SKRIPSI
KARAKTERISTIK ANAK BUAH KAPAL (ABK) YANG MENGIKUTI
SKRINING HIV DI KLINIK VCT KANTOR KESEHATAN
PELABUHAN BELAWAN MEDAN
TAHUN 2006-2008
OLEH NIM. 061000260
RAHMAD KURNIA PUTRA P.
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KARAKTERISTIK ANAK BUAH KAPAL (ABK) YANG MENGIKUTI
SKRINING HIV DI KLINIK VCT KANTOR KESEHATAN
PELABUHAN BELAWAN MEDAN
TAHUN 2006-2008
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
NIM. 061000260
RAHMAD KURNIA PUTRA P.
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI DESA SEKIP KECAMATAN LUBUK PAKAM
KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2010
Oleh:
NIM. 061000296
RAKHMAD KURNIA PUTRA P
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 04 Agustus 2010 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
dr. Achsan Harahap, MPH
ABSTRAK
HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang sangat menakutkan manusia dengan jumlah kasus yang cenderung naik tiap tahunnya. KKP Belawan sebagai salah satu instansi dinas kesehatan ikut berperan dalam menekan angka kejadian AIDS dengan skrining melalui klinik VCT. Anak buah kapal yang berlabuh di Pelabuhan Belawan diwajibkan untuk mengikuti skrining HIV/AIDS di klinik VCT KKP Belawan.
Desain penelitian ini adalah case survei yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan karakteristik ABK yang mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008. Populasi adalah seluruh ABK yang mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan periode September 2006 sampai Desember 2008 sebanyak 1.114 orang dan sampel sebanyak 295 data.
Hasil distribusi frekuensi menunjukkan bahwa karakteristik ABK tertinggi pada umur <30 tahun (55,6%), agama Islam (63,7%), suku Melayu (33,6%), pendidikan SLTA (52,2%), status perkawinan kawin (65,8%), dan daerah asal Medan (65,1%). Sedangkan berdasarkan faktor resiko tertinggi pada hubungan seks (67,1%).
Berdasarkan hasil penelitian, maka perlu diberikan pemahaman kepada ABK yang positif HIV/AIDS tentang pengobatan dan penvegahan penularan ke orang lain. Diperlukan upaya meningkatkan skrining dan pencatatan data terhadap penderita HIV/AIDS serta peran serta semua aspek kehidupan untuk pencegahan penularan HIV/AIDS.
ABSTRACT
HIV/AIDS is a health problem which make people afraid of and the cases are increasing every year. Belawan Port Health Office as an division of health agency is active in pressing the prevalence of AIDS with VCT clinic trough screening. The sailor who is stop in Belawan port must be follow HIV/AIDS screening in Belawan Port Health Office’s VCT clinic.
Design of this research is case survey which have a description to give the description of the sailor who follow HIV/AIDS screening in Belawan Port Office’s VCT clinic. The population are all the sailors who follow HIV/AIDS screening in Belawan Port Office’s VCT clinic from September 2006 until December 2008 are 1.114 sailors and the samples are 295 datas.
The distribution of frequency show that the sailor characteristic is most in <30 years old (55,6%), moeslems (63,7%), Melayu ethnic (33,6%), Senior High School (52,2%), married (65,8%), and come from Medan (65,1%). Then, about the highest risk factor is in get sex (67,1%).
Based of the research results, then it is necessary to give an understanding to the sailor who have a positive test of HIV/AIDS about curing and prevention in another people infection. It is necessary in increase effort and HIV/AIDS data and all the active action in the all aspect of our life to prevent HIV/AIDS infection.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rahmad Kurnia Putra P.
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 06 Agustus 1975
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Jumlah Saudara : 5 ( lima ) bersaudara
Alamat : Jln. Cendrawasih III No 303 Perumnas Mandala
Kecamatan : Percut Sei Tuan
Kabupaten : Deli Serdang
Riwayat Pendidikan : 1. 1982-1988 : SD Neg 060805 Medan
2. 1988-1991 : SLTP Neg 11 Medan
3. 1991-1994 : SLTA Khatolik Kaban Jahe
4. 1994-1997 : D3 Akademi Keperawatan USU
5. 2006-2010: FKM USU
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, cinta-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”
Karakteristik Anak Buah Kapal ( ABK ) Yang Mengikuti Skrining HIV Di Klinik VCT Di Kantor Kesehatan Pelabuhan Belawan Medan “
Skripsi ini disusn untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan
pada program studi Strata 1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH selaku Ketua Departemen
Epidemiologi FKM USU dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Ibu drh. Hiswani, M.Kes selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan kritik
5. Bapak dr. Achsan Harahap, MPH selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan
kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dosen Pembimbing Akademik
7. Seluruh Dosen pengajar dan stsf Akademik FKM USU yang telah banyak
memberikan ilmu dan bantuan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas.
8. Bapak dr. H. Syahril Aritonang, M.HA selaku Kepala Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas 1 Medan yang telah memberi izin kepada penulis untuk
melakukan penelitian serta pegawai Kantor Kesehatan Pelabuhan yang turut
membantu dalam pengumpulan data.
9. Teristimewa untuk istri ku Novita Syaftawati dan anak-anak ku Yaser Atmanegara
P, Rizki Fazriyani P, dan Dyah Anggraini Pitaloka P, yang selalu
memberikan doa dukungan serta kasih sayang kepada penulis.
10.Saudara- saudaraku tersayang yang begitu banyak memberikan bantuan dan
dukungan moril dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di
FKM USU
11.Rekan- rekan peminatan Epidemiologi seperjuangan : Vivi, Dodi, Dedi Suci, Rita,
Yanti dan adik- adik Reguler 2005-2006 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Rekan- rekan Ekstensi 2006 : Efri, Umma, Suci, Wiwik, Dini, Dewi. Terima kasih
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu dengan
kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2010
Penulis
DAFTAR ISI
2.4. Kebijakan dan Strategi Penanggulangan HIV di Tempat Kerja ... 13
2.4.1 Kebijakan Penanggulangan HIV di Tempat Kerja ... 13
2.4.2 Strategi Penanggulangan HIV di Tempat Kerja ... 14
2.5. Skrining ... 15
2.5.1 Tujuan Skrining ... 15
2.5.2 Bentuk Pelaksanaan Skrining HIV ... 16
2.5.3 Keuntungan Skrining ... 17
2.5.4 Syarat dan Prinsip Skrining HIV Pada ABK ... 17
2.5.5 Bahan ... 18
2.6. Anak Buah Kapal ... 18
2.7. Voluntary Counseling and Test (VCT) atau konseling dan Tes Sukarela (KTS) Anak Buah Kapal ... 19
2.7.1 Proses Konseling ... 20
2.7.2 Tahapan Konseling ... 21
3.1. Kerangka Konsep ... 29
4.5. Metode Pengumpulan Data ... 29
...
