• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : KEDUDUKAN ALAT BUKTI TERDAKWA DALAM PEMBUKTIAN

D. Kedudukan Alat Bukti Yang Diajukan Terdakwa Dalam Pembuktian

Uang Dalam Kaitannya Dengan Barang Bukti Yang Tidak Terkait Dengan Tindak Pidana

Pembuktian adalah suatu proses kegiatanuntuk membuktikan sesuatu atau menyatakankebenaran tentang suatu peristiwa. Di dalamKUHAP kewajiban pembuktian dibebankansepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum,hal ini sesuai dengan ketentuan KUHAPBab VI Pasal 66 dan ketentuan pembuktianyang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagianke-4 (Pasal 183 s.d. Pasal232 KUHAP), sehingga status hukum ataukedudukan asas pembuktian terbalik di dalamsistem hukum acara pidana di Indonesia(KUHAP) tidak diatur. Sesuai dengan Pasal66 dan 183 KUHAP, maka jelaslah bahwakedudukan asas pembuktian terbalik tidakdianut dalam sistem hukum acara pidanapada umumnya (KUHAP), melainkan yangsering diterapkan dalam proses pembuktiandalam peradilan pidana yaitu teori jalantengah yakni gabungan dari teori berdasarkanundang-undang dan teori berdasarkankeyakinan hakim.158

Sehingga sudah jelas KUHAP tidakmengatur sistem pembuktian terbalik dimanapelaku dianggap bersalah atau asas pradugabersalah(presumption of guilt),

157Ibid., hlm. 64.

158Ibid., hlm. 64.

secarakonkrit perkembangan hukum pidanadewasa ini KUHAP dalam kenyataannya sudah bukan lagi suatu kodifikasi hukum atau kompilasi hukum acara pidana Indonesia tapisebuah aturan kitab yang hanya memuatsebagian besar saja hukum acara pidanaIndonesia dan faedahnya bersifat normahukum yang mengatur secara umum(lexgeneralis). Sedangkan, pengaturan diluarKUHAP yang salah satunya pembuktianterbalik diatur undang-undang khusustersendiri misalnya UU Narkotika danUU TTPU yang salah satu pembuktiannya mengatur pembuktian terbalik yang berada diluarkelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana yang universal.159

Pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesiadimulai pada tahun 1988 ketika United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances dengan meratifikasi Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.Kemudian kriminalisasi dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotikadalam hal TTPU dan pembuktian terbalikharta kekayaan hasil tindak pidana, termasukjuga dengan Konvensi Anti Korupsi 2003yang telah diratifikasi oleh pemerintahIndonesia melalui Undang-Undang No.7 tahun 2006tentang Pengesahan United NationsConvention Against Corruption2003,telah memuat ketentuan mengenai sistempembalikan beban pembuktian yaitu dalamPasal 31 ayat (8) dalam konteks prosespembekuan (freezing), perampasan(seizure)dan penyitaan (confiscation).160

159Ibid., hlm. 64-65.

160Ibid., hlm. 65.

Pendapat ahli hukum pidana Indriyanto Seno Ajitentang pembuktian terbalik, yakni161 :

“Hanyasaja dalam “certain cases”(kasus-kasustertentu) diperkenankan penerapan denganmekanisme yang diferensial, yaitu sistempembalikan beban pembuktian atau dikenal dengan “Reversal of Burden Proof”(Omkeringva Bewjislast) itupun tidak dilakukan secaraoverall, tetapi memiliki batas-batas yangseminimal mungkin tidak melakukan suatudesktruksi terhadap perlindungan danpenghargaan Hak Asasi Manusia, khususnyaHak Tersangka atau Terdakwa”.

Pembuktian terbalik yang dibebankankepada tersangka atau terdakwa menimbulkananggapan dan persepsi merupakanpenyimpangan dari asas praduga tak bersalahdan terjadinya pelanggaran Hak AsasiManusia.Penyimpangan tersebut dikarenakan adanya proses perpindahanbeban pembuktian dalam KUHAP yakniyang secara umum merupakan kewajiban Jaksa Penuntut Umum namun dibebankan kepadapelaku tindak pidana yang mewajibkan untuk membuktikanasal-usul kekayaannya bukan dari tindakpidana.Artinya beban pembuktian terbaliktersebut dalam penerapannya dibatasi padatindak pidana tertentu saja dan berkenaandengan harta kekayaan yang pembuktiannyadilakukan tahap persidangan.Walaupun dalamprakteknya pembuktian kesalahan dan proseshukum di sidang pengadilan tetap kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya.Dengan kata lain, proses pembuktian di sidangpengadilan pembuktiannya bersifat tidakmurni yakni terbatas dan berimbang.162

Penerapan pembuktian terbalik yangberimbang bertujuan untuk menghindaripenyalahgunaan wewenang dalam proseshukum, contohnya hal ini dapat

161 Indriyanto Seno Aji dalam Andri Banjar, Op.cit., hlm. 65.

162Andri Banjar, Op.cit., hlm. 65.

dilihat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana penerapanpembuktian terbalik hanya diberlakukan pada delik gratifikasi suap sesuai Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.163Sedangkan, tindakpidana narkotika dan tindak pidana pencucianuang untuk penerapan pembuktian terbalikberlaku pada pembuktian asal-usul hartakekayaan yang dianggap dari hasil tindakpidana sebagaimana diatur Pasal 77 UU TPPU dan Pasal 98 Undang-Undang No. 35Tahun 2009 tentang Narkotika.164

Dikaitkan dengan penerapan pembuktianterbalik, maka hakim memiliki kewenanganyang absolut yang diberikan undang-undangkhususnya UU TTPU denganmemerintahkan terdakwa mewajibkanmembuktikan seluruh harta kekayaannyabukan berasal hasil tindak pidana.Hal ini merupakan perintah undang-undangsehingga perlu peran aktif hakim menjalankankewenangannya dalam pelaksanaanpembuktian terbalik dalam rangka merampasaset harta kekayaan yang berasal dari tindakpidana.

Berdasarkan keseluruhan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa,terdapat 2 (dua) track konsep pembuktianterbalik tindak pidana pencucian

163Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa : “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) : b. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.

164Loc.cit., hlm. 65.

uangdalam penanggulangan kasus Narkotika dariperspektif hukum acara pidana.

Pertama adalah persidangan terhadap permohonanpenanganan Harta Kekayaan Dalam TindakPidana Pencucian Uang dilakukan penyidikberdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian PermohonanPenanganan Harta Kekayaan Dalam TindakPidana Pencucian Uang Atau Tindak PidanaLain. Kedua, konsep pembuktian terbaliktindak pidana pencucian uang dalampenanggulangan kasus Narkotika dariperspektif hukum acara pidana didasarkanPasal 77 UU TPPU dan Pasal 98Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentangNarkotika Jo. Peraturan Pemerintah RI No.40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU Narkotika pada Pasal 44pengurusan hasil tindak pidana narkotika.165

Pengajuan bukti-bukti dan saksi-saksi yang meringankan (a de charge) di depan persidangan oleh terdakwa/penasihat hukumnya dibenarkan dalam berbagai perkara tindak pidana. Sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku umum terhadap proses persidangan di muka hakim, setelah Jaksa Penuntut Umum selesai membuktikan dakwaannya.166 Menurut M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa ditinjau dari segi hukum acara pidana, penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.167

165Ibid., hlm. 65-66.

166Lihat : Pasal 66 KUHAP, bahwa : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan asas praduga tidak bersalah.

167M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm.

274.

Dalam hal adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kemudian pada terdakwa.168 Menurut pendapat Paul C. Gianelli dalam bukunya “Understanding Evidence”, menyatakan bahwa beban pembuktian dialokasikan atas dasar 3P, yaitu : policy, possession of evidence, dan probabilities (kebijakan, penguasaan bukti, dan probabilitias. Keyakinan hakim (convenience) terkadang ditambahkan sebagai faktor keempat.169

“Possession of evidence(penguasaan bukti) merujuk kepada lebih besarnya akses salah satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh pembelaan-pembelaan yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti self-defense (bela diri) dan insanity (ketidakwarasan).Dalam kedua situasi tersebut, terdakwa adalah dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke depan dengan alat bukti oleh karena akses superiornya untuk membuktikan, contohnya penguasaan barang bukti.

Probabilities(Probabilitas) yang artinya suatu estimasi kasar mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di dunia ini, sebagai contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak gila”. Sebagai tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari alokasi beban pembuktian”.170

Jadi, pada dasarnya, pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi pada diri Penuntut Umum, akan tetapi kepada terdakwa/penasihat hukumnya. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana yang didakwakan penuntut umum dan karenanya wajib memberikan keterangan mengenai seluruh harta bendanya, harta benda isterinya atau suaminya, anak-anaknya, dan harta benda setiap

168Pasal 35 UU TPPU, bahwa : “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana”.

169 Paul C. Giannelli, Understanding Evidence, (Atlanta : Marsal of Barnett & Alagia, 2003), hlm. 43.

170 Hukumonline.com, “Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt513ff99d6eedf/tentang-sistem-pembalikan-beban-pembuktian., diakses pada hari Kamis, tanggal 26 Juli 2018.

orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Penuntut Umum pun tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Adapun kedudukan bukti-bukti dan saksi-saksi yang meringankan (a de charge) di depan persidangan oleh terdakwa/penasihat hukumnya untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukanlah berasal dari tindak pidana narkotika adalah sama dengan kedudukan bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan oleh penuntut umum. Permasalahannya hanya tinggal hakim-lah yang memilih berdasarkan keyakinannya apakah hakim menggunakan pembuktian yang diajukan penuntut umum, atau apakah hakim menggunakan pembuktian yang diajukan oleh terdakwa/penasihat hukumnya.

BAB IV

UPAYA HUKUM YANG DITEMPUH DALAM MENGAJUKAN TUNTUTAN HUKUM TERHADAP HARTA KEKAYAAN YANG DIRAMPAS UNTUK NEGARA BUKAN BERASAL DARI TINDAK PIDANA DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG RI NO. 669K/PID.SUS/2017

Perampasan aset hasil tindak pidana dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur dalam Pasal 101.171Sedangkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebut pengembalian harta kekayaan. Mekanisme perampasan aset ini adalah salah satu upaya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika melalui penelusuran, penyitaan dan perampasan hasil dari tindak pidana ini.

DalamPutusan Mahkamah Agung RI No. 669K/PID.SUS/2017, hakim telah menyita harta kekayaan terdakwa yang bukan berasal dari tindak pidana asal (predicate crime) narkotika. Hakim dalam memutus perkara tersebut sudah tidak memperhatikan lagi kaidah-kaidah dasar dalam membebankan pertanggung-jawaban kepada para pihak, melainkan melompatkepada siapa saja yang berada di dekat tindak

171 Barang bukti dalam tindak pidana sering diputuskan di pengadilan untuk dirampas, tetapi ada hal yang berbeda di dalam tindak pidana narkotika. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 101 dinyatakan sebagai berikut : (1) Narkotika,PrekursorNarkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara. (2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.(3)Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:a.pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; danb.upaya rehabilitasi medis dan sosial.(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

pidana atau pembuatnya tersebut. Dalam persoalan ini, pidana tidak lagi dijatuhkan kepada terdakwa yang notabene sedang diadili perbuatannya, tetapi kepada pihak lain yang kebetulan “berada pada tempat yang salah dan waktu yang salah”.

Terlihat mulai ditinggalkannya prinsip pertanggungjawaban individual dalam hukum pidana tergambar dalam perkara ini. Suka atau tidak suka, tindak pidana narkotika kecenderungannya sekarang semakin terorganisir, sehingga sulit mengkaitkan satu pelaku dengan pelaku yang lain. Seandainya pun dapat dikaitkan biasanya pada hasil-hasil tindak pidananya. Akibatnya, jika hal tersebut tidak dapat dikonstruksi sebagai bentuk penyertaan, ataupun tidak pula dapat dipidanakan dengan mengikuti hasil-hasil kejahatannya (follow the money),172 terutama dengan TPPU, maka penjatuhan pidana yang membabibuta telah dilakukan hanya karena mengejar target pengembalian kerugian keuangan negara tanpa memperhatikan hak-hak pihak ketiga atau pihak-pihak lain yang tidak pernah turut melakukan tindak pidana.173

A. Kasus Posisi Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.

669K/Pid.Sus/2017 1. Kronologis Kasus

Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017 An. “G.P”, pertama kali disidangkan di Pengadilan Negeri Tebingtinggi karena hasil pengembangan

172Menurut Yunus Husein, menyatakan : “Penegakan hukum sudah seharusnya diarahkan kepada konsep follow the money menggantikan konsep follow the suspect dengan cara meneliti aliran dana dari hilir ke hulu untuk kemudian dilakukan penyitaan/perampasan terhadap harta kekayaan/aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana tersebut”. Sumber : Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm. 250.

173Nanda Sahputra Umara, “Pemisahan Pertanggungjawaban Perampasan Barang Dalam Penguasaan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik Dalam Putusan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Hukum Novelty Vol. 8 No. 2, Agustus 2017, hlm. 234-235.

pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) Jakarta terkait dengan jaringan narkotika di wilayah Republik Indonesia.

Pada mulanya keterkaitan “G.P” merupakan hasil pengembangan dari kerjasama dengan pihak PPATK serta jajaran Dirjen. Lapas Cipinang, Nusakambangan dan Lapas Medaeng Sidoarjo diketahui “G.P” telah melakukan TPPU sebesar Rp. 17 miliar dari hasil penjualan narkoba dan pil ekstasi. Sehingga, pihak BNN langsung melakukan pengejaran terhadap “G.P” ke Kota Tebingtinggi.

Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada beberapa rekening bank atas nama orang lain, “G.P” memiliki harta benda dari hasil penjualan Narkotika Golongan 1, jenis sabu-sabu dan pil ekstasi. “G.P” memiliki jaringan dengan bandar narkoba lainnya, seperti “P.C” (saat ini berada di Lapas Cipinang dengan vonis 20 tahun penjara dengan kasus narkoba dan 6 tahun kasus TPPU). Dengan memiliki rekening dari berbagai bank dengan modus memalsukan data pribadi, sehingga “G.P” telah melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.174

Pada tahun 2000 s.d. 2010, “G.P” pernah dihukum pidana penjara karena memiliki keterkaitan dengan jaringan peredaran gelap narkoba dan pernah divonis di Pengadilan Negeri Kota Tebingtinggi. “G.P” diketahui memiliki jaringan narkoba dengan beberapa narapidana lainnya, seperti “P.C”, “S” (narapidana Lapas Medaeng Sidoarjo dengan vonis seumur hidup kasus narkoba dan 5 tahun kasus TPPU), “A.M alias S” (napi Lapas Nusakambangan dengan vonis 20 tahun penjara), “B alias S.B.T

174Harian Analisa, “Kasus Pencucian Uang Hasil Narkoba”, diterbitkan pada hari Jumat, tanggal 23 September 2016.

alias D” WN Nepal (narapidana Nusakambangan dengan vonis 20 tahun penjara).

Saat tertangkap BNN, “G.P” mengakui bahwa TPPU merupakan hasil dari mengedarkan narkoba dan pil ekstasi.175

Dari hasil penjualan sabu dan ekstasi, “G.P” membuka usaha penggilingan padi dan jual beli beras serta alat angkut truck dan tronton. Dalam melakukan transaksi keuangan, “G.P” menggunakan rekening dengan identitas palsu atas nama

“Y.D”, “J.W” dan beberapa rekening atas nama orang lain.Seluruh barang bukti disita BNN di gudang milik terdakwa di Desa Sei Buluh, Kecamatan Sei Bamban, Kabupaten Serdang Bedagei (Sergei). Barang yang disita berupa, 1 (satu) unit usaha penggilingan padi, 1 (satu) bidang tanah di Tebingtinggi, 12 (dua belas) unit truk, 1 (satu) unit Mitsubishi Strada, 1 (satu) unit Toyota Avanza, 1 (satu) unit Mitsubishi L 300, 2 (dua) unit forklift, 2 (dua) unit truck tronton, perhiasan (cincin, gelang, kalung), uang asing berupa ringgit, dan uang dalam rekening bank sejumlah Rp. 9,5 miliar.176

2. Dakwaan

Berdasarkan Surat Dakwaan No. Reg. Perk : PDM-62/Euh.1/Tbing/03/2016 An. Tersangka “G.P” yang disusun secara kombinasi alternatif subsidiaritas, maka dakwaan Tersangka “G.P”, sebagai berikut :

a. Dakwaan Kesatu Primair

“Bahwa terdakwa “G.P” dalam kurun waktu tahun 2000sampai dengan tahun 2014 atau setidak–tidaknya pada tahun 2000 sampai

175Ibid.

176Ibid.

dengan tahun 2014 bertempat di Bank Central Asia (BCA)Cabang Tebing Tinggi, Bank BNI Cabang Tebing Tinggi dan Bank BRI Cabang Tebing Tinggiatau setidak-tidaknya masuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tebing Tinggiberwenang mengadili perkara tindak pidana,menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan, atau menyamarkan,meng-investasikan,menyimpan, menghibahkan, mewariskan dan / atau mentransfer uang, harta dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotikadan/atau tindak pidana Prekusor Narkotika, sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 137 huruf (a) UU RI Nomor 35 Cabang Tebing Tinggi atau setidak-tidaknya masuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tebing Tinggiberwenang mengadili perkara tindak pidana,menerimapenempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketauinya berasal dari tindak pidana Narkotikadan/atau tindak pidana Prekusor Narkotika, sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 137 huruf (b) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”.

c. Dakwaan Kedua Primair

“Bahwa terdakwa “G.P” dalam kurun waktu tahun 2000sampai dengan tahun 2014 atau setidak–tidaknya pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 bertempat di Bank Central Asia (BCA)Cabang Tebing Tinggi, Bank BNI Cabang Tebing Tinggi dan Bank BRI Cabang Tebing Tinggi atau setidak-tidaknya masuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tebing Tinggiberwenang mengadili perkara tindak pidana,telah menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU RI

