdaya alokatif merupakan penyusun “adaptasi” dengan lingkungan yang dilakukan oleh para aktor dalam memperoleh kekuasaan dan memiliki sifat evolutif dan materi. Sedangkan sumberdaya otoritatif

(46)

otoritatif. Sumberdaya otoritatif merupakan “pengungkit” dalam

perubahan sosial sama seperti sumberdaya alokatif (Giddens 2011).

Organisasi ruang waktu mengacu pada bentuk-bentuk regionalisasi dalam (dan lintas) masyarakat berdasarkan penyusunan jalur ruang-waktu kehidupan sehari-hari. Contoh yang dapat diberikan disini adalah masyarakat pemburu dan pengumpul memiliki kekhasan dalam organisasi ruang-waktu. Kepastian spasial-penekanan lokal-lokal pada “lingkungan

yang dibangun” secara permanen, misalkan zona/kawasan produksi

tumbuhan/tanaman obat (Giddens 2011).

Kategori produksi/reproduksi pada sumberdaya otoritatif tidak sama dengan yang dimaksudkan pada kategori kedua dari sumberdaya alokatif. Kategori ini mengacu pada adanya koordinasi terhadap sejumlah orang bersama-sama di suatu masyarakat dan reproduksinya disepanjang waktu merupakan jenis sumberdaya otoritatif yang sangat mendasar. Ukuran organisasi sistem benar-benar memberikan kontribusi yang sangat signifikan pada penciptaan kekuasaan (Giddens 2011).

Kategori terakhir adalah kesempatan dalam kehidupan sebagai fenomena yang sangat tergantung pada produktivitas material suatu

masyarakat. Di sini “kesempatan hidup” berarti peluang untuk

melangsungkan kehidupan bagi manusia dalam berbagai bentuk dan

kawasan masyarakat. Misalkan Weber menyebutkan “keaksaraan masal”

dapat memobilisasi masyarakat dibandingkan mereka yang diam dalam tradisi lisan.

4. Aktor

(47)

Menurut Hermans dan Thiesen (2008), ada empat dimensi untuk analisis aktor, yaitu:

1. Jaringan: Banyak atau sedikitnya bentuk-bentuk tetap dari relasi sosial antara aktor-aktor yang saling tergantung, kemudian membentuk permasalahan kebijakan dan atau program kebijakan (Hermans & Thiesen 2008). Konteks kelembagaan, terbatasnya aturan main dan struktur memungkinkan terjadinya jarak dari kegiatan-kegiatan tersebut (Ostrom et al. 1994);

2. Persepsi: Gambaran bahwa para aktor memiliki dunia mereka sendiri, baik diantara para aktor dan jaringannya serta karakter substantif dari masalah kebijakan (Scharpf 1997). Persepsi juga berarti label yang menjadi sebab kepercayaan, pemikiran, dan kerangka referensi. Persepsi di sini hanya mengacu pada teori

“netral” mengenai bagaimana dunia berlangsung dan bukan pada

kepercayaan normatif pada apa yang baik atau pada apa yang diinginkan;

3. Nilai: Memberikan arahan ke mana aktor akan bergerak, menggambarkan motivasi internal para aktor. Konsep-konsep yang berhubungan seperti norma, kepentingan, tujuan merupakan fungsi pada tingkat yang lebih abstrak di mana sasaran, tujuan dan target mencerminkan nilai dalam istilah yang lebih spesifik. Preferensi dan posisi menterjemahkan nilai pada sebuah preferensi (relatif) pada solusi-solusi tertentu dan hasil-hasil kebijakan. Variabel-variabel pada dimensi ini memiliki hubungan yang dekat dengan persepsi para aktor.

(48)

dalam jaringan. Misalnya, sumber daya memiliki hubungan yang dekat dengan kekuasaan dan pengendalian (Thomson et al. 2003).

