• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Sebaran Daun Sang (Johannesteijsmannia spp) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemetaan Sebaran Daun Sang (Johannesteijsmannia spp) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN SEBARAN DAUN SANG

(

Johannesteijsmannia spp

) MENGGUNAKAN APLIKASI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SKRIPSI

SITI HARIANTI MANURUNG 071201002/MANAJEMEN HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMETAAN SEBARAN DAUN SANG

(

Johannesteijsmannia spp

) MENGGUNAKAN APLIKASI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SKRIPSI

SITI HARIANTI MANURUNG 071201002/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

2012

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pemetaan Sebaran Daun Sang (Johannesteijsmannia spp) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis.

Nama : Siti Harianti Manurung

NIM : 071201002

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh:

Komisi Pembimbing

(Siti Latifah, S. Hut, M. Si, Ph. D) (Kansih Sri Hartini, S. Hut, M.P) Ketua Komisi Anggota Komisi

Mengetahui ;

Ketua Program Studi Kehutanan

(Siti Latifah, S.Hut, M. Si, Ph. D) NIP. 1971 0416 2001 122 001

(4)

ABSTRAK

SITI HARIANTI MANURUNG, Pemetaan Sebaran Daun Sang (Johannesteijsmannia spp) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Dibimbing oleh SITI LATIFAH dan KANSIH SRI HARTINI.

Daun Sang merupakan tumbuhan endemik di wilayah Sumatera. Tumbuhan ini hanya dapat ditemukan di dua tempat di Indonesia yaitu di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Taman Nasional Gunung Leuser. Penelitian ini dianggap penting untuk penyelamatan jenis Daun Sang. Analisis spasial dapat memberikan informasi yang penting dan akurat mengenai habitat Daun Sang keterkaitan Daun Sang terhadap komponen habitat tertentu, wilayah-wilayah yang mungkin dapat digunakan sebagai habitat Daun Sang, atau dapat juga untuk menduga populasi Daun Sang di suatu kawasan dan menampilkan informasi mengenai kondisi habitat pada waktu tertentu. Penelitian ini menggunakan metode

Transect Belt untuk pengambilan data dari lapangan dan metode tumpangtindih (overlay) untuk membuat peta sebaran Daun Sang.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan sebaran Daun Sang dan menduga tingkat kesesuaian habitat Daun Sang berdasarkan ketinggian tempat dan kelerengan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Daun Sang tersebar membentuk kelompok dan dominan tumbuh pada lahan yang miring (berlereng). Habitat Daun Sang dengan kesesuaian tinggi untuk tingkat kemiringan lereng (kelerengan) adalah > 45% (sangat curam) dan habitat dengan kesesuaian tinggi untuk tingkat ketinggian tempat adalah 60−110 m dpl.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manyak Payed, Aceh Tamiang pada tanggal 9 Juli

1989, dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis merupakan anak

dari Bapak Abdul Manap Manurung, BA yang bekerja sebagai PNS dan Ibu

Zuraidah Napitupulu sebagai ibu rumah tangga. Penulis memulai pendidikan di

bangku pendidikan sekolah SDN 02 Petang Lubang Buaya, Cakung Jakarta Timur

dan Tamat di SD Negeri 1 Tualang Cut di Aceh Tamiang pada tahun 2001,

kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Manyak Payed, SLTPN

18 MEDAN dan tamat di SLTPN 1 DOLOK MASIHUL, kemudian penulis

melanjutkan pendidikan di MAN DOLOK MASIHUL dan tamat pada tahun

2007. Pada Tahun 2007 penulis diterima di Program Studi Manajemen Hutan

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMDK.

Selama perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi

kepecintaalaman PARINTAL FP-USU (Putra Putri Pecinta Alam dan

Lingkungan) tergabung dalam MAPALASU (Mahasiswa Pecinta Alam Sumatera

Utara) dan merupakan anggota HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva).

Penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan

(P3H) pada bulan Juni tahun 2009 di Hutan Mangrove Pulau Sembilan dan Aras

Napal Kec. Pangkalan Susu, Kab. Langkat. Penulis melakukan Praktik Kerja

Lapangan (PKL) Unit III Jawa Barat dan Banten di KPH Cianjur pada tanggal 25

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian berjudul “Pemetaan Sebaran Daun Sang (Johannesteijsmannia Spp)

Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis”. Penyusunan hasil penelitian

ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi

Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D dan Kansih Sri Hartini, S.Hut, MP selaku ketua

dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan, bimbingan dan

masukan dalam pembuatan laporan hasil penelitian ini. Penulis juga

menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang tua, teman-teman dan

pihak-pihak serta instansi terkait yang telah membantu dalam penyusunan laporan hasil

penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna.

Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak yang

membutuhkan.

Medan, Juli 2012

(7)

DAFTAR ISI

Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan Daun Sang ... 7

Peraturan Perundangan Tanaman Endemik ... 8

Taman Nasional Gunung Leuser ... 9

Kawasan Sekundur ... 10

Pemetaan dalam Perencanaan Hutan ... 11

Sistem Informasi Geografis ... 12

Perangkat Lunak SIG ... 15

Input Data ke Sistem Informasi Geografis ... 26

Penggabungan Data Sebaran dengan Peta ... 27

Analisis Data ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Habitat Daun Sang di Kawasan Sekundur ... 30

(8)

Sekundur Kecil ... 34

Sekundur Besar ... 35

Kemiringan lereng ... 35

Sebaran Daun Sang berdasarkan Kemiringan Lereng ... 36

Penutupan Lahan ... 37

Pemetaan Sebaran Daun Sang ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 44

Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Kondisi Aksebilitas (jalan) di Sekundur…. ……….……….. 18

2. Kawasan Bekas Perambahan ……….……….……… 18

3. Peta Lokasi Penelitian ……….……… 23

4. Jalur (Transek)…….….……….……….. 26

5. Bagan Alur Pengolahan Data Spasial……….………. 29

6. Jenis Daun Sang……….……….………. 30

7. Morfologi Daun Sang……….……… 31

8. Kegiatan Pengukuran Kemiringan Lereng di Lapangan. …………..……. 36

9. Kawasan Sekundur Besar yang Ditumbuhi Pakis-pakisan …………..….. 39

10. Sebaran Daun Sang di Sekundur Kecil ……..…….………...……… 41

11. Sebaran Daun di Sekundur Besar.……..……….……… 42

12. Peta Sebaran Daun Sang di Hutan Sekundur ……….……... 43

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Data Sekunder ……….... 24

2. Klasifikasi Kelas Lereng………. 26

(11)

ABSTRAK

SITI HARIANTI MANURUNG, Pemetaan Sebaran Daun Sang (Johannesteijsmannia spp) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Dibimbing oleh SITI LATIFAH dan KANSIH SRI HARTINI.

Daun Sang merupakan tumbuhan endemik di wilayah Sumatera. Tumbuhan ini hanya dapat ditemukan di dua tempat di Indonesia yaitu di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Taman Nasional Gunung Leuser. Penelitian ini dianggap penting untuk penyelamatan jenis Daun Sang. Analisis spasial dapat memberikan informasi yang penting dan akurat mengenai habitat Daun Sang keterkaitan Daun Sang terhadap komponen habitat tertentu, wilayah-wilayah yang mungkin dapat digunakan sebagai habitat Daun Sang, atau dapat juga untuk menduga populasi Daun Sang di suatu kawasan dan menampilkan informasi mengenai kondisi habitat pada waktu tertentu. Penelitian ini menggunakan metode

Transect Belt untuk pengambilan data dari lapangan dan metode tumpangtindih (overlay) untuk membuat peta sebaran Daun Sang.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan sebaran Daun Sang dan menduga tingkat kesesuaian habitat Daun Sang berdasarkan ketinggian tempat dan kelerengan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Daun Sang tersebar membentuk kelompok dan dominan tumbuh pada lahan yang miring (berlereng). Habitat Daun Sang dengan kesesuaian tinggi untuk tingkat kemiringan lereng (kelerengan) adalah > 45% (sangat curam) dan habitat dengan kesesuaian tinggi untuk tingkat ketinggian tempat adalah 60−110 m dpl.

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman tumbuhan

yang sangat tinggi, diperkirakan tumbuhan tingginya (phanerogamae) saja mencapai 25.000-30.000 jenis. Kekayaan ini bertambah lagi dengan masuknya

jenis-jenis dari manca negara. Namun demikian, keberadaannya di alam tidaklah

selalu terjamin, mengingat ada beberapa faktor luar yang turut menentukan

kelangsungan hidup suatu jenis. Misalnya adanya gangguan yang menyebabkan

terjadinya perubahan lingkungan hutan seperti pembukaan hutan untuk

daerah perladangan, pertanian, industri, pemukiman, jalan dan sebagainya

mengakibatkan berkurangnya jenis-jenis tumbuhan tertentu. Beberapa jenis

mungkin telah hilang sebelum diketahui nama dan potensinya. Untuk

menghindari terjadinya kepunahan suatu jenis maka diperlukan usaha-usaha

konservasi (Mogea dan Witono, 2001).

