• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN

SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

DESLI TRIMAN ZENDRATO

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN

SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SKRIPSI

Oleh:

DESLI TRIMAN ZENDRATO

041201024 / MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN

SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SKRIPSI

Oleh:

DESLI TRIMAN ZENDRATO

041201024 / MANAJEMEN HUTAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Identifikasi Luas Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis Nama : Desli Triman Zendrato

NIM : 041201024

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing,

Pindi Patana, S.Hut, M.Sc Ketua

Bejo Slamet, S.Hut, M.Si Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. Ketua Departemen Kehutanan

(5)

ABSTRAK

DESLI TRIMAN ZENDRATO. Identifkasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera

Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Dibawah Bimbingan Akademis PINDI PATANA dan BEJO SLAMET.

Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) saat ini diperkirakan hanya tersisa sekitar 7.000 individu yang sebagian besar tersebar di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan sekitar 255 diantaranya berada di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Dibandingkan daerah lain, informasi mengenai daerah jelajah orangutan di PPOS Bohorok sangat sedikit. Daerah jelajah orangutan betina dewasa dan jantan dewasa mungkin sulit memperkirakan daerah jelajah orangutan secara umum. Namun, informasi yang ada dapat digunakan untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang orangutan di suatu daerah dengan mempelajari aktifitas harian orangutan. Seekor orangutan betina dewasa memiliki jelajah harian sejauh 916,4 meter/hari yang menjelajah dalam area seluas 12,4909 Ha (Metode Kernel) atau 71,549 Ha (Metode MCP). Sedangkan seekor orangutan jantan dewasa memiliki jelajah harian sejauh 651,28 meter/hari yang menjelajah dalam area seluas 46,017 Ha (Metode Kernel) atau 58,5601 Ha (Metode MCP). Daerah jelajah seekor orangutan yang sangat luas memungkinkan daerah jelajahnya saling bertautan dengan indidividu orangutan lainnya. Faktor yang mempengaruhi variasi jarak jelajah dan daerah jelajah orangutan yaitu: ketersediaan sumber makanan di hutan dan interaksi sosial.

(6)

ABSTRACT

DESLI TRIMAN ZENDRATO. Identification of Sumatran Orangutan Home

Range Used Geographic Information System Application. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and BEJO SLAMET.

Today Sumatran Orangutans (Pongo abelii) population is estimated just left around 7.000 individual that distributed largely at Gunung Leuser National Park and about 255 there found at Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Than the other site, the information about orangutans home range is too slightly. The adult male and female orangutans may difficult to estimated the orangutan home range commonly. However, the information can used to understand the orangutans spatial patterns used on an area by studied the orangutan daily activity. An adult female orangutan have a daily range by as far as 916,4 meter/day that covered area 12,4909 Ha (Kernel Method) or 71,549 Ha (MCP Method). Whereas, an adult male orangutan have a daily range by as far as 651,28 meter/day that covered area 46,017 (Kernel Method) or 58,5601 Ha (MCP Method). A wide home range of an orangutan enable the home range overlap with other orangutan home range. Factor that influence the variation of orangutans daily range and home range that is: availability of food resources in the forest and social interaction.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pemantang Siantar pada tanggal 6 Desember 1986 dari ayah Atieli Zendrato dan ibu Sarifati Harefa. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga besaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Dasar Swasta Sultan Agung Pematang Siantar, tahun 2001 lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta Santa Maria Medan, tahun 2004 lulus dari Sekolah Menengah Atas Swasta Kristen Immanuel Medan, dan pada tahun 2004 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata Kuliah Pengantar Inventarisasi Hutan. Penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva Universitas Sumatera Utara (HIMAS USU) pada tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008 dan pada tahun ajaran 2008/2009 menjabat sebagai Sekretaris Umum.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaiakan laporan Praktik Kerja Lapang ini sesuai pada waktu yang telah ditentukan.

Penelitian ini berjudul Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok). Penelitian ini menyajikan variasi daerah jelajah antara orangutan jantan dewasa dengan orangutan betina dewasa yang disertai pembahasan mengenai faktor yang mempengaruhinya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam terlaksananya PKL di Taman Nasional Gunung Leuser,

diantaranya:

1. Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. selaku Kepala Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara;

2. Pindi Patana, S.Hut, M.Sc. dan Bejo Slamet, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing baik dalam pelaksanaan hingga pembuatan hasil penelitian;

3. Orangtua dan Kakanda yang telah memberikan dukungan moril dan materil bagi kelancaran pelaksanaan penelitian;

(9)

Wijaya, S.Hut selaku Kepala SPTN V Bohoro, dan seluruh petugas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser;

5. Ian Singleton. Ph.D dan Nuzuar, S.Hut serta segenap staf Yayasan Ekosistem Leuser – Sumatran Orangutan Conservation Programme (YEL-SOCP) yang telah memberikan bantuan dana dan bimbingan penelitian;

6. Sindrayana dan Tumino yang telah mendampingi selama pengamatan di lapang an; dan

7. Rekan-rekan angkatan 2004 dan seluruh mahasiswa Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

Penulis pun menyadari, meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, masih terdapat kekurangan maupun kesalahan dalam penulisan laporan ini. Oleh karena itu, penulis berlapang dada atas saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan laporan ini. Akhir kata, penulis mengharapkan laporan ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya.

Medan, Maret 2009

(10)

DAFTAR ISI

Distribusi Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) ... 6

Klasifikasi Orangutan Sumatera ... 8

Tahapan Perkembangan Orangutan ... 10

Aktifitas Harian Orangutan ... 12

Daerah Jelajah Orangutan ... 14

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daerah Jelajah Orangutan ... 17

Sistem Informasi Geografis ... 22

Definisi Sistem Informasi Geografis ... 23

Ekstensi Animal Movement Analyst dalam Aplikasi SIG ... 24

METODE PENELITIAN ... 27

Waktu dan Tempat ... 27

Bahan dan Alat ... 27

Metode ... 28

Pengumpulan Data ... 28

Pencarian (Searching) Orangutan ... 28

Pengamatan Perilaku Harian Orangutan ... 29

Analisa Data ... 31

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

Pengamatan Orangutan ... 36

Karakteristik Orangutan Fokal ... 37

Betina Dewasa (adult female) ... 37

Jantan Dewasa (adult male) ... 38

Aktifitas Harian Orangutan Fokal ... 40

Makan (Feeding) ... 43

Istirahat (Resting) ... 46

Bergerak Pindah (Moving)... 48

Bersarang (Nesting) ... 49

Sosial (Social) ... 50

Jelajah Harian Orangutan... 51

Daerah Jelajah Orangutan ... 56

Metode Kernel ... 56

Metode Minimum Convex Polygon ... 58

KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

Kesimpulan ... 61

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbandingan data penjelajahan ... 18

2. Pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal... 49

3. Jarak jelajah harian orangutan fokal ... 57

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) ... 10

2. Skema berbagai pola penjelajahan orangutan... 17

3. Kondisi yang mempengaruhi kebutuhan untuk menjelajah ... 21

4. Poligon MCP ... 25

5. Poligon kernel dengan tingkat kemungkinan 50%, 75% dan 90% ... 25

6. Poligon kernel menggunakan LSCV ... 26

7. Fokal Minah dan bayi orangutan Chaterine ... 38

8. Fokal Jenggot ... 39

9. Orangutan betina dewasa Suma ... 40

10.Variasi pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal ... 42

11.Pemanfaatan waktu aktifitas makan (feeding) fokal ... 45

12.Pemanfaatan waktu aktifitas istirahat (resting) fokal... 47

13.Pemanfaatan waktu aktifitas gerak berpindah (moving) fokal ... 49

14.Pemanfaatan waktu aktifitas bersarang (nesting) fokal... 50

15.Pemanfaatan Waktu Aktifitas Sosial Fokal Minah ... 51

16.Jelajah harian fokal Minah dan fokal Jenggot ... 53

17.Jalur jelajah fokal Minah selama periode pengamatan tanggal 11-31 Juli 2008 ... 54

18.Jalur jelajah gokal Jenggot selama periode pengamatan tanggal 4-11 dan 16-20 Agustus 2008 ... 55

19.Daerah jelajah fokal Minah menggunakan metode Kernel ... 57

20.Daerah jelajah fokal Jenggot menggunakan metode Kernel ... 57

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Dokumentasi Pegamatan Orangutan.

2. Dokumentasi Aktifitas Harian Fokal Minah. 3. Dokumentasi Aktifitas Harian Fokal Jenggot.

4. Rekapitulasi Waktu Pengamatan Aktifitas Harian Orangutan di Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok-TNGL: Fokal Minah.

