• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERSPEKTIF PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA

DI BIDANG KEHUTANAN

Oleh :

FERARI QADAFI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Studi Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERSPEKTIF PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA

DI BIDANG KEHUTANAN

Oleh

Ferari Kadafi

Ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan menyatakan: “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara”. Penerapan undang-undang ini menimbulkan konsekuensi bahwa semua hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang kehutanan dirampas untuk negara. Padahal dalam kenyataan tidak semua alat-alat terutama alat angkut berupa kendaraan truck yang mengangkut hasil tindak pidana di bidang kehutanan adalah milik para pelaku kejahatan atau milik yang berhubungan atau mempunyai sebab akibat dengan kejahatan (causal verband), misalnya kendaraan truck yang digunakan dalam tindak pidana di bidang kehutanan disewa dari pemilik yang tidak tahu menahu kendaraannya akan digunakan untuk tindak pidana atau kendaraan truck yang dibeli dari leasing dimana kepemilikan kendaraan truck tersebut adalah milik perusahaan pembiayaan, sehingga dengan dirampasnya untuk negara kendaraan truck tersebut akan merugikan pemilik sebenarnya.

Masalah dalam penelitian adalah: (1) Bagaimana konstruksi putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan? (2) Bagaimana perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan?

Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan lapangan. Analsis data dilakukan secara deskriptif analitis.

(3)

konstruksi hukum bahwa pemilik tidak terbukti melakukan permufakatan jahat/terlibat atau hubungan kausalitas (causal verband) dalam tindak pidana.

(4)

Judul Tesis : PERSPEKTIF PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

Nama Mahasiswa : Ferari Kadafi

Nomor Pokok Mahasiswa : 0722011078

Program Kehususan : Hukum Pidana

Program Studi : Program Pasca Sarjana Magister Hukum

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

Dosen Pembimbing

Pembimbing I

Dr. Maroni, S.H., M.H.

NIP. 19600310 198702 1 002

Pembimbing II

Eko Raharjo, S.H., M.H.

NIP. 19610406 198903 1 003

MENGETAHUI

Ketua Program Pascasarjana

Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.H.

(5)

MENGESAHKAN

Tim Penguji ...

Pembimbing I : Dr. Maroni, S.H., M.H. ...

Pembimbing II : Eko Raharjo, S.H., M.H. ...

Penguji : Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. ...

Penguji : Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. ...

Penguji : Dr. Erna Dewi S.H., M.H. ...

1. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

2. Direktur Program Pasca Sarjana

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. NIP. 19530528 198103 1 002

(6)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

1. Tesis dengan judul Perspektif Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Dalam Perkara Tindak Pidana di Bidang Kehutanan adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut dengan plagiarisme. 2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini apabila dikemudian hari ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut seeesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, September 2013 Pembuat Pernyataan

(7)

DAFTAR ISI A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ... 21

1. Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 22

2. Subjek Hukum ... 23

B. Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan (SDAH) ... 21

C. Prinsip Dasar Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati ... 25

D. Faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan ... 27

E. Kebijakan Kriminal Penanggulangan Kejahatan ... 30

F. Tujuan Pemidanaan ... 35

a. Teori Absolut/Retributif ... 37

b. Teori Tujuan/Relatif ... 41

(8)

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah ... 52

B. Sumber dan Jenis Data ... 52

1. Data Sekunder ... 53

2. Data Primer ... 54

C. Populasi dan Sampel ... 54

D. Pengumpulan Data ... 55

E. Alat Pengumpulan Data ... 55

F. Perubahan dan Analisis Data ... 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Konstruksi Hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan terhadap Barang Bukti Perkara Tindak Pidana di bidang Kehutanan... 57

B. Perspektif Putusan Pengadilan Mengenai Barang Bukti Perkara Tindak Pidana di bidang Kehutanan ... 66

BAB V. PENUTUP A. Simpulan ... 72

B. Saran ... 73

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk lain,

yaitu tumbuhan hewan dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain itu bukanlah

sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara netral atau pasif terhadap

manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka. Tanpa mereka

manusia tidaklah dapat hidup. Kenyataan ini dengan mudah dapat kita lihat

dengan mengandaikan di bumi ini tidak ada tumbuhan dan hewan dimana

manusia memerlukan oksigen dan makanan. Sebaliknya seandainya tidak ada

manusia, tumbuhan, hewan dan jasad renik akan dapat melangsungkan

kehidupannya seperti terlihat dari sejarah bumi sebelum adanya manusia. Oleh

karena itu, anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang paling berkuasa

sebenarnya tidak benar. Seyogianya kita menyadari bahwa kitalah yang

membutuhkan makhluk hidup yang lain untuk kelangsungan hidup kita dan

bukannya mereka yang membutuhkan kita untuk kelangsungan hidup mereka.

Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu

ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak

hidup, seperti udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair

(10)

dengan benda hidup dan tak hidup didalamnya disebut lingkungan hidup makhluk

tersebut. Untuk selanjutnya dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan lingkungan

hidup adalah lingkungan hidup manusia, kecuali apabila ada keterangan lain.

Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam faktor.

Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup

tersebut. Kedua, hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup itu.

Ketiga, kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup. Keempat, faktor non

material seperti suhu, cahaya dan kebisingan.1

Dalam lingkungan hidup terdapat hubungan erat antara manusia dengan

alam sekitarnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Undang-Undang 1945) dan Amandemennya merupakan Dasar dari segala

sumber hukum. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Salah satu

Undang yang menjabarkan tentang kekayaan alam ialah

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Undang-Undang-Undang-Undang Kehutanan).

Di dalam Undang-Undang ini mengatur antara lain fungsi hutan, upaya

pelestarian hutan, perlindungan hutan dan pemanfaatan hutan oleh karena hutan

merupakan modal dasar pembangunan yang perlu dipertahankan keberadaannya

dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan

masyarakat.

1

(11)

Hutan sebagai sumber alam yang memberikan manfaat. Manfaat tersebut

mutlak dibutuhkan oleh umat manusia dan yang merupakan salah satu unsur

pertahanan nasional yang harus dilindungi guna kesejahteraan rakyat secara

lestari. Diantara manusia dengan hutan dan lingkungan alamnya ada suatu

keterkaitan yang erat di dalam upaya manusia memanfaatkannya untuk

kesejahteraan hidupnya. Keterkaitan dan keselarasan hubungan manusia dengan

lingkungan hidupnya dapat dipahami dari kedudukan alam sebagai tempat hidup

dan yang memberi hidup bagi manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini

dibutuhkan sikap yang tertentu dari manusia yang tidak hanya menganggap

lingkungan alam sebagai objek yang menjadi sumber kehidupan melainkan

sebagai sesuatu yang telah memberikan hidup bagi manusia.

