• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PENGADILAN NEGERI DALAM PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONTSLAG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN PENGADILAN NEGERI DALAM PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONTSLAG)"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PENGADILAN NEGERI DALAM PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS

DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONTSLAG)

Oleh : Aris Munandar

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

Aris Munandar

ABSTRAK

PERAN PENGADILAN NEGERI DALAM PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS

DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONTSLAG)

Oleh Aris Munandar

Minimnya peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan penerapan rehabilitasi yang diberikan dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang mengakibatkan kesulitan-kesulitan dalam penerapanya, sehingga kurang memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Hal demikian dapat dilihat dari banyaknya pemberian rehabilitasi yang tidak memberi pengaruh apa-apa bagi pemulihan hak atas kemampuan, kedudukan, harkat dan martabat seorang yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah peran Pengadilan Negeri dalam memberikan rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum ? dan apakah Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum ?

Penelitian dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Dalam pengambilan sample digunakan metode purposive sampling. Adapun sumber data adalah data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan dokumentasi, serta data primer yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan melalui metode wawancara terhadap seluruh responden, yaitu hakim, panitera, serta akademisi di Kota Bandar Lampung.

(3)

Aris Munandar

putusan rehabilitasi tidak pernah dilakukan oleh Panitera. Adapun faktor penghambat yang dapat dikaitkan dengan tiga sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.

Saran yang dapat disampaikan kepada masyarakat terutama terdakwa yang menjadi korban kesewenang-wenangan tindakan aparat untuk memberanikan diri menuntut haknya melalui prosedur hukum, agar penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya.Bagi Hakim, agar lebih memberikan pemahaman kepada terdakwa mengenai hak untuk memperoleh rehabilitasi apabila yang bersangkutan nantinya dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hokum, dan Panitera, agar melaksanakan pengumuman rehabilitasi sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 58 Tahun 2010, meskipun tidak ada perintah dari hakim atau ketua pengadilan serta tidak ada permintaan dari terdakwa.

(4)

(Skripsi)

Oleh

ARIS MUNANDAR

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN Halaman

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Peran ... 14

B. Proses Penanganan Perkara Pidana dan Peradilan di Indonesia ... 15

C.Putusan Pengadilan ... 27

D.Rehabilitasi ... 33

E. Terdakwa ... 37

F. Hak Asasi Manusia ... 39

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 43

B. Sumber dan Jenis Data ... 44

C.Penentuan Populasi dan Sampel ... 45

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 45

(8)

A.Karakteristik Responden ... 48 B. Peran Pengadilan Negeri dalam memberikan rehabilitasi

terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum ... 49 C.Faktor penghambat dalam pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa

yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum ... 56

V. PENUTUP

A.Simpulan ... 65 B.Saran ... 66

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Kemajuan tersebut antara lain dalam bidang teknologi informasi. Kemajuan di bidang teknologi informasi dapat kita lihat dengan banyaknya media massa penyebar informasi baik media cetak maupun elektronik. Media massa sekarang ini banyak yang menyajikan masalah hukum sebagai bahan pamberitaannya.

Pemberitaan mengenai perkara hukum yang dimaksud kebanyakan mencakup perkara pidana, apalagi bila perkara tersebut dialami oleh publik figur. Pemberitaan tentang perkara pidana yang dialaminya terus-menerus di ekspos oleh media, sehingga begitu mudah menyebar. Namun demikian, seringkali media massa tidak runtut dalam melakukan pemberitaan. Keadaan seperti itu mengakibatkan nama baik yang bersangkutan terlanjur tercemar akibat pemberitaan media massa tersebut, walau pada akhirnya orang yang bersangkutan diputuskan tidak bersalah oleh pengadilan.1

1

(10)

Undang-Undang memang mengamanatkan bahwa setiap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berhak untuk mendapat rehabilitasi (Pasal 97 Ayat (1) dan (2) KUHAP jo. Pasal 1 Butir 23 KUHAP. Akan tetapi undang-undang hanya mengamanatkan bahwa penyebaran pengumuman putusan rehabilitasi hanya dengan menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan.2

Cara pengumuman putusan rehabilitasi dengan menempatkannya pada papan pengumuman menimbulkan pertanyaan yang berkaitan dengan rasa keadilan. Pertanyaan tersebut adalah mengenai apakah cara pengumuman rehabilitasi yang hanya ditempatkan pada papan pengumuman pengadilan dapat mewujudkan pemulihan hak atas kedudukan, harkat dan martabat seseorang. Apalagi bila mengingat terlanjur meluasnya berita tentang perkara pidana yang dialami orang yang bersangkutan dimasyarakat luas. Usaha untuk memenuhi rasa keadilan lebih besar kemungkinannya untuk terpenuhi, apabila menggunakan sarana penyebar informasi yang lebih modern yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi.

Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 9 Ayat (1) merumuskan bahwa “setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”. Lebih lanjut dalam Pasal 2-nya disebutkan bahwa “ketentuan mengenai tata cara

2

(11)

penuntutan ganti rugi, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang”.

Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP. Ketentuan mengenai rehabilitasi dalam undang-undang tersebut khususnya diatur dalam Pasal 77 huruf b, Pasal 81, 82, dan Pasal 97. Selanjutnya ketentuan mengenai rehabilitasi dalam KUHAP ini dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1983 jo PP No. 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang memuat ketentuan mengenai rehabilitasi dalam bab lima (V), konkritnya dalam Pasal 12, 13, 14, dan 15 PP tersebut.

Minimnya peraturan atau pasal-pasal yang mengatur mengenai rehabilitasi bagi seorang yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan. Keadaan tersebut menimbulkan banyak masalah mengenai pelaksanaan rehablitasi. Namun demikian, tidak semua masalah akan dapat diteliti sekaligus, menginggat kepentingannya, terbatasnya peneliti, maupun alokasi biaya yang tersedia. Rehabilitasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah rehabilitasi yang diberikan akibat adanya putusan pengadilan khususnya pengadilan negeri bagi seorang yang dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jadi bukan rehabilitasi yang diberikan pada praperadilan.

