• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG TIDAK BERASAL DARI HASIL TINDAK PIDANA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 669K/PID.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG TIDAK BERASAL DARI HASIL TINDAK PIDANA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 669K/PID."

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG TIDAK BERASAL DARI HASIL TINDAK PIDANA

DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 669K/PID.SUS/2017

TESIS

OLEH

AGUSTA KANIN NIM. 167005117/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG TIDAK BERASAL DARI HASIL TINDAK PIDANA

DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 669K/PID.SUS/2017

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

AGUSTA KANIN NIM. 167005117/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 21Agustus 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum

2. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum

4. Dr. Edy Yunara, SH., M.Hum

(5)
(6)

ABSTRAK

Dalam praktik perampasan aset tindak pidana melalui instrumen UU TPPU, telah terjadi perampasan aset yang sama sekali asetnya tersebut tidak ada kaitannya dengan tindak pidana asal dan telah dibuktikan pula oleh terdakwa. Hal mana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/PID.SUS/2017 telah menyita harta kekayaan terdakwa yang bukan berasal dari tindak pidana asal (predicate crime) narkotika. Selain itu, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) subsidair 1 (satu) tahun kurungan penjara. Adapun aset-aset yang disita terdiri dari benda bergerak berupa truk dan benda tidak bergerak berupa pabrik pengolahan sampah. Seluruh aset-aset milik terdakwa tersebut dinyatakan dirampas untuk negara. Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana upaya hukum yang harus ditempuh terdakwa dalam mempertahankan aset-asetnya yang bukan berasal dari tindak pidana.Adapun hal yang menarik untuk dikaji dan dianalisis adalah mengenai model perampasan aset hasil tindak pidana narkotika, apakah dengan cara pidana, perdata atau administratif. Selanjutnya, mengenai upaya hukum yang ditempuh terpidana untuk mengajukan upaya hukum apabila terdapat harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana narkotika sementara putusan pengadilan menyatakan harta kekayaan tersebut dirampas untuk negara.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka banyak timbul permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini, antara lain : Bagaimana perampasan aset hasil tindak pidana narkotika yang dihukum berdasarkan tindak pidana pencucian uang;Bagaimana kedudukan alat bukti yang diajukan terdakwa dalam pembuktian terbalik di persidangan dalam perkara tindak pidana pencucian uang terkait dengan barang bukti yang tidak terkait dengan tindak pidana. Selanjutnya, bagaimana upaya hukum yang ditempuh terpidana untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap harta kekayaannya yang bukan berasal dari tindak pidana yang dirampas oleh Negara.

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian adalah deskriptif analisis. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan.

Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa :Perampasan aset hasil tindak pidana narkotika yang dihukum berdasarkan tindak pidana pencucian uang dimulai dari tingkat penyidikan sampai dengan penuntutan di depan persidangan hingga akhirnya diputus oleh hakim.

Putusannya adalah menyatakan suatu aset dirampas untuk negara; Kedudukan alat bukti yang diajukan terdakwa dalam pembuktian terbalik di persidangan dalam perkara tindak pidana pencucian uang terkait dengan barang bukti yang tidak terkait dengan tindak pidana adalah sama dengan alat bukti yang diajukan penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya; dan Adapun upaya hukum yang ditempuh untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap harta kekayaannya yang bukan berasal dari tindak pidana yang dirampas oleh negara dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017, yaitu : mengajukan bukti-bukti yang sah dan cukup di depan persidangan dengan menerapkan pembuktian terbalik. Selain itu, jika terdapat harta kekayaan milik pihak ketiga yang beritikad baik dirampas untuk negara dalam perkara tindak pidana narkotika ataupun TPPU, maka pihak ketiga yang beritikad baik dapat mengajukan upaya hukum keberatan ke pengadilan negeri bersangkutan.

Kata Kunci : Perampasan aset; tindak pidana pencucian uang; dan hasil tindak pidana narkotika.

(7)

ABSTRACT

In the practice of appropriation of assets of criminal acts through the anti-money laundering law instrument, there has been seizure of assets that have absolutely no assets in relation to the original crime and have also been proven by the defendant. This is stated in the Republic of Indonesia Supreme Court Decision No. 669K / PID.SUS / 2017 has confiscated the assets of the defendant who did not come from a predicate crime of narcotics.

In addition, imposing a penalty on the defendant with imprisonment for 13 (thirteen) years and a fine of Rp. 10,000,000,000 (ten billion rupiah) of subsidies 1 (one) year in prison. The assets confiscated consisted of movable objects in the form of trucks and immovable objects in the form of waste processing plants. All of the defendant's assets were declared to have been seized for the state. This study tries to analyze how the legal effort that must be taken by the defendant in defending his assets that do not come from a criminal act. The interesting thing to be studied and analyzed is regarding the deprivation of assets resulting from narcotics crime, whether by criminal, civil or administrative. Furthermore, regarding the legal remedies taken by the convicted person to file legal remedies if there are assets that do not originate from narcotics crimes, the court's decision states that the assets were seized for the state.