6.2.5. Status Perkawinan Berdasarkan Faktor Resiko ... 59
6.2.6. Daerah Asal Berdasarkan Faktor Resiko ... 60
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
7.1. Kesimpulan ... 62
7.2. Saran ... 63
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Karakteristik ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 39
Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 41
Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 41
Tabel 5.4. Distribusi Proporsi Agama Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 42
Tabel 5.5. Distribusi Proporsi Suku Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 43
Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Pendidikan Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 43
Tabel 5.7. Distribusi Proporsi Status Perkawinan Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 44
Tabel 5.8. Distribusi Proporsi Daerah Asal Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 45
DAFTAR GAMBAR
Gambar 6.1. Diagram Pie Distribusi Proporsi Umur ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 47
Gambar 6.2. Diagram Pie Distribusi Proporsi Agama ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 48
Gambar 6.3. Diagram Bar Distribusi Proporsi Suku ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 49
Gambar 6.4. Diagram Pie Distribusi Proporsi Pendidikan ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 50
Gambar 6.5. Diagram Pie Distribusi Proporsi Status Perkawinan ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 51
Gambar 6.6. Diagram Pie Distribusi Proporsi Daerah Asal ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 52
Gambar 6.7. Diagram Pie Distribusi Proporsi Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008 ... 53
Gambar 6.8. Diagram Bar Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 ... 54
Gambar 6.9. Diagram Bar Distribusi Proporsi Agama Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 ... 55
Gambar 6.10. Diagram Bar Distribusi Proporsi Suku Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 ... 56
Gambar 6.11. Diagram Bar Distribusi Proporsi Pendidikan Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 ... 58
Gambar 6.12. Diagram Bar Distribusi Proporsi Status Perkawinan Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP
ABSTRAK
HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang sangat menakutkan manusia dengan jumlah kasus yang cenderung naik tiap tahunnya. KKP Belawan sebagai salah satu instansi dinas kesehatan ikut berperan dalam menekan angka kejadian AIDS dengan skrining melalui klinik VCT. Anak buah kapal yang berlabuh di Pelabuhan Belawan diwajibkan untuk mengikuti skrining HIV/AIDS di klinik VCT KKP Belawan.
Desain penelitian ini adalah case survei yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan karakteristik ABK yang mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008. Populasi adalah seluruh ABK yang mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan periode September 2006 sampai Desember 2008 sebanyak 1.114 orang dan sampel sebanyak 295 data.
Hasil distribusi frekuensi menunjukkan bahwa karakteristik ABK tertinggi pada umur <30 tahun (55,6%), agama Islam (63,7%), suku Melayu (33,6%), pendidikan SLTA (52,2%), status perkawinan kawin (65,8%), dan daerah asal Medan (65,1%). Sedangkan berdasarkan faktor resiko tertinggi pada hubungan seks (67,1%).
Berdasarkan hasil penelitian, maka perlu diberikan pemahaman kepada ABK yang positif HIV/AIDS tentang pengobatan dan penvegahan penularan ke orang lain. Diperlukan upaya meningkatkan skrining dan pencatatan data terhadap penderita HIV/AIDS serta peran serta semua aspek kehidupan untuk pencegahan penularan HIV/AIDS.
ABSTRACT
HIV/AIDS is a health problem which make people afraid of and the cases are increasing every year. Belawan Port Health Office as an division of health agency is active in pressing the prevalence of AIDS with VCT clinic trough screening. The sailor who is stop in Belawan port must be follow HIV/AIDS screening in Belawan Port Health Office’s VCT clinic.
Design of this research is case survey which have a description to give the description of the sailor who follow HIV/AIDS screening in Belawan Port Office’s VCT clinic. The population are all the sailors who follow HIV/AIDS screening in Belawan Port Office’s VCT clinic from September 2006 until December 2008 are 1.114 sailors and the samples are 295 datas.
The distribution of frequency show that the sailor characteristic is most in <30 years old (55,6%), moeslems (63,7%), Melayu ethnic (33,6%), Senior High School (52,2%), married (65,8%), and come from Medan (65,1%). Then, about the highest risk factor is in get sex (67,1%).
Based of the research results, then it is necessary to give an understanding to the sailor who have a positive test of HIV/AIDS about curing and prevention in another people infection. It is necessary in increase effort and HIV/AIDS data and all the active action in the all aspect of our life to prevent HIV/AIDS infection.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang
ditandai dengan penduduknya yang hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat,
memiliki kemampuan untuk menjangkau kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta
memiliki derajat kesehatan yang optimal diseluruh wilayah Republik Indonesia. Adapun salah
satu yang menjadi program pokok pembangunan kesehatan tersebut adalah program
pemberantasan penyakit menular untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit menular
dan mencegah penularan serta mengurangi dampak sosial dari akibat penyakit sehingga tidak
menjadi masalah kesehatan.1
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah salah satu penyakit menular yang
menakutkan umat manusia. Dapat dipastikan bahwa penderita HIV akan membawa kematian
bagi penderita dan sampai sekarang belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkannya.
Penyebaran HIV tidak mengenal umur, jenis kelamin, pekerjaan, suku, ras dan agama.
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, dalam jumlah yang
cukup dan potensi HIV dapat menginfeksi orang lain.
Kasus infeksi HIV pertama di dunia dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1983,
yang dalam waktu relatif singkat dapat terjadi peningkatan kasus dan penyebarannya sangat
Dalam 17 tahun kasus ini meningkat menjadi 330 kali lipat. Sebagian besar kasus ini yakni
32,7 juta (95%) berada dinegara berkembang. Hampir 7 juta (22%) diantaranya adalah
penduduk Asia Tenggara-Selatan.2
Indonesia merupakan negara terbuka dalam hal perdagangan, perindustrian dan
pariwisata, sehingga sangat sulit mencegah kemungkinan masuknya HIV ke Indonesia. Kasus
pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987 dimana 2 orang wisatawan dari mancanegara
dinyatakan sebagai pengidap HIV, dan setelah itu kasus HIV meningkat dengan cepat dari
tahun ke tahun dan tersebar di hampir semua provinsi yang ada di Indonesia.3
Di Indonesia, sampai Maret 2008 tercatat 17.988 orang pengidap HIV dan AIDS.
Jumlah tersebut diyakini masih jauh dari jumlah sebenarnya dan masih akan terus meningkat.
Berdasarkan estimasi Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002, terdapat 90.000–130.000
orang Indonesia yang telah tertular HIV. Kelompok terbesar penderita HIV/AIDS berusia
produktif diantara 20-29 tahun yang menyumbangkan sekitar 53,8% dari keseluruhan
penderita HIV/AIDS. Depkes RI tahun 2005 memprediksi pada tahun 2010 penderita
HIV/AIDS akan mencapai 93.968 hingga 130.000 orang (Ditjen PPM & PL Depkes RI).3
Di Sumatera Utara, secara kumulatif pengidap HIV dan kasus AIDS tahun 1994-2007
terdiri dari 1157 orang, dimana 683 orang atau 51% penderita HIV, dan 474 orang atau 49%
penderita AIDS. Dari jumlah tersebut laki-laki yaitu sebanyak 901 orang atau sebesar 78%,
perempuan yaitu 232 orang atau 20%, dan yang tidak diketahui identitasnya yaitu 24 orang
atau 2%. Kebanyakan pengidap HIV/AIDS adalah pada rentang umur 20-29 tahun, yaitu
berjumlah 621 orang atau 54%. Kota Medan menempati urutan pertama dari 1157 orang yang
teridentifikasi HIV/AIDS, yakni terdiri dari HIV berjumlah 310 orang atau 27% dan AIDS
Sumatera Utara adalah para pengguna narkoba suntik, yaitu sebesar 42% (DinKes Propinsi
Sumatera Utara, 2007).4
Peningkatan kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara masih terbilang kecil bila
dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Namun hal penting yang menjadikan Sumatera Utara
