• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Perilaku Siswa dan Siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Perilaku Siswa dan Siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual."

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PERILAKU SISWA DAN SISWI

SMA NEGERI 5 MEDAN

TERHADAP INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Oleh :

ESTER A. J. PANGGABEAN

070100110

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

GAMBARAN PERILAKU SISWA DAN SISWI SMA NEGERI 5

MEDAN

TERHADAP INFEKSI MENULAR SEKSUAL

“ Karya Tullis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai

gelar Sarjana Kedokteran ”

Oleh :

ESTER A. J. PANGGABEAN

070100110

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Perilaku Siswa dan Siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual

Nama : Ester A. J. Panggabean NIM : 070100110

Pembimbing Penguji I

(dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK) (dr. Yunilda Andriyani, MKT)

Penguji II

(dr. Elemeida Effendy, Sp.KJ)

Medan, 10 Desember 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Infeksi Menular Seksual (IMS) di seluruh dunia pada tahun 1999, dan kejadian terbanyak terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Remaja termasuk dalam populasi yang beresiko tinggi untuk tertular IMS. Penelitian Eaton (2008) mendapati bahwa 4,4% siswa SMA di Amerika Serikat sudah menggunakan ekstasi. Sebuah penelitian di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang tahun 2005 menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah (BKKBN, 2006). Menurut penelitan Chiuman (2009) pada satu SMA di Medan ditemukan bahwa tingkat pengetahuan siswa/i mengenai IMS dalam kategori kurang baik (52,4%) dan sikap berada dalam kategori cukup baik (57,1%).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 94 orang dengan tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (d) sebesar 0,1. Pengambilan sampel menggunakan teknik

stratified random sampling. Sampel tersebut kemudian didistribusikan secara

proposional berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan kelas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil uji tingkat pengetahuan siswa/i SMA Negeri 5 Medan mengenai IMS dikategorikan cukup (80,9%). Sedangkan hasil uji sikap siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS dikategorikan baik (45,7%), dan hasil uji tindakan siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS dikategorikan baik (98,9%).

Dari hasil uji tersebut maka diharapkan pihak sekolah untuk dapat bekerja sama dengan pihak pelayanan kesehatan untuk dapat memberikan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi, khususnya pencegahan IMS. Selain itu, diharapkan juga kepada orang tua siswa/i dapat memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi pada anak-anaknya.

(5)

ABSTRACT

WHO estimated that 340 million new cases of Sexual Transmitted Infections (STIs) have occured throughout the world in 1999 , and the largest number of new infections occurred in the region of South and Southeast Asia. Teenagers are involved in the high risk population who can be infected STIs. Based on a reseach by Eaton (2008), 4,4% high school students in United States have used ectasy. A research in Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon, and Singkawang in 2005 shows that 9,1% teenagers has had sexual intercouse before marriage (BKKBN, 2006). According to a study by Chiuman (2009) in one of high school in Medan, it was found that the students’ level of knowledge towards STIs is categorized as insufficient (52,4%), and the students’ attitude is categorized as sufficient (57,1%).

This research aimed to find out the level of knowledge, attitude and practice of the students of SMA Negeri 5 Medan towards STIs. The research was a descriptive study. A total of 94 samples were collected with relatively accuracy (d) of 0,1. Sampling technique used was stratified random sampling and they were then distributed proportionally based on their gender and grade. The data were collected using questionnaires and analyzed using descriptive statistic method.

The result of this study shows that the level of knowledge for most of the students is categorized as sufficient (80,9%). However, the students’ attitude towards STIs is categorized as good (45,7%), and the students’ practice towards STIs is categorized as good (98,9%).

From the result of research, it is expected that the school administers work together with the health services to share the informations about the reproductive health to the students, especially about the prevention of STIs. Furthermore, it is recommended for parents to give the informations about reproductive health to their children.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Gambaran Perilaku Siswa dan Siswi

SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual”. Selama pengerjaan

karya tulis ilmiah ini, penulis telah menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Ibu dr. Yunilda Andriyani, MKT dan dr. Elmeida Effendy, Sp.KJ, selaku Dosen Penguji yang telah menyediakan waktunya untuk menilai karya tulis ilmiah ini sehingga dapat semakin sempurna.

4. Seluruh staf/pegawai Departemen Pendidikan Nasional yang telah mengeluarkan izin untuk melakukan penelitian.

5. Bapak Drs. Zulkifli Lubis selaku Pembantu Kepala Sekolah SMA Negeri 5 Medan, yang telah memberikan izin dan banyak bantuan kepada penulis dalam melakukan proses pengumpulan data di lokasi penelitian.

(7)

7. Kedua orang tua penulis, Abidin Panggabean S.H. dan Elly Sianipar, serta adik-adik penulis, Hiskia dan Hilkia, atas dukungan yang selalu diberikan pada penulis dalam menjalani pendidikan hingga saat ini.

8. Boy Sandy Sianipar, atas semua motivasi, penghiburan, keceriaan, dan bantuan yang selalu diberikan kepada penulis, khususnya selama penelitian ini dikerjakan.

9. Segenap civitas akademika Fakultas Kedokteran USU, terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan.

Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materiil yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan pahala yang sebasar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, Desember 2010 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... x

Daftar Singkatan ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

2.1. Infeksi Menular Seksual (IMS) ... 5

2.1.1. Pengertian IMS ... 5

2.1.2. Kelompok Perilaku Beresiko Tinggi ... 5

2.1.3. Epidemiologi ... 7

2.2. Teori Perilaku Kesehatan ... 12

2.3. Remaja ... 16

2.3.1. Definisi ... 16

2.3.2. Seksualitas Remaja ... 16

2.3.3. Pendidikan Seksual untuk Remaja ... 17

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 18

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 18

(9)

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 22

4.1. Jenis Penelitian ... 22

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 23

4.3.1. Populasi ... 23

4.3.2. Sampel ... 23

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 24

4.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 24

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 26

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

5.1. Hasil Penelitian ... 27

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 27

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 27

5.1.2.1. Jenis Kelamin ... 28

5.1.2.2. Usia ... 28

5.1.2.3. Kelas ... 29

5.1.3. Hasil Analisis Data ... 30

5.1.3.1. Pengetahuan ... 30

5.1.3.2. Sikap ... 35

5.1.3.3. Tindakan ... 40

5.2. Pembahasan ... 45

5.2.1. Tingkat Pengetahuan ... 45

5.2.2. Sikap ... 47

5.2.3. Tindakan ... 50

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

6.1. Kesimpulan ... 54

6.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.1. Distribusi Sampel ... 18

Tabel 4.2. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner ... 19

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ... 28

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan usia ... 28

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan kelas .... 29

Tabel 5.4. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan... 30

Tabel 5.5. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan tentang komplikasi IMS ... 31

Tabel 5.6. Distribusi frekuensi pengetahuan ... 32

Tabel 5.7. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin ... 32

Tabel 5.8. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan usia ... 33

Tabel 5.9. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan kelas ... 34

Tabel 5.10. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel sikap ... 35

Tabel 5.11. Distribusi frekuensi sikap... 36

Tabel 5.12. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan jenis kelamin ... 36

Tabel 5.13. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan usia ... 37

Tabel 5.14. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan kelas ... 38

Tabel 5.15. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan tingkat pengetahuan ... 39