Uraian di atas memberikan deskripsi bahwa manusia dalam hidupnya

mempunyai hubungan secara bertimbal balik dengan lingkungannya. Manusia

dalam hidupnya baik secara pribadi maupun sebagai kelompok masyarakat selalu

berinteraksi dengan lingkungan dimana ia hidup dalam arti manusia dengan

berbagai aktivitasnya akan mempengaruhi lingkungannya dan perubahan

lingkungan termasuk perubahan fungsi hutan akan mempengaruhi kehidupan

manusia.2

Hutan merupakan salah satu modal pembangunan bangsa karena antara

manusia dengan hutan sebagai sumber daya potensial itu ada keterkaitan dalam

rangka manusia memanfaatkannya untuk kesejahteraan hidupnya. Pembangunan

yang dilaksanakan tersebut tentu saja mau tidak mau selalu mengakibatkan

2

(12)

berbagai perubahan baik itu yang positif maupun yang negatif, yang terpenting

diantaranya perubahan sosial kemasyarakatan yang juga memberikan dampak

yang tidak sedikit bagi masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial yang diusahakan

dalam membangun demi tercapainya kemajuan masyarakat mengandung tiga sub

proses yakni: utilisasi, ektalisasi dan apresiasi. Utilisasi menyangkut berbagai

usaha pemanfaatan berbagai sumber daya alam dilengkapi lagi dengan sumber

daya manusia berupa aneka peradaban dan penemuan baru. Ektalisasi bertalian

erat dengan pemerataan hasil material dan nilai sosial seperti ilmu pengetahuan,

seni dan interaksi manusia seperti kewajiban, kesempatan kerja serta kesenangan.

Ataupun apresiasi penafsiran terhadap berbagai hal yang dinyatakan berupa

peristilahan nilai. Dengan menyaksikan dan menghayati apa yang terjadi di

sekitarnya manusia mengerti makna yang tersembunyi di belakangnya.3

Pembangunan dengan memanfaatkan sumber daya alam berupa hutan

yang ada ini haruslah dengan perencanaan yang dilakukan dengan arif dan

bijaksana, tetapi hal ini seringkali menjadi berubah seiring terjadinya pertambahan

penduduk yang sangat tinggi, meningkatnya pengangguran, kemiskinan maupun

pembangunan yang tidak merata sehingga mendorong terjadinya over eksploitasi

terhadap pemanfaatan sumber daya alam berupa hutan tersebut. Persediaan

sumber alam yang terbatas merupakan suatu kendala bagi peningkatan produksi

dalam pembangunan. Di samping itu peningkatan penawaran tenaga kerja

mendorong keharusan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di

berbagai sektor, namun keterbatasan kesempatan kerja mendorong orang mencari

tanah baru dengan pembukaan hutan. Eksploitasi hutan skala besar secara

3

(13)

komersial selama ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya pendanaan dari sektor

kehutanan. Alasannya, proyek berbasis hutan memerlukan modal yang sangat

besar, bukan saja untuk membeli peralatan dan mesin, tetapi juga membayar biaya

menebang kayu, memproses dan mengangkut produk akhir ke pasar.4

Over eksploitasi itu mula-mula dimaksudkan untuk mendapatkan sumber

alam sebanyak-banyaknya untuk memperpanjang hidup manusia, tetapi akhirnya

mendatangkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Over eksploitasi terhadap

hutan akan menyebabkan kehilangan hutan yang kebanyakan terjadi karena

praktek industri perkayuan yang berlebihan, pembalakan liar (illegal logging),

ekspansi lahan perkebunan dan pertanian serta pemukiman, di samping karena

masalah kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan dan kegagalan

penegakan hukum bidang kehutanan. Pemanfaatan hasil hutan tidak saja dinikmati

oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, tetapi juga oleh masyarakat di

daerah lain yang memerlukan hasil hutan tersebut untuk proses pelaksanaan

pembangunan di daerahnya. Untuk itu hasil hutan itu perlu diangkut dan dibawa

dengan alat transportasi agar mempermudah dan mempercepat sampai di tujuan.

Pengangkutan di laut maupun di darat yang dalam fungsinya antara lain

mengangkut barang-barang dari suatu tempat ke tempat lain, dalam

pelaksanaannya kemungkinan menghadapi bahaya yang besar yang setiap saat

dapat mengancam terhadap barang-barang yang diangkut ataupun terhadap

alat-alat yang digunakan untuk mengangkut barang-barang itu. Bahaya yang

ditimbulkan tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelalaian dari

pengangkut/pengemudi sehingga mengakibatkan kecelakaan maupun adanya

4

(14)

kesengajaan pemilik barang yang menyembunyikan identitas barang yang

dimuatnya. Untuk itu regulasi bidang kehutanan mulai dari penebangan,

pengolahan, pengangkutan dan pemanfaatannya harus dibuat sesuai dengan

kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat sesuai prinsip negara

hukum regulasi tersebut harus dalam bentuk tertulis. Regulasi di bidang

kehutanan sangat diperlukan sekali karena hutan tropis di wilayah Republik

Indonesia sangat luas serta kaya akan flora dan fauna. Oleh karena itu

pemanfaatannya baik itu hasil hutan maupun apa yang ada di dalamnya perlu

diatur dalam bentuk tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan, hal ini

mengingat prinsip negara hukum yang kita anut. Pengaturan itu juga menyangkut

beberapa perbuatan yang dilarang dalam bidang kehutanan yang disebut dengan

tindak pidana di bidang kehutanan.

Berdasarkan prinsip negara hukum di atas, diundangkan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Undang-Undang Kehutanan) yang

menentukan beberapa tindak pidana di bidang kehutanan, yaitu:

1. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan

tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3)

huruf e jo Pasal 78 ayat (5).

2. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal

dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Pasal 50 ayat

(15)

3. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi

bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Pasal 50 ayat (3)

huruf h jo Pasal 78 ayat (7).

Ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang Kehutanan menyatakan: “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat

termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau

pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk negara”.

Penerapan Undang-Undang ini menimbulkan konsekuensi bahwa semua

hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk

melakukan tindak pidana di bidang kehutanan dirampas untuk negara. Padahal

dalam kenyataan tidak semua alat-alat terutama alat angkut berupa kendaraan

truck yang mengangkut hasil tindak pidana di bidang kehutanan adalah milik para

pelaku kejahatan atau milik yang berhubungan atau mempunyai sebab akibat

dengan kejahatan (causal verband), misalnya kendaraan truck yang digunakan

dalam tindak pidana di bidang kehutanan disewa dari pemilik yang tidak tahu

menahu kendaraannya akan digunakan untuk tindak pidana atau kendaraan truck

yang dibeli dari leasing dimana kepemilikan kendaraan truck tersebut adalah

milik perusahaan pembiayaan, sehingga dengan dirampasnya untuk negara

kendaraan truck tersebut akan merugikan pemilik sebenarnya.

