PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
PADA KONSEP RANGKA DAN PANCA INDERA
MANUSIA
(Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas IV MI Al-Washliyah Jakarta)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
HERU HENDRIAWAN NIM: 809018300771
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i
ABSTRAK
Heru Hendriawan, “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Rangka dan Panca Indera Manusia”. (Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas IV MI Al-Washliyah Jakarta Timur). Skripsi, Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar siswa. Penelitian ini dilakukan di MI Al-Washliyah Jakarta Timur pada bulan September 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan melibatkan 24 siswa kelas IV-A sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas IV-B sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan adalah tes berbentuk pilihan ganda yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Berdasarkan hasil penghitungan uji hipotesis melalui uji-t pada taraf signifikansi 5% dan dk = 38 diperoleh nilai > yaitu 4,419 > 2,0205. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima. Oleh karena itu maka, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada konsep Rangka dan Panca Indera Manusia.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT., yang telah memberikan taufik dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan umat manusia,
nabi Muhammah SAW., yang telah membimbing umatnya dari alam kegelapan
menuju ke alam terang benderang.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana (Strata 1) pada Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah,
Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
dapat diselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih banyak kepada:
1. Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Fauzan, MA., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah (PGMI).
3. Ibu Kinkin Suartini, M.Pd., selaku pembimbing yang telah meluangkan
waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan bimbingan, nasehat,
dan arahan kepada penulis selama menyusun skripsi ini.
4. Bapak/Ibu dosen dan para staf di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya di Jurusan PGMI yang telah memberikan
bantuan dan dukungannya.
5. Segenap pimpinan dan karyawan/karyawati perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas fasilitas yang diberikan untuk studi pustaka.
6. Kepala Sekolah, guru-guru dan para siswa MI Al-Washliyah Jakarta yang
iii
7. Ayahanda dan Ibunda serta isteri tercinta atas dorongan moril dan materil,
doa-doa yang selalu dipanjatkan buat penulis serta kasih sayang yang telah
dicurahkannya.
8. Rekan-rekan mahasiswa khususnya di jurusan PGMI Dual Mode Sistem
yang turut membantu memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, secara terbuka penulis menerima setiap kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan ini di masa yang akan
datang. Walaupun demikian, penulis tetap berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua yang
berkepentingan.
Jakarta, Maret 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Perumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 7
A. Deskripsi Teoretis ... 7
1. Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif ... 7
a. Definisi Pembelajaran Kooperatif ... 7
b. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif ... 9
c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif ... 11
d. Tujuan Pembelajaran Kooperatif ... 13
e. Prosedur Pembelajaran Kooperatif ... 14
f. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif ... 16
2. Model Pembelajaran Koopereratif Tipe Jigsaw ... 18
a. Pengertian Jigsaw ... 18
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 20
v
3. Hasil Belajar ... 23
a. Pengertian Hasil Belajar ... 23
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar ... 25
c. Pengukuran Hasil Belajar ... 26
B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 27
C. Kerangka Berpikir ... 28
D. Pengajuan Hipotesis ... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30
A. Metode dan Desain Penelitian ... 30
B. Prosedur Penelitian ... 31
C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
D. Populasi dan Sampel ... 32
E. Teknik Sampling ... 32
F. Teknik Pegumpulan Data ……….. ... 32
G. Instrumen Penelitian ... 33
H. Teknik Analisis Data ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
A. Deskripsi Data ... 39
B. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 40
1. Uji Normalitas ... 40
2. Uji Homogenitas ... 40
3. Uji Hipotesis ... 41
C. Hasil Pengujian Hipotesis ... 41
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 42
E. Hasil Observasi ... 43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44
A. Kesimpulan ... 44
B. Saran-saran ... 44
vi DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Desain Nonequivalent Control Group ... 30
Tabel 3.2 Kriteria Reliabilitas ... 35
Tabel 3.3 Kelompok Tingkat Kesukaran ... 35
Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda ... 36
Tabel 4.1 Rekapitulasi Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Pretes-Postes Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... ... 39
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Chi-Kuadrat ... 40
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 40
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Uji-t ... 41
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kisi-Kisi Instrumen Tes Untuk Uji Coba ... ... 47
Lampiran 2 Uji Validitas, Reliabilitas, dan Daya Pembeda ... ... 55
Lampiran 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen 67 Lampiran 4 Pencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Kontrol ... 91
Lampiran 5 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... ... 102
Lampiran 6 Hasil Pretes Kelas Eksperimen ... ... 123
Lampiran 7 Hasil Pretes Kelas Kontrol ... ... 127
Lampiran 8 Hasil Postes Kelas Eksperimen ... ... 131
Lampiran 9 Hasil Postes Kelas Kontrol ... ... 135
Lampiran 10 Uji Normalitas ... ... 139
Lampiran 11 Uji Homogenitas ... ... 144
Lampiran 12 Uji Hipotesis ... ... 147
Lampiran 13 Hasil Observasi Kegiatan Siswa ... ... 150
viii
[image:12.595.100.526.154.552.2]DAFTAR GAMBAR
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang
dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan dan perkembangan
pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan
budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat
perlu terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah
pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang
bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Keberhasilan pendidikan dipengaruhi oleh perubahan dan pembaharuan
dalam segala unsur-unsur yang mendukung pendidikan. Adapun unsur-unsur tersebut
adalah siswa, guru, alat/media belajar, metode, materi dan lingkungan pendidikan.
Semua unsur tersebut saling terkait dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan.
Perkembangan dunia pendidikan dari tahun ke tahun mengalami perubahan
seiring dengan tantangan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
dan mampu bersaing di zaman globalisasi. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh
bangsa kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak
hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain
melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum,
sertifikasi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran serta perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan. Namun demikian, mutu pendidikan yang dicapai belum seperti
apa yang diharapkan. Perbaikan yang telah dilakukan pemeritah tidak akan ada artinya
jika tanpa dukungan dari guru, orang tua, siswa dan masyarakat.
Berbicara tentang mutu pendidikan tidak akan lepas dengan proses belajar
mengajar, dimana dalam proses belajar mengajar guru harus mampu menjalankan tugas
dan peranannya, sehingga akan tercipta suatu kondisi lingkungan belajar yang kondusif.
Kegiatan proses pembelajaran merupakan kegiatan paling pokok dalam keseluruhan
pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan
pendidikan banyak tergantung kepada bagaimana proses pembelajaran yang dialami
2
Masalah utama dalam pendidikan formal dewasa ini adalah masih rendahnya
daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari rata-rata hasil belajar peserta didik yang
relatif rendah. Proses pembelajaran di sekolah/madrasah pada umumnya belum
menampakkan sistem belajar mengajar yang mengajak siswa untuk aktif berfikir dan
bertindak melakukan penggalian potensi yang ada padanya.1 Sikap yang demikian
mungkin disebabkan karena metode pembelajaran yang digunakan oleh guru kurang
bervariasi, serta materi pelajaran yang relatif lebih sukar. Hal ini secara tidak langsung
sangat mempengaruhi rendahnya hasil belajar siswa. Keadaan ini merupakan hasil
kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak mengajak siswa
untuk bersikap lebih aktif selama proses pembelajaran.
Mata pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit
oleh kebanyakan siswa. Oleh karena itu mata pelajaran IPA termasuk mata pelajaran
yang membutuhkan variasi model pembelajaran pada saat penyampaiannya. Rendahnya
rata-rata hasil belajar IPA tidak terlepas dari peranan guru dalam proses belajar
mengajar. Pada umumnya, dalam mengajarkan konsep-konsep IPA, guru masih
menganut teori tabula rasa, yaitu memindahkan pengetahuan dari pikiran guru ke
dalam pikiran siswa secara utuh.2 Pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada
umumnya dengan cara menceramahkan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan
hukum-hukum dalam bentuk yang sudah jadi kepada siswa. Guru menganggap pembelajaran
dengan cara ini sudah berhasil, namun sesungguhnya siswa belum belajar secara aktif
karena dalam pikiran siswa tidak terjadi perkembangan struktur kognitif, sehingga ada
kecenderungan siswa kurang tertarik dengan mata pelajaran yang disampaikan oleh
gurunya tersebut.
Seorang guru yang profesional dituntut untuk dapat menampilkan keahliannya
sebagai guru di depan kelas. Komponen yang harus dikuasai adalah antara lain
menggunakan bermacam-macam model pembelajaran yang bervariasi yang dapat
menarik minat belajar siswa dan guru tidak hanya cukup dengan memberikan ceramah
di depan kelas. Hal ini tidak berarti bahwa metode ceramah tidak baik, melainkan pada
suatu saat siswa akan menjadi bosan apabila hanya guru sendiri yang berbicara,
sedangkan siswa hanya duduk, diam dan mendegarkan saja. Kebosanan dalam
mendengarkan uraian guru dapat mematikan semangat belajar siswa. Selain itu, ada
pokok bahasan yang memang kurang tepat untuk disampaikan melalui metode ceramah
3
dan lebih efektif disampaikan melalui metode lain. Oleh karena itu, seorang guru perlu
menguasai berbagai model pembelajaran agar suasana kelas menjadi lebih hidup dan
tidak membosankan bagi siswa.3
Setiap model pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu dengan segala
kelebihan dan kelemahan masing-masing. Suatu model pembelajaran mungkin baik
untuk suatu tujuan, konsep, maupun situasi dan kondisi tertentu, tetapi tidak tepat untuk
siatuasi lain. Demikian pula, suatu model pembelajaran yang dianggap baik dalam
mempelajari suatu konsep yang disampaikan oleh guru tertentu, kadang-kadang belum
tentu berhasil dibawakan oleh guru lain.
Model pembelajaran dapat digunakan untuk mengarahkan kegiatan siswa ke
arah tujuan yang akan dicapai. Oleh sebab itu, sebaiknya seorang guru harus menguasai
beberapa model pembelajaran untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Teori dan
praktek pendidikan modern memperhatikan siswa bukan sebagai penerima yang pasif
dan banyak membutuhkan pengawasan, tetapi harus diarahkan sebagai anak yang aktif
berfikir dan bertindak melakukan penggalian potensi yang ada pada diri siswa.
Cara untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang
membawa kepada siswa aktif, salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Model
pembelajaran ini bisa melatih siswa aktif. Model pembelajaran ini berbasis pada gotong
royong.4 Falsafah yang mendasari model pembelajaran gotong royong dalam
pendidikan adalah falsafah homo homini sicius. Berlawanan dengan teori Darwin,
falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.5 Kerja sama
merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa
kerja sama tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau sekolah. Penggunaan
secara efektif keterampilan-keterampilan kooperatif menjadi semakin penting untuk
mengembangkan sikap saling bekerja sama, mempunyai rasa tanggung jawab dan
mampu bersaing secara sehat. Sikap yang demikian akan membantu pribadi yang
berhasil dalam menghadapi tantangan pendidikan yang lebih tinggi yang berorientasi
pada kelompok.
Menurut Johnson dan Johnson cooperative learning adalah mengelompokkan
siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama
3Ibid., h. 4
4 Anita Lie, Cooperative Learning, (Jakarta: Grasindo, 2010), Cet. 7, h. 28
4
dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain
dalam kelompok tersebut.6
Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak
digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa
(student oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam
mengaktifkan siswa yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang
agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model pembelajaran ini telah terbukti dapat
dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia.7
Ada banyak alasan mengapa cooperative learning tersebut mampu memasuki
mainstream (kelaziman) praktek pendidikan. Selain bukti-bukti nyata tentang
keberhasilan pendekatan ini, pada masa sekarang masyarakat pendidikan semakin
menyadari pentingnya para siswa berlatih berfikir, memecahkan masalah, serta
menggabungkan kemampuan dan keahlian. Walaupun memang pendekatan ini akan
berjalan baik di kelas dengan kemampuan siswa yang bervariasi lebih membutuhkan
pendekatan ini.Karena dengan mencampurkan para siswa dengan kemampuan yang
beragam tersebut, maka siswa yang kurang akan sangat terbantu dan termotivasi siswa
yang lebih. Demikian juga siswa yang lebih akan semakin terasah kemampuannya.
Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah tipe Jigsaw. Model
pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai pelajaran untuk
mencapai prestasi yang maksimal. Mengajar serta diajar oleh sesama siswa merupakan
bagian penting dalam proses pembelajaran. Pemilihan anggota dalam setiap kelompok
juga harus diperhatikan agar pembelajaran optimal. Keanggotaan kelompok sebaiknya
bersifat heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik lainnya.8
Beberapa alasan lain yang menyebabkan model Jigsaw perlu diterapkan sebagai
model pembelajaran yaitu tidak adanya persaingan antar siswa atau kelompok. Mereka
bekerjasama untuk menyelesaikan masalah dalam mengatasi jalan pikiran yang
berbeda. Siswa dalam kelompok bertanggung jawab atas penguasaan materi belajar
yang ditugaskan padanya lalu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota yang lain.
Siswa juga senantiasa tidak hanya mengharapkan bantuan dari guru serta siswa
termotivasi untuk belajar cepat dan akurat seluruh materi. Dengan demikian, jika model
6 Isjoni, Cooperative LearningEfektifitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung: Alfabeta, 2012), Cetakan ke-6, h. 17
7Ibid
5
pembelajaran ini diterapkan dalam proses pembelajaran, maka akan terjadi
pembelajaran student centered, bukan teacher centered.
Melalui model pembelajaran Jigsaw diharapkan dapat memberikan solusi dan
suasana baru yang menarik dalam pengajaran sehingga memberikan pengalaman
belajar dengan konsep baru. Pembelajaran Jigsaw membawa konsep pemahaman
inovatif dan menekankan keaktifan siswa, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan memiliki
banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis terdorong untuk mencoba
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA. Oleh karena itu, penulis
mengangkat judul dalam skripsi ini: “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Rangka dan Panca
Indera Manusia”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, beberapa masalah
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Hasil belajar siswa MI pada mata pelajaran IPA secara umum masih relatif rendah
dikarenakan kurangnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
2. Proses pembelajaran IPA selama ini lebih menekankan pada pencapaian tuntutan
kurikulum dan penyampaian materi sehingga siswa kurang aktif dalam proses
pembelajaran.
3. Model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran sangat monoton
sehingga perlu adanya upaya dari guru untuk menerapkan model pembelajaran yang
bersifat menyenangkan sehingga dapat mendorong siswa aktif dalam pembelajaran.
C.Pembatasan Masalah
Agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu luas ruang lingkupnya, maka
penelitian ini dibatasi pada:
1. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam penelitian ini adalah
model Jigsaw yang diadaptasi dari Slavin, namun langkah-langkahnya telah
6
2. Hasil belajar pada penelitian ini dibatasi pada hasil belajar pada ranah kognitif, yang
meliputi kemampuan mengingat (C1) dan kemampuan memahami (C2).
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah berpengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada konsep Rangka
dan Panca Indera Manusia?”
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw terhadap peningkatan hasil belajar siswa pada konsep Rangka dan
Panca Indera Manusia.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA melalui proses
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
2. Memberikan masukan bagi guru tentang alternatif model pembelajaran yang
membuat siswa kooperatif dalam proses pembelajaran IPA.
7
BAB II
DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Deskripsi Teoretis
1. Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif
a. Definisi Pembelajaran Kooperatif
Secara etimologi, dalam bahasa Inggris, kooperatif (to cooperative) berarti
bekerja bersama-sama. Pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai sistem
kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah
lima unsur pokok, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual,
interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.1
Kagan mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai suatu strategi
instruksional yang melibatkan interaksi siswa secara kooperatif dalam mempelajari
suatu topik sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.2 Sedangkan Jacob
menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu metode instruksional dimana
siswa dalam kelompok kecil bekerja sama dan saling membantu dalam menyelesaikan
tugas akademik.3
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivistik. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami
materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika
salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.4
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang
1 Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Dirjen Pendis Depag RI, 2009), h. 232
2Ibid. 3Ibid.
8
mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang
berbeda (heterogen). Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika
kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap
anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam
itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap
kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok. Setiap
individu akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk
memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompok.5
Model pembelajaran kooperatif beranjak dari dasar pemikiran “getting better
together”, yang menekankan pada pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan
suasana yang kondusif dimana siswa dapat memperoleh dan mengembangkan
pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi
kehidupannya di masyarakat.6 Melalui pembelajaran kooperatif, siswa bukan hanya
belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru dalam PBM, melainkan bisa juga
belajar dari siswa lainnya dan sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan
siswa yang lain.
Dengan interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri,
mampu menggunakan strategi berfikir tingkat tinggi, serta mampu membangun
hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan semua siswa
dapat menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama atau sejajar. Pada
saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar yang terbuka
dalam dimensi kesejawatan, karena pada saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif
dalam hubungan pribadi yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang
belajar dalam kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya (peer group) dan belajar secara bekerjasama (cooperative).7
Pada strategi pembelajaran kooperatif, guru bukan lagi berperan sebagai
satu-satunya nara sumber dalam PBM, tetapi berperan sebagai mediator, stabilisator, dan
manajer pembelajaran. Iklim belajar yang berlangsung dalam suasana keterbukaan dan
demokratis akan memberikan kesempatan yang optimal bagi siswa untuk memperoleh
5 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet. Ke-8, h. 242
6 Masitoh dan Laksmi Dewi, loc. cit.
9
informasi yang lebih banyak mengenai materi yang dibelajarkan dan sekaligus melatih
sikap dan keterampilan sosialnya sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat,
sehingga perolehan dan hasil belajar siswa akan semakin meningkat.
Pada model pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan
khusus agar siswa dapat bekerjasama di dalam kelompoknya, seperti menjadi
pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan-pertanyaan
atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan.8
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang sistematis dimana
siswa bekerja pada kelompok-kelompok kecil dan di dalam kelompok-kelompok kecil
tersebut siswa belajar dan saling bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk sampai
pada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun kelompok.
Di dalam kelompok tersebut siswa dapat saling berdiskusi dan berargumen serta
membantu teman sekelompok yang mengalami kesulitan dalam memahami materi
pelajaran. Jadi, kegiatan tersebut akan membantu siswa-siswi yang lemah untuk dapat
memahami materi dan memberikan penguatan terhadap siswa yang pintar.
b. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan
kepada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya
kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran, tetapi juga
adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya kerja sama inilah
yang menjadi ciri khas dari pembelajaran kooperatif.
Slavin, Abrani, dan Chambers dalam Hamruni berpendapat bahwa belajar
melalui kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif motivasi,
perspektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan perspektif elaborasi kognitif.9
Perspektif motivasi artinya bahwa penghargaan yang diberikan kepada kelompok
memungkinkan setiap anggota kelompok akan saling membantu. Dengan demikian,
keberhasilan setiap individu pada dasarnya adalah keberhasilan kelompok. Hal
8 Jauhar, op. cit., h. 53
10
semacam ini akan mendorong setiap anggota kelompok untuk memperjuangkan
keberhasilan kelompoknya.
Perspektif sosial artinya bahwa melalui kooperatif setiap siswa akan saling
membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semua anggota kelompok
memperoleh keberhasilan. Bekerja secara tim dengan mengevaluasi keberhasilan
sendiri oleh kelompok, merupakan iklim yang bagus, di mana setiap anggota kelompok
menginginkan semuanya memperoleh keberhasilan.
Perspektif perkembangan kognitif artinya bahwa dengan adanya interaksi
antara anggota kelompok dapat mengembangkan prestasi siswa untuk berfikir
mengolah berbagai informasi. Sedangkan elaborasi kognitif artinya bahwa setiap siswa
akan berusaha untuk memahami dan menimba informasi untuk menambah pengetahuan
kognitifnya. Dengan demikian, karakteristik strategi pembelajaran kooperatif dijelaskan
di bawah ini.
1) Pembelajaran Secara Tim
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim merupakan
tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap
siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus saling membantu untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria keberhasilan pembelajaran
ditentukan oleh keberhasilan tim.
Setiap kelompok bersifat heterogen. Artinya, kelompok terdiri atas anggota
yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang sosial yang
berbeda. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat saling memberikan
pengalaman, saling memberi dan menerima, sehingga diharapkan setiap anggota dapat
memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kelompok.
2) Didasarkan pada Manajemen Kooperatif
Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi pokok,
yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksannan, dan fungsi kontrol.
Demikian juga dalam pembelajaran kooperatif. Fungsi perencanaan menunjukkan
bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar proses
pembelajaran berjalan secara efektif, misalnya tujuan apa yang harus dicapai,
bagaimana cara mencapainya, apa yang harus digunakaan untuk mencapai tujuan itu
dan lain sebagainya. Fungsi pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif
11
yang sudah ditentukan termasuk ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati bersama.
Fungsi organisasi menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pekerjaan
bersama antar setiap anggota kelompok, oleh sebab itu perlu diatur tugas dan tanggung
jawab setiap anggota kelompok. Fungsi kontrol menunjukkan bahwa dalam
pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan, baik melalui tes
maupun non tes.
3) Kemauan untuk Bekerja Sama
Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara
kelompok. Oleh sebab itu, prinsip bekerja sama perlu ditekankan dalam proses
pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja harus diatur tugas dan
tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan perlunya saling
membantu. Misalnya, siswa yang pintar perlu membantu siswa yang kurang pintar.
4) Keterampilan Bekerja Sama
Kemauan untuk bekerja sama itu kemudian dipraktikkan melalui aktivitas dan
kegiatan yang tergambarkan dalam keterampilan bekerja sama. Dengan demikian,
siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan
anggota lain. Siswa perlu dibantu mengatasi berbagai hambatan dalam berinteraksi dan
berkomunikasi, sehingga setiap siswa dapat menyampaikan ide, mengemukakan
pendapat, dan memberikan kontribusi kepada keberhasilan kelompok.
c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif
Wina Sanjaya mengemukakan bahwa terdapat empat prinsip dasar pembelajaran
kooperatif, seperti dijelaskan di bawah ini.10
1) Prinsip Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)
Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu,
perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok
akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota
dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.
Untuk terciptanya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok
masing-masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas
tersebut tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah
12
hakikat ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin bisa diselesaikan
manakala ada anggota yang tak bisa menyelesaikan tugasnya, dan semua ini
memerlukan kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok. Anggota
kelompok yang mempunyai kemampuan lebih, diharapkan mau dan mampu membantu
temannya untuk menyelsaikan tugasnya.
2) Tanggung Jawab Perseorangan (Individual Accountability)
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap aggotanya, maka setiap anggota
kelompok harus memiliki tanggug jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus
memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal
tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok.
Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama.
3) Interaksi Tatap Muka (Face to Face Promotion Interaction)
Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada
setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling
membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga
kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan,
memanfaatkan kelebihan masing anggota, dan mengisi kekurangan
masing-masing. Kelompok belajar kooperatif dibentuk secara heterogen, yang berasal dari
budaya, latar belakang sosial, dan kemampuan akademik yang berbeda. Perbedaan
semacam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar
anggota kelompok.
4) Partisipasi dan Komunikasi (Perticipation Communication)
Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif
dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru
perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Tidak setiap siswa
mempunyai keterampilan berkomunikasi, misalnya kemampuan mendengarkan dan
kemampuan berbicara, padahal keberhasilan kelompok ditentukan oleh partisipasi
setiap anggotanya.
Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi, siswa perlu dibekali dengan
13
atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun, tidak memojokkan, cara
menyampaikan gagasan dan ide-ide yang dianggapnya baik dan berguna.
Keterampilan berkomunikasi memang memerlukan waktu. Siswa tak mungkin
dapat menguasainya dalam waktu sekejap. Oleh sebab itu, guru perlu terus melatih dan
melatih, sampai pada akhirnya setiap siswa memiliki kemampuan untuk menjadi
komunikator yang baik.
d. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Muslimin Ibrahim dkk., dalam Trianto mengemukakan bahwa model
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan
pembelajaran penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman,
dan pengembangan keterampilan sosial.11 Berikut ini akan dijelaskan tiga tujuan
pembelajaran kooperatif tersebut.
1) Hasil Belajar Akademik
Tujuan yang pertama dari diterapkannya pembelajaran kooperatif adalah untuk
meningkatkan hasil belajar. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam
membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model
ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat
meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang
berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan
dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik bagi
siswa kelompok bawah maupun siswa kelompok atas. Siswa kelompok atas maksudnya
adalah akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah, jadi memperoleh bantuan
khusus bagi teman sebaya yang memiliki orientasi yang sama. Dalam proses tutorial
ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan
ide-ide yang terdapat di dalam materi-materi tertentu.
2) Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu
Tujuan yang kedua dari pembelajaran kooperatif adalah penerimaan terhadap
perbedaan-perbedaan yang dimiliki setiap individu. Dengan pembelajaran kooperatif,
siswa dapat menerima berbagai perbedaan yang luas misalnya perbedaan ras, budaya,
14
kelas sosial, kemampuan, maupun ketidakmampuan. Dari sini dapat disimpulkan,
dengan pembelajaran kooperatif dapat memberikan peluang kepada siswa yang berbeda
latar belakang dan kondisi untuk saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas
bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk
menghargai satu sama lain.
3) Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting
untuk dimiliki di dalam masyarakat dimana banyak kerja orang dewasa sebagian besar
dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan dimana
masyarakat secara budaya semakin beragam.
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa tidak hanya mempelajari materi
pelajaran. Mereka juga harus mempelajari keterampilan interpersonal agar dapat
bekerja bersama secara produktif. Keterampilan ini dikenal sebagai keterampilan
kooperatif. Lundgren membagi keterampilan kooperatif dalam tiga tingkatan, yaitu:12
(a) Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi berbagi tugas, mendorong
partisipasi, dan mengundang orang lain untuk berbicara.
(b) Keterampilan kooperatif tingkat menengah, meliputi medengarkan dengan aktif,
bertanya, membuat ringkasan, dan menerima tanggung jawab.
(c) Keterampilan kooperatif tingkat akhir, meliputi mengelaborasi, memeriksa
ketepatan dan menetapkan tujuan.
Keterampilan kooperatif ini bertujuan untuk melancarkan hubungan kerja dan
tugas. Peranan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar
anggota kelompok sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar
kelompok selama kegiatan.
e. Prosedur Pembelajaran Kooperatif
Prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap
yaitu: penjelasan materi, belajar dalam kelompok, penilaian, dan pengakuan tim.13
12 Zulfiani dkk., Strategi Pembelajaran Sains. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 133
15
1) Penjelasan Materi
Tahap penjelasan diartikan sebagai proses penyampaian pokok-pokok materi
pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama dalam tahap ini adalah
pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini guru memberikan
gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa
akan memperdalam materi dalam pembelajaran kelompok (tim). Pada tahap ini guru
dapat menggunakan metode ceramah, curah pendapat, dan tanya jawab, bahkan kalau perlu guru menggunakan metode demonstrasi. Di samping itu, guru juga dapat
menggunakan berbagai media pembelajaran agar proses penyampaian dapat lebih
menarik siswa.
2) Belajar dalam Kelompok
Setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang pokok-pokok materi
pembelajaran, selanjutnya siswa diminta untuk belajar pada kelompoknya
masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya. Pengelompokan dalam model pembelajaran
kooperatif bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan
perbedaan-perbedaan setiap anggotanya, baik perbedaan-perbedaan gender, latar belakang agama,
sosial-ekonomi, dan etnik, serta perbedaan kemampuan akademik. Dalam hal kemampuan
akademis, Anita Lie mengatakan bahwa kelompok pembelajaran biasanya terdiri dari
satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang, dan
satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang. Selanjutnya, Lie
menjelaskan beberapa alasan lebih disukainya pengelompokan heterogen. Pertama,
kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring)
dan saling mendukung. Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antar
ras, agama, etnis, dan gender. Terakhir, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan
kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang. Melalui pembelajaran dalam tim
siswa didorong untuk melakukan tukar-menukar (sharing) informasi dan pendapat,
mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban mereka, dan
mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.
3) Penilaian
Penilaian dalam strategi pembelajaran kooperatif bisa dilakukan dengan tes atau
kuis. Tes atau kuis dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Tes
16
kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir setiap
siswa adalah penggabungan keduanya dan dibagi dua. Nilai setiap kelompok memiliki
nilai sama dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan nilai kelompok adalah nilai bersama
dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompok.
4) Pengakuan Tim
Pengakuan tim (team recognition) adalah penetapan tim yang dianggap paling
menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah. Pengakuan dan pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi
tim untuk terus berprestasi dan juga membangkitkan motivasi tim lain untuk lebih
mampu menigkatkan prestasi mereka.
f. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif
Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak ada satu model pembelajaran pun
yang paling baik di antara model pembelajaran yang lain. Demikian halnya dengan
model pembelajaran kooperatif ini, tentu memiliki keunggulan dan kelemahan.
1) Keunggulan Model Pembelajaran Kooperatif
Keunggulan pembelajaran kooperatif sebagai suatu strategi pembelajaran
diantaranya:14
(a) Melalui model pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkan pada
guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berfikir sendiri,
menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.
(b) Model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkaan kemampuan
mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan
membandingkannya dengan ide-ide orang lain.
(c) Model pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.
(d) Model pembelajaran kooperatif dapat membantu memberdayakan setiap siswa
untuk lebih bertanggungjawab dalam belajar.
(e) Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang cukup
ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial,
termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif
17
dengan yang lain, mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan sikap
positif terhadap sekolah.
(f) Melalui model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan siswa
untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa dapat
berpraktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan
yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.
(g) Model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil).
(h) Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan
memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan
jangka panjang.
2) Kelemahan/Keterbatasan Model Pembelajaran Kooperatif
Di samping keunggulan, model pembelajaran kooperartif juga memiliki
keterbatasan, di antaranya:15
(a) Untuk memahami dan mengerti filosofis model pembelajaran kooperatif memang
butuh waktu. Sangat tidak rasional kalau kita mengharapkan secara otomatis siswa
dapat mengerti dan memahami filsafat cooperative learning. Untuk siswa yang
dianggap memiliki kelebihan, contohnya, mereka akan merasa terhambat oleh siswa
yang dianggap kurang memiliki kemampuan. Akibatnya, keadaan semacam ini
dapat mengganggu iklim kerja sama dalam kelompok.
(b) Ciri utama dari model pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa saling
membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka
dibandingkan dengan pengajaran langsung dari guru, bisa terjadi cara belajar yang
demikian apa yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah dicapai oleh
siswa.
(c) Penilaian yang diberikan dalam model pembelajaran kooperatif didasarkan kepada
hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari bahwa sebenarnya
hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu siswa.
(d) Keberhasilan model pembelajaran kooperatif dalam upaya mengembangkan
kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang, dan hal
ini tidak mungkin dapat tercapai hanya dengan satu kali atau sekali-sekali
penerapan strategi ini.
18
(e) Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang sangat penting
untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan
kepada kemampuan secara individual. Oleh karena itu, idealnya melalui model
pembelajaran kooperatif selain siswa belajar bekerja sama, siswa juga harus belajar
bagaimana membangun kepercayaan diri. Untuk mencapai kedua hal itu, dalam
model pembelajaran kooperatif memang bukan pekerjaan yang mudah.
2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Seperti telah diuraikan di atas bahwa pembelajaran kooperatif memiliki
beberapa model, salah satunya adalah jigsaw. Jigsaw merupakan salah satu variasi dari
model pembelajaran kooperatif yang pertama kali dikembangkan oleh Elliot Aronson
dan teman-teman di Universitas Texas pada tahun 1978.16 Jigsaw kemudian diadaptasi
oleh Slavin dan teman-teman pada tahun 1980 di Universitas John Hopkins. Jigsaw
yang dikembangkan oleh Aronson dikenal dengan jigsaw I, kemudian jigsaw yang
dikembangkan oleh Slavin dikenal dengan nama jigsaw II. Perbedaan antara jigsaw I
dan jigsaw II terletak pada waktu pelaksanaan, dimana waktu pelaksanaan jigsaw I
lebih singkat dibandingkan dengan jigsaw II. Selain itu, dalam pembelajaran jigsaw I
siswa menyelesaikan permasalahan yang berbeda dalam kelompok ahli, sedangkan
dalam jigsaw II siswa menyelesaikan permasalahan yang sama dalam kelompok ahli.
Jigsaw yang dikembangkan oleh Slavin lebih praktis dan mudah diterapkan ketika
proses pembelajaran sedang berlangsung.
a. Pengertian Jigsaw
Pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Arti jigsaw dalam bahasa Inggris
adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah puzzle yaitu sebuah
teka-teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif model jigsaw ini
mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (zigzag), yaitu siswa melakukan suatu
19
kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan
bersama.17
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan dan
diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian
diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins.18
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar
menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap
anggota bertanggung jawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang
ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang
bertanggung jawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang
terdiri atas dua atau tiga orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam:
(a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; (b) merencanakan bagaimana
mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu
siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada
temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa
bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang
ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai
topik secara keseluruhan.19
Model pembelajaran jigsaw ini dikenal juga dengan kooperatif para ahli. Karena
anggota setiap kelompok dihadapkan pada permasalahan yang berbeda. Tetapi
permasalahan yang dihadapi setiap kelompok sama, setiap utusan dalam kelompok
yang berbeda membahas materi yang sama, kita sebut sebagai “tim ahli” yang bertugas membahas permasalahan yang dihadapi, selanjutnya hasil permasalahan itu dibawa ke
kelompok asal dan disampaikan pada anggota kelompoknya.20
Dalam model pembelajaran jigsaw ini akan memungkinkan masing-masing
siswa yang tergabung dalam kelompok ahli, akan menjadi seorang ahli dalam
17 Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Edisi ke-2, h. 217.
18 Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), Cet. Ke-1, h. 94.
20
mengumpulkan informasi, konsep dan kemampuan lainnya yang terkait dengan topik
yang mereka pelajari. Pemikiran dasar dari tipe ini adalah memberikan kesempatan
siswa untuk berbagi dengan yang lain, mengajar serta diajar oleh sesama siswa
merupakan bagian penting dalam proses belajar dan sosialisasi yang
berkesinambungan.
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap
pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan
mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikiaan,
siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif
untuk mempelajari materi yang ditugaskan.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan
kelompok ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa
dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal
merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang
terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari
dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan
dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada kelompok asal. Hubungan antara
kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut:21
Gambar 2.1 Gambar Ilustrasi Kelompok Jigsaw
21Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, op. cit., h. 96
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
21
Untuk pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, disusun langkah-
langkah pokok sebagai berikut:22
1) Tahap pertama, siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil.
Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan
pertimbangan tertentu.
Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya.
Dengan demikian, cara yang efektif unuk menjamin heterogenitas kelompok ini
adalah guru yang membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan
membuat kelompok sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang
saangat disukainya, misalnya teman sesama jenis, sesama etnik, dan sama dalam
kemampuan.
Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan
sering kali siswa tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Oleh karena itu,
memberikan kebebasan siswa untuk membentuk kelompok sendiri bukanlah cara
yang baik, kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat
menghasilkan kelompok-kelompok yang heterogen. Pengelompokan secara acak
juga dapat digunakan, khusus jika pengelompokan itu terjadi pada awal tahun
ajaran baru dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa-siswanya.
Jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing kelompok harus
dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk dapat bekerja sama secara
efektif, karena ukuran suatu kelompok mempengaruhi kemampuan
produktivitasnya. Dalam hal ini, Soejadi mengemukakan, jumlah anggota dalam
satu kelompok apabila makin besar, dapat mengakibatkan makin kurang efektif
kerja sama antara para aggotanya.
Menurut Edward, kelompok yang terdiri dari empat orang terbukti sangat
efektif. Sedangkan Sudjana mengemukakan, beberapa siswa dihimpun dalam satu
kelompok dapat terdiri 4-6 orang siswa. Jumlah yang paling tepat menurut hasil
penelitian Slavin adalah hal itu dikarenakan kelompok yang beranggotakan 4-6
orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibandingkan
dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.
22
2) Tahap kedua, setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi
tertentu. Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dan kelompoknya masing-masing
bertemu dengan anggota-anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang
sama. Selajutnya materi tersebut didiskusikan sehingga perwakilan tersebut dapat
memahami dan menguasai materi tersebut.
3) Tahap ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menguasai materi
yang ditugaskannya, kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok masing-masing atau kelompok asalnya. Selanjutnya masing-masing
anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman
satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan guru.
4) Tahap keempat, siswa diberi tes/kuis. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui
apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi.
Sedangkan peranan guru dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw antara
lain:23
(a) Menyampaikan tujuan pembelajaran dengan jelas.
(b) Menempatkan siswa secara heterogen dalam kelompok-kelompok kecil (3-5 orang
dalam setiap kelompoknya).
(c) Menyampaikan tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, baik tugas individu
maupun tugas kelompok dengan sejelas-jelasnya.
(d) Memantau berlangsungnya kerja kelompok-kelompok kecil yang telah dibentuk
untuk mengetahui bahwasanya kegiatan berlangsung dengan lancar. Dalam hal ini
guru menyediakan kesempatan kepada siswa dengan seluas-luasnya untuk
memperoleh pengalaman belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
(e) Mengevaluasi hasil belajar siswa melalui tes tertulis/tes lisan secara acak. Penilaian
dilakukan terhadap proses dan hasil.
c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki kelebihan dan juga
kekurangan. Berikut ini kelebihn dan kekurangan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
yang dikemukakan oleh Jill Parker:24
1) Merupakan cara yang efisien dalam mempelajari suatu materi.
23Ibid
23
2) Membangun pengetahuan secara mendalam.
3) Memperlihatkan kemampuan siswa dan menghilangkan kesalahpahaman. 4) Membangun pemahaman konseptual.
5) Mengembangkan kerja tim dan kemampuan bekerja sama.
Selain memiliki kelebihan-kelebihan, model pembelajaran tipe Jigsaw juga
memiliki beberapa kekurangan, seperti yang diungkapkan oleh Jill Parker berikut ini:25
1) Membutuhkan waktu yang lebih lama.
2) Siswa harus dilatih dalam menggunakan metode ini.
3) Membutuhkan jumlah grup yang sama.
4) Dalam pengaturan kelas dapat menimbulkan masalah.
Untuk mengambil manfaat dan mengatasi kekurangan-kekurangan dari model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tersebut, maka guru perlu membuat
perencanaan-perencanaan yang sebaik-baiknya, dan juga diperlukan simulasi atau latihan dalam
menerapkan model pembelajaran ini.
3. Hasil Belajar
a. Pengertian Hasil Belajar
Kata “hasil” dalam kamus Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang menjadi akibat dari usaha. Kata hasil sering dikaitkan dengan kata prestasi, hal ini karena arti prestasi
itu adalah hasil yang telah dicapai. Adapun yang dimaksud dengan hasil belajar
sebagaimana dituliskan dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yaitu “penguasaan pengetahuan keterampilan terhadap mata pelajaran yang dibuktikan melalui tes”.26
Menurut Dimyati dan Mudjiono, hasil belajar merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri
dengan evaluasi hasil belajar baik dengan ulangan maupun tes. Dari sisi siswa, hasil
belajar merupakan berakhirnya pembelajaran dalam periode tertentu dan merupakan
puncak dari proses belajar.27
25 http://www.broward.k12.fi.us/ci/strategies_and_such/strategies/jigsaw.html
26 Peter Salim dan Yani Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English, 1991), h. 359
27
24
Proses pembelajaran yang baik akan menghasilkan hasil belajar yang baik pula.
Hasil belajar menurut penulis merupakan tingkat penguasaan siswa terhadap materi
pelajaran sebagai akibat dari perubahan prilaku setelah mengikuti proses pembelajaran
berdasarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Hasil belajar itu akan diukur
dengan sebuah tes.
Hasil belajar harus menunjukkan suatu perubahan tingkah laku atau perolehan
perilaku yang baru dari siswa yang bersifat menetap, fungsional, positif, dan disadari. Nana Sudjana menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.28
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley membagi tiga macam hasil
belajar, yakni (a) Keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c)
sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang
telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil
belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d)
sikap, (e) keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan
pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi
hasil belajar dari Benyamin Bloom secara garis besar membaginya membagi tiga ranah,
yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.29
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu peristiwa
yang bersifat internal pada diri seseorang setelah meklakukan kegiatan belajar. Suatu
peristiwa ini ditandai dengan perubahan perilaku dan pengetahuan seseorang terhadap
apa yang dipelajarinya. Kemudian hasil belajar dapat diperoleh dengan melakukan
proses evaluasi atau penilaian terhadap perubahan perilaku dan pengetahuan tersebut.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Muhibbin Syah terdapat dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar,
yaitu faktor internal (faktor dari dalam) dan faktor eksternal (faktor dari luar).30
1) Faktor Internal
(a) Faktor Fisiologi
28Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h. 22
29
Nana Sudjana, loc. cit.
25
Faktor fisiologi meliputi kondisi fisik dan panca indera. Proses belajar
seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga ia
akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya
lemah ataupun ada gangguan fungsi alat inderanya serta tubuhnya.
(b) Faktor Psikologi
Faktor psikologi meliputi: bakat, minnat, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan
kognitif. 2) Faktor Eksternal
(a) Faktor lingkungan sosial.
Faktor lingkungan sosial meliputi lingkungan sosial sekolah dan limgkungan
sosial siswa. Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi,
dan teman-teman sekelas. Adapun lingkungan sosial siswa diantaranya
masyarakat dan tetangga juga teman sepermainan di sekitar perkampungan
siswa tersebut. Namun lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi
kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang
tua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan letak rumah,
semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar
dan hasil belajar yang dicapai siswa.
(b) Faktor lingkungan non sosial.
Faktor lingkungan non sosial meliputi kurikulum atau bahan pelajaran, sarana
dan pasilitas, metode pembelajaran, administrasi dan manajemen. Faktor-faktor
ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.
Faktor-faktor di atas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempegaruhi
satu sama lain. Seorang siswa yang bersifat conserving terhadap ilmu pengetahuan
atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal) umpamanya, biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seseorang yang
berintelegensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya
(faktor eksternal) mungkin akan memilih pendekatan yang lebih mementingkan
kualitas hasil pembelajaran. Jadi, karena faktor-faktor di ataslah, muncul siswa-siswa
yang berprestasi tinggi dan siswa–siswa yang berprestasi rendah atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan professional diharapkan mampu
26
menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang
menghambat proses belajar mereka.
c. Pengukuran Hasil Belajar
Hasil belajar ini dapat diketahui dari proses penilaian, yaitu kegiatan
membandingkan hasil pengukuran (skor) sifat suatu objek dengan acuan yang relevan
sedemikian rupa sehingga diperoleh suatu kualitas kuantitatif.
Pengukuran hasil belajar dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya
yaitu pengukuran secara tertulis, pengukuran secara lisan dan pengukuran melalui
observasi. Setiap cara/prosedur memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Prosedur mana yang harus dipilih tergantung pada berbagai faktor yaitu: jenis
kemampuan yang diukur, jumlah siswa, dan waktu yang tersedia.
Dalam pembelajaran IPA, prosedur lisan pada umumnya jarang dilakukan,
mengingat jumlah siswa yang banyak sedangkan waktunya terbatas. Adapun prosedur
yang banyak dilakukan ialah prosedur tertulis dan observasi. Prosedur tertulis dipakai
untuk mengukur hasil belajar yang sifatnya kognitif dan afektif. Sedangkan prosedur
observasi digunakan untuk mengukur hasil belajar yang sifatnya psikomotor.
Setiap pengukuran, baik melalui prosedur tertulis maupun prosedur observasi,
memerlukan alat ukur tertentu yang tetap. Alat ukur dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yakni “tes” dan “bukan tes”. Tes adalah kumpulan pertanyaan atau soal yang harus dijawab oleh siswa dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan
serta kemampuan penalarannya.
Alat ukur yang bukan tes mencakup angket, skala sikap, dan sebagainya. Tes
dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yakni tes uraian dan tes obyektif.
Perbedaannya ialah tes uraian meminta jawaban uraian siswa yag disusun siswa dengan memilih salah satu jawaban dari beberapa alternatif jawaban yang telah disediakan atau
membutuhkan satu atau beberapa kata atau symbol untuk melengkapi pernyataan yang
belum sempurna.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Berikut ini merupakan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian
ini. Hasil penelitian pendukung yang dimaksud yaitu hasil penelitian penerapan model
27
1. Fauziyati, dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Perubahan Kenampakan Permukaan Bumi.” Hasil analisis datanya menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar IPA siswa yang diberikan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih
tinggi yaitu sebesar 76,50 dari pada hasil belajar IPA siswa yang tidak diberi
perlakuan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yaitu sebesar 62,33.
Berdasarkan uji hipotesis menggunakan uji-t, diperoleh sebesar 4,78 dan
sebesar 2,81. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh metode
pemb