(11)

Tabel 5.17. Distribusi frekuensi tindakan ... 41

Tabel 5.18. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan jenis kelamin ... 41

Tabel 5.19. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan usia ... 42

Tabel 5.20. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan kelas ... 43

Tabel 5.21. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan tingkat pengetahuan .... 44

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR SINGKATAN

AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome

BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional CDC Centers for Disease Control and Prevention

HIV Human Immunodeficiency Virus

HSV-1 Herpes Simplex Virus type 1

HSV-2 Herpes Simplex Virus type 2

IgA Immunoglobulin A

IMS Infeksi Menular Seksual

IPA Ilmu Pengetahuan Alam

IPS Ilmu Pengetahuan Sosial IUD Intra Uterine Device

KB Keluarga Berencana

LGP Limfadenopati Generalisata Persisten OSIS Organisasi Siswa Intra Sekolah PID Pelvic Inflamatory Disease

PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PMR Palang Merah Remaja

PT Perseroan Terbatas

RI Republik Indonesia

SLTP Sekolah Menengah Tingkat Pertama SMP Sekolah Menengah Pertama

SPSS Statistic Package for Social Science

STIs Sexual Transmitted Infections

WHO World Health Organization

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Lembar Penjelasan kepada Responden

Lampiran 3 Lembar Pernyataan Responden: Persetujuan setelah Penjelasan

Lampiran 4 Kuesioner Penelitian

Lampiran 5 Lembar Validitas Konten

Lampiran 6 Surat Izin Penelitian

(15)

ABSTRAK

WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Infeksi Menular Seksual (IMS) di seluruh dunia pada tahun 1999, dan kejadian terbanyak terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Remaja termasuk dalam populasi yang beresiko tinggi untuk tertular IMS. Penelitian Eaton (2008) mendapati bahwa 4,4% siswa SMA di Amerika Serikat sudah menggunakan ekstasi. Sebuah penelitian di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang tahun 2005 menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah (BKKBN, 2006). Menurut penelitan Chiuman (2009) pada satu SMA di Medan ditemukan bahwa tingkat pengetahuan siswa/i mengenai IMS dalam kategori kurang baik (52,4%) dan sikap berada dalam kategori cukup baik (57,1%).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 94 orang dengan tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (d) sebesar 0,1. Pengambilan sampel menggunakan teknik

stratified random sampling. Sampel tersebut kemudian didistribusikan secara

proposional berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan kelas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil uji tingkat pengetahuan siswa/i SMA Negeri 5 Medan mengenai IMS dikategorikan cukup (80,9%). Sedangkan hasil uji sikap siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS dikategorikan baik (45,7%), dan hasil uji tindakan siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS dikategorikan baik (98,9%).

Dari hasil uji tersebut maka diharapkan pihak sekolah untuk dapat bekerja sama dengan pihak pelayanan kesehatan untuk dapat memberikan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi, khususnya pencegahan IMS. Selain itu, diharapkan juga kepada orang tua siswa/i dapat memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi pada anak-anaknya.

(16)

ABSTRACT

WHO estimated that 340 million new cases of Sexual Transmitted Infections (STIs) have occured throughout the world in 1999 , and the largest number of new infections occurred in the region of South and Southeast Asia. Teenagers are involved in the high risk population who can be infected STIs. Based on a reseach by Eaton (2008), 4,4% high school students in United States have used ectasy. A research in Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon, and Singkawang in 2005 shows that 9,1% teenagers has had sexual intercouse before marriage (BKKBN, 2006). According to a study by Chiuman (2009) in one of high school in Medan, it was found that the students’ level of knowledge towards STIs is categorized as insufficient (52,4%), and the students’ attitude is categorized as sufficient (57,1%).

This research aimed to find out the level of knowledge, attitude and practice of the students of SMA Negeri 5 Medan towards STIs. The research was a descriptive study. A total of 94 samples were collected with relatively accuracy (d) of 0,1. Sampling technique used was stratified random sampling and they were then distributed proportionally based on their gender and grade. The data were collected using questionnaires and analyzed using descriptive statistic method.

The result of this study shows that the level of knowledge for most of the students is categorized as sufficient (80,9%). However, the students’ attitude towards STIs is categorized as good (45,7%), and the students’ practice towards STIs is categorized as good (98,9%).

From the result of research, it is expected that the school administers work together with the health services to share the informations about the reproductive health to the students, especially about the prevention of STIs. Furthermore, it is recommended for parents to give the informations about reproductive health to their children.

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun 1999. Angka kejadian infeksi baru terbanyak terjadi di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara (151 juta kasus), yang diikuti oleh Afrika Sub-Sahara (69 juta kasus) dan Amerika Latin (38 juta kasus) (WHO, 2001).

Melakukan hubungan seks yang tidak aman di luar nikah merupakan salah satu faktor risiko untuk tertular IMS. Dari berbagai hasil penelitian yang ada, peneliti mendapati bahwa remaja yang telah melakukan hubungan seks tidak aman di luar nikah memiliki persentase cukup tinggi. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan di Kanada, dari 2376 orang pelajar tingkat 7 sampai tingkat 12 dari suku Aborigin yang dijadikan sebagai sampel, sebanyak 33,7% dari total 1140 orang anak laki-laki dan sebanyak 35% dari total 1336 orang anak perempuan pernah melakukan hubungan seks. Sebanyak 63,3% laki-laki dan 56,1% perempuan memiliki lebih dari satu partner seks; 21,4% laki-laki dan 40,5% perempuan tidak menggunakan kondom saat mereka terakhir kali melakukan hubungan seks (Devries et al, 2009). Sebuah survei yang dilakukan oleh Youth Risk Behavior Survey (YRBS) secara nasional di Amerika Serikat pada tahun 2007 mendapati bahwa 47,8% pelajar yang duduk di tingkat 9-12 telah melakukan hubungan seksual, 35% pelajar SMA telah aktif secara seksual dan 38,5% dari pelajar SMA tersebut tidak menggunakan kondom pada saat hubungan seksual yang terakhir kali dilakukan. Selain itu, 4,4% siswa SMA ternyata sudah menggunakan ekstasi (Eaton, 2008).

(18)

didapati pada wanita usia 15-19 tahun (terdapat 648 kasus per 100000) dan pada pria usia 20-24 tahun (454 per 100000) (Belenko et al, 2009).

Di Indonesia juga telah dilakukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan remaja dan perilaku seksual mereka. Hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang tahun 2005 menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah dan 85 persennya melakukan hubungan seks pertama mereka pada usia 13-15 tahun di rumah mereka dengan pacar (BKKBN, 2006).

Dalam penelitian yang dilakukan di PT. Flower Indonesia di Jawa Timur pada tahun 1999-2000, didapati bahwa tingkat pengetahuan pekerja remaja tentang IMS baru mencapai 50%, sikap mereka positif terhadap masalah-masalah yang terkait dengan IMS seperti ketidaksetujuannya terhadap hubungan seks pranikah, tetapi perilaku mengenai IMS baru mencapai kisaran 37% (Sarwanto dan Ajik S, 2004).