sangat potensial dalam peningkatan penyebaran HIV/AIDS adalah kedekatan provinsi
Sumatera Utara secara geografis dengan negara-negara tetangga yang mempunyai kasus
infeksi HIV/AIDS yang tinggi seperti Thailand dan Kamboja.4
Data di Dinas Kesehatan kota Medan tahun 2007 menunjukkan hingga bulan
September 2007 kasus AIDS telah mencapai 70 % dan yang terinfeksi HIV 30%. Jumlah
orang yang rawan terhadap penularan HIV diperkirakan 13 sampai 20 juta orang. Kelompok
masyarakat yang paling tinggi tingkat penularannya adalah 58,3% pengguna Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA), dengan jarum suntik dan melalui hubungan seksual
41,7% (Dinkes Kota Medan).5
Dari 416 kasus HIV/AIDS yang ada di Sumatera Utara, 46% berada pada stadium
AIDS dan diketahui 19% telah meninggal dunia. Kota Medan merupakan penyumbang
terbesar penderita HIV/AIDS dengan jumlah 360 kasus. Sebagai Ibukota provinsi, kota
Medan berisiko tinggi terhadap penyebaran virus HIV/AIDS. Penyebaran virus ini sangat
dipengaruhi dari perilaku individu berisiko tinggi terutama perilaku seks heteroseks,
merebaknya peredaran narkoba khususnya pengguan jarum suntik.5
Menurut Sungadi (2007), salah satu kecamatan kota Medan yang menjadi tempat
keberadaan para PSK (Pekerja Seks Komersial) adalah Belawan, dimana Belawan juga
dalam maupun luar negeri dan setiap pelabuhan selalu ada yang namanya anak buah kapal
(ABK) selalu berhubungan seksual dengan PSK.6
Menurut penelitian Futi, berdasarkan penelitiannya di Indonesia terdapat 12 juta orang
pelanggan seks. Terdiri dari 30% (persen) Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan sisanya
mayoritas sopir antar kota dan pelaut. Dari jumlah tersebut hanya 3-10 persen yang mau
menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan PSK. (Kedaulatan Rakyat, 7 September
2006).7
Dalam hal ini KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) Kelas I Medan yang berinduk di
Pelabuhan Belawan Medan mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai filter (penyaring)
untuk melakukan tindakan cegah tangkal dan deteksi dini terhadap penyakit karantina (HIV,
Pest, Yellow fever, cholera) dan penyakit menular potensial wabah sebagai tupoksi dari KKP
Kelas I Medan itu sendiri, mengingat Pelabuhan merupakan “Port de entree” dari beberapa
penyakit menular yang berpotensi berkembang ke seluruh wilayah diluar pelabuhan.8
Oleh karena itu KKP Kelas I Medan secara aktif ikut terlibat di dalam penatalaksanaan
HIV/AIDS yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi dan mencegah timbulnya
penyebaran penyakit HIV/AIDS lebih lanjut dengan membuat klinik Voluntary Councelling
and Testing (VCT) terhadap ABK, Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) pada lokalisasi
pelacuran di sekitar pelabuhan dan juga masyarakat yang bermukim di sekitar pelabuhan
Belawan. Kegiatan ini didukung sepenuhnya oleh Dinas Kesehatan Tingkat I Propinsi
Sumatera Utara.
Sampai saat ini penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual masih merupakan
salah satu masalah kesehatan di lingkungan pelabuhan Belawan. Hal ini disebabkan para PSK
faktor resiko yang tinggi dan rawan terhadap kejadian penyakit IMS bahkan terhadap
penularan HIV/AIDS mengingat rute lalu lintas perjalanan kapal yang sering berganti haluan
ke seluruh pelabuhan yang ada di Indonesia bahkan ke luar negeri.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari kunjungan VCT KKP Kelas I Medan yang
diambil mulai bulan September 2006 dimana klinik VCT KKP Kelas I Medan baru mulai
beroperasi, dan sudah melakukan konselling sekaligus melakukan test sample darah kepada
1114 orang yang datang berkunjung. Dan dari jumlah tersebut telah terdeteksi 5 orang
diantaranya mengidap HIV ( + ). Jumlah kunjungan ini sangat bervariasi mulai dari umur,
jenis kelamin dan pekerjaan.
Berdasarkan data diatas perlu dilakukan penelitian dalam upaya mengetahui
karakteristik Anak Buah Kapal (ABK) yang mengikuti skrining HIV di klinik VCT Kantor
Kesehatan Pelabuhan Belawan Medan tahun 2006-2008.
.
1.2. Perumusan Masalah
Belum diketahui karakteristik Anak Buah Kapal (ABK) yang mengikuti skrining HIV di klinik VCT Kantor Kesehatan Pelabuhan Belawan Medan tahun 2006-2008.
1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik Anak Buah Kapal (ABK) mengikuti skrining HIV di
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi proporsi HIV (+) berdasarkan karakteristik (umur, agama,
suku bangsa, pendidikan, status perkawinan, dan daerah asal) pada ABK yang mengikuti
skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008.
b. Untuk mengetahui distribusi proporsi faktor resiko pada ABK yang mengikuti skrining di
klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008.
c. Untuk mengetahui distribusi proporsi umur berdasarkan faktor resiko pada ABK yang
mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008.
d. Untuk mengetahui distribusi proporsi agama berdasarkan faktor resiko pada ABK yang
mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008.
e. Untuk mengetahui distribusi proporsi suku bangsa berdasarkan faktor resiko pada ABK
yang mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008.
f. Untuk mengetahui distribusi proporsi pendidikan berdasarkan faktor resiko pada ABK
yang mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008.
g. Untuk mengetahui distribusi proporsi status perkawinan berdasarkan faktor resiko pada
ABK yang mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008.
h. Untuk mengetahui distribusi proporsi daerah asal berdasarkan faktor resiko pada ABK
yang mengikuti skrining di klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008.
1.4. Manfaat
1. Sebagai bahan masukan bagi KKP Belawan dalam melakukan skrining pada kelompok
2. Sebagai dasar penelitian selanjutnya mengenai skrining HIV/AIDS di pelabuhan yang ada
di Indonesia.
3. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetian HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV tergolong dalam kelompok
retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk “mengkopi-cetak”
materi genetik diri di dalam materi genetik sel-sel yang ditumpanginya. Melalui proses ini
HIV dapat mematikan sel-sel T-4.9
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV. Istilah AIDS meliputi tidak saja
adanya manifestasi gejala klinik yang khusus yaitu sindroma menurunnya sistem kekebalan
tubuh, tetapi juga mengenai spectrum keseluruhan masalah kesehatan yang berhubungan
dengan infeksi HIV. AIDS kurang tepat jika disebut sebagai penyakit sebab penyakit yang
menyerang sangat bervariasi. Defenisi yang benar adalah Syndrom atau kumpulan gejala
penyakit.9
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV yang merupakan virus dari kelompok retro
virus yang berinti RNA dan sangat mudah mengalami mutasi. Satu virus yang masuk ke
dalam sel dapat menginfeksi dan bersifat permanen1. Walaupun pada awalnya virus ini tidak
menimbulkan gejala klinis dalam beberapa tahun, namun kemudian pada kondisi yang sesuai
dapat membentuk virus baru dalam sel inang, kemudian keluar dan menginfeksi sel lain,
2.2. Perjalanan Alamiah Penyakit
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983
oleh Montagnier dari Institute Pasteur Prancis diberi nama Lymphadenopathy Associated
Virus dari penderita AIDS dan diberi nama Human T cell Leukaemia Virus type III
(HTLV-III). Pada tahun 1996 atas kesepakatan internasional nama virus itu ditetapkan menjadi
Human Immunodeficiency Virus (HIV).2
Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan
sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama,
dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS 9. Berbeda dengan virus lain
yang menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka
waktu lama.9
Setelah virus HIV masuk ke dalam target, akan melepas bungkusnya dan merubah
bentuk dari RNA menjadi DNA agar dapat bergabung dan menyatukan diri dengan DNA sel
target. Dari DNA sel target yang telah diinfeksi akan diproduksi virus-virus HIV baru yang
mempunyai potensi untuk menginfeksi sel target baru dan dapat berlangsung seumur hidup.
Akibat infeksi HIV ini akan merusak sel limfosit-T sehingga imun rusak dan daya tahan tubuh
menjadi berkurang atau hilang. Penderita menjadi mudah terserang penyakit lain seperti
infeksi. Banyak penderita AIDS meninggal karena juga menderita penyakit yang lain.9
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan sebelum
titer antibodi terhadap HIV positif. Fase ini disebut “periode jendela” (window period).
Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun
Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan
sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIV sampai menjadi AIDS
membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah
diketahui HIV positif 9.
2.3. Struktur Virus HIV
Virus HIV termasuk virus RNA positif yang berkapsul, dari famili Retroviridae.
Diameternya sekitar 100 nm dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh
protein nukleokapsid. Pada permukaan kapsul virus terdapat glikoprotein transmembran gp41
dan glikoprotein permukaan gp120. Di antara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks
protein. Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse
transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Enzim RT merupakan DNA polimerase
yang khas untuk retrovirus, yang mampu mengubah genom RNA menjadi salinan rantai
ganda DNA yang selanjutnya diintegrasikan pada DNA sel pejamu. Retrovirus juga memiliki
sejumlah gen spesifik sesuai dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus),
pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran
Replikasi retrovirus berbeda dengan virus RNA lainnya. Segera setelah inti virus
memasuki sitoplasma sel yang terinfeksi, RNA disalin ke DNA rantai ganda dengan RT.
Penyalinan dimungkinkan oleh aktivitas RNAse H dari RT, sehingga rantai RNA dapat
dipecah menjadi campuran DNA (-) dan RNA (+). Baru kemudian campuran ini berubah
menjadi molekul DNA rantai ganda. DNA hasil salinan akan memasuki inti sel yang
terinfeksi dan menyatu dengan kromosom sel pejamu. Provirus (gen virus spesifik) juga ikut
mengalami penyatuan dengan kromosom sel yang terinfeksi. Integrasi ini dimungkinkan
dengan adanya sisipan rantai pengulangan yang disebut long terminal repeats (LTR) pada
ujung-ujung salinan genom RNA. Rantai LTR ini memuat informasi sinyal yang diperlukan
untuk transkripsi provirus oleh RNA polimerase dari pejamu. Selain itu juga protein integrase
akan terjadi proses transkripsi yang menghasilkan satu rantai genom RNA yang utuh dan satu
atau beberapa mRNA. mRNA yang dihasilkan ini mengkode protein regulator virus.10
2.4. Epidemiologi HIV
2.4.1. Distribusi Menurut Orang
Pada orang dewasa dan remaja di Amerika pada tahun 2006 terdapat sekitar 53 %
kasus HIV terjadi pada mereka yang berkulit putih, 29 % terjadi pada kelompok orang
berkulit hitam (Afrika-Amerika), 17 % terjadi pada Hispanik (Amerika Latin) dan 0,8 %
terjadi pada orang Asia/kepulauan Pasifik serta Indian Amerika /penduduk asli Alaska. Pada
anak-anak 21 % terjadi pada anak-anak kulit putih, 54 % terjadi pada anak-anak kulit hitam,
24 % terjadi pada anak-anak Hispanik dan 0,7 % terjadi pada anak-anak Asia/kepulauan
Pasifik serta Indian Amerika/penduduk asli Alaska. Penderita HIV di Amerika sampai tahun
2006 yang tercatat oleh CDC berusia antara 20 sampai dengan 49 tahun. Hampir 90 %
penderita HIV pada dewasa dan remaja adalah pria.11
Di Indonesia gambaran penularan epidemiologi HIV yang perlu dicatat dari laporan
Depkes tahun 2007 adalah cukup tingginya kelompok usia produktif yang menjadi keganasan
HIV. Secara kumulatif, 54 % proporsi penderita HIV/AIDS di Indonesia adalah kelompok
produktif (20-29 tahun). Menyerang kelompok usia produktif merupakan suatu tantangan
yang perlu segera diatasi mengingat kelompok penduduk ini adalah asset pembangunan
bangsa.3
Penyebaran HIV bervariasi ditiap-tiap wilayah. Beberapa negara terkena dampak lebih
besar dibandingkan negara lain. Bahkan dalam satu negara biasanya terdapat variasi yang luas
antar provinsi negara bagian, distrik dan antar daerah perkotaan dan pedesaan.11
Sub-Sahara Afrika masih menjadi wilayah yang paling besar terkena dampak HIV
dengan prevalensi HIV yang tinggi. Afrika Sub-Sahara dihuni hanya 10 % populasi penduduk
dunia tetapi 2/3 kasus HIV terjadi di wilayah ini yaitu sekitar 24,7 juta. Sedangkan untuk
wilayah Asia pada tahun 2006 diperkirakan 8,5 juta orang hidup dengan HIV.11
2.4.3. Distribusi Menurut Waktu
Kasus HIV di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan dan juga penurunan.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan dari tahun 2000-2007 menunjukkan kasus HIV
mencapai 5388 penderita baru.3
Berdasarkan data di atas, prevalensi HIV di Indonesia secara umum memang masih
rendah, tetapi Indonesia telah digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang
terkonsentrasi (concentrated level epidemic) yaitu adanya epidemi lebih dari 5 % pada sub
populasi tertentu misalnya penjaja sex dan pengguna narkoba jarum suntik.3
Penularan AIDS berlangsung sangat cepat dan menimbulkan pandemik AIDS di
sebagian besar negara di dunia temasuk Indonesia . Virus HIV terbesar pada cairan tubuh dari
orang yang terinfeksi. Virus ini telah berhasil diisolasi dari berbagai cairan tubuh. Konsentrasi
terbesar ditemukan di dalam darah, semen dan cairan vagina dan serviks sedangkan
konsentrasi yang rendah pada air mata, air liur, air susu ibu (ASI), kolostrum, air seni.11
Cara penularan AIDS melalui hubungan seksual (90%) dan non seksual (10%).
genitogenital. Risiko penularan dari suami yang mengidap HIV ke istrinya adalah 22%,
sedangkan dari istri ke suami adalah 18%.12
Dari hasil survei Departemen Kesehatan, epidemi HIV/AIDS berpotensi meluas di
masa-masa mendatang. Ini didasarkan pada penularan HIV/AIDS di Indonesia yang tergolong
tinggi. Selain mudah menular di kalangan orang yang suka melakukan hubungan seks secara
bebas, epidemi HIV/AIDS mudah meluas di kalangan pengguna narkoba, khususnya yang
biasa memanfaatkan jarum suntik secara bersama-sama. Prilaku seks dengan gonta-ganti
pasangan (khususnya kaum pria) berpotensi besar tertular HIV/AIDS, apalagi kalau mereka
tidak menggunakan kondom. Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia berpotensi meluas, karena
kesadaran memakai kondom masih kurang.3
2.5. Jenis-jenis pemeriksaan HIV/AIDS 13
HIV/ AIDS termasuk jajaran penyakit yang mempunyai tingkat penularan yang sangat
tinggi. Hal ini terjadi karena seringkali seseorang tidak menyadari bahwa dirinya telah
terinfeksi HIV, sehingga menjadi sumber penularan bagi orang lain. Seseorang terkena HIV
biasanya diketahui jika telah terjadi Sindrom Defisiensi Imun Dapatan (AIDS) yang ditandai
antara lain penurunan berat badan, diare berkepanjangan, Sarkoma Kaposi, dan beberapa
gejala lainnya.
2.5.1. Cara Pemeriksaan HIV
Berkembangnya teknologi pemeriksaan saat ini mengijinkan kita untuk mendeteksi
HIV lebih dini. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain :
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat
tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau
bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli
menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan
aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA
dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing.
Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini sangat mirip
dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur. Hasil
positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV.
Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil
pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua
kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi
HIV.
b. Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan
lebih spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil. Walaupun
demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.
c. IFA
IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi
d. PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung keberadaan
virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah
terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu,
biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti. Selain
itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ
yang akan didonorkan.
