• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan Narkotika di Indonesia telah lama menjadi hambatan dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia. Dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dapat mengancam kelangsungan hidup, masa depan bangsa dan negara. Tanpa membedakan strata sosial, ekonomi, usia maupun tingkat pendidikan. Hal ini telah mengundang perhatian Pemerintah RI dengan membuat aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut “UU Narkotika”).

Pengenaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut “UU TPPU”) untuk pelaku tindak pidana Narkotika sangat berguna dan tepat.Rezim Hukum Anti Money Laundering (Anti Money Laundering Legal Regime) lahir dari upaya Internasional dalam penanganan masalah Narkotika dan sejenisnya tertuang dalam United Nations Conventions Against Illict Traffic In Narcotics Drugs and Psychtropic Substances 1988 atau yang disebut Konvensi Wina, yang menyatakan bahwa pengejaran pelaku narkotika secara khusus juga menyentuh hasil kejahatan dari perdagangan Narkotika.1 Dengan penanganan perkara secara tuntas adanya dua kejahatan, yaitu kejahatan asal (predicate crime) dan kejahatan pencucian uang

1Yenti Ganarsih, “Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan Dalam Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal)”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 3, No. 4, 2006, hlm. 132.

seharusnya dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.2 Konvensi tersebut menegaskan pentingnya merampas aset hasil tindak pidana narkotika, dalam rangka memberantas kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Padahal, untuk lebih menguatkan keberhasilan pencegahan dan pemberantasan Narkotika bukan hanya menerapkan UU Narkotika tetapi menyandingkannya dengan UU TPPU. Rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya menangkap pelakunya, tetapi lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan.3 Logika dari memfokuskan pada hasil kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang apalagi pelaku dihalang-halangi untuk menikmati hasil kejahatannya.

Kejahatan peredaran gelap narkoba sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses pencucian uang. Sejarah perkembangan tipologi pencucian uang menunjukkan bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan

2Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money Laundering! Mengenal, Mencegah & Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta : Visi Media, 2012), hlm. v.

3Materi muatan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain : a) Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang; b) Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;

c) Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif; d) Pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa; e) Perluasan pihak pelapor; f) Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya; g) Penataan mengenai pengawasan kepatuhan; h) Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi; i) Perluasan kewenangan direktorat jenderal bea dan cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean; j) Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang; k) Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK; l) Penataan kembali kelembagaan PPATK; m) Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi; n) Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan o) Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Sumber : Supriyadi Widodo Eddyono dan Yonatan Iskandar Chandra, Mengurai Implementasi dan Tantangan Anti Pencucian Uang di Indonesia, Cet. Ke-1, (Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Oktober 2015), hlm. 11-12.

dan kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian uang. Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah. Selanjutnya, uang hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru.4

Pada umumnya tindak pidana pencucian uang dilakukan dalam bidang perbankan. Adapun bentuknya yaitu pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Kegiatan pencucian uang hampir selalu melibatkan perbankan karena adanya globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran terutama yang bersifat elektronik (electronic funds transfer), dana hasil kejahatan yang pada umumnya dalam jumlah besar akan mengalir atau bahkan bergerak melampaui batas negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan.5

Pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran aset atau harta kekayaan untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk Negara

4Yunus Husein, “Hubungan Antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba dan Tindak Pidana Pencucian Uang”, Makalah yang disampaikan dalam Forthy-Seventh Session of The Comisión on Narcotic Drugs, Wina, 2004, hlm. 1.

5M. Zainul Hafizi, “Makalah Etika Bisnis Penegakan Hukum Terhadap Pencucian Uang di Indonesia”, (Jakarta : Universitas Indraprasta PGRI, 2011). Lihat juga : definisi Rahasia Bank dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyatakan bahwa :

“Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya”.

atau dikembalikan kepada yang berhak.6 Dalam konsep anti pencucian uang, apabila harta kekayaan yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya akan dapat menurunkan tingkat kriminalitas.7

Mengingat bahwa kejahatan pencucian uang tidak semata timbul dari kejahatan asal narkotika saja, tetapi tindak pidana lain juga, maka Pasal 2 ayat (1) UU TPPU, menetapkan :

“Jenis tindak pidana asal diantaranya korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan,di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih”.

Perampasan aset mengalami perkembangan sehingga sampai saat ini terdapat tiga jenis model perampasan aset.8Pertama, perampasan aset secara pidana (in personam forfeiture) merupakan perampasan terhadap aset yang dikaitkan dengan pemidanaan seseorang terpidana. Kedua, perampasan aset secara perdata (in rem forfeiture) merupakan perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya pemidanaan;

dan Ketiga, perampasan aset secara administratif merupakan upaya perampasan yang dilakukan badan sifat federal untuk merampas suatu properti tanpa adanya campur tangan pengadilan.9

6Risalah Persidangan Perkara No. 77/PUU-XII/2014, tertanggal 28 Oktober 2014, hlm. 4-5.

7Loc.cit., hlm. 51.

8Paku Utama, Memahami Asset Recovery & Gatekeeper, (Jakarta : Indonesia Legal Roundtable, 2013), hlm. 60.

9Halif, “Model Perampasan Aset Terhadap Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang”, Jurnal Rectens, Vol. 5, No. 2, Desember 2016, hlm. 7.

Tindak pidana pencucian uang merupakan proses harta kekayaan hasil dari tindak pidana untuk disembunyikan atau disamarkan baik melalui sistem keuangan maupun melalui sistem non-keuangan yang akhirnya seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Tindak pidana ini mengandung dua tindak pidana, pertama, tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perdagangan narkotika dan tindak pidana lain yang ancaman pidananya 4 (empat) tahun atau lebih, tindak pidana ini diistilahkan dalam tindak pidana pencucian uang dengan “tindak pidana asal”. Kedua, tindak pidana pencucian uang itu sendiri, harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana asal diproses untuk disembunyikan atau disamarkan (dicuci) sehingga nantinya seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Perpaduan dua tindak pidana ini menghasilkan harta kekayaan yang ilegal dan dapat merugikan masyarakat secara luas dan negara.10

Proses penanganan perkara dimulai pada tahap penyelidikan dan penyidikan.

Pada asasnya, melalui visi KUHAP dibedakan secara limitatif antara “Penyelidik dan Penyidik atau Opsporing/Interrogation”. Menurut ketentuan Bab I Pasal 1 angka 5 KUHAP bahwa : “Penyelidikanmerupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Menurut pedoman pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa penyelidikan yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.

10Ibid., hlm. 4.

Penegakan hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung pada bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga mencakup peace maintenance (penegakan secara damai). Pihak yang termasuk kalangan penegak hukum meliputi bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.

Dalam praktik perampasan aset tindak pidana melalui instrumen UU TPPU, telah terjadi perampasan aset yang sama sekali asetnya tersebut tidak ada kaitannya dengan tindak pidana asal dan telah dibuktikan pula oleh terdakwa. Hal mana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/PID.SUS/2017 telah menyita harta kekayaan terdakwa yang bukan berasal dari tindak pidana asal (predicate crime) narkotika. Selain itu, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) subsidair 1 (satu) tahun kurungan penjara. Adapun aset-aset yang disita terdiri dari benda bergerak berupa truk dan benda tidak bergerak berupa pabrik pengolahan sampah. Seluruh aset-aset milik terdakwa tersebut dinyatakan dirampas untuk negara.11 Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana upaya hukum yang harus ditempuh terdakwa dalam mempertahankan aset-asetnya yang bukan berasal dari tindak pidana.

Adapun hal yang menarik untuk dikaji dan dianalisis adalah mengenai model perampasan aset hasil tindak pidana narkotika, apakah dengan cara pidana, perdata atau administratif. Selanjutnya, mengenai upaya hukum yang ditempuh terpidana

11Petikan Putusan Mahkamah Agung RI No. 669 K/Pid.Sus/2017, tertanggal 15 Juni 2017 An.

Gunawan Prasetio.

untuk mengajukan upaya hukum apabila terdapat harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana narkotika sementara putusan pengadilan menyatakan harta kekayaan tersebut dirampas untuk negara.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang perampasan aset dari tindak pidana pencucian uang yang “predicate crime”-nyamerupakan tindak pidana narkotika, maka penelitian berjudul : “Perampasan Aset Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Tidak Berasal Dari Hasil Tindak Pidana Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 669K/Pid.Sus/2017”, layak untuk dikaji lebih lanjut.