Sebagai negara dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Indonesia memiliki kontribusi yang signifikan mengenai jumlah kasus baru IMS di dunia. Namun, jumlah kasus IMS di Indonesia menurut Departemen Kesehatan Indonesia dalam Profil Kesehatan Indonesia 2008 masih belum jelas (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal tersebut juga ditemukan peneliti dalam Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara 2007. Menurut data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2007, penduduk Kota Medan yang berusia 14-44 tahun berjumlah 1.119.708 jiwa; para remaja termasuk di dalamnya (Dinas Kesehatan RI, 2007).

(19)

sedangkan sikap siswa/i terhadap IMS berada dalam kategori cukup baik (57,1%) (Chiuman, 2009).

Penulis sebagai seorang mahasiswa, anggota masyarakat, dan calon petugas kesehatan ingin tahu mengenai sejauh mana perilaku pelajar berusia remaja khususnya yang sedang menuntut ilmu di SMA Negeri 5 Medan sebagai salah satu SMA di kota Medan yang memiliki reputasi baik dan berprestasi. Data yang nanti didapatkan diharapkan dapat dijadikan pegangan baik oleh siswa, guru, petugas kesehatan, dan masyarakat pada untuk mencegah IMS.

1. 2. Rumusan Masalah

Uraian dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Bagaimana gambaran perilaku siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual?

1. 3. Tujuan Penelitian

1. 3. 1. Tujuan umum

Mengetahui gambaran perilaku siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS.

1. 2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui tingkat pengetahuan mengenai IMS pada siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan.

2. Mengetahui sikap siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS.

(20)

1. 4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi para petugas kesehatan untuk merencanakan strategi pelayanan preventif seperti penyuluhan ke sekolah-sekolah

2. Sebagai bahan masukan bagi para guru untuk memberikan pendidikan seks khususnya mengenai pencegahan IMS kepada para siswanya. 3. Siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan memiliki perilaku yang benar

dalam hal pencegahan IMS.

4. Peneliti sebagai calon dokter dapat mengembangkan kemampuan meneliti sebagai area keenam dari tujuh area kompetensi dokter menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)

2.1.1. Pengertian IMS

IMS adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Meskipun demikian tidak berarti bahwa semuanya harus melalui hubungan kelamin, tetapi beberapa ada yang dapat juga ditularkan melalui kontak langsung dengan alat-alat, handuk, termometer, dan sebagainya (Djuanda, 2008).

2.1.2. Kelompok Perilaku Berisiko Tinggi

Dalam IMS yang dimaksud dengan perilaku risiko tinggi ialah perilaku yang menyebabkan seseorang mempunyai risiko besar terserang penyakit. Yang tergolong kelompok risiko tinggi adalah:

1. Usia

a) 20-34 tahun pada laki-laki b) 16-24 tahun pada wanita

c) 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin 2. Pelancong

3. Pekerja seksual komersial atau wanita tuna susila 4. Pecandu narkotik

5. Homoseksual (Daili, 2003).

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penularan IMS antara lain: 1. Faktor dasar

a) Adanya penularan penyakit b) Berganti-ganti pasangan seksual 2. Faktor medis

(22)

c) Pengobatan yang mudah, murah, cepat, dan efektif, sehingga risiko resistensi tinggi, dan bila disalahgunakan akan meningkatkan risiko penyebaran infeksi,

3. IUD dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan kehamilannya saja, berbeda dengan kondom yang juga dapat digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularan infeksi IMS,

4. Faktor sosial seperti mobilitas penduduk, prostitusi, waktu yang santai, kebebasan individu, dan ketidaktahuan (Daili, 2003).

Berdasarkan faktor-faktor risiko di atas, peneliti mendapati bahwa pada zaman sekarang ini, remaja adalah kelompok usia dengan tingkat risiko yang sangat tinggi untuk terjangit IMS, karena gaya hidup remaja sudah cenderung menyimpang ke arah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan di Kanada, dari 2376 orang pelajar tingkat 7 sampai tingkat 12 dari suku Aborigin yang dijadikan sebagai sampel, sebanyak 33,7% dari total 1140 orang anak laki-laki dan sebanyak 35% dari total 1336 orang anak perempuan pernah melakukan hubungan seks. Sebanyak 63,3% laki-laki dan 56,1% perempuan memiliki lebih dari satu partner seks; 21,4% laki-laki dan 40,5% perempuan tidak menggunakan kondom saat mereka terakhir kali melakukan hubungan seks (Devries et al, 2009). Sebuah survei yang dilakukan oleh Youth Risk Behavior Survey (YRBS) secara nasional di Amerika Serikat pada tahun 2007 mendapati bahwa 47,8% pelajar berusia yang duduk di tingkat 9-12 telah melakukan hubungan seksual, 35% pelajar SMA telah aktif secara seksual dan 38,5% dari pelajar SMA tersebut tidak menggunakan kondom pada saat hubungan seksual yang terakhir kali dilakukan. Selain itu, 4,4% siswa SMA ternyata sudah menggunakan ekstasi (Eaton, 2008).

(23)

hubungan seks pertama mereka pada usia 13-15 tahun di rumah mereka dengan pacar (BKKBN, 2006).

2.1.3. Epidemiologi

WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Penyakit Menular Seksual (IMS) pada tahun 1999. Angka kejadian infeksi baru terbanyak terjadi di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara (151 juta kasus), yang diikuti oleh Afrika Sub-Sahara (69 juta kasus) dan Amerika Latin (38 juta kasus) (WHO, 2001). Menurut Centers for Disease Control and Prevention tahun 2007, di Amerika Serikat kasus Klamidia dan Gonorrhea menempati urutan tertinggi IMS yang diderita remaja pada popolasi umum. Pada tahun 2006 kasus terbanyak didapati pada wanita usia 15-19 tahun (terdapat 648 kasus per 100000) dan pada pria usia 20-24 tahun (454 per 100000) (Belenki et al, 2009).

2.1.4. Jenis-jenis IMS

2.1.4.1. Gonore

A. Definisi dan Etiologi

Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria

gonorrheae. Daerah yang paling mudah terinfeksi ialah daerah dengan mukosa

epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang (immatur) (Daili, 2003).

B. Gejala Klinis

(24)

2.1.4.2. Sifilis

A. Definisi dan Etiologi

Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin (Djuanda, 2008).

B. Gejala Klinis

1

1.. Stadium I (Sifilis Primer)

Timbul suatu ulkus yang disebut ulkus durum yang mempunyai sifat khusus, antara lain tidak nyeri (indolen), sekitar ulkus teraba keras (indurasi), dasar ulkus bersih dan bewarna merah seperti plak, dan soliter (biasanya hanya 1-2 ulkus). Lokasi ulkus ini pada laki-laki biasanya terdapat pada preputium, ulkus koronarius, batang penis dan skrotum. Pada wanita di labium mayora dan minora, klitoris dan serviks. Ulkus bisa terdapat ekstra genital misalnya pada anus, rektum, bibir, mulut, lidah, tonsil, jari, dan payudara (Barakbah, 2008).

2

2.. Stadium II (Sifilis Sekunder)

Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital. Pada sifilis sekunder yang mengalami relaps, lesi sering unilateral dan berbentuk arsiner. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai pada daerah oksipital (Daili, 2003).