Based on the foregoing, there are many legal problems arising in this study, including: How to seize assets resulting from narcotics crimes that are punished based on the crime of money laundering; How is the position of the evidence presented by the defendant in the reverse evidence in the trial in the case of a crime of money laundering related to evidence not related to a criminal act. Furthermore, what is the legal effort taken by the convicted person to file a legal complaint against his assets that did not originate from a criminal act seized by the State.

This research is normative juridical research. The nature of the research is descriptive analysis. The type of data used is secondary data sourced from primary, secondary and tertiary legal materials. Secondary data is collected with literature study techniques. Furthermore, these data were analyzed using qualitative analysis methods.

The results of the study show that: Deprivation of assets resulting from narcotics crime is punishable based on the crime of money laundering starting from the level of investigation to prosecution before the trial until finally decided by the judge. The decision is to declare an asset seized for the state; The position of the evidence presented by the defendant in the reverse verification in the trial in the case of a crime of money laundering related to evidence not related to a criminal act is the same as the evidence presented by the public prosecutor to prove his charge; and The legal remedies taken to file a legal suit against his assets that are not derived from criminal acts seized by the state in the Republic of Indonesia Supreme Court Decision No. 669K / Pid.Sus / 2017, namely: submitting valid and sufficient evidence before the trial by applying reverse evidence. In addition, if there are assets owned by third parties that have good intentions to be confiscated for the state in cases of narcotics crime or money laundering, then third parties with good intentions can file legal objections to the relevant district court.

Keywords : Deprivation of assets; money laundering crime; and the results of narcotics crime.

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulilah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulisserta Nabi Muhammad SAW atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister Ilmu Hukum (S2) dan Doktor Ilmu Hukum (S3) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Penguji I.

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum (S2) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(9)

5. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan dorongan, arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis untuk secepatnya menyelesaikan studi di kampus.

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penelitian penulis.

7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III yang telah memberikan masukan dalam penelitian yang penulis lakukan.

8. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji II yang juga telah memberikan masukan dan saran-saran yang membangun dalam penelitian penulis.

9. Terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada ayahanda,Kamal MS, dan ibunda,Nining yang telah mendidik penulis hingga sampai kepada jenjang pendidikan tinggi, serta terima kasih kepada isteri, Lauriana, SE, dan anak- anakku Variza de Keanu dan Vania Karin Syaqueena yang setia mendampingi.

10. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku seperjuangan yang sudah membantu selama penyelesaian penelitian ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu.

11. Terakhir ucapan terima kasih kepada Para Dosen dan Para Pegawai Sekretariat Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama ini kepada penulis selama menyelesaikan studi.

(10)

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.-

Medan, Agustus 2018 Hormat Saya,

Penulis,

AGUSTA KANIN NIM.167005117/HK

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. DATA PRIBADI

NAMA : AGUSTA KANIN

TMPT /TGL. LAHIR : MEDAN / 10 AGUSTUS 1985

ALAMAT : VILLA GADING MAS III BLOK Q-26 HARJOSARI II, MEDAN AMPLAS

INSTANSI : KEJAKSAAN RI

AGAMA : ISLAM

NAMA AYAH : KAMAL MS NAMA IBU : NINING

ISTERI : LAURIANA, SE

ANAK-ANAK : 1. VARIZA DE KEANU

2. VANIA KARIN SYAQUEENA E-MAIL : kaninagusta@gmail.com

2. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM 1. SD : SD MUHAMMADIYAH 31 (1997) 2. SMP : SMP NEGERI 15 MEDAN (2003) 3. SMA : SMA KARTIKA I – 1 (2006) 2. PENDIDIKAN TINGGI

1. STRATA 1 : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (2007)

2. STRATA 2 : PROGRAM STUDI MAGISTERILMU HUKUM, FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITASSUMATERAUTARA,MEDAN (2018)

III. RIWAYAT KARIRDI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1. (2009 S.D. 2012) KEJARI JANTHO

2. (2012 S.D. 2015) KEJARI SUKA MAKMUE 3. (2015 S.D. 2017) KEJARI TEBING TINGGI DELI 4. (2018 S.D. SKRG) KEJARI DELI SERDANG

(12)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN ... iii

TANGGAL UJIAN ... iv

PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

a. Teori Kepastian Hukum ... 12

b. Teori Pemidanaan ... 16

2. Kerangka Konsep ... 21

G. Metode Penelitian ... 26

1. Jenis Penelitian ... 26

2. Sifat Penelitian ... 27

3. Sumber Data ... 27

4. Teknik Pengumpulan Data ... 29

5. Analisis Data ... 29

(13)

