ABSTRAK
DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS
DI KABUPATEN PESAWARAN
(Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK) Oleh
MUHAMMAD REYNALDY F.
Setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara baik secara minimal maupun maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga Hakim akan menerapkan hukuman untuk setiap pelaku tindak pidana korupsi yang berbeda antara satu pelaku tindak pidana korupsi dengan pelaku lainnya, tidak menimbulkan adanya perbedaan pemidanaan (disparitas) terhadap pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan berbeda pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran Studi dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK? (2) Apakah disparitas pidana dalam dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK telah memenuhi unsur keadilan subtantif?
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Muhammad Reynaldy F.
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, sehingga tidak menciderai rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi di masa yang akan datang diharapkan untuk lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. (2) Pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintah daerah hendaknya dioptimalkan dengan cara mentaati semua prosedur dan ketentuan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS
DI KABUPATEN PESAWARAN
(Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK)
Oleh
Muhammad Reynaldy F
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 3
oktober 1993, sebagai anak pertama dari dua bersaudara,
pasangan Bapak Hi. Achmadul Falach Caropeboka dan
Hj. Sumarlina.
Penulis menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Kartini Bandar
Lampung pada tahun 1999. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Rawa Laut Bandar
Lampung diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
SMP Negeri 1 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008. Sekolah
Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011.
Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung dan mengambil minat Hukum Pidana. Penulis terdaftar
menjadi anggota HIMA PIDANA. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN)
PERSEMBAHAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dengan kasih
sayang-Nya yang tiada tertandingi sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya
Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang terkasih yang saya
sayangi dan saya hormati dalam hidup saya
Terimakasih kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan
kesehatan, keselamatan, serta limpahan berkah, rahmat dan segala kecerdasan
kepada saya
Teruntuk papa dan mama tercinta
“
A Falach Caropeboka
”
dan
“S
umarlina
”
,
anugerah Allah yang paling tulus yang diberikan kepada saya karena telah
memiliki orang tua yang senantiasa mencintai, menyayangi, dan senantiasa
mendoakan dalam setiap sujudnya kepada Sang Pencipta, memberikan segala
pengorbanan dan kebaikannya, semoga Allah SWT senantiasa merahmati dan
memberkahi serta selalu memberi limpahan kesehatan kepada Ayah dan Mama.
Amin
Teruntuk Kakak yang
ku banggakan “
Adriyadi
”
, “
dan Adikku
tersayang
“
Lolita F Caropeboka
” yang selalu
Teruntuk seseorang yang telah menemani di kala aku tersenyum bahagian dan
selalu di sisiku di kala aku sedih karena duka, semoga kita bisa bersama
menggapai impian dan menuju kebahagiaan bersama.
Untuk seluruh ibu dan bapak dosenku di Fakultas Hukum Universitas
Lampung , terutama untuk dosen Pembimbing Akademik Bu Siti Azizah, S.H
dosen Pembimbing I Diah Gustiniati, S.H., M.H dan dosen Pembimbing II
Firganefi, S.H., M.H terimakasih atas segala ilmu, bimbingan, pelajaran serta
waktu yang diluangkan
demi terselesaikannya Skripsi ini.
Untuk Almamater Universitas Lampung yang telah menjadi jalan untuk
tempatku melangkah menuju masa depan
Dan untuk semua yang menjadi bagian hidupku, yang tak mampu kusebutkan
satu persatu. Kupersembahkan ini untuk kalian semua, terimakasih atas doa
MOTO
Banyak orang tak beriman yang ingin mendekat dan mencintai Tuhan, tapi yang membuat mereka tersandung adalah kemasyuran, keangkuhan
dan nafsu yang tak berkesudahan
(Jalaluddin Rumi)
Jika kamu tidak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung pahitnya kebodohan
(Imam Syafi’i)
“Janganlah kamu melihat kepada kecilnya kesalahan, tetapi lihatlah kepada Maha Besarnya Dzat yang kamu tentang.”
SANWACANA
Assalamu’alaikum, Wr.Wb
Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan ridho-nya, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi Skripsi dengan
judul “Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pengadaan
Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran (Studi Perkara Nomor
25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK), sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Terselesaikannya skripsi ini merupakan ikhtiar Penulis yang tak luput dari
bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung dan juga sebagai pembimbing I yang telah
memberikan saran, bimbingan, dan membantu penulisan sehingga
terselesaikannya skripsi ini.
3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas
memberikan saran, bimbingan, nasehat serta dorongan motivasi yang tinggi
kepada penulis sehingga dapat terselesaikanya skipsi ini.
4. Ibu Dr Erna Dewi, S.H., M.H., selaku pembahas I yang telah banyak
memberikan saran dan kritiknya.
5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku pembahas II yang telah banyak
memberikan saran dan kritiknya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan
ilmu yang bermanfaat.
7. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Kiyai Apri, Mba
Yanti, Mba Sri, Babe.
8. Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Hakim Tipikor yang telah
bersedia memberikan iformasi yang berkaitan dengan skripsi ini.
9. Kepala kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan juga Jaksa Pidana Khusus
yang telah beredia di wawancara sehingga terselesaikan skripsi ini.
10.Sahabat-sahabat kampus tersayang penulis anggota HIMA PIDANA, Aga,
Fitri, Mute, Sarah, Abdul, Ai. SOBAT KOPET di antaranya Putera, Ferdyan,
Mamed, Himawan, Eri, Kresna, Derry, Ardian Mufty (Abah), Fahmi Reza,
Gerry (Doyok), Hilman, Dananjaya, Tyo, Darvi, Udin, riefko, Lia, Grace,
Zahra, Indah dan seluruh teman Fakultas Hukum Universitas Lampung
angkatan 2011 lain nya yang tidak bisa disebutkan semua. Terimakasih atas
keceriaan, kebodohan, loyalitas tanpa batas yang kalian berikan.
11.Saudara – Saudara OLOK Restu, Adit, Ipin, Farhan, Rakhmat, Remon,
Langgeng, Eko, Eki, Rastri, Lala, Ipat, Resa, Ardi, Redi, Silvi, Ciko, Ega, Egi
yang selalu memberikan keceriaan ketika sulit menghadang dan memberi
12.Buat keluarga besar KKN di Pekon Bandungbaru Kecamatan Adiluwih
Kabupaten Pringsewu diantaranya bapak dan ibu, Bapak Kepala Kampung,
Bapak carik, dan teman – teman yang sudah menemani suka duka selama 40
hari Tegar , Denis, Yuda, Nanang, Ardi, Dea, popo, tita, mega, nanda.
Terimakasih atas kebaikan, canda tawa, kebersamaan kalian selama KKN.
13.Almamater tercinta dan seluruh civitas akademika Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi pembaca. Amiin ya Rabbal Alamin..
Bandar Lampung, April 2015 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 15
II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi ... 17
B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana... 22
C. Pengertian Disparitas Pidana ... 25
D. Tinjauan Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana .. 31
III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35
B. Sumber dan Jenis Data ... 36
C. Penentuan Narasumber... 37
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38
E. Analisis Data ... 39
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40
A. Karakteristik Narasumber ... 40
B. Dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Putusan Berbeda pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran ... 41
V PENUTUP ... 74 A. Simpulan ... 74 B. Saran ... 75
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan
untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak
pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.1
Pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, maka diketahui bahwa terdapat
tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara maksimal
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
1
2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.2
Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
2
Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur
Tindak
3
biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang
komprehensif3
Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana
korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28
tahun 1999 tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4
Upaya untuk menjamin penegakan hukum harus dilaksanakan secara benar, adil ,
tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada
beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas
tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus
(fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum
secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan
dan kepentingan sosial (lingkungan), asa jaminan bebas dari segala tekanan dan
kekerasan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan
3
Syed Husein Alatas. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, LP3ES. Jakarta. 2004.hlm.12
4
4
dan penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 5
Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan
ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun
demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja
tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan
bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut
telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.6
Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan
hukum. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat
terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga
keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan
oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses
kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka
pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum
pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.7
5
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001,
hlm. 22. 6
Halim, Op Cit, hlm. 47. 7
5
Disparitas pidana adalah penerapan pidana (disparity of sentencing) yang tidak
sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat
diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas. Disparitas pidana secara
yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum8
Salah satu perkara tindak pidana korupsi di Provinsi Lampung adalah Tindak
pidana korupsi pengadaan kendaran dinas di Kabupaten Pesawaran dilakukan
secara bersama-sama melibatkan PNS di Kabupaten Pesawaran (R. Doddy
Anugerah Putra Bin Abdurrahman Sarbini) dan pihak ketiga (Atari Bin
Notodiharjo). Tindak pidana korupsi ini menyebabkan kerugian keuangan negara
sebesar Rp.127.311.364.,- (Seratus duapuluh juta tigaratus sebelas ribu tigaratus
enam puluh empat rupiah).