Berdasarkan hasil survey, pada tahun 2012 di Pengadilan Negeri Sukadana

Kabupaten Lampung Timur terdapat beberapa perkara tindak pidana di bidang

(16)

tindak pidana di bidang kehutanan dan merampas untuk negara barang bukti

berupa alat angkut yang digunakan.

Perampasan alat angkut yang digunakan dalam tindak pidana kehutanan

tidak menjadi masalah apabila alat angkut tersebut adalah milik dari pelaku tindak

pidana atau milik dari pelaku yang tidak mempunyai hubungan sebab akibat

(causal verband) dengan tindak pidana, dimana pemilik kendaraan mempunyai

permufakatan jahat dengan pelaku kejahatan. Tetapi, apabila pemilik kendaraan

tidak berhubungan dengan tindak pidana, maka perampasan kendaraan akan

menimbulkan kerugian padanya yang bertentangan dengan ketentuan hak milik

yang terdapat dalam KUHPerdata dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 “Hak untuk dilindungi hukum agar hak milik pribadi tidak diambil alih

secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Oleh karena itu, perlu ada kajian mengenai suatu putusan pengadilan yang tidak serta merta merampas untuk

negara alat angkut sebagai barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang

kehutanan, karena kepemilikan barang bukti tersebut perlu dipertimbangkan

sebagai milik terdakwa yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau

milik pihak lain yang tidak tahu menahu barang miliknya digunakan untuk

melakukan kejahatan atau yang tidak mempunyai hubungan sebab akibat (causal

verband) dengan tindak pidana di bidang kehutanan.

Atas uraian tersebut di atas diajukan penulisan tesis dengan judul

“Perspektif Putusan Pengadilan terhadap Barang Bukti dalam Perkara

(17)

B. Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, masalah dalam penulisan

tesis ini adalah:

1. Bagaimana konstruksi putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam

perkara tindak pidana di bidang kehutanan?

2. Bagaimana perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam

perkara tindak pidana di bidang kehutanan?

Ruang lingkup penelitian adalah dalam bidang ilmu hukum pidana khususnya

mengkaji tentang konstruksi putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara

tindak pidana di bidang kehutanan dan perspektif putusan pengadilan terhadap barang

bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan, khususnya pada putusan

Pengadilan Negeri Sukadana, Lampung Timur.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menganalisis konstruksi putusan pengadilan terhadap barang bukti

dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan.

b. Untuk menganalisis perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti

dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoretis penelitian ini berguna untuk menambah wawasan keilmuan

peneliti dalam kajian hukum pidana khususnya mengenai tindak pidana di

(18)

b. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi masukkan bagi aparat

penegak hukum dalam rangka penegakan hukum kehutanan di lapangan.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Untuk melukiskan esensi hak milik, Black’s Law Dictionary memberi

pengertian hak milik sebagai berikut: “That which is peculiar or proper to any

person; that which belongs exclusively to one. In the strict legal sense, an

aggregate of rights which are guaranteed and protected by the governmen.”

“Kata person tersebut, kendati secara umum diartikan sebagai seseorang (human

being), tetapi dapat pula suatu organisasi atau kumpulan orang (labor

organizations, partnerships, associations, corporations, legal representatives,

trustees, trustees in bankruptcy, or receivers).” “Mengingat hak milik tidak hanya menyangkut orang, ....bahwa hak milik adalah hubungan antara subyek dan benda,

yang memberikan kepada subyek untuk mendayagunakan dan/atau

mempertahankan benda tersebut dari tuntutan pihak lain.5

Pengertian hak milik berangkat dari pengertian istilah hak yang terkait dengan keadilan dan hak asasi manusia. “Hak milik adalah hubungan seseorang

dengan suatu benda yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut. Hak

ini merupakan hak-hak in rem yang merupakan kepentingan yang dilindungi

5

(19)

terhadap dunia pada umumnya, sehingganya meletakkan kewajiban kepada setiap orang termasuk negara untuk menghormati eksistensinya”.6

Dalam tataran normatif, hukum Indonesia mengatur hak milik dalam

KUHPerdata (yang merupakan terjemahan atas Burgelijke Wetboek Belanda)

Buku II tentang Kebendaan Pasal 570 menyatakan: Hak milik adalah hak untuk

menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas

terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan

dengan Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu

kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang

lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak

itu demi kepentingan umum berdasar atas Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”

Selanjutnya, KUHPerdata Pasal 574 menyatakan: Tiap-tiap pemilik

sesuatu kebendaan, berhak menuntut kepada siapapun juga yang menguasainya,

akan pengembalian kebendaan itu dalam keadaan beradanya.”

Dengan mengacu kepada ketentuan KUHPerdata, menjelaskan bahwa hak

milik sebagai bagian hak kebendaan memiliki dua karakter (sifat Dasar):

1. Merupakan hak mutlak, yaitu hak yang dapat dipertahankan terhadap

siapapun juga;

2. Bersifat zaaksgevolg atau droit de suit yaitu mengikuti benda dimanapun dan

dalam tangan siapapun juga barang itu berada7

6

Ibid, hlm 183 – 184.

7

(20)

Lebih lanjut dijelaskan, hak milik adalah hak yang paling utama jika

dibandingkan dengan hak-hak kebendaan lainnya. Karenanya yang berhak itu

dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasainya dengan

sebebas-bebasny. Hak milik merupakan “droit inviolable et sacre”, yaitu hak yang tidak

dapat diganggu gugat.8

Sebagai materialisasi perlindungan hukum pidana terhadap hak milik, WvS

memasukkan masalah Vermogendelicten (Kejahatan atau Pelanggaran mengenai

Kekayaan Orang) sebagai perbuatan dilarang menurut Wetboek van Strafrecht.

Berdasarkan asas Konkordantie (Concordantie Beginsel) Wetboek van Strafrecht

Belanda diberlakukan Hindia Belanda dan menjadi Wetboek van Strafrecht voor

Nederlandsch Indie. Setelah Indonesia merdeka, Wetboek van Strafrecht voor

Nederlanndsch Indie menjadi ketentuan hukum pidana Indonesia vide

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 dan namanya berubah menjadi “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (KUHP), sampai sekarang

KUHP merupakan norma hukum pidana positif di Indonesia.

Sebagaimana ketentuan dalam Code Penal Napoleon, yang kemudian

diresepsi ke dalam Wetboek van Strafrecht Belanda, lalu di-receptie ke dalam

KUHP, maka hukum pidana positif Indonesia yang terkodifikasi dalam KUHP

juga memberikan perlindungan terhadap harta kekayaan yang merupakan hak

milik pribadi atau badan hukum.

Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan KUHP Buku II tentang Kejahatan

atau Pelanggaran mengenai Kekayaan Orang (Vermogendelicten).

