• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marketing politik calon anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam pemilihan anggota DPR RI periode 2014-2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Marketing politik calon anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam pemilihan anggota DPR RI periode 2014-2019"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk memenuhi

persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Sulastri Damayanti (1110051000192)

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

dalam sidang munaqosyah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Juli 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I)

pada program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 2 Juli 2014

Dewan Sidang Munaqosyah

Ketua merangkap anggota Sekretaris merangkap anggota

Drs. Jumroni, M. Si Fita Fathurrokhmah, M. Si

NIP. 19630515 199203 1006 NIP. 19830610 200912 2 001

Anggota

Penguji I Penguji II

Dr. Armawati Arbi, M. Si Ade Masturi, MA

NIP. 19650207 199103 2 002 NIP. 197506062007101001

Pembimbing

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Assalamu’alaikum wr wb.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah penulis skripsi dengan judul

“Marketing Politik Calon Anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam Pemilihan Anggota DPR RI Periode 2014-2019” dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau

merupakan hasil orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikianlah pernyataan ini dibuat, diharapkan dapat dipergunakan dengan

semestinya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr wb

Jakarta, 2 Juli 2014

Penulis

Sulastri Damayanti

(5)

Ledia Hanifa Amaliah merupakan politisi perempuan yang berasal dari partai islam. Selama karir politiknya ia telah tiga kali mengikuti pemilihan umum. Keberhasilannya pada tiap pemilu tak terlepas dari marketing politik. Selama menjabat ia menggunakan marketing politik untuk mensosialisasikan kinerjanya sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014, sekaligus mensosialiasikan dirinya sebagai caleg incumbent yang maju pada pemilu 2014-2019.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui marketing politik Ledia yang menggunakan pendekatan marketing politik. Dan berusaha menjelaskan faktor pendukung dan penghambat yang didapati Ledia dalam Pemilihan Anggota Legislatif Periode 2014-2019.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Studi kasus bertujuan untuk memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus tersebut. Pengumpulan data melalui teknik observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Responden yang diwawancarai adalah Ledia Hanifa Amaliah, Yudiyana asisten pribadi Ledia di daerah pemilihan dan Zyrlifera Jamil asisten pribadi Ledia bidang media. Dokumen, gambar dan artikel berasal dari tim sukses Ledia juga dimasukan sebagai data.

Marketing politik yang dilakukan Ledia melalui pasar politik, produk politik dan positioning politik (penanaman dan penempatan image). Upaya positioning

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang

Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dengan segala kemudahan

dari-Nya penulis bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Strata satu (S1).

Shalawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada baginda Nabi

Muhammad SAW, para keluarganya, para sahabatnya dan pengikutnya hingga

akhir zaman. Atas do’a dan usaha, dan perjalanan panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas penting yang mempertaruhkan segenap keilmuan

yang penulis pelajari selama menuntut ilmu di Fakultas Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, walaupun jauh dari kesempurnaan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis banyak

mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil, oleh

karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, sebagai Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MAg. Sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan

Ilmu Komunikasi. Yang telah memberikan nasihat serta arahan kepada

penulis.

3. Drs. Rachmat Baihaky, MA. Dan Fita Fathurakhmah, M.Si selaku Ketua

dan Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas

Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

4. Bapak Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah meluangkan waktunya, tenaga dan pikiran untuk memberikan

arahan dan bimbingan kepada penulis. Dan sebagai Dosen Komunikasi

Politik yang merupakan ruang lingkup dari skripsi ini, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah

memberikan begitu banyak wawasan, ilmu dan pengetahuan kepada

(7)

iii

7. Ibu Hj. Ledia Hanifa Amaliah, SSI. MPSI.T., Anggota DPR RI periode

2014-2019 yang juga sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI periode

2009-2014, yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada

penulis untuk melakukan wawancara dan penelitian dalam rangka

mengumpulkan data-data untuk penyusunan skripsi ini.

8. Seluruh staff ibu Ledia Hanifa, Pak Yudiyana, Mba Fera, Mba Dewi dan

DPD PKS Bandung, yang telah banyak membantu penulis dalam

penelitian.

9. Ayahanda Wawan dan Ibunda Entin Suhartini yang telah membesarkan

dengan kasih sayang, mendidik, selalu memberikan do’a dan berjuang

membanting tulang agar penulis bisa menyelesaikan kuliahnya.

