• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Kasus Nomor 135/PDT.G/2013/PN.TK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Kasus Nomor 135/PDT.G/2013/PN.TK"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN (STUDI KASUS NOMOR 135/PDT.G/2013/PN.TK)

Oleh

IVANDER FERNANDA

Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (11) Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Banyaknya hak asuh anak yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tidaklah sesuai dengan fakta-fakta. Adanya anak yang di bawah umur hak asuhnya ditujukan kepada ayah yang semestinya jatuh kepada ibu.

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 135/PDT.G/2013/PN.TK permasalahan dalam penelitian ini yang pertama adalah apakah yang menjadi alasan perceraian. Kedua, bagaimanakah pertimbangan hukum seorang hakim dalam menentukan hak asuh anak dalam perkara perceraian, dan Ketiga, bagaimanakah akibat hukum atas hak asuh anak akibat perceraian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah normatif dengan tipe penelitian bersifat deskripsi analisis dan menggunakan pendekatan masalah judicial case study. Metode pegumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan editing, klarifikasi, dan sistematisasi data. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan yang menjadi alasan perceraian adalah masalah ekonomi dan adanya pihak ketiga yang mengganggu jalannya perkawinan kedua belah pihak. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara hak asuh anak harus mempertimbangkan alat-alat bukti dan keterangan saksi yang ada sehingga putusan hakim akan ditentukan nantinya tentang siapa yang berhak untuk mengasuh si anak yang dihasilkan dari ikatan perkawinan tersebut tidak akan merugikan kedua belah pihak. Ketidakhadiran tergugat juga dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara. Akibat hukum atas hak asuh anak baik bapak maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak.

(2)
(3)

(STUDI KASUS NOMOR 135/PDT.G/2013/PN.TK)

Oleh:

IVANDER FERNANDA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………... i

MOTO ……….. i

SANWACANA ……… iii

DAFTAR ISI ……… iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ……… 5

C. Ruang Lingkup Penelitian ………... 5

D. Tujuan Penelitian ……… 6

E. Kegunaan Penulisan ……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 7

A. Perceraian ………. 7

1. Pengertian Perceraian ………... 7

2. Macam-macam Cerai ………... 21

3. Dasar Hukum Perceraian ………. 22

4. Hak Asuh Anak ……… 25

5. Pihak-pihak Yang Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak ……….. 33

(5)

A. Jenis Penelitian ………. 38

B. Tipe Penelitian ……….. 38

C. Pendekatan Masalah ………. 39

D. Sumber Data…..………... 39

E. Pengumpulan Data ……… 40

F. Pengolahan Data ………... 40

G. Analisis Data ……… 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 42

A. Alasan Pemberian Hak Asuh Anak Dalam Putusan Pengadilan Negeri No.135/PDT.G/2013/PN.TK ……… 42

B. Pertimbangan Hukum Seorang Hakim Dalam Menentukan Hak Asuh Anak Dalam Putusan Pengadilan Negeri No.135/PDT.G/2013/PN.TK ……… 43

C. Akibat Hukum Atas Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Dalam Putusan Pengadilan Negeri No.135/PDT.G/2013/PN.TK ………... 52

BAB V PENUTUP …………….. 58

(6)
(7)
(8)

MOTO

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun

yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah, tidak ada seorang pun yang

sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.

Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

(QS. Fathir : 2)

“Jika kamu sudah berazzam/bertekat bulat, maka bertawakkallah pada Allah..”

(9)
(10)

Puji Syukur kehadirat Allah SWT,

Yang selalu mengiri langkahku dan selalu memberikan kemudahan dalam penyelesaian skripsi

ini. Dengan rendah hati kupersembahkan skripsi ini kepada :

Kedua orang tuaku tercinta Bapak Syamsuddin, S.E., M.E, dan Ibu Miza Martati Zen, S.H.

Terimakasih untuk seluruh waktu, cinta, kasih sayang dan pengorbanan yang selalu tercurah

sepanjang hidup untuk penulis.

Saudariku tersayang Samantha Tiara Putri yang senantiasa mendo’akanku, mendukung dan

memberi semangat, tanpa kalian saya tidak akan pernah meraih semua ini.

Serta Sumber Mata Air Ilmu, khususnya Bapak/Ibu dosen bagian hukum keperdataan dengan

segenap ketulusannya untuk mencurahkan ilmu yang bermanfaat dan senantiasa memberikan

motivasi, dukungan dan do’a untuk kesuksesanku,

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, nikmat, barokah dan karunianya untuk kita

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 08 Januari 1993,

sebagai anak pertama dari dua bersaudara, buah hati pasangan Bapak

Syamsuddin, S.E., M.M. dan Ibu Miza Martati, S.H.

Penulis memulai jenjang pendidikan pada Sekolah Dasar (SD) Negeri 60 Bengkulu yang

diselesaikan pada tahun 2004, dilanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Persit Kartika

Chandra II-2 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2007 dan melanjutkan ke Sekolah

Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Pematang Siantar yang diselesaikan pada tahun 2010.

Pada tahun yang sama, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lampung melalui jalur Mandiri. Pada Januari – Februari 2013, penulis melaksanakan Kuliah

(12)

SANWACANA

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Alhamdulilah, puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

karunia dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebuah skripsi

sederhana dengan judul Analisis Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Kasus Nomor 135/PDT.G/2013/PN.TK) sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa penulis adalah insan biasa yang memiliki kekurangan dan tidak pernah

luput dari segala kesalahan, sehingga penulis menerima dengan lapang dada segala kritikan yang

bersifat membangun terhadap segala kesalahan dan kekeliruan yang terdapat dalam skripsi ini.

Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, saran dan dukungan dari berbagai

pihak. Maka dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima

kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Bagian Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., sebagai Pembimbing I atas kesediaannya untuk memberikan

bimbingan, saran dan kritik serta petunjuk kepada penulis dalam proses penyelesaian

(13)

waktunya untuk memberikan bimbingan, ketelitian dan arahan dalam penulisan skripsi

ini;

5. Ibu Dr. Nunung Rodliyah, M.A., sebagai Pembahas I yang telah memberikan saran dan

kritik serta masukan untuk perbaikan dalam penyusunan skripsi ini;

6. Ibu Nila Nargis, S.H., M.H., sebagai Pembahas II yang telah memberikan masukan,

motivasi dan saran demi perbaikan penulisan skripsi ini;

7. Ibu Diah Gustianiati, M, S.H., sebagai Pembimbing Akademik yang telah memberikan

bantuan, saran dan arahan yang membangun terhadap skripsi penulis dan selalu menjadi

tempat penulis untuk berbagi pikiran dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum

Universtisas Lampung;

8. Seluruh Dosen pengajar Fakultas Hukum yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama penulis mengikuti

proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

9. Keluargaku tercinta, Ayah dan Bunda yang selalu menjadi semangatku, yang doa-doanya

terus mengalir sepanjang hidupku, serta adikku yang selalu memberikan motivasi dan

dukungan kepada penulis selama ini;

10.Sahabat dan Saudara yang sangat luar biasa, Orangers, Aditya Sukimto, S.H., Bulan

Indriarti, S.H., Dwi Mutiara Herda, S.H., Gusti Anggi Merdeka Putri, S.H, Imam Yudha

Nugraha, S.H, Melia Ridian Nur, S.H, M. Rifki Ichtiar, S.H., Pundawa Adrosin,S.H.

Terima kasih untuk telah menemani masa perkuliahan ini, masa kosong setelah

perkuliahan ini. Kebahagian ini akan terus penulis kenang hingga waktu menjemput. Bila

(14)

Rahmat Aryo Baskoro, Yoga Dwi Pratama, Ahmada Basara Z, Ni Putu Ratih, Andi

Kusnadi, Meutia Kumala Sari, Fransisca Paramitha, Andi Asmoro, Merly Yuanita,

Romadoni, Marselyna Atalanta, Jimmy, Titi, Yuri, dan semua teman-teman yang tidak

bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan dan pengalamannya;

12.Keluarga besar Perdata Murni : Almira, Budiniarti, Tammy, Nadia, Wida, Muthe,

Chandre, Ramitha, Yomi, Ridwan, dan Jimbo yang selalu memberikan semangat dan

dukungannya;

13.Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu;

14.Almamater tercinta dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

Semoga Allah Swt senantiasa memberikan balasan atas amal dan kebaikan yang kalian berikan

kepada penulis. Semoga tali persaudaraan diantara kita selalu terikat dengan saling ingat dan

menjaga silaturahim. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung,

Penulis

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan dalam pelaksanaannya tidaklah selalu berjalan tanpa halangan. Terkadang

pasangan suami isteri mendapat banyak hambatan/halangan menuju kebahagiaan. Mulai

dari masalah-masalah kecil dan sepele sampai kepada hal yang dianggap serius dan

prinsip yang dianggap menimbulkan kehancuran di dalam rumah tangga yang berakhir

dengan perceraian.

Di Indonesia perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu: (a) kematian; (b) perceraian;

dan (c) atas putusan pengadilan1. Terkait dengan perceraian juga ditegaskan bahwa

perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan itu pun

harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan isteri tidak dapat rukun kembali sebagai

suami isteri. Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang

mendalam. Kasus ini menimbulkan stress, tekanan, dan menimbulkan perubahan fisik

dan mental. Keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu, dan anak.

1

(16)

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus pertikaian dalam keluarga yang

berakhir dengan perceraian. Faktor-faktor ini antara lain, persoalan ekonomi, perbedaan

usia yang besar, keinginan untuk memperoleh anak, dan persoalan dalam prinsip hidup

yang berbeda. Faktor lainnya berupa perbedaan penekanan dan cara mendidik anak, juga

pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, tetangga, sanak saudara, sahabat, serta situasi

masyarakat yang terkondisi, dan lain-lain. Semua faktor ini menimbulkan suasana keruh

dan meruntuhkan kehidupan rumah tangga.

Dalam kasus perkara No. 135/PDT.G/2013/PN.TK dengan duduk perkara DP sebagai

penggugat dan COJ sebagai tergugat telah melakukan perkawinan selama 6 tahun dan

dikaruniai 2 (dua) orang anak. Anak pertama yang berusia 5 tahun dan anak kedua yang

berusia 2 tahun. Dikarenakan pertengkaran dan percekcokan antara penggugat dan

tergugat yang terjadi secara terus-menerus serta tidak ada jalan keluar untuk berdamai,

maka tidak memungkinkan lagi untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik

dan harmonis antara penggugat dan tergugat. Bahwa penggugat dan tergugat sepakat

untuk membagi dan mengasuh kedua anaknya yaitu anak tertua akan diasuh oleh

penggugat dan anak kedua akan diasuh oleh tergugat, dengan biaya yang ditanggung

masing-masing. Anak pertama sudah tinggal bersama keluarga penggugat karena sering

ditinggal oleh tergugat, sedangkan anak kedua mereka sudah sejak kecil memang tinggal

bersama tergugat. Bahwa tergugat tidak ada kesungguhan atas upaya-upaya yang telah

dilakukan demi membina keutuhan dan keharmonisan hubungan rumah tangga antara

penggugat dan tergugat. Bahwa tergugat pada persidangan yang pertama datang

menghadap sendiri dan telah dilakukan mediasi, namun pada penundaan upaya mediasi

(17)

atau menunjuk orang lain untuk datang menghadap ke persidangan sekalipun telah

dipanggil secara patut. Bahwa penggugat dan saudara-saudara penggugat telah berulang

kali bersabar untuk menasehati dan mendamaikan penggugat dan tergugat, namun usaha

itu sia-sia belaka. Penggugat dan tergugat sering bertengkar disebabkan tergugat

berkeinginan untuk bekerja sedangkan pengugat tidak memberikan izin untuk bekerja,

bahkan penggugat mendapati tergugat pernah makan berdua dengan seorang laki-laki,

sehingga pertengkaran mereka tidak dapat diselesaikan dan akhirnya tergugat pergi dari

rumah dan tinggal dengan orang tuanya. Dengan demikian, kerukunan rumah tangga

penggugat dan tergugat tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga penggugat berketetapan

hati untuk mengakhiri perkawinan tersebut dan perceraian sebagai alternatif yang ada

dari semua pilihan yang ada dengan segala akibat hukumnya.

Hak asuh anak dibawah umur (dibawah 18 tahun) berada ditangan ibu. Tapi hal tersebut

dapat disimpangi apabila ayah dapat membuktikan bila ibu tidak layak untuk

mendapatkan hak asuh anak. Seorang ibu bisa dikatakan "tidak layak" mendapat hak asuh

karena tidak mempunyai penghasilan tetap sehingga dikhawatirkan anak akan terlantar.

Memang benar bahwa dalam sidang, si ayah juga akan dimintai tanggung jawabnya

untuk tetap membiayai kehidupan si anak, tapi alangkah baiknya bila si ibu punya

penghasilan sendiri. Seorang ibu bisa dikatakan "tidak layak" mendapat hak asuh karena

kesehatan bila si ayah bisa membuktikan (dengan surat keterangan dokter yg pernah

memeriksa) bahwa kesehatan ibu (baik fisik maupun mental) memang tidak layak untuk

membesarkan anak.

Masalah utama yang menjadi pertimbangan bagi pasangan suami/isteri ketika bercerai

(18)

seakan menjadi beban, namun kenyataan membuktikan bahwa kebanyakan pasangan

bercerai sangat menginginkan untuk mendapatkan kuasa/hak asuh atas anak-anak itu.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis akan meneliti lebih lanjut tentang Hak

(19)

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini

terdapat beberapa masalah yang dirumuskan, beberapa masalah tersebut sebagai berikut :

1. Apakah alasan pemberian hak asuh anak dalam perkara perceraian putusan Pengadilan

Negeri Tanjung Karang No.135/PDT.G/2013/PN.TK.

2. Bagaimanakah pertimbangan hukum seorang hakim dalam menentukan hak asuh anak

dalam perkara perceraian dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang

No.135/PDT.G/2013/PN.TK.

3. Bagaimanakah akibat hukum atas hak asuh anak akibat perceraian dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.135/PDT.G/2013/PN.TK.

C. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini terdiri dari lingkup kajian dan lingkup bidang ilmu hukum

keluarga. Lingkup materi ini adalah tentang hak asuh anak di dalam perkara perceraian

(20)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami alasan pemberian hak asuh anak dalam perkara

perceraian dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang

No.135/PDT.G/2013/PN.TK

2. Untuk mengetahui dan memahami pertimbangan hukum seorang hakim dalam

menentukan hak asuh anak dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang

No.135/PDT.G/2013/PN.TK

3. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum yang timbul atas hak asuh anak akibat

perceraian dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.

135/PDT.G/2013/PN.TK

E. Kegunaan penulisan :

Kegunaan Penelitian dapat dibedakan ke dalam dua segi, yaitu kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis.

a. Kegunaan Teoritis

Sebagai bahan untuk memperluas pengetahuan tentang hak asuh anak di dalam perkara

perceraian.

b. Kegunaan Praktis

Sebagai sumber informasi dan bacaan bagi masyarakat luas mengenai Hak Asuh Anak di

dalam perkara perceraian. Sebagai salah satu syarat penulis untuk memperoleh gelar

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perceraian.

1. Pengertian Perceraian

Cerai dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pisah, putus

hubungan sebagai suami-istri atau lepasnya ikatan perkawinan. Inilah pemahaman

umum terkait dengan istilah cerai, namun menurut hukum, tentunya cerai ini

harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Perceraian merupakan

terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk

saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai

suami isteri. Perceraian tidaklah begitu saja terjadi tanpa melalui rentetan

prosedur hukum melalui lembaga peradilan, baik melalui pengadilan agama bagi

yang beragama islam, maupun pengadilan negeri bagi yang beragama selain

Islam.

Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan dengan putusan

hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”. Jadi pengertian

(22)

hakim atau tuntutan Suami atau istri. Dengan adanya perceraian, maka

perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus. Namun Subekti tidak

menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan

kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai mati”.1

Jadi, perceraian

adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan isteri yang mengakibatkan

berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan isteri tersebut.

Pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memuat

ketentuan imperative bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan

Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua

belah pihak. Sehubungan dengan pasal ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu

Samawati menjelaskan bahwa walaupun perceraian adalah urusan pribadi, baik itu

atas kehendak satu di antara dua pihak yang seharusnya tidak perlu campur tangan

pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, tetapi demi menghindari tindakan

sewenang-wenang, terutama dari pihak suami (karena pada umumnya pihak yang

superior dalam keuarga adalah pihak suami) dan juga untuk kepastian hukum,

maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.2

Lebih lanjut, Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menjeaskan bahwa dengan

adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian harus dilakukan di depan

sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh warga negara

Indonesia, termasuk juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada

dasarnya hukum Islam tidak menharuskan perceraian dilakukan di depan sidang

pengadilan, namun ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua

belah pihak pada khususnya, seluruh warga negara, termasuk warga negara

1 Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian, 2012, Palembang, Sinar Gravika, hlm 20 2

(23)

beragama Islam, wajib mengikuti ketentuan ini. Selain itu, sesuai dengan asas

dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan bahwa peraturan itu berlaku

bagi seluruh warga negara, kecuali peraturan menentukan lain. Sendangkan

Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan ketentuan lain menyangkut

masalah perceraian ini.

Kenyataannya, menjalankan biduk rumah tangga tidak segampang dan semulus

yang diinginkan dan seharapkan semua orang. Banyak hal-hal kecil dan masalah

sepele sampai kepada hal-hal yang serius yang dianggap tidak dapat lagi

diselesaikan atau tidak ada jalan keluar. Perceraian bukanlah kehendak bagi

manusia, perceraian bukan juga jalan keluar. Tidak ada seorangpun

menginginkannya karena perkawinan merupakan hal yang sangat suci dan

berlangsung sekali seumur hidup manusia, untuk membangun rumah tangga yang

damai dan tenteram.

Suatu perkawinan bila tidak menemukan kebahagiaan dan ketenteraman atau

bahkan malah menimbulkan masalah serta jauh dari ridha Tuhan, maka dapat

dimaklumi bahwa perkawinan tersebut harus diakhiri, akan tetapi perceraian

tidaklah dianggap mudah, karena perceraian tidak memperkenankan dikalau

didalam perkawinan tersebut hanya terjadi keributan-keributan atau

masalah kecil saja. Perceraian baru diperkenankan jika telah terjadi

masalah-masalah yang sangat komplek atau yang sangat prinsip dalam rumah tangga. Pada

satu sisi, perceraian sejatinya diperbolehkan dalam Islam, namun di sisi lain,

perkawinan diorientasikan sebagai komitmen selamanya dan kekal.

Ketika terjadi pertengkaran antara kedua belah pihak, Islam tidak langsung

(24)

terlebih dahulu musyawarah. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang

Pengadilan setelah Pengadilan yang berangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup

alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami

isteri. Dalam kasus perceraian, kaum ibu lebih mengalami kesulitan konkret

dalam menangani anak-anak, sementara ayah mengalami kesulitan dalam taraf

berfikir, merenungi dirinya bagaimana menangani situasi ini.

Ketika kasus perceraian terjadi, ternyata cara ayah dan ibu dalam mengasuh

anaknya berbeda, misalnya dalam memberikan perhatian, keramahan, dan

kebebasan kepada anak-anaknya. Namun dalam perbedaan ini tidaklah aneh

karena dalam keluarga utuh pun cara ibu dan ayah itu berbeda. Dan barangkali

dipengaruhi gambaran bahwa tokoh ibu dekat dengan anaknya, maka pada kasus

perceraian bisa diduga adanya kecenderungan kaum ibu dibebani mengasuh anak.

Tetapi juga sebaliknya, karena figur ayah digambarkan sebagai kurang dekat

dengan anak-anak, maka dalam kasus perceraian pun ayah jarang mengambil

resiko. Namun, ketika ayah dan ibu hidup dalam situasi perceraian, adanya

kecenderungan sikap yang berbeda pada ayah-ibu. Seorang ibu menjadi kurang

memperlihatkan kasih sayang kepada anak-anaknya, khususnya terhadap anak

laki-laki, suatu sikap yang berbeda dengan sebelum perceraian, ibu ini

memperlakukan putranya lebih keras, memberi tugas disertai ancaman dan

mendidik anak pun tidak sistematis serta bersifat memaksa.3

Pada anak-anak dari keluarga cerai, aktivitas fisiknya menjadi lebih agresif untuk

tahun pertama, namun untuk tahun berikutnya anak ini kurang menampilkan

3

(25)

kegirangan. Mereka lebih diselimuti perasaan cemas. Setelah dua tahun berlalu,

anak ini masih memperlihatkan aktivitas yang menurun, tetapi sebaliknya

aktivitas bahas lebih agresif. Gejala ini tampak pada pergaulan dengan teman

putrinya dan teman yang berusia lebih kecil darinya. meski anak ini berperilaku

agresif dalam berbicara namun ia tidak stabil. Mereka melakukan sesuatu tanpa

suatu motivasi jelas dan tidak efektif, dan juga emosi tidak terkontrol.

Tidaklah mengherankan jika teman seumurannya kurang berminat dan tidak

menghiraukan kelompok anak ini. Pada tahun pertama banyak teman sebaya

menjauhi atau tidak bermain bersama mereka lagi. Mereka sering menyendiri dan

hanya sedikit di antara mereka dipilih oleh temannya untuk mengajak bermain.

Kebanyakan di antara mereka bergaul dengan anak-anak yang berusia lebih kecil

atau dengan kelompok teman putri. Ada juga gejala lain pada anak laki-laki dari

keluarga cerai ini lebih memperlihatkan sikap kasar kepada teman-temannya.

Gejala ini timbul mungkin sebagai akibat dari sikap kasar ibunya yang menimpa

diri mereka.

Dampak terjadinya perceraian terhadap anak adalah sebagai berikut:

1. Reaksi berbeda

a. Terdapat perbedaan reaksi yang dimunculkan oleh anak terhadap

perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya. Semua perbedaan

itu tergantung pada usia, intensitas, serta lamanya konflik yang

(26)

b. Anak yang orang tuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah

atau remaja biasanya merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas

terjadinya perceraian itu.

c. Bagi anak-anak perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan

mengacaukan kehidupan mereka. munculnya rasa cemas terhadap

masa kini dan masa depan anak yang bersangkutan,serta anak yang

orang tuanya bercerai merasa menderita.

2. Akibat emosional

a. Dalam suatu perceraian, orang tua yang memutuskan untuk bercerai

mencurahkan seluruh waktu dan uang yang dimilikinya untuk saling

bertikai.

b. Mereka hanya memiliki waktu atau usaha untuk mengurangi akibat

emosional yang menimpa anak-anaknya.

3. Sampai dua tahun

a. Dua Tahun pertama setelah terjadinya perceraian merupakan

masa-masa yang amat sulit bagi anak. Mereka pada umumnya kehilangan

minat untuk pergi dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, bersikap

bermusuhan, agresif, depresi, dan dalam beberapa kasus ada pula yang

memilih untuk bunuh diri.

b. Anak-anak yang orang tuanya bercerai menampakkan beberapa gejala

fisik dan stress akibat perceraian tersebut, seperti insomnia, kehilangan

(27)

4. Takut menjalin hubungan

a. Anak yang bersangkutan merasa tidak percaya diri dan takut menjalin

kedekatan (intimacy) dengan teman yang sejenis maupun yang

berlawan jenis. karena menganggap bahwa temannya itu memiliki sifat

yang sama dengan ayah dan ibunya yang telah menghancurkan

keluarganya.

b. Anak menjadi apatis.

c. Anak memiliki rasa bersalah sangat besar, dendam pada orang

tuanya,dan bahkan cenderung melakukan tindakan atau perilaku yang

menyimpang. contoh: mengkonsumsi narkoba, alkohol, dan

melakukan tindakan kriminal lainnya,yang dapat membahayakan diri

sendiri maupun orang lain yang ada disekitarnya.

5. Anak merendahkan salah satu orang tuanya.

Tindakan merendahkan orang tua tersebut,antara lain adalah sebagai berikut:

a. Tidak ada rasa percaya pada orang tua.

b. Terlalu mengidentifikasi salah satu orang tua

6. Dampak Perceraian Terhadap Psikologis Anak

Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi keluarga

mempunyai resiko lebih besar untuk terganggu tumbuh kembang jiwanya.hal

ini disebabkan oleh karena kurangnya curahan kasih sayang orang tua

(28)

Anak adalah sebagai salah satu unsur dari suatu keluarga, mengalami

hubungan-hubungan antara pribadi yang pertama-tama dalam keluarga,misalnya hubungan-hubungan anak dengan orang tuanya, anak dengan sesama anak yang lain, anak dengan

anggota kerabat orang tuanya (ibu atau ayahnya)

Kalau kita menyadari bahwa orang tualah yang wajib menanamkan dan

mengajarkan norma–norma, dan perkembangan serta kehidupan anak sebagian

besar berada di lingkungan keluarga, maka jika tidak adanya ikatan emosional ini berarti tidak terciptanya iklim atau suasana kehangatan atau kasih sayang.

Dapat disimpulkan bahwa perceraian ini bisa menjadi pemicu terganggunya

psikologis terhadap anak jika orang tua tidak benar–benar bisa menjaga hubungan

emosional yang diterapkan kepada anak tersebut serta lancarnya hubungan komunikasi antara anak dan kedua orang tua.

Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan

dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar – dasar disiplin

diri. Keluarga yang utuh memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya sehingga anak dapat merasakan adanya

arahan, bimbingan, dan bantuan agar memudahkan anak untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukanya.

Secara garis besar anak mempunyai hak–hak yaitu hak untuk memperoleh

perlindungan khusus,kesempatan dan fasilitas yang memungkin kan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat,

memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir ,mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan memperoleh

(29)

dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin

dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri mendapat pendidikan serta memperoleh perlindungan terhadap segala bentuk yang menyia

– nyiakan anak.

Hak anak untuk mendapat pemeliharaan dan pendidikan sebaiknya kewajiban anak untuk menghormati orang tua, memberi tunjangan nafkah bila orang tua

tidak mampu lagi di hari tuanya bekerja untuk menghidupi dirinya.

Berikut dasar-dasar yang menyebabkan pasangan suami istri memutuskan untuk

bercerai yang dimuat didalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, berikut

diantaranya:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan

lainnya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

6. Antar suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta

(30)

7. Peralihan agama atau murtad4

Selain dasar-dasar perceraian yang dipaparkan didalam Peraturan Pemerintah No.

9 Tahun 1975 diatas, terdapat empat hal yang menjadi dasar sumber dari

peceraian yaitu (a) Masalah ekonomi, (b) Campur tangan dari orang lain, (c)

Perselingkuhan, (d) Ketidakcocokan.

Menurut KUH Perdata Pasal 208 disebutkan bahwa perceraian tidak dapat terjadi

hanya dengan persetujuan bersama. Dasar-dasar yang berakibat perceraian

perkawinan adalah sebagai berikut :

1. Zinah

2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.

3. Dikenakan penjara lima tahun atau hukuman yang berat lagi setelah

dilangsungkan perkawinan

4. Pencederaan berat atau penganiayaan yang dilakukan oleh salah seorang suami

atau isteri terhadap orang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan

keselamatan jiwa atau mendatangkan luka-luka yang membahayakan.

Perceraian sejatinya adalah sebuah peristiwa hukum karena merupakan sebuah

rangkaian proses panjang mulai dari tahap persiapan, masuk pengadilan, dan

melewati proses pengadilan sampai kepada jatuhnya putusan, dalam kenyatannya

ada pasangan suami-isteri yang maju kepengadilan hanya menggugat untuk

diminta untuk bercerai saja, sementara hak asuh anak dan harta bersama tidak

4 NM. Wahyu Kuncoro, S.H,

(31)

dipersoalkan. Tetapi ada juga pasangan suami-isteri yang menggugat pengadilan

tidak hanya diminta putusan cerai saja, melainkan sekaligus menggugat hak asuh

anak dan harta bersama.

Setelah perceraian itu terjadi dapat ditentukan kedudukan seorang anak tersebut jatuh kepada orang tua, baik pihak ibunya maupun pihak ayah. Yang menjadi

persoalan adalah anak–anak di bawah umur, yakni anak yang belum

berakal.siapakah antara suami atau istri yang berhak memelihara dan mengasuh anak tersebut, yang dalam istilah hukum islam disebut hak hadlanah.

Persepsi yang keliru beranggapan bahwa hak asuh adalah hak penuh ibunya sampai umur 12 tahun.Padahal pengadilan berada pada posisi lain, yakni ingin melindungi anak. Jadi kadang-kadang kewajiban itu dibebankan kepada bapak

atau kadang–kadang kepada ibu tergantung pada pertimbangan majelis hakim

dengan melihat apakah kepentingan anak itu bisa terpenuhi jika anak bersama

bapak ataukah bersama ibunya.

Bagi anak–anak yang dalam keadaan tertentu dapat berada di bawah pengasuhan

anak, yakni di asuh oleh seseorang atau lembaga untuk memberikan bimbingan,

pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan. Hal ini dimungkinkan bila orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh

kembang anak secara wajar.

Di dalam Kitab Undang – undang Hukum Perdata ditegaskan pada Pasal 246

bahwa setelah terjadinya perceraian terhadap kedua orang tua, masing – masing

anak yang belum dewasa akan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri siapa diantara kedua orang tua yang akan memelihara si anak tersebut. Kecuali ada nya

(32)

anak yang belum dewasa berada dikekuasaan siapa secara pasti, tapi hanya

menurut keputusan Pengadilan Negri dengan berdasarkan pertimbangan –

pertimbangan dan di lihat dari proses terjadinya perceraian.

Pertimbangan penentuan hak asuh itu sangat komprehensif. Kalau anak

sangatnyamandengan bapaknya karena sudah bertahun-tahun dengan bapaknya,

ada fakta-fakta hukum yang menunjukkan bahwa anak sudah terpelihara

sebelumnya oleh bapaknya, maka saat terjadi sengketa ada kemungkinan hanya akan keluar tambahan perintah dari Majelis Hakim bahwa memerintahkan kepada

bapak si anak untuk membuka kemungkinan berkumpulnya antara anak dengan ibunya 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Ditambah satu lagi, yakni

menghukum atau memerintahkan untuk memberikan kesempatan kepada ibu kandungnya untuk bersama dengan anaknya itu pada hari-hari yang telah

disepakati atau pada hari libur. Jadi kita tidak memihak kepada siapa–siapa, hanya

membebankan satu kewajiban kepada salah satu orangtua.

Setelah terjadinya perceraian orangtua mempunyai hak – hak secara umum, bagi

non muslim untuk pihak istri :

a. Umumnya si (mantan) istri mendapatkan hak pemeliharaan anak bila si

anak masih balita (bawah lima tahun);

b. Si (mantan) istri berhak mendapatkan bagiannya pada harta gono-gini.

Pihak suami :

a. Si (mantan) suami wajib membiayai dan menafkahi anaknya untuk

kepentingan kehidupannya sehari-hari dan biaya pendidikannya;

b. Si (mantan) suami juga berhak mendapatkan bagiannya pada harta

(33)

Negara memberikan aturan yang cukup panjang untuk terjadinya perceraian. Di

antaranya aturan adanya proses mediasi untuk mendamaikan pasangan

suami-isteri sebelum adanya persidangan di pengadilan, adanya pembinaan perselisihan

perkawinan dari Kementrian Agama melalui BP4 bahkan memberikan aturan

tambahan yang cukup panjang (birokratis) untuk perceraian bagi pasangan

Pegawai Negeri Sipil, anggota kepolisian, dan Tentara Nasional Indonesia. Cerai

hanyalah sebagai jalan keluar bagi pasangan yang memang dalam

kebersamaannya sangat penuh dengan konflik dan tidak mungkin lagi untuk bisa

didamaikan kembali.

Menurut agama Budha perceraian dapat dilakukan jika memilki alasan yang sangat kuat, karena sangat sulit untuk melakukan perceraian. Setelah perceraian terdapat dalam peraturannya baik ayah ataupun ibu berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya, semua pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya ditanggung oleh ayah, jika ayah tidak sanggup maka dewan pandita akan menentukan bahwa ibulah yang memikulnya.

Pasca perceraian, secara umum, anak berhakmendapat:

1. Kasih sayang, meskipun orangtua sudah bercerai. Anak harus

tetap mendapatkan kasih sayang dan anak berhak menentukan dengan siapa dia akan tinggal

Setelah bercerai, banyak anak yang tidak mendapatkan kasih

sayang secara penuh akibat keegoisan dari orang tua itu sendiri. Sehingga menumbuhkan rasa ketakutan dari anak tersebut

(34)

menentukan pilihan kepada siapa ia akan tinggal, namun pada

anak yang belum dewasa dapat ditentukan oleh Majelis hakim, pada putusan Perceraian kepada yang dianggap mampu

memelihara, mendidik anaknya hingga dewasa (anak tersebut dapat menentukan kepada siapa ia akan tinggal selanjutnya).

2. Pendidikan.

Memberikan pendidikan yang layak untuk anak tersebut, seperti memasukan anak tersebut ke tempat pendidikan

(sekolah), memberikan pelajaran spiritual (agama),

memberikan pelajaran tata karma, etika dan moral si anak agar

ank tersebut dapat bersosialisai dengan baik terhadap lingkungan disekitarnya.

3. Perhatian kesehatan

Memberikan perlindungan kesehatan baik segi fisik maupun non fisik, perlindungan segi fisik disini merupakan menjaga

agar anak tidak terkena penyakit atau menjaga kesehatan nya dengan memberikan vitamin yang terjauhi dari penyakit.

4. Tempat tinggal yang layak

Memberikan tempat tinggal yang layak, yang nyaman bagi anak sehingga anak dapat merasakan tempat tersebut bukanlah suatu tempat yang berbeda dengan sebelumnya meskipun

kedua orang tua nya telah bercerai. Diperlukannya kerja sama yang baik dari kedua orang tua, karena dari tempat tinggal yang

(35)

si anak tinggal hanya dengan salah satu orang tuanya dan

mungkin di tempat yang berbeda dan suasana yang berbeda. Perceraian selalu saja merupakan rentetan goncangan-goncangan yang

menggoreskan luka batin yang dalam bagi mereka yang terlibat, terutama anak-anak. Sekalipun perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan damai oleh orangtuanya, hal itu tetap saja menimbulkan masalah bagi anak-anak mereka.

Reaksi anak akan berbeda-beda terhadap perceraian orangtuanya. Semua tergantung pada umur, intensitas serta lamanya konflik yang berlangsung sebelum

terjadi perceraian.

Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang

berbeda-beda. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah atau remaja, biasanya akan merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga merasa khawatir terhadap akibat buruk yang akan

menimpa mereka. Adakalanya bagi sebagian anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa cemas terhadap kehidupan

mereka di masa kini dan di masa depan.

Anak-anak yang orang tuanya bercerai sangat menderita, dan mungkin lebih

menderita daripada orangtuanya sendiri. Keterlibatan pemerintah juga sangat diperlukan untuk memberikan solusi terbaik terhadap anak-anak korban perceraian untuk memastikan hak-hak mereka selaku anak bisa dipertahankan.

Membuat aturan yang lebih ketat dalam proses perceraian di pengadilan bisa menjadi salah satu alternatif bagi perlindungan terhadap anak. Dengan demikian

(36)

akan tumbuh dan berkembang secara baik. Mereka akan mendapatkan kasih

sayang dan perlindungan yang sepenuhnya dariorangtua mereka.

2. Macam-macam Cerai

Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan

pengadilan. (Undang-undang di Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan) mengenal 2 (dua) jenis gugatan perceraian, diantaranya:

a. Cerai Talak, yaitu cerai khusus bagi yang beragama Islam, di mana suami (pemohon) mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk

memperoleh izin menjatuhkan talak kepada isteri. Berdasarkan agama Islam, cerai

dapat dilakukan suami dengan mengikrarkan tala kepada isteri, namun agar sah

secara hukum, suami mengajukan pemohonan mejatuhkan ikrar talak terhadap

termohon di hadapan Pengadilan Agama. Talak merupakan metode perceraian

paling sederhana, dan secara hukum hanya bisa dilaksanakan oleh suami karena

alasan tertentu atau tanpa alasan sama sekali, meskipun secara moral keliru atau

secara hukum berdosa, pada prinsipnya secara hukum seorang suami bisa

menceraikan isterinya melalui pernyataan sedehana: “Saya menceraikan kamu”

b. Cerai Gugat, yaitu gugatan cerai yang diajukan oleh isteri (penggugat) terhadap suami (tergugat) kepada Pengadilan Agama dan berlaku pula pengajuan

gugatan terhadap suami oleh isteri yang beragama Islam di Pengadilan Negeri.

Cerai gugat inilah yang mendominasi jenis perceraian, jadi, jika isteri yang

mengajukan gugatan cerai dinamakan “cerai gugat”, dan jika suami yang

mengajukan gugat cerai dinamakan “cerai talak”, dalam hukum Islam, hak cerai

(37)

Negeri ada istilah cerai talak, sedangkan pada putusan pengadilan sendiri ada

cerai gugat yang disebut sebagai cerai inisiatif isteri, bahkan ada perkawinan yang

putus karena li’an (sumpah laknat suami-isteri karena tuduhan zina), khuluk (cerai

gugat, fasikh, dan sebagainya).

3. Dasar Hukum Perceraian

SUMBER HUKUM MATERIAL PERCERAIAN

1) Faktor Ideal

Pancasila Sebagai Cita Hukum dan Norma Fundamental Negara

Faktor ideal yang determinan dan menjadi sumber hukum material dan

menentukan substansi atau isi hukum perceraian dalam Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksananya

adalah Pancasila.

2) Faktor Kemasyarakatan

Kebutuhan Hukum dan Keyakinan tentang Agama dan Kesusilaan

dalam Masyarakat Menurut Penjelasan Undang-undang No. 1 Tahun

1974, sesuai dengan ladasan falsafah Pancasila dan Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 di satu pihak harus dapat mewujudkan

prinsip-prinsip yang terkadung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar

(38)

dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat

dewasa ini.5

SUMBER HUKUM FORMAL PERCERAIAN

1) Peraturan Perundang-undangan

Definisi peraturan perundang-undangan menurut pasal 1

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan adalah

“Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat

secara umum yang dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara

atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan

oleh Peraturan Perundang-undangan”.

Fungsi peraturan perundang-undangan, menurut J.J.H Bruggink, ialah

menetapkan kaidah atau memberikan bentuk formal terhadap kaidah

yang telah diberlakukan kepada para subjek hukum. Secara teoritis,

peraturan perundang-undangan merupakan instrumen untuk melakukan

positivisasi kaidah yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang.6

Putusnya perkawinan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan:

a) Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b) Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975, Pasal 199 KUH Perdata.

5 Muhammad Syaifudin,

Op.Cit. hlm 53 6

(39)

c) Pasal 113 sampai dengan Pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam.

2) Putusan Pengadilan atau Yurispudensi (Case Law)

Putusan Pengadilan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah

sumber hukum terpenting setelah peraturan perundang-undangan,

sebagaimana terfleksi dari Pasal 39 Ayat (1) yang memuat ketentuan

imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ini berarti bahwa tidak ada

perceraian, jika tidak ada putusan pengadilan. Sebaliknya, tidak ada

putusan pengadilan, jika tidak ada perkara perceraian.

Putusan pengadilan mengenai perceraian yang diharuskan oleh Pasal 39

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat menjadi

yurispudensi, dalam arti jika semua hakim di pengadilan menggunakan

metode penafsiram yang sama terhadap suatu norma-norma hukum

perceraian dalam peraturan perundang-undangan dan menghasilkan

kejelasan yang sama pula serta diterapkan secara terus menerus dan

teratur terhadap perkara atau kasus hukum perceraian yang berlaku

umum yang harus ditaati oleh setiap orang seperti halnya

undang-undang dan jika perlu dapat digunakan paksaan oleh alat-alat Negara

(40)

tersebut betul-betul ditaati. Hukum perceraian yang terbentuk dari

putusan-putusan hakim pengadilan seperti itu dinamakan yurisdpudensi

atau hukum dari putusan hakim.

3) Hukum Adat yang bersumber dari Kebiasaan dalam Masyarakat

(Customary Law)

Hukum adat yang bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat yang

dipahami sebagai aturan hukum tidak tertulis oleh warga masyarakat,

adalah faktor determinan menentukan substansi atau isi hukum

perceraian. Kebiasaan harus berproses secara bertahap dan lama, yang

terlebih dahulu harus ada perbuatan faktual yang dilakukan secara

berulang-ulang, untuk kemudian diikuti sebagian terbesar warga

masyarakat dengan kesadaran dan keyakinan yang kuat bahwa

perbuatan factual itu memang sesuai dengan pola sikap hidup bersama

masyarakat (opinion juris sive necessitaatis), barulah kebiasaan itu

menjadi hukum tidak tertulis.

4. Hak Asuh Anak.

Istilah hak asuh anak merujuk kepada arti yang berarti kekuasaan seseorang

(ayah/ibu/nenek, dan lain-lain) atau lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan

pengadilan, untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan,

dan kesehatan, karena orangtuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu

menjamin tumbuh kembang secara wajar sesuai dengan agama yang dianutnya

dan kemampuan, bakat serta minatnya. Pengertian hak asuh anak atau kuasa asuh

(41)

Anak, yaitu dalam Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (11) yang berbunyi:

“kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara,

membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama

yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”

Untuk orang-orang yang bukan beragama Islam atau yang perkaranya diperiksa

dan diputus di Pengadilan Negeri, karena tidak ada pedoman yang secara tegas

mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka

hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mepertimbangkan antara lain :

pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan ; kedua, bukti-bukti yang

diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim

mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut

dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak

tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani anak tersebut.

Kepada kedua orang tua hukum memberikan hak yang legal kepada kedua orang

tua tersebut untuk melaksanakan pemeliharaan atau perwalian terhadap anak-anak

mereka sesudah perceraian. Mereka memiliki hak yang sama ( equality ) untuk

melaksanakan segala kepentingan dan tanggung jawab pemeliharaan anak. Akan

tetapi hal tersebut dinilai teoritis dan tidak mungkin untuk pelaksanaannya.

Bagaimana caranya melakukan pemeilharaan secara bersama sama dalam

legalitas hak hukum yang sama, sedangkan kedua orang tua tersebut telah

bercerai. Dapat dibayangkan hal itu akan membawa percekcokan lagi diantara

mereka yang dampaknya akan lebih membawa kesan yang lebih buruk terhadap

(42)

Masalah utama yang terjadi pertimbangan bagi pasangan suami-isteri ketika

bercerai adalah apabila sudah ada anak sebagai buah hati mereka. Anak yang bagi

beberapa kalangan seakan menjadi beban, namun kenyataan membuktikan bahwa

kebanyakan pasangan cerai sangat menginginkan untuk mendapatkan kuasa/hak

asuh atas anak.

Dalam membantu membentuk psikologis anak dibutuhkan kesamaan persepsi orangtua dalam memberikan pengasuhan anak sesuai kebutuhan meskipun telah

bercerai. Orangtua juga dituntut untuk menyelenggarakan nafkah bagi

anak-anaknya sesuai dengan kemampuan dan kadar luar rezeki yang ada padanya. Khususnya terhadap seorang ayah wajib untuk mencari dan memberi nafkah

kepada anaknya setelah terjadinya perceraian.

Berikut merupakan ketentuan-ketentuan hak asuh anak dibawah umur oleh kedua

orangtua setelah terjadinya perceraian :

1. Syarat-syarat perilaku hak asuh anak dibawah umur

Mengenai tentang prilaku seorang pengasuh, merupakan hal yang mendapat

perhatian yang sangat besar pada saat ini. Karena salah itu, salah satu dari persyaratan yang harus di penuhi adalah bahwa seseorang yang akan

melakukan hak asuh anak hendaklah orang yang dapat di percaya dan berakhlak baik, hal itu karena hak asuh anak merupakan tugas mendidik dan

menggembleng si anak untuk berakhklak mulia. Peran si pendidik dalam memberikan contoh dan teladan dari sikap dan perilakunya akan terpatri dan terkesan secara mendalam pada hati si anak. Kalau yang ditampilkan oleh si

(43)

sama sesuai contoh yang ia terima. Begitu pula sebaliknya, jika yang ia

saksikan adalah perilaku yang tidak baik, maka perilaku tersebut akan tertular kepada anak tersebut.

Jika dalam persengketaan pemeliharaan anak terbukti bahwa, walaupun si ibu lebih dekat kepada anak, lebih halus, lebih penyantun, tetapi bila ia berakhlak buruk, tidak taat beragama, dan sebagainya, sedangkan si ayah orang yang

baik akhlaknya, taat beragama, tinggal dilingkungan yang agamis, maka sudah semestinya hakim menetapkan bahwa pemeliharaan anak tersebut diserahkan

kepada ayahnya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk kepentingan si anak. 2. Nafkah untuk anak

Biaya mengasuh anak dibebankan kepada ayah anak. Segala sesuatu yang diperlukan anak diwajibkan kepada ayah untuk mencukupinya. Apabila ibu yang mengasuh tidak mempunyai tempat tinggal, ayah harus menyediakannya

agar ibu dapat mengasuh anak dengan sebaik-baiknya. Apabila untuk keperluan asuhan yang baik diperlukan pembantu rumah tangga, dan ayah memang mampu, ia diwajibkan menyediakan pembantu rumah tangga itu. Jika

anak masih dalam masa menyusu, dan untuk dapat menyusui anak dengan baik ibu memerlukan makanan sehat, obat-obat vitamin , dan sebagainya,

semuanya itu menjadi beban ayah. Apabila anak sudah waktunya masuk sekolah, biaya pendidikan itu menjadi tanggungan ayah juga.

Tegasnya biaya mengasuh anak, apapun bentuknya, apabila memang

(44)

pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan biaya pendidikan dibebankan kepada

ayahnya.

Meskipun hak asuh anak dibawah umur ditetapkan kepada ibunya, tetapi biaya

pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Disini tampak bahwa sengketa pemeliharaan anak tidak dapat disamakan dengan sengketa harta bersama. Pada sengketa harta bersama yang dominan adalah tuntutan hak milik, bahwa

pada harta bersama ada hak suami dan ada hak istri yang harus dipecah. Ketika harta bersama telah dipecah, maka putuslah hubungan hukum suami

dengan harta bersama yang jatuh menjadi bagian istri, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, pada hak asuh anak dibawah umur ini, hubungan hukum antara

anak dengan orangtua yang tidak mendapat hak asuh anak tidaklah putus, melainkan tetap mempunyai hubungan hukum sebagai orangtua dan anak. Akibat logisnya adalah meskipun hak asuh anak, misalnya, ditetapkan kepada

ibu, maka pihak ibu sekali-kali tidak dibenarkan menghalang-halangi hubungan ayah dengan anaknya. Kesempatan harus diberikan kepada sang ayah untuk bertemu, mencurahkan kasih sayang kepada anaknya.

3. Berakhirnya masa asuhan akhirnya dipilih untuk diikuti, keberhasilan pendidikan agar menjadi anak

(45)

dimusyawarahkan bersama, perceraian ayah dan ibu jangan sampai anak yang

menjadi korban. Dan tidak boleh menanamkan rasa benci terhadap kedua orangtuanya, seperti ibu memburukan nama si ayah, begitu juga sebaliknya.

Dan anak yang mengikuti salah satunya tidak boleh dipisahkan dari salah satunya.

Anak dibawah umur dianggap belum dapat menyampaikan pendapatnya untuk

ikut tinggal dengan siapa setelah perceraian kedua orang tuanya. Disinilah kemudian pengadilan memutuskan siapa yang berhak dalam meletakkan

kewajiban pemeliharaan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang sesuai dengan keadaan yang nyata. Misalnya tidaklah pantas pengadilan menyerahkan

pemeliharaan pada si ibu sekalipun anak tersebut masih kecil jika data-data memperlihatkan moral ibu tidak sesuai sebagai pemelihara yang baik dan sudah dapat diperkirakan bahwa dia akan selalu melalaikan tanggung jawab

pemeliharaan tersebut. Ataupun sebelum perceraian atau penyebab perceraian itu disebabkan oleh tingkah laku dan sikap ibu yang dianggap minus, seperti melakukan zinah atau pemabuk dan lain sebagainya. Faktor lingkungan dan

kelakuan dari ibu dan ayahnya, faktor kemampuan memberi kesempatan yang baik dan menyenangkan ditinjau dari segi sosial ekonomi pemeilharaan, usia dan

jenis kelamin anak, serta kasih sayang yang tampak timbal balik antara kedua orang tua dengan anak-anak dan anak dengan orang tua juga menjadi pertimbangan hakim dalam memutus hak asuh anak tersebut.

Pada dasarnya hak asuh anak dibawah umur lebih diperioritaskan kepada pihak ibu, dikarenakan ibu lebih ulet dalam memelihara dan mendidik anak tersebut,

(46)

Ibu), merawat anak tersebut dengan lebih terampil. Namun hak asuh anak

dibawah umur dapat juga jatuh kepihak bapak dengan pertimbangan-pertimbangan hakim yang lebih mendasar.

Adapun hal yang dapat mempertimbangkan bahwa hak asuh anak dapat jatuh ke pihak ayah dengan alasan sebagai berikut :

a. Jika kedua orang tua sama-sama bekerja, maka hak asuh anak lebih baik jatuh

kepihak bapak karena, jika anak jatuh ke pihak ibu kemungkinan besar anak tersebut akan terlantar, dengan sibuknya ibu kerja dan kemungkinan akan

menimbulkan pihak bapak merasa tidak perlu memberikan nafkah ke pada anak, pihak bapak menganggap, pihak ibu dapat menafkahi. Jika anak jatuh ke

pihak bapak, bapak harus bertanggungjawab untuk menafkahi anaknya dan mendidik anaknya sehingga lebih efektif dalam pemeliharaan anak tersebut. b. Jika ibu berhubungan dengan tindakan yang melawan hukum seperti

melakukan perbuatan kriminal, contoh ; narkoba, penipuan, pencurian, pembuhan, dan sebagainya yang mengakibatkan ibu di penjara sehingga tidak dapat mengasuh anak secara baik.

c. Jika ibu di ketahui tidak berakal sempurna, sakit, sehingga sangat tidak efektif untuk mengasuh anak tersebut. hal ini akan mempengaruhi jiwa seorang anak,

jika orang yang merawatnya memiliki akal yang tidak sempurna sehingga menimbulkan ancaman bagi si anak.

Pada dasarnya ibu mengganggap anak tersebut sangat membutuhkan sentuhan

(47)

kebiasaan-kebiasaan yang baik dan dipupuk dari sejak dini dengan keperibadian

yang baik hingga ia dapat menentukan sebuah pilihan hidupnya.

Keputusan hakim tidak diterima oleh suami karena hak asuh anaknya jatuh ke

tangan mantan isteri, sedangkan isteri merasa senang dengan apa yang diputuskan hakim. Isteri berpendapat jika hak asuh anak dibawah umur jatuh ketangan suami sangat tidak logis, karena anak dibawah umur sangat membutuhkan kasih sayang

seorang ibu karean kasih sayang yang diberikan seorang ayah sangatlah berbeda daripada seorang ibu.

Meskipun pengadilan telah menetapkan salah satu orang tua mempunyai hak penguasaan anak , ini tidak berarti orang tua tersebut dapat bertindak penuh atau

berkuasa penuh atas diri si anak. Pasal 14 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “setiap anak berhak untuk diasuh oleh

orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah

menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.” Dalam penjelasan ditegaskan bahwa,

“pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan

anak dengan orang tuanya.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa banyak nya sengketa tentang

pemeliharaan hak asuh anak, dan sebagian orang tua tidak mengetahui mengenai pengaturan hukum terhadap Hak asuh anak dibawah umur, mereka mengetahui tapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

(48)

jika perceraian dibumbui dengan konflik yang saling menyakiti baik fisik, verbal,

emosi, maupun yang lainnya.

Penilaian buruk dari masing-masing pihak sering memberi kesan kepada anak

bahwa kedua orang tua mereka memang seburuk yang dikatakan oleh masing-masing orang tuanya. Jika pada akhirnya anak menjdai kurang hormat kepada kedua orang tua nya, itu hanyalah hasil dari nilai yang ditanamkan oleh kedua

orang tuanya juga.

5. Pihak-Pihak Yang Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak

Sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim Pengadilan

Negeri untuk memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dalam

perkara perceraian, apakah ayah atau ibu, jadi tidak heran jika banya

permasalahan dalam kasus “perebutan kuasa asuh anak”, baik di dalam

persidangan maupun di luar persidangan. Hakim mempertimbangkan putusannya

berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak. Hal yang juga diperhitungkan adalah perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait

kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi. Jadi, kunci menang kalahnya seorang ibu dalam perebutan “hak perwalian anak” adalah pada

argumentasi hukum si ibu. Mereka yang kalah umumnya karena kurang kuatnya argumentasi hukum untuk meyakinkan hakim tentang pola pengasuhan yang di

lakukannya kepada si anak.

(49)

keperluan anak, kurang mengutamakan kedekatan kepada si anak, dan hal-hal

terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi. Perebutan pengasuhan anak juga menjadi salah satu permasalahan yang sering

muncul. Masing-masing pihak merasa memiliki kapasitas yang lebih dari yang lainnya dalam hal pengasuhan anak. Bahkan tidak jarang muncul ancaman-ancaman tertentu guna memenangkan hal pengasuhan anak.

Pada kenyataannya sebagian dari bapak telah mendapatkan hak pengasuhan anak dibawah umur setelah perceraian, hal dikarenakan sebagai berikut :

a. Ibu dianggap tidak baik dalam mendidik anak dikarenakan sikap ibu yang tidak bisa memberikan gambaran baik terhadap anak, seperti ; memukul anak,

memarahi anak secara berlebihan.

b. Lingkungan ibu yang tidak baik, dapat mempengaruhi pola pikir dan pertumbuhan psikologis anak yang tidak baik.

Begitu pula ada aturan dalam Pasal 41 huruf (a) Undang-undang No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa : Baik ayah atau ibu tetap

berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan

kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,

pengadilan memberi putusannya.”

Perlu digarisbawahi bahwa dalam kasus “perebutan hak asuh anak” tetap harus

didasari demi kepentingan dan pemenuhan kebutuhan si anak. harus pahami

bahwa pascaperceraian, secara umum, anak berhak mendapat7:

7 Adib Bahari,

(50)

1. Kasih sayang, meskipun orang tua sudah bercerai. Anak harus tetap

mendapatkan kasih sayang dan anak berhak menentukan dengan siapa

dia akan tinggal (bila anak telah mummayiz)

2. Pendidikan’

3. Perhatian Kesehatan

4. Tempat tinggal yang layak

Di dalam Pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dijelaskan Bahwa: Salah satu atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya

terhadapa seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan

orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung

yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan

dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. Ia berkelakuan buruk sekali

Tetapi meskipun orang tua telah dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap

berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan pendidikan kepada anak

tersebut. Hal-hal tersebut diatas menjelaskan bahwa, apabila salah satu orang tua

atau kedua orang tua telah mendapatkan hak asuh/wali dari anak, mereka juga

dapat kehilangan hak kekuasaan yang diberikan kepada mereka apabila mereka

melalaikan kewajiban mereka terhadap anak tersebut dan mereka berkelakuan

(51)

3. Kerangka Pikir

Berdasarkan dengan bagan diatas, maka secara singkat dijelaskan sebagai berikut: Perkawinan

Perceraian

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 135/PDT.G/2013/PN.TK

Pertimbangan Hukum Hakim Atas Hak Asuh

Anak

Akibat Hukum Atas Hak Asuh

Anak

Suami Isteri

Alasan

(52)

Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai yaitu pihak

pria dan wanita. Ketika pihak pria dan wanita telah sepakat untuk melangsungkan

perkawinan, maka status pria berubah menjadi suami dan wanita berubah menjadi

isteri. Perkawinan antara suami dan isteri dapat putus apabila diantara kedua belah

pihak sudah tidak dapat lagi untuk mempertahankan perkawinan mereka dan

memutuskan untuk bercerai. Putusnya perkawinan karena perceraian, selain

berakibat bagi bekas suami dan bekas isteri, juga membawa akibat hukum bagi

anak yang dilahirkan dari perkawinan. Salah satu persoalan yang ditimbulkan dari

perceraian ialah hak asuh anak. Jika persoalan tersebut telah mendapatkan

keputusan hakim setelah beracara di pengadilan, barulah kemudian dapat di

tentukan pemberian hak asuh anak jatuh kepada pihak ayah ataupun kepada pihak

ibu tersebut yang didasari pada kemampuan oranng tua untuk bertanggungjawab

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum Normatif.

Penelitian hukum normatif menggunakan studi kasus hukum normatif

(Normative-legal case study) berupa produk perilaku hukum, cara definisi yang

dekat dengan jenis pembahasan. Penelitian hukum normatif ini mencakup

Penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap asas-asas hukum,

penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan

penelitian perbandingan hukum.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian

Deskripsi Analisis. Deskripsi analisis yaitu penyelidikan terhadap suatu hal untuk

mengetahui keadaan yang sebenarnya, karena penelitian ini dilakukan dengan cara

(54)

hak asuh anak akibat peceraian yang terdapat dalam putusan No.

135/PDT.G/2013/PN.TK)

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini melalui Judicial Case

Study adalah penelitian yang dilakukan pada kasus hukum karena konflik yang

diselesaikan melalui putusan pengadilan, atau disebut juga studi yurisprudensi.1.

Dalam hal ini perkara hak asuh anak akibat perceraian melalui putusan No.

135/PDT.G/2013/PN.TK

D. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Sekunder. Data sekunder

yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan peraturan-undangan yang

berkaitan dengan objek penelitian, baik itu bahan hukum primer dan bahan

sekunder, yaitu dapat berupa sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

terdiri dari:

1. Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

3. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975

4. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.

135/PDT.G/2013/PN.TK

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti literatur dan buku-buku

1

(55)

penunjang yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan

skripsi ini.

E. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan

menggunakan studi kepustakan (Library Research). Studi kepustakan merupakan

serangkaian kegiatan yang dilakukan penulisan dengan maksud untuk

memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari

berbagai literatur, perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan

tulisan lainnya yang berhubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

F. Pengelohan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan diolah dengan

menggunakan metode :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat

kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu proses pengelompokan data sesuai dengan bidang

pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisa data.

c. Sistematisi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada

tiap pokok bahasan secara sistemasi sehingga memudahkan pembahasan.

G. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai dlakukan analisis secara deskriptif kualitatif yitu

dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat secara terperinci, teratur, dan

sistematis, kemudian dilakukan interprestasi data yaitu dengan cara

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan hasil belajar ini dapat kita lihat dari rata-rata kelas siswa pada skor dasar sebelum melakukan tindakan penelitian yaitu 67,50 dan setelah

Based on the above, hypothesis (H4) states that trust is a mediator between satisfaction and loyalty, and intention to rebuy. Theory of

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi guna mengetahui, menjawab dan menjelaskan tentang pengaruh desain, bentuk & pola tata ruang

terdapat hubungan yang signifikan antara terdapat hubungan yang signifikan antara sikap ibu balita tentang pos gizi dengan sikap ibu balita tentang pos gizi

Apabila dibandingkan dengan penggunaan α sebesar 5% (0,05), maka nilai probabilitas p = 0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan uji kualitas air

Dengan permasalahan yang ada yaitu tingkat komunikasi yang rendah antara karyawan dengan manajemen serta tidak fokusnya karyawan terhadap tanggung jawabnya, maka peneliti

Pada akhir pertemuan, pembimbing menugasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan mandiri 3 yaitu melaksanakan praktek/latihan praktek perbaikan pembelajaran masalah I

Pada penerapan MPC pada flow line sistem produksi bentuk sebarang ada beberapa tahapan penyelesaian, yaitu sebagai berikut. 1) Mengetahui susunan skema dari suatu