• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Oleh

HERI YANSAH

Penyidikan kasus Anak dilakukan oleh penyidik, anak tersebut harus dikemas dalam suasana kekeluargaan. Yang dimaksud dengan “dalam suasana kekeluargaan” antara lain pada waktu memeriksa tersangka, penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik . Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama dengan mengunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dapat mengajak terdakwa untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Sedang simpatik dapat diartikan pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti terhadap tersangka. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa penyidik terhadap anak nakal, dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Permasalahan yang ada Proses penyidikan anak berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Penulis menggunakan dua macam metode pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris:Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara melihat dan mempelajari kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang erat hubungannya dengan penulisan penelitian ini.

(2)

Dengan melihat permasalahan di atas maka paradigma filosofi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive). Model peradilan anak retributif tidak pernah mampu memberikan kerangka kerja yang memadai bagi berkembangnya sistem peradilan anak.

Penulis memberikan saran bahwa roses penyidikan berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak haruslah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mementingkan kepentingan anak.

(3)

Oleh

HERI YANSAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(4)

HERI YANSAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 10

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbandingan Hukum … ... 12

B. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana... 13

C. Pengertian Penyidikan Terhadap Anak... .. 14

D. Sistem Pemidanaan Anak... 16

E. Model Diversi ... 19

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 22

B. Sumber dan Jenis Data ... 23

C. Penentuan Narasumber ... 25

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 25

E. Analisis Data ... 27

(7)

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan dengan Undang Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak... 37

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 49

B. Saran ... 50

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap anak memerlukan pembinaan dan perlidungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi,

selaras dan seimbang. Pembinaan dan perlindungan anak ini tak mengecualikan

pelaku tindak pidana anak, kerap disebut sebagai “anak nakal”. Anak yang

melakukan tindak pidana, dalam hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1

(angka 1) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ialah anak yang

belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.1

Konteks hukum acara pidana, Sudarto menegaskan bahwa aktivitas pemeriksaan

tindak pidana yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lainnya

haruslah mengutamakan kepentingan anak atau melihat kriterium apa yang paling

baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan tanpa mengurangi perhatian

kepada kepentingan masyarakat.2

Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, Paulus Hadisuprapto meyakini

bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen)cenderung merugikan

perkembangan jiwa anak di masa mendatang.

1

Setyowati Irma.1990,Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara hlm 23

2

(9)

Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana

penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi

Arief, pidana penjara dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus

walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi. Akibat penerapan

stigma bagi anak akan membuat mereka sulit untuk kembali menjadi anak

”baik”.3

R.M. Jackson mengemukakan, bahwa pidana penjara termasuk jenis pidana yang

relatif kurang efektif. Berdasarkan hasil studi perbandingan efektivitas pidana,

angka perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali

(reconviction rate) orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding

terbalik dengan usia pelaku.Revonviction rateyang tertinggi, terlihat pada

anak-anak, yaitu mencapai 50 persen. Angka itu lebih tinggi lagi setelah orang dijatuhi

pidana penjara daripada pidana bukan penjara.4

Berkaitan dengan anak yang melakukan perbuatan pidana sehingga harus diajukan

ke sidang pengadilan anak, perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak-anak

adalah sejenis dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Yang

membedakan adalah pelakunya, yakni anak-anak. Pengetahuan ini sangat penting

untuk diketahui oleh pejabat-pejabat yang bersangkutan dengan anak-anak yang

melakukan perbuatan melanggar hukum atau melakukan tindak pidana.

Tujuan diberikannya perlindungan hukum bagi pelaku kejahatan adalah untuk

menghormati hak asasi si pelaku agar nasibnya tidak terkatung-katung, adanya

3

Ibid hlm 25 4

(10)

kepastian hukum bagi pelaku serta menghindari perlakuan sewenang-wenang dan

tidak wajar . Sedangkan konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang

luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas

jiwa dan raga anak, tetapi mencakup pula perlindungan atas semua hak serta

kepentingannya yang dapat menjamin prtumbuhan secara wajar, baik secara

rohani, jasmani maupun sosialnya sehingga diharapkan dapat menjadi orang

dewasa yang mampu berkarya

Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Pasal 64 Ayat (1)

UU Perlindungan Anak, diarahkan pada anak-anak yang berkonflik dengan

hukum dan anak korban tindak pidana. Berdasarkan Pasal 64 Ayat (2) UU

Perlindungan Anak, perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum

dilaksanakan melalui5:

1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak

anak;

2. penyediaan sarana dan prasarana khusus;

3. penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini ;

4. pemantauan dan pencatatan terus mennerus terhadap perkembangan anak yang

berhadapan dengan hukum;

5. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau

keluarga

5

(11)

6. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk

menghindari labelisasi.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa penyidik terhadap anak

nakal, dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan oleh penyidik yang ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat

lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Hal ini berarti juga

bahwa tidak semua penyidik dapat menjadi penyidik dalam perkara anak, karena

hanya yang mendapatkan kewenangan dari Kapolri untuk menjadi penyidik anak.

Eksepsionisnya terhadap hal-hal tertentu karena penyidik anak tidak ada maka

penyidik dalam perkara biasa dapat menjadi penyidik bagi perkara anak, dasar

hukumnya Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang tentang Peradilan Anak. Syarat

untuk menjadi penyidik anak yaitu penyidik yang telah berpengalaman sebagai

penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa serta harus mempunyai

minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah yang berkenaan dengan anak.6

Penyidikan kasus Anak dilakukan oleh penyidik, anak tersebut harus dikemas

dalam suasana kekeluargaan. Yang dimaksud dengan “dalam suasana

kekeluargaan” antara lain pada waktu memeriksa tersangka, penyidik tidak

memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif, dan

simpatik . Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu

lama dengan mengunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dapat mengajak

terdakwa untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Sedang simpatik

6

(12)

dapat diartikan pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta

tidak menakut-nakuti terhadap tersangka.7

Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau

sejenisnya selama dalam penyidikan . Sekali lagi ini menunjukkan perlindungan

hukum terhadap anak meskipun telah menjabat sebagai pelaku tindak pidana.

Disisi lain penyidik anak tersebut wajib untuk meminta pertimbangan atau saran

dari pembimbing kemasyarakatan atau jika perlu kepada ahli pendidikan, ahli

kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyrakatan lainnya, dasar hukumnya

tercantum dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Proses penyidikan ini juga harus dirahasiakan agar tidak

dengan mudah dapat diketahui umum yang dapat menyebabkan depresi, malu atau

minder dan lain sebagainya yang nantinya berakibat secara psikis terhadap

tumbuh kembangnya anak di masyarakat.

Ketentuan yang ada pada Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak tidak memberikan kekhususan bagi anak yang berhadapan

dengan hukum seperti tidak ada pengecualian serta tidak adanya upaya lain seperti

Restorative Justice Systemdan Diversi.

Berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam undang undang terbaru ini

memberikan perlakuan khusus kepada anak yang sedang berhadapan dengan

hukum seperti pada proses pemeriksaan polisi tidak boleh membentak, memaksa

7

(13)

atau bertindak agresif anak karena undang undang ini menjaga agar anak tidak

terganggu aspek kejiwaan serta hakim yang melaksanakan persidangan tidak

menggunakan seragam. Undang Undang ini juga mengenalkan upaya kebijakan

Restoratif Justice Systemdan Diversi

Hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk mengkaji lebih lanjut dalam

skripsi yang berjudul “Analisis perbandingan penyidikan anak yang melakukan

tindak pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak ”

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.Permasalahan

Berdasarkan Latar Belakang yang telah dikemukakan diatas, maka permasalahan

yang akan dibahas adalah

1. Bagaimanakah Proses penyidikan anak berdasarkan Undang Undang Nomor

3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Apa perbedaan konsep penyidikan anak berdasarkan Undang Undang Nomor

3 Tahun 1997 Tentang Pengdailan dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun

(14)

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan dari permasalahan

yang timbul, maka penulis membatasi pada lingkup Ilmu Pengetahuan Hukum

Pidana Formil. Ruang lingkup tempat penelitian di Kota Bandar Lampung dan

tahun penelitian ini yaitu pada tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunan Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk menganalisis Proses penyidikan anak berdasarkan Undang Undang

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

b. Untuk mengetahui perbedaan konsep penyidikan anak berdasarkan Undang

Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengdailan dengan Undang Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2. Kegunaan penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu

pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka

memberikan penjelasan mengenai Analisis perbandingan penyidikan anak yang

melakukan tindak pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

(15)

b. Kegunaan Praktis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu

pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka

memberikan penjelasan mengenai perbandingan penyidikan anak yang melakukan

tindak pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.8

Menurut G. Guitens Bergoins, study comparative ataupun perbandingan hukum

adalah metode perbandingan yang diterapkan dalam ilmu hukum. Istilah study

comparative ataupun perbandingan hukum bukanlah suatu ilmu hukum, tetapi

melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode yang digunakan untuk meneliti

sesuatu, suatu cara bekerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas

element atupun seperangkat peraturan, maka nampak jelas bahwa hukum

perbandingan (vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk

membanding-bandingkan atauran hukum dari berbagai sistem hukum tidak berdampak pada

8

(16)

perumusan-perumusan atauran yang berdiri sendiri: tidak ada aturan hukum

perbandingan.9

Studi comparative ataupun perbandingan hukum suatu metode mengandung arti

bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek

atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode studi

komparatif ataupun perbandingan hukum. Studi comparativehukum pidana harus

dipahami dengan menggunakan metode fungsional, kritis, realistis dan tidak

dogmatis serta diperlukan dalam proses pembaharuan hukum.

Menurut Konrad Zwegert dan kurt Siehr, studi comparative hukum ataupun

perbandingan hukum modern menggunakan metode kritis, realistis dan tidak

dogmatis10:

1. Kritis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum sekarang tidak mementingkan perbedaan-perbedaan ataupun persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum (legal orders) semat-mata sebagi fakta, akan tetapi yang dipentingkan ialah apakah penyelesaian secara hukum ataupun sesuatu masalah relevan, dapat dipraktekkan. Adil dan kenapa penyelesaian demikian.

2. Realisitis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum bukan seja meneliti perundang-undangan, keputusan peradilan dan doktrine, akan tetapi sumua motif nyata menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis, psikologis, ekonomis dan moti-motif lain yang berasal dari kebijakan legislatif.

3. Tidak dogmatis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum tidak hendak terkekang dalam kelakuan dogma, meskipun dogma mempunyai fungsi sistematisasi, akan tetapi dogma dapat mengaburkan dan menyerongkan pandangan dalam menemukan “penyelesaian hukum yang lebih baik”.

9

Barda Nawawi Arif, 2011, Perbandingan hukum Pidana (edisi revisi), Jakarta, Hal. 5 10

(17)

Studi komparatif hukum menggunakan pendekatan fungsioanl, karena akan

mempertanyakan apakah fungsi suatu norma atau pranata dalam masyarakat

tertentu, dan apakah dengan demikian fungsi itu dipenuhi dengan baik atau tidak.

Dengan demikian secara ideal dapat diadakan ramalan, apakah norma itu perlu

dipertahankan, dihapus atau diubah.

Soedarto berpendapat bahwa kegunaan studi komparatif hukum mencakup

beberapa hal, yakni11:

1. Unifikasi hukum 2. Harmonisasi hukum

3. Mencegah adanya chauvisme hukum nasional 4. Memahami hukum asing, dan

5. Pembaharuan hukum

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau

menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang

berkaitan dengan istilah itu.12

a. Analisis adalah merangkum sejumlah data besar data yang masih mentah

menjadi informasi yang dapat diinterpretasikan.

b. Perbandingan hukum adalah suatu metode studi dan penelitian di mana

peraturan hukum terkait perbandingan penyidikan tentang anak.13

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh

undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana.14

11

Ramli atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung, Fikahati Aneska, Hlm. 16 12

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat) hlm 32. 13

(18)

d. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun),

termasuk anak yang masih dalam kandungan.15

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka

sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuuan yang memuat latar belakng masalah,

permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka

teoritis dan konseptual, serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengertian Penyidikan, pengertian anak, teori

pemidanaan dan teori pemidanaan anak

III METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data,

prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa

analisis data.

14

Syamsudin,2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada hlm 32

15

(19)

IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini pembahasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan

permasalahan dalam skripsi ini, akan dijelaskan perbandingan penyidikan

anak yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

V PENUTUP

(20)

Setiap subjek hukum berhubungan dengan satu bagian khusus dalam sistem

hukum, hukum pidana membahas aturan-aturan mengenai kejahatan, hukum acara

membahas aturan-aturan tentang proses-proses beracara di pengadilan. Sebagian

ilmu hukum mempunyai sifat yang berbeda karena berhubungan dengan beberapa

masalah menyeluruh yang mempengaruhi seluruh atau hampir seluruh sistem

hukum. Yang termasuk kelompok ini adalah subjek-subjek teoritis, antara lain

sejarah hukum, sosiologi hukum, yurisprudensi serta perbandingan hukum atau

hukum komparatif (comparative law). Istilah perbandingan hukum dalam bahasa asing antara lain: Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law, Droit Compare, Rechtsgelijking. Dalam Blacks Law Dictionary dikemukakan bahwa, Comparative Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum.

Menurut G. Guitens Bergoins, study comparative ataupun perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan dalam ilmu hukum. Istilah study

comparative ataupun perbandingan hukum bukanlah suatu ilmu hukum, tetapi melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode yang digunakan untuk meneliti

sesuatu, suatu cara bekerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas

(21)

perbandingan (vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk membanding-bandingkan atauran hukum dari berbagai sistem hukum tidak berdampak pada

perumusan-perumusan atauran yang berdiri sendiri: tidak ada aturan hukum

perbandingan.1

Studi comparative ataupun perbandingan hukum suatu metode mengandung arti bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek

atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode studi

komparatif ataupun perbandingan hukum. Studi comparativehukum pidana harus dipahami dengan menggunakan metode fungsional, kritis, realistis dan tidak

dogmatis serta diperlukan dalam proses pembaharuan hukum.

Menurut Konrad Zwegert dan kurt Siehr, studi comparative hukum ataupun perbandingan hukum modern menggunakan metode kritis, realistis dan tidak

dogmatis2:

Kritis karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum sekarang tidak mementingkan perbedaan-perbedaan ataupun persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum (legal orders) semat-mata sebagi fakta, akan tetapi yang dipentingkan ialah apakah penyelesaian secara hukum ataupun sesuatu masalah relevan, dapat dipraktekkan. Adil dan kenapa penyelesaian demikian.

1

Barda Nawawi Arif, 2011, Perbandingan hukum Pidana (edisi revisi), Jakarta, Hal. 5 2

(22)

Realisitis karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum bukan seja

meneliti perundang-undangan, keputusan peradilan dan doktrine, akan tetapi

sumua motif nyata menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis, psikologis, ekonomis

dan moti-motif lain yang berasal dari kebijakan legislatif.

Tidak dogmatis karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum tidak

hendak terkekang dalam kelakuan dogma, meskipun dogma mempunyai fungsi

sistematisasi, akan tetapi dogma dapat mengaburkan dan menyerongkan

pandangan dalam menemukan “penyelesaian hukum yang lebih baik”.

Studi komparatif hukum menggunakan pendekatan fungsioanl, karena akan

mempertanyakan apakah fungsi suatu norma atau pranata dalam masyarakat

tertentu, dan apakah dengan demikian fungsi itu dipenuhi dengan baik atau tidak.

Dengan demikian secara ideal dapat diadakan ramalan, apakah norma itu perlu

dipertahankan, dihapus atau diubah.

Soedarto berpendapat bahwa kegunaan studi komparatif hukum mencakup

beberapa hal, yakni3:

1. Unifikasi hukum

2. Harmonisasi hukum

3. Mencegah adanya chauvisme hukum nasional

4. Memahami hukum asing, dan

5. Pembaharuan hukum

3

(23)

B. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Pengertian anak sebagai pelaku tindak pidana pada Pasal 1 butir 1 UU Pengadilan

Anak adalah yang terlibat dalam perkara anak nakal. Menurut Pasal 2 butir 2 yang

dimaksud dengan anak nakal mempunyai dua pengertian yaitu4:

1. Anak yang melakukan tindak pidana

Walaupun UU Pengadilan Anak tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, akan

tetapi dapat dipahami bahwa anak yang melakukan tindak pidana, perbuatannya

tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja

melainkan juga melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP misalnya ketentuan

pidana dalam UU Narkotika, UU Hak Cipta, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak

Yang dimaksud dengan perbuatan terlarang bagi anak adalah baik menurut

peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup

dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan

tersebut baik yang tertulis maupun tidak tertulis misalnya hukum adat atau

aturan-aturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat.

Pasal 1 butir 2 mengenai pengertian anak nakal di atas, yang dapat diperkarakan

untuk diselesaikan melalui jalur hukum hanyalah anak nakal dalam pengertian

angka 1 di atas, yaitu anak yang melakukan tindak pidana.

4

(24)

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan

hukum, yaitu5:

1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut,

membolos sekolah atau kabur dari rumah

2. Juvenile Deliquency adalah perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/kenakalan anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada

anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga

mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang

C. Pengertian Penyidikan terhadap Anak

Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang

dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka

penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri.

Sejalan akan diberlakukannya dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak

nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 26 Ayat (1)

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada

intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh

penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau

pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri,

akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap

5

(25)

perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal

adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak

diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan

tersebut. Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat

(3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah:

1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;

2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.

3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai

semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang

pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses

peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku

dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait

dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.6

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 1

butir 13 yang dimaksud penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Mulai dari penyidikan, POLRI

menggunakan parameter alat bukti sah yang sesuai dengan Pasal 184 KUHAP

yang dikaitkan dengan segitiga pembuktian/evidencetriangleuntuk memenuhi

6

(26)

aspek legalitas dan aspek legitimasi untuk membuktikan tindak pidana yang

terjadi.7

D. Sistem Pemidanaan Anak

Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan terhadap anak lebih lanjut,

kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang melakukan tindak pidana

yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 Pasal 1Angka 2 yang

berbunyi8:

1. Anak yang melakukan tindak pidana.

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum lain

yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal anak tersebut dapat

dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimal

sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut

beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang

dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan

tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.

7

Solehuddin,2011, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada hlm45

8

(27)

Dan mengenai batasan umur anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam

pasal 4, yaitu 9:

1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak

adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur

18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana di

maksud dalam ayat (1) dan di ajukan ke sidang pengadilan setelah anak

yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetapi di ajukan ke sidang anak.

Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, anak di bawah umur yang melakukan

kejahatan yang memang layak untuk diproses adalah anak yang telah berusia 8

tahun dan diproses secara khusus yang berbeda dengan penegakan hukum

terhadap orang dewasa. Tetapi pada prakteknya penegakan hukum kepada anak

nakal terkadang mengabaikan batas usia anak.10

Mahkamah Konstitusi melalui Keputusannya Nomor 1/PUU-VIII/2010 (LNRI

Tahun 2012 No. 153) menyatakan frase 8 tahun dalam Pasal 1 Angka 1, Pasal 4

Ayat (1) dan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan dengan UUD

1945 serta menilai untuk melindungi hak konstitusional anak, perlu menetapkan

batas umur bagi anak yaitu batas minimal usia anak yang bisa dimintai

9

Ibidhlm 60 10

(28)

pertanggungjawaban hukum adalah 12 (dua belas) tahun karena secara relatif

sudah memiliki kecerdasan, emosional, mental dan intelektual yang stabil.11

Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. pidana berupa

pidana pokok dan pidana tambahan, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3

Tahun 1997 yang mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak

nakal, yaitu12:

1. Pidana Pokok merupakan pidana utama yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal. Beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu:

a. Pidana penjara; b. Pidana kurungan; c. Pidana denda, atau; d. Pidana pengawasan,

2. Pidana Tambahan adalah pidana yang dapat dijatuhkan sebagai tambahan dari pidana pokok yang diterimanya. Selain pidana pokok maka terhadap anak nakal dapat pula dijatuhkan pidana tambahan, berupa :

a. Perampasan barang-barang tertentu, dan/atau; b. Pembayaran ganti rugi.

Tindakan pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang bertujuan untuk

membina dan memberikan pengajaran kepada anak nakal. Beberapa tindakan

yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal berdasarkan Pasal 24 UU Pengadilan

Anak adalah 13:

1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja, atau;

11

Ibid hlm 83 12

Wagiati, 2010, Hukum Pidana Anak Bandung : Refika Aditama hlm 62 13

(29)

3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial

kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan

kerja.

E. Model Diversi

Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau

menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana

Undang-UndangNo. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana telah

mengatur tentangdiversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan

hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal

ini sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB

Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan

peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana (president’s crime commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak

(children’s court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959

diikuti oleh negara bagian queensland pada tahun 1963.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap

jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan

pidana.Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan

(30)

diskresi. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada

selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari

tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan

kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari

masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan

pencegahan.Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak

perlu diproses ke polisi.

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau

pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk

memperbaiki kesalahan. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus

anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak

hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan

melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi

atau tindakan yang tepat (appropriate treatment)Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu:

1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau

pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan

yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak

(31)

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan

menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat

mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan

membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat.

Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama

mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan,

karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan

menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang

diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu

(32)

bermanfaat dan berhasil guna untuk dapat memecahkan masalah yang akan

dibahas berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode adalah cara

kerja untuk memahami objek yang menjadi tujuan dan sasaran penelitian.1

Soerjono soekanto mengatakan metodelogi berasal dari kata metode yang artinya

jalan, namun menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan beberapa

kemungkinan yaitu suatu tipe penelitian yang digunakan untuk penelitian dan

penilaian, suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, dan cara tertentu

untuk melaksanakan suatu prosedur. Untuk mendapatkan data yang diperlukan

dalam melakukan penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

A. Pendekatan Masalah

Pembahasan terhadap masalah penelitian ini, penulis menggunakan dua macam

pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris:

a) Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan

pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pendekatan tersebut

dilakukan dengan cara melihat dan mempelajari kaidah-kaidah, norma-norma,

aturan-aturan, yang erat hubungannya dengan penulisan penelitian ini.

7

(33)

b) Pendekatan yuridis empiris adalah adalah dengan mengadakan penelitian

lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik dan

mengenai pelaksanaannya. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara

mempelajari kenyataan yang terjadi pada praktek lapangan, dimana

pendekatan ini dilakukan dengan wawancara langsung terhadap pihak-pihak

yang dianggap mengetahui dan ada kaitannya dengan permasalahan yang

akan dibahas dan diperoleh atau didapatkan dilokasi penelitian.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data

primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.2

secara langsung dari hasil penelitian lapangan, baik melalui pengamatan

dan wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak

yang berhubungan langsung dengan asalah penullisan skripsi ini.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri

literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan

dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Pada umunya data

sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan

segera.3Data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari:

2

Amirudin, S.H.,M.Hum, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal.30.

3

(34)

a) Bahan hukum primer, antara lain:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak

4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

5) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti, rancangan undang-undang, hasil

penelitian dan pendapat para pakar hukum.

c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang mencakup bahan

memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder,, seperti kamus, bibliografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar,

hasil-hasil penelitian para sarjana berkaitan dengan pokok permasalahan yang

(35)

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang diinginkan dan

dapat memberikan tanggapan

1. Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang

2. Polisi di Polresta Bandar Lampung : 1 Orang

3. Dosen hukum pidana Universitas Lampung : 1 Orang

3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data

Penyusunan skripsi ini sesuai dengan jenis dan sumber data sebagaimana

ditentukan diatas mempergunakan dua macam prosedur, dalam rangka

mengumpulkan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Prosedur Pengumpuan Data

a Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data yang bersumber dari

dokumentasi yang berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas, yang

berhubungan dengan informan yang dikehendaki oleh peneliti. Data atau

informasi yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder . pengumpulan data

sekunder adalah terlebih menerima sumber pustaka, buku-buku, peraturan

(36)

b Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan cara obserasi dan wawancara untuk

pengumpulan dan memperoleh data primer. Studi lapangan diakukan dengan cara

mengadakan wawancara dengan responden, wawancara dilakukan secara

mendalam dengan sistem jawaban terbuka untuk mendapatkan jawaban yang

utuh.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dengan baik yang diperoleh dari studi kepustakaan dan

studi lapangan kemudian diolah dengan cara sebagai berikut :

a Editing,yaitu data yang didapatkan dari penelitian diperiksa dan diteiti kembali

untuk mengetahui apakah data yang didapat itu sudah sesuai dengan pokok

bahasan penelitian ini. Sehingga dapat terhindar dari adanya kesalahan data.