2.5.2. Prosedur Pemeriksaan dan Mendeteksi Penderita HIV a. Unlinked Anomymous
Spesimen darah diambil dari darah yang telah diambil sebelumnya untuk keperluan
lainnya. Tes dilakukan anomymous artinya semua data dihilangkan yang memungkinkan
untuk menghubungkan hasil pemeriksaan darah dengan pemilik spesimen tes. (unlinked).
Kerahasiaan penderita akan terjaga baik tidak akan terjadi bias partisipasi,prevalensi. Tak
diperlukan informent consent (persetujuan) dan pelayanan konseling bagi penderita.
b. Voluntary Anonymous
Seseorang setuju untuk melakukan tes HIV terhadap dirinya. Sampel diberi kode atau
nomor tertentu dan semua label yang menyangkut identitas pribadi dihilangkan. Data yang
boleh ditinggalkan hanya tanggal pemeriksaannya, jenis kelamin, umur, dan faktor resiko.
Pemeriksa akan melihat hasil pemeriksaan berdasarkan kode atau nama. Bias partisipasi
masih bisa timbul.
Seseorang setuju untuk dilakukan tes HIV terhadap dirinya. Hasil pemeriksaan hanya
diketahui oleh beberapa orang saja. Bias partisipasi masih tinggi.
d. Compul Satary
Pemeriksaan merupakan kewajiban tidak ada kemungkinan seseorang untuk
menolaknya. Hasil pemeriksaan dapat atau tidak diberikan kepada yang bersangkutan.
Contohnya adalah pemeriksaan wajib dilembaga pemasyarakatanyang direkomendasikan
WHO. Bias partisipasi bisa timbul.
e. Mandatory
Tes HIV merupakan persyaratan untuk mendapatkan sesuatu manfaat. Tes ini hanya
boleh dilakukan untuk memeriksa donor darah, donor sperma, organ tubuh, asuransi dll.Bias
partisipasi bisa timbul.
f. Unlinked Anonymous
Kerahasiaan dijamin penuh dengan menggunakan kode nomor yang dapat dikaitkan
dengan pemilih darah. Pemeriksaan VDRL/ TDHA HIV dilakukan petugas laboratorium
yang berbeda dan diruangan yang berbeda.
g. Voluntary Anonymous dan Voluntary Confidential
Kerahasiaan terbuka oleh para petugas kesehatan, data penderita diperlukan untuk
konseling.
Adapun kebijakan penanggulangan HIV di tempat kerja yang dilakukan pemerintah
adalah sebagai berikut :
a. Memutuskan rantai penularan : Penanggulangan HIV dilaksanakan dengan
memutuskan rantai penularan penyakit yang terjadi melalui hubungan seks yang tidak
terlindungi.
b. Mengembangkan kerja sama kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat serta
organisasi profesi dalam penanggulangan HIV di tempat kerja
c. Pencegahan HIV melalui KIE terutama yang menyangkut hal yang berkaitan dengan
pengetahuan tentang penyakit HIV, cara-cara pencegahan yang dapat dilakukan oleh
setiap orang sehingga setiap pekerja mampu melindungi diri masing masing dan
melindungi diri dari orang lain dari penularan penyakit
d. Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar tentang
HIV/AIDS guna melindungi dirinya terhadap penularan penyakit.
e. Setiap pekerja ODHA dilindungi kerahasiaannya (kecuali bila ia membolehkan untuk
diketahui oleh orang lain) untuk mencegah stigmatisasi, diskriminasi dan pelanggaran
hak azasi manusia. Setiap ODHA wajib melindungi pasangan seks nya.
f. Persamaan gender (gender Equality) dan pemberdayaan perempuan untuk mengurangi
ancaman atau kerentanan (vulnerebility) pekerja perempuan terhadap penularan HIV
serta mencegah dan melindungi mereka dari kekerasan seksual.
g. Setiap pekerja ODHA berhak memperoleh pelayanan pengobatan, perawatan dan
dukungan tanpa diskriminasi sehingga memungkinkan ia dapat hidup layak sebagai
h. Meningkatkan kemampuan petugas dan institusi kesehatan dan sektor terkait
(Capacity Building) dalam penanggulangan HIV termasuk pelatihan dan
pengorganisasian.
i. Prosedur untuk mendiagnosis infeksi HIV pada pekerja harus dilakukan secara
sukarela dan didahului dengan memberikan informasi yang benar kepada yang
bersangkutan (informed-concent), disertai conseling yang memadai sebelum dan
sesudah test dilakukan.
2.6.2 Strategi Penanggulangan HIV di Tempat Kerja14
a. Upaya penanggulangan HIV di tempat kerja harus dimulai dengan memperkuat
kemauan dan kepemimpinan para manager untuk mengatasi HIV dan diharapkan
adanya komitmen pimpinan dan dokter perusahaan untuk bersama-sama mencegah
penyebaran HIV di tempat kerja dalam rangka menangkal ancaman bencana nasional
HIV mendatang.
b. Menerapkan dan membangun kemitraan sebagai landasan kerja dan promosi kesehatan
kerja dalam penanggulangan HIV di tempat kerja.
c. Mengembangkan iklim yang mendorong dunia usaha yang partisipatif dalam
pelembagaan kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja terutama dalam
2.7. SKRINING (UJI TAPIS)15
Uji Tapis/Skrining adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak
melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan
antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita.
2.7.1.Tujuan Skrining
a. Uji Skrining dilakukan untuk mendeteksi secara dini mereka yang diduga menderita
penyakit tertentu, agar dapat ditindak lanjuti.
b. Mencegah meluasnya penyakit menjadi lebih serius pada populasi risiko tinggi.
c. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin
terhadap penyakit tertentu.
d. Mendapatkan gambaran epidemiologis yang mendekati sebenarnya dari penyakit
2.7.2. Bentuk pelaksanaan Skrining HIV
a. Secara massal pada kelompok orang tertentu, misalnya dilakukan skrining
terhadap seluruh kelompok masyarakat.
b. Secara selektif pada kelompok resiko tinggi, misalnya dilakukan pada kelompok
WTS, tahanan penjara, pengguna jarum suntik dll.
c. Ditujukan untuk suatu penyakit tertentu atau sekaligus pada beberapa penyakit.
Dalam skrining HIV/AIDS ini terdapat tiga kriteria untuk penilaian yang harus
dipenuhi, yaitu; validitas, reliabilitas dan yield. Dari kriteria validitas adalah untuk
memberikan indikasi siapa yang menderita HIV dan siapa yang tidak. Validitas mempunyai
dua komponen adalah sensitifitas dan spesifitas. Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes
untuk mengidentifikasi orang yang benar-benar sakit dan mana yang tidak (true positive).
tepat yang benar-benar tidak menderita penyakit (true negative). Reliabilitas adalah
kemampuan dari alat skrining tersebut untuk memberikan hasil yang sama pada penggunaan
lebih dari satu kali dalam keadaan yang sama. Sedangkan yield adalah jumlah kasus yang
dahulu tidak diketahui dan sekarang diketahui.
2.7.3. Keuntungan Skrining
Beberapa hal keuntungan menggunakan skrining antara lain adalah :
a. Mendapatkan keterangan yang lebih cepat tentang distribusi suatu penyakit.
b. Dapat digunakan untuk menentukan tindak lanjut yang lebih dini, dalam kepentingan
penyusunan suatu program pencegahan dan pemberantasan.
2.7.4. Syarat dan Prinsip Skrining HIV Pada ABK
Berikut adalah faktor yang harus diperhatikan sebagai bahan pertimbangan uji
tapis/skrining:
a. Penyakit atau keadaan yang di skrining haruslah merupakan masalah kesehatan yang
penting.
b. Biaya, harus dipertimbangakan cost-effectiveness dan tes yang digunakan harus
semurah mungkin.
c. Alat yang digunakan, alat yang dipakai dalam uji tapis/skrining dapat dengan mudah
dikerjakan oleh petugas lapangan dan petugas rumah sakit. Alat yang digunakan harus
sensitif hingga sesedikit mungkin hasil tes dengan false negatif.
e. Tes yang digunakan tidak bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat.
f. Penderita yang terdeteksi harus mendapatkan pengobatan dan besarnya biaya
pengobatan harus menjadi perimbangan.
g. Penyakit yang dideteksi harus mempunyai masa laten lama atau masa asimtomatik
dini.
h. Perjalanan alamiah penyakit yang akan dideteksi harus sudah diketahui.
i. Diagnosa pasti dan terapi tersedia baik pada institusi yang melakukan skrining
ataupun dengan rujukan.
j. Prosedur skrining bersifat valid dan reliabel
k. Tersedia alat diagnosis baku dan standar (gold standard)
l. Populasi yang akan dilakukan test skrining merupakan kelompok risiko tinggi.
2.7.5. Bahan
Bahan yang dipakai sebagai alat skrining adalah kuesioner. Sebagai baku emas (gold
standard) dalam skrining ini adalah pemeriksaan uji Elisa untuk HIV. Baku emas adalah
merupakan pembuktian dari alat skrining untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu penyakit
dan merupakan sarana diagnostik terbaik yang ada. Baku emas selalu memberikan nilai yang
positif pada subyek yang menderita penyakit dan nilai negatif pada subyek yang tidak
menderita penyakit.
2.8. Anak Buah Kapal (ABK)16
Pelaut adalah seseorang yang pekerjaannya berlayar di laut atau dapat pula berarti
dari sebuah kapal. Hal ini mencakup seluruh orang yang bekerja di atas kapal, selain itu juga
sering disebut dengan Anak Buah Kapal.
Anak Buah Kapal (ABK) atau Awak Kapal terdiri dari beberapa bagian. Masing
masing bagian mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri dan tanggung jawab utama
terletak di tangan Kapten kapal selaku pimpinan pelayaran.
Setiap melakukan pelayaran Anak Buah Kapal selalu berlayar dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lainnya. Kebanyakan ABK beresiko terhadap penyakit menular salah satunya HIV.
2.9. Voluntary Counseling and Test (VCT) atau Konseling dan Tes Sukarela (KTS) 16 Pengertian konseling menurut beberapa defenisi adalah sebagai berikut:
2.9.1. Konseling adalah proses komunikasi antara seseorang (konselor) dengan orang lain.
(Depkes RI, 2000:32).
2.9.2. Konseling adalah proses pemberian informasi obyektif dan lengkap, dilakukan secara
sistematik dengan paduan ketrampilan komunikasi interpersonal, teknik bimbingan
dan penguasaan pengetahuan klinik bertujuan untuk membantu seseorang mengenali
kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan menentukan jalan keluar/
upaya untuk mengatasi masalah tersebut.(Saifudin, Abdul Bari dkk, 2001:39 )
2.9.3. Konseling adalah proses pemberi bantuan seseorang kepada orang lain dalam
membuat suatu keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui pemahaman
terhadap fakta, harapan, kebutuhan, dan perasaan klien. ( Saraswati, Lukman,
Voluntary Counseling and testing (VCT), dalam bahasa Indonesia disebut konseling
dan tes sukarela, VCT merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang
dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di Laboratorium. Tes HIV dilakukan
setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat
persetujuan setelah mendapat penjelasan yang lengkap dan benar(KPAI,2007)
2.9.1. Proses Konseling
Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dan klien yang membuahkan
kematangan kepribadian pada konselor dan memberikan dukungan mental-emosional kepada
klien. proses konseling mencakup upaya-upaya yang realistik dan terjangkau serta dapat
dilaksanakan.
Proses konseling hendaknya mampu :
a. Memastikan klien mendapatkan informasi yang sesuai fakta.
b. Menyediakan dukungan saat kritis.
c. Mendorong perubahan yang dibutuhkan untuk mencegah atau membatasi penyebaran
infeksi.
d. Membantu klien memusatkan perhatian dan mengenali kebutuahan jangka pendek
serta jangka panjang dirinya sendiri.
e. Mengajukan tindakan nyata yang sesuai untuk dapat diadaptasikan klien dalam
kondisi yang berubah.
f. Membantu klien memahami informasi peraturan perundang-undangan tentang
g. Membantu klien untuk menerima informasi yang tepat, dan menghargai serta
menerima tujuan tes HIV baik secara teknik, sosial, etika dan implikasi hukum.
Selama proses konseling konselor bertindak sebagai pantulan cermin bagi pikiran,
perasaan dan perilaku klien, dan konselor memandu klien menemukan jalan keluar yang
diyakininya. konseling sering kali diperlukan, tergantung dari masalah dan kebutuhan klien.
2.9.2. Tahapan Konseling13 a. Konseling pra tes
Tahapan ini adalah permulaan pengenalan konseling dengan klien, hal – hal apa saja
yang akan dilakukan selama proses konseling dimulai dari tahap ini. tahapan ini adalah awal
dari VCT . Dimulai dari pengenalan karakteristik klien, sampai ke pemahaman klien terhadap
HIV/AIDS. Dalam tahap ini konselor harus dapat memahamkan klien tentang :
1. Implikasi mengenai status serologi
2. Cara beradaptasi dengan informasi baru
3. Membuat persetujuan tes (informed consent)
4. Dilakukan sebelum menjalani test, berisi :
• Pemahaman HIV/AIDS dan tes
• Pemahaman profil risiko klien
• Diskusi seksualitas, relasi, perilaku seksual
• Perilaku berkaitan dengan penggunaan Napza • Cara Prevensi
Tahapan ini dilakukan setelah klien selesai melakukan tes darah di laboratorium.
konseling pada tahapan ini sangat penting karena pada tahap ini emosional klien akan sangat
terungkap pada konseling, konseling ini seharusnya :
1. Konseling pasca tes selalu harus ditawarkan pada klien
2. Tujuan utama adalah memahami hasil tes dan beradaptasi dengan serologi
Bila hasil Positif (+) :
1. Hasil segera disampaikan kepada klien dengan jelas dan nada suara datar, lakukan
dukungan emosional pada klien dan diskusikan tentang cara menghadapinya
2. Pastikan klien mempunyai dukungan emosional cukup dan segera dari orang dekatnya
3. Diskusi hubungan seks aman
4. Konseling memberikan dukungan akan perlunya terapi perawatan diri – gaya hidup
sehat
5. Bagi keluarga yang membutuhkan konseling agar dapat mendukung klien dan diri
sendiri.
Bila hasil Negatif (-) :
1. Diskusikan perubahan perilaku ke arah hidup sehat
2. Motivasi klien untuk mengubah perilaku dengan memberikan akses rujukan pelayanan
3. Hasil negatif bukan berarti tak terinfeksi, ulangi tes 1 – 3 bulan lagi.
2.9.3. Pentingnya VCT
VCT sangat penting karena :
b. Menawarkan keuntungan, baik bagi yang hasil tesnya positif maupun negatif,
dengan fokus pada pemberian dukungan terapi ARV, pemahaman faktual dan
terkini atas HIV.
c. Mengurangi stigma masyarakat.
d. Merupakan pendekatan menyeluruh baik kesehatan fisik dan mental
e. Memudahkan akses keberbagai pelayanan yang dibutuhkan klien baik kesehatan
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan studi kepustakaan dan latar belakang di atas, maka dapat dibuat kerangka
konsep penelitian mengenai hasil skrining HIV pada ABK di pelabuhan laut Belawan tahun
2009.
3.2.1. Umur adalah usia ABK yang dinyatakan dalam tahun sesuai dengan yang tercatat di
dalam laporan klinik VCT KKP Belawan, dikelompokkan atas :
1. < 30 tahun 2. 31 – 45 tahun 3. > 45 tahun
3.2.2. Suku bangsa adalah ras atau etnik yang melekat pada diri ABK yang tercatat di
dalam klinik VCT KKP Belawan, yang dikelompokkan atas :
5. Lain-lain
3.2.3. Agama adalah keyakinan yang dianut oleh ABK yang tercatat di dalam laporan
klinik VCT KKP Belawan yang digolongkan atas :
1. Islam
3.2.4. Pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang ditempuh oleh ABK yang
tercatat di dalam laporan klinik VCT KKP Belawan, dikelompokkan atas :
1. Tidak Sekolah/ Tidak tamat SD 2. SD/SMP
3. SMA
4. Akademi/PT
3.2.5. Status perkawinan adalah keadaan ada atau tidak adanya pasangan hidup ABK yang
tercatat dalam VCT KKP Belawan, yang dikelompokkan atas :
1. Kawin 2. Tidak Kawin
3.2.6. Daerah asal adalah tempat dimana ABK tinggal dan menetap sesuai yang tercatat
dalam laporan klinik VCT KKP Belawan, yang dikelompokkan atas:
1. Kota Medan 2. Luar Kota Medan
3.2.7. Faktor resiko adalah faktor yang mempermudah ABK terinfeksi virus HIV yang
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yang menggunakan desain penelitian case
survei.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan. Dipilihnya
lokasi tersebut dengan pertimbangan tersedianya data yang dibutuhkan serta belum pernah
dilakukan penelitian yang sama.
4.2.2 Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juni 2010 ( jadwal penelitian terlampir).
4.3.Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi penelitian yang termasuk di dalam uji skrining ini adalah semua ABK yang
kapalnya bersandar di Pelabuhan Laut Belawan dan melakukan kunjungan ke klinik VCT
KKP Belawan bulan September 2006 sampai dengan bulan Desember 2008 yang berjumlah
4.3.2. Sampel
Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah data kunjungan ABK pada
klinik VCT KKP Belawan pada tahun 2006 sampai 2008. Besar sampel diperoleh dengan
menggunakan rumus berikut :17
N
n = ---
1 + N ( d )2
Keterangan :
N = Total Populasi
n = besar sampel yang dibutuhkan
d = tingkat kepercayaan yang diinginkan
Berdasarkan jumlah kunjungan ABK pada klinik VCT KKP Belawan pada tahun
2006 sampai dengan 2008 sebanyak 1.114 orang maka besar sampel yang dibutuhkan adalah :
1.114
n = ---
1 + 1114 (0,05)2
n = 295 data
Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini
4.3.3. Tekhnik Pengambilan Sampel
Sampel diambil tiap-tiap tahun secara proportional dengan cara jumlah data kunjungan
pertahun dibagi dengan jumlah populasi kemudian dikalikan dengan jumlah sampel. Secara
rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
No Tahun Jumlah Populasi Junlah Sampel
1 2006 37 37/1.114 x 295 = 10
2 2007 544 544/1.114 x 295 = 144
3 2008 533 533/1.114 x 295 = 141
Untuk mengambil sampel dari tiap-tiap tahun dilakukan secara acak sederhana (simple
random sampling), artinya setiap populasi berpeluang untuk menjadi responden penelitian ini.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan mengambil data sekunder dari klinik VCT KKP Kelas I
Belawan. Data yang diambil adalah data kunjungan ABK pada klinik VCT KKP Belawan.
4.5. Analisis data
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan bantuan program komputer dan dianalisis dengan statistik deskriptif yang dilanjutkan dengan analisis statistik
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum
5.1.1. Gambaran Umum Kantor Kesehatan Pelabuhan Belawan
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I Belawan adalah salah satu unit kerja
Departemen Kesehatan R.I yang berada di Pelabuhan Laut Belawan. KKP Belawan berubah
menjadi Kelas I semenjak tahun 2008. Wilayah kerja KKP Belawan meliputi
pelabuhan-pelabuhan yang ada di Sumatera Utara dan juga Bandara Polonia Medan.
KKP Kelas I Belawan memiliki klinik VCT yang mulai beroperasi sejak bulan
September 2006 hingga sekarang. Klinik VCT KKP Kelas I Belawan merupakan salah satu
strategi upaya kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk keseluruh layanan kesehatan
HIV berkelanjutan.
5.1.2. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Klinik VCT KKP Belawan terdiri dari:
a. Kepala Klinik VCT
Kepala klinik VCT KKP Belawan adalah seorang yang memiliki keahlian manajerial
dan program terkait dengan pengembangan layanan VCT dan penanganan program
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS. Dalam hal ini Kepala Klinik VCT KKP
Belawan merangkap sebagai konselor disebabkan karena kurangnya sumber daya yang ada.
b. Sekretaris/ Administrasi
Petugas administrasi atau sekretaris adalah seorang yang menangani urusan
administrasi klinik CVT. Dalam hal ini Sekretaris klinik VCT KKP Belawan juga merangkap
sebagai konselor.
c. Koordinator Pelayanan Medis
Koordinator Pelayanan Medis adalah seorang dokter yang bertanggung jawab secara
tekhnis medis dalam penyelenggaraan klinik VCT. Dalam hal ini jabatan koordinator
pelayanan medis dirangkap oleh kepala Klinik VCT.
d. Koordinator Pelayanan Non Medis
Koordinator Pelayanan Non Medis adalah seorang yang mampu mengembangkan
program perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS terkait psikologis, sosial dan
hukum.
e. Konselor VCT
Konselor VCT yang berasal dari tenaga kesehatan atau non kesehatan yang telah
mengikuti pelatihan VCT. Pada klinik VCT KKP Belawan terdapat 2 orang konselor yang
menangani proses konseling HIV.
f. Petugas Manajemen Kasus
Petugas penangan kasus yang berasal dari tenaga non medis yang telah mengikuti
pelatihan manajemen kasus.
g. Petugas Laboratorium
Petugas laboratorium atau tekhnisi telah mengikuti pelatihan tentang teknik
memproses testing HIV dengan cara ELISA, testing cepat, dan algoritma testing yang
diadopsi dari WHO. Pada klinik VCT KKP Belawan terdapat 1 orang yang menangani urusan
5.1.3. Sarana dan Prasarana
Pada Klinik VCT KKP Belawan sarana dan prasarana yang dimiliki adalah sebagai
berikut:
a. Papan Nama/Petunjuk
Papan petunjuk lokasi dipasang secara jelas sehingga memudahkan akses klien ke
klinik VCT.
b. Ruang Tunggu
Ruang tunggu berada didepan ruang konseling dimana tersedia materi KIE, informasi
prosedur konseling dan testing,kotak saran, tempat sampah, meja dan kursi.
c. Ruang Konseling
Pada ruang konseling cukup nyaman, cukup luas dan tertutup rapat sehingga dapat
menjaga kerahasiaan klien yang berkunjung selama proses konseling.
d. Ruang Pengambilan darah
Ruang Pengambilan darah dekat dengan ruangan konseling.
e. Ruang Laboratorium
Ruang laboratorium terdiri dari alat-alat laboratorium yang digunakan untuk
5.2. Karakteristik ABK
5.2.1. Distribusi Proporsi Karakteristik ABK
Proporsi karakteristik ABK yang mengikuti skrining HIV di Klinik VCT KKP
Belawan tahun 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Karakteristik ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008
No. Karakteristik Jumlah
5. Status Perkawinan
Dari tabel 5.2. dapat dilihat bahwa proporsi umur tertinggi pada kelompok umur < 30
tahun (55,6%) dan terendah pada kelompok umur > 45 tahun (5,4%). Berdasarkan agama,
proporsi agama tertinggi pada kelompok agama Islam (63,7%) dan terendah pada kelompok
agama Budha (2,4%). Berdasarkan suku, proporsi suku tertinggi pada kelompok suku Melayu
(33,6%) dan terendah pada kelompok suku Minang (5,1%). Berdasarkan pendidikan, proporsi
pendidikan tertinggi pada kelompok SLTA (52,2%) dan terendah pada kelompok tidak tamat
sekolah (6,8%). Berdasarkan ststus perkawinan, proporsi status perkawinan tertinggi pada
kelompok kawin (65,8%) dan terendah pada kelompok belum kawin (34,2%). Berdasarkan
daerah asal, proporsi daerah asal tertinggi pada kelompok daerah asal medan (65,1%) dan
terendah pada kelompok daerah asal luar Medan (34,9%).
5.2.2. Distribusi Proporsi Faktor Resiko
Proporsi faktor resiko ABK yang mengikuti skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan
tahun 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
No. Faktor Resiko Jumlah
Dari tabel 5.3. dapat dilihat bahwa proporsi faktor resiko tertinggi pada kelompok
faktor resiko hubungan seks (67,1%) dan terendah pada kelompok faktor resiko jarum suntik
(7,1%).
5.2.3. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Faktor Resiko
Proporsi umur berdasarkan faktor resiko ABK yang mengikuti skrining HIV di Klinik
VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008
Faktor Resiko Umur (tahun) Jumlah
< 30 % 30-45 % > 45 % F %
Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p>0,05, artinya tidak
ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan faktor resiko.
Dari tabel 5.4. dapat dilihat bahwa proporsi faktor resiko hubungan seks tertinggi
umur < 30 tahun 55,6%. Proporsi faktor resiko jarum suntik tertinggi kelompok umur 30-45
tahun 57,1%. Proporsi faktor resiko lain-lain tertinggi kelompok umur < 30 tahun 59,2%.
Proporsi agama berdasarkan faktor resiko ABK yang mengikuti skrining HIV di
Klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.4. Distribusi Proporsi Agama Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008
Faktor
Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p>0,05, artinya tidak
ada perbedaan proporsi yang bermakna antara agama berdasarkan faktor resiko.
Dari tabel 5.5. dapat dilihat bahwa proporsi faktor resiko hubungan seks tertinggi
agama Islam 61,7%. Proporsi faktor resiko jarum suntik tertinggi agama Islam 66,6%.
Proporsi faktor resiko lain-lain tertinggi agama Islam 68,5%.
5.2.5. Distribusi Proporsi Suku Berdasarkan Faktor Resiko
Proporsi suku berdasarkan faktor resiko ABK yang mengikuti skrining HIV di Klinik
VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.5. Distribusi Proporsi Suku Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008
3. Lain-lain 9 11,8 22 28,9 24 31,6 5 6,6 16 21,1 76 100 χ2
=6,001 df=1 p=0,647
Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p>0,05, artinya tidak
ada perbedaan proporsi yang bermakna antara suku berdasarkan faktor resiko.
Dari tabel 5.6. dapat dilihat bahwa proporsi faktor resiko hubungan seks tertinggi suku
Melayu 35,4%. Proporsi faktor resiko jarum suntik tertinggi suku Batak 47,6%. Proporsi
faktor resiko lain-lain tertinggi suku Melayu 31,6%.
5.2.6. Distribusi Proporsi Pendidikan Berdasarkan Faktor Resiko
Proporsi pendidikan berdasarkan faktor resiko ABK yang mengikuti skrining HIV di
Klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Pendidikan Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008
Faktor Resiko
Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p>0,05, artinya tidak
ada perbedaan proporsi yang bermakna antara pendidikan berdasarkan faktor resiko.
Dari tabel 5.7. dapat dilihat bahwa proporsi faktor resiko hubungan seks tertinggi
SMA 56,1%. Proporsi faktor resiko jarum suntik tertinggi SD/SLTP dan SMA masing-masing
8,1%. Proporsi faktor resiko lain-lain tertinggi SMA 46,1%.
Proporsi status perkawinan berdasarkan faktor resiko ABK yang mengikuti skrining
HIV di Klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.7. Distribusi Proporsi Status Perkawinan Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008
Faktor Resiko Status Perkawinan Jumlah
Kawin % Tidak Kawin % F %
Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p>0,05, artinya tidak
ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status perkawinan berdasarkan faktor resiko.
Dari tabel 5.8. dapat dilihat bahwa proporsi faktor resiko hubungan seks tertinggi
kawin 64,1%. Proporsi faktor resiko jarum suntik tertinggi kawin 71,4%. Proporsi faktor
resiko lain-lain tertinggi kawin 68,4%.
5.2.8. Distribusi Proporsi Derah Asal Berdasarkan Faktor Resiko
Proporsi daerah asal berdasarkan faktor resiko ABK yang mengikuti skrining HIV di
Klinik VCT KKP Belawan tahun 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.8. Distribusi Proporsi Daerah Asal Berdasarkan Faktor Resiko ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di KKP Belawan Tahun 2006-2008
Faktor Resiko Daerah Asal Jumlah
Medan % Luar Medan % F %
Dari tabel 5.8. dapat dilihat bahwa proporsi faktor resiko hubungan seks tertinggi
daerah asal Medan 69,2%. Proporsi faktor resiko jarum suntik tertinggi daerah asal luar
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik ABK 6.2.1. Umur ABK
Proporsi umur ABK yang mengikuti skrining HIV di klinik VCT KKP Belawan tahun
2006-2008 dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 6.1. Diagram Pie Distribusi Proporsi Umur ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008
Dari gambar 6.1. dapat dilihat bahwa proporsi umur tertinggi adalah < 30 tahun 55,6%
dan terendah > 45 tahun 5,4%. Hal ini tidak menunjukkan keterkaitan antara umur dengan
kejadian HIV AIDS, namun hanya menunjukkan ABK yang mengikuti skrining di klinik
VCT KKP Belawan mayoritas berumur < 30 tahun.
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional tahun 2009, prevalensi
kasus HIV/AIDS 49,57 % berada pada rentang umur 20-29 tahun. Sementara 29,84 % rentang
umur 30-39 tahun dan 8,71 % pada usia antara 40-49 tahun.17
6.2.2. Agama ABK
Proporsi agama ABK yang mengikuti skrining HIV di klinik VCT KKP Belawan
tahun 2006-2008 dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 6.2. Diagram Pie Distribusi Proporsi Agama ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008
Dari gambar 6.2. dapat dilihat bahwa proporsi agama tertinggi adalah agama Islam 63,7% dan terendah agama Budha 2,4%. Hal ini tidak menunjukkan keterkaitan antara agama
dengan kejadian HIV AIDS, namun hanya menunjukkan ABK yang mengikuti skrining di
klinik VCT KKP Belawan mayoritas beragama Islam.
Umumnya, sekitar 85,6% pekerja di pelabuhan di Seluruh Sumatera adalah suku
Melayu. Kita ketahui bahwa suku Melayu 92% Beragama Islam.7
Proporsi suku ABK yang mengikuti skrining HIV di klinik VCT KKP Belawan tahun
2006-2008 dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 6.3. Diagram Bar Distribusi Proporsi Suku ABK Yang Mengikuti Skrining HIV di Klinik VCT KKP Belawan Tahun 2006-2008
Dari gambar 6.3. dapat dilihat bahwa proporsi suku tertinggi adalah Suku Melayu 33,6% dan terendah Suku Minang 5,1%. Hal ini tidak menunjukkan keterkaitan antara suku
dengan kejadian HIV AIDS, namun hanya menunjukkan ABK yang mengikuti skrining di
klinik VCT KKP Belawan mayoritas bersuku bangsa Minang.
Umumnya, penduduk pesisir yang tinggal di daerah pelabuhan adalah suku Melayu.