Salo (Johannesteijsmannia altifrons) atau disebut juga “Daun Sang” merupakan tumbuhan endemik di wilayah Sumatera. Tumbuhan ini hanya dapat

ditemukan di dua tempat di Indonesia yaitu di Taman Nasional Bukit Tigapuluh

dan Taman Nasional Gunung Leuser. Salo termasuk jenis tumbuhan yang

dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 dan merupakan jenis yang

belum banyak diketahui potensinya. Pemanfaatannya sejauh ini digunakan oleh

penduduk sekitar kawasan hutan sebagai material dinding dan atap pondok di

(13)

Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu lokasi dimana masih

tersisa hutan alam yang masih asli di Pulau Sumatera. Keberadaan area tersebut

dengan statusnya sebagai taman nasional telah mendukung kehidupan berbagai

spesies hewan dan tumbuhan, beberapa diantaranya merupakan spesies-spesies

langka. Caniago (2009) menambahkan bahwa Taman Nasional Gunung Leuser

merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika

dataran rendah sampai pegunungan. Sebagian besar kawasan ini didominir oleh

ekosistem hutan Dipterocarpaceae dengan flora langka dan endemik (khas)

Rafflesia atjehensis dan Johannesteijsmannia altifrons (pohon payung raksasa) dan Rizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar, langka dan dilindungi dengan diamater 1,5 meter. Taman Nasional Gunung Leuser juga kaya akan jenis

fauna dan diperkirakan ada sekitar 89 jenis satwa yang tergolong langka dan

dilindungi ada di sini di samping jenis satwa lainnya.

Meskipun TNGL telah memiliki status sebagai Kawasan Taman Nasional

(berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.276/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei

1997 ), gangguan dan tekanan yang dialami oleh Taman Nasional Gunung Leuser

diduga akan menurunkan kualitas habitat Daun Sang dan selanjutnya akan

berakibat pada semakin kritisnya populasi Daun Sang khususnya di Kawasan

Sekundur. Saat ini Taman Nasional Gunung Leuser mengalami banyak gangguan

seperti adanya illegal logging (penebangan liar), perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan pemukiman, perburuan liar, dsb. Semua gangguan

tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap

(14)

menuntut kondisi hutan yang baik dan memiliki kriteria tertentu untuk hidup dan

berkembang.

Analisis spasial dapat memberikan informasi yang penting dan akurat

mengenai habitat Daun Sang. Dengan melakukan analisis spasial akan diketahui

keterkaitan Daun Sang terhadap komponen habitat tertentu, wilayah-wilayah yang

mungkin dapat digunakan sebagai habitat Daun Sang, atau dapat juga untuk

menduga populasi Daun Sang di suatu kawasan dan menampilkan informasi

mengenai kondisi habitat pada waktu tertentu.

Selama ini belum banyak Informasi dan penelitian mengenai sebaran Daun

Sang dan keberadaanya di alam, sehingga diperlukan penelitian untuk menduga

tingkat kesesuaian habitat berdasarkan ketinggian tempat dan kelerengan serta

memetakan sebaran Daun Sang pada kawasan hutan Sekundur dengan aplikasi

Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil penelitian diharapkan menjadi sumber

informasi untuk penyelamatan jenis Daun Sang.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah belum banyak

informasi dan penelitian terkait dengan Daun Sang sehingga ekosistem dan

keberadaanya di alam menjadi dianggap tidak penting bagi kehidupan. Untuk itu,

perlu dilakukan upaya pelestarian keberadaan Daun Sang yang dapat

diidentifikasikan permasalahan dengan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana penyebaran Daun Sang berdasarkan faktor ketinggian tempat

dan kelerengan pada Kawasan Sekundur?

2. Bagaimana tingkat kesesuaian habitat Daun Sang berdasarkan faktor

(15)

Tujuan Penelitian

Secara lebih spesifik tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Memetakan sebaran Daun Sang pada Kawasan Sekundur (TNGL)

menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG).

2. Menduga tingkat kesesuaian habitat Daun Sang berdasarkan ketinggian

tempat dan kemiringan lereng (kelerengan) pada Kawasan Sekundur.

Hipotesis Penelitian

Diduga terdapat pengaruh faktor ketinggian tempat dan fakor kelerengan

terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan Daun Sang yang optimal.

Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat sebagai :

1. Sumber informasi data pendukung mengenai keberadaan spesies Daun

Sang yang digunakan dalam upaya konservasi terhadap Daun Sang

(Johannesteijsmannia spp).

2. Dapat digunakan sebagai acuan pada pengambilan keputusan dalam

perencanaan serta implementasi pengelolaan habitat Daun Sang pada

ekosistem hutan alam.

3. Sebagai satu salah sumber informasi dalam pengembangan potensi Daun

Sang untuk dibudidayakan di tempat dengan kesesuaian lahan dan

ekologis tinggi.

4. Sebagai bahan pertimbangan instansi dan pihak terkait untuk lebih

memperhatikan dan melakukan upaya konservasi Daun Sang di kawasan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Daun Sang

Daun Sang adalah termasuk keluarga Palmae, yang memiliki daun tunggal

ukuran besar mencapai 3 meter panjang dan lebar 1 meter. Karena ukuran dan

daunnya yang kuat, masyarakat setempat dahulu memanfaatkan untuk atap rumah.

Jenis ini termasuk tumbuhan yang tidak tahan kena sinar matahari langsung, lebih

sering hidup dibawah naungan pepohonan. Hidup berkelompok membentuk

rumpun namun penyebarannya sangat terbatas. Perkembangan jenis ini lebih

banyak berasal dari dari anakan dari pada bijinya yang tertutup oleh kulit tebal

yang berbentuk bulat dan bergigi (Dephut, 2011).

Johannesteijsmannia altifrons adalah jenis palem dengan nama lokal yaitu “Daun Payung” dan disebut “Daun Sang”. Ciri-ciri vegetatif yaitu mempunyai

daun yang sangat lebar dan panjang, tingginya mencapai 6 meter, diameter pada

pangkal mencapai 5- 12 cm, daunnya lebar berbentuk belah ketupat, daun agak

tebal, tumbuh tunggal. Buahnya berbentuk tandan, berwarna coklat, berwarna

hijau tua dan muda, permukaan kulit buah kasar, dan buah sangat keras apabila

telah matang, tetapi daun bergelombang, pelepah daun tidak berduri, tetapi tepi

pelepahnya ditumbuhi duri-duri (Siregar, 2011).

Seorang ahli ekologi hutan tropis Whitmore (1972) mengungkapkan

dalam bukunya yang berjudul “Palm of Malaya” bahwa hanya ada satu jenis saja

dari marga Johannesteijsmannia di dunia yaitu, Johannesteijsmannia altifrons

saja. Pada tahun yang sama John Dransfield, seorang ahli botani dari Inggris

(17)

dibedakan berdasarkan karakter morfologinya yaitu Johannesteijsmannia parekensis yang hanya tumbuh di hutan tropis perak, Malaysia, dan J. magnifica, serta Johannesteijsmannia lanceolata yang tersebar di Selanggor dan Negeri Sembilan, Malaysia sedangkan Daun Sang Johannesteijsmannia altifrons

penyebarannya lebih luas lagi di Semananjung Malaya, Serawak Barat dan

Sumatera (Taman Nasional Gunung Leuser) (Priatna, 2001).

Salo ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di

punggung bukit. Tingkat kemiringan lereng bukit yang menjadi lokasi tempat

tumbuhnya Daun Sang memiliki kemiringan ≥ 45%. Tinggi Salo pada saat

kegiatan inventarisasi di lapangan memiliki ketinggian yang bervariasi yaitu

antara 2 − 3,5 meter dari permukaan tanah. Salo memiliki karakteristik daun yang

ukurannya panjang dan lebar serta kuat, karena daunnya tidak mudah robek, hal

inilah yang menjadikan Salo banyak dimanfaatkan sebagai material bangunan

bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Hasil pengukuran yang

dilakukan terhadap beberapa individu Salo yang mewakili, diperoleh data

ukuran panjang daun Salo antara 180–257 cm dengan lebar daun 56 – 98 cm

(Indriani dkk., 2009).

Salo (Johannesteijsmannia altifrons) adalah salah satu jenis Palem langka di Sumatera, biasanya terjadi sangat lokal pada populasi kecil. habitat

mikro Palem ini memiliki karakteristik sebagai berikut: Salo telah ditemukan pada

ketinggian 85−175 mdpl dan sebagian besar didistribusikan pada ketinggian

≥110 mdpl dan tersebar pada lereng yang sangat curam dengan kemiringan

>60% , pada jenis tanah Latosol atau tanah Paleudult dengan konsentrasi agak

(18)

cahaya 13-19 lux, suhu udara 27 C, dan kelembaban relatif udara 84%

(Qomar dkk., 2005).

Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan Daun Sang

Pemanfaatan Daun Sang oleh masyarakat Dusun Aras Napal secara

simultan dipengaruhi oleh umur, pendidikan, pendapatan, persepsi, keikutsertaan

dalam penyuluhan, pemahaman status Daun Sang, mata pencaharian dan lama

bermukim, secara individual pemanfaatan Daun Sang dipengaruhi oleh variabel

pendapatan, keikutsertaan dalam penyuluhan dan pemahaman masyarakat

terhadap status Daun Sang. Pemahaman masyarakat terhadap status Daun Sang

dapat mempengaruhi kegiatan pemanfaatan Daun Sang bahwa semakin rendahnya

pengetahuan masyarakat terhadap status Daun Sang, maka akan semakin besar

kemungkinan dan peluang masyarakat tetap mengambil serta memanfaatkan Daun

Sang, dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap peraturan

perundangan mengenai tanaman langka dan dilindungi (Yuniati, 2011).

Pemanfaatan Daun Sang yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Aras

Napal sejauh ini hanya memanfaatkan sebatas daunnya saja. Untuk membangun

rumah yang beratapkan Daun Sang dengan ukuran rumah 6 x7 meter diperlukan

2100 lembar Daun Sang. Selain digunakan untuk atap dan dinding rumah,

biasanya Daun Sang digunakan untuk kandang ternak, kamar mandi, dan gubuk di

lading. Masyarakat yang lebih banyak memanfaatkan Daun Sang sebagai bahan

kontruksi bangunan adalah Masyarakat Dusun Aras Napal Kiri yaitu sebanyak 6

rumah dan masyarakat Dusun Aras Napal Kanan hanya 2 rumah saja. Jenis Daun

(19)

karena lebih awet dan jumlahnya lebih banyak serta mudah ditemui di sekitar

Kawasan Hutan Sekundur daripada Daun Sang Gajah (Yuniati, 2011).

Karena ukuran dan daunnya yang kuat, masyarakat di Desa Aras Napal

dekat hutan Sekundur memanfaatkan untuk atap dan dinding rumah. Biasanya

daun yang dipakai masih hijau dan belum kering agar mudah dibentuk. Untuk

dinding rumah, daun disusun melebar. Rumah atau gubuk yang terbuat dari Daun

Sang biasanya bertahan hingga 5- 10 tahun, tergantung ketebalan susunan atap

dan dindingnya (YLI, 2009).

Peraturan Perundangan

Kebijakan pemerintah yang terkait dengan upaya perlindungan tumbuhan

endemik dan langka yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang:

pengawetan jenis tumbuhan dan satwa pada pasal 5 ayat 1 (a, b dan c) dan

pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya pada pasal 8 ayat 1-4.

Pasal 5 ayat 1 (a, b dan c) berbunyi bahwa “Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib

ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:

a. mempunyai populasi yang kecil

b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam

c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

Kemudian pada pasal 6 bahwa suatu jenis tumbuhan dan satwa yang

dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya

telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan

tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud

(20)

Pasal 8 ayat 1 s.d ayat 4 berbunyi bahwa :

1. Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan

pengelolaan di dalam habitatnya (in situ).

2. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk

menambah dan memulihkan populasi.

3. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ)

dilakukan dalam bentuk kegiatan :

1. Identifikasi:

2. Inventarisasi;

3. Pemantauan;

4. Pembinaan habitat dan populasinya;

5. Penyelamatan jenis;

6. Pengkajian, penelitian dan pengembangan.

4. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex- situ)

dilakukan dalam bentuk kegiatan :

1. Pemeliharaan;

2. Pengembangbiakan;

3. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;

4. Rehabilitasi satwa;

5. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.

Taman Nasional Gunung Leuser

Cagar Biosfer Gunung Leuser mempunyai keanekaragaman jenis yang

(21)

Dipterocarpaceae sampai hutan pegunungan tinggi. Tidak kurang dari 3.200 jenis tumbuhan telah teridentifikasi diantaranya adalah suku Dipterocarpaceae. Banyak jenis dari Dipterocarpaceae yang berpotensi untuk bahan industri, kerajinan, obat dan kosmetik. Jenis tumbuhan langka yang terdapat di area inti ini adalah

Johannesteijsmannia altifrons dan 3 jenis bunga Rafflesia yaitu Rafflesia arnoldi, R. micropylora, R. rocbussenii dari 15 jenis yang ada di dunia (Mogea, 2004).

Kawasan hutan Aras Napal termasuk dalam kawasan Taman Nasional

Gunung Leuser (TNGL), Seksi Besitang dan Resort Sei Betung. Kawasan hutan

di Aras Napal termasuk pada tipe hutan dataran rendah dengan ketinggian antara

75-100 mdpl. Topografi kawasan umumnya dataran landai hingga perbukitan

yang landai hingga curam. Iklim di kawasan ini sangat basah tanpa bulan kering.

Di kawasan TNGL Aras Napal dijumpai hutan primer dengan keanekaragaman

hayati yang sangat tinggi baik flora maupun fauna. Di hutan tropis ini hidup

spesies satwa langka yaitu Orang Utan (Pongo pigmeus), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan beberapa satwa yang masuk ke dalam kategori satwa dilindungi seperti Kedih (Presbytis thomasi) dan Rangkong (Buheros rhinoceros). Terdapat beberapa spesies flora Endemik yang hanya ditemukan di hutan Sekundur dekat dengan Aras Napal yakni Daun Sang

(Johannesteijsmania altifrons) (Thoha, 2009).

Kawasan Sekundur

Hutan Dataran rendah Sekundur adalah bekas HPH milik PT. Raja Garuda

Mas pada tahun 1970, sehingga permukaan tanah telah mengalami perubahan

(22)

sedangkan kedalaman yang tertinggi terdapat pada areal lembah. Daerah bekas

jalan logging sampai sekarang masih ditumbuhi oleh pakis jenis Resam, pada areal bekas jalan logging sama sekali tidak ditemukan tumbuhnya jenis Palem, bekas jalan logging kedalaman serasahnya sangat tipis (1 cm). Kawasan Sekundur masuk ke dalam hutan dataran rendah dengan ketinggian antara 30-100 m dpl.

Kawasan Sekundur memiliki pH tanah 3, 67-5, 24 dan kemiringan lapangan

0% (datar) - 75% (sangat curam). Hampir semua jenis Palem ditemukan disetiap

kelerengan, pH tanah dan kedalaman serasah yang berbeda (Siregar, 2011).

Pemetaan dalam Perencanaan Hutan

Sebagian besar pembangunan di Indonesia selama ini mengandalkan

sumber daya hayati, yang sangat bergantung pada keberadaan, potensi dan

kelestarian keanekaragaman hayati. Dengan demikian keanekaragaman hayati

adalah aset bagi pembangunan dan kemakmuran bangsa. Untuk mewujudkan

potensi tersebut diperlukan strategi dan rencana aksi pengelolaan keanekaragaman

hayati yang komprehensif, efektif dan partisipatif (IBSAP, 2003).

Perencanaan merupakan bagian penting dari siklus manajemen kualitas

perencanaan, sangat ditentukan oleh kualitas data dan informasi, serta terkait

dengan isu-isu strategis apa saja yang akan dimasukkan ke dalam salah satu

tolak ukur kegiatan dalam perencanaan tersebut. Apabila isu-isu strategis

tersebut belum dapat didokumentasi dan dianalisis maka sebenarnya banyak

kegiatan yang kurang jelas, sehingga sebenarnya kurang atau tidak bermanfaat

(Balai TNGL, 2006).

Untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi hutan dan

(23)

dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan,

pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penyusunan rencana kehutanan dan

pengembangan sistem informasi. Guna mewujudkan keberadaan kawasan hutan

dalam luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional ditempuh melalui proses

penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan

hutan, penetapan kawasan hutan (Dephut, 2006).

Sistem Informasi Geografis

Secara harfiah, SIG dapat diartikan sebagai : ”suatu komponen yang terdiri

dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia

yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki,

memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan

menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis”. Informasi spasial

memakai lokasi dalam suatu sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya.

Karenany*a SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data

pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya

memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi,

kondisi, trend, pola, dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG

dari sistem informasi lainnya (CIFOR, 2011).