R. Doddy Anugerah Putra Bin Abdurrahman Sarbini diputus bebas oleh majelis
hakim tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang
dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK. Sementara itu Atari Bin
Notodiharjo dalam Perkara Nomor: 26/Pid.TPK/2013/ PN.TK hanya dipidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan, dan membayar denda sebesar Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.9
Fakta hukum di atas menunjukkan adanya masalah yaitu kesenjangan antara
peraturan perundang-undangan dengan praktiknya di lapangan, khususnya
penerapan hukuman yang berbeda antara satu pelaku tindak pidana korupsi
8
Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001. hlm. 75.
9
6
dengan pelaku lainnya, sehingga menimbulkan adanya perbedaan pemidanaan
(disparitas) terhadap pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama.
Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama diatur dalam Pasal 55 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.
(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya
Selanjutnya Pasal 56 KUHP menyatakan dipidana sebagai orang yang membantu
melakukan kejahatan:
1. Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP di atas maka pelaku tindak
pidana yang dilakukan secara bersama-sama seharusnya dipidanakan, tetapi pada
kenyataannya terdapat perbedaan pidana (disparitas) terhadap pelaku pelaku
tindak pidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang sama.
Adanya disparitas pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan objek
yang sama tersebut berpotensi menimbulkan pandangan negatif masyarakat
7
sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri
hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan
moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang
sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta
kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara sampai ke tingkat banding atau kasasi.
Disparitas pidana menunjukkan adanya perbedaan penerapan pidana terhadap
pelaku yang melakukan jenis tindak pidana yang sama. Disparitas pidana ini
sepenuhnya menjadi kewenangan hakim, sesuai dengan kekuasaan kehakiman
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya,
yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin
ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya
kecakapan teknik dalam membuatnya. 10
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis akan melaksanakan penelitian
dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Disparitas Pidana Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran” (Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan
26/Pid.TPK/2013/PN.TK).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan
10
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan
8
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan
berbeda pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di
Kabupaten Pesawaran Studi dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK
dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK?
b. Apakah disparitas pidana dalam dalam Perkara Nomor:
25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK telah memenuhi unsur
keadilan subtantif?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian
mengenai dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan berbeda pada perkara
tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran Studi
dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK
dan unsur keadilan substantif dalam disparitas pidana dalam dalam Perkara
Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK. Ruang lingkup
Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan penelitian
dilaksanakan pada Tahun 2014.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
9
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan berbeda
pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten
Pesawaran Studi dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan
26/Pid.TPK/2013/PN.TK
b. Untuk mengetahui disparitas pidana terhadap Perkara Nomor:
25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK telah memenuhi unsur
keadilan substantif.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu sebagai berikut:
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah
kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan dengan disparitas
pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan
dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi
tindak pidana korupsi pada masa-masa yang akan datang, sehingga
penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara lebih
optimal pada masa-masa yang akan datang.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
10
Kerangka teori merupakan pengabstrakan hasil pemikiran sebagai kerangka acuan
atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam
penelitian ilmu hukum. Peneliti menggunakan kerangka teori sebagai dasar untuk
melakukan analisis terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian,
sehingga setiap pembahasan yang dilakukan memiliki landasan secara teoritis.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh
menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a).
Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e).
Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga
tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)11
Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian
proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan
demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian,
yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain,
misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain
atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
11
11
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan
kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan
yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan
masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak
ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang
diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak. Fungsi
hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana
dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif,
yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau
kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut
undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi
denganintegritas moral yang baik.12
Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.13
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim
12
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar
Grafika,.2010, hlm.103. 13Ibid,
12
dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan
harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara
yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan
pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.
b. Keadilan Substantif
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.
Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada
yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua
prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan
kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini
dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil14
Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa
hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan
menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan
prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap
suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim
terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan
konkretisasi hukum. Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator
yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak
terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu
peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana
undang-undang. Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian
14
13
mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif
undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui
putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan
memberikan keadilan formal.15
Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan
aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan
prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini
berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan
secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya,
apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan
substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran
prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain,
keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan ketentuan
undang-undang, melalui keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan
undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman
pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan
sekaligus menjamin kepastian hukum.
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam
melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis
pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian
yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:
15
14
a. Disparitas pidana adalah penerapan pidana (disparity of sentencing) yang tidak
sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya
dapat diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas. Disparitas pidana
secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar
hukum16
b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan
pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan
sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku17
c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan
melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum18
d. Tindak pidana korupsi adalah menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) adalah setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan
16
Moeljatno, Op Cit, hlm. 75 17Ibid
, hlm. 53. 18
Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat
15
paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Pasal 3 UUPTPK
menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya tersebut.
e. Kendaraan Dinas adalah kendaraan baik roda dua, roda empat maupun lebih
yang diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil atau pejabat pemerintahan untuk
mempermudah dalam melaksanakan pekerjaan atau urusan kedinasan19
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman
terhadap isinya. Adapun ssecara terperinci sistematika penulisan proposal ini
adalah sebagai berikut:
I PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar
Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang
berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai
19
16
referensi terdiri dari pengertian disparitas pidana, pengertian pelaku tindak
pidana, tinjauan umum tindak pidana korupsi dan pengertian dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur
Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai penyebab hakim
menjatuhkan putusan berbeda dalam perkara tindak pidana korupsi
pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran Studi dalam Perkara
Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK dan unsur
keadilan subtantif dalam disparitas pidana dalam Perkara Nomor:
25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK.
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana
merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau
kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku
yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka
akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu
yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam
undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah. 1
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 2
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang
melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan
pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila
1
P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
1996. hlm. 7. 2
18
pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan3
Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan
kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau
kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang
tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction),
dan nepotisme (nepotism).4
Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini
bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:
a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan
b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban
c) Penyembunyian pelanggaran. 5
Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun1960 yang
mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan
pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang
ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer (golongan orang
orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan khusus) dan hukum
pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius
3
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Op Cit. hlm. 22
4
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta:
LP3ES, 1983, hlm. 12. 5
19
commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah (aanvullend rech).
Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum
yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan
dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana
suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat
dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum
inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala adanya
pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam hukum
pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan
ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan
fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa
kesalahan" harus tetap dihormati.
Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan dengan
hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ada pembagian lain ialah hukum pidana
umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale).
Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh diartikan dengan
bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari
umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum,
sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak pidana.
Semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang
lengkap, akan tetapi kita mengatahui bahwa terbentuknya peraturan
perundang-undangan pidana diluar kodifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat pertumbuhan
20
keduanya memuat sebagian besar dari delik-delik berupa kejahatan, sedang di buku
ketiga dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa pelanggaran. Undang-Undang
Pidana Khusus adalah undang-undang pidana selain kitab undang-undang hukum
pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.
Pengertian korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian
korupsi secara tegas. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, dapat
disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3 menyebutkan
bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada
Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya tersebut.
21
a) Setiap orang yang berarti perseorangan
b) Koorporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa badan hukum maupun tidak. Badan Hukum di Indonesia terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesische Maatchapij op Andelen (IMA), sementara perkumpulan orang dapat berupa firma, Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya.
c) Pegawai negeri yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (Pejabat) dalam pasal I Ayat (2) Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 meliputi Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil Pusat; Pegawai Negeri Sipil Daerah dan pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan aturan Pemerintah. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; Angkatan Darat; Angkatan Laut;Angkatan Udara; Angkatan Kepolisian. 6
Masalah korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi sudah merambat ke
mana-mana dalam lapisan masyarakat pelaku tindak pidana korupsi tidak saja dari
kalangan pegawai negeri pada pejabat rendah tetapi sudah merambat pada
pengusaha, menteri, duta besar, dan lain-lain dalam semua tingkatan baik dari
kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka tidak heran kalau golongan
pesimis mengatakan korupsi di Indonesia adalah suatu bagian budaya (sub cultural)
korupsi mulai dari pusat sampai ke daerah.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa korupsi merupakan tindak
pidana dan suatu perbuatan melawan hukum bertujuan untuk menguntungkan diri
sendiri, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang
melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta
berdampak pada kerugian seluruh masyarakat Indonesia.
