• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN (Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN (Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS

DI KABUPATEN PESAWARAN

(Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK) Oleh

MUHAMMAD REYNALDY F.

Setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara baik secara minimal maupun maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga Hakim akan menerapkan hukuman untuk setiap pelaku tindak pidana korupsi yang berbeda antara satu pelaku tindak pidana korupsi dengan pelaku lainnya, tidak menimbulkan adanya perbedaan pemidanaan (disparitas) terhadap pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan berbeda pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran Studi dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK? (2) Apakah disparitas pidana dalam dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK telah memenuhi unsur keadilan subtantif?

Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

(2)

Muhammad Reynaldy F.

baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, sehingga tidak menciderai rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi di masa yang akan datang diharapkan untuk lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. (2) Pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintah daerah hendaknya dioptimalkan dengan cara mentaati semua prosedur dan ketentuan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

(3)

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS

DI KABUPATEN PESAWARAN

(Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK)

Oleh

Muhammad Reynaldy F

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 3

oktober 1993, sebagai anak pertama dari dua bersaudara,

pasangan Bapak Hi. Achmadul Falach Caropeboka dan

Hj. Sumarlina.

Penulis menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Kartini Bandar

Lampung pada tahun 1999. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Rawa Laut Bandar

Lampung diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di

SMP Negeri 1 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008. Sekolah

Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011.

Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Lampung dan mengambil minat Hukum Pidana. Penulis terdaftar

menjadi anggota HIMA PIDANA. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN)

(8)

PERSEMBAHAN

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dengan kasih

sayang-Nya yang tiada tertandingi sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan

tepat pada waktunya

Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang terkasih yang saya

sayangi dan saya hormati dalam hidup saya

Terimakasih kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan

kesehatan, keselamatan, serta limpahan berkah, rahmat dan segala kecerdasan

kepada saya

Teruntuk papa dan mama tercinta

A Falach Caropeboka

dan

“S

umarlina

,

anugerah Allah yang paling tulus yang diberikan kepada saya karena telah

memiliki orang tua yang senantiasa mencintai, menyayangi, dan senantiasa

mendoakan dalam setiap sujudnya kepada Sang Pencipta, memberikan segala

pengorbanan dan kebaikannya, semoga Allah SWT senantiasa merahmati dan

memberkahi serta selalu memberi limpahan kesehatan kepada Ayah dan Mama.

Amin

Teruntuk Kakak yang

ku banggakan “

Adriyadi

, “

dan Adikku

tersayang

Lolita F Caropeboka

” yang selalu

(9)

Teruntuk seseorang yang telah menemani di kala aku tersenyum bahagian dan

selalu di sisiku di kala aku sedih karena duka, semoga kita bisa bersama

menggapai impian dan menuju kebahagiaan bersama.

Untuk seluruh ibu dan bapak dosenku di Fakultas Hukum Universitas

Lampung , terutama untuk dosen Pembimbing Akademik Bu Siti Azizah, S.H

dosen Pembimbing I Diah Gustiniati, S.H., M.H dan dosen Pembimbing II

Firganefi, S.H., M.H terimakasih atas segala ilmu, bimbingan, pelajaran serta

waktu yang diluangkan

demi terselesaikannya Skripsi ini.

Untuk Almamater Universitas Lampung yang telah menjadi jalan untuk

tempatku melangkah menuju masa depan

Dan untuk semua yang menjadi bagian hidupku, yang tak mampu kusebutkan

satu persatu. Kupersembahkan ini untuk kalian semua, terimakasih atas doa

(10)

MOTO

Banyak orang tak beriman yang ingin mendekat dan mencintai Tuhan, tapi yang membuat mereka tersandung adalah kemasyuran, keangkuhan

dan nafsu yang tak berkesudahan

(Jalaluddin Rumi)

Jika kamu tidak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung pahitnya kebodohan

(Imam Syafi’i)

“Janganlah kamu melihat kepada kecilnya kesalahan, tetapi lihatlah kepada Maha Besarnya Dzat yang kamu tentang.”

(11)

SANWACANA

Assalamu’alaikum, Wr.Wb

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat

dan ridho-nya, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi Skripsi dengan

judul “Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pengadaan

Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran (Studi Perkara Nomor

25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK), sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

Terselesaikannya skripsi ini merupakan ikhtiar Penulis yang tak luput dari

bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan

ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung dan juga sebagai pembimbing I yang telah

memberikan saran, bimbingan, dan membantu penulisan sehingga

terselesaikannya skripsi ini.

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas

(12)

memberikan saran, bimbingan, nasehat serta dorongan motivasi yang tinggi

kepada penulis sehingga dapat terselesaikanya skipsi ini.

4. Ibu Dr Erna Dewi, S.H., M.H., selaku pembahas I yang telah banyak

memberikan saran dan kritiknya.

5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku pembahas II yang telah banyak

memberikan saran dan kritiknya.

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

ilmu yang bermanfaat.

7. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Kiyai Apri, Mba

Yanti, Mba Sri, Babe.

8. Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Hakim Tipikor yang telah

bersedia memberikan iformasi yang berkaitan dengan skripsi ini.

9. Kepala kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan juga Jaksa Pidana Khusus

yang telah beredia di wawancara sehingga terselesaikan skripsi ini.

10.Sahabat-sahabat kampus tersayang penulis anggota HIMA PIDANA, Aga,

Fitri, Mute, Sarah, Abdul, Ai. SOBAT KOPET di antaranya Putera, Ferdyan,

Mamed, Himawan, Eri, Kresna, Derry, Ardian Mufty (Abah), Fahmi Reza,

Gerry (Doyok), Hilman, Dananjaya, Tyo, Darvi, Udin, riefko, Lia, Grace,

Zahra, Indah dan seluruh teman Fakultas Hukum Universitas Lampung

angkatan 2011 lain nya yang tidak bisa disebutkan semua. Terimakasih atas

keceriaan, kebodohan, loyalitas tanpa batas yang kalian berikan.

11.Saudara – Saudara OLOK Restu, Adit, Ipin, Farhan, Rakhmat, Remon,

Langgeng, Eko, Eki, Rastri, Lala, Ipat, Resa, Ardi, Redi, Silvi, Ciko, Ega, Egi

yang selalu memberikan keceriaan ketika sulit menghadang dan memberi

(13)

12.Buat keluarga besar KKN di Pekon Bandungbaru Kecamatan Adiluwih

Kabupaten Pringsewu diantaranya bapak dan ibu, Bapak Kepala Kampung,

Bapak carik, dan teman – teman yang sudah menemani suka duka selama 40

hari Tegar , Denis, Yuda, Nanang, Ardi, Dea, popo, tita, mega, nanda.

Terimakasih atas kebaikan, canda tawa, kebersamaan kalian selama KKN.

13.Almamater tercinta dan seluruh civitas akademika Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam

penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi penulis dan bagi pembaca. Amiin ya Rabbal Alamin..

Bandar Lampung, April 2015 Penulis,

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 15

II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi ... 17

B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana... 22

C. Pengertian Disparitas Pidana ... 25

D. Tinjauan Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana .. 31

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Narasumber... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Karakteristik Narasumber ... 40

B. Dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Putusan Berbeda pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran ... 41

(15)

V PENUTUP ... 74 A. Simpulan ... 74 B. Saran ... 75

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan

untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan

wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak

pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.1

Pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, maka diketahui bahwa terdapat

tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara maksimal

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo

1

(17)

2

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu

setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan

menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka

mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan

kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.2

Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja

terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa

dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis

juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi

masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat

digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar

2

Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur

Tindak

(18)

3

biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang

komprehensif3

Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, telah

meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana

korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28

tahun 1999 tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4

Upaya untuk menjamin penegakan hukum harus dilaksanakan secara benar, adil ,

tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada

beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas

tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus

(fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum

secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan

dan kepentingan sosial (lingkungan), asa jaminan bebas dari segala tekanan dan

kekerasan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan

3

Syed Husein Alatas. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, LP3ES. Jakarta. 2004.hlm.12

4

(19)

4

dan penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling

berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 5

Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan

ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun

demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja

tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan

bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut

telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.6

Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan

hukum. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat

terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga

keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan

oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses

kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka

pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum

pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.7

5

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001,

hlm. 22. 6

Halim, Op Cit, hlm. 47. 7

(20)

5

Disparitas pidana adalah penerapan pidana (disparity of sentencing) yang tidak

sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat

diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas. Disparitas pidana secara

yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum8

Salah satu perkara tindak pidana korupsi di Provinsi Lampung adalah Tindak

pidana korupsi pengadaan kendaran dinas di Kabupaten Pesawaran dilakukan

secara bersama-sama melibatkan PNS di Kabupaten Pesawaran (R. Doddy

Anugerah Putra Bin Abdurrahman Sarbini) dan pihak ketiga (Atari Bin

Notodiharjo). Tindak pidana korupsi ini menyebabkan kerugian keuangan negara

sebesar Rp.127.311.364.,- (Seratus duapuluh juta tigaratus sebelas ribu tigaratus

enam puluh empat rupiah).

R. Doddy Anugerah Putra Bin Abdurrahman Sarbini diputus bebas oleh majelis

hakim tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang

dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK. Sementara itu Atari Bin

Notodiharjo dalam Perkara Nomor: 26/Pid.TPK/2013/ PN.TK hanya dipidana

penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan, dan membayar denda sebesar Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak

dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.9

Fakta hukum di atas menunjukkan adanya masalah yaitu kesenjangan antara

peraturan perundang-undangan dengan praktiknya di lapangan, khususnya

penerapan hukuman yang berbeda antara satu pelaku tindak pidana korupsi

8

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001. hlm. 75.

9

(21)

6

dengan pelaku lainnya, sehingga menimbulkan adanya perbedaan pemidanaan

(disparitas) terhadap pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana korupsi

secara bersama-sama.

Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama diatur dalam Pasal 55 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.

(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya

Selanjutnya Pasal 56 KUHP menyatakan dipidana sebagai orang yang membantu

melakukan kejahatan:

1. Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;

2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP di atas maka pelaku tindak

pidana yang dilakukan secara bersama-sama seharusnya dipidanakan, tetapi pada

kenyataannya terdapat perbedaan pidana (disparitas) terhadap pelaku pelaku

tindak pidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang sama.

Adanya disparitas pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan objek

yang sama tersebut berpotensi menimbulkan pandangan negatif masyarakat

(22)

7

sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri

hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan

moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang

sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta

kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara sampai ke tingkat banding atau kasasi.

Disparitas pidana menunjukkan adanya perbedaan penerapan pidana terhadap

pelaku yang melakukan jenis tindak pidana yang sama. Disparitas pidana ini

sepenuhnya menjadi kewenangan hakim, sesuai dengan kekuasaan kehakiman

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya,

yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin

ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya

kecakapan teknik dalam membuatnya. 10

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis akan melaksanakan penelitian

dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Disparitas Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran” (Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan

26/Pid.TPK/2013/PN.TK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

10

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan

(23)

8

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan

berbeda pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di

Kabupaten Pesawaran Studi dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK

dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK?

b. Apakah disparitas pidana dalam dalam Perkara Nomor:

25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK telah memenuhi unsur

keadilan subtantif?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian

mengenai dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan berbeda pada perkara

tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran Studi

dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK

dan unsur keadilan substantif dalam disparitas pidana dalam dalam Perkara

Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK. Ruang lingkup

Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan penelitian

dilaksanakan pada Tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

(24)

9

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan berbeda

pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten

Pesawaran Studi dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan

26/Pid.TPK/2013/PN.TK

b. Untuk mengetahui disparitas pidana terhadap Perkara Nomor:

25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK telah memenuhi unsur

keadilan substantif.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun

secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah

kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan dengan disparitas

pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan

dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi

tindak pidana korupsi pada masa-masa yang akan datang, sehingga

penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara lebih

optimal pada masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

(25)

10

Kerangka teori merupakan pengabstrakan hasil pemikiran sebagai kerangka acuan

atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam

penelitian ilmu hukum. Peneliti menggunakan kerangka teori sebagai dasar untuk

melakukan analisis terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian,

sehingga setiap pembahasan yang dilakukan memiliki landasan secara teoritis.

Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua

alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a).

Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e).

Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga

tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)11

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian

kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian

proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan

demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian,

yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain,

misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain

atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

11

(26)

11

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan

kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan

yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan

masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak

ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang

diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak. Fungsi

hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana

dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif,

yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau

kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut

undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi

denganintegritas moral yang baik.12

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim

dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.13

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan

mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim

12

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar

Grafika,.2010, hlm.103. 13Ibid,

(27)

12

dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan

harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara

yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan

pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

b. Keadilan Substantif

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.

Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada

yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua

prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan

kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini

dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil14

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa

hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan

menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan

prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap

suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim

terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan

konkretisasi hukum. Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator

yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak

terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu

peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana

undang-undang. Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian

14

(28)

13

mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif

undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui

putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan

memberikan keadilan formal.15

Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan

aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan

prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini

berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan

secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya,

apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan

substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran

prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain,

keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan ketentuan

undang-undang, melalui keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan

undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman

pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan

sekaligus menjamin kepastian hukum.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam

melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis

pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian

yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

15

(29)

14

a. Disparitas pidana adalah penerapan pidana (disparity of sentencing) yang tidak

sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya

dapat diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas. Disparitas pidana

secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar

hukum16

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu

bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan

pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan

sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku17

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum18

d. Tindak pidana korupsi adalah menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) adalah setiap orang yang

secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan

16

Moeljatno, Op Cit, hlm. 75 17Ibid

, hlm. 53. 18

Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat

(30)

15

paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Pasal 3 UUPTPK

menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya tersebut.

e. Kendaraan Dinas adalah kendaraan baik roda dua, roda empat maupun lebih

yang diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil atau pejabat pemerintahan untuk

mempermudah dalam melaksanakan pekerjaan atau urusan kedinasan19

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman

terhadap isinya. Adapun ssecara terperinci sistematika penulisan proposal ini

adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar

Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang

berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai

19

(31)

16

referensi terdiri dari pengertian disparitas pidana, pengertian pelaku tindak

pidana, tinjauan umum tindak pidana korupsi dan pengertian dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan

Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur

Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai penyebab hakim

menjatuhkan putusan berbeda dalam perkara tindak pidana korupsi

pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran Studi dalam Perkara

Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK dan unsur

keadilan subtantif dalam disparitas pidana dalam Perkara Nomor:

25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan

pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana

merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau

kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku

yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka

akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu

yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam

undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah. 1

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 2

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang

melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan

pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila

1

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

1996. hlm. 7. 2

(33)

18

pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan3

Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan

kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau

kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang

tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction),

dan nepotisme (nepotism).4

Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini

bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:

a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan

b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban

c) Penyembunyian pelanggaran. 5

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan

secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun1960 yang

mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan

pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang

ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan

perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer (golongan orang

orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan khusus) dan hukum

pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius

3

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Op Cit. hlm. 22

4

Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta:

LP3ES, 1983, hlm. 12. 5

(34)

19

commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah (aanvullend rech).

Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum

yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan

dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana

suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat

dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum

inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala adanya

pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam hukum

pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan

ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan

fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa

kesalahan" harus tetap dihormati.

Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan dengan

hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ada pembagian lain ialah hukum pidana

umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale).

Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh diartikan dengan

bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari

umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum,

sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak pidana.

Semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang

lengkap, akan tetapi kita mengatahui bahwa terbentuknya peraturan

perundang-undangan pidana diluar kodifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat pertumbuhan

(35)

20

keduanya memuat sebagian besar dari delik-delik berupa kejahatan, sedang di buku

ketiga dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa pelanggaran. Undang-Undang

Pidana Khusus adalah undang-undang pidana selain kitab undang-undang hukum

pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.

Pengertian korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian

korupsi secara tegas. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, dapat

disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3 menyebutkan

bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada

Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada

jabatan atau kedudukannya tersebut.

(36)

21

a) Setiap orang yang berarti perseorangan

b) Koorporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa badan hukum maupun tidak. Badan Hukum di Indonesia terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesische Maatchapij op Andelen (IMA), sementara perkumpulan orang dapat berupa firma, Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya.

c) Pegawai negeri yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (Pejabat) dalam pasal I Ayat (2) Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 meliputi Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil Pusat; Pegawai Negeri Sipil Daerah dan pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan aturan Pemerintah. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; Angkatan Darat; Angkatan Laut;Angkatan Udara; Angkatan Kepolisian. 6

Masalah korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi sudah merambat ke

mana-mana dalam lapisan masyarakat pelaku tindak pidana korupsi tidak saja dari

kalangan pegawai negeri pada pejabat rendah tetapi sudah merambat pada

pengusaha, menteri, duta besar, dan lain-lain dalam semua tingkatan baik dari

kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka tidak heran kalau golongan

pesimis mengatakan korupsi di Indonesia adalah suatu bagian budaya (sub cultural)

korupsi mulai dari pusat sampai ke daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa korupsi merupakan tindak

pidana dan suatu perbuatan melawan hukum bertujuan untuk menguntungkan diri

sendiri, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang

melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta

berdampak pada kerugian seluruh masyarakat Indonesia.

6Ibid

(37)

22

B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar

atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku

tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan umum7

Pelaku tindak pidana dapat berdiri sendiri atau bersama-sama dengan orang lain

atau penyertaan dengan pengelompokan sebagai sebagai berikut:

a. Pelaku (Plegen)

Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku merupakan pertanggungjawaban yang

mutlak dalam artian sebagaimana yang dirumuskan bahwa orang yang

perbuatannya telah memenuhi unsur delik yang terdapat dalam pasal hukum

pidana yang dilanggar. Oleh karena itu pada prinsipnya ia merupakan orang

yang baik secara sendiri ataupun berkait dengan orang lain, telah dapat dijatuhi

sanksi pidana. Hal tersebut sesuai dengan syarat dapat dipidana perbuatan yaitu

suatu perbuatan, yang memenuhi rumusan delik, yang bersifat melawan hukum

dan dilakukan karena kesalahan. Apabila hal tersebut di atas dapat terpenuhi

maka dapat dikenakan pidana yang merupakan konsekuensi atas perbuatan yang

telah dilakukan.

b. Turut serta (Medeplegenr)

Turut serta adalah bentuk pernyataan di mana antara para peserta delik telah

terjadi kerjasama yang erat baik secara fisik maupun non fisik, sebagaimana

yang diuraikan pada pembahasan mengenai turut serta. Dalam hal ini baik delik

7

(38)