Sistem Informasi Geografis (SIG) pada dasarnya adalah sistem informasi

berbasis komputer dengan memakai data digital berujuk apada lokasi geografis di

muka bumi, dan di banyak Negara dinamakan dengan istilah Goe-informatika

yang kemudian disingkat menjadi Geomatika, yang menggambarkan informasi

kebumian yang diproses dengan komputer. Kanada pula yang mencetuskan

(24)

kini oleh International Standards Organization (ISO) dibakukan sebagai profesi yang terkait dengan pengumpulan, pemrosesan penyimpanan, penyebaran, analisis

dan presentasi data spasial atau informasi geografis. Di Indonesia pada saat ini,

Sistem Informasi Geografis (baik perangkat lunak, perangkat keras, maupun

aplikasi-aplikasinya) telah dikenal sebagai secara luas sebagai alat bantu untuk

(proses) pengambilan keputusan (Prahasta, 2002).

Sistem informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem atau teknologi

berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan,

menyimpan, mengolah dan menganalisa, serta menyajikan data dan informasi

dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya

di permukaan bumi. Pada dasarnya SIG dapat dirinci menjadi beberapa subsistem

yang saling berkaitan yang mencakup input data, manajemen data pemrosesan

atau analisis data, pelaporan (output) dan hasil analisa (Ekadinata dkk., 2008).

Data Geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu

data spasial dan data atribut. Data spasial merepresentasikan posisi atau lokasi

geografis dari suatu obyek di permukaan bumi, sedangkan data atribut

memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu objek. Data atribut dapat berupa

informasi numerik, foto, narasi, dan lain sebagainya, yang diperoleh dari data

statistik, pengukuran lapangan dan sensus, dan lain-lain. Data spasial dapat

diperoleh dari berbagai sumber dalam berbagai format. Sumber data spasial antara

lain mencakup: data grafis peta analog, foto udara, citra satelit, survey lapangan,

pengukuran theodolit, pengukuran dengan menggunakan Global Positioning

(25)

Sub sistem input terdiri atas data spasial dan data non spasial, dimana data

spasial berupa data koordinat XY dalam bentuk titik (point), garis (line), area (polygon). Sub sistem pemrosesan data terdiri dari overlay (tumpang susun peta), pengkaitan data atribut ke dalam data grafis, interpolasi, transformasi, pembuatan

peta jarak, dan lain-lain. Pada sub sistem output data berupa hasil cetak warna,

peta digital, data tabular (P3TISDA BPPT, 2002).

Kebutuhan informasi yang cepat, tepat dan layak sangat dibutuhkan untuk

pengambilan keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi

Geografi (SIG) merupakan teknologi informasi spasial yang menghasilkan data

digital yang dapat memberikan informasi mengenai karakteristik dari suatu

wilayah, serta mengilustrasikan potensi kerusakan lahan yang dapat digunakan

sebagai penunjang dalam pengelolaan sumber daya lahan secara berkelanjutan

(Wiroseodarmo, 2007).

Penginderaan jauh tidak pernah lepas dari Sistem Informasi Geografis

(SIG). Data-data spasial hasil penginderaan jauh merupakan salah satu data

dasar yang dipergunakan dalam analisis Sistem Informasi Geografis. Dalam

perkembangannya data-data SIG juga berguna dalam pengolahan data

penginderaan jauh. Integrasi antara data spasial dan data atribut dalam suatu

sistem terkomputerisasi yang bereferensi geografi merupakan keunggulan SIG.

Pengelolaan data penginderaan jauh dengan memanfaatkan SIG diharapkan

mampu memberikan informasi secara cepat dan tepat sehingga dapat segera

digunakan untuk keperluan analisis dan manipulasi (As-Syakur, 2009).

Sebagai suatu perangkat analisis ruang, SIG dilengkapi dengan

(26)

standar yang dimiliki perangkat lunak SIG adalah analisis query untuk memilah objek menurut kriteria tertentu, analisis pertampalan (overlay) untuk mengetahui daerah yang diliput oleh dua karakteristik dari tema yang berbeda, analisis

sebaran/distribusi dari suatu objek untuk mengetahui variasi pola dan jumlah

atribut terhadap ruang, analisis aliran didalam suatu jaringan untuk menganalisis

pola aliran dan analisis tiga dimensi. Dengan kemampuan tersebut, sehingga SIG

sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai bidang kegiatan yang

menyangkut analisis objek geografis. Banyak studi telah dilakukan baik oleh

perguruan tinggi maupun lembaga riset untuk menguji kemampuan SIG

diberbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, dan pengembangan wilayah

menggambarkan aplikasi SIG pada tahap eksperimental (Prabawasari, 2003).

Data yang diperoleh dari teknologi PJ yang dicek di lapangan digunakan

sebagai masukan bagi Sistem Informasi Geografis (SIG) selanjutnya diproses dan

dianalisa sehingga diperoleh peta ketinggian tempat, topografi dan kemiringan

lereng. SIG sangat diperlukan un tuk membantu keterbatasan dana, waktu dan

tenaga kerja namun diperoleh akurasi tinggi secara mudah, cepat dan murah setiap

waktu (Harjadi dkk., 2007).

Perangkat Lunak SIG

Arc View merupakan salah satu perangkat lunak desktop Sistem Informasi

Geografis dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI. Dengan Arc View,

pengguna dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi,

(27)

Arc View memiliki tampilan yang lebih menarik, inetraktif, memiliki

tingkat kemudahan yang tinggi hingga lebih terkenal dan sering digunakan pada

dewasa ini. Pada saat ini Arc View telah dikembangkan lebih lanjut hingga

mencapai bidang-bidang yang sebelumnya tidak terbayangkan. Pengembangan

Arc View lanjut ini banyak disediakan dalam bentuk modul-modul tambahan atau

extension untuk kebutuhan-kebutuhan aplikasi-aplikasi khusus. Modul-modul

tersebut diantaranya adalah 3D Analyst, Image Analyst, Business Analyst dan

Network Analyst (Prahasta, 2002).

Salah satu kelebihan Arc View adalah berhubungan dan bekerja dengan

bantuan extensions. Extensions (dalam konteks perangkat lunak Arc View) merupakan suatu perangkat lunak yang bersifat “plug in” dan dapat diaktifkan ketika penggunanya memerlukan kemampuan fungsionalitas tambahan

(Prahasta , 2004)

Dalam perangkat lunak Arc View, model 3 dimensi ini disediakan dalam

bentuk modul tambahan (extension) yaitu 3D Analyst yang memiliki kemampuan-kemampuan dalam membuat kontur 3 dimensi, menintegrasikan data dari

perangkat lunak sistem CAD, melakukan analisis statistik 3 dimensi, membuat

model permukaan 3 dimensi dari data-data atribut, melakukan permodelan

unsur-unsur permukaan bumi sebenarnya seperti bangunan, sungai, lembah, gunung, dan

sebagainya, melakukan overlay tampilan 3 dimensi dengan peta tematik atau citra tertentu (Prahasta, 2002).

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan posisi geografis letak Kawasan Sekundur yang menjadi lokasi

(28)

Daerah penelitian Kawasan Sekundur memiliki topografi datar (0 - 10 %) sampai

sangat curam (≥ 40%).

Kawasan Sekundur memiliki luas 79.500 ha dan merupakan salah satu

wilayah gabungan Resort Sei Betung. Resort Sei Betung berada di Kabupaten

Langkat, Kecamatan Besitang. Desa-desa yang berdampingan dengan resort

tersebut adalah Desa Halaban, Desa Bukit Selamat dan desa Bukit Mas. Besitang

dapat dicapai dari Medan ± 3 jam kearah perbatasan Sumatera Utara dan Aceh,

selanjutnya ke lokasi diperlukan waktu ± 1,5 jam menuju Dusun Aras Napal

(daerah Sekundur) (Dephut, 2011).

Hutan alami TNGL Sei Betung memiliki topografi datar dan berbukit, dan

sebagian terdapat daerah yang curam. Vegetasinya masih alami, tumbuhan khas

hutan tropis banyak dijumpai dalam kawasan ini khususnya suku

Dipterocarpaceae. Begitu juga dengan keanekaragaman hayatinya juga masih dapat terlihat, tegakan dengan diameter 1-2 meter juga masih dapat dijumpai

(Dephut, 2011).

Sungai Sei Betung mengalir di sisi sebelah utara hutan alami ini dan

menjadi batas alam yang tidak bisa dipindahkan. Sementara untuk tapal batas

dapat dilihat TN 62 di bagian Selatan yang langsung berbatasan dengan jalan

perkebunan PT. Rapala. Pada bagian sebelah Barat hutan alami ini kita

dapat melihat kondisi TNGL yang rusak yang ditumbuhi oleh Alang-alang

(Imperata cilindrica), dan tumbuhan perdu sejenis Senggani, Marak Batu dan sebahagian lagi ditutupi oleh tumbuhan merambat yang biasa disebut oleh

(29)

(a) (b)

Gambar 1. (a) Kondisi jalan setapak melewati sungai kecil (b) Kondisi jalan melewati lembah Sekundur

Di dalam kawasan hutan Sei Betung juga masih tersisa beberapa batang

kayu berukuran besar yang mulai membusuk/terdekomposisi dan melapuk sisa

akibat dari pengerusakan yang dilakukan oleh PT. Raja Garuda Mas (RGM) 30

tahun silam. Di dalam kawasan ini juga masih tersisa bekas jalan untuk

pengangkutan kayu yang kini telah ditumbuhi oleh tumbuhan Paku Kawat

(Pakis-pakisan) (OIC, 2010).

Gambar 2. Kawasan bekas perambahan yang ditumbuhi Pakis-pakisan

Berbagai tekanan yang mengancam TNGL dan kelestariannya seperti :

(30)

atau fungsi kawasan lainnya, konflik dengan masyarakat serta perburuan satwa

liar pada kawasan TNGL merupakan bentuk ancaman utama yang terjadi. Hal

tersebut terjadi dilatarbelakangi oleh berbagai alasan seperti faktor ekonomi,

lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta kebijakan-kebijakan yang

mengabaikan fungsi TNGL (OIC, 2010).

Pada tahun 1998, penertiban perkebunan kelapa sawit yang berada di

dalam kawasan hutan TNGL yang diklaim oleh PT. Rapala dan PT. Putri Hijau

diperkarakan sampai ke pengadilan. Perkara tersebut dimenangkan oleh pihak

BBTNGL dengan keputusan Pengadilan Negeri Langkat. Kedua perusahaan

tersebut diminta untuk mengembalikan kawasan tersebut kepada pihak TNGL.

Penumbangan Kelapa Sawit tersebut mulai dilakukan pada tahun 2006. Lokasi

yang dilakukan penumbangan-penumbangan tersebut berubah menjadi lahan kritis

tanpa ditutupi oleh vegetasi (OIC, 2010).

Aksebilitas (Jalan)

Secara administratif, Aras Napal terletak di Desa Bukit Mas Kecamatan

Besitang. Daerah yang terletak sekitar 126 Km dari Medan ini memiliki luas

daerah 242 ha, untuk menuju Aras Napal melewati perkebunan kelapa sawit

dengan kondisi jalan kurang baik karena sebahagian sudah di aspal dan jalan

yang terputus karena harus melewati Sungai Panti Buaya dengan menggunakan

getek atau rakit dan kondisi jalan selanjutnya cukup buruk karena badan jalan

masih tanah liat, bahkan pada musin penghujan sulit dilalui. Dusun ini terletak

pada ketinggian tempat 38 mdpl (OIC,2010).

Jalan yang terdapat di Aras Napal, dusun yang dilalui menuju Hutan

(31)

setapak. Jalan dengan perkerasan batuan (lebar jalan ±2 m) merupakan daerah

yang cukup terbuka dan biasanya digunakan untuk sarana transportasi kendaraan

menuju ke dalam Taman Nasional. Sedangkan jalan setapak digunakan oleh

manusia dengan berjalan kaki untuk mencapai lokasi-lokasi tertentu di dalam

kawasan, seperti jembatan kanopi, plot-plot penelitian, pengamatan terhadap flora

dan fauna, wisata alam, dan sebagainya (OIC, 2010).

Topografi

Kawasan Sekundur berada pada ketinggian 40-100 mdpl. Kondisi

topografi Kawasan Sekundur sangat bervariasi mulai datar hingga sangat curam

( ≥40% ). Namun, sebagian besar kelerengan Kawasan Sekundur adalah curam

hingga sangat curam (lebih dari ≥ 25 %).

Flora dan Fauna

Taman Nasional Gunung Leuser, memiliki penyebaran vegetasi hutan

yang komplit mulai dari vegetasi hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan

dataran tinggi dan pegunungan. Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora

(Dephut, 2011).

Beberapa jenis flora yang ditemukan di Sekundur diantaranya adalah jenis

Damar, Meranti Merah, Meranti Batu, Kruing, Bayur Batu, Bayur Biasa,

Cempedak Hutan, Cengal Batu, Cengal Kuning, Damar Durian, Damar Kriting,

Damar Laut, Geseng Batu, Geseng tanduk, Kerodak, Mayang Batu, Mayang

Merah, Meranti Bunga, Meranti Gembung, Meranti Kulit Buaya, Meranti Kuning,

Meranti Pasir, Pete, Redas, Tampu Besi, Tampu licin, Tampu Tapak Kuda, dan

(32)

Daun Sang merupakan salah satu jenis endemik yang terdapat di

Sekundur. Daun Sang termasuk dalam keluarga Palem (Arecaceae). Daun Sang

memiliki ukuran raksasa yang ukuran daunnya mencapai 3 meter panjang dan

lebar 1 meter. Hidup dengan baik di bawah naungan pepohonan dan mempunyai

karakteristik tempat tumbuh tertentu untuk tumbuh dan berkembang secara

optimal (Dephut, 2011).

Di kawasan ini juga kaya akan jenis Palem (Arecaceae). Berdasarkan

penelitian yang pernah dilakukan oleh Edy Batara Mulya pada tahun 2005

terdapat 31 spesies dari 12 Genus jenis Palem di Kawasan Sekundur.

Di dalam Kawasan Sekundur banyak terdapat jenis Mamalia

seperti Siamang (Hylobates syndactilus), Kera (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi) dan banyak terdapat jejak-jejak satwa lainnya seperti Gajah (Elephas maximus) dan Babi Hutan (Dephut, 2011).

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan

Kawasan pemukiman yang berbatasan langsung dengan hutan Sekundur

adalah Dusun Aras Napal Desa Bukit Mas. Akses jalan setapak untuk masuk ke

dalam Hutan Sekundur yang mudah, dapat dilalui melewati Dusun Aras Napal

tersebut. Secara umum masyarakat Dusun Aras Napal merupakan masyarakat

pendatang yang berasal dari luar daerah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya

beraneka suku yang mendiami dusun tersebut. Dusun Aras Napal Kiri mayoritas

dihuni oleh etnis Jawa, selain itu terdapat juga etnis Batak Toba, Batak Karo dan

Melayu. Sedangkan Dusun Aras Napal Kanan mayoritas dihuni oleh etnis Batak

(33)

dari yang tidak bersekolah, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Sebagian

besar masyarakat Aras Napal berprofesi sebagai petani. Kebun masyarakat

ditanami dengan tanaman kakao, sawit dan tanaman semusim yaitu jagung, padi

yang mendominasi lahan dusun yang berdekatan dengan hutan. Beberapa

diantaranya yang mempunyai pekerjaan sampingan seperti berjualan dan beternak.

Jumlah populasi di Dusun Aras Napal terdiri dari 120 kepala keluarga, yaitu untuk

Dusun Aras Napal Kanan terdiri dari 59 KK dan Dusun Aras Napal Kiri terdiri

dari 60 KK. Pada Desa Bukit Mas terdapat objek wisata yang bernama “Sikundur

(34)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Oktober - Februari 2012 dan

lokasi penelitian adalah Kawasan Hutan Sekundur di TNGL (Taman Nasional

Gunung Leuser) pada Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : peta kawasan SPTN

VI resort Sei Betung, peta kawasan TNGL, peta sungai Sei Betung, peta Kontur

(35)

aplikasi Arc View 3.3, Global Positioning System (GPS), Clinometer, kamera digital, kompas, pita ukur, tali rafia, dan alat tulis.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa :

1. Data Primer

Data primer merupakan data dikumpulkan langsung di lapangan. Data ini

diperoleh dengan mengambil titik sampel uji lapangan (ground check) yang akan digunakan untuk titik sebaran Daun Sang.

Data-data yang diambil adalah:

a. Koordinat Daun Sang : sebaran Daun Sang dengan menggunakan GPS

b. Ketinggian Tempat : pengukuran ketinggian tempat diukur dengan

menggunakan GPS.

c. Kemiringan lereng : pengukuran kemiringan lereng dengan

menggunakan Clinometer. 2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang telah ada sebelumnya, yaitu data yang

dikeluarkan oleh instansi terkait, berupa hasil penelitian sebelumnya maupun

literatur pendukung lainnya. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian

disajikan pada Tabel 1. 4. Peta Tutupan Lahan Dinas Kehutanan Prov. SUMUT 1: 100.000

(36)

Teknik Pengambilan Data

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode

Purposive Sampling berdasarkan terdapatnya Daun Sang pada kawasan Sekundur. Menurut Fauzi (2009) Purposive Sampling adalah yang dipilih secara cermat dengan mengambil orang atau objek penelitian yang selektif dan mempunyai

ciri-ciri spesifik.