6Ibid
22
B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana
Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar
atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku
tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum7
Pelaku tindak pidana dapat berdiri sendiri atau bersama-sama dengan orang lain
atau penyertaan dengan pengelompokan sebagai sebagai berikut:
a. Pelaku (Plegen)
Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku merupakan pertanggungjawaban yang
mutlak dalam artian sebagaimana yang dirumuskan bahwa orang yang
perbuatannya telah memenuhi unsur delik yang terdapat dalam pasal hukum
pidana yang dilanggar. Oleh karena itu pada prinsipnya ia merupakan orang
yang baik secara sendiri ataupun berkait dengan orang lain, telah dapat dijatuhi
sanksi pidana. Hal tersebut sesuai dengan syarat dapat dipidana perbuatan yaitu
suatu perbuatan, yang memenuhi rumusan delik, yang bersifat melawan hukum
dan dilakukan karena kesalahan. Apabila hal tersebut di atas dapat terpenuhi
maka dapat dikenakan pidana yang merupakan konsekuensi atas perbuatan yang
telah dilakukan.
b. Turut serta (Medeplegenr)
Turut serta adalah bentuk pernyataan di mana antara para peserta delik telah
terjadi kerjasama yang erat baik secara fisik maupun non fisik, sebagaimana
yang diuraikan pada pembahasan mengenai turut serta. Dalam hal ini baik delik
7
23
yang dilakukan secara individual telah memenuhi rumusan atau dalam hal
perbuatannya digabungkan dan akhirnya menjadi delik yang sempurna dan
salah satu peserta telah memenuhi seluruh delik dalam hal niat berbeda-beda ,
maka kesemua peserta tetap dapat dipidana tetapi kualifikasinya bagi
medeplegen berbeda-beda. Dalam hal terbukti adanya keikutsertaan pihak-pihak
yang terkait akan saling bertanggungjawab atas tindakan masing-masing serta
atas akibat yang ditimbulkannya. Sepanjang hal itu termasuk kedalam lingkup
pertanggungjawaban bersama atau sepenuhnya terobyektivasi (dilepaskan dari
hubungan kesalahan). Apabila terjadi kerjasama secara penuh maka dalam
pengenaan pertanggungjawaban pidananya tidak ada perbedaan sanksi dan
apabila ada ketidakseimbangan dalam melakukan perbuatan pidana di mana
yang satu lebih besar perannya sedang yang lain tidak terlalu besar/kecil
perannya maka seperti disebut di atas akan dikualifikasikan sesuai dengan
perbuatan. Point penting lain berkaitan dengan batas/perbedaannya dengan
pembantuan, dalam hal ini terutama berbicara masalah perbuatan dalam hal ini
terutama berbicara masalah perbuatan pelaksana/dilihat berdasarkan sifat
perbuatan lahirnya.
c. Menyuruh (Doen Pleger)
Pihak yang disuruh melakukan perbuatan pidana tetapi tidak dapat
dipertanggungjawabkan maka menunjukkan adanya alasan/dasar-dasar yang
meniadakan pidana dan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang
dilakukan oleh pihak yang disuruh (aktor materialis) dibebankan kepada pihak
yang menyuruh (aktor intelektual) karena aktor intelektual yang menghendaki
24
Pertanggungjawaban dari aktor, intelektual hanya sebatas pada yang disuruhkan
saja tidak lebih, dan apabila tidak sesuai dengan yang dikehendaki maka hal
tersebut di luar dari tanggungjawab aktor intelektual.
d. Menganjurkan (Uitlokker)
Dalam bentuk penyertaan ini sama seperti menyuruh yang melibatkan minimal
dua orang yang satu sebagai aktor intelektual (pengajar) dan aktor materialis
(orang yang melakukan tindak pidana atas anjuran aktor intelektual). Aktor
intelektual dan aktor materialis kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan sesuai dengan perannya masing-masing dan apabila terbukti
kesalahannya mereka dapat dikenai ancaman pidana. Bentuk
pertanggungjawaban pidana aktor intelektual dan aktor materialis mempunyai
batasan yaitu penganjur hanya bertanggungjawab sebatas pada perbuatan yang
benar-benar dianjurkan. Penganjur dapat pula dipertanggungjawabkan sampai
melebihi batasan dari perbuatan yang dianjurkan jika hal itu memang timbul
secara berkait sebagai akibat langsung dari perbuatan aktor materialis pada saat
melaksanakan anjuran.
e. Pembantuan (Medeplichtigheid)
Bentuk penyertaan dalam hal pertanggungjawaban pidananya telah ditentukan
batas-batasnya dalam Pasal 57 Ayat (4) KUHP bahwa dalam menentukan
pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan sengaja
dipermudah/ diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. Tujuan
25
tanggungjawab pembuat tidak melampuai batas-batas dari apa yang disengaja
mereka sendiri dan apabila tidak dilakukan pembatasan, maka akibat-akibat
sifat aksesor (accessoire) dari bentuk turut serta ini adalah terlalu luas, dan hal
ini pun berlaku bagi bentuk penyertaan uit lokker. Dalam pembentukan terdapat
dua pihak yaitu pembantu dan pembuat, dan diantara keduanya harus terdapat
kualifikasi yang cocok antara pembantu dan pembuat agar bisa dikatakan telah
terjadi pembantuan melakukan perbuatan pidana. 8
C. Pengertian Disparitas Pidana
Putusan-putusan perkara pidana mengenal adanya suatu kesenjangan dalam
penjatuhan pidana yang lebih dikenal dengan disparitas. Disparitas adalah
penerapan pidana (disparity of sentencing) yang tidak sama (same offence) atau
terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar
pemberian yang jelas. Disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan
keadilan (societal justice), secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap
telah melanggar hokum, meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh
hakim. 9
Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda
terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah
hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga
dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas
8 Ibid,
hlm. 27-29 9
26
pemidanaan sangat menentukan. Disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa
kategori yaitu:
1) Disparitas antara tindak pidana yang sama
2) Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama
3) Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim
4) Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda
untuk tindak pidana yang sama10
Sesuai dengan pendapat di atas maka dapat diketahui adanya wadah dimana
disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia.
Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada
tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu
majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama.
Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini
menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.
Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya
pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pedoman pemberian
pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah
terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.11
Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal
hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan
10
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 101-102. 11
27
hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa
pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat sudarto ini
dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas
secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.
Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan
hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum
yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat
penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang
dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang
perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak
merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si
terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk
yang dinamakan checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau
seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikutsertakan
ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”(Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa
dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya kata
ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan). 12
Hal lain yang dapat menimbulkan disparitas pidana adalah ketidakadaan patokan
pemidanaan dalam perundang-undangan kita maupun dalam praktek di pengadilan.
Tanpa pedoman yang memadai dalam undang-undang hukum pidana dikhawatirkan
masalah disparitas pidana dikemudian hari akan menjadi lebih parah dibandingkan
dengan saat ini. Dengan tidak adanya pedoman dalam hukum pidana,
12
28
keanekaragaman pidana akan terjadi walaupun hakim-hakim akan melaksanakan
tugas pemidanaan dengan penuh tanggung jawab dan secermat mungkin. Maksud
patokan pemidanaan adalah pidana rata-rata yang dijatuhkan hakim dalam wilayah
pengadilan tertentu, misalnya wilayah pengadilan tinggi Jakarta Pusat. Dengan
demikian pidana yang terlalu ekstrim, terlalu berat, atau terlalu ringan dapat
dibatasi. Patokan ini tidak bersifat mutlak. Setiap majelis hakim bebas untuk
menyimpang dari patokan tersebut, asalkan memberikan pertimbangan yang cukup
dalam putusannya. 13
Faktor eksternal yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber
pada ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan
landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Ketentuan ini memberikan jaminan terhadap kebebasan
lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya,
kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis pidana,
karena tersedia jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam ketentuan
perundang-undangan pidana14
Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 Ayat (2) KUHP, yang menyebutkan bahwa
pidana penjara waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 (lima
belas) tahun berturut turut. Pasal 12 Ayat (4) mengatur bahwa pidana penjara selam
waktu tertentu sekali sekali tidak boleh melebihi dua puluh tahun. Demikan pula
13
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 101-102. 14
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
29
dengan halnya pidana kurungan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, dinyatakan bahwa
pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, sedangkan
dalam Pasal 1 Ayat (3) KUHP diatur bahwa pidana kurungan sekali kali tidak boleh
lebih dari satu tahun empat bulan. Dalam Pasal 30 KUHP, diatur bahwa pidana
denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen. Apabila pidana denda tidak
dibayar, ia digani dengan pidana kurungan dan lamanya pidana kurungan pengganti
denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
Menyangkut faktor yang bersumber pada diri hakim terutama yang menyangkut
profesionalitas dan integritas untuk menaruh perhatian terhadap perkara yang
ditangani dengan mengingat tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, maka
terhadap perbuatan perbuatan pidana yang sama pun akan dijatuhkan pidana yang
berbeda beda. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa disparitas dalam
pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan penggunaan kebebasan hakim,
yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh undang-undang dan memang
nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringkali penggunannya
melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan hukum di Indonesia.
Akibat adanya disparitas pidana tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana dan
semangat dari falsafah pemidanaan. Disparitas pidana semakin menimbulkan
kekacauan dalam masyarakat, tidak hanya menyakiti rasa keadilan masyarakat,
tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan pidana. Kondisi
inilah yang kemudian menjadi bentuk dari kegagalan penegakan hukum pidana,
dimana penegakan hukum malah diartikan sesuatu yang tidak penting oleh
30
hal ini, ada juga ahli hukum yang tidak sependapat bahwa disparitas hanya
membawa dampak negatif sehingga harus diminimalisasi, mereka tidak
memandang disparitas pidana sebagai suatu kesalahan atau cacat tubuh dalam
penegakan hukum pidana.
Disparitas di dalam pemidanaan dapat dibenarkan, dalam hal sebagai berikut:
1. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik
yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan
alasan-alasan pembenaran yang jelas
2. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun wajar 15
Pandangan ini sejalan dengan asas kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap perkara yang diajukan padanya. Pandangan ini pun merupaka bentuk
refleksi dimana hakim dalam usahanya untuk tetap menjaga kewibawaan hukum,
harus dapat mempertanggungjawab-kan putusan yang dihasilkannya dengan
memberikan alasan yang benar dan wajar tentang perkara yang diperiksanya. jika
hal ini diterapkan, secara logika tentu saja disparitas pidana akan dapat diterima
oleh masyarakat dengan tidak mengusik kepuasan masyarakat terhadap putusan
hakim dan juga tidak mengoyak rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Problematika mengenai pidana dalam penegakkan hukum di Indonesia memang
tidak dapat dihapuskan begitu saja. Hal yang dapat ditempuh hanyalah upaya-upaya
dalam rangka meminimalisasi dispatitas pidana yang terjadi dalam masyarakat.
Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan dengan falsafah pemidanaan dan
tujuan hukum itu sendiri maka upaya terpenting yang harus ditempuh dalam
15
31
menghadapi problematika disparitas pidana adalah perlunya penghayatan hakim
terhadap asas proporsionalitas antara kepentingan masyarakat, kepentingan negara,
kepentingan si pelaku tindak pidana dan kepentingan korban tindak pidana.
D. Tinjauan Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh
menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183
KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b).
Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang
secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)16
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak
berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus
testis).17
Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang
permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Ayat (2) menyatakan bahwa dalam
sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
16
Satjipto Rahardjo. Loc Cit. hlm. 11 17
32
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari putusan.
Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang
pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan
di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak
pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan
secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan
dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang
ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai
motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
(3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih
dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di
dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
(4) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat
mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,
misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari
keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan
33
(5) Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga
memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan
melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak
berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, karena hakim melihat
pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua
perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur.
(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak
pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya
tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku
dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih
baik dan berguna.
(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah
suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman,
agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak
melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal
tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.18
18
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
34
Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia
menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di siding
pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan member
kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat hukumnya untuk
bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan
maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas
segala yang diputuskannya.19
Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat
dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di sati pihak berguna bagi
terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat
mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat
berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi,
melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui visi hakim
yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan
nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara
mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari
hakim yang bersangkutan20
19
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta.2010. hlm.112 20
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
1. Pendekatan yuridis normatif di