• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan kemitraan industri pengolahan kayu bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan di Pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelembagaan kemitraan industri pengolahan kayu bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan di Pulau Jawa"

Copied!
277
0
0

Teks penuh

(1)

KELEMBAGAAN KEMITRAAN

INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT

DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUTAN DI PULAU JAWA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

NANDANG PRIHADI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan Di Pulau Jawa” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2010

Nandang Prihadi

(4)

ABSTRACT

 

NANDANG PRIHADI. 2010. Institutional Partnership between Wood-Processing Industries and Communities on Forest Development in Java Island. Under supervisions of DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, and NURHENI WIJAYANTO.

The research intended to analyze effectiveness of partnership between wood-processing industries and communities for supporting sustainable development of forest plantations management (KIBARHUT) in Java Island. The research conducted in 3 locations, namely Sukaraja, Bawang, and Krucil on April–October 2008. Up to 2008, 3 industries (INPAK) had been planted 14,537.12 ha of KIBARHUT in 4 provinces of Java Island. KIBARHUT was carried out with land owners (Type 1 and 2) and the proprietors of state property (Type 3), regulated using non-formal (Type 1) and formal contracts (Type 2 and 3). Agency relationship characterized by INPAK (principal) willingness to delegate forest development investment to agents for producing timber, which supported by market warranty and processing capacity of principal’s industry, using the timber harvested from KIBARHUT by agents and supplied to principal. Rights and obligations formally enforced based upon written clausuls on the contracts, as well as involvement of informal institutions (ellite figures of the village) helped to informally enforce the contracts.

KIBARHUT resulted financial and economic efficiency on allocating resources (input and output). KIBARHUT also had feasibility of financial and competitive and comparative advantages which simply indicated that log harvested was adequately enough to go to the world market for having export transactions. Efficieny on allocating output of KIBARHUT was supported by strategies carried out by wood-processing industries (INPAK), namely: (i) creating special organization responsible for marketing purposes (log supplier and cooveratives) which had a link directly to

agents; (ii) building business cooperations with sawmill surrounding the location of KIBARHUT; (iii) offering incentives (bonus or premium price per cubic of log) to encourage log supply to INPAK either goes directly to agents or through allied sawmill. The study concluded that sustainability of forest plantations development of KIBARHUT in Java Island should be implemented on the higher bundles of property rights and enforced using the formal contract which had the assurance of rule-in-use. 

 

(5)

RINGKASAN

 

 

NANDANG PRIHADI. 2010. Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN selaku Ketua, BRAMASTO NUGROHO dan NURHENI WIJAYANTO sebagai anggota.

Hubungan kemitraan (agency relationship) merupakan suatu bentuk kelembagaan, dimana para pelaku bekerjasama mengkombinasikan faktor produksi

yang dimiliki dalam suatu proses produksi. Saling ketergantungan antara para pelaku

tersebut menjadi dasar pelaksanaan penelitian kelembagaan kemitraan INPAK

bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) di Pulau Jawa.

Penelitian ini bertujuan mengetahui kelembagaan KIBARHUT yang mempunyai

peluang untuk berlangsung secara berkelanjutan.

Kelembagaan KIBARHUT dicirikan kesediaan principal mendelegasikan kemampuan investasi membangun hutan ke agents, untuk memproduksi kayu sebagai komoditas yang ditransaksikan dengan didukung pengetahuan dan pemahaman agents

terhadap jaminan pasar dari principal. Sampai dengan tahun 2008, realisasi pembangunan hutan (tanaman) KIBARHUT yang dilakukan oleh ketiga INPAK

contoh di Pulau Jawa adalah 14.537,12 ha, yang tersebar di 20 kabupaten pada 4

provinsi di Pulau Jawa (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur).

KIBARHUT dilaksanakan di lahan milik (Tipe 1 dan 2) atau lahan negara (Tipe

3) dengan kontrak bersifat non-formal (Tipe 1) atau formal (Tipe 2 dan 3). Pada lahan

milik terdapat kepastian (jaminan) hak penggunaan lahan, sehingga terdapat kepastian

hak atas kayu hasil panen KIBARHUT yang lebih tinggi dibandingkan pada lahan

negara. Pada kontrak formal terdapat kepastian hukum (hak dan kewajiban, termasuk

aturan sanksi dan insentif) yang lebih tinggi dibandingkan pada kontrak non-formal.

Kelembagaan KIBARHUT dibedakan menjadi hubungan kemitraan 1 tingkat

dan 2 tingkat. Hubungan 1 tingkat adalah hubungan kemitraan secara langsung antara

principal dan agents, dan didapati sangat terbatas yaitu sekitar 4,4% pada pelaksanaan KIBARHUT di lahan milik (Tipe 1 dan Tipe 2). Hubungan 2 tingkat adalah hubungan

(6)

serta menjembatani hubungan agents dan principal.

Kelembagaan KIBARHUT mempunyai kemungkinan terjadinya moral hazard

(ingkar janji) dan perilaku oportunis pasca kontrak, yang teridentifikasi lebih tinggi

pada kontrak non-formal atau Tipe 1 (indikasi oportunis agents 76,7% dan principal

dengan skor 3) dibandingkan kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3 yaitu oportunis agents

berkisar 13,3 – 40% dan principal dengan skor 1). Perilaku oportunis dan sulitnya penegakan kontrak karena tidak adanya aturan mengatur sanksi yang berdampak tidak

adanya resiko hukuman terhadap perilaku oportunis.

Kajian fungsi produksi menunjukkan bahwa fungsi-fungsi produksi untuk setiap

pelaku KIBARHUT dapat diturunkan dua kali dan fungsi produksi yang terbangun

berbentuk cekung sempurna yaitu memenuhi syarat negatif terbatas ((i) elastisitas ( )

fungsi produksi bernilai 0 – 1 (0< <1 dan 0< <1 sehingga 0< <1), dan (ii) dapat

diturunkan dua kali ( ,  , dan  . > 0). Dengan demikian, pelaku telah berperilaku efisien dalam mengalokasikan input produksi.

Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa terbukti layak secara finansial

berdasarkan analisis secara total dan sudut pandang masing-masing pelakunya.

Kinerja tersebut ditunjukkan dengan terpenuhinya kriteria keberterimaan kelayakan

finansial yaitu NPV positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang dipersyaratkan

(IRR > i%), dan B/C ratio > 1. KIBARHUT juga memiliki keunggulan kompetitif (PP positif dan PCR < 1 atau rata-rata 0,701) dan komparatif (SP positif dan DRC < 1 atau

rata-rata 0,572) untuk semua tipologi. Keunggulan usaha KIBARHUT tersebut dan

adanya disparitas harga domestik dibandingkan harga paritasnya di pintu pabrik,

menunjukkan bahwa kayu KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai peluang ekspor

karena mampu menghasilkan haga FOB yang kompetitif di pasar internasional.

Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki efisiensi dalam pemasaran

kayu (tanaman) hasil panennya. Efisiensi dalam pemasaran karena KIBARHUT telah

menjamin alokasi komoditas hasilnya secara mudah dan efisien serta dapat

(7)

memberikan jaminan pasar yang kompetitif. Jaminan pasar merupakan kewajiban

principal sebagai bentuk pemenuhan hak agents, yang diperlukan untuk mendukung keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT.

Sintesa hasil temuan–temuan tersebut adalah bahwa tingginya strata hak

kepemilikan (property rights) yang melekat pada pelaku ternyata belum memberikan jaminan penegakan kontrak dan keberlanjutan hubungan kemitraan, jika tidak

diimbangi kejelasan (tingginya kepastian) hukum atas kontrak termasuk adanya aturan

yang mengatur sanksi guna meminimalkan dorongan pelaku melanggar kepakatan

(kontrak), atau berperilaku oportunis yang dapat menganggu keberlanjutan hubungan.

Dengan demikian, hubungan kemitraan seharusnya diikat dan diwujudkan dalam suatu

kontrak yang memiliki jaminan kepastian hukum (kontrak formal) dan strata hak

kepemilikan yang tinggi. Selanjutnya, kepuasan terhadap bagi hasil (contract share) terwujud jika ada keseimbangan secara proporsional antara manfaat (hak) yang

diterima dengan biaya (kewajiban) yang dikeluarkan. Kepuasan terhadap bagi hasil

menjadi dasar kesediaan para pelaku untuk terus bekerjasama, sehingga terjadi

keberlanjutan atau interaksi berulang (repeated games) berdasarkan kepercayaan yang diperoleh dari pengalaman dan pertemanan yang sudah dan terus berlangsung.

Keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT juga diwujudkan dengan adanya: (i)

pendampingan dalam membina hubungan kerjasama dan memotivasi agents, menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi; (ii) peran aktif mitra antara di lapangan, dan adanya petugas lapangan (mitra antara dan principal) yang berada dan tinggal di sekitar lokasi sehingga dapat teratur dan terus menerus menjalin komunikasi

dengan agents; (iii) adanya fasilitas kredit tunda tebang yang merupakan insentif untuk agents; (iv) pemberian bonus/insentif untuk agents KIBARHUT berupa tambahan harga (premium price); (v) alokasi biaya guna pemantauan, pengamanan dan koordinasi (agency costs).