Untuk menentukan sebaran populasi Daun Sang dan pengamatannya

dilakukan dengan metode jalur (transek), yang penempatannya pada berbagai

ketinggian yaitu metode Belt transect. Metode ini biasa digunakan untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang luas dan belum diketahui keadaan

sebelumnya. Cara ini juga paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan

vegetasi menurut keadaan tanah, topograpi, danelevasi. Transek dibuat memotong

garis-garis topografi, dari tepi laut kepedalaman, memotong sungai atau menaiki

dan menuruni lereng pegunungan. Lebar transek yang umum digunakan adalah

10-20 meter, dengan jarak antar transek pada intensitas yang dikehendaki. Pada

penelitian ini Jalur (transek) yang dibuat mempunyai lebar berukuran 20 m (10

meter kanan-kiri) dan dengan panjang jalur 9000 meter dan Sekundur Kecil 5000

meter.

Pengambilan data sebaran Daun Sang diambil dengan metode sensus,

dimana seluruh individu dalam transek diambil secara keseluruhan. Pada kawasan

lebih dari 10 meter kanan-kiri jalur, titik sebaran Daun Sang tidak diambil

(Gambar 13). Penempatan jalur adalah pada daerah dimana terdapat Daun Sang.

Populasi yang diidentifikasi bersifat homogen yaitu hanya mengidentifikasi

(37)

di kawasan penelitian. Penelusuran diarahkan ke daerah-daerah yang telah

diketahui keberadaan Daun Sang kemudian, dibuat jalur. Jalur untuk pengambilan

koordinat Daun Sang yang diambil seperti yang diilustrasikan pada Gambar 5.

10 m ke kanan

10 m ke kiri

Gambar 4. Ilustrasi Jalur (Transek) pengamatan

Pengklasifikasian kemiringan lapangan (kelerengan) sebaran Daun Sang

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Kelas Lereng

Kelas Lereng Kelerengan (%) Kategori

1

Sumber : SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980

Prosedur Penelitian

Input data ke Sistem Informasi Geografis (SIG)

Pada tahap input data didalam SIG merupakan tahap awal yang

menyangkut semua aspek yang diperlukan dalam hal transfer dari semua jenis

peta dan data hasil pengamatan di lapangan berupa titik koordinat sebaran Daun

Sang.

Terdapat tiga file utama yang harus ada untuk dapat dibaca oleh perangkat

lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) tersebut, yaitu:

(38)

b. File berekstensi .shx c. File berekstensi .dbf

File dengan ekstensi . shp (shapefile) merupakan file yang menyimpan fitur-fitur geometri seperti titik, garis dan polygon. File yang berekstensi file .shx

adalah file yang menyimpan informasi indeks dari suatu fitur geografi dan file

berekstensi .dbf (dbase file) adalah file yang menyimpan informasi basis data dari setiap fitur geografi. Ketika satu file ditampilkan dalam perangkat lunak tersebut, informasi basis data akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

Penggabungan Data Sebaran Titik Daun Sang dengan Peta

Data sebaran titik koordinat dalam bentuk koordinat dalam penelitian ini

diolah dengan menggunakan sistem informasi geografis dengan perangkat lunak

Arc View 3.3 dengan beberapa tahapan yaitu (Nuarsa, 2005) :

1. Data titik dalam bentuk koordinat sang ditabulasi sesuai dengan tanggal, bulan dan tahun dengan Spreadsheet Microsoft Excel

2. Data sebaran sang disimpan dalam bentuk file berekstensi dbf (dbase file)

3. Data dalam bentuk dbf dibuka dalam Arc View dengan menggunakan

toolbar view pada perangkat tersebut dengan menggunakan Add Event Theme

4. Data yang telah dimasukkan dalam menu tersebut kemudian degabungkan dengan informasi yang telah ada dengan menggunakan Extention GeoProcessing Wizard Spasial Join pada sistem yang telah ada.

(39)

melalui teknik tumpangtindih (overlay) antara seri titik koordinat dan track sehingga diperoleh sebaran tanaman pada suatu daerah.

Adapun prosedur detail pembuatan peta sebaran :

1. Data yang diambil dari lapangan yang tersimpan di GPS kemudian diolah

dengan menggunakan perangkat computer.

2. Data dimasukkan dalam bentuk Microsoft Excel.

3. Diblok kemudian data disimpan dalam bentuk Dbf (hanya terdapat pada

Microsoft 2003).

4. Setelah selesai melakukan input data GPS tadi, langkah selanjutnya yang

kita lakukan adalah merubah format file dbf menjadi data berbentuk shp

(shapefile), caranya adalah dengan memilih theme kemudian pilih convert to shapefile. Untuk mengubah data dari GPS (dengan merek Garmin) ke dalam bentuk shp secara singkat, dapat menggunakan aplikasi program Garmin, yang hanya mendownload data yang diperlukan baik dalam

bentuk waypoint ataupun track, kemudian data tersebut disimpan dalam bentuk shp.

4. Dibuka program Arc View 3.3, maka akan muncul tampilan pembuka

kemudian klik Cancel.

5. Pada jendela Untitled, pilih Views. Pada tampilan, pilih Add Theme dan buka peta dan data yang akan dioverlaykan.

6. Kemudian penggabungan Attribute peta Sekundur dan titik sebaran

(40)

Analisis Data

Pengolahan data spasial dilakukan dengan menggunakan software

Arc View 3.3. Bagan alur proses pengelolaan data spasial disajikan pada

Gambar 6.

Gambar 5. Bagan alur pengolahan data spasial Overlay

Titik koordinat sebaran Daun Sang

Peta sebaran Daun Sang File (Excel)

File (dbf)

File (shp)

1. Peta Kawasan 2. Peta Kelerengan 3. Peta Sungai 4. Peta Tutupan

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik Habitat Daun Sang di Kawasan Sekundur

Daun Sang yang ditemukan berukuran raksasa dengan panjang daun

sekitar 2−2,5 m dengan diameter daun mencapai 80-90 cm dengan jumlah tangkai

pada satu individu ada sekitar 10-14 tangkai daun. Pada tangkai daun terdapat

duri-duri dan bentuk daun yang berbentuk berlian pada ujung daunnya.

(a) (b) Gambar 6. (a) Daun Sang Gajah, (b) Daun Sang Minyak

Perbedaan antara Daun Sang Minyak dengan Daun Sang Gajah adalah

ukuran Daun Sang Gajah lebih raksasa dibandingkan dengan Daun Sang Minyak

dan bentuk Daun Sang Gajah yang berbentuk lanset sedangkan Daun Sang

Minyak berbentuk seperti berlian pada ujung daunnya.

Daun Sang yang sedang berbunga dan berbuah sangat sulit ditemukan.

Namun, di Kawasan Sekundur Besar ditemukan Daun Sang yang sedang berbunga

dan berbuah. Buah Daun Sang yang ditemukan adalah buah yang sudah kering,

bentuknya bulat dan bergerigi pada kulitnya dan telah berbiji. Buah yang

(42)

Bunga Daun Sang menempel pada tandan. Daun Sang berbunga tersebut telah

menjadi bakal buah yang ukurannya cukup kecil (Gambar 7).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7. (a) mayang Daun Sang, (b) bakal buah, (c) buah Daun Sang, (d) bentuk batang Daun Sang Minyak.

Menurut Dephut (2011) Perkembangan jenis ini lebih banyak berasal dari

dari anakan dari pada bijinya yang tertutup oleh kulit tebal yang berbentuk bulat

dan bergigi. Berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar hutan, hal tersebut

disebabkan Daun Sang memiliki musim atau waktu tertentu untuk berbunga dan

berbuah. Penyebaran Daun Sang secara alamiah dilakukan oleh hewan-hewan

pemencar biji seperti Gajah, Tupai, Monyet, dan sejenisnya. Hewan-pewan

pemakan buah dan biji mempengaruhi terhadap keberadaan dan kepunahan Daun

Sang. Hewan pemakan biji ada yang memakan habis biji seperti Tikus Hutan dan

(43)

sejenisnya sehingga secara alamiah hewan tersebut memencarkan biji.

Berdasarkan pengamatan Priatna (2001), secara umum Daun Sang tergolong jenis

Palem yang pertumbuhannya lambat, Johanneteijsmannia altifrons biasa berbunga pada bulan Januari. Pada umumnya biji atau buahnya berukuran cukup

besar (diameter 4-6 cm).

Sebaran Daun Sang berdasarkan Ketinggian Tempat

Menurut Dewi dkk. (2007) menjelaskan bahwa ketinggian tempat (elevasi)

merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies

tumbuhan dan satwa. Ketinggian di wilayah TNGL sangat bervariasi berkisar

antara 0-3.381 mdpl. Penentuan kriteria kesesuaian bagi ketinggian tempat

didasarkan pada hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan GPS

(Global Positioning System). Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh, kawasan Sekundur memiliki ketinggian tempat berkisar pada ketinggian 20-110

mdpl. Ketinggian tempat Daun Sang dapat dilihat pada peta (Gambar 12) dan

lebih detail dapat dilihat pada Tabel 3 yang menyajikan sebaran Daun Sang

dengan 4 (empat) klasifikasi ketinggian tempat.

Tabel 3. Jenis dan jumlah Daun Sang (Johannesteijsmannia spp.) yang ditemukan dengan berbagai ketinggian

No. Ketinggian

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa Daun Sang paling banyak

(44)

yaitu Daun Sang Gajah (Johannesteijsmannia lanceolata) dan Daun Sang Minyak (Johannesteijsmannia altifrons). Namun, berdasarkan informasi masyarakat Dusun Aras Napal, mereka mengenal 2 (dua) jenis Daun Sang yaitu Daun Sang

Minyak dan Daun Sang Gajah. Sampai saat ini belum ada riset yang menjelaskan

mengenai taksonomi Daun Sang, sehingga sampai saat ini jenis yang dikenal

hanya Johannesteijsmannia altifrons saja.

Pada topografi dengan ketinggian tempat 20−40 mdpl, Daun Sang

ditemukan sebanyak ditemukan berjumlah 1 titik (0,22%) di Sekundur Kecil dan

2 titik (0,63%) pada Sekundur Besar. Pada topografi dengan ketinggian tempat

40−60 mdpl, Daun Sang ditemukan sebanyak ditemukan berjumlah 145 titik

(31,38%) di Sekundur Kecil dan 25 titik (7,89%) pada Sekundur Besar. Pada

topografi dengan ketinggian tempat 60−110 mdpl, Daun Sang ditemukan

sebanyak ditemukan berjumlah 316 titik (68,4%) di Sekundur Kecil dan 290 titik

(91,48%) pada Sekundur Besar dari keseluruhan jumlah Daun Sang.

Berdasarkan pengamatan semakin tinggi suatu ketinggian tempat di

Sekundur, maka semakin banyak Daun Sang yang ditemukan di kawasan

tersebut namun, ketingggian tempat di Sekundur Kecil hanya mencapai 90 mdpl

sedangkan di Sekundur Besar mencapai ketinggian 110 mdpl. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Qomar dkk. (2005) yang menyatakan bahwa Salo

(Johannesteijsmannia altifrons) telah ditemukan pada ketinggian 85-175 mdpl dan sebagian besar didistribusikan pada ketinggian ≥ 110 mdpl dan tersebar pada

lereng yang sangat curam dengan kemiringan > 60%.

Berdasarkan uraian di atas, maka kriteria kesesuaian bagi ketinggian

(45)

• Ketinggian < 40 m dpl : kesesuaian rendah

• Ketinggian 40 – 60 m dpl : kesesuaian sedang

• Ketinggian 60 − 110 m dpl : kesesuaian tinggi

Sekundur Kecil

Jalur transek yang dibuat pada Kawasan Sekundur Kecil sepanjang 5000

meter. Jalur yang dibuat memiliki lebar 20 m (10 meter ke kanan dan 10 meter ke

kiri). Daun Sang yang ditemukan hampir sepanjang jalur dan penyebarannya

cukup rapat (Gambar 10). Sepanjang jalur di Sekundur Kecil, melewati punggung

bukit, lembah dan sungai. Hal ini juga dapat dilihat pada peta (Gambar 12)

dimana jalur track pada Sekundur Kecil melewati Sungai Sei Betung.

Sepanjang transek, ketinggian punggungan yang paling tinggi pada

Sekundur Kecil adalah 90 mdpl dan yang paling rendah adalah 40 mdpl. Pada

panjang jalur ± 200 m, mulai tampak Daun Sang pada jalur. Daun Sang

membentuk kelompok dimana jarak antar satu Daun Sang dengan yang lain

berdekatan dengan jarak antar Daun Sang minimal 1 m dan ditemukan pada

lahan yang miring. Daun Sang yang ditemukan juga berukuran raksasa dan belum

berbuah dan belum berbunga.

Pada kawasan ini sangat banyak ditemukan Daun Sang. Daun Sang yang

ditemukan tidak pernah terdapat di lahan yang datar, semua Daun Sang yang

ditemukan terdapat pada lahan yang miring (lereng bukit) yang cukup curam.

Daun Sang pada kawasan hutan Sekundur Kecil diperoleh sebanyak 462 titik,

hampir seluruhnya adalah Daun Sang Minyak. Daun Sang ke-1 hingga ke-462

ditemukan dengan kondisi atau lingkungan yang hampir sama yaitu terdapat pada

(46)

Sekundur Besar

Jalur Transek pada Sekundur Besar sepanjang 9000 meter. Lebar jalur

adalah 20 meter, dimana data sebaran yang diambil adalah pertengahan jalur

dengan 10 m ke kanan, dan 10 m ke kiri. Lebih dari 10 m ke kanan dan ke kiri,

data sebaran Daun Sang tidak diambil. Hal tersebut sama dengan metode yang

dilakukan di Sekundur Kecil.

Jalur transek yang dibuat pada Kawasan Sekundur Besar sepanjang 9000

meter. Jalur yang dibuat memiliki lebar 20 m (10 meter ke kanan dan 10 meter ke

kiri). Daun Sang yang ditemukan hampir sepanjang jalur dan penyebarannya

cukup rapat (Gambar 11). Sepanjang jalur di Sekundur Besar, melewati punggung

bukit, lembah dan sungai. Hal ini juga dapat dilihat pada peta (Gambar 12)

dimana jalur track pada Sekundur Besar melewati Sungai dan punggung bukit.

Sepanjang transek, ketinggian tempat yang paling tinggi pada Sekundur Besar

adalah 110 mdpl dan yang paling rendah adalah 40 mdpl. Daun Sang ditemukan

setelah ± 600 m dari batas pinggiran memasuki Kawasan Sekundur. Daun Sang

membentuk kelompok dimana jarak antar satu Daun Sang dengan yang lain

berdekatan dengan jarak antar Daun Sang minimal 1 m dan ditemukan pada lahan

yang miring (Gambar 11).

Daun Sang yang ditemukan juga berukuran raksasa dan ada yang belum

berbuah dan belum berbunga, namun ada juga Daun Sang yang sedang berbunga

dan berbuah. Kondisi Daun Sang yang di temukan pada kawasan ini, hampir sama

dengan kondisi Daun Sang yang ditemukan di Sekundur Kecil yaitu seluruh Daun

Sang ditemukan terdapat pada lahan yang miring. Daun Sang yang ditemukan

(47)

terdapat pada lahan yang miring (lereng bukit) yang cukup curam. Daun Sang

pada kawasan hutan Sekundur Besar diperoleh sebanyak 317 titik, hampir

seluruhnya adalah Daun Sang Minyak. Daun Sang ke-1 hingga ke-317 ditemukan

dengan kondisi atau lingkungan yang hampir sama yaitu terdapat pada lahan

miring yang curam dan membentuk kelompok.

Kemiringan Lereng

Diseluruh wilayah Resort Sei Betung, kemiringan lereng sangat bervariasi.

Hasil klasifikasi dan identifikasi peta kelerengan resort Sei Betung menunjukkan

bahwa kawasan Sekundur memiliki kelerengan ≥ 45 % yaitu sangat curam.

Sebaran Daun Sang berdasarkan Kemiringan Lereng

Pengambilan data Sebaran Daun Sang berdasarkan kelerengan

menggunakan alat Clinometer yang berfungsi mengukur kemiringan lereng. Alat diarahkan pada daerah dimana terdapat Daun Sang kemudian diamati persentase

dari kemiringan lereng tersebut (lihat Gambar 7).

(a) (b)

Gambar 8. (a) Pengukuran lemiringan lahan di lapangan, (b) kondisi Daun Sang tumbuh di lahan miring.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa Daun Sang

(48)

(lereng bukit) yang curam hingga sangat curam dengan rata-rata kemiringan

lereng ≥ 45% dan berkelompok (Gambar 13). Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan Indriani dkk. (2009) melaporkan berdasarkan hasil penelitiannya di

Taman Nasional Bukit Tigapuluh, diketahui bahwa individu Daun Sang (Salo)

ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di punggung bukit.

Daun Sang tidak ditemukan di kelerengan datar (0−8%). Daun Sang

ditemukan pada kelerengan landai (8−15%), sedang (15−25%), curam

(25%−45%) dan sangat curam (≥45%). Pada kelerengan “Landai” dan “Sedang”

(kelerengan ≤ 15%) Daun Sang dapat ditemukan, namun hanya beberapa saja.

Pada kawasan dengan kelerengan curam Daun Sang jarang ditemukan dan pada

kelerengan sangat curam Daun Sang banyak ditemukan. Qomar dkk. (2005)

menambahkan bahwa Salo (Johannesteijsmannia altifrons) telah ditemukan dan tersebar pada lereng yang sangat curam dengan kemiringan > 60%.

Berdasarkan hal tersebut, maka kriteria kesesuaian untuk tingkat

kemiringan lereng adalah sebagai berikut:

• Kelerengan > 45 % : kesesuaian tinggi

• Kelerengan 15 – 45 % : kesesuaian sedang

• Kelerengan 0 – 15 % : kesesuaian rendah

Penutupan Lahan

Hasil klasifikasi peta tutupan lahan Taman Nasional Gunung Leuser pada

tahun 2009 menunjukkan bahwa kawasan hutan Sekundur terdapat 3 jenis

penutupan lahan yaitu belukar, hutan sekunder dan sungai. Daun Sang yang

ditemukan di Sekundur, tumbuh di bawah naungan beberapa jenis pohon,

(49)

Batu, Bayur Biasa, Cempedak Hutan, Cengal Batu, Cengal Kuning, Damar

Durian, Damar Kriting, Damar Laut, Geseng Batu, Geseng Tanduk, Kerodak,

Mayang Batu, Mayang Merah, Meranti Bunga, Meranti Gembung, Meranti Kulit

Buaya, Meranti Kuning, Meranti Pasir, Pete, Redas, Tampu Besi, Tampu Licin,

Tampu Tapak Kuda, dan Tempinis. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan

pernyataan Yuniati (2011) yang menyatakan bahwa pada Resort Sei Betung Hutan

Sekundur Taman Nasional Gunung Leuser, ditemui Daun Sang hidup di bawah

naungan pohon Damar (Shorea multiflora), Meranti Batu (Shorea dasyphylla) dan Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq).

Pada kawasan Sekundur Kecil, sebahagian besar penutupan lahannya

adalah hutan sekunder (Gambar 12). Kerapatan vegetasinya cukup rendah dan

sebahagian besar naungan pepohonan adalah terdiri dari jenis Damar, Pada

kawasan Sekundur Besar, sebahagian besar penutupan lahannya (Gambar 12)

adalah belukar, namun pada kawasan lainnya selain belukar kawasannya

bervegetasi cukup rapat. Banyak anakan, pancang, tiang dari jenis-jenis damar

yang ada di kawasan tersebut dan sebahagian kecil adalah tegakan pohon pada

kawasan tersebut. Jenis-jenis daripada vegetasi yang dominan di Sekundur besar

adalah jenis Damar (Shorea multiflora), dan jenis Meranti seperti : Meranti Batu (Shorea dasyphylla) dan Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq), dsb.

Pada kawasan Sekundur Besar yang arealnya adalah belukar dari jenis

pakis-pakisan, sama sekali tidak ditemukan Daun Sang pada areal tersebut. Pada

areal ini jarang sekali terdapat naungan dan kawasan ini cukup terbuka karena

cahaya matahari menerpa langsung. Hal tersebut sangat mempengaruhi

(50)

secara optimal di bawah naungan. Dalam Dephut (2011) dijelaskan bahwa Daun

Sang adalah termasuk tumbuhan yang tidak tahan kena sinar matahari langsung

dan lebih sering hidup dibawah naungan pepohonan. Hidup berkelompok dan

penyebarannya sangat terbatas.

Gambar 9. Kawasan Sekundur Besar yang ditumbuhi pakis-pakisan

Pemetaan Sebaran Daun Sang

Untuk memetakan sebaran Daun Sang membutuhkan informasi-informasi

dalam bentuk data spasial yang memakai lokasi dengan letak koordinat dari Daun

Sang tersebut, yang kemudian data tersebut diolah dengan menggunakan aplikasi

SIG (Sistem Informasi Geografis) dengan perangkat lunak Arc View. Menurut

CIFOR (2011) menyatakan bahwa informasi spasial memakai lokasi dalam suatu

sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya. Karenanya SIG mempunyai

kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di

bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya.

Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi, kondisi, trend, pola,

dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi

(51)

sebaran (Gambar 12 ) dapat diketahui bagaimana pola sebaran tumbuhan tersebut

dan pada ketinggian berapa terdapat Daun Sang.

Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa kelerengan lokasi penelitian yaitu

sangat curam. Sebagian besar wilayahnya memiliki tingkat kemiringan adalah

≥ 45% dilihat dari keterangan kelerengan pada gambar 12 yang merupakan hasil

dari gabungan (overlay) peta-peta seperti peta kawasan resort Sei Betung, peta

tutupan lahan, peta kelerengan, peta sungai dan peta kontur yang di-overlay. Pada

pengambilan data di lapangan, kelerengan pada Sekundur bervariasi yaitu

kelerengan pada kawasan tersebut memiliki kategori landai, sedang, curam dan

sangat curam. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, memang sebagian besar

wilayahnya memiliki tingkat kemiringan adalah ≥ 45%. Hal ini didukung oleh

data sekunder (peta kelerengan) yang ada. Pada wilayah yang curam dan sangat

(52)
(53)
(54)
(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Jenis Daun Sang yang dominan ditemukan di Sekundur adalah Daun Sang

Minyak (Johannesteijsmannia altifrons).

2. Daun Sang dominan ditemukan pada lahan yang miring (berlereng).

3. Daun Sang tersebar cenderung membentuk kelompok.

4. Habitat dengan kesesuaian tinggi untuk tingkat kemiringan lereng

(kelerengan) di hutan Sekundur adalah > 45% (sangat curam).

5. Habitat dengan kesesuaian tinggi untuk tingkat ketinggian tempat di hutan

Sekundur adalah 60−110 m dpl.

Saran

Penelitian ini dapat menjadi salah satu informasi untuk mendukung

pengembangan potensi lebih lanjut Daun Sang di Kawasan Sekundur, TNGL.

Sehingga, perlu juga adanya penelitian lanjutan yang menganalisis tentang potensi

Daun Sang untuk dibudidayakan di tempat dengan kesesuaian lahan dan ekologis

(56)

DAFTAR PUSTAKA

ARCBC [ ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation ]. 2003. Asea Biodiversity. www. arcbc.org. (20 juni 2011)

As-Syakur, A.R dan I.W. S. Adnyana. 2009. Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra Alos Avnir-2 dan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Evaluasi Tata Ruang Dempasar. Jurnal Bumi Lestari 9 (1):1-11.

As-Syakur, A. R, I. W Suwarna, I. W Rusna, I. Nyoman Dibia. 2010. Pemetaan Kesesuaian Iklim Tanaman Pakan serta Kerentanannnya Terhadap Perubahan Iklim dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Provinsi Bali. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana. Denpasar.

Choong, K. K. 2007. Folded Shell Structures Inspired from the Leaves of Johannesteijsmannia altifrons. School of Civil Engineering, Universiti Sains Malaysia. Malaysia.

CIFOR. 2011. Pengolahan Data Geospasial (10 juni 2011). Dephut. 2011. Identitas Flora dan Fauna( 3 Mei 2011).

Dewi, H. Lilik Budi Prasetyo Dan Dones R. 2006. Pemetaan Kesesuaian Habitat Owa Jawa (Hylobates Moloch Audebert 1797) Di Taman Nasional Gunung Halimun. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Fauzi, M. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif. Walisongo Press. Semarang.

Harsono. 2000. Kehutanan Masyarakat. Penerbit P3KM IPB. Bogor

IBSP [ Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan]. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. BAPPENAS.

Indriani, Y. Cory, M. Panji, A. F. dan Eka S. 2009. Inventarisasi dan Analisis Habitat Tumbuhan Langka Salo (Johannesteijsmannia altifrons) di Dusun Metah, Resort Lahai Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Provinsi Riau-Jambi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gambar

Gambar 2. Kawasan bekas perambahan yang ditumbuhi Pakis-pakisan
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1. Data Sekunder
Tabel 2. Klasifikasi Kelas Lereng
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran secara spasial SPBU di wilayah Kabupaten Kudus memiliki pola menyebar ( Dispersed ) di setiap Kecamatan Kabupaten Kudus,

Arc View merupakan software pengolah data spasial yang memiliki berbagai keunggulan yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan pengolah data spasial. Untuk memulai

Data faktor-faktor yang berhubungan dengan mineralisasi logam dasar yang tersedia meliputi geologi, anomali bouguer dan geokimia disusun dalam basis data spasial, begitu pula

Konektivitas spasial dalam bentuk koridor ekonomi mengarahkan pada keterkaitan antar wilayah dalam proses pembangunan, sehingga hasil-hasil pembangunan dan juga disparitas yang

Berdasarkan hasil analisis spasial untuk menentukan tingkat kesesuain lahan untuk pengembangan pelabuhan yang terdapat wilayah pesisir Selatan Kabupaten Lombok Timur

Mengimplemetasikan sebuah aplikasi sistem informasi geografis berbasis web yang mampu menyajikan data spasial berupa peta dan data non spasial mengenai penderita

Skripsi yang berjudul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (bos javanicus d’alton 1832) Di Taman Nasional Ujung Kulon (Studi kasus

Jangkauian radiuis peilayanan didapatkan dari hasil buiffeir yaitui jika wilayah teirseibuit deikat deingan puisat peirbeilanjaan dan radiuis peilayanannya meimeinuihi wilayah