23

yang dilakukan secara individual telah memenuhi rumusan atau dalam hal

perbuatannya digabungkan dan akhirnya menjadi delik yang sempurna dan

salah satu peserta telah memenuhi seluruh delik dalam hal niat berbeda-beda ,

maka kesemua peserta tetap dapat dipidana tetapi kualifikasinya bagi

medeplegen berbeda-beda. Dalam hal terbukti adanya keikutsertaan pihak-pihak

yang terkait akan saling bertanggungjawab atas tindakan masing-masing serta

atas akibat yang ditimbulkannya. Sepanjang hal itu termasuk kedalam lingkup

pertanggungjawaban bersama atau sepenuhnya terobyektivasi (dilepaskan dari

hubungan kesalahan). Apabila terjadi kerjasama secara penuh maka dalam

pengenaan pertanggungjawaban pidananya tidak ada perbedaan sanksi dan

apabila ada ketidakseimbangan dalam melakukan perbuatan pidana di mana

yang satu lebih besar perannya sedang yang lain tidak terlalu besar/kecil

perannya maka seperti disebut di atas akan dikualifikasikan sesuai dengan

perbuatan. Point penting lain berkaitan dengan batas/perbedaannya dengan

pembantuan, dalam hal ini terutama berbicara masalah perbuatan dalam hal ini

terutama berbicara masalah perbuatan pelaksana/dilihat berdasarkan sifat

perbuatan lahirnya.

c. Menyuruh (Doen Pleger)

Pihak yang disuruh melakukan perbuatan pidana tetapi tidak dapat

dipertanggungjawabkan maka menunjukkan adanya alasan/dasar-dasar yang

meniadakan pidana dan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang

dilakukan oleh pihak yang disuruh (aktor materialis) dibebankan kepada pihak

yang menyuruh (aktor intelektual) karena aktor intelektual yang menghendaki

(39)

24

Pertanggungjawaban dari aktor, intelektual hanya sebatas pada yang disuruhkan

saja tidak lebih, dan apabila tidak sesuai dengan yang dikehendaki maka hal

tersebut di luar dari tanggungjawab aktor intelektual.

d. Menganjurkan (Uitlokker)

Dalam bentuk penyertaan ini sama seperti menyuruh yang melibatkan minimal

dua orang yang satu sebagai aktor intelektual (pengajar) dan aktor materialis

(orang yang melakukan tindak pidana atas anjuran aktor intelektual). Aktor

intelektual dan aktor materialis kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan

atas perbuatan sesuai dengan perannya masing-masing dan apabila terbukti

kesalahannya mereka dapat dikenai ancaman pidana. Bentuk

pertanggungjawaban pidana aktor intelektual dan aktor materialis mempunyai

batasan yaitu penganjur hanya bertanggungjawab sebatas pada perbuatan yang

benar-benar dianjurkan. Penganjur dapat pula dipertanggungjawabkan sampai

melebihi batasan dari perbuatan yang dianjurkan jika hal itu memang timbul

secara berkait sebagai akibat langsung dari perbuatan aktor materialis pada saat

melaksanakan anjuran.

e. Pembantuan (Medeplichtigheid)

Bentuk penyertaan dalam hal pertanggungjawaban pidananya telah ditentukan

batas-batasnya dalam Pasal 57 Ayat (4) KUHP bahwa dalam menentukan

pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan sengaja

dipermudah/ diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. Tujuan

(40)

25

tanggungjawab pembuat tidak melampuai batas-batas dari apa yang disengaja

mereka sendiri dan apabila tidak dilakukan pembatasan, maka akibat-akibat

sifat aksesor (accessoire) dari bentuk turut serta ini adalah terlalu luas, dan hal

ini pun berlaku bagi bentuk penyertaan uit lokker. Dalam pembentukan terdapat

dua pihak yaitu pembantu dan pembuat, dan diantara keduanya harus terdapat

kualifikasi yang cocok antara pembantu dan pembuat agar bisa dikatakan telah

terjadi pembantuan melakukan perbuatan pidana. 8

C. Pengertian Disparitas Pidana

Putusan-putusan perkara pidana mengenal adanya suatu kesenjangan dalam

penjatuhan pidana yang lebih dikenal dengan disparitas. Disparitas adalah

penerapan pidana (disparity of sentencing) yang tidak sama (same offence) atau

terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar

pemberian yang jelas. Disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan

keadilan (societal justice), secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap

telah melanggar hokum, meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh

hakim. 9

Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda

terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah

hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga

dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas

8 Ibid,

hlm. 27-29 9

(41)

26

pemidanaan sangat menentukan. Disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa

kategori yaitu:

1) Disparitas antara tindak pidana yang sama

2) Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama

3) Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim

4) Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda

untuk tindak pidana yang sama10

Sesuai dengan pendapat di atas maka dapat diketahui adanya wadah dimana

disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia.

Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada

tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu

majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama.

Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini

menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.

Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya

pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pedoman pemberian

pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah

terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.11

Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal

hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan

10

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

2001. hlm. 101-102. 11

(42)

27

hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa

pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat sudarto ini

dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas

secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.

Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan

hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum

yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat

penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang

dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang

perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak

merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si

terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk

yang dinamakan checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau

seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikutsertakan

ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”(Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa

dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya kata

ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan). 12

Hal lain yang dapat menimbulkan disparitas pidana adalah ketidakadaan patokan

pemidanaan dalam perundang-undangan kita maupun dalam praktek di pengadilan.

Tanpa pedoman yang memadai dalam undang-undang hukum pidana dikhawatirkan

masalah disparitas pidana dikemudian hari akan menjadi lebih parah dibandingkan

dengan saat ini. Dengan tidak adanya pedoman dalam hukum pidana,

12

(43)

28

keanekaragaman pidana akan terjadi walaupun hakim-hakim akan melaksanakan

tugas pemidanaan dengan penuh tanggung jawab dan secermat mungkin. Maksud

patokan pemidanaan adalah pidana rata-rata yang dijatuhkan hakim dalam wilayah

pengadilan tertentu, misalnya wilayah pengadilan tinggi Jakarta Pusat. Dengan

demikian pidana yang terlalu ekstrim, terlalu berat, atau terlalu ringan dapat

dibatasi. Patokan ini tidak bersifat mutlak. Setiap majelis hakim bebas untuk

menyimpang dari patokan tersebut, asalkan memberikan pertimbangan yang cukup

dalam putusannya. 13

Faktor eksternal yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber

pada ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan

landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan. Ketentuan ini memberikan jaminan terhadap kebebasan

lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya,

kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis pidana,

karena tersedia jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam ketentuan

perundang-undangan pidana14

Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 Ayat (2) KUHP, yang menyebutkan bahwa

pidana penjara waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 (lima

belas) tahun berturut turut. Pasal 12 Ayat (4) mengatur bahwa pidana penjara selam

waktu tertentu sekali sekali tidak boleh melebihi dua puluh tahun. Demikan pula

13

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

2001. hlm. 101-102. 14

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

(44)

29

dengan halnya pidana kurungan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, dinyatakan bahwa

pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, sedangkan

dalam Pasal 1 Ayat (3) KUHP diatur bahwa pidana kurungan sekali kali tidak boleh

lebih dari satu tahun empat bulan. Dalam Pasal 30 KUHP, diatur bahwa pidana

denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen. Apabila pidana denda tidak

dibayar, ia digani dengan pidana kurungan dan lamanya pidana kurungan pengganti

denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.

Menyangkut faktor yang bersumber pada diri hakim terutama yang menyangkut

profesionalitas dan integritas untuk menaruh perhatian terhadap perkara yang

ditangani dengan mengingat tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, maka

terhadap perbuatan perbuatan pidana yang sama pun akan dijatuhkan pidana yang

berbeda beda. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa disparitas dalam

pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan penggunaan kebebasan hakim,

yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh undang-undang dan memang

nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringkali penggunannya

melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan hukum di Indonesia.

Akibat adanya disparitas pidana tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana dan

semangat dari falsafah pemidanaan. Disparitas pidana semakin menimbulkan

kekacauan dalam masyarakat, tidak hanya menyakiti rasa keadilan masyarakat,

tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan pidana. Kondisi

inilah yang kemudian menjadi bentuk dari kegagalan penegakan hukum pidana,

dimana penegakan hukum malah diartikan sesuatu yang tidak penting oleh

(45)

30

hal ini, ada juga ahli hukum yang tidak sependapat bahwa disparitas hanya

membawa dampak negatif sehingga harus diminimalisasi, mereka tidak

memandang disparitas pidana sebagai suatu kesalahan atau cacat tubuh dalam

penegakan hukum pidana.

Disparitas di dalam pemidanaan dapat dibenarkan, dalam hal sebagai berikut:

1. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik

yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan

alasan-alasan pembenaran yang jelas

2. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun wajar 15

Pandangan ini sejalan dengan asas kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan

terhadap perkara yang diajukan padanya. Pandangan ini pun merupaka bentuk

refleksi dimana hakim dalam usahanya untuk tetap menjaga kewibawaan hukum,

harus dapat mempertanggungjawab-kan putusan yang dihasilkannya dengan

memberikan alasan yang benar dan wajar tentang perkara yang diperiksanya. jika

hal ini diterapkan, secara logika tentu saja disparitas pidana akan dapat diterima

oleh masyarakat dengan tidak mengusik kepuasan masyarakat terhadap putusan

hakim dan juga tidak mengoyak rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Problematika mengenai pidana dalam penegakkan hukum di Indonesia memang

tidak dapat dihapuskan begitu saja. Hal yang dapat ditempuh hanyalah upaya-upaya

dalam rangka meminimalisasi dispatitas pidana yang terjadi dalam masyarakat.

Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan dengan falsafah pemidanaan dan

tujuan hukum itu sendiri maka upaya terpenting yang harus ditempuh dalam

15

(46)

31

menghadapi problematika disparitas pidana adalah perlunya penghayatan hakim

terhadap asas proporsionalitas antara kepentingan masyarakat, kepentingan negara,

kepentingan si pelaku tindak pidana dan kepentingan korban tindak pidana.

D. Tinjauan Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183

KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b).

Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang

secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)16

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak

berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus

testis).17

Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang

permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Ayat (2) menyatakan bahwa dalam

sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau

16

Satjipto Rahardjo. Loc Cit. hlm. 11 17

(47)

32

pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang

tidak terpisahkan dari putusan.

Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang

pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan

di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak

pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan

secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan

dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang

ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai

motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih

dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di

dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat

mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,

misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari

keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan

(48)

33

(5) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa

penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga

memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan

melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak

berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, karena hakim melihat

pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua

perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak

pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya

tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku

dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih

baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah

suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman,

agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak

melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal

tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya

kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.18

18

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

(49)

34

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia

menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di siding

pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan member

kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat hukumnya untuk

bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan

maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas

segala yang diputuskannya.19

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan

diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat

dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di sati pihak berguna bagi

terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat

mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat

berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi,

melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui visi hakim

yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan

nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara

mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari

hakim yang bersangkutan20

19

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,

Jakarta.2010. hlm.112 20

(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara

pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif di

Referensi

Dokumen terkait

Apabila sampai dengan batas waktu yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut diatas, saudara tidak dapat hadir atau tidak dapat menunjukkan dokumen asli untuk melakukan

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Ditunjuk sebagai Direktur pada Juni 2013. Bergabung dengan Summarecon pada 2005  sebagai Direktur Eksekutif.  Yang   bertanggung jawab atas kegiatan operasi dari

pendidikan masyarakat Indonesia yang semakin lama semakin tinggi dan sedikitnya ilmu yang dapat diserap oleh para pelajar di sekolah menyebabkan menjamurnya

Tipe 4 Jawaban benar atau salah yang dengan jelas menunjukkan ciri-ciri karakteristik yang menonjol dari dua urutan tahap berpikir van Hiele dan mengandung

Dengan adanya edukasi serta penyampaian dari berbagai media diharapkan masyarakat, turis asing serta domestik mengerti tentang pentingnya menjaga kelestarian serta

Berdasarkan hasil penelitian ini berat kering total dan berat kering tajuk yang diberi perlakuan mikoriza tidak berbeda nyata dengan tanpa mikoriza, sedangkan pada berat

Beberapa komponen RPP yang dikembangkan Guru kurang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 yaitu kesesuaian indikator dengan KI dan KD, materi remedial dan