Hermans dan Thiesen (2008) menyebutkan bahwa metode analisis aktor memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Menyediakan perbandingan pandangan dalam karakteristik para aktor yang terlibat di dalamnya;

2. Fokus pada satu atau lebih dimensi dari proses analisis kebijakan multi aktor (jaringan, nilai, persepsi, sumberdaya);

3. Mendeskripsikan analisis tindakan tertentu, dengan maksud bahwa metode atau penerapannya digambarkan cukup lengkap agar orang lain dapat merekonstruksi penggunannya;

4. Telah dibuktikan penggunaannya bagi analisis peranan aktor pada pembuatan kebijakan di dunia nyata;

5. Sudah diuji secara ilmiah melalui masukan-masukan para ahli dan dipublikasikan.

4.1. Analisis Para Pihak

(49)

Menurut Reed et al. (2009) bahwa analisis para pihak memiliki beberapa pendekatan, yaitu deskriptif, normatif dan instrumental. Pendekatan normatif dan instrumental merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk melihat relasi antar pihak dan fenomena tertentu. Secara khusus dikatakan bahwa pendekatan normatif sudah digunakan pada kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam dengan penekanan pada legitimasi pelibatan dan pemberdayaan para pihak dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan normatif ini dikembangkan menggunakan teori Habermas tentang tindakan komunikasi (communicative action) di mana orang atau sekelompok orang berusaha mencapai pembagian pemahaman dan bekerja sama untuk memecahkan permasalahan bersama berdasarkan pembahasan dan konsensus. Hal ini

berbeda dengan pendekatan instrumental yang bertujuan ‘pengendalian

(control)’ dengan mengubah realitas.

Dalam pengelolaan sumberdaya alam biasanya berhubungan dengan pertarungan kepentingan dari berbagai pihak yaitu ketika mereka menggunakan sumber daya yang sama dengan tujuan yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, pemahaman terhadap perspektif yang berbeda dari para aktor yang terlibat sangat penting. Analisis para pihak merupakan sebuah alat yang dapat digunakan atau berkonstribusi terhadap proses negosiasi atau pembelajaran di antara para pihak dalam memecahkan masalah bersama, tetapi bukan alat yang dapat menciptakan platform negosiasi. Analisis para pihak dapat memfasilitasi sebuah pendekatan konstruktivis pada partisipasi para pihak yang memerlukan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1.  Hubungan Akses Para Pihak dengan Sumberdaya Tumbuhan Obat
Tabel 1. Lanjutan
Tabel 1. Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan ragi tapai dan getah buah papaya dan daging buah kelapa yang difermentasi tanpa penambahan bahan-bahan tersebut (kontrol) berpengaruh sangat nyata (P≤0.01) terhadap semua

Menurut Wahyudi (2006) dengan pertumbuhan teknologi di Indonesia yang sangat pesat, pemerintah dalam hal ini direktorat jendral pajak memanfatkan hal tersebut

❖ Bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru melemparkan beberapa pertanyaan kepada siswa berkaitan dengan materi Dalil- dalil al-Qur’ãn dan hadis tentang kepedulian

Setelah dilakukan penelitian mengenai potensi dekolorisasi pewarna Blue-R dan Orange maka dapat disimpulkan bahwa, isolat MB 1 dan MB 15 mampu mendekolorisasi dengan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa masih terdapat beberapa unsur yang perlu untuk diperbaiki dikarenakan unsur-unsur tersebut memperoleh nilai rendah

Faktor perilaku masyarakat yaitu tidur tanpa kelambu, tinggal dengan penderita filariasis, kebiasaan keluar rumah pada malam hari, tidak memakai baju dan celana

Pada hasil point ini didapatkan 25 dari 25 observer setuju pada point tersebut. Berarti pernyataan mengenai hasil jadi pakaian ter- sebut sesuai dengan desain dan

besar dari 10,4 V. Perbedaan level tegangan antara sensor optocoupler1 dan optocoupler2 tersebut dikarenakan perbedaan hambatan di dalam fototransistor. Gambar 4-5 akan