BAB II : PENGATURAN TENTANG PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA DENGAN MENGGUNAKAN INSTRUMEN

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ... 31

A. Pengaturan Perampasan Aset Hasil Kejahatan Tindak Pidana Narkotika . 31 B. Tindak Pidana Narkotika ... 44

1. Narkoba Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... 44

a. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika ... 44

b. Pengobatan dan Rehabilitasi ... 45

c. Kewenangan BNN dan Penyelidikan ... 45

d. Putusan Rehabilitasi Bagi Para Pecandu Narkotika ... 46

e. Peran Serta Masyarakat ... 47

f. Ketentuan Pidana ... 47

2. Jenis Narkoba Yang Sering Disalahgunakan ... 50

3. Narkoba Dalam Hukum Pidana ... 56

a. Penanam ... 56

b. Pengedar ... 57

c. Sebagai Produsen ... 58

d. Pengguna ... 59

e. Prekursor Narkotika ... 60

C. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 60

D. Metode Pencucian Uang ... 63

1. Penempatan (Placement) ... 64

2. Transfer (Layering) ... 66

3. Penggabungan (Integration) ... 68

E. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Narkotika Yang Dihukum Berdasarkan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 70

BAB III : KEDUDUKAN ALAT BUKTI TERDAKWA DALAM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PERSIDANGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ... 79

(14)

A. Sistem Pembuktian Peradilan Pidana di Indonesia ... 79

B. Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia ... 92

1. Keterangan Saksi ... 93

2. Keterangan Ahli ... 94

3. Surat ... 95

4. Petunjuk ... 95

5. Keterangan Terdakwa ... 96

C. Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ... 100

D. Kedudukan Alat Bukti Yang Diajukan Terdakwa Dalam Pembuktian Terbalik Pada Persidangan Dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Kaitannya Dengan Barang Bukti Yang Tidak Terkait Dengan Tindak Pidana ... 107

BAB IV : UPAYA HUKUM YANG DITEMPUH DALAM MENGAJUKAN TUNTUTAN HUKUM TERHADAP HARTA KEKAYAAN YANG DIRAMPAS UNTUK NEGARA BUKAN BERASAL DARI TINDAK PIDANA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 669K/PID.SUS/2017 ... 114

A. Kasus Posisi Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017 ... 115

1. Kronologis Kasus ... 115

2. Dakwaan ... 117

3. Tuntutan ... 119

4. Putusan ... 119

B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 259/Pid.Sus/2016/PN.Tbt., tertanggal 22 September 2016 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017 ... 120

1. Unsur Telah Menempatkan, Mentransfer, Mengalihkan,

Membelanjakan, Membayarkan, Menghibahkan, Menitipkan,

(15)

Membawa Keluar Negeri, Mengubah Bentuk, Menukarkan Dengan Mata Uang Atau Surat Berharga Atau Perbuatan Lain Atas Harta

Kekayaan ... 121

2. Unsur Yang Diketahuinya Atau Patut Diduganya Merupakan Hasil Tindak Pidana Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU ... 129

3. Unsur Dengan Tujuan Menyembunyikan Atau Menyamarkan Asal Usul Harta Kekayaan ... 131

C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 259/Pid.Sus/2016/PN.Tbt., tertanggal 22 September 2016 Jo. Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017 ... 136

D. Upaya Hukum Yang Ditempuh Dalam Mengajukan Tuntutan Hukum Terhadap Harta Kekayaan Yang Dirampas Untuk Negara Bukan Berasal Dari Tindak Pidana ... 137

1. Bagi Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Asal ... 137

a. Bagi Terdakwa Mengajukan Bukti-Bukti Untuk Membuktikan Harta Kekayaannya Tidak Terkait Dengan Tindak Pidana di Depan Persidangan ... 137

b. Bagi Terpidana Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Kepada Mahkamah Agung RI ... 139

2. Bagi Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik Mengajukan Upaya Hukum Keberatan Kepada Pengadilan Negeri ... 144

BAB V : KESIMPULAN & SARAN ... 147

A. Kesimpulan ... 147

B. Saran ... 148

DAFTAR PUSTAKA ... 150

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan Narkotika di Indonesia telah lama menjadi hambatan dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia. Dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dapat mengancam kelangsungan hidup, masa depan bangsa dan negara. Tanpa membedakan strata sosial, ekonomi, usia maupun tingkat pendidikan. Hal ini telah mengundang perhatian Pemerintah RI dengan membuat aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut “UU Narkotika”).

Pengenaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut “UU TPPU”) untuk pelaku tindak pidana Narkotika sangat berguna dan tepat.Rezim Hukum Anti Money Laundering (Anti Money Laundering Legal Regime) lahir dari upaya Internasional dalam penanganan masalah Narkotika dan sejenisnya tertuang dalam United Nations Conventions Against Illict Traffic In Narcotics Drugs and Psychtropic Substances 1988 atau yang disebut Konvensi Wina, yang menyatakan bahwa pengejaran pelaku narkotika secara khusus juga menyentuh hasil kejahatan dari perdagangan Narkotika.1 Dengan penanganan perkara secara tuntas adanya dua kejahatan, yaitu kejahatan asal (predicate crime) dan kejahatan pencucian uang

1Yenti Ganarsih, “Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan Dalam Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal)”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 3, No. 4, 2006, hlm. 132.

(17)

seharusnya dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.2 Konvensi tersebut menegaskan pentingnya merampas aset hasil tindak pidana narkotika, dalam rangka memberantas kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Padahal, untuk lebih menguatkan keberhasilan pencegahan dan pemberantasan Narkotika bukan hanya menerapkan UU Narkotika tetapi menyandingkannya dengan UU TPPU. Rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya menangkap pelakunya, tetapi lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan.3 Logika dari memfokuskan pada hasil kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang apalagi pelaku dihalang- halangi untuk menikmati hasil kejahatannya.

Kejahatan peredaran gelap narkoba sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses pencucian uang. Sejarah perkembangan tipologi pencucian uang menunjukkan bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan

2Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money Laundering! Mengenal, Mencegah & Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta : Visi Media, 2012), hlm. v.

3Materi muatan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain : a) Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang; b) Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;

c) Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif; d) Pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa; e) Perluasan pihak pelapor; f) Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya; g) Penataan mengenai pengawasan kepatuhan; h) Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi; i) Perluasan kewenangan direktorat jenderal bea dan cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean; j) Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang; k) Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK; l) Penataan kembali kelembagaan PPATK; m) Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi; n) Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan o) Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Sumber : Supriyadi Widodo Eddyono dan Yonatan Iskandar Chandra, Mengurai Implementasi dan Tantangan Anti Pencucian Uang di Indonesia, Cet. Ke-1, (Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Oktober 2015), hlm. 11- 12.

(18)

dan kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian uang. Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah. Selanjutnya, uang hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru.4

Pada umumnya tindak pidana pencucian uang dilakukan dalam bidang perbankan. Adapun bentuknya yaitu pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Kegiatan pencucian uang hampir selalu melibatkan perbankan karena adanya globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran terutama yang bersifat elektronik (electronic funds transfer), dana hasil kejahatan yang pada umumnya dalam jumlah besar akan mengalir atau bahkan bergerak melampaui batas negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan.5

Pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran aset atau harta kekayaan untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk Negara

4Yunus Husein, “Hubungan Antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba dan Tindak Pidana Pencucian Uang”, Makalah yang disampaikan dalam Forthy-Seventh Session of The Comisión on Narcotic Drugs, Wina, 2004, hlm. 1.

5M. Zainul Hafizi, “Makalah Etika Bisnis Penegakan Hukum Terhadap Pencucian Uang di Indonesia”, (Jakarta : Universitas Indraprasta PGRI, 2011). Lihat juga : definisi Rahasia Bank dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyatakan bahwa :

“Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya”.

(19)

atau dikembalikan kepada yang berhak.6 Dalam konsep anti pencucian uang, apabila harta kekayaan yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya akan dapat menurunkan tingkat kriminalitas.7

Mengingat bahwa kejahatan pencucian uang tidak semata timbul dari kejahatan asal narkotika saja, tetapi tindak pidana lain juga, maka Pasal 2 ayat (1) UU TPPU, menetapkan :

“Jenis tindak pidana asal diantaranya korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan,di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih”.

Perampasan aset mengalami perkembangan sehingga sampai saat ini terdapat tiga jenis model perampasan aset.8Pertama, perampasan aset secara pidana (in personam forfeiture) merupakan perampasan terhadap aset yang dikaitkan dengan pemidanaan seseorang terpidana. Kedua, perampasan aset secara perdata (in rem forfeiture) merupakan perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya pemidanaan;

dan Ketiga, perampasan aset secara administratif merupakan upaya perampasan yang dilakukan badan sifat federal untuk merampas suatu properti tanpa adanya campur tangan pengadilan.9

6Risalah Persidangan Perkara No. 77/PUU-XII/2014, tertanggal 28 Oktober 2014, hlm. 4-5.

7Loc.cit., hlm. 51.

8Paku Utama, Memahami Asset Recovery & Gatekeeper, (Jakarta : Indonesia Legal Roundtable, 2013), hlm. 60.

9Halif, “Model Perampasan Aset Terhadap Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang”, Jurnal Rectens, Vol. 5, No. 2, Desember 2016, hlm. 7.

(20)

Tindak pidana pencucian uang merupakan proses harta kekayaan hasil dari tindak pidana untuk disembunyikan atau disamarkan baik melalui sistem keuangan maupun melalui sistem non-keuangan yang akhirnya seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Tindak pidana ini mengandung dua tindak pidana, pertama, tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perdagangan narkotika dan tindak pidana lain yang ancaman pidananya 4 (empat) tahun atau lebih, tindak pidana ini diistilahkan dalam tindak pidana pencucian uang dengan “tindak pidana asal”. Kedua, tindak pidana pencucian uang itu sendiri, harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana asal diproses untuk disembunyikan atau disamarkan (dicuci) sehingga nantinya seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Perpaduan dua tindak pidana ini menghasilkan harta kekayaan yang ilegal dan dapat merugikan masyarakat secara luas dan negara.10

Proses penanganan perkara dimulai pada tahap penyelidikan dan penyidikan.

Pada asasnya, melalui visi KUHAP dibedakan secara limitatif antara “Penyelidik dan Penyidik atau Opsporing/Interrogation”. Menurut ketentuan Bab I Pasal 1 angka 5 KUHAP bahwa : “Penyelidikanmerupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Menurut pedoman pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa penyelidikan yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.

10Ibid., hlm. 4.

(21)

Penegakan hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung pada bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga mencakup peace maintenance (penegakan secara damai). Pihak yang termasuk kalangan penegak hukum meliputi bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.

Dalam praktik perampasan aset tindak pidana melalui instrumen UU TPPU, telah terjadi perampasan aset yang sama sekali asetnya tersebut tidak ada kaitannya dengan tindak pidana asal dan telah dibuktikan pula oleh terdakwa. Hal mana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/PID.SUS/2017 telah menyita harta kekayaan terdakwa yang bukan berasal dari tindak pidana asal (predicate crime) narkotika. Selain itu, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) subsidair 1 (satu) tahun kurungan penjara. Adapun aset-aset yang disita terdiri dari benda bergerak berupa truk dan benda tidak bergerak berupa pabrik pengolahan sampah. Seluruh aset-aset milik terdakwa tersebut dinyatakan dirampas untuk negara.11 Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana upaya hukum yang harus ditempuh terdakwa dalam mempertahankan aset-asetnya yang bukan berasal dari tindak pidana.

Adapun hal yang menarik untuk dikaji dan dianalisis adalah mengenai model perampasan aset hasil tindak pidana narkotika, apakah dengan cara pidana, perdata atau administratif. Selanjutnya, mengenai upaya hukum yang ditempuh terpidana

11Petikan Putusan Mahkamah Agung RI No. 669 K/Pid.Sus/2017, tertanggal 15 Juni 2017 An.

Gunawan Prasetio.

(22)

untuk mengajukan upaya hukum apabila terdapat harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana narkotika sementara putusan pengadilan menyatakan harta kekayaan tersebut dirampas untuk negara.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang perampasan aset dari tindak pidana pencucian uang yang “predicate crime”-nyamerupakan tindak pidana narkotika, maka penelitian berjudul : “Perampasan Aset Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Tidak Berasal Dari Hasil Tindak Pidana Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017”, layak untuk dikaji lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan, sebagai berikut :

1. Bagaimana perampasan aset hasil tindak pidana narkotika yang dihukum berdasarkan tindak pidana pencucian uang?

2. Bagaimana kedudukan alat bukti yang diajukan terdakwa dalam pembuktian terbalik di persidangan dalam perkara tindak pidana pencucian uang terkait dengan barang bukti yang tidak terkait dengan tindak pidana?

3. Bagaimana upaya hukum yang ditempuh terpidana untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap harta kekayaannya yang bukan berasal dari tindak pidana yang dirampas oleh Negara dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.

669K/Pid.Sus/2017?

(23)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis prosedur perampasan aset hasil tindak pidana narkotika yang dihukum berdasarkan tindak pidana pencucian uang;

2. Untuk mengkaji dan menganalisiskedudukan alat bukti yang diajukan terdakwa dalam pembuktian terbalik di persidangan dalam perkara tindak pidana pencucian uang terkait dengan barang bukti yang tidak terkait dengan tindak pidana;

3. Untuk mengkaji dan menganalisisupaya hukum yang ditempuh terpidana untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap harta kekayaannya yang bukan berasal dari tindak pidana yang dirampas oleh Negaradalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum pidana secara khusus di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

(24)

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Pemerintah/Badan Legislatif dalam menentukan kebijakan maupun regulasi dalam upaya pengembangan hukum nasional ke depan terkait dengan rezim penegakan hukum pencucian uang dan tindak pidana narkotika;

b. Sebagai informasi bagi Penegak Hukum (penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim) untuk memahami pengaturan tindak pidana pencucian uang dan hubungannya dengan tindak pidana narkoba;

c. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat yang dapat mengambil poin-poin atau modul-modul pembelajaran dari penelitian ini dan diharapkan untuk mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana narkoba menggunakan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang.

E. Keaslian Penelitian

Menurut data yang didapat dari pemeriksaan dan hasil-hasil judul penelitian yang ada pada Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “Perampasan Aset Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Tidak Berasal Dari Hasil Tindak Pidana Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017” belum pernah dilakukan.

Namun, ada penelitian yang membahas kajian yang serupa tapi permasalahan dan tujuan penelitian berbeda, yaitu:

(25)

Tabel 1.

Penelitian Terdahulu

No. Judul Penelitian Permasalahan Nama

Mahasiswa

Keterangan

1. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN KEJAHATAN ASAL TINDAK PIDANA NARKOBA STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.

1243/PID.B/2012/PN.MDN.

TANGGAL 08 OKTOBER 2012 Ditulis pada tahun 2014

- Pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam Undang- Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

- Analisa yuridis tindak pidana pencucian uang dan kejahatan asal tindak pidana kejahatan Narkoba pada Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

1243/Pid.B/2012/PN.Mdn., tanggal 08 Oktober 2012; dan

- pertimbangan Majelis Hakim pada tingkat pertama dan banding terhadap tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana kejahatan asal tindak pidana kejahatan narkoba terkait dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

1243/Pid.B/2012/PN.Mdn., tanggal 08 Oktober 2012.

ASTRI HEIZA MELLISA 127005128/HK

S2 FH USU

2. ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA NARKOBA SEBAGAI PREDICATE CRIME ON MONEY LAUNDERING Ditulis pada tahun 2010

- Penentuan Tindak Pidana Narkoba sebagai predicate crime on money laundering;

- Penanggulangan tindak pidana narkoba melalui rezim anti money laundering dengan menempatkan narkoba sebagai predicate crime on money laundering; dan

- Hambatan dan kendala dalam pembuktian predicate crime dalam penyidikan tindak pidana narkoba.

JUKIMAN SITUMORANG

087005009/HK

S2 FH-USU

3. PEMBUKTIAN TERBALIK TERHADAP PERAMPASAN ASET DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL KEJAHATAN NARKOTIKA

Ditulis pada tahun 2017

- Pelaksanaan pembuktian terbalik terhadap perampasan aset dalam perkara tindak pidana pencucian uang yang diperoleh dari kejahatan narkotika;

- Pembuktian terbalik dalam Undang- Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pada Sistem Peradilan Pidana.

ANDRI BANJAR S2 FH UNIV.

SEBELAS MARET

4. PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA NARKOBA DI SUMATERA UTARA

- Kondisi penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara dewasa ini;

- Langkah-langkah POLRI

ELIZABETH SIAHAAN 077005036/HK

S2 FH-USU

(26)

Ditulis pada tahun 2009

sebagai Penyidik dalam

menanggulangi dan mengungkapkan masalah penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara;

- Hambatan-hambatan yang ditemui para Penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba.

Sumber : Website Resmi Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Program Magister Ilmu Hukum, http://repository.usu.ac.id/., diakses pada hari Selasa, tanggal 03 April 2018.

Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa permasalahan yang diutarakan pada penelitian ini adalah berbeda dengan penelitian terdahulu. Jadi dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah berdasarkan kajian ilmu pengetahuan hukum dan asas-asas penulisan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.12 Sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.13

12 J.J.M. Wuisman, M. Hisyam (Editor), Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta:

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm. 203.

13 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung : Mandar Madju, 1994), hlm. 80.

(27)

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.14 Hal ini dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarah kepada unsur hukum.

Adapun teori hukum yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, antara lain : teori kepastian hukum dan teori pemidanaan.

a. Teori Kepastian Hukum

Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Faisal mengemukakan adanya 3 (tiga)nilai dasar (idée) dalam hukum, yaitu : keadilan,kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan menuntut agar hukumselalu mengedepankan keadilan, kemanfaatan menuntut agar hukumselalu mengedepankan manfaat, sedangkan kepastian hukum menuntutterutama adanya peraturan hukum.15

Kepastian hukum dalam artian undang-undang maupun suatuperaturan setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan pasti olehpemerintah. Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut agarhukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiappelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi hukum juga.16

14 Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 35.

15Gustav Radbruch dalam Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, (Yogyakarta : Rangkang Education, 2010), hlm. 84.

16Franz Magnis-Suseno, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1988), hlm. 79.

(28)

Dalam perspektif hukum, tema kepastian pada prinsipnyaselalu dikaitkan dengan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo menjelaskan :“Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabelterhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorangakan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaantertentu”.17

Tema kepastian hukum sendiri, secara historis, merupakantema yang muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaandinyatakan oleh Montesquieu sebagaimana dikutip E. Fernando M. Manullang, bahwa : “Dengan adanya pemisahankekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu ada di tanganpembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanyabertugas menyuarakan isi undang-undang”.18

Pendapat Montesquieu, yang ditulis dalam bukunya De l’esprit des lois(The Spirit of Laws) pada tahun 1748, merupakan reaksi terhadapkesewenang-wenangan kaum monarki, dimana kepala kerajaan amatmenentukan sistem hukum. Peradilan pada saat itu secara nyatamenjadi pelayan monarki.19

Pada tahun 1764, seorang pemikir hukum Italia, CesareBeccaria, menulis buku berjudul De deliti e delle pene, yangmenerapkan gagasan Montesquieu dalam bidang hukum pidana.Baginya, seorang dapat dihukum jika tindakan itu telah diputuskanoleh legislatif sebelumnya dan oleh sebab itu, eksekutif dapatmenindak dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggarapa yang telah

17Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hlm. 145.

18E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, (Jakarta : Kompas, 2007), hlm. 92-93.

19E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Sinar Harapan, 1989), hlm. 388.

(29)

diputuskan oleh pihak legislatif. Gagasannya inikemudian dikenal sebagai azas nullum crimen sine lege, yang padatujuannya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negaraterhadap kesewenangan negara.20

Persoalan kepastian karena selalu dikaitkan dengan hukum,memberikan konsekuensi bahwa kepastian hukum di sini selalumempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dengan negara.Sebagai sebuah nilai, kepastian hukum tidak semata-mata selaluberkaitan dengan negara, karena esensi dari kepastian hukum adalahmasalah perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan. Maka itu,aktor- aktor yang mungkin melakukan kesewenang-wenangan, tidakterbatas pada negara saja, tetapi juga oleh sekelompok pihak lain diluar negara.21

Dalam diskursus orisinalnya, pada masa Yunani kuno,perdebatan mengenai peran negara dan relasinya dengan hukum, dalammelindungi warga negara merupakan salah satu topik utamanya.22Perlindungan terhadap warga negara memangterletak pada negara, jika negara itu mengakui adanya konsepRechtstaat.

Dalam konsep ini, suatu negara dianggap menganut prinsipRechtstaat, apabila dalam penyelenggaraan negara itu dilakukanmenurut hukum, yang dituangkan dalam konstitusi.23 Apabila ada sekelompok pihak di luar negarayang mempunyai kekuasaan dan berpotensi digunakan secarasewenang-wenang, negaralah yang pertama-tama bertanggung jawabuntuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya, karena negaraadalah subjek yang mendapat perintah dari konstitusi dan

20Boot dalam E. Fernando M. Manullang, Loc.cit., hlm. 93.

21Ibid., hlm. 94.

22Frans Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 79.

23 Azhary dalam E. Fernando M. Manullang,Op.cit., hlm. 94.

(30)

hukum untukmelaksanakan kepentingan umum menurut hukum yang baik.

Denganadanya negara dan hukum (konstitusi) yang pada dasarnya merupakanperwujudan dari kehendak bersama rakyat yang berdaulat, oleh sebabitu nilai kepastian yang berkaitan dengan hukum merupakan nilai yangpada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warganegara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehinggahukum memberikan tanggung jawab kepada negara untukmenjalankannya. Di sinilah letak relasi antara persoalan kepastianhukum dengan peranan negara terlihat.24

Penggunaan UUTPPU sangat mendesak untuk efektifitas pembuktian tindak pidana narkotika. Apalagi penegak hukum di Indonesia baik itu Kepolisian ataupun Kejaksaan masih dididik, dibesarkan dan mempraktekkan paradigma lama dalam pembuktian. Penegak hukum di Indonesia masih berpegang pada paradigma follow the suspect. Maksudnya, untuk membuktikan tindak pidana narkotika, penegak hukum lebih mengandalkan kesaksian dari pelaku atau orang lain yang mengetahuinya, dimana yang paling penting adalah saksi. Tetapi pendekatan tersebut tidak cukup memadai untuk membuktikan kasus-kasus narkotika yang semakin berkembang. Para pelaku tindak pidana narkotika yang memahami instrumen pasar finansial mengerti bagaimana bank bekerja dan tahu berbagai produk investasi, akan mudah untuk menutupi jejak hasil kejahatan narkotika. Dengan mencuci uangnya, maka kejahatan yang dilakukannya tidak akan terungkap.

24Ibid., hlm. 95.

(31)

b. Teori Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif),teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif),teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence).Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.25

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding)si pelaku harus diberi penderitaan.26

Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk

25Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung : Rafika Aditama, 2009), hlm. 22.

26Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.

105.

(32)

memidana suatu kejahatan.27 Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.28 Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.29

Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu30 :

1) “Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-saranauntuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

5) Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannyatidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar”.

Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.31

27Loc.cit., hlm. 24.

28Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi Dekriminalisasi), (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 90.

29Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 12.