5. Rekapitulasi Waktu Pengamatan Aktifitas Harian Orangutan di Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok-TNGL: Fokal Jenggot.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Status orangutan Sumatera (Pongo abelii) menghadapi resiko kepunahan yang sangat cepat dibandingkan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), dimana orangutan Sumatera termasuk satwa dengan status sangat genting (critically endangered) (Singleton et al., 2006). Orangutan Sumatera merupakan jenis endemik yang ada di pulau Sumatera, dan keberadaannya terbatas di seluruh hutan dataran rendah provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara. Singleton et al. (2006) mencatat populasi orangutan Sumatera saat ini diperkirakan hanya sekitar 7.000 individu (berdasarkan tampilan citra satelit tahun 2002), hidup di 13 unit kawasan terfragmentasi mulai dari utara provinsi Nangroe Aceh Darussalam hingga bagian selatan daerah Sibolga, Tarutung dan Padang Sidempuan. Sedangkan orangutan Kalimantan saat ini diperkirakan kurang dari 27.000 individu, dan beberapa orang memperkirakan hanya tersisa setengahnya saja yang masih hidup alam liar (Meijard et al., 1999 dalam Johnson et al., 2004). Dengan kondisi status keberadaan orangutan saat ini terlihat jelas resiko kepunahan yang dihadapi orangutan Sumatera lebih berat dibandingkan orangutan Kalimantan. Dan tanpa mengabaikan status orangutan Kalimantan, penelitian ini hanya dibatasi pada orangutan Sumatera.

(16)

yaitu perburuan dan penangkapan ilegal dan tekanan terhadap habitat orangutan. Tekanan terhadap habitat orangutan berupa kehilangan, kerusakan dan fragmentasi habitat, yang sangat mempengaruhi kehidupan dan kemampuan untuk melakukan reproduksi, yang akhirnya akan menurunkan populasi orangutan di alam. Diluar tekanan langsung tersebut, juga ada tekanan lainnya yang mengancam kehidupan orangutan, seperti konflik dan perubahan tata guna lahan, lemahnya kerangka hukum dan penegakannya, dan berbagai kelemahan kelembagaan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

(17)

Tujuan Penelitian

1. Memperoleh informasi luas daerah jelajah Orangutan Sumatera dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (SIG).

2. Membandingkan luas daerah jelajah antara orangutan jantan dan betina dewasa yang menjadi objek pengamatan.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi terbaru mengenai luas daerah jelajah Orangutan Sumatera yang terdapat di kawasan Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera Bukit Lawang.

2. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan daerah jelajah Orangutan Sumatera.

3. Merupakan bahan kajian dalam melakukan upaya konservasi orangutan Sumatera.

Hipotesis Penelitian

(18)

Kerangka Pemikiran

(19)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian. Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827)

IUCN Critically Endangered Species

Fragmentasi Habitat

Pusat Pengamatan Orangutan Bahorok-Bukit Lawang

Pengumpulan data lapangan (primer)

Orangutan Betina Dewasa Semi Liar Orangutan Jantan Dewasa Liar

Metode Kernel Metode Minimum

Convex Polygon (MCP)

Perbandingan Luas Daerah Jelajah Orangutan Jantan dan Betina

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Distribusi Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827)

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang ditemukan di luar Afrika (Parsons, 2006). Sekitar dua juta tahun yang lalu orangutan tersebar di wilayah sangat luas, mulai dari Jawa hingga selatan Cina (von Koenigswald, 1982 dalam Schaik, 1996). Namun, sebaran orangutan saat ini hanya berupa kawasan

terfragmentasi yang lebih kecil dari sebelumnya, dimana saat ini hanya terdapat di pulau Kalimantan dan Sumatera (Schaik, 1996). Saat ini orangutan hanya dapat ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sabah dan Sarawak dan lebih dari 90% habitatnya berada di wilayah Republik Indonesia (Meijard et al., 2001). Di Kalimantan orangutan tersebar dalam wilayah yang lebih luas, sedangkan orangutan yang ada di Sumatera tersebar secara terbatas pada bagian ujung utara pulau tersebut (Galdikas, 1986). Orangutan yang tinggal di pulau Sumatera saat ini hanya dapat ditemukan di kawasan hutan dataran rendah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Singleton et al., 2006).

(21)

menurun sampai ke pantai Sibolga; (3) subpopulasi Tapanuli bagian tenggara di antara Sungai Asahan dan Sungai Baruman; dan (4) subpopulasi di Anggolia, Angkola, dan Pasaman, semuanya di sepanjang bagian barat kaki Bukit Barisan, dari hilir Sungai Batang Toru membentang ke arah selatan di antara Padang Sidempuan dan daerah sekitar Pariaman di Propinsi Sumatera Barat, sekitar 50 km di sebelah utara Padang (Meijard et al., 2001).

Setelah tahun 1997 (pasca kebakaran hutan), Meijard et al. (2001) memperkirakan bahwa populasi orangutan berada di hutan yang luasnya 26.000 km2, yaitu kira-kira setara dengan 3.500 unit daya dukung. Berdasarkan perkiraan kepadatan orangutan pada habitat yang berbeda-beda di Sumatera, jumlah orangutan yang bertahan pada populasi sekarang hanya sekitar 12.500. Tetapi, dari 12.500 orangutan yang tersisa diperkirakan telah berkurang hingga sekitar 7.000 orangutan saja (Singleton et al., 2006)

Dari 7.000 orangutan Sumatera yang tersisa (berdasarkan citra satelit tahun 2002), hidup di 13 unit habitat terfragmentasi yang terbentang mulai sebelah utara Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebelah selatan sungai Batang Toru di Sumatera Utara. Lebih jauh dijelaskan populasi orangutan dalam jumlah yang besar, sekitar 5.600 orangutan, ditemukan di dalam ekosistem Leuser, yang merupakan sebuah daerah konservasi seluas 26.000 km2 yang ditetapkan melalui keputusan presiden dimana di dalamnya terdapat Taman Nasional Gunung Leuser (10.950 km2) dan 1.025 km2 Kawasan Reservasi Rawa Singkil (Singleton et al., 2006).

(22)

(Payne, 1988; van Schaik dan Azwar, 1991 dalam Meijard et al., 2001). Groves (1971) dalam Meijard et al. (2001) juga mencatat bahwa orangutan kadang ditemukan di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1.500 mdpl, khususnya jantan dewasa, dan populasi pada ketinggian di atas 500 mdpl kini semakin jarang. Di Kalimantan, batas ketinggian dimana komunitas orangutan berada adalah sekitar 500 mdpl. Sedangkan di Sumatera, Ellis (2005) mencatat bahwa populasi orangutan secara bertahap berkurang pada ketinggian 1.000 hingga 1.200 mdpl.

Di dataran rendah orangutan juga tidak tersebar merata. Berdasarkan tinjauan pustaka yang tersedia, dan dari data survei orangutan dari berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan, orangutan diketahui lebih umum terdapat di dekat sungai-sungai kecil atau besar dan di dekat rawa-rawa. Alasan utama orangutan lebih menyukai lingkungan ini hampir pasti karena di dekat sungai lebih banyak pohon buah yang disukai, tetapi mungkin juga karena sungai-sungai besar dan kecil merupakan tanda-tanda geografis yang terbaik untuk mengetahui arah keberadaannya. Orangutan jarang atau hampir tidak ada di hutan-hutan dataran rendah yang luas dan relatif seragam, yang tumbuh di atas tanah rata yang kering, demikian pula di jajaran pegunungan di atas ketinggian tertentu (Meijard et al., 2001).

Klasifikasi Orangutan Sumatera

(23)

awalnya kedua jenis orangutan tersebut dianggap sama dan hanya dikenal sebagai Pongo pygmaeus, tetapi Singleton et al. (2006) menjelaskan bahwa saat ini

mereka dikenal sebagai spesies yang berbeda. Lebih lanjut dijelaskan bahwa orangutan Kalimantan dibagi dalam tiga subspesies berbeda yang termasuk dalam spesies Pongo pygmaeus, sedangkan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) hanya dipandang sebagai satu unit taksonomi.

Secara ilmiah struktur taksonomi Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut (IUCN, 2007; Brandon dan Jones, 2004):

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Famili : Hominidae

Sub Famili : Ponginae Eliot, 1912 Genus : Pongo Lacépède, 1799 Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827

(24)

warna coklat kemerah-merahan, sedangkan Orangutan Sumatera biasanya berwarna lebih pucat. Meskipun perbedaan tersebut bukan merupakan sifat yang tetap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun secara umum. Galdikas (1986) juga menemukan adanya rambut putih di bagian muka Orangutan Sumatera dan tidak pernah dijumpai pada Orangutan Kalimantan. Selain itu Orangutan Sumatera biasanya memiliki rambut yang lebih lembut dan lemas, sedangkan Orangutan Kalimantan kasar dan jarang-jarang.

Gambar 1. Orangutan Sumatera (Pongo abelii).

Tahapan Perkembangan Orangutan

Menurut Rijksen (1986) dalam Mapple (1980) tahapan perkembangan orangutan di alam dapat digolongkan dalam beberapa kelompok berdasarkan umur, seks, morfologi dan tingkah laku, seperti dijelaskan di bawah ini:

(25)

berdiri di sekitar wajah. Selalu berpegang pada induknya selama waktu perpindahan, kebutuhan makan sepenuhnya bergantung kepada induk dan tidur juga di sarang yang sama dengan induknya.

b. Kanak-kanak (juvenile): kisaran umur sekitar 2,5-5 tahun, berat badang 6-15 kg. Ciri morfologi masih sama seperti bayi. Masih sering berpegang pada induknya, tetapi telah melakukan perjalanan pendek sendiri dalam pengawasan induknya, bermain sendiri atau dengan kawan sebayanya, awalnya masih tidur bersama induknya tetapi kemudian mulai membangun sarangnya sendiri dekat induknya, akhir dari tahapan ini terkadang si induk melahirkan bayi baru dan perhatiannya terhadap si kanak-kanak mulai semakin berkurang.

c. Remaja (adolescent): kisaran umur 5-8 tahun, berat badan sekitar 15-30 kg. Rambut panjang dan berdiri masih terdapat di sekitar wajahnya, warna lingkaran sekitar mata berubah gelap, gigi berubah, jantan dan betina sulit dibedakan kecuali benar-benar diperhatikan daerah genitalianya. Sering berhubungan dengan induknya, berhubungan dengan golongan sebayanya, bermain bersama mereka dan bergerak bersama-sama dalam grup remaja, berhati-hati ketika bertemu orangutan dewasa, khususnya jantan dewasa, kadang-kadang masih melakukan pergerakan bersama induknya, mulai menunjukkan perilaku sosial, kematangan seksual betina sekitar 7 tahun. d. Jantan pra dewasa (sub adult): kisaran umur sekitar 8-13/15 tahun, berat badan

(26)

jelas. Tahap ini kematangan seksual dimulai dan berkelanjutan sampai individu tersebut mencapai kematangan seksual, menghindari pertemanan dengan jantan dewasa.

e. Betina dewasa (adult female): kisaran umur di atas 8 tahun, berat badan 30-50 kg. Betina yang sudah tua memiliki jenggot, dan sulit dibedakan dengan jantan pra-dewasa jika tidak disertai dengan anaknya, puting susu membesar. Betina dewasa biasanya disertai anaknya.

f. Jantan dewasa (adult male): kisaran umur di atas 13/15 tahun, berat badan 50-90 kg. Besarnya luar biasa, karakteristik seksual sekunder berkembang maksimal, memiliki bantalan pipi, janggut, kantong suara dan rambut yang panjang. Matang secara seksual dan secara sosial, melakukan penjelajahan sendiri, bergerak dengan hati-hati, menyuarakan seruan panjang (long call).

Aktifitas Harian Orangutan

(27)

Untuk menganalisa pemanfaatan waktu oleh orangutan, Galdikas (1986) membuat catatan mengenai individu-individu sasaran ke dalam tujuh kategori utama aktifitas orangutan, yaitu:

1. Makan, meliputi semua waktu yang digunakan orangutan untuk persiapan, pemetikan, penggapaian, pengambilan, pengunyahan atau penelanan makanan, dan juga waktu untuk bergerak di dalam sumber makanan (pohon, tanaman menjalar atau pokok kayu yang mengandung rayap). Aktifitas selipan antara aktifitas-aktifitas utama tersebut (kurang dari 1-2 menit) misalnya berupa defekasi (buang hajat besar), urinasi (buang hajat kecil), menggaruk-garuk atau “bermain-main” dengan anggota badan, mulut atau gigi selama masih ada di dalam sumber makanan.

2. Berisitirahat, meliputi semua aktifitas yang berlangsung pada waktu orangutan relatif tidak bergerak, yaitu duduk, berdiri, atau tiduran pada cabang, di dalam sarang, atau pada permukaan tanah. Saling merawat, merawat diri sendiri, bermain dengan benda atau bahan, dan menggaruk-garuk badan, semuanya dimasukkan ke dalam kategori beristirahat (kecuali apabila menggaruk-garuk tersebut dilakukan sebagai aktifitas sisipan selama makan seperti disebutkan di atas). Sasaran yang berupa hewan jantan yang sedang menerima tanggapan kesediaan seks betina, dihitung sebagai “sedang beristirahat”, kecuali apabila ia bergerak pindah dari pohon, begitu pula betina sasaran yang memperlihatkan kesediaan seksnya tanpa merangsang tanggapan yang memperlihatkan kesediaan.

(28)

Orangutan bergerak pindah secara lamban dan tidak teratur. Setiap saat tidak bergerak antara aktifitas pergerakan yang lebih lama dari satu menit dihitung sebagai beristirahat.

4. Kopulasi, dimulai semenjak jantan mulai menempatkan betina pada posisi yang memungkinkan intromisi dan berakhir dengan ejakulasi atau perpisahan secara jelas/sempurna antara pasangan yang berkopulasi itu.

5. Mengeluarkan seruan panjang, dihitung semenjak jantan mengeluarkan geraman mula-mula sampai geraman yang terakhir. Pada umumnya, seruan panjang yang kurang dari ½ menit tidak dimasukkan dalam pemanfaatan waktu untuk kategori seruan panjang.

6. Agresi, terutama menyangkut pameran kemarahan terhadap pengamat, orangutan dan hewan lain, tetapi meliputi pula perkelahian, pengejaran dan pertempuran antara individu. Pameran kemarahan terdiri atas pengeluaran suara, pematahan atau pelemparan cabang dan menjatuhkannya, serta penumbangan pohon tua. Akan tetapi bilamana suatu pohon tua ditumbangkan bersama-sama dengan dikeluarkannya seruan panjang, tidak dimasukkan ke dalam perilaku agresi tetapi ke dalam kategori seruan panjang.

7. Bersarang, meliputi pematahan dan perlakuan cabang-cabang dan/atau tanaman untuk menyusun sarang untuk tidur, bangunan alas untuk tempat makanan atau pelindung tubuh di atas kepala untuk menahan hujan.

Daerah Jelajah Orangutan

(29)

Schaik (2001) menjelaskan bahwa ada dua alasan utama pentingnya informasi pola jelajah dan faktor-faktor yang menentukannya. Yang pertama, adalah membuat data dasar untuk penelitian selanjutnya mengenai organisasi sosial, khususnya bagi spesies soliter yang organisasi sosialnya tidak begitu nyata. Yang kedua, adanya indikasi mengenai kebutuhan ruang individu dan populasi, karena itu, sepanjang adanya informasi pola keruangan tentang kaitan genetik, akan memberikan alat-alat yang penting untuk manajemen konservasi.

(30)

Tabel 1. Perbandingan data penjelajahan. Nama-nama dengan tanda (*) melakukan penelitian di Ketambe dalam Ekosistem Leuser, Aceh; (o) di Mentoko/Sangatta di Kutai, Kalimantan Timur; Galdikas di Suaka Margasatwa Tanjung Puting (Kalimantan Tengah); dan van Schaik di Suaq-Balimbing, Aceh bagian barat.

Sumber: Meijard et al., 2001.

Penelitian jangka panjang mengenai interaksi sosial mengungkapkan bahwa orangutan penetap biasanya adalah yang berstatus sosial tinggi. Seekor orangutan penetap menempati habitat berkualitas tinggi, yang dalam kasus betina dewasa penetap bersama dengan yang lainnya, luasnya mungkin hanya 0,6-1 km2 (Tabel 1). Jantan dewasa penetap umumnya menjelajah daerah yang lebih luas, diduga untuk kepentingan sosial-reproduksi, tetapi daerah jelajahnya jarang melebihi 10 km2 di habitat yang berkualitas tinggi. Para penglaju menempati daerah yang jauh lebih luas, dan memanfaatkan lebih dari satu lokasi habitat utama yang berkualitas tinggi atau cukup tinggi. Jarak antara lokasi satu dengan lainnya mungkin cukup jauh, yaitu lebih dari 5 km, dan dipisahkan oleh hutan yang berkualitas lebih buruk atau sangat buruk, atau oleh daerah jelajah orangutan lainnya sehingga kehadiran penglaju ini tidak dapat diterima (Meijard et al., 2001).

(31)

masa dewasanya, jika habitat dan status sosial individu memungkinkannya. Mungkin ada orangutan yang tetap menjadi penglaju dan menjadi pengembara selama masa dewasanya, jika status sosialnya tetap rendah (Meijard et al., 2001).

Gambar 2. Skema berbagai pola penjelajahan orangutan (Meijard et al., 2001).

Para pengembara tampaknya tidak memiliki daerah jelajah yang tetap sama sekali, tetap terus mengembara, menjelajah sampai jarak yang jauh, untuk mencari makanan dan mungkin juga untuk kawin. Pengembara mungkin (mencoba) bergabung selama beberapa waktu dengan kelompok penglaju. Karena semua pengembara tampaknya adalah jantan dewasa atau pradewasa, mereka ini diduga telah gagal diterima oleh kelompok penglaju dan penetap, atau bahkan diusir. Dari hasil penelitian struktur komunitas orangutan, mungkin sekitar 20% dari seluruh orangutan akan bernasib menjadi pengembara (Meijard et al., 2001).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daerah Jelajah Orangutan

(32)

ukuran daerah jelajah orangutan. Hal ini mungkin dikarenakan orangutan bersifat frugivora (Galdikas, 1986). Pola makan ini sangat mempengaruhi kondisi biologis

dan cara hidup orangutan. Oleh karena itu, distribusi jumlah dan kualitas makanannya menurut waktu dan tempat tertentu merupakan faktor penentu utama perilaku pergerakan (Meijard et al., 2001).

Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan. Walaupun ada sekitar 200 jenis buah yang dimakan, beberapa jenis buah tertentu ternyata jauh lebih tinggi dalam komposisi makanan orangutan. Buah-buahan ini berdaging lembek, berbiji, termasuk buah berbiji tunggal dan buah beri. Orangutan juga lebih menyukai pohon-pohon yang berbuah lebat. Selain buah, orangutan juga memakan daun (termasuk tunas muda dan tangkai), serangga (semut, rayap, belalang, jangkrik, kutu, dan lain-lain.), lapisan di bawah kulit pohon tertentu (khususnya Ficus dan pohon lainnya dari suku Moraceae, misalnya Payena spp.), bunga, telur burung, vertebrata kecil (tokek, tupai, dan kukang), dan madu (Meijard et al., 2001).

(33)

pergerakannya ketika buah yang menjadi makanannya berlimpah dan tidak perlu berpindah lebih jauh untuk mendapatkan sumber makanan atau alternatif lainnya, orangutan jantan meningkatkan pergerakannya ketika kelimpahan buah sangat sedikit dengan maksud mencari sumber makanannya.

Selain makanan, daerah jelajah orangutan juga dipengaruhi oleh perilaku sosial (Parsons, 1999). Orangutan memperlihatkan banyak variasi ekologi dan sosial individualnya karena perbedaan seks, umur, kondisi reproduksi, status sosial dan juga keterampilannya (Meijard et al., 2001). Orangutan betina bersifat soliter dan menggunakan sebuah daerah jelajah yang terkadang tumpang tindih dengan daerah jelajah betina lainnya (Parsons, 1999). Orangutan jantan juga soliter, tetapi mereka memiliki daerah jelajah yang lebih luas yang berkaitan dengan beberapa daerah jelajah betina (Rijksen, 1975 dalam Parsons, 1999).

(34)

Orangutan jantan memerlukan sikap tegas dan berani untuk mendapatkan statusnya sebagai penetap. Jantan dewasa penetap biasanya berstatus tinggi dalam hal dominasinya dibandingkan dengan jantan lainnya, dan kelihatannya ada kompetisi (meskipun lebih banyak tersembunyi) di antara jantan dewasa penglaju dan pradewasa calon penetap (dan/atau pengembara) yang berlangsung terus-menerus untuk memperoleh status. Jadi, status jantan dewasa penetap akan terkait dengan suatu kawasan yang meliputi habitat kecil yang berkualitas lebih baik daripada habitat lain di sekitarnya yang mencakup daerah jelajah untuk paling sedikit lima ekor penetap (Meijard et al., 2001). Yang menarik perhatian, orangutan betina tampaknya berperan aktif dalam dinamika status sosial di antara jantan dewasa penetap di daerah tersebut (Utami dan Mitrasetia, 1995 dalam Meijard et al., 2001).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, salah satu yang mempengaruhi perilaku sosial orangutan dikarenakan adanya perbedaan kondisi reproduksi (Meijard et al., 2001), seperti yang terlihat pada Gambar 2. Van Hooff (1995) dalam Meijard (2001) menjelaskan bahwa struktur sosial-ekologi orangutan

(35)

tertentu. Sedangkan orangutan betina tidak meninggalkan daerah jelajah umum induknya untuk kawin (Galdikas, 1986).

Gambar 3. Kondisi yang mempengaruhi kebutuhan untuk menjelajah (Meijard et al., 2001).

Selain status sosial dan reproduksi, Parsons (1999) menyatakan bahwa seruan panjang orangutan jantan dewasa merupakan faktor potensial yang dapat mempengaruhi perilaku jelajah. Seruan panjang adalah suara orangutan yang paling sering dikeluarkan dan satu-satunya suara yang secara tetap dapat terdengar dari jarak-jarak yang jauh. Seruan berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina, dan kenyataan bahwa orangutan jantan dewasa selalu mengawali kopulasi dengan mengeluarkan seruan atau menggeram, menandakan bahwa pengeluaran

EKOLOGI Bisakah aku pergi ke tempat yang kuinginkan?

Siapa yang kutakuti?

(36)

seruan tersebut memegang peranan penting penting dalam reproduksi. Seruan panjang juga menjadi sarana untuk menyatakan hubungan kekuasan antara jantan-jantan dewasa yang jarang bertemu satu dengan lainnya (Galdikas, 1986). Meijard et al. (2001) menjelaskan seruan panjang orangutan jantan (keras dan berkepanjangan) jelas menunjukkan sifat percaya diri yang kuat, tetapi mungkin pada awalnya merupakan suatu indikasi untuik melindungi dan menunjukkan keinginan untuk mengawini betina-betina (penglaju), daripada untuk menunjukkan minat seksual terhadap betina-betina penetap, atau merupakan ancaman bagi jantan pesaing. Seruan panjang ini juga mungkin mempunyai fungsi lain untuk mengumumkan ketersediaan makanan, meskipun kemungkinan isi pesan berbagai jeritan keras orangutan masih belum banyak diketahui.

Sistem Informasi Geografis

Teknologi yang ada saat ini telah berkembang di berbagai bidang, khususnya di bidang komputer grafik, basis data, teknologi informasi, dan teknologi satelit penginderaan jarak jauh. Kondisi seperti ini menjadikan kebutuhan mengenai penyimpanan, analisa dan penyajian data yang berstruktur kompleks dengan jumlah besar semakin mendesak. Dengan demikian, untuk mengelola data yang kompleks ini, diperlukan suatu sistem informasi yang secara terintegrasi mampu mengolah baik data spasial maupun data atribut secara efektif dan efisien, serta mampu menjawab dengan baik pertanyaan spasial maupun atribut secara simultan (Prahasta, 2005).

(37)

alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (grafis) (Prahasta, 2005). Lebih lanjut Nuarsa (2005) juga mengatakan bahwa SIG merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis.

Definisi Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis hingga saat ini belum memiliki definisi baku yang disepakati bersama. Sebagian besar definisi yang diberikan di dalam berbagai pustaka masih bersifat umum, belum lengkap, tidak presisi, dan bersifat elastik hingga sering kali agak sulit untuk membedakannya dengan sistem-sistem informasi lainnya (Prahasta, 2005).

(38)

Ekstensi Animal Movement Analyst dalam Aplikasi SIG

Ekstensi Animal Movement Analyst (dikembangkan oleh Badan Survei Geologi Amerika Serikat/USGS untuk mempelajari pola migrasi dan pergerakan satwa), telah digunakan untuk memperhitungkan dan memetakan daerah jelajah jantan dan betina, derajat tumpang tindih daerah jelajah, dan luas penggunaan habitat. Ekstensi Animal Movement Analyst, bekerja sama dengan ekstensi ArcView Spatial Analyst, bekerja dalam berbagai sistem proyeksi, menggunakan rekaman data yang terpilih (dapat menggunakan query atau pemilihan), dan terintegrasi dengan banyak tipe data spasial (ESRI, 2007). Hooge dan Eichenlaub (1997) menjelaskan bahwa ekstensi Animal Movement Analyst juga dipergunakan untuk menganalisa fenomena berupa titik dan fungsi-fungsi yang ada dapat digunakan untuk banyak tipe penggunaan sistem informasi geografis.

Kebanyakan fungsi-fungsi yang ada bekerja pada tema-tema (themes) berupa titik, yang mana dapat diciptakan dengan berbagai metode yang dapat digunakan oleh ArcView. Data dapat memiliki berbagai jumlah atribut yang dapat digunakan dalam beberapa fungsi (sesuai dengan fungsi standar ArcView) (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

Ada dua metode utama dalam menentukan poligon daerah jelajah (Bajjali, 2006), yaitu:

1. Metode Minimum Convex Polygon (MCP)

(39)

2. Metode Kernel Home Range

Metode Kernel Home Range merupakan metode yang populer dalam menduga daerah jelajah, tetapi ukuran sampel dan tingkat akurasinya masih belum diketahui. Tingkat pendugaan daerah jelajah dihasilkan oleh kernel yang telah ditetapkan dan yang dapat disesuaikan (Gambar5), menggunakan ‘referensi’ dan metode least square cross validation (LSCV) untuk menentukan tingkat kehalusan poligon (Gambar 4). Simulasi daerah jelajah bervarisasi mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang kompleks, dibentuk distribusi normal campuran.

Gambar 4. Poligon MCP (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

(40)

Gambar 6. Poligon kernel menggunakan LSCV (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

Metode Kernel Home Range lebih kompleks dari metode Minimum Convex Polygon (MCP). Metode ini menghitung besaran setiap unit daerah dari

titik-titik tanda menggunakan fungsi kernel menyesuaikan kehalusan permukaan setiap titik. Nilai tertinggi terdapat di lokasi titik tersebut berada dan semakin berkurang jika jarak dari titik tersebut semakin jauh, nilainya akan menjadi 0 pada jarak radius pencarian dari titik tersebut (Bajjali, 2006).

(41)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Waktu penelitian dimulai dari bulan Maret sampai dengan selesai. Sedangkan penelitian lapangan akan dilaksanakan dari bulan Juni-Agustus 2008. Lokasi penelitian dilakukan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) Bohorok Taman Nasional Gunung Leuser.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: - Peta Studi Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: - Perangkat komputer dengan aplikasi ArcView 3.2

- Global Positioning System (GPS) Garmin 60CSx - Kamera digital

- Binokular

- Jam tangan digital - Clinometer

- Kompas

(42)

Metode

Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer yang dikumpulkan berdasarkan hasil observasi di lapangan yang dicatat dalam tabulasi data.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku teks, artikel, jurnal, laporan dan sumber-sumber pustaka lainnya.

Pencarian (searching) Orangutan

Pencarian dilakukan dengan menelusuri jalan-jalan setapak yang ada di kawasan penelitian dan penelusuran diarahkan ke daerah-daerah jelajah inti dan daerah-daerah sumber pakan yang diperkirakan adanya kehadiran orangutan di tempat tersebut. Daerah yang dipilih tersebut memiliki sifat-sifat sebagai berikut (mengacu pada Galdikas, 1986):

- Seluruh daerah jelajah dari sekurang-kurangnya beberapa orangutan taraf dewasa baik jantan maupun betina termasuk dalam daerah inti;

- Suatu contoh populasi orangutan yang representatif terdapat dalam daerah penelitian itu, yang memungkinkan untuk mengamati interaksi berbagai individu dari berbagai golongon umur/jenis kelamin yang ada. Dalam penelitian ini yang diamati hanya orangutan jantan dan betina yang sudah masuk dalam taraf dewasa (adult dan subadult).

(43)

kiss queek, dan lain-lain.), memperhatikan buah-buah yang jatuh serta bau urin

dan kotoran orangutan.

Pengamatan Perilaku Harian Orangutan

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk mengetahui perilaku harian orangutan adalah focal animal sampling (Altman, 1974 dalam Drickamer et al., 2002). Focal animal sampling merupakan metode yang dilakukan dengan mencatat semua kegiatan dan interaksi suatu satwa selama periode waktu yang telah ditentukan. Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan bagi seorang pengamat untuk dapat mengamati satwa dalam jumlah yang besar, dan mencatat perilaku setiap satwa untuk periode waktu yang singkat (misalnya 5 atau 10 menit per satwa), atau pengamat mungkin hanya merekam beberapa satwa fokal, yang diamati dengan periode waktu yang lebih panjang (beberapa jam per satwa). Dalam penelitian ini juga digunakan metode ad libitum sampling, yaitu mengamati satu individu orangutan dan mencatat

kejadian-kejadian yang tidak secara sistematis terdapat pada interval waktu pengamatan.

Data yang dicatat untuk perilaku harian terhadap orangutan dewasa tersebut dilakukan sesuai dengan batas yang telah ditentukan, yaitu:

(44)

(Mb), berjalan dengan memanjat (Mc), berjalan melalui menggoyangkan pohon atau membengkokkan pohon (Mt).

2. Istirahat atau Resting (R): termasuk kegiatan duduk atau tidur dalam sarang (Rs).

3. Makan atau Feeding (F): termasuk mengambil, mengerjakan makanan sebelum masuk ke dalam mulut. Kegiatan ini terbagi menjadi makan buah (Ffr) catat buah matang (M) dan mentah (m) di kolom item, makan biji (Fsd) catat buah matang (M) dan mentah (m) di kolom item, makan bunga (Fft), makan daun muda (Fyl), makan daun tua (Flv), makan bahan tumbuhan lain seperti anggrek, lumut, dan lain sebagainya (Fveg), makan serangga termasuk rayap (Fins), makan kulit kayu (Fbk), makan yang lain, misalnya: tanah (Foth), minum air dan catat caranya (Fw), hanya untuk anak (infant/bayi) yang masih menyusui atau pura-pura makan dan catat item makanan (TF).

4. Membuat sarang atau Nesting (N): yaitu seluruh waktu yang digunakan individu target dalam membuat sarang, yaitu mematahkan daun/dahan, membawa dan menyusun daun/dahan sampai menjadi bentuk sarang. Perilaku bersarang, seperti ‘nyeletok’, dan lain sebagainya.

(45)

Dalam melakukan pengamatan perilaku harian orangutan dicatat posisi orangutan fokal setiap 30 menit. Data posisi orangutan fokal direkam menggunakan global positioning system (GPS). Perekaman data posisi orangutan fokal dilakukan selama mengikuti orangutan fokal mulai dari keluar sarang pagi hingga membuat sarang malam.

Analisa Data

Data posisi orangutan yang dikumpulkan dari hasil pengamatan perilaku harian orangutan dianalisa dengan menggunakan tools Animal Movement ArcView Analisys Extensions 2.0 (AMAE 2.0) yang terintegrasi dengan aplikasi sistem

informasi geografis ArcView 3.2. Metode yang digunakan yaitu Minimum Convex Polygon (MCP) dan Kernel Home Range, yang terdapat dalam AMAE 2.0.

1. Metode Minimum Convex Polygon (MCP)

Metode Minimum Convex Polygon (MCP) adalah metode yang menghasilkan poligon terkecil (convex) yang mencakup semua titik-titik yang dikunjungi oleh kelompok satwa. Umumnya metode ini juga mencakup sebagaian besar ruang kosong yang tidak pernah dikunjungi oleh satwa.

2. Metode Kernel Home Range

(46)

dan metode least square cross validation (LSCV) untuk menentukan tingkat kehalusan poligon. Simulasi daerah jelajah bervarisasi mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang kompleks, dibentuk distribusi normal campuran.

Tumpang Susun (Overlay) Peta

(47)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak, Luas dan Iklim

Kecamatan Bohorok secara geografis terletak pada posisi koordinat 03o-11o Lintang Utara dan 59o-78o Bujur Timur, serta berada 75 km dari Stabat ibu kota Kabupaten Langkat. Suhu minimal dan maksimal di daerah ini adalah 24-34oC, dengan suhu rata-rata harian 27oC. Luas wilayah kecamatan ini adalah 955,10 km2. Adapun batas wilayah kecamatan ini:

- Sebelah Utara dengan Kecamatan Padang Tualang - Sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo

- Sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tenggara - Sebelah Timur dengan Kecamatan Salapian

Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok

(48)

Riau, Lubuk Pakam, Kalimantan, Kuala Simpang, Sibolga, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan dari berbagai instansi pemerintah.

Pengambilan atau penyerahan orangutan dari masyarakat ke Pusat Rehabilitasi diperoleh secara sukarela oleh pihak yang memelihara dan juga melalui hasil sitaan secara paksa. Dari 229 ekor orangutan yang telah diterima oleh Balai Besar TNGL, sejumlah 200 ekor orangutan yang memiliki data lengkap (umur, jenis kelamin, dan tanggal lahir). Sementara 29 ekor lainnya tidak didukung oleh data yang lengkap. Namun demikian, seluruh orangutan ini telah diberi nama untuk identifikasi individu (seperti Jekie, Pesek, Cepi, Fitri, Sasa, dan seterusnya).

Sejak tahun 1973 sampai sekarang, jumlah orangutan yang mati dalam proses rehabilitasi sebanyak 52 ekor. Kematian ini antara lain disebabkan oleh penyakit, dimakan harimau, hanyut di sungai, abortus, terkena sengatan listrik, dan lainnya. Beberapa penyakit yang mengakibatkan kematian antara lain jantung, paru-paru, diare, hepatitis, dan bakteri ecoli. Sesuai dengan tujuan rehabilitasi orangutan, sejumlah 25 ekor orangutan telah berhasil diliarkan kembali ke habitatnya, dan 134 ekor liar sendiri. Beberapa lokasi tempat pelepasliaran orangutan adalah Sungai Bohorok, Sungai Musam, Sungai Landak, Sungai Jambur Batang, dan Sungai Kerapuh.

(49)

dilakukan. Menurut data pada bulan Maret 2005 di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera tercatat 24 ekor Orangutan yang masih rutin datang ke feeding site pada saat jam pemberian makan. Sementara 2 ekor lainnya (Sasa dan Muni) harus dikandangkan (karantina) karena perilakunya yang dianggap membahayakan manusia. Namun, saat ini hanya Sasa yang masih di kandangkan dan sesekali dilepaskan ke hutan.

Selain orangutan hasil sitaan dan pemberian secara sukarela dari masyarakat, di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera juga terdapat populasi orangutan asli yang sejak dulunya telah ada di lokasi tersebut. Namun sejak ramainya kunjungan wisata ke kawasan ini, orangutan tersebut mulai bermigrasi lebih jauh ke dalam kawasan hutan dan tidak diketahui berapa jumlah populasinya.

Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 280/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Rehabiltasi Orangutan dan adanya kerjasama dengan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), maka Pusat Rehabilitasi

(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Orangutan

Pengamatan orangutan dilakukan selama dua bulan yaitu Juli hingga Agustus 2008 yang dilaksanakan di kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Pengamatan dimulai dari pukul 5.30 sampai 18.30 setiap hari selama 42 hari pengamatan. Selama pengamatan hanya mengikuti satu orangutan betina dewasa dan satu orangutan jantan dewasa.

Pada bulan pertama pengamatan fokal yang diamati adalah orangutan betina dewasa bernama Minah yang diperkirakan berumur sekitar 31 tahun dan saat pengamatan fokal selalu menggendong bayinya Chaterine yang berumur 3 bulan. Fokal Minah merupakan orangutan semi liar hasil rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera Bohorok yang sekarang statusnya menjadi Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Lama pengamatan terhadap fokal Minah yaitu 9.290 menit atau 15 hari pengamatan penuh. Selama pengamatan sering dijumpai kehadiran orangutan Juni anak kedua fokal Minah yang diperkirakan berumur sekitar 6 tahun dan mulai hidup mandiri.

(51)

bantalan pipi (check pad) dan kantong suara fokal terlihat jelas, namun bantalan pipi fokal belum tumbuh sempurna. Lama pengamatan yang dijalani terhadap fokal Jenggot yaitu 8.022 menit atau 15 hari pengamatan. Hampir seluruh waktu pengamatan yang dijalani untuk pengamatan fokal Jenggot termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, namun dalam suatu hari pengamatan fokal pernah memasuki perbatasan kebun karet masyarakat dengan Taman Nasional Gunung Leuser.

Karakteristik Orangutan Fokal

1. Betina Dewasa (adult female)

Orangutan betina dewasa yang diamati yaitu Minah yang berusia sekitar 31 tahun dan memiliki bayi berumur sekitar 3 bulan bernama Chaterine yang merupakan anak ketiga Minah. Secara umum karakteristik fisik fokal Minah tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orangutan betina dewasa lainnya. Minah memiliki tinggi badan sekitar 1,2-1,4 meter dengan berat badan diperkirakan mencapai 45-55 kg. Ciri fisik khusus yang menjadi pengenal fokal Minah yaitu terdapat bekas luka di bagian wajah pelipis kiri. Berdasarkan penjelasan petugas TNGL, luka tersebut dikarenakan fokal Minah pernah dilukai dengan senjata tajam oleh pemandu wisata yang sedang memandu wisatawan asing yang melakukan tracking.

(52)

wisata jelajah hutan (tracking) yang sering dilalui oleh wisatawan mancanegara terutama pada bulan Juli-Agustus. Selama pengamatan fokal Minah sering mengikuti kelompok wisatawan tracking. Perilaku tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya jelajah harian fokal Minah dibandingkan fokal Jenggot. Fokal Minah juga sering melakukan aktifitas bergerak pindah menyusuri permukaan tanah.

Gambar 7. Fokal Minah dan bayi orangutan Chaterine.

2. Jantan Dewasa (adult male)

(53)

merupakan indikator untuk memperkiraan umur fokal. Fokal Jenggot merupakan orangutan liar yang pada dasarnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bergerak di antara cabang-cabang pohon yang rapat daripada bergerak menyusuri permukaan tanah. Fokal Jenggot juga tidak terbiasa dengan kehadiran manusia. Perilaku tersebut diindikasikan dengan kebiasaan fokal Jenggot yang cenderung menghindar jika merasakan kehadiran manusia.

Gambar 8. Fokal Jenggot.

(54)

dijumpai fokal di sepanjang jalur penjelajahannnya. Pada saat-saat tertentu juga dijumpai fokal mengeluarkan seruang panjang pada saat berjumpa dan mendekati orangutan betina dewasa lainnya yang diperkirakan sebagai seruan untuk menunjukkan kekuasaan atau ketertarikan reproduksi. Selama pengamatan fokal Jenggot sering dijumpai mengikuti orangutan betina dewasa Suma (Gambar 8).

Gambar 9. Orangutan betina dewasa Suma.

Aktifitas Harian Orangutan Fokal

(55)

Ketersediaan pakan merupakan faktor yang paling mempengaruhi pola aktifitas harian orangutan dibandingkan kedua faktor lainnya. Orangutan fokal memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk mencari makan yang juga turut mempengaruhi jelajah hariannya. Orangutan yang merupakan frugivora (Galdikas, 1986), akan menghabiskan sebagian besar aktifitas hariannya untuk mencari buah yang disukai. Pada saat musim berbuah lebat, orangutan cenderung menjelajah lebih singkat dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk makan. Sedangkan saat musim berbuah jarang, aktifitas jelajah harian akan lebih banyak dihabiskan untuk bergerak pindah mencari sumber pakan yang dibutuhkan.

Variasi pemanfaatan waktu aktifitas harian akibat perilaku sosial dapat dijelaskan melalui kondisi umur dan jenis kelamin orangutan. Kehadiran orangutan yang lebih tua dan dominan cenderung mempengaruhi aktifitas orangutan yang lebih muda. Fokal Minah sering dijumpai menghindari keberadaan orangutan Suma yang lebih tua (berumur sekitar 32 tahun) dan Fokal Minah juga menghindari keberadaan orangutan jantan dewasa seperti fokal Jenggot. Perilaku tersebut dikarenakan fokal Minah memiliki bayi orangutan dan berusaha melindunginya dari berbagai gangguan, seperti perampasan bayi oleh orangutan betina dewasa lain dan ancaman pembunuhan oleh orangutan jantan dewasa (Parsons, 1999).

(56)

1530 1404

Gambar 10. Variasi pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal.

Tabel 2. Pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal.

Hari

Pindah Bersarang Sosial Total

(57)

Fokal minah menghabiskan waktu aktifitas hariannya untuk beristirahat (60,2%), bergerak pindah (16,5%), makan (15,1%), interaksi sosial (5,6%) dan bersarang (2,6%). Waktu aktifitas harian fokal Minah sangat berbeda dengan pernyataan Fox et al. (2004) dimana dijelaskan pada umumya orangutan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk makan (55%) dan istirahat (25%). Perbedaan tersebut mungkin dikarenakan rendahnya ketersediaan sumber pakan yang ada di hutan, sehingga fokal Minah lebih sering menjelajah mencari sumber pakan. Jika sumber pakan tidak dapat dijumpai, fokal Minah akan lebih banyak beristirahat untuk memulihkan tenaga sampai siap untuk menjelajah lagi atau beristirahat dan menunggu waktu pemberian makan (feeding time) oleh petugas perawat orangutan di lokasi tempat pemberian makan (feeding site).

Fokal Jenggot menghabiskan waktu aktifitas hariannya untuk beristirahat (48,3%), makan (40,7%), bergerak pindah (9,4%) dan bersarang (1,6%). Fokal Jenggot lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat beristirahat dan makan. Aktifitas makan fokal Jenggot yang jauh lebih tinggi dari fokal Minah dikarenakan pada bulan Agustus beberapa pohon pakan berbuah lebat, sehingga fokal Jenggot hanya menjelajah dalam waktu yang singkat dan pendek. Aktifitas istirahat fokal Jenggot yang lebih banyak dari aktifitas makan dikarenakan fokal sering mengikuti orangutan Suma yang juga lebih sering beristirahat dibandingkan mencari sumber makanan.

1. Makan (Feeding)

(58)

menghabiskan waktu untuk makan dibandingkan fokal Jenggot. Faktor yang menyebabkan perbedaan waktu aktifitas makan adalah ketersediaan sumber makanan yang dibutuhkan fokal.

Fokal Minah lebih sedikit melakukan aktifitas makan daripada fokal Jenggot karena pada bulan Juli banyak pohon pakan yang belum berbuah matang. Sedikitnya sumber makanan yang tersedia di hutan menyebabkan fokal Minah lebih banyak menjelajah untuk mencari sumber makanan alternatif lainnya, sehingga jelajah harian fokal Minah juga lebih panjang. Bahkan, fokal Minah mampu menjelajah hingga 2 km (Tabel 2) untuk mendapatkan makanan dengan rata-rata jelajah hariannya 916,4 meter/hari. Penelitian yang dilakukan Magnolia (1999) menunjukkan orangutan betina dewasa liar di Suaq Balimbing mampu menjelajah sejauh 800,7 meter/hari dengan menghabiskan waktunya pada 38 pohon yang berbeda.

(59)

Balimbing mampu menjejalah hingga 784,2 meter/hari dengan menghabiskan waktunya pada 26 jenis pohon yang berbeda.

0

Gambar 11. Pemanfaatan waktu aktifitas makan (feeding) fokal.

Jenis makanan yang paling banyak dimakan fokal Minah adalah buah-buahan (39,2%). Jenis buah-buah-buahan yang sering dimakan fokal Minah bukan merupakan buah yang ada di hutan, tetapi buah yang berasal dari tempat pemberian makan atau dari pemandu wisata yang sedang treking seperti: pisang, rambutan, jeruk, manggis, nenas, dan timun. Selain memakan buah-buahan, fokal Minah juga memakan berbagai jenis makanan lainnya, yaitu: daun muda (26,5%), daun tua (11,7%), kulit kayu (8,3%), minum air (6,8%), rotan (2,8%), serangga (2,6%), dan jenis makanan lain seperti tanah (2,1%) (Lampiran 4).

(60)

buah (58,2%), daun muda (22,2%), daun tua (7,6%), rotan (4,2%), kulit kayu (4%), dan rayap (3,7%) (Lampiran 5).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangutan betina dewasa akan menjelajah lebih jauh dibandingkan orangutan jantan dewasa untuk menemukan sumber makanan yang dibutuhkan. Kegiatan makan orangutan fokal sangat tergantung ketersediaan sumber makanan yang ada di hutan. Dimana orangutan akan berusaha memilih makanan yang disukai yaitu buah yang berdaging dan memiliki kandungan nilai gizi yang tinggi. Kebutuhan menjejalah untuk mencari makanan yang disukai akan mempengaruhi jarak jelajah harian dan daerah jelajah orangutan.

2. Istirahat (Resting)

(61)

sebagai salah satu atraksi yang ditawarkan pemandu kepada wisatawan. Aktifitas beristirahat fokal Minah dilakukan pada cabang-cabang pohon, sarang lama dan baru, serta pada permukaan tanah.

Dibandingkan fokal Minah, aktifitas istirahat (rersting) fokal Jenggot mencapai 48,29% dan merupakan aktifitas yang paling banyak dilakukan fokal Jenggot dari seluruh aktifitas harian fokal. Waktu rata-rata aktifitas istirahat fokal Jenggot adalah 258,27 menit/hari. Banyaknya waktu yang dihabiskan fokal Jenggot untuk beristirahat dipengaruhi perilaku orangutan Suma yang sedang diikuti fokal Jenggot (selama 8 hari pengamatan). Namun, ketika fokal Jenggot tidak lagi mengikuti orangutan Suma, maka waktu istirahat fokal Jenggot lebih sedikit. Orangutan Suma cenderung lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat. Namun, Aktifitas beristirahat fokal Jenggot dilakukan pada cabang-cabang pohon, sarang baru dan sarang lama.

0

Gambar 12. Pemanfaatan waktu aktifitas istirahat (resting) fokal.

(62)

berkurang pada saat musim buah berlimpah. Tingginya aktifitas beristirahat pada saat musim buah jarang dilakukan untuk mengimbangi kegiatan bergerak pindah, karena kegiatan bergerak pindah merupakan kegiatan yang menghabiskan energi. Banyaknya waktu yang dilakukan untuk beristirahat akan mempengaruhi jelajah harian dan luas daerah jelajah orangutan.

3. Bergerak Pindah (Moving)

Fokal Minah melakukan aktifitas bergerak pindah (moving) 16,5% dari seluruh aktifitas harian fokal (Tabel 2). Aktifitas bergerak pindah biasanya dilakukan fokal untuk mencari makanan. Aktifitas bergerak pindah fokal sering dilakukan diantara cabang-cabang pohon yang rapat, tetapi juga sering dijumpai di permukaan tanah mengikuti trail. Fokal Minah melakukan aktifitas bergerak pindah lebih banyak dari fokal Jenggot (9,45%). Hal ini menyebabkan fokal Minah memiliki jarak jelajah yang lebih panjang dalam satu hari dibandingkan fokal Jenggot, dimana rata-rara jarak jelajah harian fokal Minah adalah 916,4 meter/hari dan fokal Jenggot 651,28 menit/hari. Selain mencari makanan, perilaku mengikuti kelompok wisatawan treking menjadi salah satu faktor yang menyebabkan fokal Minah lebih sering bergerak pindah (Gambar 13).

(63)

Jenggot berkurang. Berkurangnya aktifitas bergerak pindah fokal menyebabkan

Gambar 13. Pemanfaatan waktu aktifitas gerak berpindah (moving) fokal.

4. Bersarang (Nesting)

Aktifitas bersarang fokal Minah adalah 2,6% dan fokal Jenggot hanya 1,6% dari seluruh aktifitas hariannya. Fokal Minah biasanya bersarang pada sarang-sarang lama dan telah diperbaiki fokal atau pada sarang-sarang baru yang lebar. Aktifitas bersarang fokal Minah dapat berlangsung 3-5 kali dalam satu hari pengamatan. Fokal Jenggot biasanya bersarang pada sarang-sarang baru yang lebih kecil dan sederhana, kecuali sarang malam. Sarang malam fokal Jenggot biasanya lebih besar dan lebih tebal. Aktifitas bersarang fokal Jenggot dapat berlangsung 2-5 kali dalam satu hari pengamatan.

(64)

mencari makanan. Sedikitnya makanan yang tersedia di hutan menyebabkan orangutan lebih sering beristirahat dan membuat sarang. Sedangkan saat makanan berlimpah aktifitas bersarang orangutan akan berkurang.

0

Gambar 14. Pemanfaatan waktu aktifitas bersarang (nesting) fokal.

5. Sosial (Social)

Fokal Minah memanfaatkan 5,6% waktu dari seluruh aktifitas hariannya untuk melakukan aktifitas sosial. Aktifitas tersebut meliputi bermain bersama bayi Chaterine (76%), bermain dengan alat seperti batang kayu (7,8%), dan bermain sendiri (16,3%). Fokal Minah juga memiliki anak Juni yang berumur sekitar 6 tahun yang mulai mandiri. Orangutan Juni juga terkadang mengikuti fokal Minah dan ikut bermain bersama orangutan Chaterine dan fokal Minah.

(65)

sosial merupakan aktifitas yang dilakukan fokal dengan berinteraksi atau kontak bersama orangutan lainnya. Sedangkan keaadaan kelompok sosial merupakaan keadaan adanya kehadiran orangutan lain dalam radius 50 meter dari fokal.

0

Gambar 15. Pemanfaatan waktu aktifitas sosial fokal Minah.

Jelajah Harian Orangutan

Jelajah harian orangutan sangat tergantung dari ketersediaan sumber makanan di hutan. Pada saat musim buah melimpah, jelajah harian orangutan akan lebih pendek dibandingkan pada saat musim buah berkurang. Seperti yang dijelaskan Mapple (1980) bahwa ketersediaan makanan merupakan hal yang menentukan daerah jelajah.

(66)

Sehingga fokal Jenggot sering diamati hanya menjelajah diantara pohon buah tersebut secara bergantian.

Perilaku jelajah harian yang lebih singkat dibandingkan fokal Minah sesuai dengan penjelasan Parsons (1999) bahwa orangutan jantan hanya melakukan perjalanan singkat pada hari-hari makan berlimpah, dengan kecenderungan melakukan perjalanan lambat dan jelajah harian yang lebih singkat. Perilaku fokal Jenggot tersebut dapat diartikan fokal mengurangi pergerakannya dan tidak perlu berpindah lebih jauh untuk menemukan sumber makanan alternatif lainnya.

Tabel 3. Jarak jelajah harian orangutan fokal.

Hari Pengamatan

(67)

meningkatkan pergerakannya untuk menemukan buah yang disukai. Bahkan, fokal Minah sanggup menjelajah hingga 2 km untuk menemukan sumber makanan alternatif lainnya apabila fokal tidak menemukan buah yang disukai. Sedangkan fokal Jenggot menjelajah sejauh 651,28 meter/hari tanpa perlu menambah pergerakan untuk menemukan sumber makanan lain. Jelajah harian fokal Jenggot yang lebih rendah dari fokal Minah dikarenakan selama pengamatan fokal jenggot sedang berlangsung musim buah. Namun, ketika musim buah berlalu fokal Jenggot diamati akan menambah pergerakannya hingga lebih dari 1 km. Sebagai perbandingan dengan daerah lain, Magnolia (1999) mencatat orangutan betina dewasa di Suaq Balimbing mampu menjelajah hingga 800,7 meter/hari untuk menemukan sumber makanan danorangutan jantan dewasa mampu menjelajah sejauh 784,2 meter/hari untuk menemukan makanan yang disukai

(68)

Variasi jelajah harian fokal juga cenderung dipengaruhi keberadaan manusia di hutan dan interaksi sosial dengan orangutan lainnya. Fokal Minah sering dijumpai mengikuti wisatawan tracking dan bergerak pindah di atas permukaan tanah. Perilaku mengikuti wisatawan tracking menyebabkan jelajah harian fokal Minah lebih panjang dari fokal Jenggot. Sedangkan fokal Jenggot tidak tertarik mengikuti wisatawan tracking dan lebih sering bergerak pindah melalui cabang-cabang pohon yang rapat.

Gambar 17. Jalur jelajah fokal Minah selama periode pengamatan tanggal 11-31 Juli 2008.

(69)

siap kawin. Fokal Jenggot selalu mengikuti pergerakan orangutan Suma. Orangutan Suma cenderung bergerak pindah dalam waktu yang lebih singkat sehingga jarak jelajah harian yang dihasilkan fokal Jenggot juga lebih singkat dan pendek. Namun pada 7 hari pengamatan terakhir, fokal Jenggot dijumpai tidak mengikuti orangutan Suma yang diperkirakan bersama orangutan jantan pra dewasa lain. Kehadiran orangutan jantan pra dewasa menyebabkan fokal Jenggot tidak tertarik untuk mengikuti orangutan Suma, sehingga fokal Jenggot lebih sering bergerak pindah. Aktifitas bergerak pindah yang semangkin sering dilakukan fokal Jenggot menjadikan jarak jelajah harian fokal lebih panjang.

(70)

Daerah Jelajah Orangutan

1. Metode Kernel

Hasil analisis daerah jelajah fokal Minah menggunakan Metode Kernel menunjukkan 95% aktifitas jelajah yang pernah dilakukan fokal Minah meliputi area seluas 12,4909 Ha, dimana 50% diantaranya berlangsung dalam area seluas 1,8988 Ha yang tersebar di sekitar tempat pemberian makan (feeding site) (Gambar 19). Pola penyebaran titik sampel fokal Minah menunjukkan fokal sering beraktifitas disekitar trail yang sudah ada dan sebagian besar merupakan kawasan hutan lahan kering sekunder yang lebih jarang tutupan vegetasinya. Hal ini disebabkan perilaku semi liar fokal Minah yang terbiasa dengan kehadiran manusia dan sering dijumpai mengikuti kelompok wisatawan yang sedang melakukan treking di dalam hutan. Meskipun jarak jelajah harian fokal Minah lebih panjang daripada fokal Jenggot (Tabel 3), daerah jelajah fokal Minah yang dihasilkan menurut metode Kernel jauh lebih kecil daripada fokal Jenggot (Tabel 4). Hal tersebut dikarenakan 95% aktifitas jelajah fokal Minah hanya dilakukan dalam area yang lebih sempit yaitu 12,4909 Ha.

(71)

tersebar di dalam kawasan hutan lahan kering sekunder yang tutupan vegetasinya lebih jarang yang lebih banyak dijumpai beberapa pohon pakan yang sedang berbuah lebat.

Tabel 4. Daerah jelajah orangutan jantan dan betina dewasa.

No. Fokal Metode Kernel Metode MCP

(Ha) 95% (Ha) 75% (Ha) 50% (Ha)

1 Minah 12,4909 3,7401 1,8988 71,5490

2 Jenggot 46,0170 12,9999 5,4092 58,5601

Keterangan:

95% = Poligon 95% aktifitas jelajah fokal 75% = Poligon 75% aktifitas jelajah fokal 50% = Poligon 50% aktifitas jelajah fokal MCP = Minimum Convex Polygon Sumber: Data Primer, 2008.

(72)

Gambar 20. Daerah jelajah fokal Jenggot menggunakan metode Kernel.

2. Metode Minimum Convex Polgyon (MCP)

(73)

Gambar 21. Daerah jelajah fokal Jenggot dan fokal Minah dengan metode MCP.

(74)

betina dewasa, salah satunya adalah dengan mengembara lebih jauh tanpa tinggal terlalu lama pada suatu daerah jelajah tertentu. Sedangkan betina dewasa tidak akan meninggalkan daerah jelajahnya untuk kawin, meskipun fokal Minah tidak dalam masa siap untuk kawin.

(75)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Daerah jelajah metode Kernel fokal Jenggot meliputi area seluas 46,017 Ha dan lebih luas dibandingkan daerah jelajah fokal Minah yang meliputi area seluas 12,4909 Ha.

2. Daerah jelajah metode Minimum Convex Polygon fokal Minah meliputi area seluas 71,5490 Ha dan lebih luas dibandingkan daerah jelajah fokal Jenggot yang meliputi area seluas 58,5601 Ha. Dimana daerah jelajah orangutan betina dewasa saling bertautan dengan daerah jelajah orangutan jantan dewasa. 3. Fokal lebih banyak menghabiskan aktifitas jelajahnya pada lokasi yang

terdapat sumber makanan.

4. Faktor yang mempengaruhi aktifitas jelajah orangutan adalah ketersediaan sumber pakan dan interaksi sosial.

Saran

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.Dewasa
Gambar 1. Orangutan Sumatera (Pongo abelii).
Tabel 1. Perbandingan data penjelajahan.
Gambar 2. Skema berbagai pola penjelajahan orangutan (Meijard et al., 2001).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lokasi terjadinya konflik Orangutan Sumatera ( Pongo abelii ) dengan masyarakat pada tempat yang terbaru mengalami konflik di sekitar

Untuk karakteristik DAS yang terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan harian rata-rata pada setiap satuan lahan perlu diklisifikasikan dan diberi

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lokasi terjadinya konflik Orangutan Sumatera ( Pongo abelii ) dengan masyarakat pada tempat yang terbaru mengalami konflik di sekitar

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lokasi terjadinya konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan masyarakat pada tempat yang terbaru mengalami konflik di sekitar

Diharapkan pada penelitian ini akan mendapatkan jawaban tentang kerugian ekonomi yang dirasakan masyarakat akibat adanya konflik antar manusia dengan Orangutan Sumatera

Apakah masih ada keuntungan yang saudara dapatkan setelah orangutan tersebut masuk ke kebun/ladang dan merusak tanaman saudaraa. Jika Ya, berapa keuntungan yang masih saudara

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lokasi terjadinya konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan masyarakat pada tempat yang terbaru mengalami konflik di sekitar

Oleh karena itu dari kelima rute tersebut ini harus diberi rekomendasi agar tidak melewati ruas jalan yang mengalami kemacetan atau mencapai menempuh waktu yang lebih singkat dengan