3

3.. Sifilis Laten

(25)

4

4.. Stadium III (Sifilis Lanjut)

Kecuali gumma, lesi sifilis lanjut berupa endarteritis obliterans pada bagian ujung arteriol dan pembuluh darah kecil yang menyebabkan peradangan dan nekrosis (Daili, 2003). Pross gumma juga terjadi pada laring, paru, gastrointestinal, hepar, dan testis. Pada kardiovaskuler, sifilis III menyebabkan miokarditis, gangguan katup jantung dan aneurisma aorta (Barakbah, 2008).

2.1.4.3. Herpes Genitalis

A. Definisi dan Etiologi

Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes

Simplex Virus tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2) (CDC, 2007). Tipe 1

merupakan tipe klasik yang berhubungan dengan sariawan (cold sore/stomatitis) pada bibir dan muka, dan tipe 2 berhubungan dengan herpes genitalis (Graham-Brown, 2005).

B. Gejala Klinis

Manifestasi klinik dapat dipengaruhi oleh faktor hospes, pajanan terdahulu dari HSV, episode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks (Daili, 2003).

Lesi primer dapat asimtomatis, gejala prodormal berupa rasa panas (terbakar) dan gatal, timbul lesi berupa vesikula yang mudah pecah/erosi/ulkus dangkal bergerombol diatas dasar eritem dan disertai rasa nyeri, setelah timbul lesi dapat terjadi demam, malaise dan nyeri otot. Kelenjar limfe regional membesar dan nyeri pada perabaan (Barakbah, 2008).

(26)

2.1.4.4. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome)

A. Definisi dan Etiologi

AIDS adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Daili, 2003). Penularan utama HIV adalah melaui 3 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut, yaitu jalur hubungan seksual (homoseksual/heteroseksual), jalur pemindahan darah atau produk darah seperti jalur transplantasi alat tubuh, dan jalur transplasental (janin dalam kandungan ibu hamil; dengan infeksi HIV dan infeksi perinatal) (Barakbah, 2008).

B. Gejala Klinis

Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS belum diketahui jelas. Bukti-bukti menunjukkan menurunnya hitungan sel CD4 di bawah 200/ml, serta peningkatan B2 mikro globulin, p24 (antibodi terhadap protein core) dan peningkatan IgA menunjukkan perkembangan yang semakin memburuk. CDC menetapkan klasifikasi infeksi HIV pada orang dewasa sebagai berikut:

Kelompok I : Infeksi akut

Kelompok I I : Infeksi asimtomatis

Kelompok III : Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP) Kelompok IV : Penyakit-penyakit lain

Kelompok Iva : Penyakit konstitusi (panas, diare, kehilangan berat badan)

Kelompok Ivb : Penyakit-penyakit neurologis (ensefalitis, demensia) Kelompok Ivc : Penyakit-penyakit infeksi sekunder (Pneumocystis

carinii, Cytomegalo virus)

Kelompok Ivd: Kanker sekunder (sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin)

(27)

2.1.5. Komplikasi

IMS dapat meyebabkan berbagai komplikasi kepada penderita, terutama apabila penyakit ini dibiarkan berlama-lama tanpa dilakukan penanganan segera. Herpes simpleks dapat menyebabkan luka di daerah genital yang berulang dan nyeri, dan infeksi herpes dapat menjadi sangat berat pada orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Selain itu, orang yang mengetahui dirinya terinfeksi herpes dapat mengalami stress dan gangguan psikologis (CDC, 2007). Pada wanita, gonore adalah penyebab umum dari Pelvic Inflammatory Disease

(PID), dengan gejala-gejala yang ringan atau dapat juga sangat berat, seperti

nyeri abdomen dan demam. PID dapat mengakibatkan abses internal dan nyeri pelvis yang kronis dan lama. PID dapat merusak tuba fallopi dan menyebabkan infertilitas atau meningkatkan risiko kehamilan ektopik (CDC, 2007). Selain itu, gonore dapat juga menyebabkan bartolinitis (Barakbah, 2008).

Pada pria, gonore dapat menyebabkan epididimitis. Gonore dapat menyebar ke dalam darah dan jaringan sendi, yang dapat mengancam jiwa (CDC, 2007). Komplikasi sistemik dapat berupa meningitis, endokarditis, arthritis, tenosynovitis dan dermatitis (Barakbah, 2008). Sebagai tambahan, penderita gonore lebih gampang mengidap HIV (CDC, 2007).

2.1.6. Pencegahan

2.1.6.1. Pencegahan Primer

Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mencegah penularan penyakit. Pencegahan primer adalah cara satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mengatasi infeksi virus yang tidak dapat diobati. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan promosi:

1. Perilaku seksual yang lebih aman.

(28)

2.1.6.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder memerlukan cara-cara khusus untuk mengobati dan merawat orang-orang yang sudah terinfeksi dan menderita IMS. Berbagai aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:

1. Promosi kesehatan dengan menyelidiki kebiasaan dan perilaku, bukan hanya kepada orang-orang yang sudah positif terinfeksi IMS, tapi juga kepada orang-orang yang memiliki risiko tinggi untuk tertular IMS. 2. Pelayanan kesehatan yang terjangkau, dapat diterima dan efektif, dan

menawarkan jasa diagnosis dan pengobatan yang efektif baik untuk IMS yang simptomatik dan asimptomatik, dan pasangan seksual mereka.

3. Memberi dukungan dan pelayanan konseling untuk pasien IMS (WHO, 2006).

2.2. TEORI PERILAKU KESEHATAN

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap

stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007).

Domain perilaku kesehatan terdiri dari: a) ranah kognitif (cognitive

domain), b) ranah afektif (affective domain), dan c) ranah psikomotor

(psychomotor domain). Untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:

A. Pengetahuan

Pengetahuan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan mempunyai enam tingkat, yaitu:

(29)

yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2) Memahami (comprehension): diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (application): diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4) Analisis (analysis): adalah suatu objek kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5) Sintesis (synthesis): menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6) Evaluasi (evaluation): berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).

(30)

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan remaja mengenai IMS masih mengkhawatirkan. Banyak remaja merasa bahwa dirinya tidak akan pernah terinfeksi HIV/AIDS karena pertahanan tubuhnya cukup kuat (Notoatmodjo, 2007). Dari sebuah penelitian di Jawa Timur, pengetahuan remaja tentang IMS d\termasuk HIV/AIDS tergolong masih rendah, baru mencapai 50 % (Sarwanto, 2004).

B. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yakni:

1) Menerima (receiving): menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2) Merespons (responding): memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas dari pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut. 3) Menghargai (valuing): mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggung jawab (responsible): bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2007).

(31)

Dari penelitian di Jawa Timur tersebut di atas, sikap para pekerja remaja positif terhadap maslah-masalah yang terkait dengan IMS termasuk HIV/AIDS, khusunya dalam hal ketidaksetujuannya terhadap hubungan seks pranikah, ganti-ganti pasangan, pengguguran kandungan, dan hubungan seks dengan sesama jenis kelamin (Sarwanto, 2004).

C. Tindakan

Tindakan adalah perwujudan dari sikap. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tingkatan sikap (praktik) antara lain:

1) Persepsi (perception): mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.

2) Respon terpimpin (guided respons) : dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua.

3) Mekanisme (mechanism): apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4) Adaptasi (adaptation): adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan tersebut sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

(32)

Menurut sebuah penelitian di Jawa Timur, gambaran tindakan terhadap IMS dan HIV/AIDS diantara para pekerja remaja masih tergolong buruk, baru mencapai angka 37% dan di antara pekerja remaja sebanyak 5 orang dari 400 responden telah melakukan hubungan seks pranikah (Sarwanto, 2004).

2.3. REMAJA

2.3.1. Definisi

Adolescentia berasal dari istilah Latin, adolescentia, yang berarti masa

muda yang terjadi antara 17-30 tahun ( Dariyo, 2004). Menurut World Health Organization (2006), remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana usia yang dikategorikan sebagai remaja adalah 10-19 tahun.

Menurut Thornburg, penggolongan remaja terbagi 3 tahap, yaitu (a) remaja awal (usia 13-14 tahun), (b) remaja tengah (usia 15-17 tahun), (c) remaja akhir (usia 18-21 tahun). Pada masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sedangkan masa remaja tengah, individu sudah duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian, mereka yang tergolong remaja akhir, umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah bekerja (Dariyo, 2004).

2.3.2. Seksualitas Remaja

Remaja memasuki usia subur dan produktif. Artinya secara fisiologis, mereka telah mencapai kematangan organ-organ reproduksi, baik remaja laki-laki maupun remaja wanita. Kematangan organ reproduksi tersebut, mendorong individu untuk melakukan hubungan sosial baik dengan sesama jenis maupun dengan membentuk teman sebayanya (peer-group) (Dariyo, 2004).

(33)

saat masa latent, sehingga potensial menimbulkan berbagai gejolak dan konflik (Arif, 2006).

Seorang remaja yang tidak mampu mengendalikan diri dapat terlibat dalam kehidupan seksual secara bebas (di luar aturan norma sosial), misalnya seks pranikah, kumpul kebo (sommon leven), prostitusi, akan berakibat negatif, seperti terjangkit IMS, kehamilan, drop-out dari sekolah. Biasanya merekalah yang memiliki ketidak-konsistenan antara pengetahuan, sikap, dan perilakunya (Dariyo, 2004). Aktivitas seksual selama masa remaja ( di dalam atau di luar pernikahan) menempatkan remaja dalam risiko untuk terlibat maslah seksual dan kesehatan reproduksi, seperti kehamilan dini, aborsi yang tidak aman, IMS termasuk HIV, dan kekerasan seksual (WHO, 2006).

2.3.3. Pendidikan Seksual untuk Remaja

(34)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

vb

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

Semua konsep yang ada dalam penelitian harus dibuat batasan dalam istilah yang operasional. Maksudnya adalah agar tidak ada makna ganda dari istilah yang digunakan dalam penelitian tersebut, karena pelbagai pengertian dalam ilmu kedokteran sangat bervariasi (Sastroasmoro, 2010).

1. Perilaku

Perilaku adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan.Domain perilaku terdiri dari: a) ranah kognitif (cognitive

domain), b) ranah afektif (affective domain), dan c) ranah psikomotor

Pengetahuan

Siswa SMA

Sikap Siswa SMA

Tindakan

Siswa SMA

Infeksi Menular

(35)

(psychomotor domain) (Notoatmodjo, 2007). Untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari :

A. Pengetahuan

Pengetahuan adalah apa yang diketahui siswa tentang nama dan istilah dari berbagai jenis infeksi menular seksual,penyebab, cara penularan, gejala klinis, pencegahan, dan komplikasi IMS. Pengukuran tingkat pengetahuan remaja mengenai IMS dilakukan berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 9 pertanyaan dengan total skor 14. Bila jawaban responden benar akan diberi nilai 1, jika jawaban dan tidak tahu akan diberi nilai 0. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala kategorikal yaitu skala ordinal. Hasil ukur diperoleh sistem skoring dengan memakai skala menurut Nawawi (1992) dan Arikunto (1995) sebagai berikut:

a. Baik, apabila skor yang diperoleh responden antara 67-100% dari skor maksimum, yaitu 10-14.

b. Cukup, apabila skor yang diperoleh responden antara 34-67% dari skor maksimum, yaitu 5-9.

c. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden antara 0-33% dari skor maksimum, yaitu 0-4.

B. Sikap

(36)

a. Baik, apabila skor yang diperoleh responden antara 67-100% dari skor maksimum, yaitu 5-6.

b. Cukup, apabila skor yang diperoleh responden antara 34-67% dari skor maksimum, yaitu 3-4.

c. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden antara 0-33% dari skor maksimum, yaitu 0-2.

C.Tindakan

Tindakan adalah hal-hal yang telah dilakukan siswa dalam rangka pencegahan IMS. Pengukuran tingkat tindakan remaja mengenai IMS dilakuka n berdasarkan tanggapan pernyataan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pernyataan sebanyak 6 pernyataan dengan total skor 6. Bila tanggapan responden mencerminkan tindakan yang baik akan diberi nilai 1, jika tindakan responden dianggap tidak baik maka akan diberi nilai 0. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala kategorikal yaitu skala ordinal. Hasil ukur diperoleh sistem skoring dengan memakai skala menurut Nawawi (1992) dan Arikunto (1995) sebagai berikut:

a. Baik, apabila skor yang diperoleh responden antara 67-100% dari skor maksimum, yaitu 5-6.

b. Cukup, apabila skor yang diperoleh responden antara 34-67% dari skor maksimum, yaitu 3-4.

c. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden antara 0-33% dari skor maksimum, yaitu 0-2.

2. Siswa dan Siswi SMA

(37)

3. Infeksi Menular Seksual

(38)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberi gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena (Prasetyo, 2006; Alatas, 2010)), yaitu gambaran perilaku siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS. Desain penelitian adalah penelitian observasional dengan studi cross-sectional, yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek-aspek terkait dalam suatu waktu tertentu (Prasetyo, 2005).

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 9 bulan dimulai dari bulan Februari 2010 sampai dengan Desember 2010. Penelitian ini dimulai dari konsultasi dengan dosen pembimbing, pencarian dan penentuan judul, penelusuran daftar pustaka, survei pendahuluan, penyusunan proposal penelitian, seminar proposal dan direncanakan untuk dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, mengumpulkan data, pengolahan dan analisis data, penyusunan laporan hasil penelitian, serta seminar hasil penelitian.

Penelitian ini akan diadakan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5

(39)

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi

Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah seluruh siswa/i SMA Negeri 5 Medan dengan jumlah total sebanyak 1257 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan menggunakan rumus Populasi Finit (terbatas) (Wahyuni, 2007), yaitu:

N.Z2 n=

1-α/2.p. (1-p)

(N-1) d2 + Z21-α/2.p. (1-p)

Dengan:

n = besar sampel minimum Z2

P = harga proporsi di populasi

1-α/2 = nilai distribusi normal baku pada α tertentu

d = kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir N = jumlah populasi

(40)

Tabel 4.1. Distribusi Sampel

1. Siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan berusia 13-19 tahun

2. Sedang berada di lingkungan SMA Negeri 5 Medan pada saat penelitian berlangsung

3. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani Persetujuan Setelah Tindakan (Informed Consent)

Kriteria ekslusi sampel:

1. Siswa dan siswi yang sedang mengikuti kegiatan ujian di kelas pada saat penelitian berlangsung

2. Siswa dan siswi yang menolak mengisi kuesioner dengan lengkap

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni menggunakan data

(41)

Sedangkan data sekunder adalah data yang didapatkan dari pihak sekolah yang berhubungan dengan jumlah dan karakteristik siswa/i di SMA Negeri 5 Medan.

4.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Untuk mengetahui keandalan instrumen kuesioner yang digunakan maka

peneliti telah melakukan uji validitas dan reliabilitas pada pertanyaan dan pernyataan yang ditujukan untuk mengukur Pengetahuan dan Sikap dengan menggunakan metode korelasi produk momen (Moment product

correlation/pearson correlation) dan uji Cronbanch (Cronbanch Alpha) yang

(42)

Tabel 4.2. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner

Variabel No. Total Pearson

Correlation Status Alpha Status

Pengetahuan 1 0,405 Valid 0,438 Reliabel

3 0,487 Valid Reliabel

4 0,440 Valid Reliabel

5 0,419 Valid Reliabel

6 0,313 Valid Reliabel

7 0,561 Valid Reliabel

8 0,607 Valid Reliabel

9 0,447 Valid Reliabel

10 0,448 Valid Reliabel

Sikap 4 0,405 Valid 0,433 Reliabel

5 0,309 Valid Reliabel

6 0,517 Valid Reliabel

7 0,727 Valid Reliabel

8 0,461 Valid Reliabel

10 0,442 Valid Reliabel

Pengujian terhadap pertanyaan tentang Tindakan dilakukan dengan uji validitas isi (content validity) (Nawawi, 1995) yaitu dengan persetujuan dosen pembimbing dan hasil seminar proposal (Nawawi, 1995).

4.4. Metode Pengolahan dan Analisa Data

Data yang terkumpul diperiksa kelengkapannya , kemudian data tersebut

(43)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

SMA Negeri 5 Medan berdiri pada tahun 1960, dimana pada awalnya SMA Negeri 5 Medan adalah SMA Negeri 3 Medan yang didirikan oleh pemerintah pada tahun 1959 di Jalan Seram Medan, dan pada tahun 1960 SMA Negeri 3 Medan dipecah menjadi dua, yaitu yaitu SMA Negeri 3 Medan dan SMA Negeri 5 Medan. SMA Negeri 5 Medan berada di Jalan Pelajar Nomor 17, Kelurahan Teladan Timur, Kecamatan Medan Kota, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. SMA ini memiliki 28 ruang kelas dimana 2 kelas merupakan 1 ruang aula serba guna, 3 ruang laboratorium, 1 ruang perpustakaan, halaman/lapangan olah raga, 2 kantin, ruang tata usaha, ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang pembantu kepala sekolah, ruang OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), ruang PMR (Palang Merah Remaja), dan 1 musholla, serta memiliki siswa sebanyak 1257 orang.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

(44)

5.1.2.1. Jenis Kelamin

Data lengkap bila ditinjau dari segi jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis

kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

Laki-laki Perempuan

47 47

50 50

Jumlah 94 100

Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok laki-laki jumlahnya seimbang dengan kelompok perempuan, yaitu sama-sama berjumlah 50%.

5.1.2.2. Usia

Data lengkap bila ditinjau dari segi kelompok usia dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan usia

Usia (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

13-14 15-17 18-19

8 85

1

8,5 90,4

1,1

Jumlah 94 100

(45)

5.1.2.3. Kelas

Data lengkap bila ditinjau dari segi kelas dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan kelas

Kelas Jumlah (orang) Persentase (%)

X XI IPA XI IPS XII IPA XII IPS

30 16 16 16 16

31,9 17 17 17 17

Jumlah 94 100

(46)

5.1.3. Hasil Analisis Data

5.1. 3.1.Pengetahuan

Data lengkap distribusi frekuensi jawaban kuesioner responden pada variabel pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel

pengetahuan

Pernah mendengar istilah Infeksi Menular Seksual (IMS).

Salah satu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual adalah Herpes Simplex. "Raja Singa" adalah istilah awam dari Sifilis AIDS adalah singkatan dari Acquired

Immune Deficiency Syndrome.

Penyakit infeksi HIV/AIDS adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan transfusi darah.

Gonore adalah penyakit seksual yang memiliki ciri khas berupa nanah di kemaluan.

Gejala-gejala pada penderita IMS dapat tidak terlihat pada wanita.

(47)

Berdasarkan tabel di atas, pertanyaan/pernyataan yang paling banyak benar adalah pada nomor 9 yaitu sebanyak 93 orang (98,9%). Sedangkan yang paling dijawab dengan salah adalah pada pertanyaan/pernyataan nomor 7 yaitu sebanyak 75 orang (79,8%).

Pertanyaan/pernyataan nomor 9 memiliki cara penilaian yang berbeda dengan pertanyaan/pernyataan nomor 1 sampai dengan 8, dimana pilihan jawaban yang benar tersedia lebih dari satu, yaitu 6 jawaban. Data lengkap distribusi frekuensi jawaban kuesioner responden pada variabel pengetahuan nomor 9 tentang komplikasi IMS dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel 5.5. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel

pengetahuan tentang komplikasi IMS

Komplikasi Jumlah (orang) Persentase (%)

Kemandulan

(48)

Berdasarkan hasil uji tersebut maka tingkat pengetahuan seputar IMS dapat dikategorikan pada tabel 5.6.

Tabel 5.6. Distribusi frekuensi pengetahuan

Tingkat Pengetahuan Jumlah (orang) Persentase (%)

Kurang

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan dengan kategori cukup memiliki persentase paling besar yaitu sebanyak 76 orang (80,9%), diikuti oleh tingkat pengetahuan yang dikategorikan baik sebanyak 12 orang (12,8%), dan tingkat pengetahuan yang dikategorikan kurang sebanyak 6 orang (6,4%).

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.7.

Tabel 5.7. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan jenis

kelamin

(49)

sebanyak 38 orang (80,9%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 6 orang (12,8%). Hasil yang sama persis juga terlihat pada kelompok perempuan.

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.8.

Tabel 5.8. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan usia

Usia

(50)

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan kelas dapat dilihat pada tabel 5.9.

Tabel 5.9. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan kelas

Kelas

(51)

5. 1.3.2. Sikap

Data lengkap distribusi frekuensi jawaban kuesioner responden pada variabel sikap dapat dilihat pada tabel 5.10.

Tabel 5.10. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel sikap

No. Pernyataan

IMS hanya akan diderita oleh pekerja seks

IMS dapat dihindari dengan menggunakan kondom

Sifilis adalah penyakit yang ringan, cepat sembuhnya bahkan tanpa diobati, serta tidak ada efek buruk di masa depan Penyakit kencing nanah adalah penyakit yang wajar dialami oleh remaja dan tidak mempunyai akibat khusus pada kesehatan

HIV/AIDS adalah penyakit yang hanya menyerang orang yang telah melakukan hubungan seksual

Menjauhi para pecandu narkoba menurunkan risiko tertular IMS

48

(52)

Berdasarkan hasil uji tersebut maka tingkat sikap seputar IMS dapat dikategorikan pada tabel 5.11.

Tabel 5.11. Distribusi frekuensi sikap

Sikap Jumlah (orang) Persentase (%)

Kurang

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat sikap dengan kategori baik memiliki persentase paling besar yaitu sebanyak 46 orang (46,9%), diikuti oleh tingkat sikap yang dikategorikan cukup sebanyak 43 orang (45,7%), dan tingkat sikap yang dikategorikan kurang sebanyak 5 orang (5,3%).

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.12.

Tabel 5.12. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan jenis kelamin

Jenis

(53)

perempuan, yang memiliki sikap yang kurang ada sebanyak 4 orang (8,5%), sikap yang cukup sebanyak 25 orang (53,2%), dan sikap yang baik sebanyak 18 orang (38,3%).

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.13.

Tabel 5.13. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan usia

Usia

(54)

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan kelas dapat dilihat pada tabel 5.14.

Tabel 5.14. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan kelas

Kelas

(55)

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.15.

Tabel 5.15. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan tingkat pengetahuan

Tingkat

(56)

5. 1. 3. 3. Tindakan

Data lengkap distribusi frekuensi jawaban kuesioner responden pada variabel tindakan dapat dilihat pada tabel 5.16.

Tabel 5.16. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel tindakan

No. Pernyataan

Melakukan hubungan seksual sebelum menikah

Melakukan hubungan seksual dengan Pekerja Seks Komersial

Memiliki lebih dari satu pasangan seks (suka berganti pasangan)

Tertarik secara seksual kepada sesama jenis

Bergaul akrab dengan pecandu narkoba dan/atau memakai narkoba

Memastikan untuk selalu menggunakan jarum suntik sekali pakai (disposible) jika disuntik atau mendapat imunisasi (misalnya: bertanya kepada dokter/suster yang menyuntik)

(57)

Berdasarkan hasil uji tersebut maka tingkat tindakan responden seputar IMS dapat dikategorikan pada tabel 5.17.

Tabel 5.17. Distribusi frekuensi tindakan

Tindakan Jumlah (orang) Persentase (%)

Kurang

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat sikap dengan kategori baik memiliki persentase paling besar yaitu sebanyak 93 orang (98,9%), diikuti oleh tingkat sikap yang dikategorikan cukup sebanyak 1 orang (1,1%).

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tindakan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.18.

Tabel 5.18. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan jenis kelamin

Jenis

(58)

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tindakan berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.19.

Tabel 5.19. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan usia

Usia

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok usia 13-14 tahun yang memiliki tindakan yang baik sebanyak 8 orang (100%). Pada kelompok usia 15-17 tahun, yang memiliki tindakan yang cukup sebanyak 1 orang (1,2%), dan tindakan yang baik sebanyak 84 orang (98,8%). Pada kelompok usia 18-19 tahun, yang memiliki tindakan yang baik sebanyak 1orang (100%).

(59)

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tindakan berdasarkan kelas dapat dilihat pada tabel 5.20.

Tabel 5.20. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan kelas

Kelas

(60)

Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tindakan berdasarkan tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.21.

Tabel 5.21. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan tingkat pengetahuan

Tingkat

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang kurang dengan tindakan yang baik ada sebanyak 6 orang (100%). Kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang cukup dengan tindakan yang cukup ada sebanyak 1 orang (1,3%), dan tindakan yang baik sebanyak 75 orang (98,7%). Kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang baik dengan tindakan yang baik ada sebanyak 12 orang (100%).

Data lengkap distribusi frekuensi

Tabel 5.22. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan sikap

hasil uji tindakan berdasarkan tingkat sikap dapat dilihat pada tabel 5.22.

(61)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok responden yang memiliki sikap yang kurang dengan tindakan yang cukup ada sebanyak 1 orang (20%), dan tindakan yang baik sebanyak 4 orang (80%). Kelompok responden yang memiliki sikap yang cukup dengan tindakan yang baik ada sebanyak 43 orang (100%). Kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang baik dengan tindakan yang baik ada sebanyak 46 orang (100%).

5.2. Pembahasan

5.2.1. Tingkat Pengetahuan

Dari hasil analisis data, dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan mengenai IMS paling banyak berada dalam kategori cukup. Penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas responden mengetahui bahwa IMS memiliki berbagai macam komplikasi, dimana komplikasi yang paling banyak diketahui oleh responden adalah kemandulan dan komplikasi yang paling sedikit diketahui oleh responden adalah orofaringitis. Hal ini disebabkan karena responden sudah mendapat pelajaran mengenai reproduksi manusia sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP), sehingga responden mengetahui bahwa IMS memberikan efek pada organ reproduksi manusia, yaitu kemandulan. Namun, banyak responden yang tidak tahu bahwa IMS juga dapat mengakibatkan infeksi sistemik. Pada penelitian ini juga didapati bahwa mayoritas responden tidak mengetahui bahwa IMS tidak selalu menimbulkan gejala, khususnya pada wanita. Responden hanya mengetahui bahwa setiap IMS memiliki gejala khas, seperti kencing nanah disebabkan oleh Gonore, padahal sebenarnya IMS tidak selalu memperlihatkan gejala pada wanita. Berdasarkan hasil penelitian oleh Sarwanto dan Ajik (2004) serta Suryoputro, Ford, dan Shaluhiyah (2006), tingkat pengetahuan remaja tentang IMS termasuk HIV/AIDS di Jawa Timur dan Jawa Tengah tergolong masih rendah. Hal yang sama juga didapat pada penelitian yang dilakukan oleh Chiuman (2009), dimana tingkat pengetahuan siswa dan siswi SMA di Medan mengenai IMS masih tergolong rendah. Menurut teori Triachic of

Intelligence oleh Robert Stenberg, salah satu proses kognitif untuk membentuk

(62)

beradaptasi dengan tuntunan atau norma lingkungan (Yusuf, 2004). Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan teori yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan, tingkatan intelegensi, lingkungan dan sosial budaya dapat menjadi penyebab dari perbedaan hasil yang didapat.

Pada tabel distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin (tabel 5.7), dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan dari tingkat pengetahuan responden berdasarkan jenis kelamin. Tingkat pengetahuan responden paling banyak berada pada kategori cukup pada kedua jenis kelamin, dengan hasil yang persis sama. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Ajuwon et al (2006) pada siswa SMA di Nigeria, dimana ditemukan bahwa tingkat pengetahuan anak laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan. Sedangkan menurut penelitian Vasan et al (2000) di India terhadap remaja berusia 18-22 tahun, ditemukan bahwa tingkat pengetahuan anak laki-laki tentang AIDS lebih baik dibandingkan dengan anak perempuan. Menurut Yusuf (2004), tidak terdapat perbedaan perkembangan otak antara laki-laki dan perempuan, dimana kapasitas otak akan serupa dengan orang dewasa pada usia sekitar 14 tahun. Sejalan dengan hasil penelitian dan teori yang ada, maka perbedaan kemampuan intelegensi antara kedua jenis kelamin dipengaruhi oleh perkembangan otak dan sosial budaya daerah dan negara setempat. Menurut asumsi peneliti, persamaan

gender yang pada zaman sekarang semakin berkembang di Indonesia khususnya

di kota Medan turut berperan dalam hal persamaan tingkat pengetahuan ini, karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pengetahuan mengenai IMS.

(63)

Yusuf (2004), perkembangan kognitif seseorang berubah sesuai dengan usia, dimana pada usia di atas 11 tahun, seseorang sudah dapat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa hipotesis atau abstrak, sehingga sudah dapat berpikir abstrak dan memecahkan masalah melalui pengujian semua alternatif yang ada. Menurut teori ini dan hasil penelitian yang ada, dapat diambil asumsi bahwa perbedaan kelompok usia, selama usia tersebut berada di atas 11 tahun, tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden mengenai IMS.

Pada tabel distribusi frekuensi hasil uji tingkat pengetahuan berdasarkan kelas (tabel 5.9), dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat pengetahuan responden berdasarkan kelas. Tingkat pengetahuan responden paling banyak berada pada kategori cukup pada setiap tingkatan kelas. Namun, responden yang paling banyak memiliki tingkat pengetahuan baik berada pada kelas XII IPA, yaitu berjumlah 37,5%. Hal ini disebabkan karena dalam kurikulum SMA, IMS dipelajari pada semester 4 (empat) mata pelajaran Biologi di kelas XI IPA, sehingga kelompok responden yang paling baik pengetahuannya berada di kelas XII IPA. Adapun kelas X dan kelas XI IPA belum mendapat pelajaran tentang IMS pada mata pelajaran Biologi, sedangkan kelas XI IPS dan kelas XII IPS sama sekali tidak mendapatkan pendidikan mengenai IMS selama berada di SMA. Menurut peneliti, pendidikan biologi mengenai IMS memiliki pengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden terhadap IMS.

5.2.2. Sikap

(64)

(2004) menemukan bahwa mayoritas remaja di Jawa Timur memiliki sikap positif terhadap IMS. Menurut asumsi peneliti, hal ini dapat disebabkan oleh mispersepsi terhadap informasi-informasi yang telah mereka dapatkan dari berbagai kalangan mengenai IMS sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan dengan mispersepsi tersebut dapat menumbuhkan sikap yang terkadang tidak tepat.

Dari data distribusi frekuensi sikap berdasarkan jenis kelamin (tabel 5.12) dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan sikap responden berdasarkan jenis kelamin. Sikap pada kelompok laki-laki mayoritas berada pada kategori baik, sedangkan kelompok perempuan paling banyak memiliki sikap cukup. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chiuman (2009), bahwa ditemukan perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan mengenai IMS, dimana mayoritas responden laki-laki memiliki sikap yang cukup, sedangkan mayoritas responden perempuan memiliki sikap yang kurang baik mengenai IMS. Menurut asumsi peneliti, perbedaan ini disebabkan oleh faktor sosial dan budaya di Indonesia, dimana remaja perempuan umumnya tidak terbiasa untuk membicarakan mengenai seksualitas dan hal-hal yang berkaitan dengan hal itu, seperti IMS, karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang memalukan. Remaja laki-laki yang memiliki keingintahuan yang lebih besar terhadap masalah-masalah seksual cenderung akan memiliki sikap yang lebih baik terhadap IMS.

(65)

matang (kritis). Berdasarkan hal itu dan hasil penelitian yang didapat, peneliti berasumsi bahwa pilihan sikap responden akan menjadi lebih baik seiring dengan pertambahan usia.

Pada tabel distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan kelas (tabel 5.14), dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dari sikap responden berdasarkan kelas. Pada kelas X, mayoritas responden memiliki sikap cukup (56,8%), dan yang memiliki sikap baik hanya sebanyak 33,3%. Responden yang berada di kelas XI IPA dan XI IPS pada umumnya memiliki sikap baik, dengan persentase yang sama (56,3%). Responden yang memiliki sikap kurang baik pada kelas XI IPS berjumah 6,3%, sedangkan responden di kelas XI IPA tidak ada yang bersikap kurang baik. Responden yang duduk di kelas XII IPA memiliki persentase paling besar untuk sikap baik, yaitu sebesar 62,5%. Sedangkan responden kelas XII IPS yang bersikap baik adalah 50%. Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R) dalam Notoatmodjo (2007), penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Stimulus (perhatian, pengertian, dan penerimaan) dapat menimbulkan reaksi tertutup (perubahan sikap). Dalam hal ini, stimulus yang dimaksud adalah pengetahuan mengenai IMS, dimana didapati bahwa kelas XII IPA memiliki tingkat pengetahuan yang paling baik mengenai IMS dibandingkan dengan kelas-kelas yang lain, karena siswa dan siswi kelas XII IPA telah memperoleh pengetahuan mengenai IMS pada mata pelajaran biologi semester 4 (empat) sewaktu mereka berada di kelas XI IPA. Hasil penelitian sejalan dengan teori S-O-R, yaitu bahwa tingkat pengetahuan yang semakin terhadap IMS memiliki pengaruh terhadap pilihan sikap yang semakin baik juga.

(66)

(2007) bahwa pengetahuan akan suatu objek atau stimulus memegang peranan penting dalam penentuan sikap.

5.2.3. Tindakan

Dari hasil analisis data dapat dilihat bahwa tindakan siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan mengenai IMS berada dalam kategori baik. Semua responden memiliki tindakan yang benar untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK dan tidak bergonta-ganti pasangan seksual. Namun sebanyak 1,1% responden mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, 2,1% responden mengaku lebih tertarik secara seksual dengan sesama jenis, 3,2% responden bergaul akrab dengan pecandu narkoba dan/atau memakai narkoba, dan sebanyak 16% responden tidak pernah memastikan bahwa jarum suntik yang dipakainya sudah bekas pakai atau masih baru. Hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang tahun 2005 menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah. Selain itu, menurut penelitian Eaton (2008), sebanyak 4,4% siswa SMA di Amerika Serikat sudah menggunakan ekstasi. Menurut asumsi peneliti, tindakan responden terhadap faktor-faktor risiko IMS sangat dipengaruhi oleh sosial budaya dimana responden tinggal, dimana para remaja di negara-negara Barat cenderung untuk lebih bebas untuk melakukan segala sesuatu daripada para remaja di negara-negara Timur, khususnya Indonesia, yang masih terikat oleh adat-istiadat setempat.

Gambar

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 4.1.   Distribusi Sampel
Tabel 4.2.  Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner
Tabel 5.1.  Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Wundulako, dengan ini Panitia Pengadaan Barang/Jasa Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Kolaka mengundang saudara untuk mengikuti

Para investor mempunyai daya tarik melakukan investasi modal dengan membeli saham dikarenakan terdapat dua keuntungan yang dapat diperoleh dalam memiliki saham yaitu dividen

Perbandingan NVK tahun 2020 sebelum dan sesudah jalan tol beroperasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh adanya jalan tol terhadap kinerja jaringan jalan Kota

Strategi pemberian modal kepada petani/industri pengurai serat sabut kelapa akan berjalan lancar jika dijalankan di luar pulau Jawa, yaitu di pulau Sumatra, Bali, Kalimantan,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tingkat pemahaman dan status gizi peserta didik, maka dapat disimpulkan bahwa: 1). Tingkat pemahaman gizi peserta

1. Tujuan PTK adalah peningkatan kualitas proses dan hasil belajar. Masalah yang dikaji dalam PTK adalah masalah yang bersifat praktis. Fokus utama penelitian adalah

Pimpinan, seluruh staff serta pegawai Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat yang dengan sukarela membantu dalam penyusunan laporan kegiatan magang ini.. Herry

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata