BAB III : KEDUDUKAN ALAT BUKTI TERDAKWA DALAM PEMBUKTIAN
A. Sistem Pembuktian Peradilan Pidana di Indonesia
Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menganut sistem Campuran yang meletakan kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan mengatur hubungan antar subsistem peradilan. Hal demikian juga dapat dilihat dari penyelenggaraan peradilan pidana secara normatif dapat digambarkan sebagai berikut118 :
1. “Tahap Penyelidikan.
2. Tahap Penyidikan.
3. Tahap Penuntutan.
4. Tahap Pemeriksaan disidang peradilan
: “Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya”.
118Tolib Effendi, “Re-Evaluasi Sistem Penuntutan Dalam KUHAP”, Jurnal Media Hukum Vol. 19, No. 1, Juni 2012, hlm. 111.
5. Tahap upaya Hukum.
6. Pelaksanaan Putusan Pengadilan”.
Tahapan proses tersebut di atas, merupakan suatu proses yang saling berkaitan antara tahap yang satu dengan tahap selanjutnya. Berawal dari tahap penyidikan (termasuk di dalamnya penyelidikan) berlanjut pada tahap penuntutan, kemudian pemeriksaan terdakwa dalam persidangan pengadilan, pelaksanaan putusan hakim sampai pada tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan ketika terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan.119
Proses-proses dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) tersebut dapat dikatakan sebagai subsistem-subsistem dalam sistem peradilan pidana, karena proses-proses tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain dalam rangkaian SPP untuk menuju pada satu tujuan yang sama, yaitu penegakan hukum. Aturan-aturan umum dalam menjalankan proses-proses tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebutan KUHAP untuk Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana bukan tanpa alasan. Sebutan “Kitab” tidak ditujukan pada undang-undangnya melainkan ditujukan pada sifat kodifikasinya. Di dalam KUHAP secara lengkap meliputi pengertian keseluruhan acara pidana dari tingkat penyidikan sampai pelaksanaan putusan hakim, bahkan sampai peninjauan kembali (herziening).120
119Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung : Mandar Maju,2003), hlm. 2.
120Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), hlm. 173.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT), Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi penegak hukum memiliki hubungan yang erat. Keempat institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini. Mengingat, dalam penegakan hukum faktor penghambat sangat banyak, termasuk faktor-faktor sosial, ekonomi dan sebagainya, tetapi justru faktor terpenting penghambat penegakan hukum itu ada di dalam sistem hukum itu sendiri.
Dalam hal penanganan perkara tindak pidana umum, maka tahap penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Penyidik Polri. Kewenangan ini diberikan berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sub-sistem kekuasaan penyidikan merupakan tahapan yang sangat menentukan atau dapat dikatakan sebagai “pintu gerbang” dalam proses peradilan pidana. Diperlukan suatu kebijakan perundang-undangan yang benar-benar dapat menunjang dan mengefektifkan bekerjanya sub-sistem kekuasaan penyidikan sesuai dengan konsepsi sistem peradilan pidana yang dianut Indonesia sebagai konsekuensi adanya diferensiasi fungsional dan instansional dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Indonesia berdasarkan KUHAP. KUHAP merupakan dasar hukum dari pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.121
Pada tahap penuntutan, kewenangannya berada di tangan Kejaksaan RI berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
121Setiyo, dkk., “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyidikan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Varia Justicia Vol. 10 No. 2, Oktober 2014, hlm. 15.
RI.122 Penuntutan merupakan bagian dari proses Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia. Untuk sampai pada tahap penuntutan, maka suatu perkara harus melalui proses penyidikan terlebih dahulu. Sebagai suatu kesatuan proses dalam sistem peradilan pidana, maka tiap-tiap proses tersebut harus berjalan saling berhubungan satu dengan yang lain secara harmonis dan sinkron. Tidak tumpang tindah atau saling bertentangan antara satu kewenangan lembaga dalam tingkat proses pemeriksaan dengan kewenangan lembaga lainnya dalam tingkat pemeriksaan yang lain.123
Setelah dibuatkan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, selanjutnya berkas perkara beserta barang buktinya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk disidangkan. Persidangan perkara pidana dimulai dari : pembacaan dakwaan, eksepsi (jika ada), tanggapan penuntut umum (jika ada), putusan sela (jika ada), pembuktian (saksi-saksi dan barang bukti ditunjukkan/dihadirkan), penuntutan, pembelaan, replik (jika ada), duplik (jika ada), dan putusan.124
Di Indonesia, kriminalisasi pencucian uang dilakukan sudah cukup lama. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat dari upaya penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang n No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian
122Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa : “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang ini”.
123Tolib Effendi, Op.cit., hlm. 115.
124 Website Resmi Suria Nataadmadja & Associates, “Suria Nataadmadja : “Process and Procedure of Criminal Court Litigation”, http://www.surialaw.com/news/proses-dan-tahapan-persidangan-perkara-pidana., diakses pada hari Sabtu, tanggal 07 Juli 2018.
diubah pula dengan undang-undang yang baru yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut “UUTPPU”).
Ketentuan mengenai pembuktian dalam UUTPPU telah diatur ketentuan khusus mengenai ketentuan pembuktian yang dilakukan pada saat pemeriksaan di persidangan. Ketentuan pembuktian tersebut diatur dalam UUTPPU diatur dalam Pasal 77 dan 78 yakni mengenai ketentuan pembuktian terbalik.
Ketentuan pembuktian terbalik yang diatur dalam pasal 77 UUTPPU, menyatakan sebagai berikut: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 78 UUTPPU sebagai berikut:
1. “Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
2. Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup”.
Dari ketentuan diatas, upaya untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan pelaku menjadi lebih mudah. Kemudahan itu disebabkan karena beban pembuktian dalam persidangan ada pada terdakwa. Hal inilah yang menjadi alasan bahwa dengan pembuktian terbalik akan memberikan efektivitas dalam membuktikan bahwa terdakwa bersalah atau tidak.
Menurut R. Soesilo, mengenai sistem atau teori pembuktian ada 4 (Empat) macam, yaitu :
1. “Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Yang Positif;
Menurut sistem ini, maka salah atau tidaknya sejumlah alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang. Menurut peraturan ini pekerjaan hakim semata-mata hanya mencocokkan apakah sejumlah bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang sudah ada, bila sudah ia tidak perlu menanyakan isi hatinya (yakin atau tidak), tersangka harus dinyatakan salah dan jatuhi hukuman.Dalam sistem ini keyakinan hakim tidak turut mengambil bagian sama sekali, melainkan undang-undanglah ,yang berkuasa disini.
2. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Yang Negatif;
Menurut sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman, apabila sedikit-dikitnya jumlah alat bukti yang telah ditentukan adalah undang-undang ada, ditambah dengan keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa, maka ,harus diputus bebas. Dalam sistem ini bukan undang-undang yang berkuasa melainkan hakim, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh undang-undang.
3. Sistem Pembuktian Bebas;
Menurut sistem ini, Undang-undang tidak menentukan peraturan seperti sistem spembuktian yang harus ditaati oleh hakim, Sistem ini menganggap atau mengakui juga adanya alat-alat bukti tertentu, akan tetapi alat-alat bukti ini tidak ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif dan sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Dalam menentukan macam-macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa, hakim mempunyai keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk menetapkan itu. Adapun peraturan yang mengikat kepadanya adalah bahwa dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasannya.
4. Sistem Pembuktian Melulu Berdasarkan Atas Keyakinan Belaka.
Menurut sistem ini hakim tidak terikat kepada alat-alat bukti yang tertentu, ia memutuskan, kesalahan terdakwa melulu berdasarkan atas keyakinannya.Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan yang penuh dengan tidak dikontrol sama sekali.Tentunya selalu ada alasan berdasar pikiran secara logika, yang mengakibatkan seorang hakim mempunyai pendapat tentang terbukti atau tidak dari suatu keadaan. Soalnya adalah bahwa dalam sistem ini hakim tidak diwajibkan menyebut alasan-alasan itu dan apabila hakim menyebutkan alat-alat bukti yang ia pakai, maka
hakim dapat memakai alat bukti apa saja.Keberadaan sistem ini ialah bahwa terkandung didalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketetapan kesan-kesan perorangan belaka dari seorang hakim.
Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti in adalah sukar untuk dilakukan, oleh .karena badan pengawas tidak dapat tahu pertimbangan-pertimbangan hakim, yang mengalirkan pendapat hakim kearah putusan”.125
Menurut Andi Hamzah, proses pembuktian ada 4 (empat) sistem pembuktian, yaitu126 :
1. “Pembuktian berdasarkan keyakinan belaka (conviction in time). Bersalah atau tidaknya, terdakwa menurut teori pembuktian ini semata-mata ditentukan oleh keyakinan hakim. Keyakinan tersebut diambil dan disimpulkan oleh hakim berdasarkan pada alat-alat bukti yang diberikan di persidangan atau hanya dengan mendengarkan keterangan terdakwa;
2. Pembuktian menurut keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee). Keyakinan dalam teori pembuktian ini memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, namun keyakinan hakim tersebut harus berdasarkan pada alasan-alasan yang dapat diterima akal dan logis;
3. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk).
Teori pembuktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, yang artinya adalah untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidaknya dengan melihat pada alat-alat bukti yang sah yang telah ditentukan dalam undang-undang;
4. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk).
Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan gabungan dan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan teori pembuktian dengan keyakinan belaka”.
Selanjutnya, ada 3 (tiga) cara untuk merumuskan tindak pidana yang terkandung dalam perundang-undangan, antara lain127 :
1. “Menentukan unsur. Rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP, khususnya buku ke-2, adalah mengandung maksud agar diketahui dengan jelas bentuk perbuatan tindak pidana yang dilarang. Untuk mengetahui
125R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 1985), hlm. 6-8.
126 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed. Revisi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hlm. 247-253.
127Ibid.
maksud rumusan tersebut, perlu menentukan unsur-unsur atau syarat-syarat yang terdapat dalam rumusan tindak pidana itu;
2. Menurut ilmu pengetahuan dan praktek peradilan. Apabila rumusan pasal tindak pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan;
3. Menentukan kualifikasi. Untuk merumuskan tindak pidana, selain dengan menentukan unsur-unsur tindak pidana yang dilarang, juga ditentukan kualifikasi dari tindak pidana tersebut”.
Masih menurut Andi Hamzah, selaku ahli hukum pidana, mengemukakan bahwa sistem atau teori pembuktian mencakup 3 (tiga) hal, yaitu128 :
1. “Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positief Wettelijk Bewijs Theorie). Pembuktian yang didasarkan melalui kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positief Wettelijk Bewijs Theorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan pada undang-undang. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian keras, dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat;
2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction Intime/Cinviction Raisonnee). Teori ini disebut juga conviction intime.
Disadari bahwa alat berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri.
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, mengemukakan :
“Sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. Sistem ini member kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau
128Ibid., hlm. 45.
penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat mempidana terdakwa berdasarkan keyakinan bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee)”;
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinan, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktikan jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, yang disebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan logis. Kedua, adalah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif;
Persamaan antara keduanya adalah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya adalah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yan gmana yang ia akan pergunakan;
3. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettlejik Bewijs Theorie). Herzien Indlasch Reglement (HIR) maupun KUHAP, begitu pula Ned. Sv., yang lama dan yang baru, semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif. Pasal 183 KUHAP, mengatur bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal 185 ayat (2) KUHAP mengatakan bahwa :
“Keterangan seorang saksi saja tidaklah cukup untuk menganggap kesalahan terdakwa telah terbukti”. Ini disebut bukti minimum. Penjelasan Pasal 183 KUHAP, menyatakan bahwa : “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang”. Berdasarkan undang-undang pengakuan terhadap teori pembuktian hanya berlaku untuk keuntungan terdakwa, tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya orang yang tidak bersalah hanya dapat kadang-kadang memaksa dibebaskannya orang bersalah”.