Pengorbanan kalian tak akan pernah penulis lupakan. Semoga keberkahan

dan kebaikan senantiasa dilimpahkan kepada kalian serta senantiasa dalam

lindungan Allah SWT.

10.Kakakanda Dwi Suhartono yang telah memperjuangkan penulis untuk bisa

masuk kuliah dan Adinda Novia Anggraeni yang telah mengalah untuk

menunda kuliah supaya penulis bisa menyelesaikan kuliahnya.

11.Keluarga besar Alm. Mumun, sepupu, encang, encing, mamang,

keponakan dan semuanya, terima kasih banyak atas supportnya.

12.Seluruh keluarga besar Leadership Student Center (LSC) yang sudah memberikan penulis banyak pelajaran berharga dan

kemudahan-kemudahan dalam menjalani studi. Spesial kepada Kak Endah Mawarti,

S.TP yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang

Strata satu (S1), yang sudah menjadi teman diskusi sekaligus guru buat

penulis Teh Ainun Nurul Fitriyah, S.TP, yang selalu memberikan support, menemani dan berbagi suka duka Kak Sari Elput, SHI., Kak Sartika Dewi,

A.Md., Kak Diah Cahaya Chanifa, S.Pd dan Kak Fitri Apriyani, S.Si.,

(8)

iv

13.Kakak yang berada di sana, terima kasih banyak atas bimbingannya

selama ini. Meluangkan waktu untuk berdiskusi dan menjawab

pertanyaan-pertanyaan dari penulis, meniupkan semangat di kala penulis

mulai lemah dan menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini

dengan sebaik-baiknya.

14.Rekan-rekan mahasiswa KPI (F) angkatan 2010, yang telah bersama-sama

berbagi ilmu, berdiskusi, bercanda, jalan-jalan dan saling berbagi rasa.

Kalian luar biasa dan teristimewa. Untuk teman-teman KKN TEAM 87

Cariu, yang sudah bersama selama sebulan, berbagi suka duka. Dan

teman-teman lain yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Kebersamaan bersama kalian, tawa canda memecah kejenuhan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis kembalikan semoga semua yang teah

diberikan kepada penulis akan menjadi amal ibadah dan bermanfaat bagi penulis

maupun yang lain.

Jakarta, 2 Juli 2014

(9)

v

KATA PENGANTAR………... ii

DAFTAR ISI……….. v

DAFTAR TABEL……… viii

DAFTAR DIAGRAM………. ix

DAFTAR GAMBAR………. x

DAFTAR LAMPIRAN……….. xi

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang……….. 1

B. Pembatasan Masalah……….. 14

C. Perumusan Masalah………... 14

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……… 14

E. Metedologi Penelitian………..… 15

F. Kerangka Penelitian... 21

G. Tinjauan Pustaka………..… 22

H. Sistematika Penulisan……… 23

(10)

vi

1. Pengertian Komunikasi Politik……… 25

2. Komponen Komunikasi Politik……….… 30

3. Saluran Komunikasi Politik………... 36

B. Marketing Politik……….… 38

1. Pengertian Marketing Politik……….… 38

2. Konsep Marketing Politik………... 46

a. Pasar Politik……… 47

b. Produk Politik………. 48

c. Positioning Politik……….. 49

C. Konseptualisasi Anggota Legislatif…... 52

BAB III Profil Ledia Hanifa Amaliah A. Pendidikan……….. 62

B. Karir Politik………. 63

BAB IV Temuan dan Analisis Data A. Marketing Politik Ledia Hanifa Amaliah pada Pemilihan Anggota DPR RI………... 67

1. Pasar Politik………... 68

2. Produk Politik……... 70

3. Positioning Politik……… 72

a. Saluran Tatap Muka……… 76

b. Saluran Media………. 89

(11)

vii

B. Saran-saran………. 104

DAFTAR PUSTAKA

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Table 1 Daftar terpilih anggota dewan perwakilan rakyat pemilihan umum tahun

2009 daerah pemilihan JABAR 1... 9

Tabel 2 Kegiatan tatap muka dan sosialisasi Ledia 14 Maret 2014 – 1 April 2014... 80