8

(21)

Sedangkan dalam tataran norma hukum universal, eksistensi hak milik telah

diakui secara tegas sehingganya menjadi ketentuan Deklarasi Universal tentang

Hak Asasi Manusia (Duham) tanggal 10 Desember 1948 Pasal 17 yang

menyatakan:

Pasal 17 Deklarasi Universal:

(1) Setiap orang berhak mempunyai hak milik baik sendiri maupun bersama-

sama.

(2) Tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya dengan semena-mena.

Dengan demikian haruslah dipahami bahwa tata hukum dunia telah

memberi pengakuan sekaligus perlindungan yang pasti terhadap hak milik.

Secara nasional, norma pengakuan dan perlindungan atas hak milik telah

masuk, sehingganya menjadi norma Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat

(1) yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa

aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal 28H ayat (4) yang menyatakan:

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak

boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”

Bertolak dari uraian di atas yang secara yuridis telah mengkristal dalam

Ketentuan Duham Pasal 17 dan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G

(22)

merupakan kewajiban asasi negara, serta menjadi suatu keniscayaan dalam tata

Hukum Indonesia.

Tentang Syarat Pemidanaan dan Perampasan terhadap Hak Milik

dijelaskan bahwa asas pertanggungjawaban pidana sebagai syarat untuk

pengenaan pidana adalah adanya kemampuan bertanggungjawab, adanya

kesalahan (schuld), dan adanya unsur melawan hukum (wederechtelijk). Dengan

demikian, ada 4 syarat yang harus dipenuhi agar si pelaku dapat dijatuhkan

pidana, yaitu:

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat;

2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;

3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab;

4. Tidak adanya alasan pemaaf.9

Pendapat di atas juga dikemukakan oleh Moeljatno, yang mengatakan: “Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas, „tiada

pidana tanpa kesalahan‟: Geen Straf Zonder Schuld).10

Selanjutnya, Jan Remmelink menguraikan bahwa syarat untuk

menghukum seseorang sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan adalah: “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya.”

Dari sini muncul syarat umum untuk menjatuhkan pidana: “Perbuatan

bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), adanya kesalahan (schuld), dan

9

Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Rajawali Pers, Jakarta, hlm 12.

10

(23)

adanya kemampuan bertanggung jawab menurut hukum pidana

(toerekeningsvatbaar-heid)”.11

Selanjutnya, tentang syarat untuk melakukan perampasan atas harta hak

milik pribadi warga negara, KUHP mengaturnya dalam Buku I tentang Ketentuan

Umum yang meliputi beberapa Pasal yang memuat beberapa norma, yaitu:

(1) Perampasan atas harta hak milik pribadi harus memenuhi ketentuan Pasal 1

ayat (1) tentang asas legalitas.

Secara historis lahirnya asas legalitas dalam KUHP Pasal 1 ayat (1) a quo

merupakan upaya manusia beradab untuk mendapatkan norma kepastian

hukum yang dimulai pada abad ke XVIII. Norma kepastian hukum sangat

dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penguasa yang

dapat merugikan penduduk/warga negara. Dari uraian di atas, sesungguhnya

telah tergambar jelas bahwa norma kepastian hukum sebagai materialisasi

asas legalitas memang sangat fundamental sebagai pilar hukum pidana. Untuk

itu, Indonesia memasukkan asas ini menjadi ketentuan Undang-Undang Dasar

1945 Pasal 28D ayat (1). Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa syarat

pertama perampasan atas hak milik warga negara hanya boleh dilakukan atas

ketentuan Undang-Undang yang bersifat pasti.

(2) Perampasan atas harta hak milik pribadi harus memenuhi ketentuan KUHP

Pasal 10 butir (b) : Perampasan atas harta hak milik pribadi merupakan pidana

tambahan dari pidana pokok.

11

(24)

KUHP Pasal 10 tentang Hukuman-hukuman menetapkan ada dua jenis pidana

yang dapat di jatuhkan dalam sistem pemidanaan di Indonesia, yaitu: Pidana

Pokok dan Pidana Tambahan.

KUHP Pasal 10: Hukuman-hukuman ialah:

a. Hukuman-hukuman pokok:

1. Hukuman mati;

2. Hukuman penjara;

3. Hukuman kurungan;

4. Hukuman denda.

b. Hukuman tambahan:

1. Pencabuatan beberapa hak yang tertentu;

2. Perampasan barang yang tertentu;

3. Pengumuman keputusan hakim.12

Terhadap adanya kategorisasi hukuman pokok dan hukuman tambahan, R.

Soesilo menjelaskan: “Undang-Undang membedakan dua macam hukuman: Hukuman pokok dan hukuman tambahan. Bagi satu kejahatan atau pelanggaran

hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok, cumulatie lebih dari satu hukuman

pokok tidak diperkenankan...hukuman tambahan gunanya menambah hukuman

pokok, jadi tidak mungkin dijatuhkan sendirian”.13

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan syarat kedua untuk melakukan

perampasan terhadap harta hak milik pribadi warga negara adalah:

1. Pemiliknya adalah pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi hukuman pokok.

12

R. Soesilo, !986, Kitab Undang-UndangHukum Pidana, hlm 34.

13

(25)

2. Perampasan atas harta hak milik semata-mata merupakan tambahan atas

hukum pokok yang telah dijatuhkan terhadap pemilik harta yang telah terbukti

melakukan tindak pidana.

Selanjutnya, KUHP Pasal 39 ayat (1) secara tegas menetapkan:

“(1) Barang kepunyaan si terhukum, yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahatan, dapat dirampas.”

Dari rumusan KUHP Pasal 39 ayat (1) a quo, dapat dirumuskan syarat

keempat untuk melakukan perampasan terhadap harta hak milik pribadi warga negara adalah “Harus terbuktinya adanya hubungan sebab akibat (causal verband)

antara kesalahan si pemilik harta yang dirampas dengan hukuman perampasan

harta hak miliknya.

Artinya, norma pidana yang menetapkan adanya hukuman tambahan

berupa perampasan harta hak milik harus dirumuskan secara tegas (rigid dan

limitatif) dan tertutup, yang memuat syarat adanya hubungan sebab akibat (causal

verband) antara tindak pidana yang dilakukan pemilik harta dengan harta hak

miliknya yang dirampas untuk negara.

Causal verband itu fungsinya menjelaskan:

- Hubungan hukum antara pelaku tindak pidana dengan harta yang akan

dirampas. Causal verband ini bersifat mutlak agar terpenuhi syarat hanya

harta pelaku tindak pidana yang boleh dirampas untuk negara. Sebab, tidak

boleh terjadi perampasan atas harta hak milik pelaku tindak pidana yang tidak

(26)

- Hubungan harta pelaku tindak pidana dengan harta hak miliknya yang akan

dirampas untuk negara.

Dari ketentuan KUHP Pasal 39 ayat (1) a quo didapat syarat keempat dan

kelima untuk melakukan perampasan atas harta hak milik pribadi, yaitu: “Barang yang dirampas haruslah hak milik si terhukum”.