Kata kunci: hubungan kemitraan, industri pengolahan kayu, kelembagaan, pembangunan

(8)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.  

(9)

 

KELEMBAGAAN KEMITRAAN

INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT

DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUTAN DI PULAU JAWA

 

 

 

 

 

 

NANDANG PRIHADI

 

 

 

 

 

 

 

 

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan,

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Bedjo Santosa, M.Si

2. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, DEA

(11)

HALAMAN PENGESAHAN

 

 

Judul Disertasi : Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa

Nama Mahasiswa : Nandang Prihadi

Nomor Pokok : E 061060141

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA (Ketua)

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS (Anggota)

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Anggota)

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(12)

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya

kamu jangan melampui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu

(13)

KATA PENGANTAR

Sebagaimana laiknya perjalanan menuju Sukaraja di Tasikmalaya, Bawang di

Batang, dan Krucil di Probolinggo yang terjal, penuh kelokan, tanjakan dan turunan,

maka proses penelitian dan penulisan disertasi ini juga tidak hanya memerlukan

penguasaan ilmu tetapi juga kesabaran dan ketekunan. Dan, Alhamdulillah, puji

syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-NYA,

maka disertasi berjudul Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu

Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa telah dapat

penulis selesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) di Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dengan tersusunnya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku Ketua Komisi

Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan

penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis, hingga

selesainya penulisan disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga dihaturkan

kepada Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas

sumbangan tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan sejak dari awal tahap rencana

penelitian disusun, penyusunan proposal, tahap analisa data sehingga terselesaikannya

penulisan disertasi. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, masukan dan arahan sehingga disertasi ini dapat tersusun dan

terselesaikan. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan juga kepada:

• Dr. Ir. Bedjo Santoso, MM dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, DEA dan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi;

• Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (Pusdiklat) Departemen Kehutanan yang telah memberikan beasiswa dan menyediakan biaya penelitian.

(14)

narasumber yang telah membantu pelaksanaan pengumpulan data, dan khususnya Pak Heryanto dan Pak Kardana yang mendampingi penulis selama di lapangan.

• Mas Bowo dan keluarga, petugas PT. SGS (Pak Suranto, Mas Ganis, P. Muhaimin, Sandi, Pak Mathori, Agus), Pak Sugiyarto dan seluruh aparat Kecamatan dan Desa di Kec. Bawang, serta para narasumber yang telah membantu pelaksanaan pengumpulan data. Terima kasih disampaikan juga untuk Ratri dan Mukti yang telah mendampingi penulis selama pengumpulan data di lapangan.

• Ir. Gunung, MM (ADM/KKPH Probolinggo) beserta staf KPH Probolinggo, petugas PT. KTI (Heru Jhudianto, Joko, Mustofa, Supriyadi, Dewi), seluruh aparat desa dan kecamatan di Krucil, Probolinggo, dan seluruh narasumber yang telah membantu kelancaraan penelitian. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan ke Pak Edi Purwanto, Subur, Supriyadi SH, Mustofa, Supriadi, dan Pak Priyanto (dan keluarga) yang telah mendampingi pelaksanaan kegiatan di lokasi.

• Ir. M. Asy’ari, M.Reg, Ir. Sigit Pramono, M.Sc., Dra. Nadjmatun Baroroh, M.Hum, dan rekan-rekan di Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kehutanan yang telah memberikan dorongan dan dukungan serta menjadi mitra diskusi.

• Terima kepada Mas Iwan dan Yekti yang membantu menyiapkan peta lokasi penelitian; kepada Ir. Tigor Butar-Butar, M.Sc. dan staf, dan Novia Widyaningtyas, S.Hut., M.Sc. dan staf selaku Sekretariat Dewan Redaksi yang telah membantu proses penerbitan karya tulis ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis.

• Rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya Program Studi IPK, BIO, DAS, PSL, PWD dan EPN yang telah menjadi mitra diskusi terbaik bagi penulis.

• Bapak dan Mamah di Bogor, teteh Dian sekeluarga di Ciamis, adik-adik tersayang (Teguh sekeluarga, Doni sekeluarga di Kuala Lumpur, Mugi dan Narissa) dan keluarga besar di Bogor disampaikan terima kasih atas dukungan dan doanya.

• Papah dan Mamah di Bekasi, Fandalina dan keluarga di Bekasi, Yanti dan Eni terima kasih atas dukungan dan doanya.

• Terima kasih untuk Nina, isteriku terkasih, dan Dea dan Aliya anak-anakku tercinta, yang selalu mendoakan, mendukung, menginspirasi, memberikan semangat dan menjadi bagian terpenting keberhasilan penulis. Terima kasih yang sangat khusus untuk Nina, isteriku tersayang, yang telah dengan setia menemani dan mendampingi penulis.

Disertasi ini dipersembahkan bagi yang yakin bahwa kepercayaan merupakan

modal penting menjalin hubungan kerjasama.

Bogor, April 2010

Penulis

(15)

RIWAYAT HIDUP

 

 

   Penulis lahir di Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1969, sebagai anak kedua dari enam bersaudara keluarga Bapak

H. Tjetje Soeripto Wartaatmadja dan Ibu H. Waliyah Hidayat. Penulis menikah

dengan drg. Andrena, Sp.Perio (Nina) pada tahun 1997 dan telah dikaruniai dua putri

yang cantik shalehah, Adeela Edinamalia Putri (Teteh Dea) lahir di Bekasi, 17

Oktober 1999 dan Aliya Numasari Putri (Aliya) lahir di Bekasi, 22 Agustus 2002. 

Pendidikan dasar diselesaikan penulis di Bogor, yaitu di SDN Panaragan 1

Bogor. Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 4 Bogor dan SMP

St Petrus Pontianak, dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bogor

pada tahun 1988. Penulis melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi, Universitas

Sriwijaya selama setahun, kemudian pindah studi dan memperoleh gelar S.Hut dari

Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada pada tahun

1994, dengan meraih penghargaan sebagai lulusan tercepat dan terbaik (predikat

Dengan Pujian). Pada tahun 1998 penulis memperoleh beasiswa dari International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Departemen Kehutanan guna melanjutkan studi S-2 pada program studi Resources Management, University of Edinburgh dan lulus dengan gelar M.Sc., pada tahun 1999. Selama studi di University of Edinburgh, penulis dianugerahi penghargaan (award) TROPAG PRIZE sebagai mahasiswa asing

(overseas student) terbaik. Pada tahun 2006, penulis mendapat beasiswa dengan biaya Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Departemen Kehutanan untuk

melanjutkan studi S-3 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengawali karir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Departemen

Kehutanan (Dephut) sejak tahun 1995 dan ditugaskan pada Kantor Wilayah Dephut di

Provinsi Jambi sampai dengan tahun 2000. Semenjak tahun 2000 sampai 2003,

penulis bertugas di Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Dephut. Selanjutnya,

bertugas sebagai Kepala Sub Bagian Kerjasama Regional pada Biro Kerjasama Luar

Negeri (KLN) dan Investasi, Sekretariat Jenderal (Setjen) Dephut (2003–2005),

Kepala Sub Bagian Kerjasama Bilateral Wilayah Asia, Afrika dan Australia pada Biro

(16)

program S-3 Departemen Kehutanan pada program studi Ilmu Pengetahuan

Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana, IPB.

Selama mengikuti program Doktoral, karya ilmiah penulis berjudul Partnership between the wood processing industries and the people on forest plantations development in Java Island, Indonesia telah dipresentasikan pada International Seminar of Research on Plantation Forest Management: Challenges and Opportunities, Bogor, 5-6 November 2009. Empat karya tulis/artikel yang telah dipublikasikan, adalah (i) Filosofi kontrak kemitraan: kasus kemitraan pengelolaan

hutan tanaman dengan masyarakat di Indonesia. Info Pustanling 9(1): 8–12/Juni 2007;

(ii) Hutan rakyat: potensi bahan baku kayu bundar yang terabaikan. Warta KAGAMA

Kehutanan, edisi 2, November 2008; (iii) Pemberdayaan masyarakat dalam

pengelolaan hutan tanaman industri. Warta KAGAMA Kehutanan, edisi 2, November

2008. Dua artikel/karya tulis ilmiah yang akan dipublikasikan adalah (i) Kemitraan

industri pengolahan kayu bersama rakyat untuk membangun hutan di Pulau Jawa pada

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Volume 7, Tahun 2010; (ii) Keunggulan kompetitif

dan komparatif kemitraan industri dan rakyat untuk membangun hutan di Pulau Jawa

pada Jurnal Analisis Kebijakan, Volume 6, Tahun 2010.

(17)

DAFTAR ISI

 

 

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pernyataan Masalah Penelitian ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

F. Kebaruan (Novelty) ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Hutan Tanaman ... 7

B. Teori Kemitraan dan Kontrak ... 13

C. Kelembagaan Kemitraan Dalam Pembangunan Hutan ... 19

D. Policy Analysis Matrix ... 26

E. Pemasaran Kayu KIBARHUT ... 35

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 41

A. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 41

B. Waktu Penelitian ... 45

C. Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Contoh ... 45

D. Sumber Data dan Metode Pengambilan Data ... 49

E. Metode Analisis ... 50

1. Analisis karakteristik dan pelaku KIBARHUT ... 50

2. Kinerja kelembagaan KIBARHUT ... 51

3. Analisis pasar kayu KIBARHUT ... 55

(18)

1. Kondisi dan ciri umum pembangunan hutan bersama rakyat ... 57

2. Aturan yang dipergunakan ... 71

3. Pelaku (actors) kelembagaan KIBARHUT ... 79

4. Deskripsi (situasi aksi) kelembagaan KIBARHUT ... 88

a. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 ... 88

b. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 ... 91

c. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 3 ... 96

5. Perilaku Oportunis ... 103

B. Kinerja Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa ... 111

1. Analisis fungsi produksi ... 111

2. Analisis finansial ... 113

3. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif ... 119

C. Pemasaran Kayu KIBARHUT di Pulau Jawa ... 125

1. Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 1 ... 127

2. Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 ... 131

3. Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 3 ... 140

D. Keberlanjutan Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa ... 141

1. Perbandingan karakteristik dan kinerja ketiga tipe KIBARHUT .. 141

2. Evaluasi keberlanjutan KIBARHUT ... 150

3. Kebijakan berkaitan kelembagaan KIBARHUT ... 154

4. Perumusan hubungan kontraktual KIBARHUT ... 157

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 173

A. Rangkuman (sintesa) temuan ... 173

B. Kesimpulan ... 177

C. Saran ... 179

D. Saran untuk Penelitian Lanjutan ... 179

DAFTAR PUSTAKA ... 181

LAMPIRAN – LAMPIRAN ... 191  

(19)

DAFTAR TABEL

 

1 Pembangunan HTI s.d. Tahun 2008 ... 9

2 Pembangunan Hutan (non-HTI) di Indonesia selama 5 tahun terakhir ... 11

3 Kumpulan hak yang dimiliki berdasarkan status kepemilikan ... 21

4 Tabel PAM ... 27

5 Perbedaan Analisis Finansial dan Ekonomi ... 28

6 Lokasi pengumpulan data dan jumlah petani contoh ... 47

7 Karakteristik Struktur Pasar ... 55

8 Perkembangan luas hutan rakyat di kabupaten contoh ... 58

9 Status pemilikan lahan dimanfaatkan untuk pelaksanaan KIBARHUT ... 60

10 Jenis tanaman kehutanan dan pola pembangunan hutan di lokasi contoh ... 63

11 Jenis tanaman pangan/hortikultur yang menjadi tanaman tumpangsari dalam tahun-tahun awal pelaksanaan KIBARHUT ... 65

12 Indikasi aturan tertuang dalam surat perjanjian kerjasama ... 76

13 Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat oleh PT. BKL ... 81

14 Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat oleh PT. SGS ... 83

15 Data penanaman kemitraan PT. KTI ... 85

16 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 ... 88

17 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 ... 91

18 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 3 ... 97

19 Indikasi perilaku oportunis dalam pelaksanaan KIBARHUT ... 104

20 Pendugaan model fungsi produksi KIBARHUT di Pulau Jawa ... 112

21 Jenis tanaman keras pada lahan dengan pola tanam AF di lokasi contoh ... 114

22 Luas usaha (ut), pola tanam, dan jenis tanaman KIBARHUT di lokasi contoh 114 23 Analisis kelayakan finansial KIBARHUT ... 116

24 Analisis kelayakan finansial berdasarkan sudut pandang pelaku ... 117

25 Ringkasan PAM usaha KIBARHUT di Pulau Jawa ... 120

26 Jumlah agents sudah menebang dan bentuk penjualan kayu KIBARHUT ... 126

27 Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang ... 130

28 Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja ... 134

(20)

32 Indikasi perilaku oportunis ... 148

33 Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) kelembagaan KIBARHUT ... 149

34 Rasio PAM KIBARHUT dengan dan tanpa kredit tunda tebang ... 156

35 Aturan digunakan (rules-in-use) kelembagaan KIBARHUT ... 161

36 Usulan model alternatif susunan kontrak kelembagaan KIBARHUT ... 165

37 Jumlah pohon dan waktu panen tanaman KIBARHUT di lokasi contoh ... 201

38 Perkiraan volume kayu bundar (KB) dihasilkan sebatang pohon Sengon ... 202

39 Perhitungan harga ekspor KB jenis Sengon ... 230

(21)

DAFTAR GAMBAR

 

1 Ide dasar agency theory ... 15

2 Aliran biaya dan pendapatan (benefit and cost) ... 33

3 Saluran pemasaran kayu bundar ... 37

4 Kerangka Pemikiran analisis kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa ... 44

5 Tipologi KIBARHUT di lokasi penelitian ... 46

6 Lokasi penelitian ... 48

7 Jenis tanaman pokok pada pelaksanaan KIBARHUT di Pulau Jawa ... 62

8 Penanaman Sengon dengan jarak tanam rapat dan pencangkokan batang untuk dijual sebagai bibit Sengon di lokasi contoh ... 66

9 Pohon Sengon terkena jamur Karat Kuru (dikenal petani sebagai “gondok) dan pohon terkena Ulat Batang ... 68

10 Distribusi pohon KIBARHUT berdasarkan kelas diameter di lokasi contoh ... 70

11 Organisasian pelaksanaan KIBARHUT Tipe 1 Bawang ... 89

12 Organisasian pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja ... 92

13 Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Krucil ... 94

14 Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3 Krucil ... 101

15 Tegakan Balsa muda ditanam secara tumpangsari dengan Jagung ... 103

16 Tegakan Balsa (umur ± 4 tahun) siap untuk tebang penjarangan ... 103

17 Jumlah agents terindikasi berperilaku oportunis ... 105

18 Bentuk dan saluran pemasaran kayu hasil KIBARHUT ... 126 

19 Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang ... 128

20 Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja ... 132

21 Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Krucil ... 136

22 Bagan alir model usulan prosedur perolehan kontrak KIBARHUT ... 160

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

 

 

1 Populasi Pohon di Pulau Jawa ... 192

2 Asal pasokan bahan baku untuk kebutuhan industri perkayuan di Indonesia Tahun 2005 – 2007 ... 193

3 Rekapitulasi pelaksanaan KIBARHUT berdasarkan informasi petani contoh 194

4 Asumsi perhitungan hasil panen kayu KIBARHUT ... 201

5 Data industri penggergajian/sawmill di kecamatan contoh ... 203

6 Unsur-unsur kontrak pada hubungan kontraktual KIBARHUT di Pulau Jawa 204

7 Data pokok pendugaan fungsi produksi ... 207

8 Analisis regresi model fungsi produksi KIBARHUT di Pulau Jawa ... 210

9 Kurva Fungsi Produksi ... 222

10 Evaluasi perilaku pelaku KIBARHUT ... 223

11 Perhitungan harga paritas ... 229

12 Harga aktual (privat) dan dugaan harga sosial ... 231

13 Analisis aliran kas berdiskonto KIBARHUT ... 232

14 Laba bersih usaha (INPAK) dari hasil pengolahan kayu ... 238

15 Analisis finansial KIBARHUT berdasarkan masing-masing pelaku ... 239

16 Analisis sensitifitas ... 240

17 Analisis PAM KIBARHUT di Pulau Jawa ... 242

18 Rasio PAM KIBARHUT, ada kredit tunda tebang mulai tahun ke-4 ... 243

19 Analisis teoritis pangsa pasar dan pasokan ekspor kayu bundar ... 244

20 Aturan grading kayu oleh INPAK ... 248

21 Diferensiasi produk dan harga pada pemasaran kayu di lokasi contoh ... 251

(23)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

BUMN Badan Usaha Milik Negara

BUMS Badan Usaha Milik Swasta

Dephut Departemen Kehutanan/Kementerian Kehutanan (mulai tahun 2010)

Ditjen BPK Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan

FGS Fast growing species atau tanaman jenis cepat tumbuh

HGU Hak Guna Usaha

HTI Hutan Tanaman Industri

HTR Hutan Tanaman Rakyat

INPAK Industri Pengolahan Kayu

IPHHK Industri Primer Hasil Hutan Kayu

IUIPHHK Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu

IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

IUPHHK – HT Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman

IUPHHK – HA Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam

hpt Hijauan pakan ternak

KB Kayu Bundar. Standar Nasional Indonesia (SNI) mendefinisikan kayu bundar, kayu gelondongan, balak, dolok atau log sebagai bagian batang dan atau cabang dari pohon, berbentuk bundar memanjang dengan ukuran dan sortimen tertentu. Berdasarkan besarnya diameter, kayu bundar (KB) digolongkan menjadi 3 (tiga) sortimen, yaitu kayu bundar besar/KBS, kayu bundar sedang/KBS, dan kayu bundar kecil/KBK (SNI 01-5010.4-2002 tentang Pendukung di bidang Kehutanan – Bagian 4: Tata nama hasil hutan)

KAMkti Koperasi Alas Mandiri kti

Kemitraan Dalam arti bermitra yaitu untuk membahasakan kerjasama yang dilakukan para pelaku, sedangkan pola kemitraan adalah untuk menyebutkan bentuk kemitraan yang dilaksanakan

KIBARHUT Kemitraan INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan

KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan, yaitu unit organisasi di Perum Perhutani yang dikepalai oleh ADM atau Kepala KPH

KUP Kelompok usaha penggergajian, yaitu sawmill (penggergajian kayu) yang terafiliasi dengan PT. BKL

(24)

Lodaya Lestari (BLL)

PT. KTI PT. Kutai Timber Indonesia

PT. SGS PT. Sumber Graha Sejahtera dan perusahaan terafiliasi, diantaranya yang terkait dalam penelitian adalah PT. Kharisma Megah Dharma (KMD), PT. Makmur Alam Lestari (MAL), PT. Nusantara Makmur Sentosa (NMS) atau “Mandira”, dan PT. Setya Alba (SA)

PAM Policy Analysis Matrix atau matriks analisis kebijakan

PP Peraturan Pemerintah

Pemilik lahan Individu atau kelompok yang memiliki/menguasai lahan dan dikerjasamakan dalam kelembagaan KIBARHUT. Pemilik lahan adalah (i) petani pemilik lahan jika mengerjakan tanah/lahan miliknya sendiri, dan (ii) non-petani jika tidak secara langsung mengerjalan lahannya tetapi dengan mengikutsertakan petani sebagai mitra dan/atau penggarap lahan.

Permen Peraturan Menteri

(25)

I.

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Pada saat ini dan masa mendatang, peran dan fungsi hutan tanaman dalam

memasok kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu semakin meningkat

(Nawir dan Santoso, 2005; Raymond dan Woof, 2006). Pembangunan hutan dengan

permudaan buatan (umum dikenal sebagai hutan tanaman) diartikan sebagai tegakan

hutan yang ditanam secara khusus dengan pohon berkayu jenis tertentu untuk

keperluan penyediaan kayu bakar, dan bahan baku untuk industri pengolahan kayu,

atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan sebagainya. Jenis

yang ditanam umumnya memiliki karakteristik khas, seperti cepat tumbuh,

persyaratan pengelolaan tidak rumit dan produktivitas tinggi.

Food and Agriculture Organisation atau FAO (2005) melaporkan bahwa 34,1% pembangunan hutan ditujukan untuk memasok bahan baku kayu bagi industri

pengolahan kayu atau secara komersial untuk keperluan industri, mencakup kayu

untuk konstruksi, panel kayu dan furniture, dan bahan baku serpih untuk industri pulp

dan kertas. Pembangunan hutan di dunia juga ditujukan untuk keperluan non industri

seperti kayu bakar, keperluan rumah tangga, dan jasa lingkungan (48,7%), konservasi

tanah dan air (9,3%), dan fungsi lainnya yang belum tercatat (7,8%).

Pembangunan hutan dengan permudaan buatan di Indonesia umumnya

dilakukan pada kawasan hutan produksi oleh kelompok masyarakat yang diberikan

kewenangan oleh pemerintah. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu sehingga disebut

hutan tanaman industri atau HTI (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 (PP

No. 6/2007) jo PP No. 3/2008 khususnya Pasal 1). Berdasarkan data release Ditjen

BPK Triwulan I Tahun 2009 (website http://www.dephut.go.id) tercatat 229 unit HTI

sudah memperoleh Surat Keputusan (SK) definitif dengan luas konsesi 9.972.732 ha,

tetapi realisasi tanamannya hanya seluas 3.970.958 ha atau sekitar 39,82%

dibandingkan luas areal konsesinya.

Guna mengoptimalkan realisasi pembangunan hutan tanaman di Indonesia, sejak

(26)

pemerintah diantaranya adalah mengalokasikan kawasan hutan milik negara seluas 9

juta ha menjadi lahan hutan tanaman periode 2007–2010 (Pasaribu, 2006), dimana

40% atau 3,6 juta ha dibangun dengan pola Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

pada Hutan Tanaman (IUPHHK–HT), dan 60% atau 5,4 juta ha dengan pola Hutan

Tanaman Rakyat (IUPHHK–HTR). Kebijakan pembangunan IUPHHK–HTR, yang

mengakomodir keterlibatan rakyat sebagai stakeholder pembangunan hutan, dituangkan dalam PP No.6/2007 jo PP No. 3/2008 dan ditindaklanjuti dengan

Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.23/Menhut-II/2007 jo No.

P.05/Menhut-II/2008. Berdasarkan Permenhut tersebut, maka salah satu pola

pembangunan HTR adalah dengan pola kemitraan.

Kemitraan membangun hutan tanaman dilakukan IUPHHK–HT dengan

melibatkan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan (forest dependent communities). Kemitraan tersebut, seperti misalnya yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada, PT. Wirakarya Sakti, PT. Finnantara Intiga, PT. Xylo Indah Pratama,

PT. Arara Abadi, PT. Inti Indo Rayon, dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper, telah

banyak dikaji dan diungkap (Maturana et al., 2005; Nawir dan Santoso, 2005; Diyah, 2006; Yuwono, 2006; Prihadi dan Nugroho, 2007; Suwarno et al., 2009).

Di Pulau Jawa, pembangunan hutan tanaman di kawasan hutan negara seluas 2,4

juta ha dilakukan Perum Perhutani. Sedangkan pembangunan hutan non-HTI selama

kurun waktu 2003-2007 adalah rehabilitasi hutan (di dalam kawasan) seluas 224.208,6

ha dan rehabilitasi lahan (di luar kawasan) seluas 688.260 ha (Dephut, 2008).

Pembangunan hutan tanaman juga dilakukan pada lahan milik secara swadaya

maupun kemitraan dengan melibatkan berbagai pihak, diantaranya dengan industri

primer hasil hutan kayu (IPHHK)1 yaitu industri pengolahan kayu bundar2 (INPAK) atau industri pengolahan kayu bahan baku serpih (pulp and paper). Informasi INPAK yang melakukan kemitraan bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan

1 IPHHK adalah industri hulu hasil hutan kayu yaitu industri pengolahan kayu bundar dan/atau kayu

bundar kecil menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (Pasal 1), terdiri dari industri penggergajian kayu, industri serpih kayu (wood chip), industri veneer, industri kayu lapis/panel (plywood), dan

laminated veneer lumber/LVL (Pasal 2). Industri primer adalah juga termasuk industri primer yang

dibangun dengan industri kayu lanjutannya yang menggunakan bahan baku kayu bundar dan/atau kayu bundar kecil (PP. No 6/2007; Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008 jo P.9/Menhut-II/2009).

2 Standar Nasional Indonesia (SNI) mendefinisikan kayu bundar, kayu gelondongan, balak, dolok atau

(27)

(KIBARHUT) atau dikenal juga sebagai Hutan Rakyat pola kemitraan masih sangat

terbatas. Sampai tahun 2008, Direktorat BPPHH (Dephut) mengidentifikasi adanya 10

unit INPAK (dengan kapasitas produksi > 6.000 m³/tahun dan tersebar di 4 provinsi)

yang melakukan KIBARHUT di Pulau Jawa.

Kenyataannya, belum ada pola kemitraan yang dianggap optimal dalam

pembangunan hutan (Nawir dan Santoso, 2005; Suwarno et al., 2009), walau klaim pelaksanaan umumnya dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat

(Riyanto, 2005; Najiyati et al., 2005). Pendekatan kemitraan dalam upaya pemberdayaan dilakukan karena melibatkan penduduk lokal/masyarakat sekitar hutan

dan pihak terkait lainnya adalah pilihan terbaik dibandingkan kebijakan pembangunan

dengan menggunakan pendekatan otoriter (Suyanto et al., 2005; Sanginga et al., 2007). Bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling

menguntungkan, saling menghidupi, kesetaraan, partisipatif, adanya kepercayaan dan

kemauan berbagi, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha

dan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra (Korten,

1987; Eade, 1997; Sumardjo et al., 2004; Najiyati et al., 2005), sebagaimana juga termuat di Pasal 26 – 31 pada UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil.

Pemerintah telah menggariskan kebijakan yang tertuang dalam Pasal 99 PP No.

6/2007 jo No. 3/2008 bahwa pemberdayaan penduduk lokal atau setempat, dapat

dilakukan melalui kemitraan berdasarkan kesepakatan antara pemegang izin

pemanfaatan atau hak pengelolaan dengan penduduk, berdasarkan prinsip kesetaraan

dan saling menguntungkan. Nawir (2006) menyatakan perlunya kemitraan dengan

INPAK guna mendapatkan jaminan pasar bagi pengelola hutan atau pihak Hulu.

Kemitraan juga merupakan solusi tepat untuk kesinambungan bahan baku kayu

bundar bagi INPAK. Namun, sampai saat ini belum ada kebijakan nasional yang

komprehensif mengenai kemitraan pembangunan hutan antara rakyat dengan INPAK.

Kemitraan melibatkan dua atau lebih pihak yang bekerjasama dalam hal

penggunaan lahan, modal, pengelolaan hutan dan jaminan pasar dengan tujuan

memproduksi kayu bundar. Adanya hubungan kemitraan antara INPAK bersama

rakyat (pengelola hutan) memunculkan dugaan bahwa ada perubahan kinerja yang

dicapai dalam rangka pembangunan hutan sehingga keberlanjutan pelaksanaannya

(28)

pembangunan hutan berpengaruh terhadap upaya penyediaan pasokan bahan baku

sesuai dengan kebutuhan industri, meningkatkan pendapatan dan/atau keuntungan

rakyat selaku pengelola hutan yang terlibat, sekaligus keberlangsungan dan kelestarian

pasokan bahan baku bagi INPAK.

Penelitian ini mendiskusikan hal-hal tersebut dengan menggunakan teori

kemitraan (agency theory) khususnya hubungan kemitraan (agency relationship) antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan. Guna mencapai

tujuan penelitian tersebut, pengungkapan fakta dan data kelembagaan KIBARHUT

dilakukan dengan mengambil kasus penerapannya di Pulau Jawa.

B. Pernyataan Masalah Penelitian

Pengembangan usaha pembangunan hutan dengan permudaan buatan yang

dilakukan secara komersial guna memasok kebutuhan bahan baku bagi INPAK di

Pulau Jawa mempunyai potensi yang sangat besar (Hardjanto, 2003). Pada berbagai

tempat dan lokasi, INPAK melakukan pendekatan intensif kepada rakyat sebagai

petani pemilik lahan, secara perorangan ataupun kelompok, untuk bersedia bermitra

dalam upaya membangun hutan dan mengelolanya.

Kemitraan membangun hutan dengan pihak luar lingkungan sosial petani dapat

berlangsung sepanjang ada kesediaan rakyat dan/atau para pemilik lahan untuk

bermitra. Secara tidak langsung, kemitraan menyebabkan terjadinya perubahaan

budaya dan kelembagaan (Purnaningsih, 2006) sehingga memerlukan pertimbangan

rasional para pelakunya, khususnya petani. Pemikiran ini penting karena Mayers dan

Vermeuleun (2002) mengungkapkan tidak banyaknya fakta lapangan yang

memperlihatkan kemitraan antara perusahaan dengan rakyat dalam pembangunan

hutan, telah mampu mengatasi kemiskinan, meningkatkan kondisi kerja atau

meningkatkan daya tawar (bargaining position).

Mekanisme pengaturan melalui kelembagaan kemitraan merupakan penataan,

guna mendorong kesediaan pelaku bekerjasama dan berinvestasi membangun hutan.

Mekanisme tersebut dipengaruhi berbagai faktor yang secara langsung dan tidak

langsung mempengaruhi karakteristik dan pelaku KIBARHUT, sehingga

menghasilkan keluaran yang dapat dipergunakan mengevaluasi keberlanjutan (arena

(29)

(actors). Selanjutnya, pelaku yang terlibat bersedia menginvestasikan kembali sebagian manfaat yang diterimanya untuk membangun dan mengelola hutan secara

berkelanjutan. Dengan demikian, bagaimanakah karakteristik kelembagaan

KIBARHUT di Pulau Jawa ?

Kelembagaan KIBARHUT tersebut diharapkan mempunyai kinerja yang

mampu memberikan manfaat (insentif positif) bagi para pelakunya. Para pelaku

selanjutnya secara sukarela bersedia menginvestasikan kembali sebagian keuntungan

yang diperolehnya, untuk membangun dan mengelola hutan KIBARHUT secara

berkelanjutan. Dengan demikian, apakah kelembagaan KIBARHUT mempunyai

kinerja yang dapat memberikan insentif positif bagi para pelakunya sehingga

menjamin terwujudnya hubungan kemitraan yang berkelanjutan ?

Pembangunan hutan KIBARHUT tidak hanya mempunyai keterkaitan ke

belakang (backward linkages) berupa ketersediaan input produksi, tetapi juga mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkages) berupa pasar produknya. Pasar kayu KIBARHUT dan jaminan pasar yang diberikan oleh INPAK merupakan salah

satu daya tarik (arena aksi) kelembagaan KIBARHUT. Sehingga, bagaimanakah

struktur pasar dan saluran pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa ?

Pemahaman terhadap permasalahan penelitian dimaksud diharapkan dapat

mensintesa kelembagaan KIBARHUT yang mampu mendukung keberlangsungan dan

keberlanjutan pembangunan hutan KIBARHUT di Pulau Jawa.

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini mengkaji kelembagaan kemitraan yang mendukung

terwujudnya kelembagaan KIBARHUT secara berkelanjutan. Secara khusus, tujuan

penelitian yang ingin dicapai adalah:

1. Menganalisis karakteristik kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 2. Menganalisis kinerja kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 3. Menganalisis pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa

4. Menganalisis peluang keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa

D. Kegunaan Penelitian

Keluaran hasil penelitian ini diharapkan berguna dan dapat dimanfaatkan untuk:

(30)

2. kalangan akademisi dan peneliti dalam mengembangkan penelitian lanjutan dan menjadi bahan pembanding tentang pola kemitraan, berdasarkan konsep atau teori kontrak kemitraan dan adopsinya di lapangan.

3. membantu masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha dan pihak lain dalam mengembangkan dan melaksanakan serta memberikan pendampingan pelaksanaan kemitraan untuk membangun hutan.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Analisis diarahkan pada penilaian tentang kelembagaan yang mendukung

keberlanjutan hubungan kemitraan dalam rangka pembangunan hutan tanaman

sehingga menghasilkan keluaran yang berdampak dan memberikan manfaat (insentif

positif) bagi para pelakunya. Jalinan kerjasama ekonomi dan keterlibatan para pelaku

tersebut dilakukan berdasarkan asas kemitraan, sehingga kajian dalam penelitian ini

menggunakan konsep teori kemitraan (agency theory), khususnya tentang hubungan kelembagaan kemitraan antar para pelaku (agency relationship).

Cakupan penelitian adalah kegiatan kemitraan dalam rangka pembanguna hutan

yang dilakukan INPAK bersama rakyat (KIBARHUT) yaitu (i) petani pemilik lahan,

atau (ii) petani dan pemilik lahan (perorangan, perusahaan swasta, dan pemegang

izin/kuasa pengelolaan hutan/lahan negara), dengan atau tanpa keterlibatan pelaku lain

(mitra antara). Kegiatan kemitraan oleh institusi yang bukan INPAK adalah tidak termasuk cakupan penelitian ini.

F. Kebaruan (Novelty)

1. Kebaruan (fokus penelitian) dalam mengungkapkan jalinan hubungan

pertukaran ekonomi antara INPAK dan rakyat, beserta implikasinya terhadap

keberlanjutan usaha membangun hutan, serta secara tuntas (scholar) menganalisis dan mensintesis kelembagaan KIBARHUT dengan pendekatan

teori kemitraan (agency theory) khususnya hubungan kemitraan (agency relationship).

2. Kebaruan keilmuan terkini (advance) karena fokus penelitian, berdasarkan review hasil-hasil penelitian sebelumnya, menghasilkan fakta belum adanya

penelitian mengenai hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat dalam

(31)

   

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Tanaman

Hutan tanaman didefinisikan sebagai tegakan hutan yang dibangun melalui

kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau penghutanan kembali

(FAO, 2005; Farrelly, 2007; Schirmer, 2007). Evans (1992) mengartikan hutan

tanaman sebagai hutan yang dibangun dan dikelola melalui kegiatan permudaan

buatan atau penaburan/penanaman bibit pohon dengan sengaja (artificial forest atau

man-made forest), sehingga merupakan hutan dengan tegakan seumur/even-aged forest atau tidak seumur/uneven-aged forest (Daniel et al., 1987). Berbagai istilah yang disepadankan dengan hutan tanaman adalah forest plantations (FAO, 2005; Farrelly, 2007; Schirmer, 2007) atau man-made forest (Singh et al., 2004; Hiratsuka et al., 2005), dan kebun kayu (Maturana et al., 2005).

Hutan tanaman merupakan tegakan hutan dan pohon berkayu jenis tertentu yang

ditanam secara khusus untuk keperluan penyediaan kayu bakar dan bahan baku untuk

INPAK, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan

sebagainya. Hutan tanaman merupakan sebuah sumber daya yang tumbuh (a growing resources) yang tidak dapat dibiarkan tumbuh tanpa memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai dan pada saat yang tepat, dapat mengarahkan pertumbuhan tegakan agar

mendapatkan hasil akhir yang diinginkan, dalam kualitas maupun kuantitasnya.

Karenanya, pertimbangan pemilihan jenis pohon yang ditanam umumnya terbatas dan

memiliki karakteristik khas, seperti jenis cepat tumbuh (fast growing species atau FGS), persyaratan pengelolaan yang tidak rumit dan produktivitas tinggi.

Hutan tanaman telah dijadikan cara untuk menghasilkan kayu bundar sekaligus

mengurangi deforestasi. FAO (2005) menyatakan bahwa 34,1% pembangunan hutan

ditujukan untuk memasok bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu atau secara

komersial untuk keperluan industri, mencakup kayu untuk konstruksi, panel kayu dan

furniture, dan bahan baku serpih untuk industri pulp dan kertas. Pembangunan hutan di dunia sebagian besar atau sekitar 48,7% ditujukan untuk keperluan non industri

seperti kayu bakar, keperluan rumah tangga, dan jasa lingkungan. Sekitar 9,3%

(32)

untuk kepentingan dan fungsi lainnya yang belum tercatat. Pertambahan luas

pembangunan hutan di kawasan Asia secara rata-rata sekitar 1,85 juta ha per tahun,

atau 66,3% dari total pertambahan luas rata-rata pembangunan hutan di dunia yang

sebesar 2,79 juta ha per tahun. FAO (2005) juga mencatat total hutan tanaman di

dunia seluas 139,772 juta ha, dimana sekitar 46,43% (64,896 juta ha) diantaranya

berada di kawasan Asia. Data FAO (2005) menunjukkan bahwa luas pembangunan

HTI di Indonesia mencapai 2,4% dari total hutan tanaman di dunia, sehingga

merupakan negara ke-7 di dunia dan negara ke-3 di Asia (setelah China dan Jepang)

yang mempunyai kawasan hutan tanaman terluas.

Pengembangan hutan tanaman di Indonesia pada awalnya merupakan bagian

kegiatan penghijauan dan rehabilitasi. Kegiatan tersebut bertujuan memperbaiki

keadaan areal kritis di daerah-daerah sumber air, dengan menggunakan jenis cepat

tumbuh seperti Kaliandra (Calliandra spp.), Sengon (Paraserianthes falcataria),

Eucalyptus deglupta, E. urophylla, Akasia (Acacia spp), dan lainnya. Namun, seiring semakin menurunnya kemampuan hutan alam memasok kebutuhan bahan baku untuk

INPAK, maka pembangunan hutan tanaman semakin tumbuh dan berkembang,

khususnya guna memasok kebutuhan industri pulp (Kartodihardjo dan Supriono,

2000; Ngadiono, 2004; FAO, 2005; Darusman et al.,2006).

Pembangunan hutan tanaman pada lahan milik atau hutan hak (pada tanah yang

dibebani hak atas tanah) umumnya dilakukan masyarakat perorangan dan dikenal

sebagai hutan rakyat. Pembangunan hutan tanaman pada bukan lahan milik atau lahan

negara umumnya dilakukan pada kawasan hutan produksi, dengan 3 (tiga) skema (PP

No. 6/2007 jo No. 8/2008) yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI)3, Hutan Tanaman Rakyat (HTR)4, dan Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR)5. Skema pembangunan hutan tanaman lainnya adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm)6.

3

HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.

4HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk

meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

5HTHR adalah hutan tanaman yang dibangun melalui kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan pada

kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan guna mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan.

6Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya guna memberdayakan

(33)

Realisasi pembangunan HTI di luar Pulau Jawa sampai dengan Desember 2008

(data release Ditjen BPK untuk triwulan I tahun 2009) adalah sebagaimana data pada

Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 terdapat sebanyak 274 unit IUPHHK–HTI dengan total

luas konsesi hutan 11.096.993 ha dan realisasi tanaman seluas 4.310.748 ha atau

38,85% dari luas konsesinya. Namun demikian sepanjang tahun 2008, terdapat 45 unit

yang pencadangannya dibatalkan dengan luas konsesi 1.124.261 ha dan realisasi

tanaman 339.790 ha. Sehingga total realisasi tanaman diluar unit yang

[image:33.612.101.516.260.500.2]

pencadangannya dibatalkan adalah seluas 3.970.958 ha. 

Tabel 1 Pembangunan HTI s.d. Tahun 2008

Kelompok Usaha Luas Areal

Kerja (ha)

Jumlah (unit)

Realisasi kumulatif (ha)

s.d. 2007 s.d. 2008

BUMN

1.Tahap SK Definitif 298.307 6 155.814 155.814

2.Tahap SK Sementara 346.380 9 136.741 136.741

3.Tahap Pencadangan --- -- 8.134

---Jumlah 1 644.687 15 300.689 292.555

Patungan

1.Tahap SK Definitif 2.732.655 68 1.389.362 1.461.657

2.Tahap SK Sementara 180.100 19 81.403 81.403

3.Tahap Pencadangan --- -- 40.061

---Jumlah 2 2.912.755 87 1.510.826 1.543.060

Swasta Murni

1.Tahap SK Definitif 4.414.038 89 1.800.232 2.045.357

2.Tahap SK Sementara 34.880 3 23.914 11.956

3.Tahap Pencadangan 1.787.635 25 369.625 409.686

Jumlah 3 6.236.553 172 2.193.771 2.466.999

Jumlah 1+2+3 11.096.993 274 4.005.285 4.310.748

Jumlah 1+2+3-dicabut 9.972.732 229 3.665.495 3.970.958

Sumber : Ditjen BPK, 2009

Pembangunan HTR melalui IUPHHK-HTR adalah kebijakan yang

mengakomodir keterlibatan rakyat sebagai pelaku (stakeholder) pembangunan hutan. Salah satu pola pembangunan HTR adalah dengan pola kemitraan. Realisasi HTR pola

kemitraan sampai dengan tahun 2007 adalah seluas 113.014,18 ha dengan melibatkan

sebanyak 51.789 KK (Ditjen BPK, 2008). Kegiatan HTR pola kemitraan tersebut

dilakukan di dalam areal konsensi oleh 18 unit IUPHHK–HT di luar Pulau Jawa. Pada

tahun 2008, Menhut juga telah menerbitkan SK pencadangan areal pada 26 kabupaten

dengan total luas 149.284 ha, sedang dalam penyiapan peta pencadangan sebanyak 36

kabupaten (Ditjen BPK, 2009), dan telah terbit 1 unit IUPHHK–HTR seluas 8.794 ha

(34)

Pada sisi lain, Perum Perhutani juga mengelola kawasan hutan negara seluas 2,4

juta ha yang sebagian diantaranya dipergunakan untuk membangun hutan tanaman di

Pulau Jawa (www.perumperhutani.com). Pembangunan hutan yang dilakukan Perum

Perhutani tersebut, dan juga pengelolaan hutan tanaman lainnya yang dikelola rakyat

ataupun institusi (pemerintah dan non-pemerintah) dalam statistik Dephut tidak

dikategorikan sebagai HTI. Pelaksanaan pembangunan hutan di kawasan hutan negara

dilakukan Perum Perhutani dengan melibatkan rakyat, khususnya sebagai pesanggem.

Upaya membangun hutan dengan melibatkan rakyat melalui kontrak Perhutanan Sosial (PS) telah dirintis mulai tahun 1986 (Tatuh, 1992), dan selanjutnya mengadopsi

pola kemitraan yang disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sejak 2001. Melalui PHBM, keterlibatan rakyat dalam upaya membangun hutan di kawasan

hutan negara yang dikuasai Perum Perhutani di Pulau Jawa mendapatkan imbalan

berupa sharing produksi yang diatur melalui keputusan Direksi No. SK 001/Kpts/Dir/2002. Besarnya sharing produksi yang telah diberikan Perum Perhutani

sampai dengan tahun 2006 adalah sebesar Rp 30,862 milyar (Yuwono, 2008).

Setelah berjalan selama 6 tahun, Perum Perhutani melakukan penyempurnaan

sistem pembangunan hutan tersebut menjadi PHBM Plus7 (Direksi Perum Perhutani, 2007). Melalui PHBM Plus maka nilai dan proporsi berbagi ditetapkan sesuai nilai

dan proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan masing-masing pihak,

sebagaimana juga disarankan Yuwono (2008).

Hutan yang dibangun pada lahan milik oleh rakyat (yaitu petani dan/atau

pemilik lahan) pada awalnya ditujukan untuk menghasilkan kayu bundar yang

dikonsumsi sendiri (subsistence) seperti untuk kayu bakar dan kebutuhan bahan bangunan rumah tangga, atau dijual untuk pengolahan sederhana bagi kebutuhan

penduduk di sekitar lokasi hutan. Namun, sejalan dengan berkembang pesatnya

berbagai INPAK, maka pemanfaatan hasil panen dari hutan yang dibangun rakyat

tersebut telah digunakan secara komersial untuk memenuhi bahan baku bagi INPAK.

Jumlah realisasi luasan kegiatan pembangunan hutan (non-HTI) yang dilakukan

selama 5 tahun terakhir (2003 – 2007) adalah sebagaimana rincian pada Tabel 2.

7 Permasalahan yang mendorong dilakukan penyempurnaan diantaranya adalah (i) sinergitas dengan

(35)
[image:35.792.98.707.132.369.2]

   

Tabel 2 Pembangunan Hutan (non-HTI) di Indonesia selama 5 tahun terakhir (2003–2007)

No Wilayah

Rehabilitasi hutan (di dalam kawasan) Rehabilitasi lahan (di luar kawasan )

Hutan bakau (ha) Reboisasi (ha) Hutan

Kemasya-rakatan/HKm (ha)

Hutan rakyat (ha)

Aneka usaha kehutanan

(ha) (km)

1 Sumatera 201.308,20 1.453,00 218.306,00 845,00 468,00 17.773,00

2 Jawa 204.245,60 19.963,00 646.585,00 9.783,00 870,00 32.092,00

a.Jawa Barat 65.807,60 ---- 114.323,00 1.570,00 234,79 3.065,00

b.Banten 14.360,00 ---- 33.178,00 256,00 76,78 477,00

c.Jawa Tengah 57.144,00 16.357,00 244.474,00 1.760,00 233,33 20.041,00

d.DI Yogyakarta 8.329,00 3.431,00 15.203,00 2.655,00 60,00 250,00

e.Jawa Timur 58.005,00 175,00 238.757,00 2.485,00 265,20 7.009,00

f. DKI Jakarta 600,00 ---- 650,00 1.057,00 ---- 1.250,00

3 Kalimantan 96.542,00 740,00 12.118,00 2.577,00 126,00 5.990,00

4 Sulawesi 139.330,00 2.250,00 77.400,00 400,00 273,00 14.310,00

5 Bali + Nusatenggara 66.679,00 50,00 80.169,00 1.088,00 378,00 9.259,00

6 Maluku + Maluku Utara 26.347,00 ---- 38.550,00 2.100,00 ---- 1.341,00

7 Papua + Papua Barat 9.199,00 ---- 6.545,00 310,00 25,00 153,00

J u m l a h 743.650,80 24.456,00 1.188.673,00 17.103,00 2.140,00 80.918,00

Sumber : Dephut, 2008

Keterangan : 1. Semua data (angka) merupakan jumlah kumulatif kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan hutan (inside forest area) dan di luar kawasan (outside forest area) selama 5 tahun (2003 – 2007)

2. Reboisasi (reforestation activities) termasuk kegiatan kegiatan reboisasi dalam rangka GNRHL

3. Hutan rakyat (community-owned forest), yaitu (i) penanaman hutan rakyat/ kebun rakyat termasuk dalam rangka GNRHL, (ii) pembangunan agroforestry, (iii) areal model pengelolaan hutan rakyat

4. Aneka usaha kehutanan, yaitu (i) dalam satuan hektar (rehabilitasi teras, usaha pelestarian sumberdaya alam/UPSA, usaha pertanian menetap/UPM, hutan kota, dan (ii) dalam satuan km (turus jalan)

5. Hutan bakau (mangrove forest), yaitu (i) penanaman/rehabilitasi hutan bakau termasuk dalam rangka GNRHL, (ii) areal model hutan bakau

(36)

Berdasarkan Tabel 2, luasan pembangunan hutan dikategorikan sebagai kegiatan

non-HTI mempunyai potensi yang setara dibandingkan realisasi tanaman di dalam

pengelolaan HTI. Dephut (2008) mengklasifikasikan kegiatan pembangunan hutan

(non-HTI) atau rehabilitasi hutan dan lahan menjadi 3 (tiga) yaitu (i) rehabilitasi di

dalam kawasan meliputi kegiatan reboisasi dan hutan kemasyarakatan, (ii) rehabilitasi

di luar kawasan meliputi kegiatan hutan rakyat, kebun bibit desa, dan aneka usaha

kehutanan, dan (iii) penanaman hutan bakau. Kegiatan tersebut, mulai tahun 2003

telah disinergikan dalam satu program yang dikenal sebagai Gerakan Nasional

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Luasan penanaman dan pembangunan hutan

(di dalam kawasan hutan) periode tahun 2003–2008 mencapai 768.106,8 ha, dan

kegiatan rehabilitasi lahan (di luar kawasan hutan) mencapai 1.286.694 ha.

Di Pulau Jawa, pembangunan hutan umumnya dilakukan dalam bentuk hutan

rakyat di lahan milik, ataupun di lahan negara pada kawasan hutan konsesi Perum

Perhutani. Tabel 2 menunjukkan bahwa realisasi kegiatan penanaman/pembangunan

hutan di lahan milik atau dikenal sebagai hutan rakyat mencapai luasan 1.188.673 ha.

Data Dephut dan BPS (2004) memperlihatkan bahwa 3.427.491 rumah tangga

(yaitu 6,5% dari jumlah rumah tangga/RT) di seluruh Indonesia menguasai tanaman

kehutanan berbagai jenis, dengan 10 (sepuluh) jenis paling dominan adalah Akasia,

Bambu, Cendana, Jati, Mahoni, Pinus, Rotan, Sengon, Sonokeling dan Sungkai.

Jumlah RT yang digolongkan sebagai RT kehutanan di Pulau Jawa adalah 2.652.886

RT (yaitu 8% dari jumlah RT di Pulau Jawa) atau 77,4% dari total RT kehutanan

seluruh Indonesia.

Jenis tanaman yang dominan dikuasai dan diusahakan oleh RT Kehutanan di

Pulau Jawa adalah (i) Jati: jumlah pohon Jati yang diusahakan mencapai 32,67 juta

dan jumlah pohon siap tebang sebanyak 10,44 juta; (ii) Sengon: jumlah pohon Sengon

yang diusahakan mencapai 28,70 juta dan jumlah pohon siap tebang sebanyak 14,21

juta; dan (iii) Mahoni: jumlah pohon Mahoni yang diusahakan sekitar 24 juta dan

jumlah pohon siap tebang sejumlah 7,38 juta. Data lengkap populasi pohon dan pohon

siap tebang yang dikuasai dan/atau diusahakan RT Kehutanan di Pulau Jawa disajikan

pada Lampiran 1.

Masripatin dan Priyono (2006) mengungkapkan bahwa keberhasilan

(37)

antara lain: (i) pengetahuan mengenai kondisi biofisik lapangan; (ii) pengetahuan

mengenai jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lapangan dan tujuan usaha atau

trend pasar; (iii) ketersediaan benih/bibit bermutu tinggi (fisik, fisiologis, dan genetik) dalam jumlah cukup; (iv) penguasaan teknik silvikultur mulai pembibitan sampai

manajemen tegakan dari jenis terpilih; (v) keahlian dan kesungguhan pelaksana untuk

mengelola hutan.

Dengan demikian, dalam kegiatan membangun dan mengelola hutan selain

diperlukan kesesuaian jenis pohon, maka perlu dipertimbangkan aspek non teknis

menyangkut nilai ekonomis jenis yang dikelola, akses ke industri dan jenis yang

banyak diminati pasar, dan trend permintaannya di masa depan. Pembangunan hutan

seringkali terkendala aspek non teknis tersebut, sehingga suatu kerjasama usaha atau

kemitraan dengan pihak lain yang mampu memberikan manfaat positif merupakan

salah satu solusinya.

B. Teori Kemitraan dan Kontrak

Teori kemitraan (agency theory) dinyatakan sebagai teori yang digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan hirarkis, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk

menjelaskan berbagai bentuk pertukaran atau exchanges (Eggerstsson, 1990). Secara khusus, teori kemitraan diarahkan untuk menjelaskan suatu hubungan kemitraan

antara salah satu pihak (yaitu principal) yang mendelegasikan pekerjaan ke pihak lain (yaitu agents), dimana penjelasannya dilakukan dengan menganalisis kontrak yang mengatur hubungan kedua pihak tersebut (Jensen dan Meckling, 1986; Eisenhardt,

1989).

Hubungan kemitraan (agency relationship) adalah suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) menugaskan orang lain (agents) untuk melakukan sebagian kewenangan principal dan meliputi juga pendelegasian sebagian wewenang untuk mengambil keputusan (Jensen dan Meckling, 1986). Hubungan kemitraan

antara principal dan agents tersebut merupakan suatu pertukaran yang kompleks sehingga mempunyai berbagai potensi permasalahan.

Permasalahan hubungan kemitraan muncul dikarenakan : (i) principal dan

agents mempunyai perbedaan kepentingan, tujuan atau harapan; (ii) principal

(38)

principal bahwa agents bertindak sesuai kepentingan principal, dan permasalahan pembagian resiko karena kedua pihak mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang

berbeda terhadap resiko usaha. Karena unit analisisnya adalah kontrak maka teori

kemitraan berfokus pada efisiensi dan keberlanjutannya dengan mempertimbangkan

berbagai aspek diantaranya manusia, organisasi, dan informasi (Eisenhardt, 1989).

Faktor manusia sebagai pelaku kemitraan adalah penting karena agency relationship sangat bergantung dari sifat dasar manusia terhadap adanya resiko (Nugroho, 2003), dan ciri-ciri yang melekat pada masyarakat yang diharapkan terlibat

menjadi pelaku kemitraan (participants who had possibility to be the prospective actors). Ostrom (2005) mengungkapkan berbagai sifat peserta/pelaku kemitraan yang diperkirakan berpengaruh pada keberlangsungan kemitraan, yaitu: (i) norma perilaku

yang secara umum diterima masyarakat, (ii) tingkat pemahaman umum peserta untuk

memperoleh, memproses dan memanfaatkan dalam proses memilih dan menentukan

jenis aksi, (iii) adanya homogenitas preferensi dari semua yang ada di masyarakat (iv)

kepemilikan dan distribusi sumberdaya pada semua pelaku.

Karenanya, kesepakatan dan keberlangsungan suatu kontrak tergantung dari

situasi aksi dan lingkungan kelembagaannya. Jika pengguna sumberdaya berasal dari

berbagai komunitas berbeda dan tidak ada saling kepercayaan diantara mereka, maka

tugas untuk menjaga keberlanjutan kemitraan dan penegakan aturan menjadi

meningkat.

Nugroho (2003) menyatakan adanya satu kesepakatan kontrak yang disebut

sebagai bahu-membahu (interlocking). Pada sistem bahu membahu maka principal

menyediakan seluruh atau sebagian dana, termasuk juga manajemen pengelolaan dan

teknologi, sedangkan lahan dan tenaga kerja umumnya disediakan agents. Kondisi ini menyebabkan secara tidak langsung agents (merasa) mempunyai keterkaitan dengan

principal (tying of labour), sedangkan principal mendapat jaminan atas produksi komoditas yang dihasilkan agents (interlocked transaction). Kedua model tersebut (tying of labour dan interlocked transaction) biasanya dilakukan sebagai solusi terhadap kompleksitas hubungan dengan masyarakat yang masih berpola subsistence.

Pengaturan kontrak tertentu yang masuk akal dilakukan organisasi terhadap

suatu faktor produksi untuk mencapai tujuan yang sudah digariskan dan

(39)

pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya

transaksi dan pencarian informasi yang ekonomis dan efisien (Kasper dan Streit,

1998). Pertukaran ekonomi berkaitan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan

pandangan ekonomi kelembagaan selalu mempunyai 2 (dua) atribut, yaitu adanya

asymmetric information (ketidaksepadanan informasi) dan kemungkinan perilaku oportunis (opportunistic behavior) dari para pelaku (Barney dan Ouchi, 1986).

Asymmetric information terjadi jika satu atau lebih pihak mempunyai informasi yang lebih baik mengenai kualitas suatu produk atau jasa yang dipertukarkan

dibandingkan pihak lain, sehingga tidak terjadi proses komunikasi dan pertukaran

informasi yang seimbang antara para pelaku kemitraan. Asymmetric information

bukan berarti tidak dimilikinya informasi, tetapi terkadang informasi tersebut tidak

dapat diperoleh dan berbiaya tinggi sampai dengan pertukaran terjadi, atau terkadang

diperoleh namun sudah sangat terlambat10. Munculnya asymmetric information dan adanya kepentingan pribadi yang tidak selalu sama antara para pelaku kemitraan,

mempengaruhi tindakan yang dilakukan para pelaku (Gambar 1).

P

A

A

sy

m

metr

ic

In

fo

rmatio

n

Kontrak

Performa

Kepentingan pribadi Kepentingan

[image:39.612.177.447.387.561.2]

pribadi

Gambar 1. Ide dasar Agency Theory (sumber: Wikipedia)

 

Hal ini mengakibatkan pertukaran tersebut rawan terhadap resiko salah pilih

mitra (adverse selection) pada ex ante (sebelum kejadian) dan bahaya ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kejadian), dan bahkan dalam suatu kemitraan terdapat kemungkinan terjadinya double moral hazard (Maskin, 2001). Salah satu

10 Fenomena ini tergambarkan dengan jelas dalam Lemons Tragedy dari Akerloff (1986) dimana

pembeli tidak mempunyai informasi sempurna tentang kualitas produk yang dibelinya disebabkan tidak semua barang di pasar berkualitas baik karena bercampur dengan barang berkualitas buruk (lemons).

Gambar 1 Ide dasar agency theory

(40)

bentuk moral hazard adalah munculnya perilaku oportunis dari salah satu pihak yang melakukan pertukaran. Perilaku oportunis umumnya terjadi pada situasi ex post atau disebut sebagai oportunis pasca kontrak (post-contractual opportunistic behavior). Perilaku oportunis adalah kegiatan yang dilakukan oleh salah satu pihak, dengan

memanfaatkan informasi atau kelebihan lain yang dimiliki, untuk mengeksploitasi

ekonomi pihak lain demi keuntungannya. Kartodihardjo (2006b) dan Yustika (2006)

menyatakan bahwa perilaku oportunis adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan

melalui praktek yang tidak jujur dan tipu muslihat dalam kerjasama, yang seringkali

diikuti oleh sifat menipu, mencuri, dan melalaikan kewajiban.

Dalam suatu hubungan kemitraan, kedua pihak (principal dan agents) akan berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun

karena salah satu pihak (khususnya agents) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk

tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan

munculnya insentif (godaan) bagi satu atau lebih pelaku (khususnya agents) untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan

utilitasnya sendiri (Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005).

Permasalahannya adalah bahwa pada kenyataannya principal tidak pernah tahu dengan agents mana seharusnya hubungan kemitraan atau kontrak (kerjasama) dilakukan. Principal juga tidak dapat mencermati secara sempurna aksi dan perilaku yang dilakukan oleh agents, serta bagaimana isi kontrak seharusnya dibuat (Maskin, 2001). Solusinya adalah memformulasikan suatu mekanisme insentif berdasarkan

ketersediaan dan keseimbangan informasi, manfaat dan nilai-nilai yang dimiliki

principal dan agents.

Insentif merupakan instrumen atau perangsang dalam pertukaran ekonomi yang

berbentuk langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi keputusan dan

mengubah perilaku para pelaku ekonomi dengan menggunakan pertimbangan

finansial atau non-finansial11. Upaya menjamin agents melakukan tindakan optimal guna kepentingan principal adalah tidak mungkin tanpa biaya, sedangkan konflik

11 Pemahaman ini disarikan dari Webster’s Third New International Dictionary (1961), Kamus Umum

(41)

kepentingan antara principal dan agents selalu terjadi12. Jika tidak tercapai trade off

antara para pelaku KIBARHUT (dan ini menjadi perhatian agency theory) maka konflik terus berlanjut.

Konflik berkelanjutan, bersamaan dengan mekanisme pemberian jasa dan

pengawasan (yang dilakukan untuk mengurangi konflik) memerlukan biaya kemitraan

atau agency costs (Jensen dan Meckling, 1986). Agency costs diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan para pelaku kemitraan untuk mengawasi atau meyakinkan pelaku

lainnya dan mencakup biaya atas konflik kepentingan yang tidak terselesaikan antara

para pelaku. Agency costs selalu muncul dalam setiap kegiatan yang melibatkan upaya kerjasama oleh dua atau lebih orang walaupun hubungan tersebut tidak dinyatakan

sebagai suatu hubungan principal-agents.

Hubungan kemitraan (principal agents relationships) juga tidak terlepas dari hak kepemilikan individu yang harus di

Gambar

Tabel 1  Pembangunan HTI s.d. Tahun 2008
Tabel 2 Pembangunan Hutan (non-HTI) di Indonesia selama 5 tahun terakhir (2003–2007)
Gambar 1. Ide dasar Agency Theory (sumber: Wikipedia)Gambar 1  Ide dasar agency theory
Tabel 5  Perbedaan analisis finansial dan ekonomi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini di lakukan untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai ( Glycine Max ) terhadap pemberian alelopati lalang ( Imperata cylindrica )

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui kemampuan memori mahasiswa Prodi Pendidikan Sains pada materi tata nama senyawa kompleks; 2) mengidentifikasi pengaruh kemampuan

Makrozoobenthos yang ditemukan oleh kelompok 2 adalah anggang-anggang, Makrozoobenthos yang ditemukan oleh kelompok 2 adalah anggang-anggang, capung air, siput kolam.

Apabila dipandang perlu, pembahasan materi RUU tentang Perbankan Syariah dapat dilakukan melalui lobby secara ber jenjang sesuai dengan substansi, bobot, lingkup, dan

Pendidik menyampaikan langkah-langkah yang harus dilakukan peserta didik dalam mencari luas permukaan limas dan prisman. Peserta didik dalam mengerjakan soal harus

Menurut penjelasan ketentuan umum pasal 1 (6) Perma No. 1 Tahun 2014, bahwa Posbakum pengadilan adalah layanan yang dibentuk oleh dan ada pada setiap pengadilan

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh kesimpulan bahwa ubikayu varietas UJ 5/Kasetsart memiliki kandungan pati, rendemen, dan keuntungan

The phenomenon isn‟t happened to natural polymer modified concrete that has gradual increase of compressive strength (Figure 4).. increase „double‟ bonding