Tabel 3 Peringkat Kegiatan Tatap Muka Ledia Hanifa 9 Februari – 6 April

2014……… 84

Tabel 4 Penampilan Ledia di radio lokal dan nasional masa pra kampanye Mei

2011 – Januari 2013... 93

Tabel 5 Artikel Ledia di harian nasional masa pra kampanye Juni 2011 – Juni 2013... 93

Tabel 6 Artikel Ledia di majalah masa pra kampanye November 2011 – Desember 2013... 94

Tabel 7 Penggunaan media massa pada kampanye terbuka 20 Maret 2014 – April 2014... 95

Tabel 8 Pemetaan media berdasarkan jenis media... 99

(13)

ix

Lima Pasar dalam Kampanye Politik………. 47

(14)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pertunjukan Wayang Dakwah……… 85

Gambar 1.2 Ledia bersama KRu dan Dalang Wayang Dakwah………… 85

Gambar 2.1 Sosialisasi Komisi VIII melalui account twitter @lediahanifa 97

Gambar 2.2 Kampanye Politik Ledia Hanifa melalui account twitter

(15)

xi 2. Profil Ledia Hanifa Amaliah

3. Surat keterangan penelitian

4. Draft wawancara dengan Ledia Hanifa Amaliah

5. Draft wawancara dengan Zyrlifera Jamil

6. Draft wawancara dengan Yudiyana

7. Data KPU 2009

8. Data KPU 2014

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjelang pesta demokrasi besar bangsa Indonesia pada tahun 2014, sedari

dini, kesibukan mulai diperlihatkan parpol-parpol peserta pemilu maupun

calon-calon yang terlibat dalam pemilihan anggota legislatif. Mereka berlomba-lomba

menampilkan yang terbaik dengan bermacam-macam cara untuk memperoleh

dukungan dari masyarakat dan mendapat kedudukan serta kekuasaan dalam

pemerintahan. Dan disinilah komunikasi politik memainkan peranannya.

Pemilihan umum sebagai agenda lima tahunan adalah momen penting untuk

menentukan pilihan rakyat yang akan menjadi perwakilannya di pemerintahan

yang bertugas membangun bangsa. Dalam undang-undang telah dijelaskan

mengenai fungsi pemilihan umum yaitu sebagai sarana untuk memilih Anggota

DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu, sesuai ketentuan

hukum, harus dilaksanakan menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon

terbuka.1

Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang

sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang

diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan

kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi

serta aspirasi masyarakat. Masyarakat bebas menentukan pilihannya sendiri yang

1

(17)

menurutnya pantas dan layak untuk dijadikan pemimpin serta dapat mewakili

aspirasinya. 2

Momentum lima tahunan ini hadir sebagai agenda rutin bangsa Indonesia.

Agenda terdekat adalah pemilihan anggota legislatif yang jatuh pada 9 April 2014.

Parpol-parpol peserta pemilu telah mengirimkan wakil-wakil mereka dalam

pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019. Banyaknya calon yang ikut

dalam pemilihan anggota legislatif semakin menambah ramai pemilihan anggota

legislatif ini. Masyarakat disodorkan berbagai pilihan calon yang akan mereka

percayakan untuk mengemban amanah rakyat dengan berbagai latar belakang.

Dahulu, persaingan perebutan kekuasaan politik di Indonesia umumnya di

dominasi oleh kaum laki-laki. Pada kenyataannya kaum laki-lakilah yang

menguasai perpolitikan di Indonesia. Merekalah yang menduduki kekuasaan

tinggi dan penting dalam percaturan politik di Indonesia. Hal ini bukan tanpa

alasan karena partisipasi politik perempuan di Indonesia saat itu masih sangat

rendah dan partisipasi perempuan di Indonesia ibarat barang langka.

Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu

didengungkan selama berabad-abad. Terminologi publik dan privat yang erat

kaitannya dengan konsep jender, peran jender, dan streotipe, telah menciptakan

ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Efek tidak

langsung dari ide ini adalah membatasi partisipasi politik perempuan.3

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka utama: 2010), edisi revisi, cet ke 4, h. 461.

3

(18)

3

Seolah telah mengakar pada kebudayaan manusia, mindset dan juga kerangka pemikiran tentang konsep wanita yang identik dengan hal-hal yang beraroma

rumahan, sebagai juru masak, pengasuh anak, atau peran pasif lainnya, lebih

ekstrem lagi wanita memandang dirinya sebagai asumsi objek seksualitas, tidak

memiliki ruang untuk mengambil keputusan dan tersekat oleh Patriarchy. Hal ini semakin menegaskan ketidaktepatan perempuan jika bergabung dengan politik.4

Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan

pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan

perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan

gambaran yang tidak menggembirakan.5

Selama ini, perempuan dalam bingkai politik belum sampai pada tingkat

maksimal. Dalam sejarah pemilihan umum (Pemilu), misalnya, anggapan

masyarakat Indonesia terhadap pilihan perempuan politik masih sebagai pilihan

kedua untuk menduduki posisi dalam politik (jabatan politik). Masyarakat masih

mempercayakan pilihan mereka pada kaum laki-laki. Pembuktian asas asumsi ini

dapat dilihat dari data yang ada dalam sejarah perpolitikan Indonesia sejak

dilakukannya pemilu untuk pertama kalinya pada tahun 1955. Belum lagi asumsi

dari wilayah agama, perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk

berpolitik bahkan secara ekstrem ada beberapa keyakinan kelompok agama

tertentu untuk mengharamkan perempuan berpolitik, semisal menjadi pemimpin.6

4

Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik-Menemukan Relasi Antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2012), ed 1, cet 1, h. 95.

5

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana-Esai Pilihan 1999-2004, (Jakarta, Kompas: 2005), h. 25-26.

6

(19)

Gambaran umum dari partisipasi perempuan dan politik di Indonesia

memperlihatkan representasi yang rendah dalam semua tingkatan pengambilan

keputusan, baik ditingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun birokrasi

pemerintahan, partai politik dan kehidupan publik lainnya.

Selain rendahnya representasi atau keterwakilan perempuan dalam kehidupan

politik dalam arti jumlah atau kuantitas, maka ada gambaran lain yang

melengkapinya yakni persoalan kualitas. Partisipasi politik perempuan, jika

memang itu ada, hanya terkesan memainkan peran sekunder. Mereka hanya

dilihat sebagai pemanis atau penggembira sebagai cermin rendahnya pengetahuan

mereka di bidang politik. Kita bisa mengamati bahwa betapa sedikitnya politisi

atau tokoh perempuan yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai

berbagai persoalan publik yang dihadapi masyarakat Indonesia. Persoalan

sensitivitas atau kepedulian terhadap isu-isu perempuan seperti soal kekerasan

negara terhadap perempuan, kesehatan reproduksi, pelecehan seksual, gizi anak

dan lainnya yang sejenis, serta pernikahan dan kepedulian pada persoalan tersebut

rasa-rasanya memang bukan menjadi agenda utama bagi mereka para penentu

kebijakan.7

Alasan lain untuk menjelaskan rendahnya representasi perempuan sebagai

calon legislatif adalah apa yang sering dikemukakan sebagai “definisi tentang politik”. Yang sering dianggap tabu, kotor, penuh bahaya dan tidak cocok bagi

perempuan. Wilayah ini dirasa kurang tepat bagi perempuan yang selama ini

dianggap sebagai kaum yang lemah. Selain itu ada juga pelabelan bahwa

7

(20)

5

perempuan pada umumnya buta politik, tidak tertarik dengan kehidupan, dan ini

semua hanya semakin mematahkan semangat mereka untuk berpartisipasi dalam

ranah politik.8

Kondisi demikian tidak lagi terjadi pada masa kini, perempuan sekarang telah

memperkuat posisinya sebagai penyeimbang kaum laki-laki. Kaum perempuan

mulai menunjukan perannya dalam politik dengan bergelut secara praktik, politik

dan juga pewaris emansipasi tentu memaknai emansipasi sebagai hak dan juga

kewajiban atas dasar perilaku wanita, bukan berdasar pada asumsi emansipasi

liberal. Lebih dari itu, di beberapa negara, wanita menjadi sosok penting bagi

politik. Termasuk di Indonesia yang sempat dipimpin oleh seorang wanita, yaitu

Megawati Soekarno Putri sang putri Presiden Ir. Soekarno.9

Peningkatan partisipasi politik perempuan pada pemilu kali ini, terlihat dari

banyaknya perempuan yang terdaftar sebagai calon anggota legislatif tingkat DPR

RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Hal ini, ditanggapi baik oleh

Ledia Hanifa Amaliah, yang turut berpartisipasi sebagai calon anggota DPR RI

dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Barat (Jabar) I yang meliputi Kota Bandung

dan Cimahi. Beliau akan bersaing dengan 83 calon lainnya yang 35 diantaranya

merupakan calon legislatif perempuan.

Sebenarnya, kedudukan perempuan di Indonesia secara formal cukup kuat

karena didukung oleh undang-undang serta peraturan lain yang memberi

8Susan Blackburn, “

The 1999 election in Indonesia; Where were the woman?” kertas kerja yang dipresentasikan dalam lokakarya The Indonesian Election : An Analysis, Monash University, 25 Juni, 1999 dalam Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana-Esai Pilihan 1999-2004, (Jakarta, Kompas: 2005), h. 34.

9

(21)

perlindungan yuridis padanya. Selain itu, Indonesia pun telah meratifikasi dua

perjanjian, yaitu Perjanjian mengenai Hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women) dan Perjanjian mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Political Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau CEDAW). Kemudian pada 1993, Indonesia telah menerima Deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan perempuan.

Akhirnya, dalam Undang-Undang Pemilihan Umum 2004 dibuka kesempatan

agar perempuan dipertimbangkan menduduki 30% kursi wakil rakyat.

Akhirnya sukses terbesar diperoleh ketika Undang-Undang No. 12 tahun 2003

tentang pemilu memberi peluang baru dengan menetapkan dalam Pasal 65 (1):

“Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”10

Sekalipun dianggap kurang memenuhi aspirasi sebagian besar kaum perempuan,

tetapi undang-undang itu memberian kesempatan bagi perempuan untuk berperan

aktif dalam politik dan menjadi cambuk bagi perempuan untuk mempersiapkan

diri bertarung dalam pemilu-pemilu yang akan datang.11

Dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia baik secara

kuantitas maupun kualitas, pemerintah dalam hal ini tidak bisa bergerak sendiri.

Perlu adanya dukungan dari luar untuk bisa mewujudkannya. Dalam hal ini, partai

politik memiliki peranan penting untuk membantu pemerintah dalam

10

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka utama: 2010), edisi revisi, cet ke 4, h. 257-259.

11

(22)

7

meningkatakan partisipasi politik perempuan di Indonesia baik secara kualitas

maupun kuantitas.

Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi dan institusi strategis yang bisa

dijadikan alat untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Bentuk

dukungan partai politik bisa diwujudkan melalui proses internal masing-masing

parpol. Proses internal yang dilakukan parpol hendaknya tidak hanya

mengedepankan permasalahan kuantitas tetapi juga memerhatikan permasalahan

kualitas karena persoalan kualitas bisa menjadi bekal bagi para politisi khususnya

politisi perempuan.12

Ledia merupakan salah satu politisi yang lahir dari proses pengkaderan

panjang di partainya. Keterlibatannya dalam dunia politik dimulai sejak reformasi

1998 bergulir. Seiring berdirinya Partai Keadilan (PK) yang akhirnya berganti

nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di partainya, ia kerab menduduki

posisi-posisi strategis terutama dibidang kewanitaan seperti Staf Deputi

Kewanitaan DPW PK Jakarta (1998-1999), Pjs Ketua Deputi Kewanitaan DPW

PK DKI Jakarta (1999-2000), Ketua Deputi Pemberdayaan Wanita DPW PKS

Jawa Barat (2000-2005), Ketua DPP PKS Bidang Kewanitaan (2005-2010).13 Proses pengkaderan di partainya membuat Ledia masuk sebagai golongan

politisi ideolog yang kehadirannya bukan sebagai pendulang suara semata. Politisi

ideolog adalah komunikator politik yang menjadi kader ideologi dan representasi

nilai-nilai normatif yang diusung oleh individu atau kelompok politik. Biasanya

12

Lena Maryana Mukti, Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan, artikel diakses pada 25 September 2013 dari http://www.komnasperempuan.or.id

13

(23)

berdasarkan sebuah proses kaderisasi yang panjang. Politikus tipe ini adalah orang

yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli

apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan

apakah jabatan itu eksekutif, legislatif atau yudikatif. Yang jelas bagi politisi jenis

ini, berpolitik sesuai dengan nafas ideologi yang dia yakini jauh lebih penting dari

pada kepentingan pragmatisnya.14

Jika melihat rekam jejak Ledia, perempuan berkacamata ini tergolong aktif.

