Abstrak
PENGARUH KEBISINGAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA MENCIT (Mus musculus L.)
Oleh Aris Munandar
Bising merupakan salah satu faktor stress yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas spermatozoa. Kualitas dan kuantitas spermatozoa merupakan indikator kesuburan bagi pria. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap kualitas spermatozoa. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak yang
disebabkan oleh kebisingan terhadap kualitas spermatozoa mencit (Mus musculus L.) . Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung pada bulan Mei – Juni 2013.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok diberi perlakuan pemaparan yaitu 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari, 12 jam/hari dengan masing-masing kelompok terdapat 5 ulangan. Hasil pengamatan dianalisis menggunakan Anova (Analysis of Variance) dengan signifikansi 5%, dilanjutkan dengan uji BNT (beda nyata terkecil) dengan
signifikasi 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata motilitas spermatozoa kelompok mencit yang diberi pemaparan kebisingan dengan intensitas 85-90 dB untuk waktu pemaparan 6 jam/hari (P1), 8 jam/hari (P2), 10 jam/hari (P3), dan 12 jam/hari (P4) selama 21 hari adalah 21,77 ± 7,54, 24,87 ± 10,10, 12,93 ± 9,65, 4,59 ± 3,92 yang mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol 0 jam/hari (P0) yaitu 27,38 ± 7,70. Hasil rerata viabilitas spermatozoa kelompok mencit yang diberi pemaparan kebisingan dengan intensitas 85-90 dB untuk waktu pemaparan 6 jam/hari (P1), 8 jam/hari (P2), 10 jam/hari (P3), dan 12 jam/hari (P4) selama 21 hari adalah 23,11 ± 6,30, 17,98 ± 3,18, 16,40 ± 11,30,10,51 ± 9,92 yang
spermatozoa mencit yang diberi pemaparan 85-90 dB setiap 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari, dan 12 jam/hari selama 21 hari mengalami peningkatan dibandingkan dengan kontrol (P0). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh spermatozoa yang abnormal meliputi kepala besar, kepala jarum, putus pada ekor, dan ekor
membengkok.
4. Pengukuran Intensitas Kebisingan ... 9
5. Baku Tingkat Kebisingan ... 9
6. Besaran Bising ... 11
7. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan ... 11
B. Morfologi dan Reproduksi Mencit... 15
1. Sistem Reproduksi Mencit ... 15
2. Mencit (Mus musculus L.) ... 17
4. Motilitas Spermatozoa ... 23
5. Abnormalitas Spematozoa ... 24
III. METODE PENELITIAN
D. Pelaksanaan Penelitian... 28
1. Persiapan Penelitian ... 28
2. Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus L.) ... 29
3. Analisis Kualitas Spermatozoa ... 30
a. Motilitas Spermatozoa ... 31
b. Viabilitas Spermatozoa ... 31
c. Morfologi Spermatozoa ... 32
d. Parameter Pengamatan... 32
4. Analisis Data ... 32
E. Diagram Alir ... 33
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan ... 34
1. Motilitas Spermatozoa ... 34
2. Viabilitas Spermatozoa ... 35
3. Morfologi Spermatozoa ... 37
B. Pembahasan ... 41
1. Motilitas Spermatozoa ... 41
2. Viabilitas Spermatozoa ... 43
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 47 B. Saran ... 47 DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang meliputi motilitas, dan morfologinya. Salah satu penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas sperma adalah stres. Clarke and Comfagnucci (1988), telah membuktikan bahwa ada hubungan antara stres fisiologis dengan kualitas dan kuantitas spermatozoa. Stres pada mencit dapat menimbulkan hambatan proses pada tingkat hipotalamus dan menyebabkan gangguan hormonal sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan pada sel Leydig dalam mensekresi hormon testosteron (Matthew, 2002).
Bising merupakan salah satu faktor stres yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas spermatozoa. Hasil penelitian yang pernah dilakukan di Denmark menunjukkan bahwa stress akibat bising merupakan salah satu faktor yang berhubungan erat dengan kesuburan pria, hal ini disebabkan oleh peningkatan sistem hormonal (Sheiner and Hafez, 2002).
sebagai bentuk adaptasi sehingga terjadi pengeluaran Corticotropin Releasing Hormon (CRH) yang mengakibatkan peningkatan sekresi Adeno Corticotropin
Hormon (ACTH) dan kortisol. Akibat bising, kadar CRH mengalami
peningkatan, peningkatan CRH melalui pengaktifan secara langsung pada nukleus paraventrikuler. Rangsangan neuron CRH nukleus paraventrikuler mengurangi pengambilan sel gonadotrophin realeasing hormon (GnRH) sehingga menurunkan frekuensi sekresi GnRH (Dobson, 2002).
Peningkatan CRH dapat menimbulkan penurunan GnRH yang menyebabkan menurunnya Folicle Stimulating Hormon (FSH) serta Luteinizing Hormon (LH) oleh hipofisa. Hormon FSH bekerja pada sel germinal berfungsi untuk memulai proliferasi dan diffrensiasi serta meningkatkan sensitivitas sel Leydig terhadap LH untuk memproduksi testosteron. Oleh karena LH, FSH dan testosteron bekerja sinergis dalam proses spermatogenesis maka penurunan LH, FSH, dan testosteron jelas akan mengganggu spermatogenesis (Selvege and Rivier, 2003).
Spermatogenesis merupakan serangkaian peristiwa sitologi untuk pembentukan spermatozoa massal dari spermatogonia pada jantan dewasa. Proses ini
berlangsung di dalam testis secara terus-menerus selama masa reproduksi (Campbell, Reece, dan Miitchell, 2004).
sehat. Motilitas membantu transport spermatozoa untuk mencapai terjadinya fertilisasi, sedangkan viabilitas merupakan kemampuan atau daya hidup yang dimiliki oleh spermatozoa (Campbell, Reece, dan Miitchell, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah pengaruh kebisingan terhadap kualitas spermatozoa mencit (Mus musculus L.).
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap motilitas, viabilitas, dan morfologi spermatozoa mencit (Mus musculus L.).
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta gambaran umum yang bermanfaat mengenai dampak kebisingan terhadap kualitas spermatozoa mencit (Mus musculus L.) jantan.
D. Kerangka Pikir
(1995), menyatakan bahwa 8 – 12% penduduk dunia telah menderita. Akibat kebisingan dalam berbagai bentuk, diperkirakan angka tersebut terus akan meningkat, dan pada tahun 2001 diperkirakan 120 juta penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran. Pengaruh buruk kebisingan, didefinisikan sebagai suatu perubahan morfologi dan fisiologi suatu organisma yang
mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional untuk mengatasi adanya stress tambahan atau peningkatan kerentanan suatu organisma terhadap pengaruh efek faktor lingkungan yang merugikan, termasuk pengaruh yang bersifat sementara maupun gangguan jangka panjang terhadap suatu organ atau seseorang secara fisik, psikologis atau sosial.
Stress akibat bising merupakan salah satu faktor yang berhubangan erat dengan kesuburan pria, hal ini disebabkan oleh peningkatan sistem hormonal (Sheiner and Hafez, 2002).
Menurut Subratha (1998), spermatogenesis merupakan tahapan terpenting yang menentukan kemampuan dan fungsi reproduksi dari seluruh spesies makhluk hidup yang hidup di dunia ini, khususnya manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan jantan pada hewan. Proses ini dimulai dari perkembangan germ cell pada basal tubulus seminiferus yang perlahan-lahan akan bergerak ke arah lumen tubulus seminiferus menjadi sel spermatozoa dewasa yang siap untuk
Mencit (Mus musculus L.) merupakan hewan yang termasuk dalam filum chordata (hewan bertulang belakang). Untuk itulah maka mencit digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian ini karena memiliki urutan taksonomi yang dekat dengan manusia dan berasal dari kelas yang sama yaitu mamalia (hewan menyusui), sehingga lebih dekat pengaruhnya.
Dengan adanya efek dari kebisingan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah kebisingan dapat mempengaruhi spermatogenesis dan kualitas spermatozoa mencit dengan parameter motilitas, viabilitas, dan
morfologi normal spermatozoa.
E. Hipotesis
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebisingan dan Dampaknya
1. Definisi Kebisingan
2. Klasifikasi Kebisingan
Menurut Patrick (1997) kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar, yaitu :
a. Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu : 1) Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)
kebisingan ini merupakan nada-nada murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara mesin, suara kipas dan sebagainya. 2) Kebisingan tetap (Brod band noise) kebisingan dengan frekuensi
terputus dan Brod band noise sama-sama digolongkan sebagai
kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah brod band noise
terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan „nada„ murni)
b. Kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu (Sasongko,2000) :
1) Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise) kebisingan yang selalu berubah ubah selama rentang waktu tertentu
2) Intermitent noise kebisingan yang frekuensinya terputus-putus dan besarnya dapat berubah, misalnya kebisingan lalu lintas.
3. Sumber Kebisingan
Di tempat kerja, sumber kebisingan berasal dari peralatan dan mesin-mesin. Peralatan dan mesin-mesin dapat menimbulkan kebisingan karena
(Doello,1993) :
a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi yang sudah cukup tua.
b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.
c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya. Misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.
d. Melakukan modifikasi/perubahan/pergantian secara parsial pada
komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin tiruan.
e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin (bad connection).
4. Pengukuran Intensitas Kebisingan
Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik penerapan bunyi. Intensitas bunyi tergantung jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas bunyi semakin tinggi. Pengukuran kebisingan biasanya dinyatakan dengan satuan decibel (dB). Decibel (dB) adalah suatu unit pengukuran kuantitas resultan yang merepresentasikan sejumlah bunyi dan dinyatakan secara logaritmik. Sederhananya, skala decibel (dB) diperoleh dari 10 kali logaritma (dasar 10) perbandingan tenaga (Wilson, 1989).
Satuan tingkat kebisingan (decibel) dalam skala A, yaitu kelas tingkat kebisingan yang sesuai dengan respon telinga normal. Alat yang
dipergunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM). Sound level meter ini mengukur perbedaan tekanan yang hasil
keluaran dari alat ini adalah dalam decibel (dB) dengan menggunakan dasar persamaan (Chanlett, 1979).
5. Baku Tingkat Kebisingan
dB(A).
Tabel 1. Nilai Ambang Batas Kebisingan
No Waktu pemajanan sehari
Intensitas kebisingan
(dBA)
1 8 jam 85
2 4 jam 88
3 2 jam 91
4 1jam 94
5 30 menit 97
6 15 menit 100
7 7,5 menit 103
8 3,5 menit 106
9 1,88 menit 109
6. Besaran Bising
Besaran bising dapat dituliskan dengan rumus (Anonim a, 2013): Li = 10 log (I/IO) dB
Dimana :
Li = Tingkat intensitas bunyi (dB) I = Intensitas suara/bunyi (WATT/m2)
IO = Intensitas bunyi referensi(10-12 Watt/m2)
7. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan
Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan yang dapat dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut (Ikron,2005): a. Gangguan fisiologis
Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbul akibat bising, dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologis dapat terganggu. Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidak dapat
didengar secara jelas, sehingga dapat menimbulkan gangguan lain seperti: kecelakaan. Pembicaraan terpaksa berteriak-teriak sehingga memerlukan tenaga ekstra dan juga menambah kebisingan. Di samping itu kebisingan
dapat juga mengganggu “Cardiac Out Put” dan tekanan darah. Pada
darah, metabolisme, gangguan tidur dan penyempitan pembuluh darah. Reaksi ini terutama terjadi pada permulaan pemaparan terhadap bunyi kemudian akan kembali pada keadaan semula. Bila terus menerus
terpapar maka akan terjadi adaptasi sehingga perubahan itu tidak tampak lagi. Kebisingan dapat menimbulkan gangguan fisiologis melalui tiga cara yaitu:
1). Sistem internal tubuh
Sistem internal tubuh adalah sistem fisiologis yang penting untuk kehidupan seperti:
a). Kardiovaskuler (jantung, paru-paru, pembuluh) b). Gastrointestinal (perut,usus)
c). Saraf (urat saraf)
d). Musculoskeletal (otot, tulang) dan e). Endocrin (kelenjar).
pada tahun 1964 telah melakukan studi eksperimental teknis mengenai adaptasi sistem saraf vegetatif dan pertimbangan-pertimbangan bahwa yang menjadi subyek percobahan adalah mereka yang telah terbiasa dengan kebisingan. Umumnya mereka ini memiliki sistem kompensasi yang memungkinkan untuk bekerja pada suatu lingkungan yang bising, dimana pada kasus subyek yang belum terbiasa sistem tersebut harus dibentuk secara perlahan-lahan. Peningkatan refleks-refleks labyrinth telah dilaporkan pada telephonist.
2). Ambang pendengaran
Ambang pendengaran adalah suara terlemah yang masih bisa di dengar. Makin rendah level suara terlemah yang didengar berarti makin rendah nilai ambang pendengaran, berarti makin baik
pendengaranya. Kebisingan dapat mempengaruhi nilai ambang batas pendengaran baik bersifat sementara (fisiologis) atau menetap (patofisiologis). Kehilangan pendengaran bersifat sementara apabila telinga dengan segera dapat mengembalikan fungsinya setelah terkena kebisingan (Babba, 2007).
3). Gangguan pola tidur
pemeliharaan mental serta kesembuhan. Kebisingan dapat menganggu tidur dalam hal kelelapan, kontinuitas, dan lama tidur. Seseorang yang sedang tidak bisa tidur atau sudah tidur tetapi belum terlelap. Tiba-tiba ada gangguan suara yang akan mengganggu tidurnya, maka orang tersebut mudah marah/tersinggung. Berprilaku irasional, dan ingin tidur. Terjadinya pergeseran kelelapan tidur dapat menimbulkan kelelahan (Babba, 2007).
b. Gangguan Psikologis
Gangguan fisiologis lama kelamaan bisa menimbulkan gangguan
berusaha untuk mengurangi, menolak suara tersebut atau meninggalkan tempat yang bisa menimbulkan suara yang tidak dikehendakinya (Joko, 1995).
B. Morfologi dan Reproduksi Mencit
1. Sistem Reproduksi Jantan
Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas deferens, kelenjar asesoris pada masa embrio yang berfungsi untuk transpor sperma, kelenjar asesoris, uretra dan penis, selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan (Rugh, 1968).
Setiap testis ditutupi dengan jaringan ikat fibrosa, tunika albuginea, bagian tipisnya atau septa akan memasuki organ untuk membelah menjadi lobus yang mengandung beberapa tubulus disebut tubulus seminiferus karena di
dalamnya berlangsung produksi semua sel germinal fungsional jantan. Bagian tunika memasuki testis dan bagian arteri testikular yang masuk disebut
sebagai hilus. Arteri memberi nutrisi setiap bagian testis, dan akan
Secara embriogenesis, testis berkembang dari gonadal ridge yang terletak di dalam rongga abdomen. Pada bulan-bulan terakhir kehidupan janin, testis perlahan mulai turun keluar dari rongga abdomen melalui kanalis semi inguinalis masuk ke dalam skrotum. Meskipun waktunya bervariasi proses penurunan testis biasanya selesai pada bulan ke tujuh masa gestasi
(Sherwood, 2004).
Testis melaksanakan dua fungsinya yaitu menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron. Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang di dalamnya berlangsung proses spermatogenesis. Sel Leydig atau sel interstitium yang terletak di jaringan ikat antara tubulus-tubulus seminiferus inilah yang mengeluarkan testosteron (Sherwood, 2004).
2. Mencit (Mus musculus L.)
Menurut Arrington (1972) mencit termasuk ke dalam famili Muridae. Mencit hidup di berbagai daerah mulai dari iklim dingin, sedang maupun panas dan dapat hidup dalam kandang atau hidup bebas sebagai hewan liar. Mencit liar lebih suka suhu lingkungan yang tinggi namun dapat beradaptasi dengan baik pada suhu yang rendah. Rambut mencit liar berwarna abu-abu dan warna perut sedikit lebih pucat, mata berwarna hitam, dan kulit berpigmen. Menurut Arrington (1972) berikut adalah klasifikasi mencit :
Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub-Phylum : Vertebrata Class : Mamalia Ordo : Rodentia Family : Muridae
Genus : Mus
Gambar 1. Morfologi mencit (Davis, 2009).
Menurut Malole dan Pramono (1989) mencit memiliki tiga macam sifat genetik, yaitu :
1. Random breed mice yaitu mencit yang dikawinkan secara acak dengan mencit yang tidak ada hubungan keturunan.
2. Inbreed mice yaitu mencit hasil perkawinan antar saudara sebanyak lebih dari 20 turunan.
3. F1-Hybrid yaitu mencit hasil perkawinan antara dua galur yang inbreed.
galur dengan bobot badan yang bervariasi. Menurut Malole dan Pramono (1989) berdasarkan lingkungan hidupnya mencit dibagi dalam empat kategori:
a. Mencit bebas hama yaitu mencit yang bebas dari mikroorganisme yang dapat dideteksi.
b. Mencit yang hanya mengandung mikroorganisme tertentu. c. Mencit yang bebas mikroorganisme patogen tertentu, dan
d. Mencit biasa yaitu mencit yang dipelihara tanpa perlakuan khusus.
beberapa keunggulan antara lain penanganan dan pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, sehat dan bersih, kemampuan reproduksi tinggi dengan masa kebuntingan singkat, serta memiliki karakteristik produksi dan
reproduksi yang mirip dengan mamalia lainnya (Malole dan Pramono, 1989).
3. Spermatogenesis
Spermatogenesis merupakan tahapan terpenting yang menentukan
kemampuan dan fungsi reproduksi dari seluruh spesies makhluk hidup yang hidup di dunia ini, khususnya manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan jantan pada hewan. Proses ini dimulai dari perkembangan germ cell pada basal tubulus seminiferus yang perlahan-lahan akan bergerak kearah lumen tubulus seminiferus menjadi sel spermatozoa dewasa yang siap untuk diejakulasikan dan membuahi sel telur (ovum) pada manusia atau hewan betina (Subratha, 1998).
Dengan demikian spermatogenesis dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Proliferasi / perbanyakan : tahapan ini sering disebut tahapan
2. Meiosis : pada tahap ini terjadi pengurangan jumlah kromosom, dimana spermatosit primer yang semula diploid akan membelah dan menghasilkan spermatosit sekunder, dan seterusnya akan menjadi spermatid yang
haploid (Yatim, 1994).
3. Spermiogenesis : merupakan tahapan transformasi (perubahan bentuk), dimana spermatid yang semula berbentuk bulat kecil menjadi spermatozoa yang memanjang dan memiliki ekor (Yatim, 1994).
Gambar 2. Proses Spermatogenesis pada manusia (Anonim b, 2013).
Spermatogenesis pada mencit menyerupai proses yang terjadi pada manusia maupun hewan lainnya dan berlangsung dalam tiga tahap. Diawali fase spermatogenesis dari pembelahan spermatogonia yang terjadi beberapa kali sehingga menghasilkan spermatogonia tipe A2, A3 dan A4. Spermatogonia A4
kemudian mengalami pembelahan menghasilkan spermatogonia intermediat yang kemudian akan membelah lagi untuk menghasilkan spermatogonium B. Spermatogonium B selanjutnya mengalami mitosis sehingga terbentuk spermatosit primer dan berada pada fase istirahat pada tahap preleptoten (Gilbert, 1985).
Tahap berikutnya adalah meiosis yang terdiri dari dua tahap, yaitu meiosis I dan meiosis II dimana masing-masing mengalami fase profase, metafase, anafase dan telofase. Profase pada meiosis I yang meliputi leptoten, zigoten, pakiten, diploten, dan diakinesis. Meiosis I berakhir dengan terbentuknya spermatosit sekunder dan kemudian memasuki meiosis II dan pembelahan berlanjut untuk membentuk spermatid (Johnson and Everitt, 1990).
Spermatogenesis yang terjadi pada tubulus seminiferus mencit berlangsung selama 35 hari dengan empat kali siklus epitel seminiferus. Satu kali siklus epitel seminiferus berlangsung selama 207±6 jam. Pada mencit (Mus musculus L), epitel germinal tubulus seminiferus merupakan tempat
berlangsungnya spermiogenesis yang terbagi dalam 12 stadium, yaitu stadium I sampai dengan stadium XII. Pembagian stadium didasarkan atas
perkembangan akrosom selama proses spermatogenesis (Oakberg, 1956). Spermatogonia A muncul pada semua stadium epitel tubulus seminiferus, sedangkan spermatogonia intermediat tampak pada stadium II hingga IV. Spermatogonia B pada stadium IV hingga VI. Sebagai hasil pembelahan dan diferensiasi, generasi baru spermatogonia adalah spermatosit primer yang tampak pada stadium VI hingga VII, Sedangkan stadium VII hingga XII akan terlihat dua lapisan spermatosit primer dalam tubulus seminiferus. Lapisan spermatosit yang lebih muda terletak lebih dekat dengan membran sel. Pada lapisan ini terdapat spermatosit pada fase istirahat yang terdapat pada stadium VII dan awal stadium VIII (Oakberg, 1956).
4. Motilitas Spermatozoa
mempengaruhi motilitas adalah waktu sesudah ejakulasi, waktu antara ejakulasi, viskositas semen, pH semen, dan komposisi ion (Indrawati, 1988).
5.Abnormalitas Spermatozoa
Terjadinya abnormalitas morfologi spermatozoa dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain infeksi, trauma, gangguan pada testis, ketidak seimbangan hormon, dan faktor keturunan (Soehadi dan Arsyad, 1983). Abnormalitas spermatozoa terjadi pada kepala atau ekor. Pada umumnya spermatozoa normal mempunyai kepala berbentuk meruncing dan
melengkung pada bagian akrosomnya, bagian tengah pendek dan utuh, dan ekor sangat panjang tidak melingkar (Rugh, 1968).
Gambar.4 Sperma abnormal pada manusia (A, kepala besar), (B, kepala kecil), (C, kepala bercabang), (D, ekor Bercabang), (E, kepala meruncing), (F, ekor bengkok), (G, leher bengkok) (Anonim c, 2013).
Sperma Normal Sperma Abnormal
A
B
C
D
F
G
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April - Mei 2013 di laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, perlakuan, pembedahan, dan pengamatan hewan uji.
B. Alat dan Bahan
1. Hewan Pecobaan
Penelitian ini menggunakan obyek penelitian berupa mencit jantan (inbreed mice) dengan berat rata-rata 30-35 gram (dewasa normal). Dua puluh lima ekor mencit (Mus musculus L) jantan dewasa diperoleh dari Bagian Breeding BPPV Regional III Bandar Lampung berumur delapan minggu. Mencit-mencit tersebut diaklimatisasi selama tujuh hari.
2. Alat
penutup (cover glass), object glass, counter untuk menghitung presentase motilitas dan morfologi spermatozoa, Haemocytometer Neubauer untuk menghitung presentase motilitas dan kecepatan gerak maju spermatozoa, mikroskop, petridish, pipet.
3. Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mencit jantan, aquades, pewarna Eosin Y 0,5 %, dan garam fisiologis NaCl 0,9 % untuk pengencer semen.
C. Desain Penelitian
kelompok keempat diberi pemaparan kebisingan selama 10 jam/hari dan kelompok kelima diberi pemaparan kebisingan selama 12 jam/hari. Untuk mendapatkan informasi pengaruh kebisingan terhadap mencit digunakan eksperimen. Perlakuannya adalah pemaparan dengan kebisingan (suara) yang terdiri dari 5 taraf yaitu 0 jam/hari, 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari, dan 12 jam/hari selama 21 hari. Menurut Supranto (2000) untuk penelitian eksperimen secara sederhana dapat dirumuskan:
atau
dimana : t = banyaknya kelompok perlakuan r = jumlah replikasi
Maka dalam 5 buah perlakuan, jumlah ulangan untuk tiap perlakuan dapat dihitung:
5(r-1) ≥15 (5r-5) ≥ 15 5r ≥ 20
Adapun desain penelitian dapat dilihat pada Gambar. 5 di bawah ini:
Gambar 5. Skema Penelitian, (A) Laptop dengan suara aplikasi souncard scope, (B) Speaker sumber suara, (C) Tripot, (D) Tempat penelitian yang diletakkan secara acak.
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Penelitian
2. Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus L.)
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung . Hewan uji yang digunakan adalah 25 ekor mencit jantan yang rata-rata mempunyai berat sekitar 30-35 gram dengan usia 3-4 bulan (dewasa normal). Mencit ini diperoleh dari Balai
Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Bandar Lampung. Sebelum penelitian dimulai, terlebih dahulu dipersiapkan tempat pemeliharaan hewan coba, yaitu kandang (bak plastik), sekam, tempat makan, minum dan pakan mencit. Selama pemeliharaan, mencit ditempatkan dalam kandang pemeliharaan, diberi pakan pelet komersial dan ditempatkan dalam lingkungan yang terkendali dengan suhu sekitar 20 - 25 ° C, dan kelembaban 50 – 60% (Smith dan Mangkuwidjojo, 1988).
Penelitian ini menggunakan pemaparan kebisingan yang bersumber dari suara aplikasi souncard scope yang diberi tambahan pengeras suara (speaker) sebagai bentuk perlakuan terhadap objek penelitian. Adapun pemaparan kebisingan adalah sebagai berikut :
1. Aklimatisasi mencit selama 7 hari.
2. Mencit ditempatkan pada ruangan fiksasi dan dilakukan pemaparan kebisingan yang diletakkan pada jarak 1 meter dari
mencit.
mencit jantan dewasa. Berikut adalah uraian dari masing-masing kelompok :
I. Kelompok kontrol (P0) : kelompok kontrol ini tidak diberi perlakuan paparan kebisingan karena sebagai kontrol untuk perbandingan kelompok mencit yang normal dan kelompok mencit yang diberikan perlakuan paparan kebisingan.
II. Kelompok paparan I (P1): kelompok ini diberi paparan kebisingan 85-90 dBA dengan intensitas paparan sebesar 6 jam per hari selama 21 hari.
III.Kelompok paparan II (P2): kelompok ini diberi paparan
kebisingan 85-90 dBA dengan intensitas paparan sebesar 8 jam per hari selama 21 hari.
IV.Kelompok paparan III (P3): kelompok ini diberi paparan
kebisingan 85-90 dBA dengan intensitas paparan sebesar 10 jam per hari selama 21 hari.
V. Kelompok paparan IV (P4): kelompok ini diberi paparan
kebisingan 85-90 dBA dengan intensitas paparan sebesar 12 jam per hari selama 21 hari.
3. Analisis Kualitas Spermatozoa
NaCl 0,9 %. Bersuhu 37 - 40 0C, kemudian suspensi yang diperoleh dianalisis di bawah mikroskop. Parameter yang diamati meliputi : a. Motilitas spermatozoa
Satu tetes suspensi ditaruh pada gelas objek lalu ditutup menggunakan gelas penutup. Kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati 100 spermatozoa dalam satu lapang pandang, kemudian diperkirakan perbandingan dalam persen, antara
spermatozoa motilitas maju baik, kurang baik, dan yang tidak baik. Karakteristik penilaian motilitas spermatozoa dilakukan sebagai berikut :
1. Spermatozoa dengan motilitas baik, yaitu bergerak lurus ke depan, lincah, aktif, dan cepat (%).
2. Spermatozoa dengan motilitas kurang baik, yaitu gerak apapun kecuali gerakan spermatozoa dengan motilitas baik (%).
3. Spermatozoa tidak motil (%) (Soehadi dan Arsyad, 1982).
b. Viabilitas spermatozoa
c. Morfologi spermatozoa
Pemeriksaan morfologi spermatozoa dilakukan dengan membuat preparat apus (metode smear). Suspensi sperma kemudian diwarnai dengan Eosin, kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. Pengamatan dilakukan terhadap 100
spermatozoa, kemudian dibandingkan antara spermatozoa normal dengan yang tidak normal. Hasil pengamatan dinyatakan dalam presentase.
d. Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas spermatozoa yaitu motilitas, viabilitas, dan morfologi sel-sel spermatozoa.
4. Analisis Data
Pada penelitian ini data yang diperoleh dari motilitas dan viabilitas spermatozoa akan dianalisis menggunakan ANOVA (analysis of variance) dengan signifikasi 5 %. Apabila terdapat perbedaan akan
E. Diagram Alir
Gambar 6. Diagram alir penelitian Pembuatan Proposal Penelitian
Persiapan Kebisingan dan Sumber Suara
Aklimatisasi mencit selama 7 hari Tahap Persiapan
Pelaksanaan Penelitian Pemberian pajanan kebisingan
dengan intensitas 0,6,8,10,12 jam/hari selama 21 Hari.
Pembedahan dan pembuatan Preparat Sperma
Pengamatan Preparat dengan Mikroskop
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemaparan kebisingan dengan intensitas 85-90 dB terhadap mencit (Mus musculus L.) selama 21 hari mengakibatkan :
1. Penurunan motilitas spermatozoa, yang paling tinggi terjadi pada perlakuan 12 jam/hari (P4) sebesar 4,59 ± 3,92 (4,59%).
2. Penurunan kemampuan viabilitas spermatozoa, yang paling tinggi yaitu terjadi pada perlakuan 12 jam/hari (P4) sebesar 0,51 ± 9,9 (10,51%). 3. Terjadinya abnormalitas pada struktur morfologi normal spermatozoa
mencit (Mus musculus L.).
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anonim c. 2013.[cited 2010 Feb 14]. Available from:
http://wombwithastory.blogspot.com/2010/02/spermmorphologyteratozoosper mia.html
Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal.The Breeding, Care and Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing, Inc., New York.
Babba, J. 2007. Hubungan Antara Intensitas Kebisingan di Lingkungan Kerja Dengan Meningkatan Tekanan Darah. Universitas Diponegoro.Semarang.
Campbell, Reece, dan Miitchell. 2004. Biologi Jilid 3. Penerbit Erlangga.Jakarta. 161. Chanlett, E.T. 1979. Environmental Protectio. Mc Graw-
Hill Book Company. New York.585 pClark and Copagunci.1988. Reproduction. Medical Books. New York.
Clarke and Comfagnucci.1988. Quantitative Analysis of Spermatogenesis of Rat: 111:111-127.
Davis, L. 2009. Morfologi Mencit.
http://io9.com/5417326/mice-with-two-mothers-and-no-father-live-longer. Diakses juni 2012
Doello, K 1993. Akustik Lingkungan. Erlangga. Jakarta.
Indrawati, Y.1988. Beberapa Cara Peningkatan Fertilisasi Manusia Secara in vitro.Medika.XIV (9).pp.827-829.
Ikron, J. 2005. Pengaruh Kebisingan Lalu Lintas Terhadap Psikologi Anak Di Sekolah Dasar Cibinong Jati Negara Jakarta Timur. Jakarta. Departemen Kesehatan Lingkungan. Universitas Indonesia.
Johnson, M., B.Everitt. 1990. Essential in Reproduction. London: Blackwell Science PubOxford.
Joko, N. 1995. Kesehatan Kerja Dan Lingkungan. Kerja Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi Sumatra Utara Medan.
Malole, M. B. M. dan C. S. Pramono.1989.Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor . Bogor.
Mansyur, M. 2003. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan. Erlangga. Jakarta. Matthew, P. 2002. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widia. Jakarta. Menteri Tenaga Kerja. 1999. Nilai Ambang Batas Iklim Kerja dalam Kebisingan
di Tempat Kerja. Edisi 1999/ 2000. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.
Oakberg, E.P. 1956. A Description of Spermatogenesis in the Mouse and Its Use in Analysis of the Cycle of Seminiferous Epithellium and Germ Cell Renewal. Massachuset.American Jurnal of Anatomy.
Patric, C. 1997. Environmental Noise Pollution. John Willey and Sounsnc. Kanada. Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Sumber Widya 149-394. Rugh, R. 1968. The Mouse: Its Reproduction & Development. USA: Burgess
Publishing. Co.
Sasongko, D. 2000. Kebisingan Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
biologi/lecture/human/reproduction htm. 9 Januarai 2013.
Smith, J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press : Jakarta.
Soehadi. K dan K. M. Asyad.1983. Analisis Sperma. Airlangga Universitas press. Surabaya.
Souhoka., D.F., M.J. Matatula., W.M. Mesang-Nalley, dan M.Rizal. 2009. Lakosa Mempertahankn Daya Hidup Spermatozoa Kambing Peranakan Etawah yang Dipreservasi dengan Plasma Semen Domba Priangan. J. Veteriner Unud 10(3):135-142.
Subratha, I.M. 1998. Spermatogenesis, Kontrol Endokrin dan Struktur Spermatozoa. Denpasar.
Supranto, J. 2000. Teknik Sampling Untuk Survei dan Eksperimen. Rineka Cipta. Jakarta.
Toelihere, M.R.1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung. 300 hlm.
Wilson, C.E. 1989. Noise control: measurement, analysis and control of sound and vibration. Harper & Row Publisher, Inc. New York USA.
Workplace Health and Savety (WHS). 1993. Code of Practce For Noise Management At Work. Australia.
Wuryantari dan N. Moeloek.2000.Perkembangan Mutakhir Fisiologi Fungsi Testis dari Organ Sampai Gen. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 50. No. 8. 377-384.
Yatim, W.1994. Reproduksi dan Embriologi. Edisi I. Tarsito. Bandung.
Yurnadi, P. Sari, Pujianto, Soeradi.2001.Pengaruh Penyuntikan Ekstrak Biji Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Keadaan Spermatogenik Tikus Jantan (Rattus norvegicus L.) Strain LMR. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 50 No. 1. 21-25.