• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera Timur"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

GERAKAN SOSIAL POLITIK:

STUDI DESKRIPTIF “REVOLUSI SOSIAL” SUMATERA TIMUR 1946

SKRIPSI

Aulia Adam

110906058

Dosen Pembimbing: Warjio, MA, Ph.D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

AULIA ADAM (110906058)

GERAKAN SOSIAL POLITIK: STUDI DESKRIPTIF “REVOLUSI SOSIAL” SUMATERA TIMUR 1946.

Rincian isi Skripsi, 91 halaman, 2 gambar, 20 buku, 5 jurnal, 2 dokumen, 4 situs internet.

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera Timur 1946. Tujuan penelitian ini akan menguraikan faktor politis yang melatarbelakangi pecahnya pembantaian massal terhadap bangsawan-bangsawan Sumatera Timur pada Maret 1946, dan pola pergerakan yang terjadi. Sumatera Timur sendiri adalah sebuah keresidenan yang merupakan cikal bakal terbentuknya Sumatera Utara.Pasca kemerdekaan Indonesia, sebuah gerakan terjadi di Sumatera Timur hingga menewaskan banyak sekali kaum bangsawan.Teori yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah Teori Struktur Kesempatan Politik milik David McAdam dan Peter Eisinger.

Sederhananya, Teori Struktur Kesempatan Politik mengupas sebuah gerakan sosial yang terjadi karena perubahan struktur politik.Sehingga teori ini dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah faktor dan pola pergerakan yang terjadi.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan dan wawancara.

Dari penelitian ini, tergambarkan bahwa latar belakang politis kental menjadi sebab-musabab terjadinya gerakan sosial ini.Struktur politik yang berbentuk keresidenan atau kesultanan di Sumatera Timur hendak digantikan dengan sistem republik yang dianut sebagian besar pejuang nasional.Pola pergerakan yang terjadi juga sesuai dengan Teori Struktur Kesempatan milik Peter Eisinger.Di mana gerakan sosial politik di Sumatera Timur bermula dari lembaga-lembaga politik di keresidenan itu mengalami keterbukaan, kemudian tidak adanya keseimbangan politik namun keseimbangan politik baru belum terbentuk.Fase berikutnya adalah pemanfaatan konflik antara elite politik yang dijadikan kesempatan berontak oleh para pelaku gerakan.Terakhir, gerakan sosial politik di Sumatera Timur muncul ketika pelaku perubahan bersatu dengan elite untuk melakukan perubahan.

(3)

ii

AULIA ADAM (110906058)

SOCIAL AND POLITICAL MOVEMENTS: DESCRIPTIVE STUDY “SOCIAL REVOLUTION” OF EAST SUMATRA 1946.

Content, 91 pages, 2 graphichs, 20 books, 5 journals, 2 document, 5 websites.

ABSTRACT

This study entitled Social and Political Movements: Descriptive Study “Social Revolution” of East Sumatra, 1946. The purpose of this study will outline the political factors behind the outbreak of the mass murder of the noblemen East Sumatra in March 1946, and the movement patterns that occurred. East Sumatra itself is a residency which is a forerunner to establishment of North Sumatra. Post-independence Indonesia, a movement occurred in East Sumatra, killing a lot of nobility. Theory of Political Opportunity Structures is used to analyze this problem. The theory is owned by David McAdam and Peter Eisinger.

Simply put, Theory of Political Opportunity Structure peeling a social movement that occurs due to changes in the political structure. So this theory can be used as an analysis knife to dissect the movement patterns that occurred. The method used is a method of qualitative research with descriptive research. Data collection techniques performed by the method of literature study and interviews.

From this study, we can see that the political background condensed into the root cause of this social movement. Political structure in the form of residency or the empire in East Sumatra was about to be replaced with a republican system adopted b most national fighters. Movement patterns that occurred also in accordande with the theory political opportunity structure belonging to Peter Eisinger. In which political and social movements in East Sumatra stems from political institutions in the residency experience openness, then the absence of political balance but has not yet formed a new political equilibrium. The next phase is the utilization of a conflict between the political elite who used the opportunity to rebel by the perpetrators of the movement. Last, socio-political movements in East Sumatra arise when agents of change together with the elites to make changes.

(4)

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Halaman Pengesahan

Nama : Aulia Adam NIM : 110906058

Judul : Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera Timur 1946

Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat : Majelis Penguji: Ketua :

Nama ( )

NIP

Penguji Utama:

Nama ( )

NIP

Penguji Tamu:

Nama ( )

(5)

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Aulia Adam

NIM : 110906058 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera Timur

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M.Si)

NIP. 196806301994032001 NIP. 197408062006041003 (Warjio, MA, Ph.D)

Mengetahui: Dekan FISIP USU

(6)

v

Karya ini dipersembahkan untuk

(7)

vi

Kata Pengantar

Skripsi yang berjudul Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera Timur 1946ini bermula dari terlibatnya peneliti dalam proses penyuntingan laporan yang diterbitkan Pers Mahasiswa SUARA USU untuk majalahnya edisi V yang terbit 2014 lalu. Peneliti sendiri melihat banyak sekali hal yang bisa dikaji dari peristiwa berdarah yang terjadi terjadi di Sumatera Timur, yang merupakan cikal bakal terciptanya Sumatera Utara ini.Selama ini, penelitian yang hadir hanya datang dari disiplin ilmu sejarah.Padahal di balik tragedi ini, banyak sekali unsur politis yang bisa diungkap oleh para peneliti dari ilmu terapan politik sendiri.

Dalam pengerjaan skripsi ini, peneliti ingin bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak kenikmatan serta mengelilingi peneliti dengan orang-orang luar biasa baik hati.Untuk itu, kepada mereka peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Terutama kepada kedua orangtua peneliti yang kehadirannya jadi alasan utama mengapa skripsi ini bisa selesai.Terima kasih peneliti ucapkan kepada keduanya atas kesabaran yang begitu berlimpah-limpah dalam menghadapi anak bebal seperti peneliti.Sekali lagi, kepada keduanya peneliti haturkan terima kasih seumur hidup.

Dengan segala kerendahan hati, tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(8)

vii

3. Bapak Warjio, MA, Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Kepada seluruh staf pengajar FISIP.

5. Kepada seluruh teman-teman peneliti yang kehadirannya benar-benar mendorong semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai titik kesempurnaannya karena adanya kekurangan atau apapun.Penulis mengaharapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan kritikan dan saran yang dapat mendukung kesempurnaan skripsi ini sehingga penulis dan para pembaca dapat menjadikan skripsi ini sebuah pengetahuan yang dapat dipahami oleh banyak pihak.

Penulis

(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iv

Halaman Pengesahan ... v

Halaman Persetujuan ... vi

Lembar Persembahan ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Gambar ... xiv

BAB I: PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Pembatasan Masalah ... 12

1.4 Tujuan Penelitian ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

1.6 Kerangka Teori... 13

1.6.1 Teori Struktur Kesempatan Politik ... 13

1.7 Metode Penelitian... 18

(10)

ix

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ... 19

1.7.4 Teknik Analisa Data ... 21

1.8 Sistematika Penulisan ... 22

BAB II: PROFIL SUMATERA TIMUR... 23

2.1 Profil Sumatera Timur... 23

2.1.1 Kondisi Sosial Ekonomi ... 25

2.1.2 Kondisi Sosial Politik ... 35

BAB III: KRONOLOGI DAN POLA GERAKAN SOSIAL POLITIK DI SUMATERA TIMUR PADA MARET 1946... 54

3.1 Kronologi Pembantaian Bangsawan Sumatera Timur 1946 ... 55

3.1.1 Tanah Karo ... 56

3.1.2 Simalungun ... 56

1. Kerajaan Panei ... 57

2. Tanoh Jawa... 60

3. Kerajaan Siantar ... 60

4. Kerajaan Purba ... 62

5. Kerajaan Silikmakuta ... 63

6. Kerajaan Sologsilou ... 63

7. Kerajaan Raya ... 63

3.1.3 Serdang ... 65

(11)

x

3.1.5 Kualuh ... 67

3.1.6 Langkat ... 68

3.2 Analisis Pola Gerakan Sosial Politik di Sumatera Timur pada Maret 1946 69 3.3 Bukan Revolusi Sosial ... 81

BAB IV: PENUTUP... 87

4.1 Kesimpulan ... 87

4.2 Saran ... 91

Daftar Pustaka ... xv

Daftar Lampiran:

Lampiran 1. Pedoman Wawancara

Lampiran 2. Transkrip Wawancara dengan Bapak Suprayitno

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Daftar Gambar

(13)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

AULIA ADAM (110906058)

GERAKAN SOSIAL POLITIK: STUDI DESKRIPTIF “REVOLUSI SOSIAL” SUMATERA TIMUR 1946.

Rincian isi Skripsi, 91 halaman, 2 gambar, 20 buku, 5 jurnal, 2 dokumen, 4 situs internet.

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera Timur 1946. Tujuan penelitian ini akan menguraikan faktor politis yang melatarbelakangi pecahnya pembantaian massal terhadap bangsawan-bangsawan Sumatera Timur pada Maret 1946, dan pola pergerakan yang terjadi. Sumatera Timur sendiri adalah sebuah keresidenan yang merupakan cikal bakal terbentuknya Sumatera Utara.Pasca kemerdekaan Indonesia, sebuah gerakan terjadi di Sumatera Timur hingga menewaskan banyak sekali kaum bangsawan.Teori yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah Teori Struktur Kesempatan Politik milik David McAdam dan Peter Eisinger.

Sederhananya, Teori Struktur Kesempatan Politik mengupas sebuah gerakan sosial yang terjadi karena perubahan struktur politik.Sehingga teori ini dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah faktor dan pola pergerakan yang terjadi.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan dan wawancara.

Dari penelitian ini, tergambarkan bahwa latar belakang politis kental menjadi sebab-musabab terjadinya gerakan sosial ini.Struktur politik yang berbentuk keresidenan atau kesultanan di Sumatera Timur hendak digantikan dengan sistem republik yang dianut sebagian besar pejuang nasional.Pola pergerakan yang terjadi juga sesuai dengan Teori Struktur Kesempatan milik Peter Eisinger.Di mana gerakan sosial politik di Sumatera Timur bermula dari lembaga-lembaga politik di keresidenan itu mengalami keterbukaan, kemudian tidak adanya keseimbangan politik namun keseimbangan politik baru belum terbentuk.Fase berikutnya adalah pemanfaatan konflik antara elite politik yang dijadikan kesempatan berontak oleh para pelaku gerakan.Terakhir, gerakan sosial politik di Sumatera Timur muncul ketika pelaku perubahan bersatu dengan elite untuk melakukan perubahan.

(14)

ii

AULIA ADAM (110906058)

SOCIAL AND POLITICAL MOVEMENTS: DESCRIPTIVE STUDY “SOCIAL REVOLUTION” OF EAST SUMATRA 1946.

Content, 91 pages, 2 graphichs, 20 books, 5 journals, 2 document, 5 websites.

ABSTRACT

This study entitled Social and Political Movements: Descriptive Study “Social Revolution” of East Sumatra, 1946. The purpose of this study will outline the political factors behind the outbreak of the mass murder of the noblemen East Sumatra in March 1946, and the movement patterns that occurred. East Sumatra itself is a residency which is a forerunner to establishment of North Sumatra. Post-independence Indonesia, a movement occurred in East Sumatra, killing a lot of nobility. Theory of Political Opportunity Structures is used to analyze this problem. The theory is owned by David McAdam and Peter Eisinger.

Simply put, Theory of Political Opportunity Structure peeling a social movement that occurs due to changes in the political structure. So this theory can be used as an analysis knife to dissect the movement patterns that occurred. The method used is a method of qualitative research with descriptive research. Data collection techniques performed by the method of literature study and interviews.

From this study, we can see that the political background condensed into the root cause of this social movement. Political structure in the form of residency or the empire in East Sumatra was about to be replaced with a republican system adopted b most national fighters. Movement patterns that occurred also in accordande with the theory political opportunity structure belonging to Peter Eisinger. In which political and social movements in East Sumatra stems from political institutions in the residency experience openness, then the absence of political balance but has not yet formed a new political equilibrium. The next phase is the utilization of a conflict between the political elite who used the opportunity to rebel by the perpetrators of the movement. Last, socio-political movements in East Sumatra arise when agents of change together with the elites to make changes.

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Masalah

Gerakan sosial di Indonesia merupakan bagian terpenting serta tak terpisahkan dari perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kemerdekaan Indonesia itu sendiri, pada dasarnya tidaklah semata-mata muncul dari gerakan bersenjata, tapi juga lewat gerakan sosial, yang tumbuh sebagai manifestasi dari kesadaran sejumlah kaum muda, waktu itu, akan realitas. Gerakan inilah yang kemudian memaksa Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.Gerakan sosial pula yang kemudian mengukuhkan semangat kemerdekaan itu dengan melakukan sebuah rapat besar di Lapangan Ikada.Sejak itu, gerakan sosial seakan-akan menjadi penyebab utama perubahan Indonesia.1

Giddens mendefinisikan gerakan sosial sebagai suatu upaya atau gerakan untuk mencapai kepentingan dan tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.Pendapat serupa juga diutarakan oleh Tarrow.Tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang dilakukan oleh rakyat biasa yang bergabung dengan kelompok

Bahkan kelak, setelah 21tahun Sukarno berkuasa, Orde Lama tumbang karena gerakan sosial. Digantikan Soeharto sebagai penguasa Orde Baru yang tumbang juga karena gerakan sosial setelah 32 tahun berkuasa.

1Hosnan. 2011. Gerakan Sosial Politik Dalam Mewujudkan Demokratisasi. Universitas Airlangga. Press.Political

(16)

2

masyarakat yang lebih berpengaruh. Menggalang kekuatan bersama dengan tujuan melawan para elite, pemegang otoritas ataupun pihak-pihak lawan yang lain. Perlawanan ini berubah menjadi sebuah gerakan sosial ketika didukung oleh jaringan sosial yang kuat serta resonansi kultural dan simbol-simbol aksi yang menimbulkan interaksi berkelanjutan dengan pihak lawan.2

Sementara gerakan menurut kamus antropologi adalah aktivitas dan terencana dan berulang-ulang yang dilancarkan berbagai macam organisasi untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan.Sedangkan gerakan sosial, adalah suatu gerakan dari kelompok sosial untuk kepentingan sosial dan tujuan sosial, sehingga dapat mempertahankan, mengubah, dan mengganti atau menghapus hal-hal yang kurang sesuai dari suatu masyarakat.Sedangkan menurut kamus sosiologi, gerakan sosial adalah suatu organisasi informal yang mungkin mencakup unit-unit yang terorganisasi secara formal yang bertujuan mencapai tujuan-tujuan tertentu.3

2

Putra, Fadillah dkk.Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. Malang: Averroes Press, 2006. Hal. 1

3

Sinuhaji, Wara.2007. Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatera

Timur Maret 1946. Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU, Historisme, Edisi No. 23/Tahun XI/Januari

2007

(17)

3

Definisi gerakan di atas sangat sesuai untuk manggambarkan dan menganalisis peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur.Gerakan sosial di Sumatera Timur merupakan gerakan dari kelompok sosial yang bertujuan untuk mengubah, mengganti, dan menghapus hal-hal yang kurang sesuai dengan tata sosial suatu masyarakat. Peristiwa Maret 1946 digerakkan oleh Persatuan Perjuangan atau Volksfrontyang merupakan aliansi berbagai macam organisasi perjuangan di Sumatera Timur—di mana pejabat terasnya adalah pimpinan-pimpinan Gerindo, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) atau golongan pemuda radikal yang prorepublik. Masa antara 1945-1947 adalah masa–masa revolusi fisik di mana jargon-jargon nasionalisme, antifeodalisme, dan imperialisme merupakan senjata untuk mencegah kembalinya kekuasaan penjajah.4

Mengutip Reid, dalam bukunya Blood of the People, istilah Revolusi Sosial yang menggambarkan tragedi berdarah 4 Maret 1946 dicetuskan pertama kali oleh dr. Amir, Wakil Gubernur Sumatera Timur kala itu.5

4 Sinuhaji, Wara. 2007. Op.cit. 5

(18)

4

Republik Indonesia.6 Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara brutal. Dan yang paling ‘berdarah’ adalah Kerajaan Langkat, juga Asahan.7

Namun, dalam penelitian ini, istilah Revolusi Sosial akan diganti dengan istilah Pembantaian Massal. Hal ini disebabkan makna revolusi sosial tak sesuai dengan fakta sebenarnya yang terjadi pada Maret 1946 tersebut. Menurut Kepala Peneliti Pusat Studi Ilmu Sejarah (Pusis) Universitas Negeri Medan Phil Icwan Azhari, istilah Pembantaian Massal jauh lebih tepat digunakan. Sebab gerakan sosial politik yang terjadi bukanlah revolusi sosial, melainkan sebuah gerakan yang akhirnya kebablasan.8Secara teoritis, revolusi adalah wujud perubahan sosial paling spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulangmanusia. Revolusi tidak menyisakan apapun dari keadaan sebelumnya.9

Perihal Langkat, terjadinya pembantaian tersebut bermula saat Sukarno-Hatta menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Kabar tersebut sampai di Langkat setelah utusan dari Sumatera, M. Amir dan Tengku Hassan kembali dari Jawa. Setelah informasi kemerdekaan tersebut menyebar di Sumatera Timur, barulah pada 4 Oktober 1945 bendera Merah Putih dikibarkan di Sehingga memperkuat, bahwa pembantaian ini sukar disebut sebagai sebuah revolusi sosial.

6

Kahin, George McTurnan. 2003. Nasionalism and Revolution in Indonesia.Cornell University Press.Hal 412.

13.28 WIB.

8

Hasil wawancara dengan Bapak Phil Ichwan Azhari pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 12.59 WIB di Kantor Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sejarah, Unimed.

9

(19)

5 Sumatera dan sekitarnya.10

Selanjutnya, sejak tanggal 22 Oktober 1945, beberapa tentara Sekutu menduduki beberapa tempat penting untuk melucuti senjata dan memulangkan tentara Jepang.Operasi tersebut dimulai dari Gebang, Berahrang, hingga ke beberapa tempat lainnya.Lalu pada akhir tahun saat tentara Sekutu melakukan razia di Tebingtinggi, mereka juga sempat mengadakan kunjungan kehormatan kepada Sultan Langkat yang saat itu sebagai penguasa daerah.Kaum Komunis dan Kaum Kiri lainnya menggunakan peristiwa ini sebagai fitnah adanya konspirasi bahwa Sultan Langkat adalah orang yang anti Republik.

Pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud yang saat itu menjabat sebagai pimpinan Istana Kerajaan Langkat kemudian menyatakan penggabungan negaranya dengan Negara Republik Indonesia.

11

Walaupun, pada beberapa literatur mengatakan penyebab pembantaian ini adalah lalainya para Sultan dan Raja menjalankan sistem pemerintahan baru, yaitu demokrasi yang telah dijanjikan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia.12

Gesekan dan perang dingin antara Kerajaan Langkat dengan laskar-laskar pun terus terjadi, hingga ketegangan memuncak pada 3 Maret 1946. Malam itu, Bupati Tengku Amir Hamzah beserta seluruh pembesar kerajaan diculik dan dibawa ke Kebon Lada (daerah Pungai).Amir Hamzah adalah Pangeran Langkat Hilir sekaligus seorang penyair besar yang turut menggelorakan gerakan anti kolonialisme melalui

10

Pandji Ra’jat. 1947. Akibat Revoloesi Sosial di Soematera Timoer, 43 Familie Sultanaat Langkat Diboenoeh.

11

Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Op. cit. Hal 492-493.

12 Prihantoro, Moegi. 1984. Perang Kemerdekaan di Sumatera 1945-1950. Medan: Dinas Sejarah Kodam II Bukit

(20)

6

gagasan Indonesia.Mereka kemudian disiksa dan dipancung oleh algojo Mandor Iyang, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Kerajaan Langkat.13

Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh.Ia ditangkap dan diasingkan hingga kemudian wafat karena sakit. Kedua putri Sultan Mahmud sempat diperkosa di depan Sultan Mahmud sendiri, dan kisah pemerkosaan itu menjadi cerita turun temurun di keluarga mereka hingga saat ini. Pada memoar itu juga tercantum kutipan dari Tengku Amaliah, istri Tengku Amir Hamzah, yang menceritakan kisah suaminya yang diculik.Kutipan itu diambil dari buku hariannya.14

Itulah alasan mengapa Aziddin dalam bukunya Revolutie Antie Sociaal mengatakan bahwa hari itu adalah hari yang tidak boleh dilupakan oleh seluruh rakyat Indonesia.Ia menyebutnya sebagai hari paling jahat dan paling kejam yang dilakukan oleh Volksfront. Selain dimotori oleh PKI, mereka juga kerap disebut-sebut berasal dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pemuda Sosialis Indonesia

Suatu pagi di Bulan Maret 1946. Serombongan Barisan Pemuda berbaris sambil bernyanyi-nyanyi lewat di depan Istana Binjai. Sore, beberapa orang datang ke istana mengambil Amir dengan alasan ‘dipinjam’ sebentar. Nanti akan dibawa kembali….

Kini, jika berkunjung ke Mesjid Azizi di Tanjung Pura, kita akan menemukan makam Tengku Amir Hamzah dan petinggi Kerajaan Melayu lainnya, yang telah dipindahkan dari kuburan korban pembantaian di Kebon Lada pada tahun 1948 lalu.

13

Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Op. cit. Hal 494.

(21)

7

(Pesindo), Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Hizbullah, dan buruh-buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani.15

Pembantaian ini tak hanya melanda Langkat. Seluruh residen dalam kawasan Sumatera Timur juga mengalami hal yang sama dalam rentang 3-4 Maret 1946. Wilayah kesultanan Melayu di Sumatera Timur terbentang dari perbatasan Aceh (Tamiang) sampai Siak (kini propinsi Riau). Oleh pemerintah Hindia Belanda, disebut sebagai wilayah “keresidenan Sumatera Timur, yang terdiri dari wilayah kerajaan Langkat (yang berbatasan dengan Residensi Aceh), kerajaan Deli, Kerajaan Serdang (wilayahnya kini dalam Kabupaten Deli-Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai), kerajaan Asahan, kedatukan di Batubara, kerajaan Panai, kerajaan Bilah, kerajaan Kota Pinang dan kerajaan Kualuh-Leidong di Kabupaten Asahan dan kabupaten Labuhan Batu, kerajaan Simalungun dan kerajaan-kerajaan di Tanah Karo. Kecuali kesultanan Serdang, seluruh kesultanan Melayu di Sumatera Timur dibantai oleh segerombolan pemuda yang mengatasnamakan berbagai kelompok.16

Jalannya gerakan sosial politik menurut para sosiolog berada dalam sepuluh tahapan, yang pertama sekali didahului oleh kondisi khas yang disebut “revolutionary prodrome” yang ditandai oleh ketidakpuasan, keluhan, kekacauan, dan konflik yang disebabkan krisis ekonomi atau fiskal. Selanjutnya menjalar pada perpindahan

15 Loc. cit.

(22)

8

kesetiaan intelektual sebagai hasil agitasi kelompok tertentu dengan cara-cara tertentu seperti penyebaran pamflet atau doktrin yang menentang rezim yang lama.17

Dari paparan teoritis ini, gerakan sosial politik muncul akibat adanya ketidakpuasan yang selanjutnya disulut oleh agitasi dan provokasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan menunjukkan kelemahan atau rasa kebencian pada rezim yang akan dijatuhkan. Artinya suatu revolusi tidak pernah berjalan spontan, dia berada dalam posisi direncanakan secara rapi dengan memanfaatkan situasi ketidakpuasan publik. Jadi sangat tidak benar bila dikatakan bahwa pembantaian massal di Sumatera Timur itu adalah suatu peristiwa yang berjalan spontan. Kasus revolusi sosial (yang pertama sekali diungkapkan oleh dr. Amir) yang terjadi di Sumatera Timur itu betul-betul suatu gerakan yang sudah direncanakan secara matang oleh kelompok-kelompok yang punya kepentingan dengan pembantaian para kaum bangsawan dan cendekiawan Sumatera Timur itu. Untuk kasus di Sumatera Timur, sudah jelas otak di balik serangkaian tindakan kejam di luar perikemanusiaan itu adalah Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh Umar, Nathar Zainuddin, dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar.18

Sementara, motif lain pembantaian kaum aristokrat dan cendekiawan Sumatera Timur dianggap lebih dominan pada intrik politik dan balas dendam, menurut salah satu saksi mata Maxinius Hutasoit, “Sudah tentu bahwa dalam revolusi

17

Sztompka, Piotr. 2005. Ibid. Hal. 364

18Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, volume 1 (Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik

(23)

9

sosial itu terselundup pula segala macam hal yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya secara obyektif dengan persoalan feodal. Kepentingan-kepentingan sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas, nafsu rendah memperoleh pelampiasannya”.19Tidak banyaknya sumber yang bisa menjadi rujukan, menyebabkan peristiwa yang terjadi pada Maret 1946 ini masih diliputi misteri. Sulit mencari apa sebenarnya yang terjadi, bagaimana kronologisnya, siapa aktor yang bergerak dan apa yang menyebabkan peristiwa tersebut terjadi? Bahkan dalam kajian sejarah di sekolah-sekolah, peristiwa ini tak tersentuh dalam kurikulum.20Kejadian ini telah berlangsung lama, sehingga pelaku langsung banyak yang telah berpulang ke Ilahi. Kalaupun ada, kendala utama lainnya cukup jelas: ingatan selalu ada batasnya.21

Kebanyakan literatur yang ada fokus pada pengungkapan keping-keping sejarah.Mengungkap kronologis pembantaian tersebut.Para peneliti lebih sering datang dari ilmu sejarah.Dan sedikit sekali yang fokus meneliti gerakan sosial yang terjadi.Misalnya, dari politik yang melatarbelakangi terjadinya revolusi sosial ini. Atau bagaimana gerakan ini bisa “sukses” terjadi dan berhasil menewaskan 140 orang, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku.22

19

Hutasoit, Marnixius. 1986.Percikan Revolusi di Sumatera. Jakarta: BPK Gunung Mulia.Hal. 46.

16.53.

21SUARA USU. 2014.Sejarah Kabur, Sejarah Mungkin Terulang. Majalah Pers Mahasiswa SUARA USU Ed. V. 22

(24)

10

1.2.Perumusan Masalah

Gerakan sosial politik merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam politik yang memiliki pengertian yang berbeda dengan partai politik maupun kelompok kepentingan. Gerakan sosial politik mempunyai pengertian “social movement are collective challenges by people with common purposes and solidarity in sustained interaction with elites, opponents and authorities”.23Pengertian tentang gerakan sosial politik juga dikemukakan oleh Rudorf Haberle bahwa gerakan sosial mengandung pengertian gerakan bersama, yaitu suatu bentuk kekacauan di antara manusia, kegelisahan, serta usaha bersama untuk mencapai tujuan yang divisualisasikan, khususnya suatu usaha untuk merubah dalam kelembagaan sosial tertentu. Gerakan sosial ini muncul dikarenakan adanya ketidaksamaan antara harapan dengan kenyataan atau yang biasa dikenal dengan nama deprivasi relatif.Gerakan sosial dapat berkembang meliputi berbagai aspek kehidupan masyrakat.Gerakan ini dapat disisipkan dalam aktivitas ekonomi, sosial, kebudayaan hingga politik.24Perkembangan gerakan sosial membawa gerakan sosial menjadi lebih berfokus untuk memanfaatkan aspek politik.Aspek ini dinilai menjadi alternatif paling tepat demi memperoleh tujuannya.25

Gerakan sosial dalam proses politik memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan struktur politik. Prosesnya melalui pembentukan identitas bersama yang tersusun secara legal dan terlegitimasi.Perubahan struktur politik didalamnya

23

Tarrow. 1994. Power in Movement: Social Movement, Collective Action, and Politics. New York: Cambridge University Press. Hal. 12

24 Ritzer, George. 2005. Encyclopedia of Social Theory. University of Maryland.Hal 753. 25

(25)

11

mencakup banyak aspek.Diantaranya meliputi tradisi kebudayaan dan politik, rasa kebersamaan, ideologi, serta praktik hegemoni.Teori proses politik dalam gerakan sosial menekankan pada isu sosial makro yang memungkinkan tumbuhnya gerakan sosial. Menurut McAdam, ekonomi dan khususnya politik menjadi faktor utama yang berkepentingan dalam gerakan sosial.

Peristiwa Maret digerakkan oleh Persatuan Perjuangan atau Volksfrontyang merupakan aliansi berbagai macam organisasi perjuangan di Sumatera Timur—di mana pejabat terasnya adalah pimpinan-pimpinan Gerindo, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) atau golongan pemuda radikal yang prorepublik. Masa antara 1945-1947 adalah masa–masa revolusi fisik di mana jargon-jargon nasionalisme, antifeodalisme, dan imperialisme merupakan senjata untuk mencegah kembalinya kekuasaan penjajah.Para pemimpin organisasi dan sebagian masyarakat memandang kekuasaan feodal sebagai penghalang revolusi nasional Indonesia yang mengandung nilai-nilai anti-kolonialisme, antifeodalisme, nasionalisme, patriotisme, dan demokrasi merupakan gejolak-gejolak yang mendorong revolusi sosial.Golongan bawah yang merupakan objek eksploitasi kolonial yang dihasilkan oleh kolaborasi pemerintah Hindia Belanda, planters, dan kaum bangsawan menganggap saat ini adalah waktu yang tepat untuk melampiaskan dendamnya.Golongan ini sangat mudah memobilisasi.26

Maka penelitian ini hadir untuk menjawab pertanyaan: bagaimana gerakan yang dilakukan oleh volksfront berhasil meletuskan gerakan sosial politik pada 3

26

(26)

12

hingga 4 Maret 1946 di Sumatera Timur. Untuk itu disusun rumusan masalah yang akan coba dijawab oleh penelitian ini. Berikut adalah rumusan masalah yang akan dijawab pada bab berikutnya:

1. Bagaimana latar belakang politis di balik gerakan sosial yang terjadi di Sumatera Timur pada 1946?

2. Bagaimana pola gerakan sosial yang terjadi hingga bisa meletuskan pembantaian massal?

1.3. Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan akan mengaburkan penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah gerakan sosial politik yang berujung pada pembantaian bangsawan yang terjadi di Sumatera Timur pada Maret 1946.Definisi Sumatera Timur yang digunakan adalah definisi Keresidenan Sumatera Timur oleh Belanda.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang politis di balik Gerakan Sosial Sumatera Timur pada Maret 1946.

(27)

13

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi mengenai gerakan sosial politik terkhusus pada studi pola gerakan sosial politik.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapatmemberikan pengetahuan tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai tingkatan pendidikan.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat sebagai referensi rujukan untuk memahami latar belakang politis dalam Gerakan Sosial yang menyebabkan pembantaian bangsawan di Sumatera Timur 1946.

1.6. Kerangka Teori

1.6.1. Teori Struktur Kesempatan Politik

Eisinger mengemukakan teori Political Opportunity Structures (POS) atau struktur kesempatan politik.Mekanisme POS berupaya menjelaskan bahwa gerakan sosial terjadi disebabkan perubahan dalam struktur politik yang dilihat sebagai kesempatan.27

27Eisinger, Peter. 2009. Theories of Political Protest and Social Movement: A Multidisciplinary Introduction, Critique, and Synthesis. USA and Canada: Routledge.

(28)

14

The nature of the chief executive

The mode of aldermanic election

The distribution of social skill and status

The degree of social disintegration

Dalam preposisi yang diajukan seperti pada keterangan di atas terlihat bahwa poinA dan B berbicara mengenai struktur, sedangkan poin C dan D berbicara mengenai agen atau aktor. Faktor-faktor tersebut, secara individu maupun kelompok, merupakan faktor untuk mencapai tujuan politik atau bisa juga menghambat tujuan politik tersebut.Selain itu, terdapat pula faktor governmental responsiveness dan level of community resources yang dapat membantu pencapaian tujuan politik.

(29)

15

antara masyarakat sipil dan negara dan berubahnya tatanan dan representasi masyarakat kontemporer itu sendiri.

Gerakan sosial baru menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya telah mengalami penciutan dan digerogoti oleh kemampuan kontrol negara. Dan secara radikal Gerakan sosial baru mengubah paradigma marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah kelas dan konflik kelas. Sehingga gerakan sosial baru didefenisikan oleh tampilan gerakan yang non kelas serta pusat perhatian yang non materialistik, dan karena gerakan sosial baru tidak ditentukan oleh latar belakang kelas, maka mengabaikan organisasi serikat buruh industri dan model politik kepartaian, tetapi lebih melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput. Dan berbeda dengan gerakan klasik, struktur gerakan sosial baru didefenisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, dan orientasi heterogenitas basis sosial mereka.

Gerakan sosial baru pada umumnya merespon isu-isu yang bersumber dari masyarakat sipil, dan membidik domain sosial masyarakat sipil ketimbang perekonomian atau negara, dan membangkitkan isu-isu sehubungan demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan memusatkan perhatian pada bentuk komunikasi dan identitas kolektif.

(30)

16

pengalaman masa lalu, untuk merelatifkan nilai-nilai mereka melalui penalaran, (d) para aktornya mempertimbangkan keadaan formal negara dan ekonomi pasar.28

Menurut definisinya, Eisinger membagi POS menjadi dua, yaitu definisi objektif dan definisi subjektif.Dalam definisi objektif, POS dikaitkan dengan struktur kesempatan sebagai variabel yang memengaruhi kemungkinan tercapainya tujuan dari individu ketika kelompok-kelompok aktif secara politik.Perubahan lingkungan yang mengubah tujuan dari pencapaian tujuan tersebut.Kemungkinan secara objektif ini dilihat berdasarkan pihak luar.Berbeda dengan definisi objektif, definsi subjektif melihat tujuan tergantung pada indvidu.Faktor lingkungan dianggap memengaruhi tindakan politik. Perubahan dalam lingkungan politik menaikkan perubahan dalam ekspektasi subjektif akan suksesnya pencapaian tujuan.

Eisinger menekankan bahwa protes adalah sebuah fungsi dari kesempatan politik.Protes juga merupakan tahapan yang paling rendah sebelum terjadinya gerakan sosial.Ada dua hipotesa mengenai fungsi tersebut, yaitu model linier dan model curvilinier. Dalam model linier, protes adalah bentuk dari frustrated response, ketika POS rendah maka protes akan tinggi, dan sebaliknya ketika POS tinggi maka protes akan menurun. Dalam model curvilinier, ketika POS rendah maka protes juga rendah, dan sebaliknya ketika POS tinggi maka akan meningkatkan protes. Protes pertama-tama akan meningkat dan kemudian menurun ketika POS meningkat. Hal ini disebabkan adanya ekspektasi yang meningkat akan terpenuhinya permintaan individu terhadap politik.

28

(31)

17

Eisinger mengemukakan pula variabel tentang sebuah kemunculan gerakan sosial yang mempergunakan mekanisme POS. Pertama, gerakan sosial muncul ketika tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan.Kedua, gerakan sosial muncul ketika keseimbangan politik sedang tidak stabil dan keseimbangan politik baru belum terbentuk.Ketiga, gerakan sosial muncul ketika para elite politik mengalami konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku perubahan sebagai kesempatan.Keempat, gerakan sosial muncul ketika para pelaku perubahan bersatu oleh para elite yang berada di dalam sistem untuk melakukan perubahan.29

Teori kesempatan politik menjanjikan sarana untuk memprediksi varians dalamperiodisitas, gaya, dan isi dari aktivis dari waktu ke waktu dan varians dalam konteks kelembagaan. Ia menekankan interaksi upaya aktivisdan utamanya politik kelembagaan. Premis yang mendasari pendekatan ini—bahwa protes di luar lembaga-lembaga politik mainstream eratterkait dengan kegiatan politik yang lebih konvensional—hampirsepenuhnyabaru untuk ilmu politik atau sosiologi, namun aplikasi sistem ini untuk analisis politik protes merupakan langkah penting ke arah koherensi yang lebih besar dan lebih komparatif dalam memahami berbagai protes gerakan sosial.30

Teori POS atau Struktur Kesempatan Politik digunakan dalam penelitian ini karena relevan dengan permasalahan yang diteliti yaitu mengenai pola gerakan sosial

30Meyer, David C, and Debra Minkoff. 2004. Conceptualizing Political Opportunity. The University of North

(32)

18

yang terjadi di Sumatera Timur pada Maret 1946.Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis arah tindakan pelaku revolusi sebagai aktor politik yang berhasil meletuskan gerakan sosial politik tersebut.Sehingga pada akhirnya dapat diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan apakah pola di balik gerakan sosial politik yang dilakukan oleh sejumlah kelompok kepentingan berhasil meletuskan gerakan sosial politik pada 4 Maret 1946 di Sumatera Timur.Teori ini juga dianggap paling bisa menerjemahkan faktor governmental responsiveness dan level of community resources yang memang jadi fokus utama penelitian ini.

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang yang dianggap berasal dari masalah sosial kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum dan menfsirkan makna dan data.31

31

(33)

19

1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif.Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ihwal masalah-masalah atau objek tertentu secara rinci.Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.32

Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya dirumuskannya generalisasi yang objektif.

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data

33

a. Studi Pustaka

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah dua jenis pengumpulan data.

Penelitian ini akan menggunakan studi pustaka sebagai teknik pengumpulan data primernya. Hal ini disebabkan kejadian yang sudah sangat lama, sehingga para pelaku langsung sudah banyak yang pulang ke ilahi.Bahan-bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan, maupun artikel yang terdapat dalam buku- buku, jurnal,

32

Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 17-18.

33

(34)

20

makalah, media cetak, internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Wawancara

Wawancara adalah alat yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk sejumlah pertanyaan lisan yang diajukan oleh pengumpul data sebagai pencari informasi yang dijawab secara lisan pula oleh informan. Dengan kata lain, wawancara secara sederhana adalah alat pengumpul data berupa tanya jawab antara pihak pencari informasi dengan sumber informasi yang berlangsung secara lisan.34

1. Kerabat Anggota Kerajaan

Wawancara ini dilakukan sebagai penguat data primer. Untuk itu, beberapa ahli mengenai kasus ini akan dijadikan informan. Adapun yang menjadi informan dalam wawancara ini yaitu:

Akibat telah lamanya peristiwa ini berlangsung, maka kesulitan mencari pelaku utama adalah hal yang tak terhindarkan. Namun, masih ada beberapa kerabat kerajaan yang hidup dan menyaksikan langsung peristiwa ini, di antaranya: Tengku Muhammad Yassir (Kesultanan Langkat), Tengku Zulkifli (Kesultanan Langkat). Sementara dari pihak pelaku gerakan, sudah dipastikan tidak ada yang masih hidup.35

2. Suprayitno

34

Hadari Nawawi dan Martini Hadari.1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal. 98

35

(35)

21

Dosen Fakultas Ilmu Budaya sekaligus peneliti sejarah pembantaian massal di Sumatera Timur 1946.Serta penulis buku Mencoba (Lagi) MenjadiIndonesia, yang juga mengupas peristiwa tersebut.

3. Phil Ichwan Azhari

Ketua Pusat Studi Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Medan.

1.7.3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisa data kualitatif, yaitu dengan menekankan analisanya pada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif serta analisa pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan metode ilmiah.36

36

(36)

22

1.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode penelitian.

BAB II : PROFIL SUMATERA TIMUR

Dalam bab ini penulis akan memaparkan profil Sumatera Timur sebagai tempat terjadinya gerakan sosial politik yang dikaji. Akan dijelaskan pula kondisi ekonomi dan sosial politik yang terjadi di sana.

BAB III : KRONOLOGI DAN POLA GERAKAN SOSIAL POLITIK

SUMATERA TIMUR 1946

Dalam bab ini akan berisi tentang analisis pola gerakan sosial politik di Sumatera Timur pada 1946. Kemudian akan dikaji apa saja faktor yang membuat revolusi ini meletus.

BAB IV : PENUTUP

(37)

23

BAB II

PROFIL SUMATERA TIMUR

Bab II akan menjelaskan profil Sumatera Timur, mulai dari kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam keresidenannya, batas wilayahnya, kondisi sosial ekonominya, hingga kondisi sosial politiknya yang sangat erat dengan penyebab terjadinya peristiwa berdarah pada Maret 1946 di keresidenan ini. Profil ini penting diketahui sebab Sumatera Timur merupakan tempat peristiwa yang jadi objek penelitian ini.Hal penting lainnya adalah, diharapkan dari profil ini bisa membantu mengasah penelitian ini dengan pisau teori kesempatan struktur politik yang dipilih.

2.1. Profil Sumatera Timur

(38)

24

Belanda). Oleh sebab kemakmuran dan banyaknya investasi modal asing itu tertanam dalam bidang perkebunan besar dan tambang minyak, maka pada 1915, Keresidenan Sumatera Timur sudah ditingkatkan statusnya menjadi Gouvernement yang dipimpin seorang Gubernur di Medan.37

Memasuki abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda mulai lebih keras lagi turut campur di dalam urusan setiap kerajaan. Di Sumatera Timur, Pemerintah Kolonial Belanda memaksakan raja-raja yang besar yaitu Siak, Langkat, Deli, Serdang, Asahan dan Kualuh dan Pelalawan (Kampar) serta Riau-Lingga untuk menandatangani “Politik Kontrak” tahun 1907. Hal ini juga berlaku pada Kerajaan di Jawa, Kalimantan, dan lain-lain. Dengan tekanan yang keras maka Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dari Serdang adalah yang terakhir dipaksa menandatangani Politik Kontrak 1907 sambil mengucapkan pidato protes berbunyi, bahwa sekarang Raja-raja Bumiputera diikat Belanda dengan rantai emas. Isi Politik Kontrak kira-kira bertujuan untuk: (1) Membuat satu buah Kas Kerajaan bersama-sama, sehingga pendapatan yang masuk ke kas masuk ke Pemerintah Hindia Belanda. Anggaran itu pula yang nantinya dipakai masing-masing kerajaan sesuai dengan Anggaran Belanja Kerajaan itu; (2) Membuat Anggaran Belanja Kerajaan yang terpisah dari kas raja dan banyaknya sesuai pendapatan yang bisa diperoleh oleh kerajaan itu sendiri dan hasil negerinya; (3) Adanya pembayaran yang tetap dari hasil negeri kepada raja dan orang besarnya; (4) Hak untuk memungut beacukai di pelabuhan (ekspor dan impor) diambil alih Belanda dari tangan raja dengan dibayarkan ganti rugi tetap; (5) Adanya

37 Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Kata

(39)

25

garis jelas mengenai warga/kaula kerajaan sebagaimana halnya di daerah Gubernemen lainnya; (6) Membuka kesempatan timbulnya hak kebendaan atas tanah untuk tempat tinggal di ibukota kerajaan (perlahan-lahan hak ulayat tanak dihapus).38

Sehingga lambat laun, kerajaan-kerajaan dengan Politik Kontrak diubah menjadi kerajaan-kerajaan dengan “Korte Velarking”39

Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah Belanda bersama-sama menimbulkan perubahan drastis terhadap masyarakat Sumatera Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu.Kekuasaan kolonial Belanda dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir berisi: Pengakuan atas kedaulatan Hindia Belanda. Tidak mengadakan hubungan dengan negara asing, mengikuti sembarang perintah yang disampaikan melalui pamongpraja Belanda.

Untuk mempermudah memahami konteks profil Keresidenan Sumatera Timur, maka akan diklasifikasikan menjadi kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial politik. Sesuai dengan definisi gerakan sosial menurut Ritzer, gerakan sosial dapat berkembang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat.Gerakan ini dapat disisipkan dalam aktivitas ekonomi, sosial, kebudayaan hingga politik. Hal ini akan mempermudah menganalisis gerakan sosial politik yang terjadi di Sumatera Timur dengan teori yang akan dipakai.

2.1.1. Kondisi Sosial Ekonomi

38

Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Ibid. Hal. 252-253.

39

(40)

26

semua raja-raja di Sumatera Timur.Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Perjanjian Politik Kontrak dengan Pemerintah Belanda, masih membolehkan mereka menjalankan kekuasaan hukum adat mereka, antara lain yang terpenting adalah tanah. Imbalan honorarium dari perusahaan perkebunan terus-menerus mengalir ke kantong pribadi para sultan dan datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pada tahun 1915, 39,2 persen penghasilan pajak di Deli, 37,9 persen di Langkat, dan 51,9 persen di Serdang masuk ke kantong pribadi sultan dan datuk-datuknya. Keuntungan dari pajak itu masih ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium.40

Di Simalungun dan Tanah Karo, raja-rajanya yang diikat dengan Korte Verklaring, masing-masing memperoleh 16,1 persen dan 10,9 persen. Sultan Machmoed dari Kerajaan Langkat adalah yang paling kaya di antara mereka.Dengan hasil honorarium dari perusahaan minyak di Pangkalan Brandan, pendapatannya pada tahun 1931 mencapai f.184.568.Sultan Amaloedin dari Deli mendapat f. 472.094 dan Sultan Soelaiman dari Serdang memperoleh f.103.346.Raja-raja Simalungun, meskipun tidak sehebat Sultan-sultan Melayu juga menerima keuntungan yang besar dari perkebunan itu.Di samping gaji mereka sebanyak f.6.720 setahun, dua rajanya yang terkaya menerima uang jalan sebesar f.1800 setahun dan menerima upeti dari rakyatnya.Para Sibayak di Tanah Karo mendapat gaji rata-rata f.2.400 setahun, jauh

40 Reid, Anthony. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Utara. Jakarta: Sinar

(41)

27

lebih sedikit dan gaji Sultan-sultan Melayu.Perinciannya adalah sebesar f.3.960 setahun untuk Sibayak Lingga dan f.1.200 setahun untuk Sibayak Kutabuluh.41

Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa kolonial yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama, orang-orang Eropa, yaitu pejabat-pejabat kolonial, administrator perkebunan, dan para pengusaha.Kedua, keluarga enam kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang, dan Siak. Ketiga adalah para raja Karo dan Simalungun, kaum intelektual Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa inilah muncul perubahan gaya hidup sebagian sultan dan bangsawan Sumatera Timur, khususnya Melayu. Kaum bangsawan Melayu termasuk sultan-sultannya sebelum kedatangan Belanda berada dalam keadaan yang melarat.Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka mampu membangun istana yang megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke Eropa.Gaya hidup mewah pada gilirannya mewarnai kehidupan mereka sehari-hari.Sultan-sultan Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut tamu-tamu penting (orang-orang Eropa).Untuk menunjukkan kebesaran dinastinya, mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan.

Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elite Eropa dan kerajaan dengan orang Cina, Jawa, India, Banjar, Sunda Mandailing, Bawean, Batak, Gayo, Alas, dan sebagainya yang menjadi buruh di perkebunan. Susunan golongan di Sumatera Timur pada zaman kolonial Belanda benar-benar kompleks dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Lengenberg menggambarkan sebagai berikut:

41

(42)

28

Indonesia berpendidikan barat (dokter, pengacara, pejabat, sipil kolonial senior), dan para pedagang kaya, Cina, India, dan Indonesia.42

Adanya komposisi penduduk yang demikian itu menjadi penting dilihat dari perbedaan kultur dan aspirasi politik di masa pergerakan kebangsaan Indonesia. Para pendatang politik yang berbeda dari penduduk asli. Di samping itu, para pendatang ini memiliki perbedaan kultur dengan para penduduk asli Sumatera Timur. Jumlah Sementara itu dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografi.Perkembangan perusahaan perkebunan telah menciptakan perubahan besar dalam aspek kependudukan dan perkotaan di Sumatera Timur.Pada pertengahan abda ke-19, jumlah penduduk Sumatera Timur diperkirakan berjumlah 150.000 jiwa.Dalam tempo delapan puluh tahun terjadi peningkatan beberapa kali lipat yakni menjadi 1.693.200 jiwa. Penyebab semua ini adalah masuknya kuli-kuli dari Jawa dan Cina dalam jumlah besar ke perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur dan adanya migrasi orang-orang dari Tapanuli, Aceh, dan Sumatera Barat.

Dalam tahun 1929 diperkirakan terdapat 301.936 orang kuli yang bekerja di perkebunan. Jumlah ini terdiri dari 275.233 kuli dari Jawa dan 26.703 kuli asal Cina.Penduduk dari keseluruhan penduduk Sumatera Timur.Dengan demikian, jumlah penduduk Sumatera Timur lebih dari separuhnya adalah para penduduk pendatang yang bukan berasal dari Sumatera.

42 Langenberg, Micheal. 1985. Regional Dynamic of The Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu,

(43)

29

penduduk asli (Melayu, Karo dan Simalungun) pada tahun 1929 secara keseluruhan kurang dari empat puluh persen dari seluruh penduduk Sumatera Timur.Dengan jumlah kerajaan-kerajaan seperti Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan.Di empat kesultanan Melayu itu penduduk Jawa dan Cina menempati posisi mayoritas.Ini terjadi karena adanya pemusatan perkebunan di daerah itu.Kondisi yang serupa juga terjadi di tujuh kerajaan yang lebih kecil, yaitu Suku Siantar, dan Panai.Hanya di empat kerajaan yaitu Karo, Lingga, Berusjahe, Suka dan Sarinembah, orang-orang Batak dan Melayu menjadi penduduk mayoritas.43

Pemukiman Cina dan Jawa tidak hanya ada di perkebunan tetapi juga di luar perkebunan.Pada tahun 1926 hanya sekitar separuh dari penduduk Jawa yang tinggal di perkebunan, selebihnya tinggal di sekitar perkebunan sebagai petani atau bermukim di kota-kota terdekat. Mereka yang Cina lebih banyak tinggal di daerah kota-kota besar seperti Medan, Siantar, Tebingtinggi, dan Binjai.Kota pelabuhan seperti Belawan juga dihuni oleh orang Cina dalam jumlah yang besar.Di samping itu, meluasnya penyebaran penduduk Batak Toba ke Sumatera Timur akibat adanya daya tarik perkembangan ekonomi perkebunan membuat komposisi penduduk di Sumatera Timur semakin heterogen.Sebagian besar orang Batak Toba bermukim di Simalungun, sebab sultan-sultan Melayu menolak masuknya orang-orang Kristen Toba dalam jumlah besar ke wilayah kerajaan mereka. Kehadiran mereka ke Sumatera Timur juga diakibatkan adanya kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang mendesak raja-raja Panei, Bilah dan Siantar untuk mendatangkan para petani

43

(44)

30

Batak Toba ke wilayah kerajaan mereka.Kebijaksanaan itu diberlakukan karena pada dekade pertama abad ke-20 Sumatera Timur kekurangan beras. Dengan demikian diperlukan adanya perluasan tanah-tanah pertanian dan mendatangkan para petani Batak Toba ke Sumatera Timur.Penyebaran petani Batak Toba juga diikuti pula dengan datangnya sejumlah besar para misionaris agama Kristen, guru-guru dan pedagang ke Sumatera Timur.Diperkirakan antara tahun 1907-1920 jumlah pendatang Batak Toba di Simalungun meningkat dari tiga ratus menjadi 21.000 orang.Mereka secara berangsur-angsur mendesak orang Batak Simalungun menjadi minoritas.Kehadiran mereka akhirnya juga menimbulkan masalah karena tanah-tanah di Sumatera Timur yang secara turun-temurun dimiliki penduduk asli, kini digarap tidak hanya oleh perkebunan asing tetapi juga oleh para petani Batak Toba.Kondisi ini berpengaruh terhadap perkembangan gerakan kebangsaan di Sumatera Timur.Dengan demikian jelas bahwa mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turuan menjadi minoritas.Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar sedangkan orang Cina menempati urutan ketiga.44

Di atas telah diuraikan bahwa perkembangan perkebunan telah menyebabkan daerah Sumatera Timur menjadi terkenal dan secara ekonomis sangat maju dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera. Hasil produksi perkebunannya telah memberikan keuntungan besar terhadap para pengusaha, Pemerintah Kolonial Belanda, dan pemerintahan kerajaan di Sumatera Timur.Akan

44

(45)

31

tetapi hal itu tidak dialami oleh para buruh perkebunan yang pada dasarnya adalah sebagai ujung tombak hidup matinya ekonomi perkebunan di Sumatera Timur.45

Buruh-buruh perkebunan itu seringkali mendapat perlakuan buruk dari majikannya dan mereka kebanyakan tidak mengetahui isi kontrak yang mereka tandatangani dengan pihak perkebunan.Sistem rekrutmen kuli kontrak itu didukung oleh tiga peraturan pemerintah.Pertama, Koeli Ordonantie yang diajukan pada tahun 1880, 1884, dan 1893.Peraturan itu memberikan kewenanganhukum kepada para manajer perkebunan selama masih berlaku kontrak.Kedua, Ponalie Sanctie dimasukkan ke dalam pasal kerja kuli-kuli untuk menghukum kuli-kuli yang melanggar pasal-pasal kontrak kerja mereka. Mereka yang melarikan diri dari perkebunan dapat ditangkap dan dipaksa kembali oleh polisi untuk meneruskan kontrak kerja mereka di perkebunan atau dihukum dengan cara lain. Ketiga, untuk mempertahankan sistem kuli kontrak adalah melalui peranan perkumpulan para pengusaha perkebunan, Deli Planters Vereneging (DPV) yang dibentuk pada 1897.DPV dibentuk dengan tujuan untuk menyuarakan kepentingan para pengusaha perkebunan seperti mengatur pembagian kuli-kuli kebun.46

Para kuli perkebunan pada tahun 1926 hanya mendapat gaji sebesar f.19.50, sementara gaji terendah asisten perkebunan Eropa berjumlah dua puluh kali lebih besar dari gaji kuli orang Jawa dan Cina, yakni f.350 sampai f.540 dan gaji menajer perkebunan sebesar f.675. Suatu peristiwa penyiksaan terhadap kuli kebun dengan

45

Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.

46

(46)

32

diberlakukannya poenale sanctie adalah peristiwa Pulau Mandi yang terjadi pada tahun 1926.Pada bulan Oktober tahun itu seorang asisten perkebunan bangsa Jepang bernama Kozo Oriuchu dinyatakan bersalah karena melakukan penganiayaan dan menyekap para kuli perkebunan Pulau Mandi. Para kuli yang jumlahnya tujuh orang dipukuli dan dikurung selama satu bulan dalam ruangan yang luasnya tidak kurang dari dua meter persegi dan dipaksa memakan kotoran manusia dan kuda. Kuli-kuli itu diancam akan dibunuh bila melaporkan kejadian yang dialaminya kepada orang lain. Buruh-buruh yang kondisinya sangat miskin itu terus bertambah. Yakni dari 31.454 pada tahun 1883 menjadi 186.556 tahun 1912 dan 336.000 tahun 1932. Mereka sebagian besar adalah para buruh Jawa.Mereka adalah sekelompok masyarakat yang terpisah secara sosial. Gambaran tentang kehidupan buruh-buruh perkebunan itu dilukiskan dengan baik oleh Liddle sebagi berikut:

… fasilitas kesehatan sangat minim dan mereka tinggal berdesak-desakan di dalam pondok-pondok yang berfungsi sebagai tempat tinggal mereka. Dari tahun 1915 sampai 1919 menurut laporan Tideman, ribuan buruh-buruh perkebunan yang meninggal terus meningkat dibandingkan dengan seluruh penduduk Sumatera Timur. Selama periode ini rasio antara laki-laki dan perempuan tinggi dan mereka sulit untuk membangun hubungan kekeluargaan yang normal. Usaha-usaha untuk mengembangkan rasa memiliki terhadap komunitas di dalam pondok juga tidak berhasil karena pekerja-pekerja baru terus didatangkan dan yang lain dipindahkan ke tempat lain.47

Demikianlah gambaran kondisi para buruh perkebunan di Sumatera Timur. Mereka sama sekali tidak menikmati keuntungan dari perkembangan daerah Sumatera Timur yang justru dengan nyata sekali punya andil dalam proses perkembangannya. Pengaruh penting lainnya atas masyarakat Sumatera Timur akibat

47

(47)

33

perkembangan perkebunan dan masuknya Pemerintah Kolonial Belanda adalah munculnya suatu pelapisan sosial yang mempunyai garis pisah yang tajam. Ciri yang menonjol dari masyarakat Sumatera Timur pada akhir tahun 1920-an adalah jurang sosial ekonomi yang lebih memisahkan secara tajam kelompok kecil elite dengan massa penduduk, petani-petani, kuli perkebunan, dan buruh kota.48

Bersamaan dengan perkembangan kota-kota itu muncullah sebuah budaya baru di perkotaan. Para perantau dari daerah lain yang datang ke Sumatera Timur sebagian besar tinggal di daerah perkotaan. Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, pengrajin, dan pekerja di sektor jasa. Jumlah mereka sangat cepat berkembang dari tahun ke tahun. Di Medan misalnya jumlah penduduk kota ini meningkat dari 42,5 ribu pada tahun 1920 menjadi 76,6 ribu pada tahun 1930. Secara detail jumlah penduduk kota-kota Sumatera Timur adalah sebagai Dengan pesatnya perkembangan perkebunan, maka satu aspek lagi yang menjadi prasarana pendukungnya adalah munculnya kota-kota di Sumatera Timur.Medan sebagai pusat administrasi pemerintahan dan ekonomi perkebunan telah berkembang dengan cepat. Kota-kota besar lainnya dengan cepat berkembang di seluruh Sumatera Timur dengan sebab-sebab yang sama. Siantar khususnya, menjadi sebuah pusat administrasi dan ekonomi yang penting dan sekaligus menjadi jalur silang yang menghubungkan wilayah Tapanuli, Karo, Simalungun, dan dataran rendah Sumatera Timur.

48Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu

(48)

34

berikut; Medan (76.584), Pematang Siantar (15.328), Tebingtinggi (14.026), Binjai (9.176), Tanjung Balai (6.823).49

Kota Medan telah dihuni oleh 4.293 orang Eropa, 27.287 Cina, dan selebihnya adalah orang Melayu, Karo, Simalungun, Toba, Jawa, Aceh, Minangkabau, Mandailing, Angkola, Banjar, Sunda, Manado, dan Ambon. Semuanya merupakan cermin dari penduduk Indonesia. Orang-orang Eropa yang tinggal di Medan, bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan (Belanda Deli), dengan ciri-ciri khas, kasar, pemabuk, kurang adat, dan benci pada birokrasi yang menghambat penumpukan harta.50

Di samping itu selama tahun 1930-an, Siantar, Tebingtinggi, dan Binjai juga menjadi kota-kota yang secara etnis sangat heterogen.Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat gubernemen, bukan rakyat kerajaan. Di Medan muncul suatu kesadaran baru, yakni kesadaran akan identitas ke-Indonesiaan lewat berkembang pesatnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dipakai sejumlah perusahaan penerbitan seperti Pewarta Deli yang dipimpin oleh seorang wartawan Djamaludin Adinegoro. Di samping Pewarta Deli masih ada sejumlah penerbitan seperti Sinar Deli yang nasionalis radikal, Pelita Andalas dan beberapa mingguan Islam.Komunikasi di antara mereka semakin lancar dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun

49

Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta. Sinar Harapan. Hal. 108-109.

50

(49)

35

1928.Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat nasional di Kota Medan. Dengan cermat Hamka melukiskan, bahwa anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya tradisional.51

Bersamaan dengan terjadinya kepincangan sosial, penguasa kolonial Belanda telah menciptakan suatu lingkungan baru di pusat-pusat kota, khususnya di Medan dan Pematangsiantar. Di lingkungan baru ini muncul kesadaran untuk mencari identitas nasional.Pencarian identitas nasional itu diwujudkan dalam bentuk pembentukan cabang Boedi Oetomo di Medan pada tahun 1908. Di bawah pimpinan dr. Pirngadi, Boedi Oetomo merekrut anggota dari kalangan dokter, guru, ahli hukum, wartawan, dan pegawai pemerintah. Secara organisatoris Boedi Oetomo mampu menghubungkan daerah Sumatera Timur dengan pulau Jawa.

2.1.2. Kondisi Sosial Politik

52

Pada tahun 1919, awal gerakan kebangsaan muncul di daerah perkebunan, yaitu dengan dibentuknya cabang-cabang Sarekat Islam. Sarekat Islam mampu menggerakan massa sampai ke daerah pedesaan. Dalam pertemuan cabang-cabang Sarekat Islam di Tebingtinggi pada bulan Februari1919, Abdul Muis berpidato mengajak massa untuk menghancurkan sistem kuli kontrak dan poenale sanctie.

51

Hamka. 1966. Merantau ke Deli. Kuala Lumpur. Pustaka Antara. Hal. 56.

52Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu

(50)

36

Sarekat Islam juga melancarkan kampanye demokrasi ekonomi untuk memperbaiki kehidupan kaum buruh dan tani.53

Sementara itu, organisasi Muhammadiyah, Al-Djami’atul Washliyah, dan Taman Siswa mulai melebarkan sayapnya ke Sumatera Timur.Berbeda dengan organisasi politik, organisasi-organisasi ini lebih menekankan pada masalah pendidikan dan sosial.Cabang-cabang Taman Siswa mulai banyak bermunculan di perkebunan-perkebunan dan kota-kota di Sumatera Timur, seperti Medan, Pangkalan Brandan, dan Tebingtinggi.Sekolah Taman siswa mengalami perkembangan pesat berkat jasa Sugondo Kartoprodjo.Muhammadiyah juga mengembangkan sekolah dasar, guru dan membentuk perkumulan kepanduan Hisbul Wathan.Masuknya Partai Komunis Indonesia (PKI) ke Sumatera Timur pada 1920, membuat wajah pergerakan politik menjadi radikal.Kekuatan partai ini tidak hanya terletak pada kepiawaiannya dan keterampilan para tokoh-tokohnya, tetapi terletak pada program-programnya yang langsung mengancam kepentingan pemerintahan Belanda dan kerajaan.Partai ini berhasil mengorganisasi pemogokan buruh di Pelabuhan Belawan pada tahun 1925.54

Partai Komunis tidak hanya mendapat simpati dari buruh kota, tetapi juga dari buruh perkebunan.Kegiatan PKI akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda.Tahun 1927 pemerintah Kolonial Belanda secara resmi melarang pegawainya menjadi anggota PKI.Pemerintah Belanda juga mengizinkan pihak

53

Kampanye itu akhirnya membuat kaum buruh menjadi radikal.Mereka melancarkan aksi mogok pada bulan September 1920 yang melumpuhkan aktivitas Deli Spoorweg Maatschappij (D.S.M). Reid, Anthony. Op.cit. Hal. 128.

54

Basarshah II, T Luckman Sinar. 1992. Revolusi Sosial Pihak Kiri 1946 di Serdang dalam Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Revolusi Nasional di Tingkat Lokal. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan

(51)

37

perkebunan mendirikan jaringan mata-mata untuk mengawasi kegiatan PKI. Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) mengemukakan bahwa setiap pegawai DSM yang terlibat di dalam kegiatan melanggar ketertiban umum akan diberhentikan. Partai ini akhirnya dibubarkan Pemerintah Belanda akibat keterlibatannya dalam pemberontakan di Jawa Barat dan Silungkang Sumatera Barat.Gerakan Revolusioner Marxis hancur pada tahun 1927.Pemimpinnya banyak yang dibuang ke Digul atau dipulangkan ke kampung halamannya.Dalam konteks Sumatera Timur, PKI telah melangkah di luar batas-batas primordialisme untuk menghimpun dukungan rakyat.PKI telah membangun sikap militan dan konfrontatif antikolonial.Pada tahun 1928 perkembangan nasionalisme di Sumatera Timur memasuki periode penting.Periode ini ditandai dengan didirikannya cabang Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Mr. Sunaryo pada tahun 1929 di Medan.Sebagian besar pendukung utama PNI adalah kalangan buruh-buruh Jawa di Perkebunan.Partai Nasional Indonesia dan Taman Siswa memiliki hubungan yang erat.Banyak tokoh Taman Siswa aktif dalam membangun PNI dan tokoh PNI mengajar di sekolah-sekolah Taman Siswa. Kedua organisasi ini menekankan perhatian yang besar pada konsep Negara Nasional Indonesia, Bahasa Nasional Indonesia, Kebudayaan Nasional Indonesia, Bendera Nasional Indonesia, dan Lagu Nasional. Akan tetapi aktivitas PNI tidak berlangsung lama.PNI kemudian dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1931, demikian juga penggantinya Partai Indonesia (Partindo).55

55

(52)

38

Namun demikian PNI memberi sumbangan penting dalam mengembangkan ideologi nasionalisme di Sumatera Timur.PNI telah menghubungkan gerakan antikolonial di Sumatera Timur.Program-program PNI menarik bagi orang Karo dan Simalungun di Medan, Siantar, Kabanjahe yang frustrasi terhadap struktur kekuasaan konservatif di daerahnya.Kembalinya sejumlah aktivis pergerakan nasional dari Boven Digul, akhirnya membangkitkan kembali gerakan nasionalis di Sumatera Timur.Pelopor kebangkitan itu adalah Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dan Partai Indonesia Raya (Parindra).Kedua organisasi ini mendapat dukungan luas dari semua suku bangsa di Sumatera Timur. Gerindo benar-benar menampakkan organisasi massa yang bersifat nasional dan radikal. Gerindo dengan tegas membedakan diri dengan Parindra yang moderat dan kooperatif, yang mereka pandang sebagai borjuis.Pemimpin Gerindo Sumatera Timur sudah sejak awal bersikap militan antikolonial, berbeda dengan koleganya di Jawa.Orang-orang pergerakan bekas anggota PKI, Partindo, dan PNI bergabung dengan Gerindo.56

Di bawah kendali Mohammad Djoni, Gerindo dengan keras menyerang kemapanan sistem kolonial dan feodalisme.Partai ini mengambil sikap antikolonial, anti-Eropa, dan anti-kapitalisme.Mereka menuntut kemerdekaan nasional, penghancuran aristokrat feodal, nasionalisasi semua perusahaan asing, pengakuan hak tanah pribumi.Hak-hak tanah dengan cepat menjadi isu utama program partai untuk memobilisasi dukungan melawan Pemerintah Belanda, raja-raja, dan pengusaha perkebunan.Melalui program distribusi tanah kepada para petani, Gerindo mendapat

56

(53)

39

dukungan kuat dari buruh-buruh Jawa, petani Karo, dan Simalungun.57Gerindo mampu membangkitkan semangat nasionalisme, khususnya di kalangan masyarakat karo di Langkat dan Deli Hulu.58

Cabang-cabang Gerindo juga tersebar di seluruh wilayah Sumatera Timur.Pada tahun 1938 cabang Gerindo didirikan di Binjai, Arnhemia, dan Tanah Jawa.Di Kisaran dan Sunggal, cabang Gerindo dibentuk pada tahun 1939, sedangkan di Tanjung Balai dan Kabanjahe pada tahun 1940.Gerindo aktif memberikan kursus-kursus politik secara teratur.Sekitar 1.500 orang menghadiri pertemuan Gerindo di gedung Bioskop Medan.59

57

Ibid.

58 Reid, Anthony. Op.cit. Hal. 129-130. 59

Ibid. Hal. 121.

(54)

40

mengatasi hal ini, pemerintah Belanda menyediakan 1.500 hektare tanah sawah untuk kepentingan penduduk asli (Simalungun).60

Sementara itu, di kalangan suku Melayu muncul usaha-usaha untuk melindungi identitas Melayu.Tahun 1930, kaum bangsawan Serdang membentuk Bangsawan Sepakat dan Persatuan Sulaiman.Di Langkat dan Deli, para bangsawannya membentuk Bangsawan Langkat Sejati dan Persatuan Kita.Pada tanggal 20 September 1932, dibentuklah Syarikatul Moeloek sebagai sarana untuk menggalang persatuan raja-raja dan kaum bangsawan di seluruh Sumatera Timur.Semua organisasi ini tidak bertahan lama karena tidak mendapat dukungan dari kalangan masyarakat bawah dan juga para bangsawan yang terpelajar.Kaum intelektual Melayu sendiri sukar untuk melepaskan diri dari kungkungan adat istana.Menurut tradisi istana, setiap problem yang dihadapi oleh orang Melayu diselesaikan lewat tradisi istana.Ini merupakan prinsip tegas yang memba

Gambar

Gambar 3.1
Gambar 3.2 Pola Gerakan Sosial Politik yang Terjadi di Sumatera Timur

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menguraikan fakta- fakta tentang pengaruh pemikiran politik Ikhwanul Muslimin terhadap gerakan organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

Motivasi elit politik tradisional dan elit agama terlibat dalam gerakan sosial di Bengkulu pada abad XIX berkaitan erat dengan masalah ketidakadilan, kesewenangan,

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana kontestasi wacana yang mempengaruhi latar belakang isu ketidakadilan dalam gerakan petani, melihat sejauhmana saluran komunikasi

Penelitian ini menguraikan fakta- fakta tentang pengaruh pemikiran politik Ikhwanul Muslimin terhadap gerakan organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

Penelitian ini menguraikan fakta- fakta tentang pengaruh pemikiran politik Ikhwanul Muslimin terhadap gerakan organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

Penelitian ini menggunakan teori strategi komunikasi politik, gerakan sosial dan teori identitas untuk menganalisis dan mengupas temuan data mengenai gagasan dan praktek oleh

Dengan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti Perilaku Politik Masyarakat Dalam Pemilu Kepala Daerah (Studi Deskriptif Masyarakat Kecamatan

Penelitian ini di latar belakangi atas dasar kondisi politik yang terjadi di lingkungan organisasi mahasiswa terhadap melemahnya partisipasi anggota mahasiswa