• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

E. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Narkotika Yang Dihukum

Hukum tindak pidana narkotika termasuk dalam kategori yang bermotifkan

“economic gain” atau menghasilkan keuntungan ekonomi, terlebih dilakukan oleh korporasi atau organisasi kriminal atau sindikat. Dapat dipastikan akan bersinergi dengan tindak pidana pencucian uang untuk mengaburkan hasil kejahatan tersebut.

Diperlukan koordinasi antar lembaga penegakan hukum dalam menangani permufakatan jahat dalam tindak pidana narkoba dengan tindak pidana pencucian uang karena memang hasil tindak pidana narkotika sangat menjanjikan keuntungan yang sangat besar.104

Untuk itu, perlunya sinergitas penegak hukum antara penyidik BNN, Polri bekerja sama dengan PPATK serta perbankan untuk menelusuri transaksi keuangan yang dilakukan oleh pelaku baik individu maupun korporasi dengan menggunakan pendekatan “follow the money”. Dari penelusuran dan hasil analisis dari PPATK, maka akan diketahui aliran dana atau transfer dan siapa pelakunya apakah individu atau korporasi. Jika pelakunya korporasi, maka perlu diteliti lagi siapa yang bertanggung jawab apakah pengurus korporasi, pengendali atau orang yang melaksanakan perintah untuk dan atas nama yang berbasis kepentingan korporasi atau

“corporate liability”.

Penyidikan kekayaan tersebut, perlu dikembangkan jika hasilnya signifikan, harus ditelusuri kemana saja transaksi keuangannya dengan minta laporan hasil harta kekayaan anak beserta istrinya seperti dalam Pasal 97 dan Pasal 98 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Atau adakah kemungkinan bahwa hasil

104Djoko Sarwoko dalam Harian Republika, “Antara Narkotika dan Pencucian Uang”, diterbitkan Sabtu, 23 November 2013.

kejahatan narkotika tersebut dipergunakan untuk mendanai kegiatan terorisme. Hal ini perlu dicermati karena kemungkinan bersar hasil kejahatannya dipergunakan untuk membantu kegiatan teror, terutama jika pelaku adalah korporasi, bandar narkotika, sindikat, atau organisasi kriminal.

Dalam penanganan kejahatan narkoba dan TPPU, proses hukum tersebut terbentur undang-undang yang belum mengatur kasus tersebut secara satu atap, yakni terpisah antara Undang-Undang No. 35 Tahun 2009tentang Narkotika dan Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak Pencucian Pencucian Uang.

Dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus narkoba dapat disusun dalam bentuk subsidaritas karena undang-undang yang ada masih berbenturan terkait kewenangan penyidik untuk menangani kedua kasus yang berbeda namun berkaitan tersebut.

Dalam Pasal 137 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 mengatur tentang minimum khusus, sedangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tidak mengatur hal itu. Sebetulnya Pasal 137 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara substansial mengandung unsur-unsur yang serupa dengan unsur-unsur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak Pencucian Pencucian Uang. Oleh karena itu, dakwaan TPPU dapat disusun dalam bentuk subsidaritas dakwaan pencucian uang dahulu karena BNN memperoleh menyidik TPPU berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, kemudian subsidairnya Pasal 137 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Sehingga Penyidik BNN tetap dapat melakukan penyidikan TPPU yang diduga

melanggar Pasal 137 huruf a dan b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Dari aspek sejarah, mengapa pembentuk undang-undang mencantumkan Pasal 137 pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, dikarenakan untuk mengantisipasi seandainya Pasal 74 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tidak mengatur kewenangan penyidik tindak pidana asal (BNN) melakukan penyidikan TPPU.105

Meskipun termasuk dalam TPPU, hasil kejahatan narkotika yang dikaburkan melalu pencucian uang, sasaran subjeknya tidak seluas yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010.Rumusan delik Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 dikatakan lebih luas sasaran subjeknya karena mengandung frasa 'yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), terdapat 26 jenis tindak pidana termasuk narkotika.

Pasal 137 huruf b Undang-Undang No.35 Tahun 2009 yang telah diadopsi dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 berisi ancaman pidana yang lebih berat, yakni penjara paling lama 20 tahun dengan denda paling banyak Rp. 5 miliar dan jika denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama satu tahun empat bulan.Lebih berat jika dibandingkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang tunduk pada Pasal 30 ayat (6) KUHP yang mengatur pidana kurungan pengganti tidak boleh dari delapan bulan.

Dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pihak yang berwenang melakukan penyidikan atas pencucian uang adalah PPATK. Lalu, dalam hal ini, PPATK telah memberikan hasil laporannya kepada

105Ibid.

Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sumatera Utara, sehingga akhirnya BNN melimpahkan perkara tersebut ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk disidangkan.

Tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk tindak kejahatan dengan motif ekonomi. Tujuan utama para pelaku tindak pidana narkotika adalah memperoleh keuntungan finansial yang besar dari hasil perdagangan gelap narkoba.

Meski harus bertaruh nyawa, pelaku tidak ciut nyali memperdagangkan narkoba ilegal. Kondisi itu dapat dimaklumi mengingat jumlah uang yang berputar dalam perdagangan gelap narkoba di Indonesia sangat besar. Bahkan, menurut perkiraan Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlahnya lebih dari Rp. 43 triliun per tahun atau sekitar Rp. 3,5 triliun per bulan.106

Besarnya jumlah uang yang berputar dalam perdagangan gelap narkoba sangat logis karena jumlah populasi penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta dan sangat potensial sebagai pangsa pasar narkoba. Terdapat lebih dari 4 juta penduduk Indonesia yang menjadi penyalahguna narkoba dan notabene sebagai konsumen tetap.

Selain itu, harga narkoba di pasaran Indonesia sangat tinggi. Harga jual sabu di pasaran Indonesia mencapai Rp. 1,7 miliar sampai Rp. 2,1 miliar per kilogram, sementara harga pembelian sabu dari Iran hanya berkisar Rp. 100 juta per kilogram.

Besarnya jumlah pasar dan margin keuntungan perdagangan narkoba ilegal itulah

106Harian Media Indonesia, “Miftahul Khoir : Urgensi Regulasi Perampasan Aset Bandar Narkoba”, diterbitkan pada hari Sabtu, tanggal 27 Juni 2015.

yang menyebabkan jaringan narkoba nasional dan internasional berbondong-bondong berebut pasar narkoba ilegal di Indonesia.107

Berdasarkan hasil pengungkapan kasus tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika oleh BNN pada 2013, nilai aset bandar narkoba yang disita adalah sebesar Rp. 49,46 miliar dan pada 2014 terjadi peningkatan, yakni sebesar Rp.

77,5 miliar. Nilai aset bandar narkoba terbesar yang dapat disita BNN antara lain aset milik Faisal dengan total aset senilai Rp. 29,9 miliar, aset milik kakak beradik Edi dan Murtadi senilai Rp. 15 miliar, dan aset milik Pony Tjandra senilai Rp. 20,4 miliar. Berdasarkan hasil penyidikan, para bandar narkoba pada umumnya menyembunyikan aset hasil tindak kejahatan mereka ke berbagai bentuk, seperti properti (rumah, ruko, tanah), barang mewah (mobil, perhiasan), polis asuransi, deposito, dan saham perusahaan.108

Mekanisme perampasan asset hasil tindak pidana narkotika dilakukan setelah pelaku tindak pidana narkotika divonis bersalah dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (crime based forfeiture). Hal ini sesuai dengan Pasal 71 UU Narkotika. Tindak pidana narkotika adalah salah satu dari extraordinary crime yang membutuhkan langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum yang progresif untuk memberantas tindak pidana ini. Langkah penegakan hukum progresif dalam memberantas tindak pidana narkotika salah satunya dengan perampasan aset hasil tindak pidana. Omzet dari bisnis illegal narkotika sangat besar dan menjadi

107Ibid.

108Ibid.

faktor penarik dari pelaku baik perorangan atau organisasi kriminal dalam hal ini korporasi untuk terjun dalam bisnis illegal ini.109

Sampai saat ini belum ada undang-undang perampasan aset, namun telah ada RUU Perampasan Aset, yang menyatakan bahwa : “Perampasan adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya”. Aset Tindak Pidana adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis, yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana. Mekanisme perampasan aset tindak pidana juga dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tidak hanya berhubungan dengan kejahatan narkotika, tetapi juga yang menangani kasus korupsi, pencucian uang, penggelapan pajak, dan kejahatan perbankan.110

Dalam Penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dijelaskan bahwa dalam konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Di sini dapat dilihat bahwa dalam perampasan, benda atau hak atas kebendaan sudah beralih kepada negara, dimana dalam penyitaan peralihan atas benda atau hak atas benda belum sepenuhnya terjadi.111

109Riza Alifianto Kurniawan, Op.cit., hlm. 8.

110Ibid.

111Paku Utama, Memahami Asset Recovery & Gatekeeper, (Jakarta : Indonesia legal Roundtable, 2013), hlm. 102-103.

Secara teoritis, perampasan dan penyitaan aset tindak pidanadilandaskan pada pandangan bahwa,tidak seseorangpun berhak memilikikekayaan yang tidak patut dimilikinya.Pandangan ini tercermin dari beberapaistilah, “Crime shouldn’t pay;

unjustenrichment atau illicit enrichment; Noone benefit from his own wrong doing”.Teori yang melandasi pandangan inidisebut, “rational shoice theory”.112

UU TPPU menurut Romli Atmasasmitamenganut prosedur perampasan danpenyitaan berdasarkan hukum pidana(ciminal forfeiture) dan diikuti denganpembalikan beban pembuktiansebagaimana dicantumkan dalam Pasal77 UU TPPU sebagai berikut: “Untukkepentingan pemeriksaan di sidangpengasilan, terdakwa wajib membuktikanbahwa Harta Kekayaannya bukanmerupakan hasil tindak pidana”.113

Berdasarkan ketentuan tersebut,penegakan hukumdalam perkara tindakpidana pencucian uang telah menganutasas pembalikan beban pembuktianterbalik bagi seseorang dalam statussebagai terdakwa dimuka sidangpengadilan.Pelaksanaan pembuktian terbalikuntuk merampas aset tindak pidanadengan model keperdataan diatur dalamPasal 78 UU TPPU

Mungkin pelaksanaan pembuktianterbalik sebagaimana diatur dalam Pasal77 dan Pasal 78 UU TPPU, tidak jauh berbedadengan praktik pembuktian terbalik yangdilaksanakan di Amerika Serikat. SebagaimanaMahkamah Agung Amerika Serikat,dalam perkara United States vsBajakajian menegaskan penuntutharus membuktikan adanya probable cause yang merupakan bukti kuat bahwaaset yang

112Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana (Buku I), (Jakarta : Fikahati Aneska, 2013), hlm. 58.

113Ibid., hlm. 63.

diperoleh merupakan hasilkejahatan; jika pembuktian tersebutberhasil dilaksanakan, maka giliranpemilik harta kekayaan diduga berasaldari kejahatan harus membuktikansebaliknya.114 Selain itu, pembuktianterbalik atas harta kekayaan tidakditujukan untuk membuktikan“kesalahan” terdakwa melainkan untukmembuktikan “keabsahan hakkepemilikan” terdakwa.115 Jadi,mekanisme pembuktian terbalik padapasal-pasal diatas, tidak membuktikankesalahan terdakwa namun membuktikanharta kepemilikan terdakwa bersumberdari kegiatan yang legal atau yang ilegal.116

Sistem pembuktian yang diterapkan penegak hukum terkait dengan perampasan aset hasil tindak pidana narkotika dengan menggunakan instrumen tindak pidana pencucian uang masih mempraktekkan pembuktian lama. Penegak hukum masih berpegang pada paradigma follow the suspect. Maksudnya untuk membuktikan suatu tindak pidana, penegak hukum bertolak dari keterangan saksi-saksi, bukan dengan menerapkan pembuktian terbalik. Sistem pembuktian yang diterapkan adalah pembuktian negatif, akan tetapi peraturan perundang-undangan khususnya UU TPPU telah membuka peluang agar pembuktian dapat menggunakan sistem pembuktian secara positif. Pembuktian secara positif menggunakan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang. Dalam UU TPPU telah diatur alat-alat bukti yang sah terdapat pada Pasal 73 Jo. Pasal 1 angka 16.117

114Ibid., hlm. 60.

115Ibid., hlm. 63.

116Halif, Op.cit., hlm. 12.

117Pasal 73 UU TPPU, bahwa ; “Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, yaitu : Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa;Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen”. Pasal 1 Angka 16 UU TPPU, menetapkan bahwa

BAB III

KEDUDUKAN ALAT BUKTI TERDAKWA DALAM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PERSIDANGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

Untuk membahas kedudukan alat bukti yang diajukan terdakwa dalam pembuktian terbalik pada persidangan dalam perkara TPPU dalam kaitannya dengan barang bukti yang tidak terkait dengan tindak pidana akan diuraikan pada bagian ini.

Sebelum menguraikan hal tersebut, sebaiknya mengetahui pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia terlebih dahulu.

A. Sistem Pembuktian Peradilan Pidana di Indonesia

Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menganut sistem Campuran yang meletakan kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan mengatur hubungan antar subsistem peradilan. Hal demikian juga dapat dilihat dari penyelenggaraan peradilan pidana secara normatif dapat digambarkan sebagai berikut118 :

1. “Tahap Penyelidikan.

2. Tahap Penyidikan.

3. Tahap Penuntutan.

4. Tahap Pemeriksaan disidang peradilan

: “Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya”.

118Tolib Effendi, “Re-Evaluasi Sistem Penuntutan Dalam KUHAP”, Jurnal Media Hukum Vol. 19, No. 1, Juni 2012, hlm. 111.

5. Tahap upaya Hukum.

6. Pelaksanaan Putusan Pengadilan”.

Tahapan proses tersebut di atas, merupakan suatu proses yang saling berkaitan antara tahap yang satu dengan tahap selanjutnya. Berawal dari tahap penyidikan (termasuk di dalamnya penyelidikan) berlanjut pada tahap penuntutan, kemudian pemeriksaan terdakwa dalam persidangan pengadilan, pelaksanaan putusan hakim sampai pada tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan ketika terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan.119

Proses-proses dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) tersebut dapat dikatakan sebagai subsistem-subsistem dalam sistem peradilan pidana, karena proses-proses tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain dalam rangkaian SPP untuk menuju pada satu tujuan yang sama, yaitu penegakan hukum. Aturan-aturan umum dalam menjalankan proses-proses tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebutan KUHAP untuk Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana bukan tanpa alasan. Sebutan “Kitab” tidak ditujukan pada undang-undangnya melainkan ditujukan pada sifat kodifikasinya. Di dalam KUHAP secara lengkap meliputi pengertian keseluruhan acara pidana dari tingkat penyidikan sampai pelaksanaan putusan hakim, bahkan sampai peninjauan kembali (herziening).120

119Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung : Mandar Maju,2003), hlm. 2.

120Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), hlm. 173.

Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT), Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi penegak hukum memiliki hubungan yang erat. Keempat institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini. Mengingat, dalam penegakan hukum faktor penghambat sangat banyak, termasuk faktor-faktor sosial, ekonomi dan sebagainya, tetapi justru faktor terpenting penghambat penegakan hukum itu ada di dalam sistem hukum itu sendiri.

Dalam hal penanganan perkara tindak pidana umum, maka tahap penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Penyidik Polri. Kewenangan ini diberikan berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sub-sistem kekuasaan penyidikan merupakan tahapan yang sangat menentukan atau dapat dikatakan sebagai “pintu gerbang” dalam proses peradilan pidana. Diperlukan suatu kebijakan perundang-undangan yang benar-benar dapat menunjang dan mengefektifkan bekerjanya sub-sistem kekuasaan penyidikan sesuai dengan konsepsi sistem peradilan pidana yang dianut Indonesia sebagai konsekuensi adanya diferensiasi fungsional dan instansional dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Indonesia berdasarkan KUHAP. KUHAP merupakan dasar hukum dari pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.121

Pada tahap penuntutan, kewenangannya berada di tangan Kejaksaan RI berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

121Setiyo, dkk., “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyidikan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Varia Justicia Vol. 10 No. 2, Oktober 2014, hlm. 15.

RI.122 Penuntutan merupakan bagian dari proses Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia. Untuk sampai pada tahap penuntutan, maka suatu perkara harus melalui proses penyidikan terlebih dahulu. Sebagai suatu kesatuan proses dalam sistem peradilan pidana, maka tiap-tiap proses tersebut harus berjalan saling berhubungan satu dengan yang lain secara harmonis dan sinkron. Tidak tumpang tindah atau saling bertentangan antara satu kewenangan lembaga dalam tingkat proses pemeriksaan dengan kewenangan lembaga lainnya dalam tingkat pemeriksaan yang lain.123

Setelah dibuatkan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, selanjutnya berkas perkara beserta barang buktinya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk disidangkan. Persidangan perkara pidana dimulai dari : pembacaan dakwaan, eksepsi (jika ada), tanggapan penuntut umum (jika ada), putusan sela (jika ada), pembuktian (saksi-saksi dan barang bukti ditunjukkan/dihadirkan), penuntutan, pembelaan, replik (jika ada), duplik (jika ada), dan putusan.124

Di Indonesia, kriminalisasi pencucian uang dilakukan sudah cukup lama. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat dari upaya penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang n No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian

122Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa : “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang ini”.

123Tolib Effendi, Op.cit., hlm. 115.

124 Website Resmi Suria Nataadmadja & Associates, “Suria Nataadmadja : “Process and Procedure of Criminal Court Litigation”, http://www.surialaw.com/news/proses-dan-tahapan-persidangan-perkara-pidana., diakses pada hari Sabtu, tanggal 07 Juli 2018.

diubah pula dengan undang-undang yang baru yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut “UUTPPU”).

Ketentuan mengenai pembuktian dalam UUTPPU telah diatur ketentuan khusus mengenai ketentuan pembuktian yang dilakukan pada saat pemeriksaan di persidangan. Ketentuan pembuktian tersebut diatur dalam UUTPPU diatur dalam Pasal 77 dan 78 yakni mengenai ketentuan pembuktian terbalik.

Ketentuan pembuktian terbalik yang diatur dalam pasal 77 UUTPPU, menyatakan sebagai berikut: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 78 UUTPPU sebagai berikut:

1. “Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

2. Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup”.

Dari ketentuan diatas, upaya untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan pelaku menjadi lebih mudah. Kemudahan itu disebabkan karena beban pembuktian dalam persidangan ada pada terdakwa. Hal inilah yang menjadi alasan bahwa dengan pembuktian terbalik akan memberikan efektivitas dalam membuktikan bahwa terdakwa bersalah atau tidak.

Menurut R. Soesilo, mengenai sistem atau teori pembuktian ada 4 (Empat) macam, yaitu :

1. “Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Yang Positif;

Menurut sistem ini, maka salah atau tidaknya sejumlah alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang. Menurut peraturan ini pekerjaan hakim semata-mata hanya mencocokkan apakah sejumlah bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang sudah ada, bila sudah ia tidak perlu menanyakan isi hatinya (yakin atau tidak), tersangka harus dinyatakan salah dan jatuhi hukuman.Dalam sistem ini keyakinan hakim tidak turut mengambil bagian sama sekali, melainkan undang-undanglah ,yang berkuasa disini.

2. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Yang Negatif;

Menurut sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman, apabila sedikit-dikitnya jumlah alat bukti yang telah ditentukan adalah undang-undang ada, ditambah dengan keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa, maka ,harus diputus bebas. Dalam sistem ini bukan undang-undang yang berkuasa melainkan hakim, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh undang-undang.

3. Sistem Pembuktian Bebas;

Menurut sistem ini, Undang-undang tidak menentukan peraturan seperti sistem spembuktian yang harus ditaati oleh hakim, Sistem ini menganggap atau mengakui juga adanya alat-alat bukti tertentu, akan tetapi alat-alat bukti ini tidak ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif dan sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Dalam menentukan macam-macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa, hakim mempunyai keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk menetapkan itu. Adapun peraturan yang mengikat kepadanya adalah bahwa dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasannya.

4. Sistem Pembuktian Melulu Berdasarkan Atas Keyakinan Belaka.

Menurut sistem ini hakim tidak terikat kepada alat-alat bukti yang tertentu, ia memutuskan, kesalahan terdakwa melulu berdasarkan atas keyakinannya.Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan yang penuh dengan tidak dikontrol sama sekali.Tentunya selalu ada alasan berdasar pikiran secara logika, yang mengakibatkan seorang hakim mempunyai pendapat tentang terbukti atau tidak dari suatu keadaan. Soalnya adalah bahwa dalam sistem ini hakim tidak diwajibkan menyebut alasan-alasan itu dan apabila hakim menyebutkan alat-alat bukti yang ia pakai, maka