KELEMBAGAAN KEMITRAAN
INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT
DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUTAN DI PULAU JAWA
NANDANG PRIHADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan Di Pulau Jawa” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2010
Nandang Prihadi
ABSTRACT
NANDANG PRIHADI. 2010. Institutional Partnership between Wood-Processing Industries and Communities on Forest Development in Java Island. Under supervisions of DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, and NURHENI WIJAYANTO.
The research intended to analyze effectiveness of partnership between wood-processing industries and communities for supporting sustainable development of forest plantations management (KIBARHUT) in Java Island. The research conducted in 3 locations, namely Sukaraja, Bawang, and Krucil on April–October 2008. Up to 2008, 3 industries (INPAK) had been planted 14,537.12 ha of KIBARHUT in 4 provinces of Java Island. KIBARHUT was carried out with land owners (Type 1 and 2) and the proprietors of state property (Type 3), regulated using non-formal (Type 1) and formal contracts (Type 2 and 3). Agency relationship characterized by INPAK (principal) willingness to delegate forest development investment to agents for producing timber, which supported by market warranty and processing capacity of principal’s industry, using the timber harvested from KIBARHUT by agents and supplied to principal. Rights and obligations formally enforced based upon written clausuls on the contracts, as well as involvement of informal institutions (ellite figures of the village) helped to informally enforce the contracts.
KIBARHUT resulted financial and economic efficiency on allocating resources (input and output). KIBARHUT also had feasibility of financial and competitive and comparative advantages which simply indicated that log harvested was adequately enough to go to the world market for having export transactions. Efficieny on allocating output of KIBARHUT was supported by strategies carried out by wood-processing industries (INPAK), namely: (i) creating special organization responsible for marketing purposes (log supplier and cooveratives) which had a link directly to
agents; (ii) building business cooperations with sawmill surrounding the location of KIBARHUT; (iii) offering incentives (bonus or premium price per cubic of log) to encourage log supply to INPAK either goes directly to agents or through allied sawmill. The study concluded that sustainability of forest plantations development of KIBARHUT in Java Island should be implemented on the higher bundles of property rights and enforced using the formal contract which had the assurance of rule-in-use.
RINGKASAN
NANDANG PRIHADI. 2010. Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN selaku Ketua, BRAMASTO NUGROHO dan NURHENI WIJAYANTO sebagai anggota.
Hubungan kemitraan (agency relationship) merupakan suatu bentuk kelembagaan, dimana para pelaku bekerjasama mengkombinasikan faktor produksi
yang dimiliki dalam suatu proses produksi. Saling ketergantungan antara para pelaku
tersebut menjadi dasar pelaksanaan penelitian kelembagaan kemitraan INPAK
bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) di Pulau Jawa.
Penelitian ini bertujuan mengetahui kelembagaan KIBARHUT yang mempunyai
peluang untuk berlangsung secara berkelanjutan.
Kelembagaan KIBARHUT dicirikan kesediaan principal mendelegasikan kemampuan investasi membangun hutan ke agents, untuk memproduksi kayu sebagai komoditas yang ditransaksikan dengan didukung pengetahuan dan pemahaman agents
terhadap jaminan pasar dari principal. Sampai dengan tahun 2008, realisasi pembangunan hutan (tanaman) KIBARHUT yang dilakukan oleh ketiga INPAK
contoh di Pulau Jawa adalah 14.537,12 ha, yang tersebar di 20 kabupaten pada 4
provinsi di Pulau Jawa (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur).
KIBARHUT dilaksanakan di lahan milik (Tipe 1 dan 2) atau lahan negara (Tipe
3) dengan kontrak bersifat non-formal (Tipe 1) atau formal (Tipe 2 dan 3). Pada lahan
milik terdapat kepastian (jaminan) hak penggunaan lahan, sehingga terdapat kepastian
hak atas kayu hasil panen KIBARHUT yang lebih tinggi dibandingkan pada lahan
negara. Pada kontrak formal terdapat kepastian hukum (hak dan kewajiban, termasuk
aturan sanksi dan insentif) yang lebih tinggi dibandingkan pada kontrak non-formal.
Kelembagaan KIBARHUT dibedakan menjadi hubungan kemitraan 1 tingkat
dan 2 tingkat. Hubungan 1 tingkat adalah hubungan kemitraan secara langsung antara
principal dan agents, dan didapati sangat terbatas yaitu sekitar 4,4% pada pelaksanaan KIBARHUT di lahan milik (Tipe 1 dan Tipe 2). Hubungan 2 tingkat adalah hubungan
serta menjembatani hubungan agents dan principal.
Kelembagaan KIBARHUT mempunyai kemungkinan terjadinya moral hazard
(ingkar janji) dan perilaku oportunis pasca kontrak, yang teridentifikasi lebih tinggi
pada kontrak non-formal atau Tipe 1 (indikasi oportunis agents 76,7% dan principal
dengan skor 3) dibandingkan kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3 yaitu oportunis agents
berkisar 13,3 – 40% dan principal dengan skor 1). Perilaku oportunis dan sulitnya penegakan kontrak karena tidak adanya aturan mengatur sanksi yang berdampak tidak
adanya resiko hukuman terhadap perilaku oportunis.
Kajian fungsi produksi menunjukkan bahwa fungsi-fungsi produksi untuk setiap
pelaku KIBARHUT dapat diturunkan dua kali dan fungsi produksi yang terbangun
berbentuk cekung sempurna yaitu memenuhi syarat negatif terbatas ((i) elastisitas ( )
fungsi produksi bernilai 0 – 1 (0< <1 dan 0< <1 sehingga 0< <1), dan (ii) dapat
diturunkan dua kali ( , , dan . > 0). Dengan demikian, pelaku telah berperilaku efisien dalam mengalokasikan input produksi.
Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa terbukti layak secara finansial
berdasarkan analisis secara total dan sudut pandang masing-masing pelakunya.
Kinerja tersebut ditunjukkan dengan terpenuhinya kriteria keberterimaan kelayakan
finansial yaitu NPV positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang dipersyaratkan
(IRR > i%), dan B/C ratio > 1. KIBARHUT juga memiliki keunggulan kompetitif (PP positif dan PCR < 1 atau rata-rata 0,701) dan komparatif (SP positif dan DRC < 1 atau
rata-rata 0,572) untuk semua tipologi. Keunggulan usaha KIBARHUT tersebut dan
adanya disparitas harga domestik dibandingkan harga paritasnya di pintu pabrik,
menunjukkan bahwa kayu KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai peluang ekspor
karena mampu menghasilkan haga FOB yang kompetitif di pasar internasional.
Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki efisiensi dalam pemasaran
kayu (tanaman) hasil panennya. Efisiensi dalam pemasaran karena KIBARHUT telah
menjamin alokasi komoditas hasilnya secara mudah dan efisien serta dapat
memberikan jaminan pasar yang kompetitif. Jaminan pasar merupakan kewajiban
principal sebagai bentuk pemenuhan hak agents, yang diperlukan untuk mendukung keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT.
Sintesa hasil temuan–temuan tersebut adalah bahwa tingginya strata hak
kepemilikan (property rights) yang melekat pada pelaku ternyata belum memberikan jaminan penegakan kontrak dan keberlanjutan hubungan kemitraan, jika tidak
diimbangi kejelasan (tingginya kepastian) hukum atas kontrak termasuk adanya aturan
yang mengatur sanksi guna meminimalkan dorongan pelaku melanggar kepakatan
(kontrak), atau berperilaku oportunis yang dapat menganggu keberlanjutan hubungan.
Dengan demikian, hubungan kemitraan seharusnya diikat dan diwujudkan dalam suatu
kontrak yang memiliki jaminan kepastian hukum (kontrak formal) dan strata hak
kepemilikan yang tinggi. Selanjutnya, kepuasan terhadap bagi hasil (contract share) terwujud jika ada keseimbangan secara proporsional antara manfaat (hak) yang
diterima dengan biaya (kewajiban) yang dikeluarkan. Kepuasan terhadap bagi hasil
menjadi dasar kesediaan para pelaku untuk terus bekerjasama, sehingga terjadi
keberlanjutan atau interaksi berulang (repeated games) berdasarkan kepercayaan yang diperoleh dari pengalaman dan pertemanan yang sudah dan terus berlangsung.
Keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT juga diwujudkan dengan adanya: (i)
pendampingan dalam membina hubungan kerjasama dan memotivasi agents, menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi; (ii) peran aktif mitra antara di lapangan, dan adanya petugas lapangan (mitra antara dan principal) yang berada dan tinggal di sekitar lokasi sehingga dapat teratur dan terus menerus menjalin komunikasi
dengan agents; (iii) adanya fasilitas kredit tunda tebang yang merupakan insentif untuk agents; (iv) pemberian bonus/insentif untuk agents KIBARHUT berupa tambahan harga (premium price); (v) alokasi biaya guna pemantauan, pengamanan dan koordinasi (agency costs).
Kata kunci: hubungan kemitraan, industri pengolahan kayu, kelembagaan, pembangunan
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
KELEMBAGAAN KEMITRAAN
INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT
DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUTAN DI PULAU JAWA
NANDANG PRIHADI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Bedjo Santosa, M.Si
2. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, DEA
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi : Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa
Nama Mahasiswa : Nandang Prihadi
Nomor Pokok : E 061060141
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA (Ketua)
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS (Anggota)
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Anggota)
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya
kamu jangan melampui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu
KATA PENGANTAR
Sebagaimana laiknya perjalanan menuju Sukaraja di Tasikmalaya, Bawang di
Batang, dan Krucil di Probolinggo yang terjal, penuh kelokan, tanjakan dan turunan,
maka proses penelitian dan penulisan disertasi ini juga tidak hanya memerlukan
penguasaan ilmu tetapi juga kesabaran dan ketekunan. Dan, Alhamdulillah, puji
syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-NYA,
maka disertasi berjudul Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu
Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa telah dapat
penulis selesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) di Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dengan tersusunnya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku Ketua Komisi
Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan
penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis, hingga
selesainya penulisan disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga dihaturkan
kepada Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas
sumbangan tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan sejak dari awal tahap rencana
penelitian disusun, penyusunan proposal, tahap analisa data sehingga terselesaikannya
penulisan disertasi. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan arahan sehingga disertasi ini dapat tersusun dan
terselesaikan. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan juga kepada:
• Dr. Ir. Bedjo Santoso, MM dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, DEA dan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi;
• Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (Pusdiklat) Departemen Kehutanan yang telah memberikan beasiswa dan menyediakan biaya penelitian.
narasumber yang telah membantu pelaksanaan pengumpulan data, dan khususnya Pak Heryanto dan Pak Kardana yang mendampingi penulis selama di lapangan.
• Mas Bowo dan keluarga, petugas PT. SGS (Pak Suranto, Mas Ganis, P. Muhaimin, Sandi, Pak Mathori, Agus), Pak Sugiyarto dan seluruh aparat Kecamatan dan Desa di Kec. Bawang, serta para narasumber yang telah membantu pelaksanaan pengumpulan data. Terima kasih disampaikan juga untuk Ratri dan Mukti yang telah mendampingi penulis selama pengumpulan data di lapangan.
• Ir. Gunung, MM (ADM/KKPH Probolinggo) beserta staf KPH Probolinggo, petugas PT. KTI (Heru Jhudianto, Joko, Mustofa, Supriyadi, Dewi), seluruh aparat desa dan kecamatan di Krucil, Probolinggo, dan seluruh narasumber yang telah membantu kelancaraan penelitian. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan ke Pak Edi Purwanto, Subur, Supriyadi SH, Mustofa, Supriadi, dan Pak Priyanto (dan keluarga) yang telah mendampingi pelaksanaan kegiatan di lokasi.
• Ir. M. Asy’ari, M.Reg, Ir. Sigit Pramono, M.Sc., Dra. Nadjmatun Baroroh, M.Hum, dan rekan-rekan di Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kehutanan yang telah memberikan dorongan dan dukungan serta menjadi mitra diskusi.
• Terima kepada Mas Iwan dan Yekti yang membantu menyiapkan peta lokasi penelitian; kepada Ir. Tigor Butar-Butar, M.Sc. dan staf, dan Novia Widyaningtyas, S.Hut., M.Sc. dan staf selaku Sekretariat Dewan Redaksi yang telah membantu proses penerbitan karya tulis ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis.
• Rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya Program Studi IPK, BIO, DAS, PSL, PWD dan EPN yang telah menjadi mitra diskusi terbaik bagi penulis.
• Bapak dan Mamah di Bogor, teteh Dian sekeluarga di Ciamis, adik-adik tersayang (Teguh sekeluarga, Doni sekeluarga di Kuala Lumpur, Mugi dan Narissa) dan keluarga besar di Bogor disampaikan terima kasih atas dukungan dan doanya.
• Papah dan Mamah di Bekasi, Fandalina dan keluarga di Bekasi, Yanti dan Eni terima kasih atas dukungan dan doanya.
• Terima kasih untuk Nina, isteriku terkasih, dan Dea dan Aliya anak-anakku tercinta, yang selalu mendoakan, mendukung, menginspirasi, memberikan semangat dan menjadi bagian terpenting keberhasilan penulis. Terima kasih yang sangat khusus untuk Nina, isteriku tersayang, yang telah dengan setia menemani dan mendampingi penulis.
Disertasi ini dipersembahkan bagi yang yakin bahwa kepercayaan merupakan
modal penting menjalin hubungan kerjasama.
Bogor, April 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1969, sebagai anak kedua dari enam bersaudara keluarga Bapak
H. Tjetje Soeripto Wartaatmadja dan Ibu H. Waliyah Hidayat. Penulis menikah
dengan drg. Andrena, Sp.Perio (Nina) pada tahun 1997 dan telah dikaruniai dua putri
yang cantik shalehah, Adeela Edinamalia Putri (Teteh Dea) lahir di Bekasi, 17
Oktober 1999 dan Aliya Numasari Putri (Aliya) lahir di Bekasi, 22 Agustus 2002.
Pendidikan dasar diselesaikan penulis di Bogor, yaitu di SDN Panaragan 1
Bogor. Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 4 Bogor dan SMP
St Petrus Pontianak, dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bogor
pada tahun 1988. Penulis melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi, Universitas
Sriwijaya selama setahun, kemudian pindah studi dan memperoleh gelar S.Hut dari
Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada pada tahun
1994, dengan meraih penghargaan sebagai lulusan tercepat dan terbaik (predikat
Dengan Pujian). Pada tahun 1998 penulis memperoleh beasiswa dari International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Departemen Kehutanan guna melanjutkan studi S-2 pada program studi Resources Management, University of Edinburgh dan lulus dengan gelar M.Sc., pada tahun 1999. Selama studi di University of Edinburgh, penulis dianugerahi penghargaan (award) TROPAG PRIZE sebagai mahasiswa asing
(overseas student) terbaik. Pada tahun 2006, penulis mendapat beasiswa dengan biaya Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Departemen Kehutanan untuk
melanjutkan studi S-3 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengawali karir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Departemen
Kehutanan (Dephut) sejak tahun 1995 dan ditugaskan pada Kantor Wilayah Dephut di
Provinsi Jambi sampai dengan tahun 2000. Semenjak tahun 2000 sampai 2003,
penulis bertugas di Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Dephut. Selanjutnya,
bertugas sebagai Kepala Sub Bagian Kerjasama Regional pada Biro Kerjasama Luar
Negeri (KLN) dan Investasi, Sekretariat Jenderal (Setjen) Dephut (2003–2005),
Kepala Sub Bagian Kerjasama Bilateral Wilayah Asia, Afrika dan Australia pada Biro
program S-3 Departemen Kehutanan pada program studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana, IPB.
Selama mengikuti program Doktoral, karya ilmiah penulis berjudul Partnership between the wood processing industries and the people on forest plantations development in Java Island, Indonesia telah dipresentasikan pada International Seminar of Research on Plantation Forest Management: Challenges and Opportunities, Bogor, 5-6 November 2009. Empat karya tulis/artikel yang telah dipublikasikan, adalah (i) Filosofi kontrak kemitraan: kasus kemitraan pengelolaan
hutan tanaman dengan masyarakat di Indonesia. Info Pustanling 9(1): 8–12/Juni 2007;
(ii) Hutan rakyat: potensi bahan baku kayu bundar yang terabaikan. Warta KAGAMA
Kehutanan, edisi 2, November 2008; (iii) Pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan hutan tanaman industri. Warta KAGAMA Kehutanan, edisi 2, November
2008. Dua artikel/karya tulis ilmiah yang akan dipublikasikan adalah (i) Kemitraan
industri pengolahan kayu bersama rakyat untuk membangun hutan di Pulau Jawa pada
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Volume 7, Tahun 2010; (ii) Keunggulan kompetitif
dan komparatif kemitraan industri dan rakyat untuk membangun hutan di Pulau Jawa
pada Jurnal Analisis Kebijakan, Volume 6, Tahun 2010.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xxiii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Pernyataan Masalah Penelitian ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kegunaan Penelitian ... 5
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6
F. Kebaruan (Novelty) ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Hutan Tanaman ... 7
B. Teori Kemitraan dan Kontrak ... 13
C. Kelembagaan Kemitraan Dalam Pembangunan Hutan ... 19
D. Policy Analysis Matrix ... 26
E. Pemasaran Kayu KIBARHUT ... 35
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 41
A. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 41
B. Waktu Penelitian ... 45
C. Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Contoh ... 45
D. Sumber Data dan Metode Pengambilan Data ... 49
E. Metode Analisis ... 50
1. Analisis karakteristik dan pelaku KIBARHUT ... 50
2. Kinerja kelembagaan KIBARHUT ... 51
3. Analisis pasar kayu KIBARHUT ... 55
1. Kondisi dan ciri umum pembangunan hutan bersama rakyat ... 57
2. Aturan yang dipergunakan ... 71
3. Pelaku (actors) kelembagaan KIBARHUT ... 79
4. Deskripsi (situasi aksi) kelembagaan KIBARHUT ... 88
a. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 ... 88
b. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 ... 91
c. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 3 ... 96
5. Perilaku Oportunis ... 103
B. Kinerja Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa ... 111
1. Analisis fungsi produksi ... 111
2. Analisis finansial ... 113
3. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif ... 119
C. Pemasaran Kayu KIBARHUT di Pulau Jawa ... 125
1. Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 1 ... 127
2. Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 ... 131
3. Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 3 ... 140
D. Keberlanjutan Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa ... 141
1. Perbandingan karakteristik dan kinerja ketiga tipe KIBARHUT .. 141
2. Evaluasi keberlanjutan KIBARHUT ... 150
3. Kebijakan berkaitan kelembagaan KIBARHUT ... 154
4. Perumusan hubungan kontraktual KIBARHUT ... 157
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 173
A. Rangkuman (sintesa) temuan ... 173
B. Kesimpulan ... 177
C. Saran ... 179
D. Saran untuk Penelitian Lanjutan ... 179
DAFTAR PUSTAKA ... 181
LAMPIRAN – LAMPIRAN ... 191
DAFTAR TABEL
1 Pembangunan HTI s.d. Tahun 2008 ... 9
2 Pembangunan Hutan (non-HTI) di Indonesia selama 5 tahun terakhir ... 11
3 Kumpulan hak yang dimiliki berdasarkan status kepemilikan ... 21
4 Tabel PAM ... 27
5 Perbedaan Analisis Finansial dan Ekonomi ... 28
6 Lokasi pengumpulan data dan jumlah petani contoh ... 47
7 Karakteristik Struktur Pasar ... 55
8 Perkembangan luas hutan rakyat di kabupaten contoh ... 58
9 Status pemilikan lahan dimanfaatkan untuk pelaksanaan KIBARHUT ... 60
10 Jenis tanaman kehutanan dan pola pembangunan hutan di lokasi contoh ... 63
11 Jenis tanaman pangan/hortikultur yang menjadi tanaman tumpangsari dalam tahun-tahun awal pelaksanaan KIBARHUT ... 65
12 Indikasi aturan tertuang dalam surat perjanjian kerjasama ... 76
13 Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat oleh PT. BKL ... 81
14 Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat oleh PT. SGS ... 83
15 Data penanaman kemitraan PT. KTI ... 85
16 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 ... 88
17 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 ... 91
18 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 3 ... 97
19 Indikasi perilaku oportunis dalam pelaksanaan KIBARHUT ... 104
20 Pendugaan model fungsi produksi KIBARHUT di Pulau Jawa ... 112
21 Jenis tanaman keras pada lahan dengan pola tanam AF di lokasi contoh ... 114
22 Luas usaha (ut), pola tanam, dan jenis tanaman KIBARHUT di lokasi contoh 114 23 Analisis kelayakan finansial KIBARHUT ... 116
24 Analisis kelayakan finansial berdasarkan sudut pandang pelaku ... 117
25 Ringkasan PAM usaha KIBARHUT di Pulau Jawa ... 120
26 Jumlah agents sudah menebang dan bentuk penjualan kayu KIBARHUT ... 126
27 Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang ... 130
28 Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja ... 134
32 Indikasi perilaku oportunis ... 148
33 Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) kelembagaan KIBARHUT ... 149
34 Rasio PAM KIBARHUT dengan dan tanpa kredit tunda tebang ... 156
35 Aturan digunakan (rules-in-use) kelembagaan KIBARHUT ... 161
36 Usulan model alternatif susunan kontrak kelembagaan KIBARHUT ... 165
37 Jumlah pohon dan waktu panen tanaman KIBARHUT di lokasi contoh ... 201
38 Perkiraan volume kayu bundar (KB) dihasilkan sebatang pohon Sengon ... 202
39 Perhitungan harga ekspor KB jenis Sengon ... 230
DAFTAR GAMBAR
1 Ide dasar agency theory ... 15
2 Aliran biaya dan pendapatan (benefit and cost) ... 33
3 Saluran pemasaran kayu bundar ... 37
4 Kerangka Pemikiran analisis kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa ... 44
5 Tipologi KIBARHUT di lokasi penelitian ... 46
6 Lokasi penelitian ... 48
7 Jenis tanaman pokok pada pelaksanaan KIBARHUT di Pulau Jawa ... 62
8 Penanaman Sengon dengan jarak tanam rapat dan pencangkokan batang untuk dijual sebagai bibit Sengon di lokasi contoh ... 66
9 Pohon Sengon terkena jamur Karat Kuru (dikenal petani sebagai “gondok) dan pohon terkena Ulat Batang ... 68
10 Distribusi pohon KIBARHUT berdasarkan kelas diameter di lokasi contoh ... 70
11 Organisasian pelaksanaan KIBARHUT Tipe 1 Bawang ... 89
12 Organisasian pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja ... 92
13 Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Krucil ... 94
14 Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3 Krucil ... 101
15 Tegakan Balsa muda ditanam secara tumpangsari dengan Jagung ... 103
16 Tegakan Balsa (umur ± 4 tahun) siap untuk tebang penjarangan ... 103
17 Jumlah agents terindikasi berperilaku oportunis ... 105
18 Bentuk dan saluran pemasaran kayu hasil KIBARHUT ... 126
19 Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang ... 128
20 Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja ... 132
21 Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Krucil ... 136
22 Bagan alir model usulan prosedur perolehan kontrak KIBARHUT ... 160
DAFTAR LAMPIRAN
1 Populasi Pohon di Pulau Jawa ... 192
2 Asal pasokan bahan baku untuk kebutuhan industri perkayuan di Indonesia Tahun 2005 – 2007 ... 193
3 Rekapitulasi pelaksanaan KIBARHUT berdasarkan informasi petani contoh 194
4 Asumsi perhitungan hasil panen kayu KIBARHUT ... 201
5 Data industri penggergajian/sawmill di kecamatan contoh ... 203
6 Unsur-unsur kontrak pada hubungan kontraktual KIBARHUT di Pulau Jawa 204
7 Data pokok pendugaan fungsi produksi ... 207
8 Analisis regresi model fungsi produksi KIBARHUT di Pulau Jawa ... 210
9 Kurva Fungsi Produksi ... 222
10 Evaluasi perilaku pelaku KIBARHUT ... 223
11 Perhitungan harga paritas ... 229
12 Harga aktual (privat) dan dugaan harga sosial ... 231
13 Analisis aliran kas berdiskonto KIBARHUT ... 232
14 Laba bersih usaha (INPAK) dari hasil pengolahan kayu ... 238
15 Analisis finansial KIBARHUT berdasarkan masing-masing pelaku ... 239
16 Analisis sensitifitas ... 240
17 Analisis PAM KIBARHUT di Pulau Jawa ... 242
18 Rasio PAM KIBARHUT, ada kredit tunda tebang mulai tahun ke-4 ... 243
19 Analisis teoritis pangsa pasar dan pasokan ekspor kayu bundar ... 244
20 Aturan grading kayu oleh INPAK ... 248
21 Diferensiasi produk dan harga pada pemasaran kayu di lokasi contoh ... 251
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
BUMN Badan Usaha Milik Negara
BUMS Badan Usaha Milik Swasta
Dephut Departemen Kehutanan/Kementerian Kehutanan (mulai tahun 2010)
Ditjen BPK Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan
FGS Fast growing species atau tanaman jenis cepat tumbuh
HGU Hak Guna Usaha
HTI Hutan Tanaman Industri
HTR Hutan Tanaman Rakyat
INPAK Industri Pengolahan Kayu
IPHHK Industri Primer Hasil Hutan Kayu
IUIPHHK Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu
IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
IUPHHK – HT Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman
IUPHHK – HA Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam
hpt Hijauan pakan ternak
KB Kayu Bundar. Standar Nasional Indonesia (SNI) mendefinisikan kayu bundar, kayu gelondongan, balak, dolok atau log sebagai bagian batang dan atau cabang dari pohon, berbentuk bundar memanjang dengan ukuran dan sortimen tertentu. Berdasarkan besarnya diameter, kayu bundar (KB) digolongkan menjadi 3 (tiga) sortimen, yaitu kayu bundar besar/KBS, kayu bundar sedang/KBS, dan kayu bundar kecil/KBK (SNI 01-5010.4-2002 tentang Pendukung di bidang Kehutanan – Bagian 4: Tata nama hasil hutan)
KAMkti Koperasi Alas Mandiri kti
Kemitraan Dalam arti bermitra yaitu untuk membahasakan kerjasama yang dilakukan para pelaku, sedangkan pola kemitraan adalah untuk menyebutkan bentuk kemitraan yang dilaksanakan
KIBARHUT Kemitraan INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan
KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan, yaitu unit organisasi di Perum Perhutani yang dikepalai oleh ADM atau Kepala KPH
KUP Kelompok usaha penggergajian, yaitu sawmill (penggergajian kayu) yang terafiliasi dengan PT. BKL
Lodaya Lestari (BLL)
PT. KTI PT. Kutai Timber Indonesia
PT. SGS PT. Sumber Graha Sejahtera dan perusahaan terafiliasi, diantaranya yang terkait dalam penelitian adalah PT. Kharisma Megah Dharma (KMD), PT. Makmur Alam Lestari (MAL), PT. Nusantara Makmur Sentosa (NMS) atau “Mandira”, dan PT. Setya Alba (SA)
PAM Policy Analysis Matrix atau matriks analisis kebijakan
PP Peraturan Pemerintah
Pemilik lahan Individu atau kelompok yang memiliki/menguasai lahan dan dikerjasamakan dalam kelembagaan KIBARHUT. Pemilik lahan adalah (i) petani pemilik lahan jika mengerjakan tanah/lahan miliknya sendiri, dan (ii) non-petani jika tidak secara langsung mengerjalan lahannya tetapi dengan mengikutsertakan petani sebagai mitra dan/atau penggarap lahan.
Permen Peraturan Menteri
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini dan masa mendatang, peran dan fungsi hutan tanaman dalam
memasok kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu semakin meningkat
(Nawir dan Santoso, 2005; Raymond dan Woof, 2006). Pembangunan hutan dengan
permudaan buatan (umum dikenal sebagai hutan tanaman) diartikan sebagai tegakan
hutan yang ditanam secara khusus dengan pohon berkayu jenis tertentu untuk
keperluan penyediaan kayu bakar, dan bahan baku untuk industri pengolahan kayu,
atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan sebagainya. Jenis
yang ditanam umumnya memiliki karakteristik khas, seperti cepat tumbuh,
persyaratan pengelolaan tidak rumit dan produktivitas tinggi.
Food and Agriculture Organisation atau FAO (2005) melaporkan bahwa 34,1% pembangunan hutan ditujukan untuk memasok bahan baku kayu bagi industri
pengolahan kayu atau secara komersial untuk keperluan industri, mencakup kayu
untuk konstruksi, panel kayu dan furniture, dan bahan baku serpih untuk industri pulp
dan kertas. Pembangunan hutan di dunia juga ditujukan untuk keperluan non industri
seperti kayu bakar, keperluan rumah tangga, dan jasa lingkungan (48,7%), konservasi
tanah dan air (9,3%), dan fungsi lainnya yang belum tercatat (7,8%).
Pembangunan hutan dengan permudaan buatan di Indonesia umumnya
dilakukan pada kawasan hutan produksi oleh kelompok masyarakat yang diberikan
kewenangan oleh pemerintah. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu sehingga disebut
hutan tanaman industri atau HTI (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 (PP
No. 6/2007) jo PP No. 3/2008 khususnya Pasal 1). Berdasarkan data release Ditjen
BPK Triwulan I Tahun 2009 (website http://www.dephut.go.id) tercatat 229 unit HTI
sudah memperoleh Surat Keputusan (SK) definitif dengan luas konsesi 9.972.732 ha,
tetapi realisasi tanamannya hanya seluas 3.970.958 ha atau sekitar 39,82%
dibandingkan luas areal konsesinya.
Guna mengoptimalkan realisasi pembangunan hutan tanaman di Indonesia, sejak
pemerintah diantaranya adalah mengalokasikan kawasan hutan milik negara seluas 9
juta ha menjadi lahan hutan tanaman periode 2007–2010 (Pasaribu, 2006), dimana
40% atau 3,6 juta ha dibangun dengan pola Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman (IUPHHK–HT), dan 60% atau 5,4 juta ha dengan pola Hutan
Tanaman Rakyat (IUPHHK–HTR). Kebijakan pembangunan IUPHHK–HTR, yang
mengakomodir keterlibatan rakyat sebagai stakeholder pembangunan hutan, dituangkan dalam PP No.6/2007 jo PP No. 3/2008 dan ditindaklanjuti dengan
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.23/Menhut-II/2007 jo No.
P.05/Menhut-II/2008. Berdasarkan Permenhut tersebut, maka salah satu pola
pembangunan HTR adalah dengan pola kemitraan.
Kemitraan membangun hutan tanaman dilakukan IUPHHK–HT dengan
melibatkan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan (forest dependent communities). Kemitraan tersebut, seperti misalnya yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada, PT. Wirakarya Sakti, PT. Finnantara Intiga, PT. Xylo Indah Pratama,
PT. Arara Abadi, PT. Inti Indo Rayon, dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper, telah
banyak dikaji dan diungkap (Maturana et al., 2005; Nawir dan Santoso, 2005; Diyah, 2006; Yuwono, 2006; Prihadi dan Nugroho, 2007; Suwarno et al., 2009).
Di Pulau Jawa, pembangunan hutan tanaman di kawasan hutan negara seluas 2,4
juta ha dilakukan Perum Perhutani. Sedangkan pembangunan hutan non-HTI selama
kurun waktu 2003-2007 adalah rehabilitasi hutan (di dalam kawasan) seluas 224.208,6
ha dan rehabilitasi lahan (di luar kawasan) seluas 688.260 ha (Dephut, 2008).
Pembangunan hutan tanaman juga dilakukan pada lahan milik secara swadaya
maupun kemitraan dengan melibatkan berbagai pihak, diantaranya dengan industri
primer hasil hutan kayu (IPHHK)1 yaitu industri pengolahan kayu bundar2 (INPAK) atau industri pengolahan kayu bahan baku serpih (pulp and paper). Informasi INPAK yang melakukan kemitraan bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan
1 IPHHK adalah industri hulu hasil hutan kayu yaitu industri pengolahan kayu bundar dan/atau kayu
bundar kecil menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (Pasal 1), terdiri dari industri penggergajian kayu, industri serpih kayu (wood chip), industri veneer, industri kayu lapis/panel (plywood), dan
laminated veneer lumber/LVL (Pasal 2). Industri primer adalah juga termasuk industri primer yang
dibangun dengan industri kayu lanjutannya yang menggunakan bahan baku kayu bundar dan/atau kayu bundar kecil (PP. No 6/2007; Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008 jo P.9/Menhut-II/2009).
2 Standar Nasional Indonesia (SNI) mendefinisikan kayu bundar, kayu gelondongan, balak, dolok atau
(KIBARHUT) atau dikenal juga sebagai Hutan Rakyat pola kemitraan masih sangat
terbatas. Sampai tahun 2008, Direktorat BPPHH (Dephut) mengidentifikasi adanya 10
unit INPAK (dengan kapasitas produksi > 6.000 m³/tahun dan tersebar di 4 provinsi)
yang melakukan KIBARHUT di Pulau Jawa.
Kenyataannya, belum ada pola kemitraan yang dianggap optimal dalam
pembangunan hutan (Nawir dan Santoso, 2005; Suwarno et al., 2009), walau klaim pelaksanaan umumnya dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat
(Riyanto, 2005; Najiyati et al., 2005). Pendekatan kemitraan dalam upaya pemberdayaan dilakukan karena melibatkan penduduk lokal/masyarakat sekitar hutan
dan pihak terkait lainnya adalah pilihan terbaik dibandingkan kebijakan pembangunan
dengan menggunakan pendekatan otoriter (Suyanto et al., 2005; Sanginga et al., 2007). Bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling
menguntungkan, saling menghidupi, kesetaraan, partisipatif, adanya kepercayaan dan
kemauan berbagi, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha
dan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra (Korten,
1987; Eade, 1997; Sumardjo et al., 2004; Najiyati et al., 2005), sebagaimana juga termuat di Pasal 26 – 31 pada UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil.
Pemerintah telah menggariskan kebijakan yang tertuang dalam Pasal 99 PP No.
6/2007 jo No. 3/2008 bahwa pemberdayaan penduduk lokal atau setempat, dapat
dilakukan melalui kemitraan berdasarkan kesepakatan antara pemegang izin
pemanfaatan atau hak pengelolaan dengan penduduk, berdasarkan prinsip kesetaraan
dan saling menguntungkan. Nawir (2006) menyatakan perlunya kemitraan dengan
INPAK guna mendapatkan jaminan pasar bagi pengelola hutan atau pihak Hulu.
Kemitraan juga merupakan solusi tepat untuk kesinambungan bahan baku kayu
bundar bagi INPAK. Namun, sampai saat ini belum ada kebijakan nasional yang
komprehensif mengenai kemitraan pembangunan hutan antara rakyat dengan INPAK.
Kemitraan melibatkan dua atau lebih pihak yang bekerjasama dalam hal
penggunaan lahan, modal, pengelolaan hutan dan jaminan pasar dengan tujuan
memproduksi kayu bundar. Adanya hubungan kemitraan antara INPAK bersama
rakyat (pengelola hutan) memunculkan dugaan bahwa ada perubahan kinerja yang
dicapai dalam rangka pembangunan hutan sehingga keberlanjutan pelaksanaannya
pembangunan hutan berpengaruh terhadap upaya penyediaan pasokan bahan baku
sesuai dengan kebutuhan industri, meningkatkan pendapatan dan/atau keuntungan
rakyat selaku pengelola hutan yang terlibat, sekaligus keberlangsungan dan kelestarian
pasokan bahan baku bagi INPAK.
Penelitian ini mendiskusikan hal-hal tersebut dengan menggunakan teori
kemitraan (agency theory) khususnya hubungan kemitraan (agency relationship) antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan. Guna mencapai
tujuan penelitian tersebut, pengungkapan fakta dan data kelembagaan KIBARHUT
dilakukan dengan mengambil kasus penerapannya di Pulau Jawa.
B. Pernyataan Masalah Penelitian
Pengembangan usaha pembangunan hutan dengan permudaan buatan yang
dilakukan secara komersial guna memasok kebutuhan bahan baku bagi INPAK di
Pulau Jawa mempunyai potensi yang sangat besar (Hardjanto, 2003). Pada berbagai
tempat dan lokasi, INPAK melakukan pendekatan intensif kepada rakyat sebagai
petani pemilik lahan, secara perorangan ataupun kelompok, untuk bersedia bermitra
dalam upaya membangun hutan dan mengelolanya.
Kemitraan membangun hutan dengan pihak luar lingkungan sosial petani dapat
berlangsung sepanjang ada kesediaan rakyat dan/atau para pemilik lahan untuk
bermitra. Secara tidak langsung, kemitraan menyebabkan terjadinya perubahaan
budaya dan kelembagaan (Purnaningsih, 2006) sehingga memerlukan pertimbangan
rasional para pelakunya, khususnya petani. Pemikiran ini penting karena Mayers dan
Vermeuleun (2002) mengungkapkan tidak banyaknya fakta lapangan yang
memperlihatkan kemitraan antara perusahaan dengan rakyat dalam pembangunan
hutan, telah mampu mengatasi kemiskinan, meningkatkan kondisi kerja atau
meningkatkan daya tawar (bargaining position).
Mekanisme pengaturan melalui kelembagaan kemitraan merupakan penataan,
guna mendorong kesediaan pelaku bekerjasama dan berinvestasi membangun hutan.
Mekanisme tersebut dipengaruhi berbagai faktor yang secara langsung dan tidak
langsung mempengaruhi karakteristik dan pelaku KIBARHUT, sehingga
menghasilkan keluaran yang dapat dipergunakan mengevaluasi keberlanjutan (arena
(actors). Selanjutnya, pelaku yang terlibat bersedia menginvestasikan kembali sebagian manfaat yang diterimanya untuk membangun dan mengelola hutan secara
berkelanjutan. Dengan demikian, bagaimanakah karakteristik kelembagaan
KIBARHUT di Pulau Jawa ?
Kelembagaan KIBARHUT tersebut diharapkan mempunyai kinerja yang
mampu memberikan manfaat (insentif positif) bagi para pelakunya. Para pelaku
selanjutnya secara sukarela bersedia menginvestasikan kembali sebagian keuntungan
yang diperolehnya, untuk membangun dan mengelola hutan KIBARHUT secara
berkelanjutan. Dengan demikian, apakah kelembagaan KIBARHUT mempunyai
kinerja yang dapat memberikan insentif positif bagi para pelakunya sehingga
menjamin terwujudnya hubungan kemitraan yang berkelanjutan ?
Pembangunan hutan KIBARHUT tidak hanya mempunyai keterkaitan ke
belakang (backward linkages) berupa ketersediaan input produksi, tetapi juga mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkages) berupa pasar produknya. Pasar kayu KIBARHUT dan jaminan pasar yang diberikan oleh INPAK merupakan salah
satu daya tarik (arena aksi) kelembagaan KIBARHUT. Sehingga, bagaimanakah
struktur pasar dan saluran pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa ?
Pemahaman terhadap permasalahan penelitian dimaksud diharapkan dapat
mensintesa kelembagaan KIBARHUT yang mampu mendukung keberlangsungan dan
keberlanjutan pembangunan hutan KIBARHUT di Pulau Jawa.
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini mengkaji kelembagaan kemitraan yang mendukung
terwujudnya kelembagaan KIBARHUT secara berkelanjutan. Secara khusus, tujuan
penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Menganalisis karakteristik kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 2. Menganalisis kinerja kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 3. Menganalisis pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa
4. Menganalisis peluang keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa
D. Kegunaan Penelitian
Keluaran hasil penelitian ini diharapkan berguna dan dapat dimanfaatkan untuk:
2. kalangan akademisi dan peneliti dalam mengembangkan penelitian lanjutan dan menjadi bahan pembanding tentang pola kemitraan, berdasarkan konsep atau teori kontrak kemitraan dan adopsinya di lapangan.
3. membantu masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha dan pihak lain dalam mengembangkan dan melaksanakan serta memberikan pendampingan pelaksanaan kemitraan untuk membangun hutan.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Analisis diarahkan pada penilaian tentang kelembagaan yang mendukung
keberlanjutan hubungan kemitraan dalam rangka pembangunan hutan tanaman
sehingga menghasilkan keluaran yang berdampak dan memberikan manfaat (insentif
positif) bagi para pelakunya. Jalinan kerjasama ekonomi dan keterlibatan para pelaku
tersebut dilakukan berdasarkan asas kemitraan, sehingga kajian dalam penelitian ini
menggunakan konsep teori kemitraan (agency theory), khususnya tentang hubungan kelembagaan kemitraan antar para pelaku (agency relationship).
Cakupan penelitian adalah kegiatan kemitraan dalam rangka pembanguna hutan
yang dilakukan INPAK bersama rakyat (KIBARHUT) yaitu (i) petani pemilik lahan,
atau (ii) petani dan pemilik lahan (perorangan, perusahaan swasta, dan pemegang
izin/kuasa pengelolaan hutan/lahan negara), dengan atau tanpa keterlibatan pelaku lain
(mitra antara). Kegiatan kemitraan oleh institusi yang bukan INPAK adalah tidak termasuk cakupan penelitian ini.
F. Kebaruan (Novelty)
1. Kebaruan (fokus penelitian) dalam mengungkapkan jalinan hubungan
pertukaran ekonomi antara INPAK dan rakyat, beserta implikasinya terhadap
keberlanjutan usaha membangun hutan, serta secara tuntas (scholar) menganalisis dan mensintesis kelembagaan KIBARHUT dengan pendekatan
teori kemitraan (agency theory) khususnya hubungan kemitraan (agency relationship).
2. Kebaruan keilmuan terkini (advance) karena fokus penelitian, berdasarkan review hasil-hasil penelitian sebelumnya, menghasilkan fakta belum adanya
penelitian mengenai hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat dalam
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan Tanaman
Hutan tanaman didefinisikan sebagai tegakan hutan yang dibangun melalui
kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau penghutanan kembali
(FAO, 2005; Farrelly, 2007; Schirmer, 2007). Evans (1992) mengartikan hutan
tanaman sebagai hutan yang dibangun dan dikelola melalui kegiatan permudaan
buatan atau penaburan/penanaman bibit pohon dengan sengaja (artificial forest atau
man-made forest), sehingga merupakan hutan dengan tegakan seumur/even-aged forest atau tidak seumur/uneven-aged forest (Daniel et al., 1987). Berbagai istilah yang disepadankan dengan hutan tanaman adalah forest plantations (FAO, 2005; Farrelly, 2007; Schirmer, 2007) atau man-made forest (Singh et al., 2004; Hiratsuka et al., 2005), dan kebun kayu (Maturana et al., 2005).
Hutan tanaman merupakan tegakan hutan dan pohon berkayu jenis tertentu yang
ditanam secara khusus untuk keperluan penyediaan kayu bakar dan bahan baku untuk
INPAK, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan
sebagainya. Hutan tanaman merupakan sebuah sumber daya yang tumbuh (a growing resources) yang tidak dapat dibiarkan tumbuh tanpa memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai dan pada saat yang tepat, dapat mengarahkan pertumbuhan tegakan agar
mendapatkan hasil akhir yang diinginkan, dalam kualitas maupun kuantitasnya.
Karenanya, pertimbangan pemilihan jenis pohon yang ditanam umumnya terbatas dan
memiliki karakteristik khas, seperti jenis cepat tumbuh (fast growing species atau FGS), persyaratan pengelolaan yang tidak rumit dan produktivitas tinggi.
Hutan tanaman telah dijadikan cara untuk menghasilkan kayu bundar sekaligus
mengurangi deforestasi. FAO (2005) menyatakan bahwa 34,1% pembangunan hutan
ditujukan untuk memasok bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu atau secara
komersial untuk keperluan industri, mencakup kayu untuk konstruksi, panel kayu dan
furniture, dan bahan baku serpih untuk industri pulp dan kertas. Pembangunan hutan di dunia sebagian besar atau sekitar 48,7% ditujukan untuk keperluan non industri
seperti kayu bakar, keperluan rumah tangga, dan jasa lingkungan. Sekitar 9,3%
untuk kepentingan dan fungsi lainnya yang belum tercatat. Pertambahan luas
pembangunan hutan di kawasan Asia secara rata-rata sekitar 1,85 juta ha per tahun,
atau 66,3% dari total pertambahan luas rata-rata pembangunan hutan di dunia yang
sebesar 2,79 juta ha per tahun. FAO (2005) juga mencatat total hutan tanaman di
dunia seluas 139,772 juta ha, dimana sekitar 46,43% (64,896 juta ha) diantaranya
berada di kawasan Asia. Data FAO (2005) menunjukkan bahwa luas pembangunan
HTI di Indonesia mencapai 2,4% dari total hutan tanaman di dunia, sehingga
merupakan negara ke-7 di dunia dan negara ke-3 di Asia (setelah China dan Jepang)
yang mempunyai kawasan hutan tanaman terluas.
Pengembangan hutan tanaman di Indonesia pada awalnya merupakan bagian
kegiatan penghijauan dan rehabilitasi. Kegiatan tersebut bertujuan memperbaiki
keadaan areal kritis di daerah-daerah sumber air, dengan menggunakan jenis cepat
tumbuh seperti Kaliandra (Calliandra spp.), Sengon (Paraserianthes falcataria),
Eucalyptus deglupta, E. urophylla, Akasia (Acacia spp), dan lainnya. Namun, seiring semakin menurunnya kemampuan hutan alam memasok kebutuhan bahan baku untuk
INPAK, maka pembangunan hutan tanaman semakin tumbuh dan berkembang,
khususnya guna memasok kebutuhan industri pulp (Kartodihardjo dan Supriono,
2000; Ngadiono, 2004; FAO, 2005; Darusman et al.,2006).
Pembangunan hutan tanaman pada lahan milik atau hutan hak (pada tanah yang
dibebani hak atas tanah) umumnya dilakukan masyarakat perorangan dan dikenal
sebagai hutan rakyat. Pembangunan hutan tanaman pada bukan lahan milik atau lahan
negara umumnya dilakukan pada kawasan hutan produksi, dengan 3 (tiga) skema (PP
No. 6/2007 jo No. 8/2008) yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI)3, Hutan Tanaman Rakyat (HTR)4, dan Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR)5. Skema pembangunan hutan tanaman lainnya adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm)6.
3
HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.
4HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
5HTHR adalah hutan tanaman yang dibangun melalui kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan pada
kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan guna mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan.
6Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya guna memberdayakan
Realisasi pembangunan HTI di luar Pulau Jawa sampai dengan Desember 2008
(data release Ditjen BPK untuk triwulan I tahun 2009) adalah sebagaimana data pada
Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 terdapat sebanyak 274 unit IUPHHK–HTI dengan total
luas konsesi hutan 11.096.993 ha dan realisasi tanaman seluas 4.310.748 ha atau
38,85% dari luas konsesinya. Namun demikian sepanjang tahun 2008, terdapat 45 unit
yang pencadangannya dibatalkan dengan luas konsesi 1.124.261 ha dan realisasi
tanaman 339.790 ha. Sehingga total realisasi tanaman diluar unit yang
[image:33.612.101.516.260.500.2]pencadangannya dibatalkan adalah seluas 3.970.958 ha.
Tabel 1 Pembangunan HTI s.d. Tahun 2008
Kelompok Usaha Luas Areal
Kerja (ha)
Jumlah (unit)
Realisasi kumulatif (ha)
s.d. 2007 s.d. 2008
BUMN
1.Tahap SK Definitif 298.307 6 155.814 155.814
2.Tahap SK Sementara 346.380 9 136.741 136.741
3.Tahap Pencadangan --- -- 8.134
---Jumlah 1 644.687 15 300.689 292.555
Patungan
1.Tahap SK Definitif 2.732.655 68 1.389.362 1.461.657
2.Tahap SK Sementara 180.100 19 81.403 81.403
3.Tahap Pencadangan --- -- 40.061
---Jumlah 2 2.912.755 87 1.510.826 1.543.060
Swasta Murni
1.Tahap SK Definitif 4.414.038 89 1.800.232 2.045.357
2.Tahap SK Sementara 34.880 3 23.914 11.956
3.Tahap Pencadangan 1.787.635 25 369.625 409.686
Jumlah 3 6.236.553 172 2.193.771 2.466.999
Jumlah 1+2+3 11.096.993 274 4.005.285 4.310.748
Jumlah 1+2+3-dicabut 9.972.732 229 3.665.495 3.970.958
Sumber : Ditjen BPK, 2009
Pembangunan HTR melalui IUPHHK-HTR adalah kebijakan yang
mengakomodir keterlibatan rakyat sebagai pelaku (stakeholder) pembangunan hutan. Salah satu pola pembangunan HTR adalah dengan pola kemitraan. Realisasi HTR pola
kemitraan sampai dengan tahun 2007 adalah seluas 113.014,18 ha dengan melibatkan
sebanyak 51.789 KK (Ditjen BPK, 2008). Kegiatan HTR pola kemitraan tersebut
dilakukan di dalam areal konsensi oleh 18 unit IUPHHK–HT di luar Pulau Jawa. Pada
tahun 2008, Menhut juga telah menerbitkan SK pencadangan areal pada 26 kabupaten
dengan total luas 149.284 ha, sedang dalam penyiapan peta pencadangan sebanyak 36
kabupaten (Ditjen BPK, 2009), dan telah terbit 1 unit IUPHHK–HTR seluas 8.794 ha
Pada sisi lain, Perum Perhutani juga mengelola kawasan hutan negara seluas 2,4
juta ha yang sebagian diantaranya dipergunakan untuk membangun hutan tanaman di
Pulau Jawa (www.perumperhutani.com). Pembangunan hutan yang dilakukan Perum
Perhutani tersebut, dan juga pengelolaan hutan tanaman lainnya yang dikelola rakyat
ataupun institusi (pemerintah dan non-pemerintah) dalam statistik Dephut tidak
dikategorikan sebagai HTI. Pelaksanaan pembangunan hutan di kawasan hutan negara
dilakukan Perum Perhutani dengan melibatkan rakyat, khususnya sebagai pesanggem.
Upaya membangun hutan dengan melibatkan rakyat melalui kontrak Perhutanan Sosial (PS) telah dirintis mulai tahun 1986 (Tatuh, 1992), dan selanjutnya mengadopsi
pola kemitraan yang disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sejak 2001. Melalui PHBM, keterlibatan rakyat dalam upaya membangun hutan di kawasan
hutan negara yang dikuasai Perum Perhutani di Pulau Jawa mendapatkan imbalan
berupa sharing produksi yang diatur melalui keputusan Direksi No. SK 001/Kpts/Dir/2002. Besarnya sharing produksi yang telah diberikan Perum Perhutani
sampai dengan tahun 2006 adalah sebesar Rp 30,862 milyar (Yuwono, 2008).
Setelah berjalan selama 6 tahun, Perum Perhutani melakukan penyempurnaan
sistem pembangunan hutan tersebut menjadi PHBM Plus7 (Direksi Perum Perhutani, 2007). Melalui PHBM Plus maka nilai dan proporsi berbagi ditetapkan sesuai nilai
dan proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan masing-masing pihak,
sebagaimana juga disarankan Yuwono (2008).
Hutan yang dibangun pada lahan milik oleh rakyat (yaitu petani dan/atau
pemilik lahan) pada awalnya ditujukan untuk menghasilkan kayu bundar yang
dikonsumsi sendiri (subsistence) seperti untuk kayu bakar dan kebutuhan bahan bangunan rumah tangga, atau dijual untuk pengolahan sederhana bagi kebutuhan
penduduk di sekitar lokasi hutan. Namun, sejalan dengan berkembang pesatnya
berbagai INPAK, maka pemanfaatan hasil panen dari hutan yang dibangun rakyat
tersebut telah digunakan secara komersial untuk memenuhi bahan baku bagi INPAK.
Jumlah realisasi luasan kegiatan pembangunan hutan (non-HTI) yang dilakukan
selama 5 tahun terakhir (2003 – 2007) adalah sebagaimana rincian pada Tabel 2.
7 Permasalahan yang mendorong dilakukan penyempurnaan diantaranya adalah (i) sinergitas dengan
Tabel 2 Pembangunan Hutan (non-HTI) di Indonesia selama 5 tahun terakhir (2003–2007)
No Wilayah
Rehabilitasi hutan (di dalam kawasan) Rehabilitasi lahan (di luar kawasan )
Hutan bakau (ha) Reboisasi (ha) Hutan
Kemasya-rakatan/HKm (ha)
Hutan rakyat (ha)
Aneka usaha kehutanan
(ha) (km)
1 Sumatera 201.308,20 1.453,00 218.306,00 845,00 468,00 17.773,00
2 Jawa 204.245,60 19.963,00 646.585,00 9.783,00 870,00 32.092,00
a.Jawa Barat 65.807,60 ---- 114.323,00 1.570,00 234,79 3.065,00
b.Banten 14.360,00 ---- 33.178,00 256,00 76,78 477,00
c.Jawa Tengah 57.144,00 16.357,00 244.474,00 1.760,00 233,33 20.041,00
d.DI Yogyakarta 8.329,00 3.431,00 15.203,00 2.655,00 60,00 250,00
e.Jawa Timur 58.005,00 175,00 238.757,00 2.485,00 265,20 7.009,00
f. DKI Jakarta 600,00 ---- 650,00 1.057,00 ---- 1.250,00
3 Kalimantan 96.542,00 740,00 12.118,00 2.577,00 126,00 5.990,00
4 Sulawesi 139.330,00 2.250,00 77.400,00 400,00 273,00 14.310,00
5 Bali + Nusatenggara 66.679,00 50,00 80.169,00 1.088,00 378,00 9.259,00
6 Maluku + Maluku Utara 26.347,00 ---- 38.550,00 2.100,00 ---- 1.341,00
7 Papua + Papua Barat 9.199,00 ---- 6.545,00 310,00 25,00 153,00
J u m l a h 743.650,80 24.456,00 1.188.673,00 17.103,00 2.140,00 80.918,00
Sumber : Dephut, 2008
Keterangan : 1. Semua data (angka) merupakan jumlah kumulatif kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan hutan (inside forest area) dan di luar kawasan (outside forest area) selama 5 tahun (2003 – 2007)
2. Reboisasi (reforestation activities) termasuk kegiatan kegiatan reboisasi dalam rangka GNRHL
3. Hutan rakyat (community-owned forest), yaitu (i) penanaman hutan rakyat/ kebun rakyat termasuk dalam rangka GNRHL, (ii) pembangunan agroforestry, (iii) areal model pengelolaan hutan rakyat
4. Aneka usaha kehutanan, yaitu (i) dalam satuan hektar (rehabilitasi teras, usaha pelestarian sumberdaya alam/UPSA, usaha pertanian menetap/UPM, hutan kota, dan (ii) dalam satuan km (turus jalan)
5. Hutan bakau (mangrove forest), yaitu (i) penanaman/rehabilitasi hutan bakau termasuk dalam rangka GNRHL, (ii) areal model hutan bakau
Berdasarkan Tabel 2, luasan pembangunan hutan dikategorikan sebagai kegiatan
non-HTI mempunyai potensi yang setara dibandingkan realisasi tanaman di dalam
pengelolaan HTI. Dephut (2008) mengklasifikasikan kegiatan pembangunan hutan
(non-HTI) atau rehabilitasi hutan dan lahan menjadi 3 (tiga) yaitu (i) rehabilitasi di
dalam kawasan meliputi kegiatan reboisasi dan hutan kemasyarakatan, (ii) rehabilitasi
di luar kawasan meliputi kegiatan hutan rakyat, kebun bibit desa, dan aneka usaha
kehutanan, dan (iii) penanaman hutan bakau. Kegiatan tersebut, mulai tahun 2003
telah disinergikan dalam satu program yang dikenal sebagai Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Luasan penanaman dan pembangunan hutan
(di dalam kawasan hutan) periode tahun 2003–2008 mencapai 768.106,8 ha, dan
kegiatan rehabilitasi lahan (di luar kawasan hutan) mencapai 1.286.694 ha.
Di Pulau Jawa, pembangunan hutan umumnya dilakukan dalam bentuk hutan
rakyat di lahan milik, ataupun di lahan negara pada kawasan hutan konsesi Perum
Perhutani. Tabel 2 menunjukkan bahwa realisasi kegiatan penanaman/pembangunan
hutan di lahan milik atau dikenal sebagai hutan rakyat mencapai luasan 1.188.673 ha.
Data Dephut dan BPS (2004) memperlihatkan bahwa 3.427.491 rumah tangga
(yaitu 6,5% dari jumlah rumah tangga/RT) di seluruh Indonesia menguasai tanaman
kehutanan berbagai jenis, dengan 10 (sepuluh) jenis paling dominan adalah Akasia,
Bambu, Cendana, Jati, Mahoni, Pinus, Rotan, Sengon, Sonokeling dan Sungkai.
Jumlah RT yang digolongkan sebagai RT kehutanan di Pulau Jawa adalah 2.652.886
RT (yaitu 8% dari jumlah RT di Pulau Jawa) atau 77,4% dari total RT kehutanan
seluruh Indonesia.
Jenis tanaman yang dominan dikuasai dan diusahakan oleh RT Kehutanan di
Pulau Jawa adalah (i) Jati: jumlah pohon Jati yang diusahakan mencapai 32,67 juta
dan jumlah pohon siap tebang sebanyak 10,44 juta; (ii) Sengon: jumlah pohon Sengon
yang diusahakan mencapai 28,70 juta dan jumlah pohon siap tebang sebanyak 14,21
juta; dan (iii) Mahoni: jumlah pohon Mahoni yang diusahakan sekitar 24 juta dan
jumlah pohon siap tebang sejumlah 7,38 juta. Data lengkap populasi pohon dan pohon
siap tebang yang dikuasai dan/atau diusahakan RT Kehutanan di Pulau Jawa disajikan
pada Lampiran 1.
Masripatin dan Priyono (2006) mengungkapkan bahwa keberhasilan
antara lain: (i) pengetahuan mengenai kondisi biofisik lapangan; (ii) pengetahuan
mengenai jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lapangan dan tujuan usaha atau
trend pasar; (iii) ketersediaan benih/bibit bermutu tinggi (fisik, fisiologis, dan genetik) dalam jumlah cukup; (iv) penguasaan teknik silvikultur mulai pembibitan sampai
manajemen tegakan dari jenis terpilih; (v) keahlian dan kesungguhan pelaksana untuk
mengelola hutan.
Dengan demikian, dalam kegiatan membangun dan mengelola hutan selain
diperlukan kesesuaian jenis pohon, maka perlu dipertimbangkan aspek non teknis
menyangkut nilai ekonomis jenis yang dikelola, akses ke industri dan jenis yang
banyak diminati pasar, dan trend permintaannya di masa depan. Pembangunan hutan
seringkali terkendala aspek non teknis tersebut, sehingga suatu kerjasama usaha atau
kemitraan dengan pihak lain yang mampu memberikan manfaat positif merupakan
salah satu solusinya.
B. Teori Kemitraan dan Kontrak
Teori kemitraan (agency theory) dinyatakan sebagai teori yang digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan hirarkis, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk
menjelaskan berbagai bentuk pertukaran atau exchanges (Eggerstsson, 1990). Secara khusus, teori kemitraan diarahkan untuk menjelaskan suatu hubungan kemitraan
antara salah satu pihak (yaitu principal) yang mendelegasikan pekerjaan ke pihak lain (yaitu agents), dimana penjelasannya dilakukan dengan menganalisis kontrak yang mengatur hubungan kedua pihak tersebut (Jensen dan Meckling, 1986; Eisenhardt,
1989).
Hubungan kemitraan (agency relationship) adalah suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) menugaskan orang lain (agents) untuk melakukan sebagian kewenangan principal dan meliputi juga pendelegasian sebagian wewenang untuk mengambil keputusan (Jensen dan Meckling, 1986). Hubungan kemitraan
antara principal dan agents tersebut merupakan suatu pertukaran yang kompleks sehingga mempunyai berbagai potensi permasalahan.
Permasalahan hubungan kemitraan muncul dikarenakan : (i) principal dan
agents mempunyai perbedaan kepentingan, tujuan atau harapan; (ii) principal
principal bahwa agents bertindak sesuai kepentingan principal, dan permasalahan pembagian resiko karena kedua pihak mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang
berbeda terhadap resiko usaha. Karena unit analisisnya adalah kontrak maka teori
kemitraan berfokus pada efisiensi dan keberlanjutannya dengan mempertimbangkan
berbagai aspek diantaranya manusia, organisasi, dan informasi (Eisenhardt, 1989).
Faktor manusia sebagai pelaku kemitraan adalah penting karena agency relationship sangat bergantung dari sifat dasar manusia terhadap adanya resiko (Nugroho, 2003), dan ciri-ciri yang melekat pada masyarakat yang diharapkan terlibat
menjadi pelaku kemitraan (participants who had possibility to be the prospective actors). Ostrom (2005) mengungkapkan berbagai sifat peserta/pelaku kemitraan yang diperkirakan berpengaruh pada keberlangsungan kemitraan, yaitu: (i) norma perilaku
yang secara umum diterima masyarakat, (ii) tingkat pemahaman umum peserta untuk
memperoleh, memproses dan memanfaatkan dalam proses memilih dan menentukan
jenis aksi, (iii) adanya homogenitas preferensi dari semua yang ada di masyarakat (iv)
kepemilikan dan distribusi sumberdaya pada semua pelaku.
Karenanya, kesepakatan dan keberlangsungan suatu kontrak tergantung dari
situasi aksi dan lingkungan kelembagaannya. Jika pengguna sumberdaya berasal dari
berbagai komunitas berbeda dan tidak ada saling kepercayaan diantara mereka, maka
tugas untuk menjaga keberlanjutan kemitraan dan penegakan aturan menjadi
meningkat.
Nugroho (2003) menyatakan adanya satu kesepakatan kontrak yang disebut
sebagai bahu-membahu (interlocking). Pada sistem bahu membahu maka principal
menyediakan seluruh atau sebagian dana, termasuk juga manajemen pengelolaan dan
teknologi, sedangkan lahan dan tenaga kerja umumnya disediakan agents. Kondisi ini menyebabkan secara tidak langsung agents (merasa) mempunyai keterkaitan dengan
principal (tying of labour), sedangkan principal mendapat jaminan atas produksi komoditas yang dihasilkan agents (interlocked transaction). Kedua model tersebut (tying of labour dan interlocked transaction) biasanya dilakukan sebagai solusi terhadap kompleksitas hubungan dengan masyarakat yang masih berpola subsistence.
Pengaturan kontrak tertentu yang masuk akal dilakukan organisasi terhadap
suatu faktor produksi untuk mencapai tujuan yang sudah digariskan dan
pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya
transaksi dan pencarian informasi yang ekonomis dan efisien (Kasper dan Streit,
1998). Pertukaran ekonomi berkaitan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan
pandangan ekonomi kelembagaan selalu mempunyai 2 (dua) atribut, yaitu adanya
asymmetric information (ketidaksepadanan informasi) dan kemungkinan perilaku oportunis (opportunistic behavior) dari para pelaku (Barney dan Ouchi, 1986).
Asymmetric information terjadi jika satu atau lebih pihak mempunyai informasi yang lebih baik mengenai kualitas suatu produk atau jasa yang dipertukarkan
dibandingkan pihak lain, sehingga tidak terjadi proses komunikasi dan pertukaran
informasi yang seimbang antara para pelaku kemitraan. Asymmetric information
bukan berarti tidak dimilikinya informasi, tetapi terkadang informasi tersebut tidak
dapat diperoleh dan berbiaya tinggi sampai dengan pertukaran terjadi, atau terkadang
diperoleh namun sudah sangat terlambat10. Munculnya asymmetric information dan adanya kepentingan pribadi yang tidak selalu sama antara para pelaku kemitraan,
mempengaruhi tindakan yang dilakukan para pelaku (Gambar 1).
P
A
A
sy
m
metr
ic
In
fo
rmatio
n
Kontrak
Performa
Kepentingan pribadi Kepentingan
[image:39.612.177.447.387.561.2]pribadi
Gambar 1. Ide dasar Agency Theory (sumber: Wikipedia)
Hal ini mengakibatkan pertukaran tersebut rawan terhadap resiko salah pilih
mitra (adverse selection) pada ex ante (sebelum kejadian) dan bahaya ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kejadian), dan bahkan dalam suatu kemitraan terdapat kemungkinan terjadinya double moral hazard (Maskin, 2001). Salah satu
10 Fenomena ini tergambarkan dengan jelas dalam Lemons Tragedy dari Akerloff (1986) dimana
pembeli tidak mempunyai informasi sempurna tentang kualitas produk yang dibelinya disebabkan tidak semua barang di pasar berkualitas baik karena bercampur dengan barang berkualitas buruk (lemons).
Gambar 1 Ide dasar agency theory
bentuk moral hazard adalah munculnya perilaku oportunis dari salah satu pihak yang melakukan pertukaran. Perilaku oportunis umumnya terjadi pada situasi ex post atau disebut sebagai oportunis pasca kontrak (post-contractual opportunistic behavior). Perilaku oportunis adalah kegiatan yang dilakukan oleh salah satu pihak, dengan
memanfaatkan informasi atau kelebihan lain yang dimiliki, untuk mengeksploitasi
ekonomi pihak lain demi keuntungannya. Kartodihardjo (2006b) dan Yustika (2006)
menyatakan bahwa perilaku oportunis adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan
melalui praktek yang tidak jujur dan tipu muslihat dalam kerjasama, yang seringkali
diikuti oleh sifat menipu, mencuri, dan melalaikan kewajiban.
Dalam suatu hubungan kemitraan, kedua pihak (principal dan agents) akan berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun
karena salah satu pihak (khususnya agents) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk
tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan
munculnya insentif (godaan) bagi satu atau lebih pelaku (khususnya agents) untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan
utilitasnya sendiri (Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005).
Permasalahannya adalah bahwa pada kenyataannya principal tidak pernah tahu dengan agents mana seharusnya hubungan kemitraan atau kontrak (kerjasama) dilakukan. Principal juga tidak dapat mencermati secara sempurna aksi dan perilaku yang dilakukan oleh agents, serta bagaimana isi kontrak seharusnya dibuat (Maskin, 2001). Solusinya adalah memformulasikan suatu mekanisme insentif berdasarkan
ketersediaan dan keseimbangan informasi, manfaat dan nilai-nilai yang dimiliki
principal dan agents.
Insentif merupakan instrumen atau perangsang dalam pertukaran ekonomi yang
berbentuk langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi keputusan dan
mengubah perilaku para pelaku ekonomi dengan menggunakan pertimbangan
finansial atau non-finansial11. Upaya menjamin agents melakukan tindakan optimal guna kepentingan principal adalah tidak mungkin tanpa biaya, sedangkan konflik
11 Pemahaman ini disarikan dari Webster’s Third New International Dictionary (1961), Kamus Umum
kepentingan antara principal dan agents selalu terjadi12. Jika tidak tercapai trade off
antara para pelaku KIBARHUT (dan ini menjadi perhatian agency theory) maka konflik terus berlanjut.
Konflik berkelanjutan, bersamaan dengan mekanisme pemberian jasa dan
pengawasan (yang dilakukan untuk mengurangi konflik) memerlukan biaya kemitraan
atau agency costs (Jensen dan Meckling, 1986). Agency costs diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan para pelaku kemitraan untuk mengawasi atau meyakinkan pelaku
lainnya dan mencakup biaya atas konflik kepentingan yang tidak terselesaikan antara
para pelaku. Agency costs selalu muncul dalam setiap kegiatan yang melibatkan upaya kerjasama oleh dua atau lebih orang walaupun hubungan tersebut tidak dinyatakan
sebagai suatu hubungan principal-agents.
Hubungan kemitraan (principal agents relationships) juga tidak terlepas dari hak kepemilikan individu yang harus di