(12)

yang dalam Pasal 2 merumuskan bahwa “Peradilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya”. Sejalan dengan rumusan tersebut, selanjutnya dalam Pasal 50 No. 8 tahun 2004 dirumuskan bahwa “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama”.

Masih sedikitnya pasal-pasal atau ketentuan yang mengatur tentang rehabilitasi dan literatur serta karya-karya ilmiah yang membahas masalah rehabilitasi, menjadi salah satu hambatan dan kendala yang dihadapi oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini. Sebelumnya, pembahasan tentang rehabilitasi dalam literatur banyak yang dijadikan satu dengan pembahasan tentang ganti rugi atau menjadikanya sub bab dari pembahasan tentang hukum acara pidana, dan tidak secara khusus membahasnya dalam satu pokok bahasan tentang rehabilitasi saja. Akan tetapi, menyadari pentingnya penelitian tentang pelaksanaan rehabilitasi ini, maka kendala-kendala tersebut tidak menyurutkan niat peneliti untuk melakukan penelitian mengenai rehabilitasi ini.

Mengubah atau menambah ketentuan hukum tertentu memang bukanlah hal yang mudah, karena berkaitan dengan kepastian hukum. Menambah atau mengubah ketentuan hukum dalam hal pelaksanaan rehabilitasi agar sesuai dengan perkembangan jaman dan memenuhi rasa keadilan, mungkin dapat menimbulkan kesulitan dalam memahamiaspek kepastian hukumnya.

(13)

tercapai keduannya. Selanjutnya perlu dikumpulkan data-data konkrit tentang penerapan rehabilitasi yang diberikan oleh Pengadilan Negeri terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan, baik berupa data mengenai salinan putusan rehabilitasi, data mengenai jumlah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maupun data-data lain yang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi ini, serta pendapat-pendapat dari penegak hukum dilingkungan pengadilan, baik hakim sebagai pihak yang berwenang memberikan putusan rehabilitasi, maupun panitera sebagai pihak yang berwenang melakukan pelaksanaan putusan rehabilitasi tersebut.

Berdasarkan latar belakang diatas, menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian terkait permasalahan rehabilitasi tersebut, dan mengambil judul:

(14)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Dengan melihat latar belakang diatas maka akan, dibahas beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peran Pengadilan Negeri dalam memberikan rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum ? 2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam pemberian rehabilitasi

terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum ?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan dengan permasalahan diatas maka ruang lingkup penelitian penulisan skripsi ini adalah:

Ruang lingkup dalam skripsi ini adalah kajian substansi hukum pelaksanaan pidana, khususnya yang berkaitan dengan pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan wilayah penelitian ini dilakukan pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(15)

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu hukum pidana khususnya hukum pidana formil dalam hal pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan.Juga seebagai acuan bagi peneliti lainnya untuk melakukan penelitian terkait upaya pengadilan dalam memberikan rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak Pengadilan Negeri dalam pelaksanaan pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan sebagai wujud pelaksanaan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.3 Bagi pemerintah, khususnya yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan, dapat dijadikan bahan sebagai penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang baru.

3

Pasal 2 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Peradilan negara

(16)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teorotis, yang dimaksud dengan kerangka teori adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang dijadikan dasar untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti dalam suatu penelitian.4

Peran dalam pengertian sosiologis adalah perilaku atau tugas yang diharapkan dilaksanakan seorang berdasarkan kedudukan atau status yang dimilikinya. Suatu peran tertentu, dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai berikut:

a. Peran Ideal (Ideal Role)

b. Peran yang seharusnya (Expected Role)

c. Peran yang dianggap oleh diri sendiri (Perceived Role) d. Peran yang sebenarnya dilakukan (Actual Role)5

Peran terbagi dalam tiga bentuk yaitu:

a. Peran Normatif, adalah peran sebagai norma atau aturan-aturan yang harus diterapkan oleh seseorang agar menjadi aturan yang berlaku didalam masyarakat yang dihubungkan dengan posisi atau status seseorang/instansi. b. Peran Faktual adalah peran yang meliputi kejadian nyata dari perilaku

seseorang/individu yang dijadikan contoh oleh masyarakat.

c. Peran Ideal adalah status yang diberikan pada individu oleh masyarakat karena

prilaku yang penting yang diterapkan dalam masyarakat.6

4

. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta 1995, Hlm124-125.

5

(17)

Pelaksanaan rehabilitasi pada prinsipnya adalah penegakan hukum yang dalam prosesnya melibatkan tiga faktor yang saling terkait,yaitu faktor perundang-undangan, faktor penegakan hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum seperti yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman7, yaitu :

1. Struktur hukum, adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme.Contohnya lembaga pembuat undang-undang ,pengadilan dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum.

2. Substansi hukum,adalah suatu hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum.Hasil nyata ini dapat berbentuk hukum in-concreto atau kaidah hukum individual,maupun hukum in-abstracto atau kaidah hukum umum.Contoh kaidah hukum individual seperti pengadilan menghukum terpidana,polisi memanggil saksi guna keperluan proses verbal.Sedangkan kaidah hukum umum,yaitu ketentuan aturan hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang.

3. Budaya Hukum, adalah sikap tindak warga masyarakat beserta nilai-nilai yang dianutnya.Atau dapat juga dikatakan,bahwa budaya hukum adalah keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta sikap-tindak yang mempengaruhi hukum.Misalnya,adanya rasa malu dan rasa salah apabila melanggar hukum.

6

Indra Darmawan, dinamika Sosilogi,Jakarta 2004.Hlm25 7

(18)

Pengertian dari Putusan Pengadilan, yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas maupun lepas dari segal tuntutan dalam hal serta menurut cara yang diatur oleh perundang-undangan.8

Menurut pendapat Sudarto sebelum hakim memutuskan perkara terlebih dahulu ada serangkaian keputusan yang harus dilakukan9, yaitu sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai perkaranya ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumnya ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.

2. Konseptual

Kerangka konseptual yaitu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti dan istilah yang ingin atau akan diteliti.10

Konseptual ini penulis menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini. Uraian ini ditujukan untuk memberikan kesatuan pemahaman yaitu:

8

. Pasal 1 butir 11 KUHAP. 9

. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cet 4. Alumni, Bandung, 1986, hlm 74. 10

(19)

a. Peran yaitu memiliki makna seperangkat tingkat diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan di masyarakat.11Peran adalah sekumpulan fungsi yang dilakukan oleh seorang sebagai tanggapan terhadap harapan-harapanya sendiri dari jabatan yang ia duduki dalam sistem tertentu.

b. Pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili semua perkara baik perdata maupun pidana.Pengadilan disini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili,melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan,artinya peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana, untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum materiil.12

c. Rehabilitasi Dalam undang-undang kekuasaan kehakiman adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain (Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Dalam Pasal 1 butir 23 KUHAP, rehabilitasi diartikan sebagai hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan

11

Kamus Besar Bahasa Indonesia,1989 hlm. 460

12

(20)

mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini.

d. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur oleh perundang-undangan.13

e. Putusan bebas yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas. 14

f. Putusan lepas dari segala tuntutan adalah Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa di sidang pengadilan terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. 15

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah dari penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan

13

. Pasal 1 butir 11 KUHAP. 14

. Pasal 191 ayat (1) KUHAP

15

(21)

penulisan, kerangka teoritis dan konseptual dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang bersifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai penunjang pembahasan yang dilakukan dan bahan studi perbandingan teori dan praktek.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang menguraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yakni mengenai pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan bab yang menjelaskan secara lebih terperinci tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah penelitian ini dengan mendasarkan pada data primer dan data sekunder .

V. PENUTUP

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Peran

Peran dalam pengertian sosiologis adalah perilaku atau tugas yang diharapkan dilaksanakan seorang berdasarkan kedudukan atau status yang dimilikinya. Suatu peran tertentu, dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai berikut:

a. Peran Ideal (Ideal Role)

b. Peran yang seharusnya (Expected Role)

c. Peran yang dianggap oleh diri sendiri (Perceived Role) d. Peran yang sebenarnya dilakukan (Actual Role)1

Peran terbagi dalam tiga bentuk yaitu:

a. Peran Normatif, adalah peran sebagai norma atau aturan-aturan yang harus diterapkan oleh seseorang agar menjadi aturan yang berlaku didalam masyarakat yang dihubungkan dengan posisi atau status seseorang/instansi. b. Peran Faktual adalah peran yang meliputi kejadian nyata dari perilaku

seseorang/individu yang dijadikan contoh oleh masyarakat.

c. Peran Ideal adalah status yang diberikan pada individu oleh masyarakat karena prilaku yang penting yang diterapkan dalam masyarakat.2

1

Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm20 2

(23)

Peran mencakup 3 hal,yaitu :

a.Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat yang membimbing seseorang dalam masyarakat yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

b.Peran merupakan suatu konsep prilaku apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarkat sebagai organisasi.

c.Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

B. Proses Penanganan Perkara Pidana dan Proses Peradilan Pidana di Indonesia

1. Alur Peradilan Pidana di Indonesia

Hukum acara atau hukum formil adalah hukum yang berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan, dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiel dalam praktik melalui perantara pengadilan. Oleh karena itu hukum acara terbagi menjadi tahapan-tahapan dan prosedur-prosedur yang harus dilalui oleh pihak-pihak yang berperkara di pengadilan.

Pada dasarnya, hukum acara baik perdata maupun pidana, dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan atau permulaan, tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan.3

3

(24)

Tahapan Hukum Acara Pidana

Gambar 2.1 Bagan Tahapan Hukum Acara Pidana

Dari Bagan 2.1 selanjutnya akan diuraikan tahapan atau proses peradilan pidana di Indonesia, yang secara umum dapat diurutkan sebagai berikut.

Penyelidikan Penyidikan Penuntutan Surat Dakwaan

Pra Peradilan

Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pembuktian Putusan Hakim Penentuan

Pelaksanaan Putusan oleh Jaksa

Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Hakim Pendahuluan

Pelaksanaan/ Eksekusi Tahapan Hukum

(25)

2. Tahapan/proses peradilan pidana di Indonesia a. Tahap Pendahuluan

Tahap pendahuluan terdiri dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuatan surat dakwaan, serta pra peradilan. Lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:

1) Tahap Penyelidikan oleh Penyelidik

Pasal 1 Ayat (5) KUHAP merumuskan bahwa yang dimaksud penyelidikan adalah “serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Secara umum dapat dirumuskan bahwa penyelidik adalah orang yang melakukan penyelidikan, atau dengan kata lain penyelidik adalah orang yang menyelidiki sesuatu peristiwa guna mendapat kejelasan tentang peristiwa atau kejadian itu. 4

Dalam Pasal 1 Ayat (4) KUHAP dirumuskan bahwa penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pasal 4 KUHAP menentukan bahwa setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia adalah penyelidik. Kemudian dalam Pasal 5 ditentukan sebagai berikut:

1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; karena kewajibannya mempunyai wewenang;

4

(26)

a) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b) mencari keterangan dan barang bukti;

c) menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

d) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa;

a) penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; b) pemeriksaan dan penyitaan surat;

c) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

d) membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Setelah tindakan penyelidikan selesai dilakukan dan ditemukan adanya tindak pidana, tahap selanjutnya adalah penyidikan oleh penyidik.

2) Tahap penyidikan oleh Penyidik

Pasal 1 Ayat (1) KUHAP merumuskan bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan peyidikan.

Pengertian penyidikan menurut Pasal 1 Ayat (2) KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Menurut Pasal 7 KUHAP penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang:

(27)

2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 5) Melakukan pemeriksaan surat;

6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8) Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

perkara;

9) Mengadakan penghentian penyidikan;

10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Tindakan selanjutnya adalah penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 (Pasal 8 Ayat (1) KUHAP). 5 Setelah itu penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum Pasal 8 Ayat (2).

3) Tahap Penuntutan oleh Penuntut Umum a) Pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan

Mengenai tata cara penyerahan hasil penyidikan kepada penuntut umum diatur dalam Pasal 8 yang menentukan bahwa penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dilakukan;

5

(28)

a) Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.

b) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum (Kejaksaan) (Pasal 110 Ayat (1) KUHAP).

Selama hasil penyidikan dari penyidik belum dapat meyakinkan penuntut umum, maka berkas perkara akan dikembalikan tanpa perhitungan sudah berapa kali berkas perkara tersebut mengalami bolak-balik.6Pengembalian berkas perkara dari kejaksaan kepada penyidik untuk dilengkapi, disertai petunjukpetunjuk dari penuntut umum merupakan prapenuntutan sebagaimaan dimaksud oleh Pasal 14 huruf (b) KUHAP.

KUHAP tidak memberi batasan tentang pengertian prapenuntutan. Akan tetapi apabila ditelaah dari Pasal 14 KUHAP, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa prapenuntutan terletak antara dimulainya penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke Pengadilan) dan peyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Jadi, yang dimaksud dengan istilah prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik.7

Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 Ayat (3) KUHAP). Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu empat belas hari

6

Leden Marpaung, Proses penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 284

7

(29)

penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (Pasal 110 Ayat (4) KUHAP).

b) Penyelesaian berkas perkara di Kejaksaan

Setelah berkas perkara diterima oleh Kejaksaan dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara telah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak, dilimpahkan ke Pengadilan (Pasal 139 KUHAP).

Dalam hal Jaksa (Jaksa peneliti) berpendapat bahwa tidak cukup alasan untuk diajukan ke Pengadilan Negeri (karena perbuatan tersebut tidak dapat dihukum atau bukan suatu tindak pidana atau si tersangka tidak dapat dihukum atau hak menuntut telah hilang) maka ia melaporkan hal tersebut kepada Kepala Kejaksaan Negeri.8

Dalam hal jaksa (penuntut umum) setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan berpendapat telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, maka ia akan membuat dan merumuskan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan.

Surat dakwaan adalah surat yang dibuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas dasar Berita Acara perkara Pidana (BAP) yang diterimanya dari penyidik yang memuat uraian secara cermat, jelas, dan lengkap tentang rumusan tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Surat dakwaan tersebut disertai

8

(30)

uraian mengenai hubungan atau pertautan antara tindak pidana tersebut dengan suatu peristiwa tertentu yang dijadikan dasar pemeriksaan di sidang pengadilan.9

Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan. Surat dakwaan harus memenuhi syarat berikut.

1. Syarat formil; menyebut (a) identitas terdakwa (Pasal 143 Ayat (2) sub a), (b) diberi tanggal, dan (c) ditandantangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang membuatnya.

2. Syarat meteriil; mengurai secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai; (a) tindak pidana yang didakwakan dan (b) dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (Pasal 143 Ayat 2 sub).

Setelah pembuatan surat dakwaan selesai maka perkara tersebut dilimpahkan dengan surat pelimpahan. Turunan surat pelimpahan tersebut disampaikan kepada tersangka atau kuasannya dan penasehat hukumnya, serta kepada penyidik.10 c) Penuntutan

Pasal 1 butir (7) KUHAP merumuskan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Sebelum melakukan penuntutan perkara, penuntut umum lebih dahulu mempelajari dan meneliti berkas perkara apakah cukup bahan-bahan keterangan

9

Adami Chazawi, Kemahiran dan Keterampilan praktik Hukum Pidana, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm. 29

10

(31)

yang dapat membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana. Setelah penuntut umum mendapat gambaran jelas tentang adanya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka ia menyusun surat dakwaan (Pasal 140 Ayat (1) KUHAP).

2. Tahap Penentuan

Tahap penentuan adalah tahap dimana suatu perkara pidana diperiksa, diadili, dan

diputus oleh hakim disidang pengadilan, lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.

a. Pemeriksaan di sidang pengadilan

Setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan dari penuntut umum, Ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpimnya (Pasal 147 KUHAP). Dalam hal pengadilan negeri berpendapat bahwa surat pelimpahan perkara termasuk wewenangnya maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Hakim yang akan menyidangkan. Hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan menerbitkan Surat Penetapan yang isinya menetapkan hari sidang, memerintahkan Penuntut Umum untuk memanggil terdakwa dan saksi-saksi datang di sidang Pengadilan (Pasal 152 KUHAP).

KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan. Pertama pemeriksaan perkara biasa; kedua, pemeriksaan acara singkat; dan ketiga, pemeriksaan cepat. Di bawah ini digambarkan secara singkat tahap-tahap dan hal-hal yang harus dilakukan dalam pemeriksaan sidang dengan acara biasa.11

Beberapa pemeriksaan yang dilakukan di sidang Pengadilan adalah:

1) keterangan singkat pemeriksaan persidangan melalui pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut Umum;

11

(32)

2) eksepsi penasehat hukum terhadap dakwaan penuntut umum;

Tahap pembuktian merupakan salah satu wujud penerapan asas “praduga tidak bersalah” (presumption of innosence) yang dirumuskan pada butir c penjelasan umum KUHAP sebagai berikut:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan

dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adaya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Adami Dhazawi mengatakan:

Pada dasarnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan adalah semua kegiatan pengungkapan fakta-fakta dari suatu peristiwa yang lalu. Bila fakta-fakta tersebut dirangkai dapat menggambarkan suatu peristiwa yang sebenarnya atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil untuk dapat dipastikan atau tidaknya muatan tindak pidana dalam peristiwa tersebut menurut akal sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum.12

Selanjutnya beliau mengatakan:

Dalam sidang pengadilan terdapat tiga pihak, yakni majelis hakim berikut panitera pengganti, jaksa penuntut umum, dan terdakwa (dapat)

12

(33)

didampingi oleh penasehat hukum. Dalam usaha mengungkapkan/penggalian fakta, masing-masing pihak akan berusaha dengan sebaik baiknya untuk mendapatkan fakta yang sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Oleh sebab itu, tiga pihak akan mengarahkan pemeriksaan dalam sidang melalui pertanyaan-pertanyaan pada saksi dan terdakwa serta dialog maupun perdebatan satu dengan yang lain untuk memperoleh fakta hukum yang menguntungkan dari sudut fungsi dan tugasnya.13

Lebih lanjut menurut beliau:

Seluruh rangkaian kegiatan dalam persidangan yang dilakukan dan diikuti oleh tiga pihak tersebut dapat juga disebut dengan kegiatan dalam persidangan yang dilakukan dan diikuti oleh tiga pihak tersebut dapat disebut dengan kegiatan atau proses pembuktian di sidang pengadilan.14

c. Tahap pengambilan putusan oleh hakim.

Setelah hal-hal di atas selesai dilakukan maka Hakim Ketua Sidang menyatakan pemeriksaan dinyatakan ditutup. Setelah Ketua Sidang/Majelis menyatakan bahwa pemeriksaan ditutup (Pasal 182 Ayat (3) KUHAP) maka Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan (vide Pasal 182 Ayat (3) KUHAP). Perihal putusan pengadilan ini akan diurakan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.

3. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan putusan pengadilan ini dilakukan setelah suatu perkara pidana diperiksa, diadili, dan diputus di sidang pengadilan yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Incracht).

13

Ibid, hlm. 199 14

(34)

a. Tahap pelaksanaan putusan oleh jaksa

Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP menyebutkan ”Jaksa adalah pejabat yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Selanjutnya Pasal 270 KUHAP menyebutkan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Atas dasar pasal diatas, maka pelaksana putusan pengadilan dalam perkara pidana yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah jaksa.

b. Pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan

Pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilaksanakan oleh hakim. Dasar dari pengawasan dan pelaksanaan putusan pengadilan ini diatur dalam bab XX tepatnya Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 KUHAP. Hakim yang bertugas melakukan pengawasan dan pengamatan tersebut disebut Hakim Pengawas dan

pengamat, 15yang antara lain mempunyai wewenang mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.16

Pengawasan dan pelaksanaan putusan pengadilan yang diatur dalam KUHAP hanya diperuntukan bagi putusan yang berbentuk pidana perampasan

15

Pasal 277 Ayat (2) KUHAP,Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan paling lama dua tahun.

16

(35)

kemerdekaan, 17sedangkan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan tidak diatur dalam KUHAP. Dengan demikian maka hakim tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan yang berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan.

C.Putusan Pengadilan

1. Sekilas tentang Pengadilan a. Susunan pengadilan di Indonesia

Di Indonesia kita kenal susunan pengadilan dalam:

1) Pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili semua perkara baik perdata maupun pidana.

2) Pengadilan tinggi atau pengadilan tingkat banding yang juga merupakan pengadilan tingkat kedua. Dinamakan pengadilan tingkat kedua karena pemeriksaannya sama dengan pemeriksaan yang ada pada pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).

3) Mahkamah agung yang merupakan pengadilan tingkat terakhir. Mahkamah agung memeriksa perkara-perkara yang dimintakan kasasi, karena tidak puas dengan putusan banding dari pengadilan tinggi. Pada tingkat kasasi yang diperiksa adalah penerapan hukumnya saja.

b. Tempat kedudukan pengadilan

1) Tempat kedudukan pengadilan negeri pada prinsipnya berada di kota kabupaten, namun diluar pulau jawa masih terdapat banyak pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lebih dari satu kabupaten.

17

(36)

2) Tempat kedudukan pengadilan tinggi pada prinsipnya berada ditiap Ibu Kota propinsi.

3) Disamping tiap pengadilan negeri ada sebuah kejaksaan negeri dan di samping tiap pengadilan tinggi ada juga terdapat kejaksaan tinggi.

c. Susunan pejabat pada suatu pengadilan

1) Ditiap pengadilan terdapat beberapa hakim. Hakim adalah pejabat negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (vide Pasal 1 butir (8) KUHAP). Sedangkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum Pasal 12 Ayat (1) menyebutnya dengan Hakim Pengadilan yaitu pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Diantaranya menjabat sebagai ketua pengadilan dan wakil ketua pengadilan. Para hakim bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara dipersidangan.

2) Disamping itu juga ada panitera yang bertugas memimpin bagian administrasi atau tata usaha, dibantu oleh wakil panitera, beberapa panitera pengganti dan karyawan-karyawan lainnya.

(37)

perkara, maka dalam praktiknya tugas tersebut dilakukan oleh panitera pengganti.

4) Disamping hakim dan panitera masih ada petugas yang dinamakan jurusita (deurwaarder) dan jurusita pengganti. Adapun tugasnya adalah melaksanakan perintah dari ketua sidang dan menyampaikan pengumumanpengumuman, teguran-teguran, pemberitahuan putusan pengadilan, panggilan-panggilan resmi para penggugat dalam perkara perdata dan para saksi, serta melakukan penyitaan-penyitaan perintah hakim.

2. Pengertian Putusan

Putusan adalah “hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan

dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tulisan ataupun lisan”. Demikian dimuat dalam buku “Peristilahan Hukum dalam Praktek” yang

dikeluarkan Kejaksaan Agung RI. tahun 1985 halaman 221.

Ada juga yang mengartikan Putusan dengan (vonnis) sebagai Vonnis tetap (definitif) (Kamus Istilah Hukum Fockema Andree). Mengenai kata Putusan yang diterjemahkan dari vonnis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara18

Sementara itu, Pasal 1 Ayat (11) KUHAP menyebutkan; “putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadian terbuka, yang dapat merupakan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

18

(38)

3. Proses pengambilan putusan

Sebagaimana dijelaskan oleh Kansil, bahwa pada hakekatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan, baik buruknya tergantung pada manusia pelaksananya, incasu para hakim, syarat-syarat yang senantiasa harus terpenuhi oleh seorang hakim, yaitu, jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh baik dari dalam maupun dari luar19.

Proses pengambilan putusan hakim/pengadilan (vide Pasal 182 KUHAP) adalah sebagai berikut.

a. Apabila Hakim menyatakan bahwa pemeriksaan telah selesai maka Penuntut Umum dipersilahkan mengajukan tuntutan pidana (requisitoir).

b. Setelah itu, terdakwa dan atau Penasehat Hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh Penuntut Umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau Penasehat Hukum selalu mendapat giliran terakhir.

c. Tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada Hakim Ketua Sidang dan kepada pihak yang berkepentingan.

d. Apabila acara tersebut selesai maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Selanjutnya, dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim Ketua Sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan Penuntut Umum atau terdakwa atau Penasehat Hukumnya dengan memberikan alasannya.

19

(39)

e. Setelah pemeriksaan ditutup, Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah diadakan setelah terdakwa, saksi, Penasehat Hukum, Penuntut Umum, dan masyarakat yang ikut hadir di persidangan meninggalkan ruangan sidang.

f. Musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan dipersidangan.

g. Dalam musyawarah tersebut, Hakim Ketua Majelis megajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai Hakim yang tertua. Sedangkan yang terakhir, Hakim Ketua Majelis mengemukakan pendapatnya dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.

h. Pada dasarnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil musyawarah bulat, kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai maka berlaku ketentuan sebagai berikut.

1. putusan diambil dengan suara terbanyak;

2. jika suara terbanyak tidak diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

i. Pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.

(40)

4. Pengertian putusan bebas

Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP). Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa, apabila kesalahan dari terdakwa tidak terbukti, maka terdakwa harus diputus bebas.

Penjelasan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP tersebut yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Dengan perkataan lain, baik kesalahan dan/atau perbuatan terdakwa yang didakwakan kepadanya tidak terbukti berdasarkan alat bukti sah yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP pada pemeriksaan di sidang pengadilan.

5. Pengertian putusan lepas dari segala tuntutan

Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa di sidang pengadilan terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat (2) KUHAP). Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena;

1. terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum, misalnya: karena Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP.

(41)

A.Rehabilitasi

1. Pengertian Rehabilitasi

Kamus besar bahasa Indonesia, rehabilitasi diartikan sebagai pemulihan kepada kedudukan atau keadaan yang dahulu atau semula. Dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain (Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Dalam Pasal 1 butir 23 KUHAP, rehabilitasi diartikan sebagai hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pasal 68 jo Pasal 97 KUHAP, rehabilitasi merupakan salah satu hak dari tersangka atau terdakwa. Yang tidak dijelaskkan dalam KUHAP ialah, apakah rehabilitasi akibat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat fakultatif (dituntut oleh terdakwa) ataukah imperative.

Artinya setiap kali hakim memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diberikan rehabilitasi. Hal ini mestinya diatur dalam aturan pelaksanaan KUHAP.20

20

(42)

Ketentuan mengenai rehabilitasi didalam KUHAP hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu Pasal 97 Ketentuan mengenai rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 KUHAP berbunyi sebagai berikut:

a. Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang tuntutannya talah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).

c. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 Ayat (1) yang perkarannya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim dalam praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

Apabila ditelaah dari Pasal 97 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi, kata berhak menunjukkan adanya hak yang dimiliki oleh terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segal tuntutan hukum, adanya hak, tentu disertai adanya pihak yang wajib memenuhinya, atau dengan kata lain rehabilitasi ini wajib untuk dipenuhi oleh hakim dan pengadilan sebagai instansi yang berwenang melaksanakan kekuasaan kehakiman.

(43)

perkara tersebut yang memberikan rehabilitasi, dengan cara dicantumkan sekaligus dalam putusan mengenai perkaranya. Akan tetapi apabila perkaranya dihentikan, sedangkan tersangka/terdakwa sebelumnya dikenakan penangkapan/penahanan tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, maka rehabilitasi diberikan oleh praperadilan, dengan demikian putusan pengadilan berupa penetapan.

2. Dasar Hukum rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

Dasar hukum dari hak untuk memperoleh rehabilitasi adalah Undang-Undang No 9 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP. Lebih tepatnya akan diuraikan dibawah ini.

Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dalam Pasal 9 Ayat (1) menyebutkan; “setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.

(44)

secara sekaligus dalam putusan pengadilan (vonis). Dengan demikian pemberian rehabilitasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan pengadilan (Pasal 197 KUHAP).

Setelah hakim menjatuhkan putusan atau penetapan rehabilitasi, selanjutnya pihak yang berwenang melaksanakan rehabilitasi adalah panitera. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2010, dalam Pasal 15 dirumuskan bahwa “isi putusan atau penetapan rehabilitasi diumumkan oleh panitera dengan menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan”. Lebih lengkapnya

peraturan mengenai pelaksanaan rehabilitasi dalam PP ini diatur dalam bab V Pasal 12-15.

3. Pihak yang berhak mengajukan rehabilitasi

(45)

E.Terdakwa

1. Pengertian Terdakwa

Pengertian terdakwa dalam Pasal 1 butir 15 KUHAP adalah seorang yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang Pengadilan. Pengertian terdakwa berbeda dengan pengertian tersangka. Pengertian tersangka dalam KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau berdasarkanbukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 butir 14 KUHAP). Dengan demikian pengertian tersebut dapat diketahui bahwa seorang terdakwa dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang tersangka, sedangkan tersangka belum tentu dia berubah menjadi terdakwa, misalnya perkaranya dihentikan penuntutannya. Status tersangka baru berubah menjadi terdakwa setelah Penuntut Umum melimpahkan perkara tersangka ke pengadilan negeri (Pasal 1 butir 7 jo. 143 Ayat (1) KUHAP). Dengan kata lain status tersangka berubah menjadi terdakwa setelah ada penuntutan dari penuntut umum.

2. Hak-hak terdakwa

Hak-hak terdakwa yang diatur dalam KUHAP antara lain sebagai berikut:

a. Terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan (lihat Pasal 58 KUHAP).

(46)

dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya (lihat Pasal 59 KUHAP).

c. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penagguhan penahanan ataupun usaha untuk mendapatkan bantuan hukum (lihat Pasal 60 KUHAP).

d. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasehat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluargannya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara terdakwa atau untuk kepentingan pekerjaan atau kepentingan keluarga (lihat Pasal 61 KUHAP).

e. Berhak mengirim dan menerima surat kepada penasehat hukum dan sanak keluarganya setiap saat, untuk itu kepadannya disediakan alat tulis. Surat menyurat tersebut tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan. (lihat Pasal 62 Ayat 1, 2 dan 3 KUHAP).

f. Berhak menerima dan menggunjungi rohaniawan (lihat Pasal 63 KUHAP). g. Berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (lihat

Pasal 64 KUHAP).

h. Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (lihat Pasal 65 KUHAP).

(47)

Dari berbagai macam hak terdakwa diatas, terdapat hak untuk memperoleh rehabilitasi. Dasar hukum dari hak untuk memperoleh rehabilitasi dalam KUHAP adalah Pasal 68 KUHAP, sedangkan rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan diatur dalam Pasal 97 KUHAP dan PP No. 58 Tahun 2010 sebagai aturan pelaksananya. Oleh karena hak untuk memperoleh rehabilitasi sudah ditentukan dalam KUHAP, maka sudah seharusnya penerapannya mendapat jaminan dari hakim atau pengadilan sebagai pihak yang berwenang untuk memenuhinya.

F. Hak Asasi Manusia (HAM) 1. Pengertian HAM

Hak Asasi adalah Hak Dasar manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang secara kodrati dianugerahkan kepadanya. Pengertian Hak Asasi Manusia antara lain dapat dilihat dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 memberikan pengertian mengenai HAM sebagai berikut:

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib di hormati, dijunjung dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Kemudian dalam Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, memberikan pengertian HAM sebagai berikut:

(48)

menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.

2. Konsep, landasan, dan Tujuan HAM

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan serta keadilan.

Adanya Hak Dasar manusia sebagai mahluk tuhan, kemudian melahirkan adanya konsep Hak Asasi Manusia. Fungsi dari adanya pengakuan dan perlindungan terhadap HAM adalah untuk mengembangan diri, mengembangan peran, serta untuk kesejahteraan baik secara individu maupun kolektif. Pengakuan dan perlindungan HAM merupakan perwujudan pandangan hidup dan kepribadian bangsa. HAM bertujuan menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat mahluk tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai mahluk pribadi dan juga mahluk sosial.

(49)

Landasan HAM Bangsa Indonesia

Gambar 2.2 Bagan Landasan HAM Bangsa Indonesia

3. Instrument Hukum HAM yang mengikat

Adapun instrument hukum mengenai HAM yang bersifat mengikat, antara lain adalah:

a. Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Right)

b. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Internasional Covenant on Civil and Political Right), yang selanjutnya diratifikasi menjadi UU No. 12 Th. 2005

c. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Sicial and Cultural Rights), selanjutnya diratifikasi menjadi UU No. 11 Tahun 2005

d. Kovenan Genosida (Covention on the Prevention and Punisment of the Crime of Genocide) Melalui UU No. 26 Tahun 2000

HAM BANGSA INDONESIA

Nilai Moral Universal Ajaran

Agama Nilai Luhur

Budaya Bangsa

Berdasarkan Pancasila

(50)

e. Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Againtst Torture and Other Cruel, inhumen or Degrading Treatment or Punisment) Melalui UU No. 5 Th. 1998

f. Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Rasial (International Convetion on the Elimination of All Form of Racial Discrimination) melalui UU No. 29 Th. 1999

g. Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (International Convetion on the Elimination of All Form of Discrimination

against Women) melalui UU No. 7 Th. 1984

h. Konvensi Hak Anak (Convention of the Right of the Child) melalui Keppres No. 36 Th. 1990

i. Konvensi mengenai status pengungsi

(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pada penelitian ini penulis melakukan dua (2) pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif maksudnya adalah pendekatan yang penulis lakukan dengan cara mencari kebenaran dengan melihat dan mempelajari azas-azas, peraturan-peraturan, teori-teori, serta konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas berkaitan dengan pemberian rehabilitasi terhadap seseorang yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam Pasal 97 KUHAP.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

(52)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dari penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan,sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut :

1. Jenis Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari sumber utama melalui penelitian yang dilakukan dilapangan dan hasil wawancara, yang berupa data-data, informasi atau keterangan dari pihak yang terkait dengan permasalahan. 2. Jenis Data Sekunder

Jenis data sekunder adalah jenis data yang telah diolah lebih lanjut dan telah disajikan oleh pihak lain. 1 Data Sekunder terdiri dari tiga macam bahan hukum, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari : 1. Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Undang-Undang No.8 tahun 2004 tentang Peradilan umum.

3. Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

b) Bahan hukum skunder,yaitu yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer,seperti literatur-literatur,hasil-hasil penelitian,karya dari kalangan hukum dan dokumen pendukung yaitu Peraturan Pemerintah Republik

1

(53)

Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang hukum Acara Pidana.

c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder, seperti kamus dan keterangan dari media sebagai pelengkap.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian, sedangkan sampel adalah objek sesungguhnya dari suatu penelitian dan jumlahnya kurang dari populasi.2

Untuk penulisan skripsi ini penulis mengambil populasi penelitian yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

Untuk penentuan sampel penulis menggunakan metode pengambilan sampel berupa Proportional Purposive Sampling, yaitu dalam menentukan sampel sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel yang dianggap telah dapat mewakili dari masalah yang hendak diteliti. Adapun responden dalam penelitian ini adalah:

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang 2. Panitera pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang 3. Dosen Fakultas Hukum Unila : 2 orang

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

2

(54)

Pengumpulan data yang akan digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah melalui pengumpulan Data Primer dan Data Sekunder, yaitu sebagai berikut:

a. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer ditempuh dengan cara melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji. Wawancara ditujukan kepada Hakim dan Panitera pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

b. Studi Kepustakaan

Untuk memperoleh data sekunder penulis melakukan dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari perundang-undangan yang berlaku serta literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan data tentang putusan babas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah keseluruhan data baik data primer maupun data sekunder terkumpul secara keseluruhan, maka tahap selanjutnya dilakukan pengolahan terhadap data tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing Data

Editing data yakni memeriksa data yang diperoleh, dan diteliti kembali kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya sehingga terhindar dari kesalahan.

(55)

Evaluating data yakni memeriksa data yang masuk dan telah melalui proses editing, selanjutnya dievaluasi sehingga didapat gambaran yang jelas dalam rangka menjawab penelitian.

3. Sistematisasi Data

Sistematisasi data yakni melakukan pemeriksaan data yang masuk dan telah melalui proses editing dan evaluating, dan setelah dirasa cukup baik dan lengkap, maka data tersebut dikalsifikasi dan disusun secara sistematis serta diperiksa dan dipersiapkan untuk dianalisa dengan tujuan menyederhanakan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.

E. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisa data kualitatif, yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan responden secara nyata, dan perilaku nyata. 3Analisa data seperti ini bersifat deskriptif analisis, yaitu berusaha menganalisa data yang dikumpulkan, dengan cara menguraikan dan memaparkan secara jelas dan apa adanya mengenai obyek yang diteliti didapat hasil yang benar-benar valid.

3

(56)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :

1. Peran pengadilan negeri dalam pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu Setiap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang sudah diberi rehabilitasi dalam amar putusannya. Pemberian rehabilitasi tersebut bersifat serta merta, artinya setiap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dengan sendirinya mendapat rehabilitasi dalam amar putusan, tanpa menunggu permintaan dari terdakwa, kuasa, atau keluarganya.Hakim sudah menjalankan pemberian rehabilitasi sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang, sedangkan panitera tidak menjalankan perannya dalam menempatkan putusan rehabilitasi pada papan pengumuman pengadilan seperti yang sudah diatur oleh PP No. 58 tahun 2010 yaitu tentang pelaksanaan KUHAP.

(57)

dari segala tuntutan hukum. Hal ini karena bentuk amar putusan rehabilitasi sudah ditentukan redaksinya secara limitatif dalam Pasal 14 ayat (1) PP No. 58 Tahun 2010, Kendala pemberian rehabilitasi adalah dalam hal eksekusi/pelaksanaannya. Dalam praktik, pelaksanaan rehabilitasi berupa pengumuman rehabilitasi dengan cara menempatkan salinan isi putusan pada papan pengmuman pengadilan tidak pernah dilakukan oleh panitera. Tidak adanya upaya yang dilakukan panitera karena, dalam praktik sejauh ini tidak ada protes mengenai tidak dilaksanakannya pengumuman rehabilitasi sehingga panitera beranggapan pemberian rehabilitasi dalam amar putusan sudah cukup untuk memulihkan hak dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya. Sedangkan papan pengumuman pengadilan dinilai kurang efektif sebagai sarana informasi, selain itu juga masyarakat enggan untuk membaca pengumuman yang ada pada papan pengumuman pengadilan.

B. Saran

Adapun saran-saran yang ingin penulis sampaikan semoga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dan dapat dijadikan bahan pertimbangan:

(58)

agar lebih memberikan pemahaman kepada terdakwa mengenai hak untuk memperoleh rehabilitasi apabila yang bersangkutan nantinya dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. Kemahiran dan Keterampilan praktik Hukum Pidana. Malang : Bayumedia publishing. 2006.

Darmawan, Indra. Dinamika Sosiologis. Jakarta. 2004

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. 2006. Harun, M.Husain. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta :

Rineka Cipta. 1991.

Kansil, C.S.T. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Bandung : Bina Aksara. 1984.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta : Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. 1993.

Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua. Jakarta : Sinar Grafika. 1992.

Mertokusumo, Sudikno. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia dan Kemanfaatannya Bagi kita Bangsa Indonesia. Yogyakarta : Disertasi, Liberty. 1983.

---, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Liberty. 1996. M.Hariwijaya dan Triton P.B. Pedoman Penulisan Ilmiah Proposal dan Skripsi.

Yogyakarta : Oryza. 2008.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press. 2007.

---, Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta : Rajawali. 1982. Soemitro, Ronny Hanityo. Pengantar Ilmu Hukum. Semarang. 1985. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,Cet 4. Bandung : Alumni. 1986.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1986.

Undang-Undang No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 2 tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Tahapan Hukum Acara Pidana
Gambar 2.2 Bagan Landasan HAM Bangsa Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

3. Memperkuat ikatan persekutuan GKJTU pada aras Jemaat, Klasis dan Sinode. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan

Sebuah contoh kasus tentang efisiensi dan efektivitas pada sebuah perusahaan misalkan untuk menekan biaya angkut barang hasil produksi maka pihak

BAB II KAJIAN TEORI PUISI LIRIK DALAM SASTRA INDONESIA MODERN DAN PENYUSUNAN MODEL PEMBELAJARAN PUISI YANG BERORIENTASI PADA PENDIDIKAN KARAKTER A.. Pemahaman tentang puisi

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan diatas dan hasil penelitian-penelitian terdahulu maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah laba

[r]

FNs &rsjeoi cdi{' *crvJ (Kohis)

D2.2 with prebiotic from sweet potato in pacific white shrimp ( Litopenaeus vannamei) diets can significantly improve growth performance and could protect the

[4] Ahmad, Shohib, 2009, ”Rancang Bangun Sistem Otomatis Menggunakan Sen sor Jarak Ultrasonik Untuk Aplikasi Pengereman Pada Mobil Berbasis Mikrokontroler