• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsep

2. Kerangka Konsep

demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal.

Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment)untuk rekonsialisasi pelaku.

Teori perlindungan sosial(social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.39

Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

2. Kerangka Konsep

38Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 12.

39Ibid.

Demi memudahkan pemahaman dan menghindari kesalahan penafsiran yang berbeda antara satu konsep dengan konsep lainnya maka digunakanlah kerangka konsep. Kerangka konsep berisikan tentang konsep-konsep operasional dari penelitian bukan konsep-konsep dari Undang. Namun, penggunaan Undang-Undang dimungkinkan apabila konsep sudah ada di dalamnya.40 Jadi, tidak menutup kemungkinan dalam hal penggunaan Undang-Undang untuk memberikan definisi mengenai konsep yang dikemukakan. Dikarenakan penelitian hukum adalah penelitian normatif yang bersifat kualitatif maka tidak menutup kemungkinan dalam hal penggunaan semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan dengan judul dan permasalahan (isu hukum) yang sedang diteliti.41 Dalam menentukan konsep harus berurutan sesuai dengan judul dan rumusan masalah. Adapun konsep dimaksud dalam penelitian ini, antara lain :

a. Perampasan adalah proses, cara, perbuatan merampas, perebutan, penyamunan, dan penyitaan.42 Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, mendefinisikan perampasan adalah upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau

40 Perumusan konsep diserahkan kepada kebutuhan penelitian, yang dapat diperoleh dari semua sumber hukum yang dimiliki. Perumusan konsep dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman inti dan dasar pijakan pada istilah yang akan dipergunakan dalam penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum jadi konsep operasional berasal dari Undang-Undang. Sumber : Dian Puji N. Simatupang, “Penyusunan Proposal Penelitian”, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 27 Februari 2008), hlm. 16.

Lihat juga : Topo Santoso, “Penelitian Proposal Penelitian Hukum Normatif”, Pelatihan Penelitian Hukum, (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 25 April 2005), hlm. 23, mengatakan bahwa : “Kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkret daripada kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak kadangkala diperlukan definisi operasional. Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional dapat diambil dari peraturan perundang-undangan”.

41Alvi Syahrin, “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm. 3.

42Alwi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hlm. 54.

keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya, berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia atau negara asing. Berdasarkan Pasal 368 ayat (1) KUHP mengatur mengenai perampasan, menyebutkan bahwa :

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.

b. Aset adalah kebendaan sebagaimana dimaksud Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi benda bertubuh dan tak bertubuh. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, aset disamakan dengan harta kekayaan, yaitu semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak lansung. Dalam RUU Perampasan Aset, aset adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis.43

43Ramelan, dkk., “Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana”, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2012, hlm.

167.

c. Perampasan Aset adalah sebagaimana dimaksud RUU Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.44

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya ia menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu : melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya diancam dengan pidana.45 e. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,

membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya, atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyumbangkan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.46

44Ibid., hlm. 168.

45Mulyatno dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Pustaka, 2004), hlm. 84.

46 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

f. Tindak Pidana Pencucian Uang adalah sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 3 s.d. Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

g. Tindak Pidana Narkotika adalah sebagaimana diatur dalam Bab XV Pasal 111 s.d. Pasal 148 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam UU Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, jika narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan di luar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.47

h. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Jo. Pasal 195Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab 195Undang-Undang-undang Hukum Acara Pidana, bahwa : “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”.

47G. Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2001).

Adapun jenis-jenis putusan yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana yang dapat dijatuhkan oleh majelis hakim, yaitu :

1) Putusan Bebas, dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, bahwa :

“Putusan bebas terjadi bila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa;

2) Putusan Lepas, dalam hal ini berarti berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP, bahwa :

“Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu tindak pidana (onslagh)”;

3) Putusan Pemidanaan, dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.