b Interpretasi, menghubungkan data-data yang diperoleh sehingga menghasilkan

suatu uraian yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.

c Sistematisasi, yaitu proses penyusunan dan penenmpatan sesuai dengan pokok

(37)

E. Analisis Data

Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya

adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan

mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan

menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci,

sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan

dari penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan

umum.Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode

induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian

(38)

1. Proses penyidikan berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak terhadap tersangka anak merupakan bagian dari

kegiatan penyidikan yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan,

kejelasan dan keidentikan tersangka dan barang buktinya. Juga diperlukan

kemampuan khusus yang harus dimiliki oleh pemeriksa sehingga dalam

pelaksanaannya perlakuan-perlakuan yang diberikan kepada anak harus

dibedakan dengan tersangka dewasa. Dalam proses pemeriksaan wajib

dilaksanakan dengan menjunjung tingggi hukum yang berlaku serta

senantiasa memperhatikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam

KUHAP. Proeses Penyidikan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diutamakan upaya

diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar pengadilan

2. Perbedaan konsep penyidikan antara Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997

dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak adalah Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 lebih

memberikan peran yang dominan terhadap hakim, dibandingkan peran

(39)

Kemudian, UU ini tidak mengatur diversi untuk mengalihkan perkara anak

di luar jalur peradilan formal sehingga anak mendapatkan stigmatisasi.

Sebangun dengan permasalahan ini, UU No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak belum mengakomodasi model keadilan restoratif. Dengan

melihat permasalahan di atas maka paradigma filosofi UU No. 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan menganut pendekatan

yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive). Model

peradilan anak retributif tidak pernah mampu memberikan kerangka kerja

yang memadai bagi berkembangnya sistem peradilan anak. Sedangkan

berdasarkan ketentuan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak lebih mengutamakan upaya diversi dan

restoratif justice yang dilakukan demi mempertimbangkan kebaikan untuk

anak

B. Saran

1. Proses penyidikan berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak haruslah dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dan mementingkan kepentingan anak

2. Dengan adanya perbedaan yang ada antara Undang Undang Nomor 3

Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus menjadikan

(40)

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah

(41)

Persada,

Andrisman Tri, 2009, Hukum Pidana : Asas Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Lampung, Penerbit Universitas Lampung

Armansyah,2012, Konsep Ideal Perlindungan Anak, Jakarta : Raja Grafindo

Djamil Nasir,2012, Anak Bukan untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem

Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA) Jakarta : Raja Grafindo Persada

Gultom Maidin .2012.Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan

.Bandung: PT Refika Aditama

Solehuddin,2011, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Soekanto, Soerjono,1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,

Syamsudin,2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Setyowati Irma.1990,Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.

Saraswati Irma Hukum,2010, Perlindungan Anak di Indonesia, Jakarta: Citra Aditya,

Supriyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara

Suyatno,2011, Anak dalam Lingkaran Hukum, Bandung : Alumni

__________,2007, Perkembangan Konsep Perlindungan Anak : Bandung :

Alumni

Wagiati, 2010, Hukum Pidana AnakBandung : Refika Aditama

Winaryo,2010, Aspek Hukum Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Bandung :

(42)

Undang-Undang

Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu komposit dengan penambahan fraksi volume HGM sebanyak 15%-16% dan di- curing pada temperatur 90°C selama 24 jam

[r]

Optimasi proses densifikasi limbah biomassa pertanian jerami padi dilakukan mengunakan rancangan Box-Behnken tiga level dan tiga faktor, yang masing-masing variabel

Latar belakang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penilaian prestasi kerja yang terdiri dari aspek-aspek yang dinilai, penilai, metode penilaian dan umpan

Dalam memilih materi yang sesuai untuk PBK, dapat dipertimbangkan rambu-rambu sebagai berikut: (a) materi harus relevan dengan tujuan; (b) materi harns cocok

Di sisi lain Orang Jepang lebih mengutamakan kualitas tinggi daripada keuntungan langsung, dan mereka rela menunggu untuk mendapatkan hasil yang terbaik, meskipun

Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan sampah 3R ( reduce, reuse, recycle ) pada pembelajaran IPS untuk menumbuhkan karakter peduli lingkungan dapat dilakukan,

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan oleh Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah terhadap penerapan hak cipta yang ada pada koleksi