“Harta hak milik si pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana yang

dilakukannya”.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan ada lima syarat untuk melakukan

perampasan atas harta hak milik pribadi warga negara, yaitu:

1. Perampasan atas harta hak milik harus didasarkan pada ketentuan

Undang-Undang yang pasti.

2. Perampasan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.

3. Hanya harta hak milik si pelaku tindak pidana yang boleh dirampas.

4. Perampasan merupakan pidana tambahan dari pidana pokok yang telah

dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.

5. Harus dibuktikan adanya causal verband antara harta yang dirampas dengan

tindak pidana yang dilakukan oleh pemiliknya.

2. Konseptual

a. Perspektif adalah sudut pandang atau pandangan manusia dalam suatu

masalah tertentu untuk memilih opini, kepercayaan, dan lain-lain terhadap

pemecahan masalah tersebut.14

14

(27)

b. Putusan Pengadilan adalah putusan yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1)

KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. Nama lengkap, tempat lahir, umur

atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan

pekerjaan terdakwa c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

berserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang

menjadi Dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana

sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan

perUndang-Undangan yang menjadi Dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan

perUndang-Undangan yang menjadi Dasar hukum dari putusan, disertai

keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. Hari dan

tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa

oleh hakim tunggal; h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah

terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan

kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan

kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang

pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat

ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat

surat otentik dianggap palsu; k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap

dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut

(28)

c. Barang bukti dalam perkara pidana ialah barang mengenai mana delik

dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik misalnya pisau yang

dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari

delik, misalnya rumah yang dibeli dari uang negara hasil korupsi.15

d. Tindak Pidana adalah Perbuatan manusia yang melanggar peraturan

perundang-undangan yang didalamnya mengancamkan sanksi pidana baik

dilakukan dengan sengaja maupun lalai, dimana terhadap pelakunya

dipersalahkan dan dapat dipertanggungjawabkan.16

e. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,

kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu (Undang-

Undang Kehutanan).

15

Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 100.

16

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

Kamus hukum karya Sudarsono (1992) memberikan pengertian bahwa

hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran

terhadap kepentingan umum, dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang

merupakan suatu penderitaan.1

Dari pengertian diatas dapat dilihat 3 (tiga) unsur utama dalam hukum

pidana yaitu :

1. Mengatur tentang perbuatan kejahatan dan pelanggaran terhadap

kepentingan umum.

2. Bahwa perbuatan tersebut dapat berdampak pada terganggunya

kepentingan umum.

3. Bahwa perbuatan tersebut diancam dengan sanksi pidana.

Rusli Efendi memberikan definisi hukum pidana adalah bagian dari pada

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar

dan aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,

yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa tindak

pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

1

(30)

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan

apabila ada orang yang disangka telah melanggar tersebut.2

Lebih lanjut menurut Simons, membagi hukum pidana menjadi hukum

pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.3

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku,

artinya keseluruhan dari larangan dan keharusan yang atas pelanggarannya oleh

negara atau oleh suatu masyarakat hukum telah dikaitkan dengan suatu

penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu penghukuman, dan keseluruhan

dari peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat-hukum itu telah diatur serta

keseluruhan dari peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan

dari hukumnya itu sendiri.

Sementara hukum dalam arti subjektif mempunyai dua pengertian, yaitu :

1. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum. Yakni

hak telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah

ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif.

2. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap

peraturan-peraturannya dengan hukuman.

1. Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pembuat Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan “strafbareit”

untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab

2

Effendi, Rusli. 1986. Azaz-Azaz Hukum Pidana. Makassar : Leppem-UMI. hlm 1.

3

(31)

Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai

apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbareit” tersebut.

Lamintang, memberikan penjelasan bahwa, perkataan feit itu sendiri di

dalam bahasa belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sementara strafbaar

berarti dapat dihukum. Sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat

diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.4

R. Abd. Djamali, menyatakan bahwa, pada Dasarnya tindak pidana adalah

suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.

Suatu peristiwa hukum hanya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau

memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari :

1. Objektif

Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan

mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang

dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.

2. Subjektif

Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh

Undang-Undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa

orang).5

2. Subjek

Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak

dan kewajiban. Lebih singkat dapat dikatakan bahwa subjek hukum adalah

pendukung hak dan kewajiban.

4

Lamintang, Op.cit. hlm 181.

5

(32)

Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa belanda rechtsubject

atau law of subject (inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai

pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.

Dalam hukum pidana modern terlah teerjadi semacam kesepakatan

diantara para ahli bahwa badan hukum merupakan subjek hukum pidana yang

dapat melakukan tindak pidana dan dapat pula dimintai pertangggungjawaban

secara pidana. Kecenderungan untuk mempertanggungjawabkan dan memidana

badan hukum didorong oleh kenyataan bahwa badan hukum merupakan subjek

hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri, dapat melakukan perbuatan

sendiri, terlepas dari pemilik atau pengurusnya. Dalam hukum pidana positif

Indonesia kemungkinan untuk mempertanggungjawabkan badan hukum ini

dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7/Drt/1995 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup secara tegas mengatur tentang pertanggungjawaban pidana badan hukum

dalam Pasal 45 dan 46. Penegasan ini mengakhiri perdebatan dan atau keraguan

pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam bentuk tindak pidana lingkungan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Lingkungan Hidup. Oleh karena itu sekarang sudah tidak ada lagi

keragu-raguan untuk mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap badan hukum

yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan.

Meskipun secara yuridis telah ada kejelasan untuk

mempertanggungjawabkan badan hukum secara pidana, akan tetapi dalam

(33)

hukum secara pidana, artinya juga harus menyediakan sistem sanksi yang cocok

untuk diterapkan terhadap badan hukum. Sanksi tradisional berupa perampasan

kemerdekaan menurut sifatnya tidak cocok dengan karakteristik badan hukum itu

sendiri. Dilihat secara keseluruhan maka jenis sanksi yang dapat dijatuhkan

terhadap badan hukum adalah berupa pidana denda dan tindakan tata tertib.6

B. Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan (SDAH)

Sejak awal mendirikan negara, bangsa Indonesia sebenarnya sudah siap

dengan rumusan mengenai bentuk kehidupan yang dicita-citakan dalam konteks

hidup bernegara, yaitu mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur

berdasarkan Pancasila. Kalimat terakhir (berdasarkan Pancasila) inilah yang

seharusnya digunakan untuk mengarahkan perjuangan bangsa Indonesia dalam

mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Para pendiri negara juga menyadari bahwa prinsip-prinsip dasar tersebut

juga harus dijabarkan lebih konkret ke dalam aturan-aturan prilaku, agar tidak

memunculkan interpretasi yang menyimpang dan pada akhirnya akan muncul

dalam bentuk kebijakan penguasa yang menyimpang. Oleh sebab itu,

prinsip-prinsip dasar tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut ke dalam aturan-aturan dasar

(Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945), dan lebih konkret lagi ke dalam

perundang-undangan yang lebih rendah. Hal ini memang harus dilakukan sebagai

konsekwensi dari kesepakatan bangsa untuk mendirikan negara hukum. Betapa

penting bagi bangsa Indonesia untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar

tersebut. Pengalaman bangsa Indonesia selama berada di bawah kekuasaan rezim

6

(34)

pemerintahan Orde Baru, nyata-nyata telah menyeret bangsa Indonesia kebentuk

kehidupan yang tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi. Dalam masa itu,

konflik-konflik dalam semua aspek kehidupan dapat ditekan dengan

menggunakan hukum yang bersifat refresif, serta atas dukungan mesin birokrasi

pemerintahan yang bersifat otoriter.7

Pengalaman pahit yang dialami bangsa Indonesia selama berada di bawah

kekuasaan rezim Orde Baru yang otoriter tersebut, merupakan bukti nyata dari

tindakan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip dasar dalam mengarahkan

kehidupan bangsa Indonesia.

Pada pertemuan-pertemuan ilmiah yang kerap digelar di era reformasi,

yang secara khusus bertujuan membahas masalah pendistribusian sumber daya

tanah, kerapkali terjadi perbedaan pendapat antar instansi terkait dalam hal

menginterpretasikan hak dan kewajiban pemerintah dalam pengelolaan sumber

daya tanah. Perbedaan pendapat ini kerapkali terjadi, karena masing-masing

instansi terkait berpegang kepada produk perundang-undangan yang berlaku

untuk masing-masing instansi yang bersangkutan.

Perbedaan pendapat di atas seharusnya tidak perlu terjadi, apabila pembuat

Undang-Undang benar-benar mengerti kemana harus mencari acuan apabila

hendak membuat aturan baru yang juga mengatur masalah pendistribusian sumber

daya tanah. Lebih penting dari itu adalah pembuat Undang-Undang harus bertolak

dari prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam konstitusi, karena statusnya sebagai

sumber hukum tertinggi. Tanpa bertolak dari prinsip-prinsip dasar tersebut, maka

7

(35)

akan muncul produk Undang-Undang Sektoral yang memberi peluang terjadinya

praktek monopoli dalam penguasaan sumber daya tanah. Padahal, praktek

monopoli dalam penguasaan sumber daya tanah jelas bertentangan dengan prinsip

dasar yang diatur dalam konstitusi, yang kemudian ditegaskan dan dijabarkan

kembali di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (disingkat Undang-Undang PA).

Praktek monopoli dalam penguasaan sumber daya tanah jelas bertentangan

ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang 45 jo Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang PA, yang secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya “dikuasai oleh negara”

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Kata dikuasai oleh negara tidak

dapat diartikan bahwa negara dalam hal ini pemerintah dapat bertindak sebagai

layaknya memiliki, melainkan sebatas kewenangan mengatur pemilikan,

penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya tanah dengan tujuan

untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat. Dengan

demikian dibalik kewenangan mengatur pengelolaan, juga ada kewajiban bagi

pemerintah untuk melindungi hak setiap warga negara untuk memperoleh manfaat

dari sumber daya tanah yang dikuasai oleh negara. Apabila diperhatikan dengan

seksama catatan-catatan mengenai peristiwa-peristiwa sejarah yang mewarnai

proses pembentukan Undang-Undang PA, maka dapatlah dikatakan bahwa

keseluruhan ketentuan Undang-Undang PA merupa-kan pencerminan dari

pemikiran para pendiri Republik ini untuk menerapkan prinsip keadilan sosial di

dalam setiap kebijakan pemerintah yang menyangkut masalah pengelolaan dan

(36)

Pada masa rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa, meskipun

Undang-Undang PA tetap diperlakukan tetapi fungsinya yang semula dimaksudkan oleh

pembentuknya (panitia perumus) sebagai Undang-Undang Pokok (payung) tidak

lagi diterapkan. Dengan kata lain, Undang-Undang PA yang seharusnya

difungsikan untuk mengarahkan berbagai kebijakan pemerintah yang menyangkut

bidang agraria, banyak diabaikan pada masa orde baru. Hal ini dapat dilihat dari

adanya produk-produk hukum di bidang pertanahan, yang substansinya banyak

bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang ingin diterapkan melalui

Undang-Undang PA.

Monopoli terhadap penguasaan sumber daya tanah di sektor kehutanan,

juga banyak terjadi disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang memberi

peluang kepada pengusaha (pemegang HPH) untuk menguasai tanah dengan luas

yang tidak terbatas. Pelanggaran terhadap prinsip keadilan sosial banyak

dilakukan oleh pengusaha di zaman orde baru, terutama menyangkut pembebasan

tanah ulayat yang kerapkali dilakukan tanpa ganti rugi (recognisi). Jika pun,

terdapat ganti rugi terhadap pembebasan tanah ulayat, tetapi prosesnya dilakukan

dengan memanipulasi status tanah ulayat menjadi seolah-olah adalah milik

perseorangan. Akibatnya, ganti rugi yang diberikan oleh pihak perusahaan atau

pemerintah hanya diterima oleh sebagian kecil anggota masyarakat adat saja,

karena ikut berkolusi dengan pengusaha dalam hal memanipulasi status tanah

ulayat.

Peluang untuk mendapatkan hak penguasaan atas sumber daya tanah

(37)

Pada masa rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa, meskipun Undang-Undang

PA tetap diperlakukan tetapi fungsinya yang semula dimaksudkan oleh

pembentuknya (panitia perumus) sebagai Undang-Undang Pokok (payung) tidak

lagi diterapkan. Dengan kata lain, Undang-Undang PA yang seharusnya

difungsikan untuk mengarahkan berbagai kebijakan pemerintah yang menyangkut

bidang agraria, banyak diabaikan pada masa orde baru. Hal ini dapat dilihat dari

adanya produk-produk hukum di bidang pertanahan, yang substansinya banyak

bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang ingin diterapkan melalui

Undang-Undang PA.

Monopoli terhadap penguasaan sumber daya tanah di sektor kehutanan,

juga banyak terjadi disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang memberi

peluang kepada pengusaha (pemegang HPH) untuk menguasai tanah dengan luas

yang tidak terbatas. Pelanggaran terhadap prinsip keadilan sosial banyak

dilakukan oleh pengusaha di zaman orde baru, terutama menyangkut pembebasan

tanah ulayat yang kerapkali dilakukan tanpa ganti rugi (recognisi). Jika pun,

terdapat ganti rugi terhadap pembebasan tanah ulayat, tetapi prosesnya dilakukan

dengan memanipulasi status tanah ulayat menjadi seolah-olah adalah milik

perseorangan. Akibatnya, ganti rugi yang diberikan oleh pihak perusahaan atau

pemerintah hanya diterima oleh sebagian kecil anggota masyarakat adat saja,

karena ikut berkolusi dengan pengusaha dalam hal memanipulasi status tanah

ulayat.

Peluang untuk mendapatkan hak penguasaan atas sumber daya tanah

(38)

terbuka lebar, sebab pemerintah Orde Baru memang sengaja tidak memberikan

perlindungan terhadap hak masyarakat (hak kolektif) adat terhadap tanah ulayat.

Terbukti dengan tidak diadakannya pengaturan mengenai tatacara pendaftaran

tanah ulayat. Setelah masuk ke dalam era reformasi, barulah pemerintah

menerbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (selanjutnya disingkat “Permenag”) Nomor 5 Tahun 1999 tanggal 24 Juni 1999 tentang

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat. Tanpa bermaksud

menyepelekan manfaat Permenag Nomor 5 Tahun 1999 ini, tetapi dapat dikatakan

bahwa penerbitan peraturan ini sangatlah terlambat, karena Permenag No 5/1999

ini baru diadakan setelah usia keberlakukan Undang-Undang PA mencapai lebih

dari 38 Tahun. Memang, penerbitan Pemenag Nomor 5/1999 ini masih ada

manfaatnya, yaitu untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat.

Itupun terhadap masyarakat daerah tertentu di Indonesia yang masih

menggunakan pranata hukum adat dalam mengatur hubungan hukum antara

anggota (hak perseorangan atau hak kolektif) masyarakat adat yang bersangkutan

dengan tanah adat.

C. Prinsip Dasar Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati

Apabila reformasi diterjemahkan sebagai upaya sistematis bangsa

Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam penyeleng-garaan

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka usaha tersebut harus

selalu bertolak dari prinsip-prinsip Dasar sebagaimana diuraikan di atas.

Termasuk dalam menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Sumber Daya

(39)

Dalam era reformasi ini, tuntutan agar masyarakat selalu dilibat-kan dalam

pengambilan kebijakan tentunya harus mulai dilayani, termasuk keterlibatan

masyarakat dalam pengelolaan SDAH. Dengan demikian, pemerintah reformasi

sudah harus menerapkan pendekatan baru dalam merumuskan kebijakan

mengenai pengelolaan SDAH yang sesuai dengan tuntutan reformasi.

Pada masa pemerintahan Orde Baru pendekatan pengelolaan sumber daya

hutan lebih cenderung kepada Manajemen Hutan Berbasis Negara (State Base

Forest Management/SBFM). Pada era itu pengelolaan sumber daya hutan bersifat

sentralistik. Berbagai kebijakan diputusakan oleh pemerintah pusat. Sedangkan,

pemerintah daerah hanyalah sebagai representasi pemerintah pusat, yang tinggal

melaksanakan juklak-juklak yang telah disusun tanpa harus menginterpretasikan

lebih lanjut. Dinas-dinas kehutanan yang terletak di tingkat lokal lebih merupakan

pelaksana-pelaksana yang setia daripada berperan sebagai pintu masuk bagi

artikulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal yang seharusnya bisa

dijadikan sebagai landasan kebijakan.

Upaya untuk memperbaharui pendekatan terhadap manajemen

pengelolaan sumber daya hutan yang dipandang cocok dengan tuntutan reformasi,

sebenarnya sudah sering dilontarkan oleh kalangan akademisi yaitu dengan

memperkenalkan pendekatan baru yang berbasis pada komunitas lokal atau yang

dapat dinamakan manajemen hutan berbasis masyarakat (Community Base Forest

Management/CBFM). Harapannya adalah dengan pengelolaan hutan berbasis

pada masyarakat lokal, tentunya akan ada pembagian hasil yang memadai antara

(40)

dengan menggunakan pendekatan ini adalah komunitas yang hidup di dalam atau

di sekitar hutan. Jelaslah bahwa, CBFM ini tidak lain adalah jawaban atas tuntutan

komunitas lokal melalui jargon demokratisasi pengelolaan sumber daya hutan

agar diperoleh keadilan dan kesejahteraan sosial. Demokratisasi pengelolaan

sumber daya hutan merupakan hasil resonansi dari demokratisasi bidang

kehidupan politik baik pada tingkat global, regional, maupun lokal.

Penerapan pendekatan baru dalam pengelolaan sumber daya hutan atau

yang dikenal dengan CBFM ini, tentunya memang menuntut perubahan sikap dari

semua unsur yang terkait, artinya pemerintah tidak lagi boleh bersikap seolah-olah

masyarakat sebagai ancaman bagi kelestarian fungsi kawasan hutan. Sebaliknya,

masyarakat harus dapat diyakinkan, bahwa kebijakan pemerintah mengenai

pengelolaan hutan berbasis masyarakat selalu menjanjikan keuntungan ditinjau

dari berbagai aspek kehidupan.

Oleh sebab itu, kebijakan pengelolaan hutan sedapat mungkin menerapkan

prinsip multiguna. Dengan kata lain, pengelolaan Tahura War selain bertujuan

untuk melestarikan fungsi Tahura War, juga perlu dipikirkan segi kegunaannya

yang lain yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat sekitar hutan.

D. Faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan

Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya

kemiskinan struktural, yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah

kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial

masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang

(41)

fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi,

kekurangan fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang

kerja dan kekurangan perlindungan hukum.8

Menurut W.A. Bonger, bahwa faktor penyebab terjadinya kejahatan

adalah karena faktor yang ada dalam diri manusia sejak dia lahir, faktor

lingkungan dan gabungan antara faktor antropologis dan lingkungan. Selanjutnya

W.M.E Noach membagi sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam tiga golongan

yaitu: kejahatan itu adalah akibat dari sifat-sifat bakat tertentu dari pelaku

kejahatan pada umumnya; kejahatan itu di sebabkan bukan dari sifat-sifat bakat

yang terletak di dalam diri pelaku kejahatan, akan tetapi akibat dari keadaan luar

yang mempengaruhi diri penjahat tersebut; kejahatan itu disebabkan baik oleh

sifat, pembawaan dalam diri penjahat, maupun oleh keadaan-keadaan diluar yang

mempengaruhi diri penjahat.9

Faktor penyebab timbulnya kejahatan dikemukakan oleh A. Quetelet

mengatakan bahwa, faktor penyebab terjadinya kejahatan adalah karena pengaruh

pendidikan, pekerjaan, kemiskinan, iklim dan perubahan musim.10 Terdapat

beberapa teori yang mengemukakan faktor penyebab timbulnya kejahatan yaitu :

a. Teori yang menitikberatkan pengaruh anthropologis. Teori ini menyatakan

adanya ciri-ciri individual yang karakteristik, dan ciri anatomis yang khas

menyimpang. Dengan kata lain orang-orang kriminal itu menpunyai psikis

yang sama dengan orang-orang primitif, dalam hal kemalasan, impulsivitas,

8

Alfian, Mely Tan dan Selo Sumarjan. 1980. Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta, hlm 5.

9

R.Soesilo. 1985. Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politiea. Bogor. hlm26.

10

(42)

secara naik darah dan kegelisahan psikofisik. Semua sifat karakteristik ini

menghambat mereka untuk menadaka penyesuaian diri terhadap

peraturan-peraturan peradaban penyesuaian diri terhadap peraturan-peraturan-peraturan-peraturan peadaban

dan uniformitas kesusilaan.

b. Teori yang menitikberatkan pada faktor sosial. Teori ini menyatakan bahwa

paling menentukan yang mengakibatkan kejahatan ialah faktor-faktor

eksternal atau lingkungan sosial dan kekuatan-kekuatan sosial. Bahwa

perkembangan kuantitas dan kualitas jenis kejahatan tertentu di masyarakat

dipengaruhi langsung oleh krisis ekonomi.

c. Teori yang menitikberatkan faktor biososiologis. Teori ini menyatakan

timbulnya kejahatan itu disebabkan oleh kombinasi dan kondisi individu dan

kondisi sosial. Pada suatu saat, unsur yang satu lebih berpengaruh daripada

unsur lainnya. Bahwa rendahnya mental atau tidak dapatnya seseorang itu

berfungsi/ berperan sosial secara baik dalam masyarakat juga merupakan salah

satu sebab timbulnya kejahatan.

d. Teori susunan ketatanegaraan. Teori ini menyatakan bahwa struktur

ketatanegaraan dan falsafah Negara itu turut menentukan ada dan tiadanya

kejahatan. Jika susunan Negara baik dan pemerintahnya bersih, serta mampu

melaksanakan tugas memerintah rakyat dengan adil, maka kejahatan tidak

akan bisa berekambang. Sebaliknya, jika pemerintah korupsi dan tidak adil,

maka banyak orang memenuhi kejahatan vitalnya dengan cara masing-masing

yang inkonvensional dan jahat atau kriminal.

Mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan mengatakan bahwa

(43)

mengenai hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekspresif dengan

kekuatan-kekuatan menentukan apakan di dalam memenuhi kebutuhan Dasarnya, manusia

akan mematuhi norma dan prilaku teratur yang ada, atau akan menyeleweng

sehingga menimbulkan gangguan pada ketertiban dan ketentraman kehidupan

manusia. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa faktor-faktor penyebab

kejahatan dapat dilihat dari dua segi, yaitu faktor individu dan faktor diluar

individu yang saling bertemu, dimana yang satu dengan yang lain saling

mempengaruhi dan kadang-kadang pula faktor ekternal memegang peranan utama

dalam terjadinya kejahatan.11

E. Kebijakan Kriminal Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan kriminal berasal dari istilah policy (Inggris) atau politiek

(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan kriminal

dapat pula disebut dengan istilah politik kriminal. Dalam kepustakaan asing

istilah politik kriminal sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal

policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek. Pengertian kebijakan atau

politik kriminal dapat dilihat dari politik hukum maupun politik criminal.12

Menurut Sudarto, politik hukum adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

11

Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta. hlm 204.

12

(44)

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan politik kriminal

berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan pidana

yang paling baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana,

yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan

kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari

politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, politik

hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena itu,

sering pula dikatakan bahwa politik/kebijakan hukum pidana merupakan bagian

pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).13

Upaya penanggulangan kejahatan lewat pembuatan

Undang-Undang(hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social welfare), maka wajar apabila kebijakan atau

politik hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial

(social polecy). Kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penanggulangan

kejahatan merupakan salah satu kebijakan, selain kebijakan-kebijakan

pembangunan lainnya (politik sosial). Barda Nawawi Arief menyatakan:

"Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial; ada keterpaduan (integral) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal. Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan

13

(45)

sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian, di dalam pengertian "social policy" sekaligus tercakup di dalamnya "social wellfare polecy " dan "social defence policy ".14

Sejalan dengan pendapat tersebut, Sudarto mengemukakan tiga arti

kebijakan kriminal, yaitu:

a. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi Dasar dari

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukurn,

termasuk didalamnya cara kerja dari Pengadilan dan Kepolisian;

c. dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui

perUndang-Undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk

menegakkan norma-nonna sentral dari masyarakat.15

Politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat

dalam menanggulangi kejahatan. G. Peter Hoefnagels juga telah memberikan

pengertian yang sama bahwa Criminal policy is the rational organization of the

social reaction to crime.

Upaya penanggulangan kejahatan dalam konsep Kebijakan kriminal

(criminal polecy) sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels dapat

ditempuh dengan:

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application;

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan

14

Barda Nawawi Arief. Op.cit. hlm 4.

15

(46)

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass

media).16

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua,

yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (di luar

hukum pidana). Dalam pembagian G. Peter Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang

disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukan dalam kelompok upaya “non

penal”.

Upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana “penal” lebih

menitik-beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah

kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat

“preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.

Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya

juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 17

Mengutip pendapat Marc Ancel, yang menyatakan bahwa sistem

pemidanaan bukan hanya satu-satunya cara terbaik untuk menghadapi kejahatan,

kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi mendahului sistem hukum pidana

melainkan merupakan hasil dari pelaksanaan sistem hukum pidana tersebut, dan

pelaku kejahatan bukanlah mahluk yang terasing dan berbeda dengan warga

masyarakat lainnya.18

16

G. Peter Hoefnagels, 1969, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, page 57.

17

Soedarto. Ibid. hlm 118.

18

Referensi

Dokumen terkait

LAMPIRAN SPESIFIKASI MOTOR STEPPER

Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi dan penilaian risiko penyebab kecelakaan kerja dengan menggunakan pendekatan HIRARC (Hazard Identification,

Pada diagram diatas terdiri dari 2 aktor 4 use case. Dari informasi inilah akan diolah oleh aplikasi sehingga menampilkan arah kiblat dan jadwal waktu shalat kepada

Basis data adalah suatu kumpulan data terhubung yang disimpan bersama-sama pada suatu media, tidak perlu suatu kerangkapan data dengan cara tertentu sehingga mudah untuk digunakan

Penulis memilih wacana humor pada Kumpulan Sketsa Betawi Bang Jali Kondangan sebagai bahan pe- nelitian untuk menjawab masalah pokok penelitian karena asumsi bahwa

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul: PENGARUH PEMBIAYAAN MURABAHAH TERHADAP PENDAPATAN NASABAH DI BMT NUR’IANAH, ini beserta isinya adalah benar-benar

di pucuk Tugu Monas Jakarta adalah emas yang berasal dari Desa Lebong Tandai.. ini yang merupakan sumbangan dari

Dalam pelaksanaan strategi manajemen krisis, Humas Waskita memiliki berbagai kegiatan yang dilakukan sebagai upaya penanggulangan krisis. Kegiatan yang dijalankan adalah