Ilmu hukum pembuktian mengenal 3 (tiga) macam tingkatan pembuktian, yaitu129 :
1. “Tingkat keterbuktian yang paling lemah. Tingkat lebih besar kemungkinan keterbuktian (proponderance of evidence), biasanya diterapkan dalam kasus perdata;
2. Tingkat keterbuktian yang agak kuat yang “jelas dan meyakinkan” (clear and convincing evidence), biasanya diterapkan dalam kasus perdata dan pidana;
3. Tingkat keterbuktian yang sangat kuat, sama sekali tanpa keraguan (beyond reasonable doubt), biasanya diterapkan hanya dalam kasus pidana”.
Setelah membahas teori-teori pembuktian dalam hukum acara pidana, maka timbulah pertanyaan bahwa sistem apakah yang sekarang ini dipakai di Indonesia?
Pasal 183 KUHAP, ditentukan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, maka hukum acara pidana di Indonesia memakai sistem pembuktian menurut undang-undang negatif. Oleh karena itu, sistem pembuktian yang dianut adalah sistem pembuktian “negatief wettelijk stelsel”.
Sistem pembuktian negatief wettelijk stelsel ini harus :
1. Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”;
2. Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.
129 Dedy Muchti Nugroho, “Eksistensi Alat Bukti Elektronik Dalam Sistem Hukum Pembuktian di Indonesia dari Perspektif Hakim”, Jurnal Ilmu Hukum QISTIE, Vol. 8, No. 1, 01 Mei 2015, hlm. 10-11.
Mengenai hukum pembuktian berkenaan dengan penanganan kejahatan pencucian uang, UUTPPU mengatur jenis dan kekuatan alat bukti lebih luas daripada rumusan yang terdapat dalam KUHAP. Dalam UUTPPU disamping alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, juga ditambah dengan alat bukti lain sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 73 UUTPPU, bahwa alat bukti yang sah dalam pembuktian TPPU ialah:
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, yaitu : a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa;
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen. Pasal 1 Angka 16 UU TPPU, menetapkan bahwa Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Penggunaan UUTPPU sangat mendesak untuk efektifitas pembuktian tindak pidana narkotika. Apalagi penegak hukum di Indonesia baik itu Kepolisian ataupun Kejaksaan masih dididik, dibesarkan dan mempraktekkan paradigma lama dalam pembuktian. Penegak hukum di Indonesia masih berpegang pada paradigma follow the suspect. Maksudnya, untuk membuktikan tindak pidana narkotika, penegak hukum lebih mengandalkan kesaksian dari pelaku atau orang lain yang mengetahuinya, dimana yang paling penting adalah saksi. Tetapi pendekatan tersebut tidak cukup memadai untuk membuktikan kasus-kasus narkotika yang semakin berkembang. Para pelaku tindak pidana narkotika yang memahami instrumen pasar finansial mengerti bagaimana bank bekerja dan tahu berbagai produk investasi, akan mudah untuk menutupi jejak hasil kejahatan narkotika. Dengan mencuci uangnya, maka kejahatan yang dilakukannya tidak akan terungkap.
Pembuktian terbalik yang diajukan oleh terdakwa/penasihat hukumnya dalam perkara tindak pidana pencucian uang yang asal kejahatannya tindak pidana narkotika diajukan pada saat agenda persidangan pembuktian. Agenda persidangan dengan acara pembuktian terbagi 2 (dua), yaitu : pembuktian oleh penuntut umum untuk
membuktian dakwaannya,130 dan pembuktian oleh terdakwa/penasihat hukumnya untuk membuktikan dirinya tidak bersalah.131
Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh Hakim, maka sampailah Hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan Putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi. Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut :
1. “Putusan Bebas (Vrijspraak), adalah Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim yang berupa pembebasan Terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam Dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap Terdakwa di persidangan, ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan, tidak ditemukannya adanya bukti-bukti yang cukup yang menyatakan bahwa Terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka kepada Terdakwa haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaiman dalam Dakwaan Penuntut Umum, sehingga oleh karena itu terhadap Terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan.132
2. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag van Alle Recht Vervolging), dijatuhkan oleh Hakim apabila dalam persidangan ternyata Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam Dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap Terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.133
3. Putusan Pemidanaan, dalam hal Terdakwa telah terbukti secara sah dan
3. Putusan Pemidanaan, dalam hal Terdakwa telah terbukti secara sah dan