• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Faktor Koordinasi dan Motivasi Kerja Petugas Penanggulangan Bencana terhadap Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Faktor Koordinasi dan Motivasi Kerja Petugas Penanggulangan Bencana terhadap Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN FAKTOR KOORDINASI DAN MOTIVASI KERJA PETUGAS PENANGGULANGAN BENCANA TERHADAP KESIAPSIAGAAN

BENCANA TANAH LONGSOR DI KECAMATAN LINGE KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2011

TESIS

OLEH

DHENI WIRAGUNA 117032112/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

HUBUNGAN FAKTOR KOORDINASI DAN MOTIVASI KERJA PETUGAS PENANGGULANGAN BENCANA TERHADAP KESIAPSIAGAAN

BENCANA TANAH LONGSOR DI KECAMATAN LINGE KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2011

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

OLEH

DHENI WIRAGUNA 117032112/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)
(4)

Telah diuji

pada Tanggal : 29 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, S.E, M.Si Anggota : 1. Abdul Muthalib Lubis, S.H, M.A.P

(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN FAKTOR KOORDINASI DAN MOTIVASI KERJA PETUGAS PENANGGULANGAN BENCANA TERHADAP KESIAPSIAGAAN

BENCANA TANAH LONGSOR DI KECAMATAN LINGE KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2011

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013

(6)

ABSTRAK

Kesiapsiagaan sumber daya manusia khususnya petugas penanggulangan bencana dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana tanah longsor merupakan gambaran efektivitas pada saat tahap bencana.

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran dan hubungan beberapa (faktor koordinasi yaitu kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja, dan disiplin serta motivasi ( kepuasan kerja, tanggung jawab, lingkungan kerja dan kesempatan maju)) dengan kesiapsiagaan sumber daya manusia penanggulangan bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011. Sejumlah 85 responden yang bekerja pada unit instansi terkait penanggulangan bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah merupakan sampel dalam penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain penelitian

explanatory research dan merupakan analisis data primer hasil wawancara dengan pengisian kuesioner. Analisis data dilakukan bertahap, dari analisa univariat, bivariat dan multivariat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesatuan tindakan, pembagian kerja, disiplin, motif kepuasan kerja, motif tanggung jawab, motif lingkungan kerja, dan motif kesempatan maju yang memiliki hubungan yang signifikan terhadap kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah, dengan kesatuan tindakan sebagai variabel dominannya.

Agar adanya kesatuan tindakan, perlu ditingkatkan sosialisasi tugas dan kewajiban petugas penanggulangan bencana yang terkait multisektor khususnya mengenai penguasaan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Selain itu diperlukan juga peningkatan pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana bagi petugas penanggulangan bencana yang terkait untuk meningkatkan motivasi, khususnya motivasi untuk meningkatkan kepuasan kerja sehingga mampu meningkatkan motivasi kerja petugas dalam penanggulangan bencana yang terpadu dan terkoordinasi sehingga kesiapsiagaan terpenuhi dalam melaksanakan pekerjaan.

(7)

ABSTRACT

The preparedness of human resources especially the disaster mitigation officers in the attempt to prevent health problem caused by land slide is a description of the effectiveness during the disaster phase.

The purpose of this quantitative explanatory study was to find out the description and relationship between several coordinating factors (unity of action, communication, job description, and discipline) as well as motivation (work satisfaction, responsibility, work environment, and development opportunity) and the preparedness of human resources in the prevention of landslide disaster in Linge Subdistrict, Aceh Tengah District in 2011. The samples for this study were 85 persons working for landslide disaster mitigation-related agency unit in Linge Subdistrict, Aceh Tengah District. The data for this study were the primary data obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were gradually analyzed through univariate, bivariate, and multivariate analysis.

The result of this study showed that unity of action, job description, discipline work satisfaction, responsibility, work environment, and development opportunity had a significant relationship with the preparedness of the landslide disaster mitigation officers in Linge Subdistrict, Aceh Tengah District with unity of action as the most dominant variable.

If the unity of action is to be exist, the multisector-related socialization of the task and the liability of the disaster mitigation officers especially related to the mastery of Law No.24/2007 on Disaster Mitigation need to be improved. In addition, it is also necessary to improve the motivation enhancement-related education and trainings for the disaster mitigation officers especially the motivation to improve work satisfaction that their work motivation in the integrated and coordinated disaster mitigation can be improved and their preparedness in doing their job is met.

(8)

KATA PENGANTAR

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Peneliti mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT pada akhirnya tesis yang berjudul “Hubungan Faktor Koordinasi dan Motivasi Kerja Petugas Penanggulangan Bencana terhadap Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011” dapat diselesaikan. Dalam penyusunan tesis ini, peneliti mendapat berbagai masukan, saran, pendapat, kritik, bantuan, dorongan, bimbingan, dari berbagai pihak dan keluarga.

Peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat.

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat 3. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku ketua program studi S-2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku sekretaris program studi S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat.

(9)

materi tesis dan mengarahkan kearah pola pikir dalam berproses sebagai peneliti yang baik dan benar.

6. Abdul Muthalib, S.H, M.A.P, selaku anggota pembimbing, dan selaku guru sekaligus penguji yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan materi tesis dari aspek filosofi kebijakan publik yang baik dan benar.

7. Dr. Dra. Sitti Raha Agoes Salim, M.Sc, selaku pembanding, dan selaku guru sekaligus penguji yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan filosofi materi tesis.

8. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes, selaku pembanding, dan selaku guru sekaligus penguji yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan filosofi materi tesis, metode penelitian kuantitatif yang baik dan benar.

9. Dr. Drs. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku pendamping tidak formal, yang dengan penuh kesabaran memberikan masukan, kritik, saran dan pendapat demi penyempurnaan tesis.

(10)

11.Syahrial Afri, S.H, M.M, M.H, selaku kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Tengah yang telah secara tulus ikhlas memberikan kesempatan meneliti dilingkungan kerjanya dan membangun kerjasama pada instansi terkait dalam rangka penanggulangan bencana alam khususnya tanah longsor.

12.Drs. Mizanuddin, selaku kepala bidang rehabilitasi pelayanan bantuan sosial pada dinas sosial Kabupaten Aceh Tengah yang telah secara tulus membantu dan mendampingi secara tulus dan ikhlas memberikan kesempatan meneliti dilingkungan kerjanya dan membangun kerjasama pada instansi terkait dalam rangka penanggulangan bencana alam khususnya tanah longsor.

13. Ir. Syukri, M.M, selaku sekretaris dinas pekerjaan umum Kabupaten Aceh Tengah yang telah secara tulus ikhlas memberikan kesempatan meneliti dilingkungan kerjanya dan membangun kerjasama pada instansi terkait dalam rangka penanggulangan bencana alam khususnya tanah longsor.

14.Ibunda, Ayahanda, Abang, kakak dan adik-adik yang telah memberikan dukungan moril, doa dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.

(11)

besar peranannya dalam suka dan duka, yang selalu memberikan dukungan dorongan moril dan doa.

16.Rekan-rekan mahasiswa Prodi Manajemen Kesehatan Bencana, yang selalu memberikan masukan demi penyempurnaan naskah tesis ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dalam penelitian dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu mohon saran masukan demi perbaikan tesis ini.

Medan, September 2013 Peneliti,

(12)

RIWAYAT HIDUP

Dheni Wiraguna, lahir di Takengon, 03 Desember 1980, beragama islam, bertempat tinggal di Perum Puskesmas Isaq Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah. Dikarunia seorang isteri Suriyati, SKM, dengan 3 (Tiga) orang anak, Muhammad Farid S.G, Daiurahman Habibi S.G, dan Fhadilah Baahirah S.G

Penulis memulai pendidikan di SDN 9 Takengon (1992), SLTP N 2 Takengon (1995), SLTA YPTP II Banda Aceh (1998), Sarjana (S1) Kesehatan Masyarakat, UNMUHA Banda Aceh (2005). Penulis melanjutkan pendidikan pasca sarjana pada Tahun 2011di fakultas kesehatan masyarakat universitas sumatera utara.

Penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil (2006), dan menjadi Kepala

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB.1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Hipotesis ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

BAB.2 TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1 Tanah Longsor ... 14

2.1.1 Pengertian Tanah Longsor ... 14

2.1.2 Penyebab, Gejala dan Wilayah Rawan Terjadi Tanah Longsor ... 14

2.1.3 Dampak ... 15

2.2 Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor ... 16

2.3 Pengurangan Resiko Bencana Tanah Longsor ... 17

2.4 Kesiapsiagaan ... 20

2.4.1 Tindakan Kesiapsiagaan ... 20

2.4.2 Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Bencana Tanah Longsor ... 25

2.4.3 Kesiapsiagaan Pemerintah Setempat dalam Upaya Penanggulangan Bencana Tanah Longsor ... 28

2.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor ... 39

2.5.1 Koordinasi ... 39

(14)

2.5.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Koordinasi ... 42

2.5.2 Motivasi ... 47

2.5.2.1 Pengertian Motivasi ... 47

2.5.2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Motivasi ... 49

2.5.2.4 Tujuan Pemberian Motivasi ... 54

2.6 Landasan Teori ... 55

2.7 Kerangka Konsep ... 57

BAB.3 METODE PENELITIAN ... 58

3.1 Jenis Penelitian ... 58

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 58

3.3 Populasi dan Sampel ... 58

3.3.1 Populasi ... 58

3.3.2 Sampel ... 59

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 59

3.4.1 Data Primer ... 59

3.4.2 Data Sekunder ... 58

3.4.3 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 60

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 61

3.5.1 Variabel Independen ... 61

3.5.2 Variabel Dependen ... 62

3.6 Metode Pengukuran ... 62

3.7 Metode Analisis Data ... 66

3.7.1 Uji Asumsi Klasik ... 66

3.7.2 Analisis Data ... 70

BAB.4 HASIL PENELITIAN ... 72

4.1 Kondisi Geografis ... 72

4.2 Karakteristik Responden ... 73

4.3 Analisis Univariat ... 75

4.3.1 Distribusi Frekuensi Koordinasi ... 75

4.3.2 Distribusi Frekuensi Motivasi ... 88

4.3.3 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan ... 101

4.4 Analisis Bivariat ... 113

4.5 Analisis Multivariat ... 114

4.5.1 Uji Asumsi Klasik ... 114

(15)

BAB.5 PEMBAHASAN ... 123

5.1 Koordinasi ... 123

5.2 Motivasi Petugas Petugas Penanggulangan Bencana ... 124

5.3 Kesiapsiagaan Petugas Penanggulangan Bencana ... 125

5.4 Hubungan Koordinasi dan Motivasi Petugas Penanggulangan Bencana ... 126

5.4.1 Hubungan Kesatuan Tindakan terhadap Kesiapsiagaan Petugas ... 126

5.4.2 Hubungan Komunikasi terhadap Kesiapsiagaan Petugas ... 127

5.4.3 Hubungan Pembagian Kerja terhadap Kesiapsiagaan Petugas ... 128

5.4.4 Hubungan Disiplin terhadap Kesiapsiagaan Petugas ... 129

5.4.5 Hubungan Kepuasan Kerja terhadap Kesiapsiagaan Petugas ... 130

5.4.6 Hubungan Tanggung Jawab terhadap Kesiapsiagaan Petugas ... 131

5.4.7 Hubungan Lingkungan Kerja terhadap Kesiapsiagaan Petugas ... 132

5.4.8 Hubungan Kesempatan Maju terhadap Kesiapsiagaan Petugas ... 134

5.5 Keterbatasan Penelitian ... 135

BAB.6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 136

6.1. Kesimpulan ... 136

6.2 Saran ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 139

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Hal

3.1 Jumlah Petugas Penanggulangan Bencana Yang Terkait ... 59

3.2 Metode Pengukuran Variabel Independent dan Dependent ... 64

4.1 Desa, Luas Wilayah, Dusun dan Jumlah Penduduk di Kecamatan

Linge Kabupaten Aceh Tengah ... 72 4.2 Karakteristik Petugas Penanggulangan Bencana ... 73

4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kesatuan Tindakan Per ItemPetugas Penanggulangan Bencana di Kecamatan Ling

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 77 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kesatuan Tindakan

Petugas Penanggulangan Bencana di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 78 4.5 Distribusi Frekuensi Komunikasi Per Item Petugas Penanggulangan

Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah .... 80 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Komunikasi Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 81 4.7 Distribusi Frekuensi Pembagian Kerja Per Item Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 83 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Pembagian

Kerja Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

(17)

4.9 Distribusi Frekuensi Disiplin Per Item Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh TengaTahun 2011 ... 86

4.10 Disribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Disiplin Petugas Penanggulangan bencana Tanah Longsor di Kecamatan

Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 87 4.11 Distribusi Frekuensi Kategori Koordinasi Petugas Penanggulangan

Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 87 4.12 Distribusi Frekuensi Motif Kepuasan Kerja Per Item Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 90 4.13 Distribusi Frekuensi Kategori Kepuasan Kerja Petugas Penanggulangan

Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 91 4.14 Distribusi Frekuensi Motif Tanggung Jawab Per Item Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 93 4.15 Distribusi Frekuensi Motif Tanggung jawab Petugas Penanggulangan

Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 91 4.16 Distribusi Frekuensi Motif Lingkungan Kerja Per Item Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 96 4.17 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Motif Lingkungan Kerja

Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 97 4.18 Distribusi Frekuensi Motif Kesempatan Maju Per Item Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

(18)

4.19 Distribusi Frekuensi Motif Kesempatan Maju Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 100 4.20 Distribusi Frekuensi Motivasi Petugas Penanggulangan Bencana

Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 101 4.21 Distribusi Frekuensi Pendidikan/Pelatihan Per Item Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 104 4.22 Distribusi Frekuensi Pendidikan/Pelatihan Petugas Penanggulangan

Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 106 4.23 Distribusi Frekuensi Motif Pengetahuan Per Item Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 108 4.24 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Pengetahuan Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 109 4.25 Distribusi Frekuensi Sikap Per Item Petugas Penanggulangan Bencana

Tanah Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh TengahTahun 2011 ... 111 4.26. Distribusi Frekuensi Sikap Petugas Penanggulangan Bencanan Tanah

Longsor di Kecamatan Linge

Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 112 4.27 Distribusi Kesiapsiagaan Petugas Penanggulangan Bencana Tanah

Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011 ... 112 4.28 Korelasi Koordinasi dan Motivasi dengan Kesiapsiagaan Petugas

Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge

(19)

4.21 Koefisien Korelasi dan Determinasi Model Analisis Multivariat

Dengan Uji Regresi Linear ... 119 4.22 Taraf Signifikansi atau Kelinearan dari Model Analisis Multivariat

Dengan Uji Regresi Linear ... 119 4.23 Hubungan Koordinasi dan Motivasi terhadap Kesiapsiagaan

(20)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal

2.1. Struktur Organisasi Komando Tanggap Darurat ... 30

2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 57

4.1 Grafik Normalitas Probability Plot ... 115

(21)

ABSTRAK

Kesiapsiagaan sumber daya manusia khususnya petugas penanggulangan bencana dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana tanah longsor merupakan gambaran efektivitas pada saat tahap bencana.

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran dan hubungan beberapa (faktor koordinasi yaitu kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja, dan disiplin serta motivasi ( kepuasan kerja, tanggung jawab, lingkungan kerja dan kesempatan maju)) dengan kesiapsiagaan sumber daya manusia penanggulangan bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011. Sejumlah 85 responden yang bekerja pada unit instansi terkait penanggulangan bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah merupakan sampel dalam penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain penelitian

explanatory research dan merupakan analisis data primer hasil wawancara dengan pengisian kuesioner. Analisis data dilakukan bertahap, dari analisa univariat, bivariat dan multivariat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesatuan tindakan, pembagian kerja, disiplin, motif kepuasan kerja, motif tanggung jawab, motif lingkungan kerja, dan motif kesempatan maju yang memiliki hubungan yang signifikan terhadap kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah, dengan kesatuan tindakan sebagai variabel dominannya.

Agar adanya kesatuan tindakan, perlu ditingkatkan sosialisasi tugas dan kewajiban petugas penanggulangan bencana yang terkait multisektor khususnya mengenai penguasaan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Selain itu diperlukan juga peningkatan pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana bagi petugas penanggulangan bencana yang terkait untuk meningkatkan motivasi, khususnya motivasi untuk meningkatkan kepuasan kerja sehingga mampu meningkatkan motivasi kerja petugas dalam penanggulangan bencana yang terpadu dan terkoordinasi sehingga kesiapsiagaan terpenuhi dalam melaksanakan pekerjaan.

(22)

ABSTRACT

The preparedness of human resources especially the disaster mitigation officers in the attempt to prevent health problem caused by land slide is a description of the effectiveness during the disaster phase.

The purpose of this quantitative explanatory study was to find out the description and relationship between several coordinating factors (unity of action, communication, job description, and discipline) as well as motivation (work satisfaction, responsibility, work environment, and development opportunity) and the preparedness of human resources in the prevention of landslide disaster in Linge Subdistrict, Aceh Tengah District in 2011. The samples for this study were 85 persons working for landslide disaster mitigation-related agency unit in Linge Subdistrict, Aceh Tengah District. The data for this study were the primary data obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were gradually analyzed through univariate, bivariate, and multivariate analysis.

The result of this study showed that unity of action, job description, discipline work satisfaction, responsibility, work environment, and development opportunity had a significant relationship with the preparedness of the landslide disaster mitigation officers in Linge Subdistrict, Aceh Tengah District with unity of action as the most dominant variable.

If the unity of action is to be exist, the multisector-related socialization of the task and the liability of the disaster mitigation officers especially related to the mastery of Law No.24/2007 on Disaster Mitigation need to be improved. In addition, it is also necessary to improve the motivation enhancement-related education and trainings for the disaster mitigation officers especially the motivation to improve work satisfaction that their work motivation in the integrated and coordinated disaster mitigation can be improved and their preparedness in doing their job is met.

(23)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesiapsiagaan sumber daya manusia di Negara maju dan berkembang menjadi prioritas utama pada saat sekarang ini. Peristiwa bencana seperti longsor, banjir, gempa bumi, kebakaran dan lain-lain adalah bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa pernah diduga sebelumnya. Kesiapsiagaan sumber daya manusia menjadi modal agar kerugian yang terjadinya pada saat bencana dapat diminimalisir. Salah satu Negara yang sangat rentan terhadap terjadinya bencana alam adalah indonesia.

(24)

Indonesia. yaitu mencapai 55% sebagian kota-kota besar, di daerah industri penting serta di daerah pertanian yang subur di Indonesia berada didataran tinggi tanah longsor seperti Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat Sumatra Utara dan Papua. (Ishak, 2011).

(25)

Menurut catatan United Nations International Strategy for Disaster Reduction

Provinsi Aceh merupakan daerah yang sebagian besar tidak luput dari bencana tanah longsor. Menurut laporan Koran republika, Aceh sebagai salah satu provinsi yang rawan longsor, pada bulan Januari 2007 sampai dengan 2011 longsor melanda ruas jalan Banda Aceh Calang (Aceh Jaya), sebanyak 55 titik di jalan Meulaboh, Sungai Mas (Aceh Barat). Selanjutnya lebih 29 titik sepanjang jalan di Aceh Selatan, tercatat 81 titik di jalan Aceh Barat Daya (Abdya), Terangon (Gayo Lues), dan 442 titik jalan Aceh Tengah-Kutacane (Aceh Tenggara).

(UNISDR) dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2011 melaporkan dari 162 negara, Indonesia menduduki peringkat pertama yang sering dilanda kejadian bencana tanah longsor. Dalam jangka waktu lama, bencana tanah longsor menyebabkan lebih banyak kerugian dibandingkan bencana lain. Jumlah kejadian tanah longsor semakin meningkat memasuki musim penghujan terutama di daerah-daerah perbukitan terjal. Berdasarkan statistik yang dikutip oleh Arifianti (2011), dalam kurun waktu tahun 2005 – 2011 tercatat kejadian tanah longsor pada 809 lokasi yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia dan mengakibatkan korban jiwa mencapai 2484 orang tewas.

(26)

Aceh. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh tahun 2010 dan 2011 menunjukkan bahwa sepanjang tahun tersebut telah terjadi bencana tanah longsor yang mengakibatkan jatuhnya korban dan pengungsi. Korban meninggal tercatat 38 orang pada tahun 2010 dan 6 orang pada tahun 2011. Korban luka berat dan ringan tercatat 1500 orang pada tahun 2010 dan 60 orang pada tahun 2011. Tercatat pula bahwa pada tahun 2010 longsor telah mengakibatkan rusaknya 32 unit puskesmas 5 puskesmas pembantu sedangkan pada tahun 2011 telah terjadi kerusakan 4 unit puskesmas (BNPB, 2012).

Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu Kabupaten yang berada dalam Provinsi Aceh yang merupakan daerah dataran tinggi, perbukitan dan pesisir pantai yang merupakan daerah perkebunan dan pertanian. Kabupaten Aceh Tengah memiliki 14 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 295 desa dengan jumlah titik longsor hampir mencapai 1240 titik longsor. Salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Tengah adalah Kecamatan Linge.

(27)

Hasil observasi sementara yang dilakukan peneliti di BPBD menemukan dari 14 Kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Tengah, Kecamatan Linge mengalami angka kejadian tanah longsor yang cukup tinggi. Secara umum longsor yang

melanda Kecamatan Linge tahun 2011 terjadi, sekitar 70% dari wilayah pemukiman penduduk dan terjadi hampir di seluruh desa, dari 26 Desa yang ada hanya 7 Desa yang tidak terkena longsor. Potensi utama bencana yang ada di Kecamatan Linge adalah bencana longsor yang terjadi hampir setiap tahunnya pada musim penghujan. Daerah rawan longsor di Kecamatan Linge adalah pada daerah pemukiman penduduk di sepanjang perbukitan yang melewati 19 Desa dari 26 Desa yang ada.

Undang-undang No. 24 Tahun 2007 menurut pasal 33 tentang

penanggulangan bencana telah mengatur penyelenggaraan penanggulangan bencana yang meliputi pra-bencana, tanggap darurat (saat terjadi bencana); dan pasca bencana. Selanjutnya untuk situasi disuatu daerah yang memiliki potensi terjadinya bencana (tingkat kerentanan bencana tinggi) maka pada tahap saat bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana yang perlu dilakukan antara lain kesiapsiagaan.

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

(28)

internasional untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Hal ini mencakup: pengembangan sistem peringatan dini dan rencana evakuasi untuk mengurangi potensi korban jiwa dan kerusakan fisik, pendidikan dan pelatihan yang ditunjuki oleh pejabat di sektor publik dan swasta, pelatihan personil tanggap darurat, dan pembentukan kebijakan tanggap bencana, dengan prosedur operasional, perjanjian organisasi yang saling berkolaborasi, dan adanya sebuah standart pelayanan. Ruang lingkup kesiapsiagaan kedua adalah memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana lokal dengan mendukung kegiatan berbasis masyarakat. Selain itu Tindakan

Kesiapsiagaan yang perlu dilakukan (a) memahami bahaya yang timbul oleh bencana. (b) Pemerintah setempat menyiapkan peta daerah rawan bencana. Di dalam peta perlu dilampirkan keterangan seperti : tingkat resiko, jumlah penduduk, jumlah lahan, ternak dan sebagainya serta sangat penting mencantumkan tempat aman dan jalur aman yang dapat dilalui untuk evakuasi.

(29)

terlibat dibeberapa sektor terkait untuk dapat siap dan tanggap pada daerah-daerah yang rawan bencana dan bertindak secara cepat, tepat, terpadu, efisien dan

terkoordinasi untuk menghindari jatuhnya korban jiwa, sakit, kehilangan harta benda. Kerangka aksi hyogo 2005-2015 yang dikutip oleh Astuti dan Sudaryanto (2010), menyatakan salah satu prioritas dalam upaya mencegah kematian dan kerugian harta benda adalah pentingnya kesiapsiagaan petugas melalui peningkatan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan/pelatihan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketangguhan di semua tingkat dari kecamatan sampai kepada kabupaten kota.

Kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana merupakan petugas dari instansi terkait dalam penanggulangan bencana tanah longsor seperti TNI, POLRI, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan (Puskesmas Kecamatan), Dinas sosial (Petugas kantor camat bagian kesejahtraan sosial), Ormas dan Sar (Undang-Undang No 21 Tahun 2008). Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) sering dirasakan ketika bencana tanah longsor dialami oleh masyarakat dan merasakan kesulitan mencari pertolongan, apalagi petugas penanggulangan bencana belum berdomisili di daerah rawan bencana. Kurangnya minat petugas untuk berdomisili di daerah bencana menggambarkan kesiapan pada saat datang bencana menjadi kurang optimal.

(30)

sampai keesokan harinya juga masih belum datang. Hal ini menyebabkan setiap orang tidak jelas aktivitasnya dan instruksi siapa yang harus didengar juga tidak jelas. Kondisi ini menyebabkan masyarakat bingung untuk memohon bantuan dan kemana arah berlari dan tujuan evakuasi juga tidak jelas, yang terjadi adalah bencana dan malapetaka. Kejadian bencana adalah saat yang sangat menentukan tinggi rendahnya tingkat resiko yang terjadi. Menurut sejumlah catatan, banyak angka kematian dalam kejadian bencana justru terjadi pada saat kepanikan pada masyarakat.

Kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana merupakan bentuk gambaran efektifitas organisasi sumber daya manusia untuk mencapai kinerja yang baik dan sikap mental sumber daya manusia petugas penanggulangan bencana dalam mengantisifasi kejadian bencana (tahap saat bencana). Seperti yang dikembangkan dan dimodifikasi oleh pemikiran yang disampaikan oleh Gilmore dan Erich Froom yang dikutip oleh Sedarmayanti (2009), mengungkapkan ciri umum tenaga kerja yang efektif adalah cerdas, belajar cepat, kompeten secara professional/tehnis, kreatif dan inovatif, memahami pekerjaan, menggunakan logika, bekerja efesien selalu mencari perbaikan, dianggap bernilai oleh pengawasnya, dan selalu meningkatkan diri.

(31)

dari variabel kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin. Kesatuan tindakan adalah Usaha untuk menyatu padukan kegiatan antar personal maupun organisasi agar pekerjaan dapat selesai secara optimal. Komunikasi adalah segala sesuatu yang disampaikan untuk memberikan informasi tentang kejadian bencana saat, dan sesudah kejadian bencana. Pembagian kerja adalah perincian tugas yang dibagikan agar pekerjaan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan bidang pekerjaan masing-masing. Disiplin adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan yang berlaku di organisasi.

Motivasi sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasme dalam melaksanakan suatu kegiatan petugas penanggulangan bencana. Motivasi terdiri dari variabel kepuasan kerja, tanggung jawab, lingkungan kerja dan kesempatan maju. Kepuasan kerja adalah keadaan psikologi pada petugas yang merupakan hasil dari pekerjaan yang telah diselesaikan. Tanggung jawab adalah dorongan atau keinginan seseorang menjalankan sesuatu dengan tujuan untuk memenuhi tanggung jawabnya. Lingkungan kerja adalah gambaran secara keseluruhan sarana dan prasarana kerja petugas yang dapat

(32)

Hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat yang ada di Kecamatan Linge yang turut merasakan kejadian tanah longsor tersebut mengatakan upaya penanggulangan bencana tanah longsor masih belum terkoordinasi secara baik dari tingkat Kecamatan sampai ketingkat Kabupaten sehingga Pemerintah Kabupaten seperti tidak serius dalam menangani bencana tanah longsor. Sebagai petugas penanggulangan bencana seharusnya siap, tanggap dan bertindak cepat kapan pun diperlukan, paham melakukan tindakan penanggulangan bencana agar korban jiwa dan kerugian harta benda dapat diminimalisir. (Peraturan BNPB No.4 Tahun 2008). Tetapi kenyataan yang dilakukan selama ini petugas dari instansi terkait tidak ada ditempat pada saat diperlukan dan dalam melakukan tindakan penanggulangan bencana sering berjalan sendiri sehingga menggambarkan adanya ego sektoral karena tidak ada kerjasama diantara instansi yang terkait.

Hasil wawancara dengan kepala bidang bagian Kesejahtraan Rakyat (Kesra) di Kecamatan Linge menyatakan bahwa masih banyak petugas pada saat terjadi bencana tidak ada ditempat dan siap siaga dalam menghadapi bencana khususnya bencana tanah longsor, ditambah kondisi masyarakat yang mencerminkan

(33)

bencana (formal dan informal) sehingga berdampak terhadap koordinasi dilapangan, (ii) kesenjangan struktural antara pusat dan daerah yang berdampak terhadap

kerancuan tupoksi, (iii) kurangnya mobilisasi dan alokasi sumber-sumber, dan (iv) lemahnya sumber daya manusia yang berdampak terhadap profesionalisme

penanganan, dan kurang berfungsinya sistem informasi, serta (v) ketidakadaan peralatan dalam penanganan bencana.

Penanggulangan bencana tanah longsor yang sering terjadi di Kabupaten Aceh Tengah khususnya di Kecamatan Linge merupakan dilema yang selalu dihadapi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dilema ini belum dapat teratasi oleh karena permasalahan dalam lingkup bencana sangat komplek dan dalam penanggulangannya melibatkan multisektor. Qanun tentang prosedur tetap penyelenggaraan

penanggulngan bencana yang belum disahkan oleh pejabat yang berwenang menyebabkan petugas kurang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana khususnya kesiapan petugas penanggulangan bencana pada saat bencana terjadi. Sebagai perbandingan qanun Kabupaten Aceh Barat No 13 Tahun 2012 tentang penanggulangan bencana dapat menjadi referensi Kabupaten Aceh Tengah untuk menyusun dan menetapkan qanun penanggulangan bencana agar menjadi pedoman bagi petugas penanggulangan bencana di daerah sehingga semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan penangggulangan bencana hendaknya lebih memperhatikan peran dan siap dan rela untuk mendahulukan kepentingan bagi orang banyak

(34)

sektoral. Jika tidak, maka masyarakat yang dilayani akan semakin terpuruk akibat bencana tanah longsor maupun akibat prilaku para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti hubungan faktor koordinasi dan motivasi kerja petugas penanggulangan bencana terhadap kesiapsiagaan bencana tanah longsor Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : apakah terdapat hubungan antara faktor koordinasi

(kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja,dan disiplin) serta motivasi kerja (kepuasan kerja, tanggung jawab, lingkungan kerja dan kesempatan maju) petugas terhadap kesiapsiagaan terjadinya bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

(35)

penanggulangan bencana terhadap kesiapsiagaan resiko bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011.

1.4. Hipotesis

Terdapat hubungan faktor koordinasi (kesatuan tindakan, komunikasi,

pembagian kerja, dan disiplin) serta motivasi kerja (kepuasaan kerja, tanggung jawab, lingkungan kerja, dan kesempatan maju) terhadap kesiapsiagaan petugas bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan kajian bagi mahasiswa dan Program Studi Managemen Kesehatan Bencana untuk penelitian selanjutnya.

2. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait TNI, POLRI, Dinas Kesehatan (Puskesmas Kecamatan), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Sosial ( Petugas kantor camat bagian kesejahtraan sosial), Ormas dan SAR untuk meningkatkan koordinasi dan motivasi dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana tanah longsor, sehingga dapat mencegah timbulnya kerugian besar saat terjadi bencana tanah longsor.

(36)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah Longsor

2.1.1. Pengertian Tanah Longsor

Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007, menyatakan bencana adalah

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

(37)

2.1.2. Penyebab, Gejala dan Wilayah Rawan Terjadi Tanah Longsor

Tanah longsor terjadinya disebabkan karena runtuhnya tanah secara tiba-tiba atau pergerakan tanah atau bebatauan dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau berangsur yang umumnya terjadi didaerah terjal yang tidak stabil. Faktor lain yang memengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng yang gundul dan bebatuan yang rapuh. Hujan deras adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Tetapi tanah longsor dapat juga disebabkan oleh gempa atau aktifitas gunung berapi, ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah longsor, seperti penambangan tanah, pasir, dan batu yang tidak terkendali.

Menurut Ramli (2010), Proses pemicu longsoran dapat antara lain karena Peningkatan kandungan air dalam lereng, sehingga terjadi akumulasi air yang

merenggang ikatan antar butir tanah dan akhirnya mendorong butir-butir tanah untuk longsor, Getaran pada lereng akibat gempa bumi ataupun ledakan, penggalian, getaran alat/kendaraan, Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat geser tanah, Pemotongan kaki lereng secara secara sembarangan yang

(38)

longsor di daerah tersebut, berada pada daerah yang terjal dan gundul, merupakan daerah aliran air hujan, tanah tebal atau sangat gembur pada lereng yang menerima curah hujan tinggi

2.1.3. Dampak

Bencana tanah longsor mempunyai dampak terhadap kesehatan diantaranya terjadinya krisis kesehatan, yang menimbulkan :

(1) Korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan dalam jumlah besar,.

(2) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko dari suatu wilayah atau daerah dimana terjadinya bencana (Depkes RI, 2007).

(39)

2.2. Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

(40)

2.3. Pengurangan Resiko Bencana Tanah Longsor

Pemerintahan daerah dalam perspektif penyelenggaraan upaya pengurangan resiko bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ini relevan, apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintah yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat, termasuk

didalamnya melakukan upaya dampak terhadap resiko bencana. Hal ini merupakan amanat 2 (dua) aturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi terjadinya bencana, utamanya pada saat sebelum terjadinya bencana yaitu pengurangan resiko bencana yang bertumpu pada 3 (tiga) faktor yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Ditinjau dari jenis bencana yang terjadi serta dampaknya, situasi dan kondisi kebencaan di negeri kita saat ini cukup mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang serius dari pemerintah daerah untuk melakukan langkah yang konkrit dalam melindungi masyarakatnya apabila terjadi kondisi kedaruratan, karena lokus dari bencana berada pada wilayah kerja pemerintah daerah Kabupaten/Kota, Kecamatan atau Desa/Kelurahan

(41)

Aparat bersama-sama masyarakat dalam rangka membangun kesiapsiagaan menuju terwujudnya budaya siaga bencana melalui rencana aksi daerah dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini bertujuan untuk membangun kesamaan gerak dan langkah dalam pengurangan resiko bencana atau peningkatan pemahaman dan penyamaan persepsi melalui penguatan kapasitas pemerintah daerah yang berpijak kepada penguatan kebijakan, prosedur, personil dan kelembagaan, yang dijabarkan melalui:

1. Penguatan kebijakan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada sosialisasi dan harmonisasi kebijakan penanggulangan bencana di daerah, agar kebijakan dari tingkat nasional dapat dijalankan secara operasional di daerah.

2. Penguatan prosedur dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada bagaimana pedoman, panduan dan juknis dapat diimplementasikan sehingga memiliki daya dorong inisiasi yang tinggi dari setiap pemangku kepentingan di daerah.

3. Penguatan personil dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada peningkatan kapasitas aparatur pemda dalam mendukung penyelenggaraan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan.

4. Penguatan kelembagaan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)

(42)

kelembagaan BPBD di provinsi/kabupaten/kota, seperti status dari peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai dasar pembentukan BPBD menjadi

peraturan daerah.

Pemerintah Daerah melalui Pengurangan Resiko Bencana (PRB) mampu memprakarsai dan menumbuhkembangkan sumber daya guna memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan utusan di bidang penanggulangan bencana dengan fokus terhadap upaya pengurangan resiko bencana. Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada peningkatan pemahaman untuk menumbuhkan kesadaran

masyarakat serta membudayakan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Upaya ini membutuhkan sumber daya yang memadai serta waktu yang panjang, sehingga kedepan Pengurangan resiko bencana merupakan bagian investasi pemerintah daerah di masa yang akan datang. Sebagaimana investasi tentu tidak dapat dinikmati

hasilnya segera/ bersifat instan tetapi dirasakan pada masa yang akan datang yaitu dapat melindungi atau mengamankan aset daerah dan aset negara yang sulit dihitung nilainya. Menyadari akan hal tersebut, maka pemahaman kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab akan pentingnya upaya Pengurangan Resiko Bencana (PRB)

hendaknya dari waktu ke waktu harus selalu ditingkatkan, agar tidak berdampak merugikan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.

(43)

bencana dan pasca bencana. Pasal 17 dari qanun tersebut menyatakan tentang pentingnya pemberian pelatihan dan pendidikan untuk memberikan kesiapan bagi petugas penanggulangan bencana yang meliputi pra bencana, saat bencana dan pasca bencana sehingga petugas dapat meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemampuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Adapun pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat yang ada di desa yaitu : penilaian resiko kerentanan dan kemampuan masyarakat serta pemetaan ancaman, analisa tanda dan suara peringatan bencana, dan pertolongan pertama pada gawat darurat

2.4. Kesiapsiagaan

2.4.1. Tindakan Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak negatif dari bencana. Kesiapsiagaan bencana merupakan proses dari penilaian, perencanaan dan pelatihan untuk mempersiapkan sebuah rencana tindakan yang terkoordinasi dengan baik (Undang-Undang No.24 Tahun 2007).

Berdasarkan LIPI (2006), Ada 7 (tujuh) stakeholder yang berkaitan erat dengan kesiapsiagaan bencana, yaitu : individu dan rumah tangga, instansi

(44)

swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi non pemerintah (Ornop), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut, rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah disepakati sebagai stakeholders utama dan empat stakeholders lainnya sebagai stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan bencana.

Kesiapsiagaan bencana mencakup langkah-langkah untuk memprediksi, mencegah dan merespon terhadap bencana. Koordinasi lintas sektoral diperlukan

untuk mencapai tujuan-tujuan berikut seperti yang telah disebutkan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006), bahwa ruang lingkup kesiapsiagaan dikelompokkan

kedalam empat parameter yaitu pengetahuan dan sikap (knowledge and attitude), perencanaan kedaruratan (emergency planning), sistem peringatan (warning system), dan mobilisasi sumber daya. Pengetahuan lebih banyak untuk mengukur pengetahuan dasar mengenai bencana alam seperti ciri-ciri, gejala dan penyebabnya. Perencanaan kedaruratan lebih ingin mengetahui mengenai tindakan apa yang telah dipersiapkan menghadapi bencana alam. Sistem peringatan adalah usaha apa yang terdapat di pemerintahan/masyarakat dalam mencegah terjadinya korban akibat bencana dengan cara tanda-tanda peringatan yang ada. Sedangkan mobilisasi sumber daya lebih kepada potensi dan peningkatan sumber daya di pemerintahan/masyarakat seperti keterampilan-keterampilan yang diikuti, dana dan lainnya.

(45)

di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas. Hal ini mencakup antara lain: pengembangan sistem peringatan dini dan rencana evakuasi untuk mengurangi potensi korban jiwa dan kerusakan fisik, pendidikan dan pelatihan yang ditunjuki oleh pejabat di sektor publik dan swasta, pelatihan personil tanggap darurat, dan pembentukan kebijakan tanggap bencana, dengan prosedur operasional, perjanjian organisasi yang saling berkolaborasi, dan adanya sebuah standart pelayanan. Ke-dua adalah memperkuat kesiapsiagaan

terhadap bencana lokal dengan mendukung kegiatan berbasis masyarakat. Pendidikan dan persiapan untuk meminimalkan resiko dapat dilakukan melalui media massa, program sekolah, dan pameran kesehatan. selain itu, kesiapsiagaan bencana lokal meliputi pengajaran pertolongan pertama dan cardiopulmonary resusitasi (CPR) untuk anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan untuk kesiapsiagaan dalam respon bencana.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas lintas sektor yang berkelanjutan. Kegiatan itu membentuk suatu bagian yang tak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggungjawab untuk mengembangkan perencanaan dan program pengelolaan bencana (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi, dan atau rekonstruksi) di Indonesia dikenal dengan Bakornas PB. Satu hal terpenting untuk memastikan mutu dan efektivitas program kesiapsiagaan

(46)

hati-hati terhadap program-program yang telah disiagakan untuk memastikan bahwa program tersebut dapat dioperasikan secara efektif.

Pan American Health Organization (PAHO, 2006), menyebutkan

Penanganan pelayanan kesehatan untuk korban cedera dalam jumlah besar diperlukan segera setelah terjadinya bencana tanah longsor. Oleh karena itu dibutuhkan

kesiagaan untuk pertolongan pertama dan pelayanan kedaruratan dalam beberapa jam pertama. Banyaknya korban jiwa yang tidak tertolong karena minimnya sumber daya lokal, termasuk transportasi yang tidak dimobilisasi segera. Sumber daya lokal sangat menentukan dalam penanganan korban pada fase darurat.Tanggungjawab sektor kesehatan pada saat bencana praktis mencakup semua aspek operasi normal pra-bencana. Semua departemen teknis dan layanan penunjang dilibatkan pada saat terjadinya bencana besar. Kesiapsiagaan harus ditujukan pada semua kegiatan

kesehatan dan sektor lainnya dan tak bisa dibatasi pada aspek yang paling terlihat dari pengelolaan korban massal dan layanan kegawatdaruratan saja. Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan Dinas Kesehatan dikoordinasi oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan dengan surat keputusan (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan LIPI-UNESCO dan PAHO dalam penelitian ini peneliti melihat kesiapsiagaan dari tiga indikator yaitu pengetahuan, sikap dan pelatihan.

(47)

mencegah kematian dan kerugian harta benda adalah pentingnya kesiapsiagaan petugas melalui peningkatan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan/pelatihan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketangguhan di semua tingkat dari kecamatan sampai kepada kabupaten kota. Pengetahuan yaitu hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Sikap yaitu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. (Notoatmodjo, 2007). Pelatihan merupakan bagian dari suatu proses pendidikan, yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang atau kelompok orang. (Notoatmodjo, 1992). Pendidikan dan pelatihan kebencanaan merupakan salah satu upaya penanggulangan bencana pada tahap kesiapsiagaan bencana. (Renstra BNPB 2010-2014). pelatihan kebencanaan sangat diperlukan baik untuk petugas maupun untuk masyarakat yang bakal terkena bencana. (Soehatman,2010). Pelatihan yang diperlukan berkaitan dengan

penanggulangan bencana misalnya:

(48)

sehingga mampu mengembangkannya dilingkungan masing-masing, mampu menyusun dan menilai suatu analisa resiko bencana.

2. Pelatihan mengenai penanganan suatu bencana menurut jenisnya, misalnya bencana banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, bencana industri, atau bencana sosial.

3. Teknik melakukan pertolongan seperti resque atau penyelamatan lainnya. 4. Teknik bantuan medis (P3K) dan bantuan medis lainnya.

5. Pelatihan mengenai prosedur penanggulangan bencana yang meliputi mitigasi bencana, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan rekonstruksi. 6. Pelatihan mengenai sistem informasi dan komunikasi bencana.

7. Pelatihan manajemen logistik bencana.

8. Pelatihan standar pelayanan minimal kesehatan bencana dan pengungsi. 2.4.2. Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Bencana

Tanah Longsor

a) Kesiapsiagaan Pra Bencana

Ada beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana tanah longsor, antara lain :

1. Tidak menebang atau merusak hutan

2. Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti nimbi, bambu, akar wangi, lamtoro dan sebagainya pada lereng-lereng yang gundul 3. Membuat saluran air hujan

(49)

5. Memeriksa keadaan tanah secara berkala 6. Mengukur tingkat kederasan hujan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk menghindari korban jiwa dan harta akibat tanah longsor, diantaranya :

1. Membangun pemukiman jauh dari daerah yang rawan 2. Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun 3. Membuat peta ancaman.

4. Melakukan deteksi dini b). Kesiapsiagaan Saat Bencana

Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan masyarakat saat tanah longsor terjadi, diantaranya :

1. Segera keluar dari daerah longsoran atau aliran runtuhan/puing kebidang yang lebih stabil

2. Bila melarikan diri tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh anda seperti bola dengan kuat dan lindungi kepala anda.posisi ini akan memberikan perlindungan terbaik untuk badan anda.

c). Kesiapsiagaan Pasca Bencana

(50)

1. Hindari daerah longsoran, dimana longsor susulan dapat terjadi

2. Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa langsung memasuki daerah longsoran

3. Bantu arahkan SAR kelokasi longsor

4.Bantu tetangga yang memerlukan bantuan khusus anak-anak, orang tua, dan orang cacat

5.Dengarkan siaran radio lokal atau televise untuk informasi keadaan terkini 6.Wapada akan adanya banjir atau aliran reruntuhan setelah longsor

7.Laporkan kerusakan fasilitas umum yang terjadi kepada pihak yang berwenang

8.Periksa kerusakan pondasi rumah dan tanah disekitar terjadinya longsor

9.Tanami kembali daerah bekas longsor atau daerah sekitarnya untuk menghindari erosi yang telah merusak lapisan atas tanah yang dapat menyebabkan banjir bandang

10. Mintalah nasehat pada ahlinya untuk mengevaluasi ancaman dan teknik untuk mengurangi resiko tanah longsor.

2.4.3. Kesiapsiagaan Pemerintah Setempat dalam Upaya Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

Pan American Health Organization (PAHO,2006), menyatakan bahwa tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin bahwa sistem, prosedur, dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing untuk memberikan

(51)

langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan. Peraturan pemerintah No. 21 Tahun 2008, tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana menyatakan bahwa beberapa instansi yang terlibat dalam penanggulangan bencana antara lain

kementerian kesehatan, kementerian sosial, kementerian pekerjaan umum, kepolisian RI, Badan SAR Nasional, Dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kesiapsiagaan pemerintahan setempat yang terkait dalam upaya penanggulangan bencana tanah longsor antara lain sebagai berikut :

A. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pembentukannya

berdasarkan Permendagri Nomor 46 Tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tata kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah:

1. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan badan nasional penanggulangan bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara.

2. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

3. Menyusun menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana 4. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.

(52)

6. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana.

7. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang

8. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.

9. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai fungsi:

1. merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif, dan efisien. 2. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara

terencana, terpadu, dan menyeluruh.

(53)

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Komando Tanggap Darurat

Ket : : Garis Komando. : : Garis Koordinasi Sumber: PP BNPB No. 10 Tahun 2008

B. TNI/POLRI

TNI/Polri melalui pendekatan Pembinaan Teritorialnya membantu Pemerintah Daerah dalam rangka memulihkan kembali keadaan seperti

sebelumnya, berpartisipasi aktif menangani Bencana alam bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya sehingga dapat membantu meringankan beban

kehidupan sosial masyarakat secara lahir batin dari akibat yang ditimbulkan Bencana. Pembinaan teritorial menciptakan ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh, bersentuhan langsung dengan geografi, demografi dan kondisi sosial, maka penanggulangan bencana alam ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan aparatur Negara beserta masyarakat yang ada diwilayah saling membantu sehingga dapat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan

kda/Walikota

Dinas/lembaga/ Organisasi terkait Sekretaris

Ka. BPBD Kab/Kota

Seksi

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Seksi

Kedaruratan & Logistik Seksi

(54)

penanggulangan bencana. Agar dalam setiap pelaksanaan penanggulangan bencana alam dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dan berdayaguna, maka setiap aparatur negara baik dari pemerintah daerah, aparat TNI, Kepolisian, ormas dan masyarakat perlu memahami tentang organisasi penanggulangan bencana dengan tugas dan fungsinya.

Undang-Undang RI No. 34 tahun 2004, TNI dan Polri bertugas

melaksanakan operasi militer perang (OMP) serta operasi militer selain perang (OMSP), didalam tugas operasi militer selain perang salah satunya adalah membantu menanggulangi akibat bencana alam. Melaksanakan kegiatan

penanggulangan bencana diwilayah baik dalam tahap pra bencana, saat tangggap darurat, pasca bencana terjadi secara terpadu serta mencakup kegiatan,

pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh BPBD Provinsi dan/atau petunjuk kepala BPBD provinsi, dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana pada dasarnya langkah-langkah kegiatan untuk semua macam bencana adalah sama dan

dilaksanakan melalui tahap-tahap pra bencana, saat tanggap darurat, pasca

bencana. Perawatan kesehatan masyarakat dapat menggunakan fasilitas kesehatan TNI yang ada satuan tugas pada daerah bencana serta fasilitas kesehatan

(55)

C. Dinas Kesehatan (Puskesmas Kecamatan)

Puskesmas mempunyai peran memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya bagi korban bencana alam sehingga memberikan pelayanan kesehatan dengan baik. Penanganan bencana bidang kesehatan pada prinsipnya tidak dibentuk sarana prasarana secara khusus, tetapi menggunakan sarana prasarana yang telah ada, hanya intensitas kerjanya ditingkatkan dengan

memberdayakan semua sumber daya pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat dan unsur swasta sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Pelayanan kesehatan pada saat terjadinya bencana dan pemenuhan kebutuhan sarana kesehatan, tenaga kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang tidak dapat diatasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, maka Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota terdekat harus memberikan bantuan, selanjutnya secara berjenjang merupakan tanggungjawab Dinas Kesehatan dan Pusat.

Kabupaten/Kota berkewajiban membentuk satuan tugas kesehatan yang mampu mengatasi masalah kesehatan pada penanganan bencana di wilayahnya secara terpadu dan berkoordinasi dengan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB.). Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sehubungan dengan penanganan masalah bencana di tingkat kecamatan diantaranya :

a). Pra-Bencana; Kepala Puskesmas Melakukan Kegiatan :

(56)

2.Membuat jalur evakuasi. 3.Mengadakan pelatihan.

4.Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin terjadi.

5.Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini (Early Warning System) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan.

6.Membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam Satgas. b). Saat Bencana; Kepala Puskesmas di Lokasi Bencana Melakukan

Kegiatan :

1. Beserta staf menuju lokasi bencana dengan membawa peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan triase dan memberikan pertolongan pertama. 2. Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta ambulans/alat

transportasi lainnya ke lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi 3. Membantu melaksanakan perawatan dan evakuasi korban serta pelayanan

kesehataan pengungsi

4. Melaporkan kepada Kadinkes Kabupaten/Kota tentang terjadinya bencana. 5. Melakukan Initial Rapid Health Assessment (Penilaian Cepat Masalah

Kesehatan Awal).

(57)

7. Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah kecamatan, maka sebagai penanggung jawab adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

c). Pasca Bencana; Kepala Puskesmas di Kecamatan Melakukan Kegiatan :

1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di penampungan dengan mendirikan Pos Kesehatan lapangan

2. Melaksanakan pemeriksaan kualitas air bersih dan pengawasan sanitasi lingkungan.

3. Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk yang mungkin timbul.

4. Segera melapor ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bila terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk.

5. Memfasilitasi relawan, kader dan petugas pemerintah tingkat kecamatan dalam memberikan KIE kepada masyarakat luas, bimbingan kepada kelompok yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma, memberikan konseling pada individu yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma.

(58)

D. Dinas Pekerjaan Umum

Dinas pekerjaan umum mempunyai peran menyelenggarakan penanggulangan bencana terkait bidang pekerjaan umum menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

1.Tahap pra-bencana

Tahap pra bencana kegiatan pencegahan/mitigasi bencana dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan dalam bentuk penegakan hukum/ peraturan pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan fisik dilapangan yang bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian yang terjadi bila terjadi suatu bencana seperti dengan mematuhi rencana tata ruang dan tata bangunan yang telah ditetapkan. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya-upaya cepat dan tepat yang perlu ditempuh dalam menghadapi situasi darurat pada saat kejadian bencana seperti antara lain dengan pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini untuk pengamatan gejala bencana dan penyediaan serta

penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam rangka pemulihan prasarana dan sarana bidang ke-PU-an.

2. Tahap Tanggap Darurat

(59)

bencana beserta harta bendanya dilokasi dan keluar dari lokasi bencana. Pelaksanaan kegiatan tanggap darurat utamanya dilakukan untuk memulihkan kondisi dan fungsi prasarana dan sarana, khususnya bidang ke-PU-an yang rusak akibat bencana yang bersifat darurat/sementara namun harus mampu mencapai tingkat pelayanan minimal yang dibutuhkan, dan menyediakan berbagai sarana yang diperlukan bagi perawatan dan penampungan sementara para

pengungsi/masyarakat korban bencana.

3.Tahap Pasca Bencana

Tahap pasca bencana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang

dilaksanakan harus diupayakan untuk melibatkan peran serta warga masyarakat. bantuan dari pemerintah diutamakan berupa stimulan yang diharapkan akan dapat mendorong tumbuhnya kewasdayaan warga masyarakat. Pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi diutamakan bagi prasarana dan sarana bidang ke-PU-an dan rumah tinggal bagi warga masyarakat miskin/ yang tidak mampu dengan pendekatan tridaya dalam pelaksanaannya.

E. Dinas Sosial

Dinas sosial mempunyai peran menyelenggarakan kesejahtraan sosial di daerah bencana, yang pada saat kejadian bencana, pasca bencana dan tanggap darurat menjadi faktor penting mengurangi resiko korban bencana yang

(60)

berfungsi. hanya sentuhan relawan dan masyarakat sekitar yang dekat daerah bencana alam yang dapat mengurangi meningkatkan jumlah korban bencana.

Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang kesejahtraan sosial menjelaskan peran sumber daya manusia dalam penanganan bencana alam pada saat kejadian bencana dan tanggap darurat antara lain :

1)Mengkondisikan tempat penampungan sementara

Menentukan tempat penampungan bagi korban bencana merupakan upaya penting dalam setiap penanganan bencana. Peran ini dapat dilakukan apabila SDM kesejahteraan sosial memiliki pemahaman dan pengetahuan membaca peta rawan bencana dan jalur evakuasi penanganan bencana.

2) Menyediakan data korban

Data korban merupakan informasi berharga bagi outsider untuk melakukan berbagai langkah tindakan penanganan bencana alam. keakuratan jumlah korban hidup dan meninggal serta keberadaan korban, akan mengurangi meningkatnya jumlah korban meninggal dan luka-luka. Oleh karena itu kemampuan melakukan pendataan korban perlu didukung oleh keterampilan dan kemampuan menggunakan berbagai media komunikasi.

3) Melakukan koordinasi penyediaan kebutuhan bagi korban

(61)

meningkatnya jumlah korban. Kebutuhan lain yang juga sangat diperlukan adalah sarana air bersih dan keperluan mandi cuci dan kakus (MCK). berbagai kebutuhan tersebut memerlukan pemahaman dan kemampuan melihat situasi serta mengkoordinasikan dengan para pihak terkait.

4) Memberikan pelayanan psikososial

Peran yang sangat penting bagi SDM kesejahtraan sosial dan memerlukan keahlian khusus adalah pelayanan psikososial. Peran ini sangat diperlukan mengingat banyak korban bencana alam yang umumnya mengalami trauma dan menghadapi kasus-kasus gangguan stress.

5) Melakukan kegiatan evakuasi bagi korban bencana

Melakukan pertolongan dan mengevakuasi korban adalah dua hal yang berbeda tapi dapat dilakukan bersama-sama. Inti dari tindakan ini adalah upaya menyelematkan korban dengan menghindari tempat/daerah yang dapat menimbulkan kerugian bagi korban bencana. Namun demikian, tindakan yang ceroboh dapat menimbulkan akibat kematian/kecacatan tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi SDM kesejahtraan sosial.

F. Search And Rescue (SAR)

Pencarian dan pertolongan (Search and Rescue) atau disingkat SAR meliputi usaha dan kegiatan mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam

(62)

Search and Rescue (SAR) melakukan siaga selama 24 jam secara terus menerus untuk melakukan pemantauan musibah pelayaran dan/atau penerbangan, atau bencana atau musibah lainnya. SAR melaksanakan siaga didukung dengan peralatan deteksi dini, telekomunikasi dan sistem informasi beserta sarana penunjangnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2006 SAR melakukan operasi meliputi:

a. Segala upaya dan kegiatan SAR sampai dengan evakuasi terhadap korban, sebelum diadakan penanganan berikutnya;

b. Rangkaian kegiatan SAR terdiri atas 5 (lima) tahap yaitu tahap menyadari, tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap operasi, dan tahap akhir

penugasan.

G. Ormas (Organisasi Masyarakat)

Organisasi yaitu kelompok orang yang bekerjasama, dan selanjutnya berkembang menjadi proses pembagian kerja, dan akhirnya terbentuklah sebuah sistem yang kompleks (Sulistyani, 2003). Organisasi masyarakat dalam

(63)

hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah tanah longsor, banjir dan

sebagainya. Badan koordinasi antar kampung mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Mengkoordinasikan kejadian yang sedang dialami serta bantuan yang

diperlukan.

2. Hubungi instansi yang terkait untuk meminta bantuan sesuai kebutuhan. 3. Bantuan instansi terkait dapat diminta kepada pemerintah Provinsi,

Kabupaten/Kota dan Pusat, termasuk lembaga/Instansi/Militer/Polisi. 2.5. Faktor - faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan Petugas Penanggulangan

Bencana Tanah Longsor 2.5.1. Koordinasi

2.5.1.1. Pengertian Koordinasi

Koordinasi adalah sebuah bentuk rekapitulasi gagasan-gagasan yang berasal dari individu-individu. Gabungan gagasan-gagasan tersebut dapat terjadi ketika dua orang atau lebih datang berkumpul dan saling membagi inti pemikiran dan

pengalaman mereka untuk menjamin adanya sebuah interaksi atau kombinasi yang harmonis (Manion, 2005). Koordinasi adalah upaya menyatu padukan berbagai sumberdaya dan kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat melakukan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif dan efisien secara harmonis.

(64)

dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki tugas/fungsi/tanggung jawab dibidang yang bersesuaian, yang berada dalam posisi/kedudukan yang setara (horizontal) maupun dalam posisi/kedudukan yang tidak setara. Dalam melaksanakan koordinasi, terdapat unsur/pihak yang mengkoordinasikan (koordinator) dan ada unsur/pihak yang dikoordinasikan, namun masih dalam kepentingan yang sama. Dalam kaitan ini, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menjalankan fungsi

koordinasi atau sebagai koordinator. Koordinasi dilakukan dengan lembaga

pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dunia usaha, lembaga internasional dan pihak-pihak lain. Dalam koordinasi terdapat pembagian kerja yang benar,

peningkatan efisiensi,ketepatan waktu, efisiensi pendanaan, terciptanya kerangka kerja dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang menjadi perhatian bersama, serta dapat mengurangi kesenjangan, dan dapat terhindari adanya duplikasi dalam pelaksanaan kegiatan/pelayanan. Dalam koordinasi terdapat sinergi kemampuan potensi dan sumberdaya nasional dari semua sumber/komponen (pemerintah dan non-pemerintah), baik dari dalam maupun luar negeri. Koordinasi mengandung

keselarasan dan kerjasama dari orang-orang/ organisasi/lembaga/pihak untuk mencapai tujuan. Hasil koordinasi adalah hasil kerja secara kolektif/bersama, meskipun secara formal koordinator lebih dominan memegang tanggung jawab.

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Komando Tanggap Darurat
Gambar. 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1 Jumlah Petugas Penanggulangan bencana yang terkait
Tabel 3.1 (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen komunikasi adalah proses penggunaan berbagai sumber daya komunikasi secara terpadu melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan

1) Core sampler set dapat digunakan sebagai alat sampling dan analisis untuk menetapkan rendemen tebu secara individual. 2) Perbedaan antara sistem Core Sampler

This w ill send t he new m em bers t heir password and list configurat ion inst ruct ions. Do not use Mailm an for unconscionable act ivit ies such as sending

Tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif adalah tabel yang diperoleh dari tabel frekuensi relatif, dengan frekuensi dijumlahkan selangkah demi selangkah

skripsi ini dibuat sistem informasi operasional sekaligus sistem informasi eksekutif secara realtime dan akan menghasilkan output yang dibutuhkan oleh bagian

The Moslavina region is missing from ancient sourc- es, but it is assumed that it formed part of the Roman state system at the beginning of the 2 nd cent., which points to

Diketahui dari berbagai sentimen masyarakat yang disampaikan melalui komentar di media sosial twiter terhadap operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi

Film ini menceritakan bagaimana perempuan kulit hitam digambarkan sebagai pelayan dari orang kulit putih dan tidak mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.. Perempuan