30Karl O. Cristiansen dalam Dwidja Priyanto, Op.cit., hlm. 26.

31Leden Marpaung, Op.cit., hlm. 106.

(33)

Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana.32

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan- tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).33

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu34 : 1) “Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuanyang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelakusaja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

4) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

5) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandungunsurpencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat”.

32Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hlm. 96-97.

33Dwidja Priyanto, Op.cit., hlm. 26.

34Ibid.

(34)

Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.35

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu36 : 1) “Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan

itu tidakboleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat;

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana”.

Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, bahwa37 :

“Pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment”.

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak

35Leden Marpaung, Op.cit., hlm. 107.

36Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta : Raja Grafindo, 2010), hlm. 162-163.

37Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hlm. 96-97.

(35)

pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya.38 Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal.

Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment)untuk rekonsialisasi pelaku.

Teori perlindungan sosial(social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan- peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.39

Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

2. Kerangka Konsep

38Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 12.

39Ibid.

(36)

Demi memudahkan pemahaman dan menghindari kesalahan penafsiran yang berbeda antara satu konsep dengan konsep lainnya maka digunakanlah kerangka konsep. Kerangka konsep berisikan tentang konsep-konsep operasional dari penelitian bukan konsep-konsep dari Undang-Undang. Namun, penggunaan Undang- Undang dimungkinkan apabila konsep sudah ada di dalamnya.40 Jadi, tidak menutup kemungkinan dalam hal penggunaan Undang-Undang untuk memberikan definisi mengenai konsep yang dikemukakan. Dikarenakan penelitian hukum adalah penelitian normatif yang bersifat kualitatif maka tidak menutup kemungkinan dalam hal penggunaan semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan dengan judul dan permasalahan (isu hukum) yang sedang diteliti.41 Dalam menentukan konsep harus berurutan sesuai dengan judul dan rumusan masalah. Adapun konsep dimaksud dalam penelitian ini, antara lain :

a. Perampasan adalah proses, cara, perbuatan merampas, perebutan, penyamunan, dan penyitaan.42 Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, mendefinisikan perampasan adalah upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau

40 Perumusan konsep diserahkan kepada kebutuhan penelitian, yang dapat diperoleh dari semua sumber hukum yang dimiliki. Perumusan konsep dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman inti dan dasar pijakan pada istilah yang akan dipergunakan dalam penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum jadi konsep operasional berasal dari Undang-Undang. Sumber : Dian Puji N. Simatupang, “Penyusunan Proposal Penelitian”, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 27 Februari 2008), hlm. 16.

Lihat juga : Topo Santoso, “Penelitian Proposal Penelitian Hukum Normatif”, Pelatihan Penelitian Hukum, (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 25 April 2005), hlm. 23, mengatakan bahwa : “Kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkret daripada kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak kadangkala diperlukan definisi operasional. Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional dapat diambil dari peraturan perundang- undangan”.

41Alvi Syahrin, “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm. 3.

42Alwi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hlm. 54.

(37)

keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya, berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia atau negara asing. Berdasarkan Pasal 368 ayat (1) KUHP mengatur mengenai perampasan, menyebutkan bahwa :

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.

b. Aset adalah kebendaan sebagaimana dimaksud Pasal 499 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi benda bertubuh dan tak bertubuh. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, aset disamakan dengan harta kekayaan, yaitu semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak lansung. Dalam RUU Perampasan Aset, aset adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis.43

43Ramelan, dkk., “Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana”, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2012, hlm.

167.

(38)

c. Perampasan Aset adalah sebagaimana dimaksud RUU Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.44

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya ia menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu : melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya diancam dengan pidana.45 e. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,

membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya, atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyumbangkan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.46

44Ibid., hlm. 168.

45Mulyatno dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Pustaka, 2004), hlm. 84.

46 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Referensi

Dokumen terkait

Guntara, M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Informatika dan Komputer AKAKOM Yogyakarta dan selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan Skripsi ini. Tri

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 43 perusahaan pada sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara berturut- turut

Terkait dengan dihapusnya jabatan Kayim dan selanjutnya ditempatkannya di tempat tugas baru sebagai staf pada urusan dan seksi yang ada serta kekosongan karena purna

Berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perkotaan pada Maret 2017 adalah sebesar 19,52 persen yang berarti ada

2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru. Memahami pengetahuan

Basis data adalah suatu kumpulan data terhubung yang disimpan bersama-sama pada suatu media, tidak perlu suatu kerangkapan data dengan cara tertentu sehingga mudah untuk digunakan

Untuk mencegah pelanggaran fishing ground , tulisan ini mencermati bahwa tindakan yang dapat dilakukan selain melakukan patroli oleh para penegak hukum adalah melibatkan

Secara subyektif, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar khususnya Badan Pelayanan Perizinan