Nomor 8 Tahun 2010 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”.

d. Dakwaan Kedua Subsidair

“Bahwa terdakwa “G.P” dalam kurun waktu tahun 2000sampai dengan tahun 2014 atau setidak–tidaknya pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 bertempat di Bank Central Asia (BCA)Cabang Tebing Tinggi, Bank BNI Cabang Tebing Tinggi dan Bank BRI Cabang Tebing Tinggi atau setidak-tidaknya masuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tebing Tinggiberwenang mengadili perkara tindak pidana,telah menyembunyikan atau menyamarkan asal, usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 8 Tahun 2010, sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 4 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”.

3. Tuntutan

Adapun tuntutan Jaksa Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri Tebingtinggi terhadap terdakwa “G.P”, adalah dakwaan kedua primair, yaitu Pasal 3 UU TPPU dengan tuntutan pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun ditambah denda sebesar Rp. 2 miliar.177

4. Putusan

Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri Tebingtinggi terhadap terdakwa “G.P”, majelis hakim Pengadilan Negeri

177Harian Medan Bisnis, “Bandar Narkoba Surabaya Dituntut 17 Tahun”, diterbitkan pada hari Kamis, tanggal 15 September 2016.

Tebingtinggi menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 8 (delapan) tahun penjara.178

Akhirnya Mahkamah Agung RI melalui Putusan Mahkamah Agung RI No.

669K/PID.SUS/2017 telah menyita harta kekayaan terdakwa yang bukan berasal dari tindak pidana asal (predicate crime) narkotika. Selain itu, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) subsidair 1 (satu) tahun kurungan penjara.

B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 259/Pid.Sus/2016/PN.Tbt., tertanggal 22 September 2016 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017

Pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Tebingtinggi No.

259/Pid.Sus/2016/PN.Tbt., tertanggal 22 September 2016, yang dilakukan majelis hakim adalah terhadap Dakwaan Alternatif Kedua Primair yaitu Pasal 3 UU TPPU.

Adapun unsur-unsur pokok (bestandellen van het delict) Pasal 3 UU TPPU, sebagai berikut :

1. Unsur telah menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan;

2. Unsur yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU;

3. Unsur dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

178Harian Analisa, “Kasus Pencucian Uang Hasil Narkoba”, Op.cit.

Berkaitan dengan unsur-unsur tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi telah memberikan pertimbangan hukumnya sebagai berikut :

1. Unsur Telah Menempatkan, Mentransfer, Mengalihkan, Membelanjakan, Membayarkan, Menghibahkan, Menitipkan, Membawa Keluar Negeri, Mengubah Bentuk, Menukarkan Dengan Mata Uang Atau Surat Berharga Atau Perbuatan Lain Atas Harta Kekayaan

Adapun pertimbangan hukum majelis hakim terhadap unsur ke-1 dalam Pasal 3 UU TPPU adalah “Telah Menempatkan, Mentransfer, Mengalihkan, Membelanjakan, Membayarkan, Menghibahkan, Menitipkan, Membawa Keluar Negeri, Mengubah Bentuk, Menukarkan Dengan Mata Uang Atau Surat Berharga Atau Perbuatan Lain Atas Harta Kekayaan”, sebagai berikut179 :

“Menimbang, bahwa memperhatikan unsur tindak pidana tersebut di atas, dimana terdapat beberapa materi perbuatan yang dilarang, sedangkan diantara materi perbuatan a quo telah terdapat tanda baca koma dan frasa kata

“atau”, sehingga menurut hemat Majelis masing-masing perbuatan yang dilarang a quo adalah bersifat dilarang in casu tidak harus dibuktikannya seluruh sub unsur tindak pidana dan dengan terbuktinya salah satu sub unsur tindak pidana, maka terhadap sub unsur lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi terhadap unsur tindak pidana ini dipandang telah terbukti menurut hukum;

Menimbang, bahwa di dalam UU TPPU tidak dijelaskan tentang maksud/batasan pengertian dari materi perbuatan yang merupakan sub unsur dari unsur-unsur pokok ketentuan Pasal 3 UU TPPU, selain disebut dalam Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

Menimbang, bahwa di dalam UU TPPU tidak dijelaskan tentang maksud/batasan pengertian dari materi perbuatan yang merupakan sub unsur dari unsur-unsur pokok ketentuan Pasal 3 UU TPPU, selain disebut dalam Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang