HUBUNGAN DETERMINAN YANG MEMENGARUHI PERILAKU PEKERJA LAS KARBIT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG
DIRI (APD) UNTUK MENCEGAH TRAUMA MATA DI KECAMATAN MEDAN KOTA PEMERINTAHAN KOTA MEDAN
TAHUN 2013
TESIS
Oleh SABRINA 117032153/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE CORRELATION OF DETERMINANTS WHICH INFLUENCE THE BEHAVIOR OF WELDING SHOP EMPLOYEES IN USING PERSONAL
PROTECTION DEVICE (APD) TO AVOID EYE TRAUMA IN MEDAN KOTA SUBDISTRICT, MEDAN, IN 2013
THESIS
By SABRINA 117032153/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
HUBUNGAN DETERMINAN YANG MEMENGARUHI PERILAKU PEKERJA LAS KARBIT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG
DIRI (APD) UNTUK MENCEGAH TRAUMA MATA DI KECAMATAN MEDAN KOTA PEMERINTAHAN KOTA MEDAN
TAHUN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh SABRINA 117032153/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Telah Diuji
pada Tanggal : 21 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.S
PERNYATAAN
HUBUNGAN DETERMINAN YANG MEMENGARUHI PERILAKU PEKERJA LAS KARBIT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG
DIRI (APD) UNTUK MENCEGAH TRAUMA MATA DI KECAMATAN MEDAN KOTA PEMERINTAHAN KOTA MEDAN
TAHUN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2013
ABSTRAK
Untuk menanggulangi kebutaan, Kemenkes telah mengembangkan strategi-strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes RI, nomor 1473/MENKES/SK/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK) untuk mencapai Vision 2020.
Beberapa pekerjaan tertentu, misalnya pekerja las tanpa memakai alat pelindung diri, dapat mengakibatkan kekeruhan pada lensa. Demikian pula sesorang yang sering terpajan sinar infra merah maupun sinar ultra violet matahari, karena terpajan sinar matahari tanpa alat pelindung, berpotensi menimbulkan kekeruhan pada lensa mata.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan dianalisis secara statistik menggunakan uji chi square dan uji Regresi Logistik berganda pada α =5%.
Hasil penelitian menunjukkan faktor yang ada hubungan bermakna dengan penggunaan kaca mata pelindung adalah pengetahuan (p=0,0001) dan perilaku pemilik bengkel las (p=0,0001), sedangkan faktor yang tidak ada hubungan bermakna dengan penggunaan kaca mata pelindung adalah sikap (p=0,928) dan tersedianya kaca mata pelindung (p=0,574).
Disarankan kepada pihak pemilik bengkel las : (1) harus menyediakan kaca mata pelindung dan memberikan penjelasan kepada pekerja tentang pentingnya penggunaan kaca mata pelindung guna untuk mencegah trauma pada mata. (2) harus melakukan pemantauan, memberikan peringatan dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan kaca mata pelindung pada saat bekerja agar pekerja terhindar dari kecelakaan kerja khususnya trauma pada mata.
ABSTRACT
In order to cope with blindness, the Ministry of Health has developed the strategies which are stipulated in Kepmenkes RI No. 1473/MENKES/SK/2005 on the National Strategic Planning for Handling Eye Trauma and Blindness (Renstranas PGPK) to achieve Vision 2000.
Some people work at specific jobs, such as welding employees without personal protection devices, can be affected by lens turbidity. The same is true to a person who is frequently exposed to infrared light and to ultra-violet sunlight without any protection device; he will potentially concave at his eye-lens.
The objective of the research was to analyze the correlation between the determinants which influenced the welding workers’ behavior in using personal protection device and (APD) in Medan Kota Subdistrict, Medan. The data were gathered by distributing questionnaires and analyzed statistically by using chi square test and multiple logistic regression tests at α – 5%.
The result of the research showed that there was the correlation between the use of goggles and knowledge (p=0.000), while some factors which did not have any correlation with the use of goggles were attitude (p=0.928), the availability oof goggles (p=0.574), and the behavior of the owners of welding shops (p=0.201).
It is recommended that 1) the owners of the welding shops should give the sanction imposed on their employees who do not wear goggles in order that they will be avoided from work accident, especially from trauma in eyes, and 2) the management of hiperkes should monitor and provide counseling about the use of personal protection device.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Hubungan Determinan yang Memengaruhi Perilaku Pekerja Las Karbit dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk Mencegah Trauma Mata di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013”.
Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan
akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Universitas Sumatera
Utara.
Penulis dalam menyusun tesis ini, menyadari begitu banyak mendapat
dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini
dapat diselesaikan.
Dengan ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes dan Bapak Drs. Eddy Syahrial, M.S selaku
komisi pembimbing dengan sabar dan tulus serta banyak memberikan perhatian,
dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.
5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K
selaku komisi penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan
kesempurnaan tesis ini.
6. Seluruh Dosen Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Program Studi
S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, semoga ilmu dan
pengetahuan yang diberikan selama penulis belajar menjadi amal ibadah dan
mendapat Rahmat dari Allah SWT.
7. Drs. Hasan Basri, M.M Selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan yang telah memberi izin untuk melakukan penelitian di Wilayah Pemerintah Kota Medan. 8. Bapak M. Indra Mulia NST, S.Sos, M.Si selaku Camat Medan Maimun yang telah
memberikan izin untuk melakukan uji kuesioner di Kecamatan Medan Maimun Pemerintah Kota Medan.
9. Bapak Parlindungan, S.Sos selaku Camat Medan Kota yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kecamatan Medan Kota Pemerintah Kota Medan.
Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda Muhammad
Yakub Siregar dan Ibunda tersayang Sunita atas segala jasanya sehingga penulis
mendapatkan pendidikan terbaik.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Agustus 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Sabrina, lahir pada tanggal 26 Mei 1987 di Sigambal, beragama Islam, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Muhammad Yakub Siregar dan Ibunda Sunita.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Permasalahan ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Hipotesis ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Konsep Perilaku... 9
2.2 Kepatuhan ... 27
2.3 Konsep Dasar Alat Pelindung Diri ... 29
2.4 Pekerja Las Karbit Beresiko Trauma Mata ... 33
2.5 Konsep Dasar Trauma Mata ... 34
2.6 Landasan Teori ... 42
2.7 Kerangka Konsep ... 43
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 44
3.1 Jenis Penelitian ... 44
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44
3.3 Populasi dan Sampel ... 44
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 45
3.5 Variabel dan Defenisi Operasional ... 49
3.6 Metode Pengukuran ... 50
3.7 Metode Analisis Data ... 53
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 54
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 54
4.2 Analisis Univariat ... 57
4.3 Analisis Bivariat ... 59
BAB 5. PEMBAHASAN ... 64
5.1 Hubungan Pengetahuan Pekerja Las dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri ... 64
5.2 Hubungan Sikap Pekerja Las dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri ... 67
5.3 Hubungan Tersedianya Kaca Mata Pelindung Pekerja Las dengan Penggunaan alat pelindung diri ... 68
5.4 Hubungan Perilaku Pemilik Bengkel Las dengan Penggunaan alat Pelindung Diri ... 69
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
6.1 Kesimpulan ... 71
6.2 Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 73
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan ... 47
3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Sikap ... 48
3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Prilaku Pemilik Bengkel Las 49
3.4 Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen ... 51
4.1 Data Kependudukan Kecamatan Medan Kota ... 55
4.2 Data Kependudukan Menurut Kelompok Usia ... 56
4.3 Data Kependudukan Menurut Agama ... 56
4.4 Data Kependudukan Menurut Suku Bangsa ... 56
4.5 Distribusi Faktor Predisposisi Responden di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013 ... 57
4.6 Distribusi Faktor Pendukung Responden di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013 ... 57
4.7 Distribusi Faktor Pendorong Responden di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013 ... 58
4.8 Distribusi Faktor Alat Pelindung Diri Pada Responden di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan Tahun 2013 ... 58
4.9 Hubungan Pengetahuan Pekerja Las dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013 ... 59
4.10 Hubungan Sikap Pekerja Las terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013 ... 60
4.12 Hubungan Prilaku Pemilik Bengkel Las terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013 ... 62
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Surat Izin Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner dari Program Studi S2
IKM USU Medan ... 76
2. Surat Rekomendasi Melakukan Uji Kuesioner dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan ... 77
3. Surat Telah Selesai Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner dari Kecamatan Medan Maimun ... 78
4. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 79
5. Surat Rekomendasi Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan ... 80
6. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian dari Kecamatan Medan Kota ... 81
7. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan ... 82
8. Surat Pernyataan Kesediaan menjadi Responden ... 83
9. Kuesioner Penelitian ... 84
10. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 88
11. Tabel Hasil Penelitian ... 91
12. Master Tabel Penelitian ... 94
13. Analisis Univariat ... 98
14. Analisis Bivariat ... 99
15. Analisis Multivariat ... 103
ABSTRAK
Untuk menanggulangi kebutaan, Kemenkes telah mengembangkan strategi-strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes RI, nomor 1473/MENKES/SK/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK) untuk mencapai Vision 2020.
Beberapa pekerjaan tertentu, misalnya pekerja las tanpa memakai alat pelindung diri, dapat mengakibatkan kekeruhan pada lensa. Demikian pula sesorang yang sering terpajan sinar infra merah maupun sinar ultra violet matahari, karena terpajan sinar matahari tanpa alat pelindung, berpotensi menimbulkan kekeruhan pada lensa mata.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan dianalisis secara statistik menggunakan uji chi square dan uji Regresi Logistik berganda pada α =5%.
Hasil penelitian menunjukkan faktor yang ada hubungan bermakna dengan penggunaan kaca mata pelindung adalah pengetahuan (p=0,0001) dan perilaku pemilik bengkel las (p=0,0001), sedangkan faktor yang tidak ada hubungan bermakna dengan penggunaan kaca mata pelindung adalah sikap (p=0,928) dan tersedianya kaca mata pelindung (p=0,574).
Disarankan kepada pihak pemilik bengkel las : (1) harus menyediakan kaca mata pelindung dan memberikan penjelasan kepada pekerja tentang pentingnya penggunaan kaca mata pelindung guna untuk mencegah trauma pada mata. (2) harus melakukan pemantauan, memberikan peringatan dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan kaca mata pelindung pada saat bekerja agar pekerja terhindar dari kecelakaan kerja khususnya trauma pada mata.
ABSTRACT
In order to cope with blindness, the Ministry of Health has developed the strategies which are stipulated in Kepmenkes RI No. 1473/MENKES/SK/2005 on the National Strategic Planning for Handling Eye Trauma and Blindness (Renstranas PGPK) to achieve Vision 2000.
Some people work at specific jobs, such as welding employees without personal protection devices, can be affected by lens turbidity. The same is true to a person who is frequently exposed to infrared light and to ultra-violet sunlight without any protection device; he will potentially concave at his eye-lens.
The objective of the research was to analyze the correlation between the determinants which influenced the welding workers’ behavior in using personal protection device and (APD) in Medan Kota Subdistrict, Medan. The data were gathered by distributing questionnaires and analyzed statistically by using chi square test and multiple logistic regression tests at α – 5%.
The result of the research showed that there was the correlation between the use of goggles and knowledge (p=0.000), while some factors which did not have any correlation with the use of goggles were attitude (p=0.928), the availability oof goggles (p=0.574), and the behavior of the owners of welding shops (p=0.201).
It is recommended that 1) the owners of the welding shops should give the sanction imposed on their employees who do not wear goggles in order that they will be avoided from work accident, especially from trauma in eyes, and 2) the management of hiperkes should monitor and provide counseling about the use of personal protection device.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat Indonesia adalah
gangguan penglihatan dan kebutaan. Katarak merupakan penyebab utama (50%)
kebutaan di Indonesia. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka prevalensi
gangguan penglihatan dan kebutaan juga akan cenderung semakin meningkat karena
katarak merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada usia lanjut
(Depkes RI, 2012).
Beberapa pekerjaan tertentu, misalnya pekerja las tanpa memakai alat
pelindung diri, dapat mengakibatkan kekeruhan pada lensa. Demikian pula sesorang
yang sering terpajan sinar inframerah maupun sinar ultra violet matahari, karena
terpajan sinar matahari tanpa alat pelindung, berpotensi menimbulkan kekerungan
pada lensa mata. Masih banyak pekerjaan maupun aktivitas sehari-hari yang
memungkinkan sesorang mengalami katarak. Cedera mata mengakibat katarak pada
semua usia. Pukulan keras, tembus, menyayat, panas tinggi serta bahan kimia, dapat
mengakibatkan kekeruhan lensa mata, yang disebut dengan Katarak Traumatik
(Anies, 2006).
Untuk menanggulangi kebutaan, Kemenkes telah mengembangkan
strategi-strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes RI, nomor 1473/MENKES/SK/2005
Kebutaan (Renstranas PGPK) untuk mencapai Vision 2020. Salah satu strategi dalam
Renstranas PGPK adalah penguatan advokasi, komunikasi dan sosialisasi pada semua
sektor untuk upaya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan. Upaya
sosialisasi ini dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan penglihatan. Upaya advokasi
dilaksanakan untuk mendapatkan dukungan dari semua sektor untuk upaya
penanggulangan gangguan penglihatan.
Kegiatan Workshop Kesehatan Indera Penglihatan mengenai “Mata Sehat di
Segala Usia untuk Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Indonesia”, merupakan
kerjasama Kementerian Kesehatan dengan Departemen Mata FKUI/RSCM dan PP
Perdami ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Penglihatan Sedunia
atau World Sight Day (WSD) 2012 yang diperingati setiap hari Kamis minggu kedua
di bulan Oktober setiap tahun. Tahun ini, peringatan WSD 2012 jatuh pada Kamis, 11
Oktober 2012.
WHO tidak menetapkan tema khusus WSD 2012. Masing-masing negara
dibebaskan untuk memilih tema sendiri-sendiri sesuai dengan permasalahan utama
tentang kesehatan mata yang ingin diangkat oleh negara tersebut. Karena itu,
disepakati tema WSD 2012 adalah “Working Together to Eliminate Avoidable
Blindness” (Depkes RI, 2012).
Tujuan diperingatinya WSD 2012 di setiap negara di dunia, diantaranya
untuk: Meningkatkan pengetahuan masyarakat bahwa masalah kebutaan merupakan
gangguan penglihatan dan kebutaan ini dapat dicegah, diobati dan direhabilitasi;
Mengadvokasi para pemangku kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah agar
masalah kebutaan masyarakat mendapat perhatian sehinggga ada alokasi dana untuk
program penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan (Depkes RI, 2012).
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, dr. Ratna Rosita, MPHM
mengatakan, sejak tahun 2000 pemerintah Indonesia bersama-sama WHO telah
mencanangkan Vision 2020, the Right to Sight. Program ini bertujuan menghilangkan
kebutaan pada tahun 2020 sehingga tercapai penglihatan sempurna di masyarakat. Di
Indonesia program ini dikenal sebagai Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan
Kebutaan di masyarakat. Hal ini merupakan hak bagi setiap warga Indonesia untuk
mendapatkan penglihatan optimal. Angka kebutaan dan kesakitan mata masih tinggi
dibandingkan dengan jumlah tenaga profesional yang masih terbatas dan belum
tersebar secara merata. WHO memperkirakan tiap menit terdapat 12 orang menderita
gangguan penglihatan di dunia. Di Indonesia, diperkirakan setiap menit terdapat 1
orang menderita gangguan penglihatan (Depkes RI, 2012).
Tingkat kecelakaan kerja dan berbagai ancaman keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Indonesia masih cukup tinggi. Berbagai kecelakaan kerja masih sering terjadi dalam proses produksi terutama di sektor jasa konstruksi.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan
seluruh pihak harus mulai melakukan upaya dan kerja keras di tahun 2013 agar
penerapan sistem manajemen K3 (SMK3) di setiap jenis kegiatan usaha dan berbagai
kegiatan masyarakat dapat menekan angka kecelakaan kerja.
Klaim pada PT Jamsostek 2010 mencatat telah terjadi 98.711 kasus
kecelakaan kerja. Dari angka tersebut 2.191 orang tenaga kerja meninggal dunia. Dan
menimbulkan cacat permanen sebanyak 6.667 orang.
Hasil penelitian Riyadina (2007) tentang kecelakaan kerja dan cedera yang
dialami oleh pekerja industri di kawasan industri Pulo Gadung Jakarta, diperoleh
hasil kecelakaan kerja sering terjadi pada jenis industri baja yaitu mata kemasukan
benda (gram), industri spare part yaitu tertusuk dan industri garmen yaitu tertusuk.
faktor-faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja pada pekerja industri adalah
pekerja laki-laki, aktifitas kerja sedang, status distres, keluhan nyeri, dan pemakaian
APD. untuk faktor risiko fisik tempat kerja yang berhubungan dengan kejadian
kecelakaan kerja meliputi kebisingan, ruangan terlalu panas, ruang pengapor, bau
menyengat, ruang berdebu dan ruang berasap.
Hasil penelitian Sari (2009) tentang prevalensi kebutaan akibat trauma mata di
Kabupaten Langkat, menunjukkan hasil faktor ketidaktahuan dan kurangnya
pengetahuan tentang kesehatan mata umumnya dan trauma mata pada khususnya
merupakan faktor penyebab tingginya prevalensi kebutaan akibat trauma mata.
Keadaan ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dari
Hasil penelitian Aldy (2009) tentang prevalensi kebutaan akibat trauma mata
di Kabupaten Tapanuli Selatan, didapatkan hasil faktor ketidaktahuan dan kurangnya
pengetahuan tentang kesehatan mata pada umumnya dan trauma mata pada
khususnya merupakan faktor penyebab terjadinya trauma mata. Keadaan ini sebagian
besar disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dari sebagian besar penduduk
setempat. Serta faktor budaya tentang pemeliharaan kesehatan mata dengan cara
melakukan pengobatan secara tradisional pada kasus trauma mata.
Menurut penelitian Saharuddin (2011) tentang ketajaman penglihatan ditinjau
dari penggunaan kacamata pelindung pada operator las bagian LGPK di UPT Balai
Yasa Yogyakarta, menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan yang bermakna antara
yang selalu memakai kacamata pelindung terhadap ketajaman penglihatan.
Sinaga (2013), menyatakan tingkat kecelakaan kerja di Indonesia memang
masih tinggi. Menurut data tahun 2006, terjadi 95.624 kasus atau dalam sehari terjadi
sekitar 398 kecelakaan kerja dan tujuh di antaranya meninggal dunia.
Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Survey Kesehatan Indera tahun 1993 – 1996 menunjukkan 1,5% penduduk
Indonesia mengalami kebutaan disebabkan oleh katarak (52%), glaukoma (13,4%),
kelainan refraksi (9,5%), gangguan retina (8,5%), kelainan kornea (8,4%) dan
penyakit mata lain (Purwadianto, 2010).
Indonesia telah mencanangkan tentang pekerja informal diikutsetrakan dalam
keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mulai efektif berlaku
mendapat PBI (Penerimaan Bantuan Iuran) dari pemerintah perorang setiap bulan
diperkirakan mencapai Rp. 15.500 (Hidayat, 2013).
Instruksi Walikota Medan Nomor 560/613.K/III/2013 tanggal 21 Maret 2013,
ditegaskan, para tenaga kerja honorium daerah termasuk tenaga keamanan maupun
kebersihan, wajib mengikutsertakannya dalam program jamsostek. Sebab, selain
perusahaan tenaga kerja formal, para pekerja berstatus informal seperti harian lepas,
borongan, musiman, perjanjian kerja waktu tertentu dan outsorcing juga tidak lepas
dari ketentuan wajib jamsostek (Naibaho, 2013).
Direktur Operasi dan Pelayanan PT Jamsostek, Achmad Anshori,
menambahkan kasus kecelakaan kerja di Indonesia cenderung meningkat. Dari data
PT Jamsostek selama enam tahun, terjadi sekitar 604.000 kecelakaan kerja dan
menyebabkan 10.894 pekerja meninggal dunia. Untuk itu, PT Jamsostek membayar
klaim sebesar Rp1,11 triliun untuk santunan kecelakaan kerja selama enam tahun
terakhir, ungkapannya.
Tingginya angka kecelakaan kerja ini di sisi lain menunjukkan masih
rendahnya penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Karena itu Muhaimin
meminta semua pihak termasuk pemerintah daerah untuk meningkatkan penerapan
K3. Karena saat ini sistem otonomi daerah memberikan kewenangan dalam
menetapkan kebijakan ketenagakerjaan termasuk didalamnya bidang K3
(Rachman, 2013).
Berdasarkan data dari Klinik Mata Yose yang beralamat di Jalan
peneliti telah melakukan wawancara kepada pihak klinik dalam hal menanyakan
berapa banyak orang yang berobat mata khususnya trauma pada mata akibat dari
kecelakaan kerja pada tukang las, dan melakukan observasi beberapa hari dari jam 5
sampai jam 8 malam untuk mengetahui pekerja tukang las yang menderita trauma
pada mata. Disamping itu peneliti memohon untuk pengambilan data berobat ke
klinik tersebut terhadap penyakit trauma pada mata akibat kecelakaan kerja, maka
petugas memberikan dan menanyakan maka terdapat sebanyak 142 kasus trauma
mata pada pekerja las karbit.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las
dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota
Pemerintahan Kota Medan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan determinan yang
mempengaruhi perilaku pekerja las dalam penggunaan alat pelindung diri terhadap
(APD) di Kecamatan Medan Kota Pemerintahan Kota Medan.
1.4 Hipotesis
Ada hubungan determinan yang mempengaruhi perilaku pekerja las dalam
penggunaan alat pelindung diri terhadap (APD) di Kecamatan Medan Kota
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagian Hiperkes Kota Medan
Sebagai masukan bagi unit Hiperkes Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kota Medan, dalam upaya menurunkan angka kejadian trauma pada mata
melalui penggunaan alat pelindung diri (APD)
1.5.2 Pemilik Bengkel Las
Sebagai informasi kepada pemilik bengkel las agar lebih mengutamakan
kesehatan mata pekerja las, dalam upaya menggunakan alat pelindung diri
(APD) untuk pencegahan trauma mata.
1.5.3 Bagi Pekerja Las
Sebagai informasi kepada pekerja las karbit agar lebih mengutamakan
kesehatan mata, dalam upaya melakukan pencegahan dengan menggunakan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku
2.1.1 Pengertian Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2010) yang mengutip teori Kurt Lewin, bahwa
perilaku manusia bukan sekadar respons dan stimulus, tetapi produk dari berbagai
gaya psikologis yang disebut ruang hayat (life space). Perilaku merupakan hasil
interaksi antara “persons” (diri orang) dengan environment (lingkungan). Persons
(diri orang) adalah sesuatu yang kompleks, karena pada saat merespon stimulus atau
lingkungan banyak aspek fisiologis dan psikologis pada orang tersebut. Aspek fisik
adalah kualitas indra manusia adalah bagian dari orang yang paling pertama kontak
dengan stimulus. Kemudian, stimulus yang ditangkap oleh indra tersebut diteruskan
ke otak, kemudian otak mengolahnya, setelah itu hasil olahan tersebut diteruskan atau
diperintahkan ke anggota tubuh (motorik), dan akhirnya terjadilah tidakan atau
perilaku sebagai bentuk respon dari orang yang bersangkutan.
2.1.2 Domain Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2012) yang mengutip pendapat Bloom (1908),
membagi perilaku manusia itu kedalam tiga domain, sesuai dengan tujuan
pendidikan. Bloom menyebutkan ranah atau kawasan yakni: a) kognitif (cognitive),
Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran
hasil pendidikan kesehatan, yakni:
a. Pengetahuan (Knowledge)
1) Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetauan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).
2) Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan.
a) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. kata kerja untuk mengukur bahwa orang
tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan,
b) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,
dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c) Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu stuktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini
dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
e) Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. misalnya, dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan.
Dan sebagainya terhadap suatu materi dan rumusan-rumusan yang telah ada.
f) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.
Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan
diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :
1. Baik : Hasil presentase 76%-100%
2. Cukup : Hasil presentase 56%-75%
3. Kurang : Hasil presentase < 56%
3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan (Wawan dan Dewi, 2011) a) Faktor Internal
(1) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk
mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang
dikutip Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang
termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam
memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan (Nursalam,
2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah
menerima informasi.
(2) Pekerjaan
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan
adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang
kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber
kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang
membesonkan, berulang dan tantangan. sedangkan pekerjan umumnya
merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga
(3) Umur
Menurut Elisbeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah
umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang
tahun. Sedangkan menurut Huclok (1999) semakin cukup umur, tingkat
dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih
dewasa dipercaya dari orang belum tinggi tingkat kedewasaannya. Hal
ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.
b) Faktor Eksternal
(1) Faktor Lingkungan
Menurut Ann. Mariner yang dikutip Nursalam (2003), lingkungan
merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya
yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok
(2) Sosial Budaya
Kebiasaan, nilai-nilai, tradisi-tradisi, sumber-sumber di dalam
masyrakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada
umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan terbentuk dalam waktu
lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyrakat bersama.
Kebudayaan selalu berubah, baik secara lambat maupun cepat, sesuai
dengan peradaban umat manusia.
b. Sikap (attitude)
1) Pengertian Sikap
Menurut Notoatmodjo (2012), sikap merupakan reaksi atau respons yang
masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. beberapa batasan
“An individual’s social attitude is a syndrome of rensponse consistency
with regard to social object” (Campbell,1950)
“Attitude entails an existing predisposition to response to social objecs
which in interation with situational and other dispositional variables,guides
and direct the overt behavior of the individual” (Cardno, 1955)
Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan merupakan reaksi yang bersifat emisional terhadap stimulus sosial.
Newcomb, salah seorang psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas,
akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reasik terbuka atau tingkah laku
yang terbuka.Sikap suatu kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
2) Komponen Pokok Sikap
Menurut Notoatmodjo (2012) mengutip pendapat Allport (1954), menjelaskan
bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok.
1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketika komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya,
seorang ibu telah mendengar tentang penyakit campak (penyebabnya,
akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya).
3) Tingkatan Sikap
a) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap imunisasi
dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap
ceramah-ceramah tentang imunisasi.
b) Merespons (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu
usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berati bahwa orang
menerima ide tersebut.
c) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang
pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang
imunisasi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap
positif terhadap kesehatan anak.
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu
mengimunisasi anaknya, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau
orang tuanya sendiri.
4) CaraPengukuran Sikap
Menurut Wawan dan Dewi (2011) yang mengutip pendapat Azwar
(2005), pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap
seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuat
mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi
atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya
bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut
dengan pernyataan yang favourabel. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula
hal-hal negative mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun
kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan
yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar
terdiri atas pernyataan favourabel dan tidak favourabel dalam jumlah yang
seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan
mendukung sama sekali obyek sikap.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat dinyatakan bagaiman pendapat/pernyataan responden
terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden
melalui kuesioner (Notoadmojo, 2003).
Ada beberapa factor yang mempengaruhi hasil pengukuran sikap
(Hadi,1971), yaitu: keadaan obyek yang diukur, situasi pengukuran, alat ukur
yang digunakan, penyelenggaraan pengukuran, dan pembacaan atau penilaian
hasil ukuran.
Salah satu problem metodologi dasar dalam psikologi sosial adalah
bagaimana mengukur sikap seseorang. Beberapa teknik pengukuran sikap:
antara lain: Skala Thurstone, Likert, Unobstruisive Measures, Analisis
Skalogram dan Skala Kumulatif, dan Multidimensional Scaling.
a) Skala Thurstone (Method of Equel-Appearing Intervals)
Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada rentangan
kontinum dari yang sangat unfavorabel hingga sangat favorabel terhadap
suatu obyek sikap. Caranya dengan memberikan orang tersebut sejumlah
item sikap yang telah ditentukan derajad favorabilitasnya. Tahap yang
pakling kritis dalam menyusun alat ini seleksi awal terhadap pernyataan
sikap dan penghitungan ukuran yang mencerminkan derajad favorabilitas
Untuk menghitung nilai skala dan memilih pernyataan sikap, pembuat
skala perlu membuat sampel pernyataan sikap sekitar lebih 100 buah atau
lebih. Pernyataan-pernyataan itu kemudian diberikan kepada beberapa orang
penilai (judges). Penilai ini bertugas untuk menentukan derajat favorabilitas
masing-masing pernyataan. Favorabilitas penilai itu diekspresikan melalui
titik skala rating yang rentang 1-11. Sangat tidak setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 Sangat setuju. Tugas penilai ini bukan untuk menyampaikan setuju
tidaknya mereka terhadap pernyataan itu. Median atau rerata perbedaan
penilaian antar penilai terhadapaitem ini kemudian dijadikan sebagai skala
nilai masing-masing aitem. Pembuat skala kemudian menyusun aitem mulai
dari aitem yang memiliki nilai skala rendah hingga tertinggi. Dari
aitem-aitem tersebut, pembuat skala kemudian memilih aitem-aitem untuk kuisioner
skala sikap yang sesungguhnya. Dalam penelitian, skala yang telah dibuat ini
kemudian dibreikan pada responden. Responden diminta untuk
menunjukkan seberapa besar kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada
masing-masing aitem tersebut.
Teknik ini disusun oleh Thrustone didasarkan pada asumsi-asumsi:
ukuran sikap seseorang itu dapat digambarkan dengan interval skala sama.
Perbedaan yang sama pada suatu skala mencerminkan perbedaan yang sama
pula dalam sikapnya. Asumsi kedua adalah Nilai skala yang berasal dari
rating para penilai tidak dipengaruhi oleh sikap penilai terhadap issue.
issue tersebut.
b) Skala Likert (Method of Summateds Ratings)
Likert (1932) mengajukan metodenya sebagai alternative yang lebih
sederhana disbandingkan dengan Thurstone. Skala Thurstone yang terdiri
dari 11 point disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu yang favorabel
dan yang unfavorabel. Sedangkan item yang netral tidak disertakan. Untuk
mengatasi hilangnya netral tersebut, Likert menggunakan teknik konstruksi
test yang lain. Masing-masing responden diminta melakukan egreement atau
disegreemen-nya untuk masing-masing aitem dalam skala yang terdiri dari 5
point ( Sangat setuju, Setuju, Ragu-ragu, Tidak Setuju, Sangat Tidak Setuju).
Semua aitemyang favorabel kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu
untuk Sangat Setuju nilainya 5 dan untuk yang Sangat Tidak Setuju nilainya
1. Sebaliknya untuk aitem unfavorabel nilai skala Sangat Setuju adalah 1
sedangkan untuk Tidak Setuju nilainya 5. Seperti halnya skala Thurstone,
skala Likert disusun dan diberikan skor sesuai dengan skala interval sama
(equal-interval scale)
c) Unobstrusive Measures
Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat
aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam
pernyataan.
d) Multidimensional Scaling
dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat unidimensional.
Namun demikian, pengukuran ini kadangkala menyebabka asumsi-asumsi
mengenai stabilitas struktur dimensial kurang valid treutama apabila
diterapkan pada orang lain, lain isu, dan skala lain aitem.
e) Pengukuran Involuntary Behavior (Pengukuran terselubung)
(1) Pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau dapat
dilakukan oleh responden
(2) Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dipengaruhi oleh
kerelaan responden
(3) Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi
fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan oleh individu yang
bersangkutan.
(4) Obeserver dapat menginterpresentasikan sikap individu mulai dari fasial
reaction, voice tones, body gesture, keringat, dilatasi pupil mata, detak
jantung, dan beberapa aspek fisiologis lainnya.
5) Faktor-faktor yang Memengaruhi Sikap
Menurut Wawan dan Dewi, 2011) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
terhadap obyek sikap antara lain:
a) Pengalaman Pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah
melibatkan factor emosional.
b) Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi
dan keninginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap
penting tersebut.
c) Pengaruh Kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang member corak pengalaman
individu-individu masyarakat asuhannya.
d) Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi
lainnya, berita yang seharusnya factual disampaikan secara obyektif
cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh
terhadap sikap konsumennya.
e) Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama
sangat menentukan system kepercayaan, tidaklah mengherankan jika kalau
f) Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataanyang disadari
emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan
bentk mekanisme pertahanan ego. (Azwar, 2005)
c. Praktik atau tindakan (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap
ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan
ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan
anaknya.
Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari
pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua, dan lain-lain. Praktik
ini mempunyai beberapa tingkatan.
1) Respons terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang
ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan
memotong-motongnya, dan segalanya
2) Mekanisme (mecanisme)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
praktik tingkat kedua. Misalnya, seorang ibu yang sudah mengimunisasikan
bayinya pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajakan orang
lain.
3) Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiata-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau
bulan yang lalu (recall).
Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan
mengopservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran praktik (overt
behavior) juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut. 2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku
Berdasarkan pendapat Notoatmodjo (2012) yang mengutip pendapat para ahli
(Green, 1980; Kar (1983); dan WHO (1984)), dapat disimpulkan bahwa perilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor.
a. Teori Lawrence Green
Perilaku ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor:
1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan nilai-nilai dan sebagainya.
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan. Misalnya : puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban
dan sebagainya.
3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
b. Teori Snehandu B. Kar
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa
perilaku itu merupakan fungsi dari:
a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behaviour intention).
b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).
c. Ada atau tida adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accessebility of information).
d. Otonomi pribadi, yang bersangkutan dalam hal inimengambil tindakan atau
keputusan (personal autonomy).
e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action
situation).
c. Teori WHO
Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu
berperilaku tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok.
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian
seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).
2) Pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
3) Kepercayaan
Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang
menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan atau tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu.
4) Sikap
Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap
sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat.
Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi suatu objek.
5) Orang penting sebagai referensi (personal reference).
Perilaku orang, lebih-lebih perilaku anak kecil banyak dipengaruhi oleh
orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang-orang itu dipercaya, maka apa yang
dikatakan atau perbuatan cenderung untuk dicontoh. Orang-orang yang
dianggap penting ini sering disebut kelompok referensi (reference group),
antara lain guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya.
6) Sumber-sumber daya (resources)
Sumber daya mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua
itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat.
Misalnya pelayanan puskesmas, dapat berpengaruh positif terhadap perilaku
penggunaan puskesmas tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya.
7) Kebudayaan (culture), kebiasaan, nilai-nilai, tradisi-tradisi, sumber-sumber di
dalam masyrakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada
umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan terbentuk dalam waktu lama
sebagai akibat dari kehidupan suatu masyrakat bersama. Kebudayaan selalu
berubah, baik secara lambat maupun cepat, sesuai dengan peradaban umat
manusia.
2.2 Kepatuhan
Sackett (1976) dalam Niven (2000) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai
sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
professional kesehatan. Sedangkan menurut Sarafino dalam Bart Smet (1994)
kepatuhan atau ketaatan (complience atau andherance) adalah tingkat pasien
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau
oleh orang lain.
Menurut Feuerstein et al (1986) dalam Niven (2000), faktor-faktor yang
mendukung kepatuhan pasien antara lain :
a. Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, seperti penggunaan
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan dalam pengobatan.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan social
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman.
Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan
program-program pengobatan.
d. Perubahan model terapi
Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien
terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
e. Meningkatkan Interaksi profesional kesehatan dengan pasien
Adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah
memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan informasi tentang
kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan
kondisi seperti itu.
Menurut skiner ( 1938 ) dalam Notoatmojo ( 2007 ) bahwa kepatuhan minum
obat pada penderita merupakan suatu perilaku terbuka (overt behaviour ). Perilaku
tersebut muncul akibat adanya operant respont atau instrumental respon yaitu respon
yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang
tertentu. Kepatuhan minum obat (medication compliance) adalah mengkonsumsi
hanya akan efektif apabila penderita mematuhi aturan dalam penggunaan obat
(Kusbiyantoro, 2002).
2.3 Konsep Dasar Alat Pelindung Diri 2.3.1 Pengertian Alat Pelindung Diri
Adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang
dalam pekerjaan yang fungsinya Mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya ditempat
kerja. APD di pakai setelah (Enggineering) dan cara kerja yang aman (Work
Praktices) telah Maksimum.
2.3.2 Alat Pelindung Diri (Alat Pelindung Muka dan Mata)
Perlindungan muka dan mata merupakan persyaratan mutlakyang harus
dikenakkan pemakaian saat bekerja di laboratorium terutama saat bekerja dengan
bahan kimia untuk melindungi mata dan wajah dari tumpahan bahan kimia, uap kimia
dan radiasi. Secara umum pelindungan mata dan wajah terdiri atas kaca mata
pelindung, goggle, pelindung wajah dan pelindung mata khusus yaitu goggle yang
menyatu dengan masker khusus untuk melindungi mata dan wajah dari radiasi dan
bahaya mata laser.
Secara umum fungsi alat pelindungan muka dan mata (face shield) yaitu
melindungi muka dan mata dari : lemparan benda-benda kecil, lemparan benda-benda
panas, pengaruh cahaya, pengaruh radiasi tertentu, perlindungan mata dan muka.
Ada pun syarat-syarat alat pelindung muka dan mata adalah : tahan terhadap
Mata sangat potensial untuk terkena bahaya pada saat anda bekerja. Mata anda
dapat terluka oleh partikel yang terbang dari mesin yang sedang beroperasi seperti
kepingan logam atau kayu atau debu.
Pembakaran atau bahan-bahan yang mengandung racun dari bahan-bahan
kimia juga membahayakan mata anda. Zat asam korosive atau zat alkalis, serta cairan
pelarut juga dapat menimbulkan sakit dan luka untuk waktu yang lama.
Bahaya mata yang lain adalah radiasi pembakaran. Cahaya pada saat
pengelasan salah satu contohnya. Gelombang industri mikro dan laser juga type lain
dari bahaya radiasi. Bahaya-bahaya seperti ini dan bahaya lainnya menuntut anda
untuk selalu memakai alat pelindung mata pada saat bekerja.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mimilih jenis kaca mata yang
tepat untuk jenis bahaya yang ada ditempat kerja anda. Untuk hal ini maka
supervisor anda akan menjelaskan jenis kaca mata apa yang harus anda pakai saat
bekerja dan dalam keadaan apa anda harus menyimpannya.
Berikut contoh-contoh alat pelindung mata:
a. Safety Glasses
Adalah kaca mata keselamatan. Kacamata ini kelihatannya hampir sama
dengan kacamata biasa, namun terbuat dari bahan yang tahan tehadap tubrukan
sehingga melindungi mata dari adanya benda yang terbang mengenai mata. Jenis
kacamata ini juga sering di pakai bersama-sama dengan alat pelindung muka
b. Goggles
Jenis kaca mata ini melindungi mata dari adanya percikan cairan-cairan kimia
atau dari tubrukan benda-benda yang terbang yang bisa merusak mata. Pastikan
bahwa anda memakai jenis kacamata yang sesuai dengan jenis pekerjaan anda
sebab untuk jenis kacamata ini banyak disesuaikan dengan tingkat perlindungan
yang diberikan.
c. Shaded Eyewear
Adalah sejenis kaca mata gelap atau bayangan. Kacamata ini melindungi mata
dari radiasi pembakaran. Disamping itu diperlukan kacamata keselamatan untuk
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di ruang atau lapangan terbuka. Helm tukang
las memiliki kaca pelindung gelap / bayangan dan bagi siapa saja yang bekerja
didekat tempat pengelasan harus memakai shaded glasses ( kacamata gelap) utuk
melindungi mata dari radiasi pembakaran.
d. Face shields dan Head Coverings
Adalah alat pelindung muka dan penutup kepala. Untuk jenis pekerjaan
tertentu diperlukan adanya penutup muka dan kepala selain alat pelindung mata
yang diperlukan.
Berikut adalah beberapa tip untuk melindungi mata:
a. Pilihlah jenis kaca mata yang tepat untuk jenis bahaya yang ada ditempat kerja
anda. Untuk hal ini maka supervisor anda akan menjelaskan jenis kaca mata apa
yang harus anda pakai saat bekerja dan dalam keadaan apa anda harus
b. Jauhi bahaya-bahaya yang mungkin ada. Dan untuk mencapai hal ini maka
diperlukan adanya pengatauran yang baik ditempat kerja.
c. Pasang pengaman mesin yang berfungsi untuk melindungi mata anda dari
potongan-potongan kayu atau serpihan logam. Sementara system exhaust akan
menghilangkan partikel-partikel yang berbahaya dari udara dan pengaman cairan
berfungsi untuk melindungi anda dari cairan-cairan yang berbahaya dan layar
melindungi mata dari bahaya radiasi cahaya.
d. Waspadalah terhadap bahaya-bahaya lain yang mengancam keselamatan mata
anda serta bacalah label dan MSDS ( Materi Safety Data Sheet ) sebelum memakai
zat-zat kimia. Patuhilah petunjuk keselamatan yang tercantum dalam MSDS.
e. Ketahuilah bagaimana cara mengobati luka di mata. Untuk itu pelajari terlebih
dahulu di mana tempat pencuci mata dan cara pengoperasiannya. Sebab mungkin
dan perlu memakainya pada saat anda terkena percikan cairan kimia, dan bila
mendapat luka di mata maka lakukan tindakan pertolongan pertama yang cepat
dan tepat. Namun meskipun anda yakin telah melakukan tindakan yang benar,
anda harus mencari pengobatan lebih lanjut terhadap luka di mata tersebut
2.3.3 Syarat-syarat Alat Pelindung Diri (APD)
Adapun syarat-syarat dari Alat Pelindung Diri (APD) adalah:
a. Enak dipakai
b. Tidak mengganggu kerja
2.4 Pekerja Las Karbit Beresiko Trauma Mata
Usaha pengelasan merupakan salah satu sektor informal yang mempunyai
tingkat bahaya dan berisiko terhadap terjadinya kecelakaan kerja dan timbulnya
penyakit akibat kerja. Pekerjaan ini berhubungan dengan penggunaan alat-alat
pengelasan yang menghasilkan suhu tinggi, pencahayaan dengan intensitas tinggi,
kebisingan (noise).
Disamping itu, akan terjadi pula percikan-percikan api dan kerak-kerak logam
pada pemotongan berbagai logam. Semua keadaan ini dapat menimbulkan bahaya
kecelakaan atau Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti terbakar, penyumbatan saluran
pernafasan/paru-paru, sakit mata atau bahkan bisa menimbulkan kebutaan dan cacat
permanen. Selain pekerja pengelasan itu sendiri, bahaya pengelasan juga bisa
mengenai orang yang berada disekitar lingkungan bengkel las, sebagai contoh
sederhana penglihatan seseorang bisa terganggu apabila terkena percikan api
pengelasan (Bastiansyah, 2008).
Konstruksi las banyak sekali digunakan, pelaksanaan pekerjaan las makin
besar sehingga kecelakaan-kecelakaan yang berhubungan dengan pengelasan menjadi
makin banyak. Kecelakaan umumnya disebabkan kurang kehati-hatian pada
pengerjaan las, pemakaian alat pelindung yang kurang benar, pengaturan lingkungan
yang tidak tepat. Untuk menghindari kecelakaan tersebut, perlu penguasaan tertentu
dan mengetahui tindakan-tindakan yang menyebabkan faktor-faktor tersebut
2.5 Konsep Dasar Trauma Mata 2.5.1 Pengertian Trauma Mata
Trauma mata adalah rusaknya jaringan pada bola mata, kelopak mata, saraf
mata dan atau rongga orbita karena adanya benda tajam atau tumpul yang mengenai
mata dengan keras/cepat ataupun lambat.
Trauma mata dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak,
saraf mata dan rongga orbita. Kerusakan akan dapat mengakibatkan atau memberikan
penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan (Ilyas, 2008).
2.5.2 Klasifikasi Trauma Mata
Menurut Ilyas (2008), mengatakan bahwa trauma mata dapat terjadi dalam
bentuk-bentuk berikut:
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda
yang tidak keras, selain daripada datang dengan keras ataupun lambat mengenai
mata. Kelainan yang dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata dapat
memberikan kelainan pada kelopak, konjugtiva, kornea, uvea, lensa, retina dan
saraf optik.
b. Trauma Tembus Bola Mata
Trauma tembus dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva saja. Bila
robekan konjungtiva ini kecil atau tidak melebihi 1 cm, maka tidak perlu dilkukan
penjaitan. Bila konjungtiva lebih dari 1 cm diperlukan tindakan penjahitan untuk
diperhatikan tidak terdapatnya robekan sklera bersama-sama dengan robekan
konjungtiva.
Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk dalam bola mata,
maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti tajam penglihatan yang
menurun, tekanan bola mata rendah, bilik mata bengkak, bentuk dan letak pupil
yang berubah, terlihat adanya ruptur pada kornea atau sklera, terdapat jaringan
yang proplaps dan konjungtiva kemotis.
c. Trauma Kimia
Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi dalam
laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian
dan peperangan memakai bahan kimia di abad modern. Setiap trauma kimia pada
mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang terkena trauma kimia
merupakan tindakan yang segera harus dilakukan untuk mencegah memberikan
penyulit yang lebih berat. Pembilasan dilakukan dengan memakai garam fisiologik
atau air bersih lainnya selama mungkin dan paling sedikit 15 – 30 menit. Bahan
kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam
bentuk traum asam dan trauma basa atau alkali.
d. Trauma Radiasi
Yulianti dan Ilyas (2011), Trauma pada mata dapat disebabkan oleh trauma
radiasi yang sering ditemukan adalah trauma sinar inframerah, trauma sinar
1) Trauma Sinar Infra Merah
Akibat sinar intra merah dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari
dan pada saat bekerja dipemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat
terkonsentrasinya sinar intramerah terlihat. Kaca yang mencair seperti yang
ditemukan di tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan sinar intra merah.
Bila seseorang berada pada jarak 1 kaki selama satu menit didepan kaca yang
mencair dan pupilnya lebar atau midriasis maka suhu lensa akan naik sebanyak
9 derajat Celcius. Demikian pula iris yang mengapsorpasi sinar intra merah
akan panas sehingga akan berakibat tidak baik terhadap kapsul lensa di
dekatnya. Absorpsi sinar intra merah oleh lensa akan mengakibatkan katarak
dan eksfoliasi kapsul lensa.
Akibat sinar ini pada lensa maka katarak maka mudah terjadi pada pekerja
industri gelas dan pemanggangan logam. Sinar intra merah akan mengakibatkan
keratitis superficial, katarak kortikal anterior-posterior dan koagulasi pada
koroid.
Bergantung pada beratnya lesi akan terjadi skotoma sementara ataupun
permanen. Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang sudah terjadi
kecuali mencegah terkenanya mata oleh sinar intra merah ini. Steroid sistemik
dan local diberikan untuk mencegah tebentuknya jaringan parut pada makula
atau untuk mengurangi gejala radang yang timbul.
2) Trauma Sinar Ultra Violet (Sinar Las)
mempunyai panjang gelombang antara 350-295 nm.
Sinar ultra violet banyak terdapat pada saat bekerja las, dan menatap sinar
matahari atau pantulan sinar matahari diatas salju. Sinar ultra violet akan segera
merusak epitel kornea.
Sinar ultra violet biasanya memberikan kerusakan terbatas pada kornea
sehingga kerusakan pada lensa dan retina tidak akan nyata terlihat. Kerusakan
ini akan segera baik kembali setelah beberapa waktu, dan tidak akan
memberikan gangguan tajam penglihatan yang menetap.
Pasien yang telah terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan 4-10
jam setelah trauma. Pasien akan merasa mata sangat sakit, mata seperti
kelilipan atau kemasukan pasir, fotofobia, blefarospasme, dan konjungtiva
kemotik.
Kornea akan menunjukkan adanya infiltrate pada permukaannya, yang
kadang-kadang disertai dengan kornea yang keruh dan uji fluoresein positif.
Keratitis terutama pada fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam
penglihatan akan terganggu. Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi
bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat permanen sehingga akan
memberikan kekeruhan pada kornea. Keratitis dapat bersifat akibat efek
kumulatif sinar ultra violet sehingga gambaran keratitisnya menjadi berat.
Pengobatan yang diberikan adalah skloplegia, antibiotika local, analgetik,
dan mata ditutup selama 2-3 hari. Biasanya sembuh setelah 48 jam.
oleh sinar ultra ungu atau memakai kacamata yang tidak tembus sinar tersebut.
Sinar ultra ungu dari matahari dengan panjang gelombang 290-320 nm adalah
penyebab dari kanker kulit terutama bagi kulit yang kandungan pigmennya
rendah (Sumakmur, 2009).
Menurut Sumakmur (2009) yang mengutip Keputusan Menteri Tenaga
Kerja No. 5/Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat
Kerja dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-2004, NAB radiasi sinar
ultra ungu 0,1 mikroWatt/ cm2
Tabel 2.1 Waktu Paparan yang Diperkenankan Menurut Intensitas Radiasi Sinar Ultra Ungu
. Dalam hal intensitas sinar ultra ungu di tempat
kerja melebihi NABnya.
Eradiasi Efektif (mikroWatt/ cm2) Waktu Paparan per Hari
0,2 4 jam
0,4 2 jam
0,8 1 Jam
1,7 30 menit
3,3 15 menit
5 10 menit
10 5 menit
50 1 menit
100 30 detik
300 10 detik
3000 1 detik
6000 0,5 detik
30000 0,1 detik
Radiasi sinar ultra unga diukur dengan alat radiometer sinar ultra ungu
yang dengannya intensitas sinar ultra ungu dapat dibaca secara langsung. Alat
[image:57.612.114.524.404.608.2]mengukur energi radiasi dari 0 sampai 19.990 mikroWatt/ cm2dengan resolusi
0,1 mikroWatt/ cm2. Sebelum digunakan radiometer sinar ultra ungu harus
dikalibarasi. Suhu tempat kerja yang sinar ultra ungunya akan diukur harus
antara 0 sampai 40o
Menurut Ilyas (2005), gambaran klinik akibat radiasi sinar ultra violet
adalah akan terdapat keluhan fotofobia, blefarospasme, lakrimasi pada jam
pertama sesudah kontak dengan sinar ini. Keluhan ini dapat timbul sesudah
beberapa jam terkena sinal ultraviolet, terdapat infiltrate kecil pada kornea
berupa keratitis interpalpebra, keratritis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan
tetapi bila radiasi berjalan lama, kerusakan dapat permanen sehingga akan
memberikan kekeruhan pada kornea. C.
3) Sinar Ionisasi dan Sinar X
Sinar ionisasi dibedakan dalam bentuk : sinar alfa yang dapat diabaikan,
sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan, sinar gama dan sinar X. Sinar
ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina. Dosis
karaktogenik bervariasi dengan energi dan tipe sinar, lensa yang lebih muda dan
lebih peka. Akbat dari sinar ini pada lensa, terjadi pemecahan diri sel epitel
secara tidak normal. Sedang sel baru yang berasal dari sel germinatif lensa tidak
menjadi jarang.
Sinar X merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang
diakibatkan diabetes mellitus berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneuris
mengakibatkan kerusakan permanen yang suka