Saat ini ia juga tercatat sebagai anggota Forum Parlemen Indonesia untuk

Kependudukan dan Pembangunan (2009-2014). Ia menjabat Ketua Departemen

Kebijakan Kesehatan, Kependudukan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang

Kebijakan Publik DPP Partai Keadilan Sejahtera (2010-2015).15

Majunya Ledia dalam pemilu legislatif periode 2014-2019 ini merupakan kali

kedua baginya. Periode lalu 2009-2014, ia berhasil menjabat Wakil Ketua Komisi

VIII DPR RI yang membidangi Agama, Sosial dan Pemberdayaan Perempuan.

Pada pemilihan anggota DPR RI tahun 2009 Dapil Jabar I, fraksi PKS

mendapatkan dua kursi. Suharna Surapranata yang mendapat nomor urut satu,

unggul dengan perolehan 36.515 suara sah. Sedangkan, Ledia Hanifa Amaliah

yang mendapat nomor urut dua berhasil mengantongi 28.228 suara sah sekaligus

menempati posisi kedua perolehan suara dari PKS.16

14

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, (Bogor, Ghalia Indonesia: 2013), cet 1.

15

Bobby Reza Satrian, Profil Ledia Hanifa Amaliah, artikel diakses pada 19 Januari 2014 dari http://m.merdeka.com/profil/indonesia/I/ledia-hanifa-amaliah/

16

(24)

9

Peringkat perolehan suara di Dapil Jabar I yang memperebutkan tujuh kursi,

Ledia berada di peringkat kelima. Ledia menjadi satu-satunya perwakilan

perempuan dari partai islam untuk Dapil Jabar I.

TABEL 1

DAFTAR TERPILIH

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009

DAERAH PEMILIHAN : JAWA BARAT I

No Partai

kehadiran Ledia sebagai politisi perempuan dari partai islam telah mendapat

penerimaan dari masyarakat. Kepercayaan ini yang menghantarkan Ledia sebagai

(25)

Perjalanan karir politik Ledia sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014

diwarnai dengan perombakan komposisi yang dilakukan oleh Fraksi PKS. Selama

menjadi anggota DPR RI, Ledia pernah duduk di Komisi IX dan Komisi X. Kali

ini ia duduk di Komisi VIII sebagai Wakil Ketua Komisi VIII menggantikan

Jazuli Juwaini yang dipindah ke Komisi II menggantikan Rahman Amin.17

Karir Ledia di Komisi VIII diwarnai dengan kritik-kritik yang diajukan

kesejumlah pelayanan dan kebijakan seperti belum maksimalnya layanan sistem

komputerisasi haji terpadu (siskohat),18 temuan Komisi VIII mengenai pembagian BLSM di Yogya tidak tepat sasaran,19 Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang perlu disisir ulang agar menemukan fokusnya sehingga tidak

tumpang tindih dengan UU yang telah berlaku20, dan permasalahan lainnya. Selain kritik-kritik yang diajukan, Ledia turut memperjuangkan pengesahan

RUU yang memihak pada rakyat seperti RUU JPH (Jaminan Produk Halal).

Meskipun lobi untuk RUU JPH batal dikarenakan banyak anggota dan Kapoksi

yang tidak hadir, ini tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berupaya agar RUU

JPH segera disahkan.21

Apa yang telah dilakukan Ledia selama menjabat Wakil Ketua Komisi VIII

DPR RI sedikit banyak memengaruhi upayanya dalam Pemilu kali ini. Sebagai

Calon Anggota DPR RI dari petahana, pengalaman dan medan politik yang lebih

17

Iman Firdaus, Ini Arahan Fraksi PKS Buat Ledia Hanifa, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2014 dari www.jurnalparlemen.com

18

Iman Firdaus, Temuan Komisi VIII Pembagian BLSM di Yogya Tidak Tepat Sasaran, artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2014 dari www.jurnalparlemen.com

19

Iman Firdaus, Ini Arahan Fraksi PKS Buat Ledia Hanifa, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2014 dari www.jurnalparlemen.com

20

Iman Firdaus, Agar Fokus RUU KKG Perlu Disisir Ulang, artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2014 dari www.jurnalparlemen.com

21

(26)

11

dulu ia ketahui menjadi modal besar baginya. Selain itu, pengalaman berpolitik

yang cukup lama dengan menduduki jabatan-jabatan strategis di partainya

membuat Ledia mantap melaju sebagai anggota DPR RI periode mendatang.

Pada pemilu legislatif 2014 ini, Ledia akan bertarung dengan lima calon rekan

separtainya untuk merebutkan kursi DPR RI di Dapil Jabar 1. Daftar calon tetap

anggota DPR RI Dapil Jabar 1 dari PKS adalah: (1) Asep Saefulloh Danu, (2)

Ahmad Kuncaraningrat, (3) Ledia Hanifa Amaliah, (4) Arif Minardi, (5)

Achmad Zulkarnain, dan (6) Zirly Nova Jamil.22

Selain menghadapi rekan separtainya, Ledia harus bersaing pula dengan caleg

incumbent di dapil Jabar 1. Para pesaingnya diincumbent diantaranya Popong Otje Djundjunan yang merupakan politisi senior dari partai Golkar, Agung Budi

Santoso politisi partai Demokrat yang pada pemilu 2009 memperoleh suara

terbanyak di Dapil Jabar 1 dan Daday Hudaya politisi senior partai Demokrat

yang pada pemilu 2009 memperoleh suara terbanyak kedua di Dapil Jabar 1.

Pertarungan Ledia di dapil Jabar I bukanlah perkara ringan. Seperti yang

disebutkan beberapa media online dalam pemberitaannya kerap kali menyebutkan dapil Jabar I sebagai dapil “neraka”. Ini merupakan gambaran pertarungan di dapil Jabar 1 sangat sengit. Di dapil Jabar 1 terdapat politisi senior, atlet dan artis

terkenal yang turut berlaga dalam pileg 2014.23

22

DCS DPR 2014-3201. JABAR I. pdf. Artikel diakses pada tanggal 31 Desember 2013 dari www.kpu.go.id

23

Artis, Atlet dan Politisi Senior ‘Perang’ di Dapil Jabar 1 artikel diakses pada Jum’at,

(27)

Ketatnya peta persaingan di Jabar 1 membuat Ledia dan tim suksesnya harus

bekerja ekstra keras. Selain persoalan-persoalan di atas, Ledia pun harus

berhadapan dengan persoalan nomor urut. Ini menjadi penting dicermati oleh

seoarang kandidat yang bersaing karena tak jarang nomor urut menjadi kunci

kesuksesan seorang kandidat untuk mendapatkan suara dari para pemilihnya.

Jika pada pemilu tahun 2009 lalu, Ledia mendapat nomor urut dua dan

menempati urutan kedua dalam perolehan suara sah di partainya. Kini pada

pemilu 2014, ada pergeseran nomor urut sehingga ia mendapat nomor urut tiga.

Pergeseran nomor urut ini merupakan ketetapan partai tempat Ledia berafiliasi.

Mencermati kondisi yang demikian, strategi seperti apakah yang sekiranya

bisa membantu Ledia Hanifa Amaliah, untuk dapat memenangi pemilu 2014 ini.

Mengingat peta persaingan yang semakin ketat, bukan hanya dari rekan-rekan

separtainya saja melainkan calon-calon dari partai lain yang turut bertanding

dalam pemilu 2014.

Persaingan yang semakin ketat menuntut para kandidat berupaya lebih kuat

menarik simpati calon pemilih. Para kandidat harus bisa memperkenalkan diri

mereka ke publik dan meyakinkan calon pemilih bahwa mereka layak

mengemban amanah yang dititipkan masyarakat. Upaya ini bisa terwujud jika

diimbangi dengan pemasaran atau marketing kandidat.

Selama ini kita mengetahui bahwa marketing merupakan bagian dari ekonomi.

Namun seiring kebutuhan politik dan keadaan persaingan yang semakin ketat

(28)

13

dimaksud di sini bukanlah marketing atau pemasaran ekonomi melainkan

marketing atau pemasaran politik.

Pada awalnya pemasaran atau marketing bukanlah bagian dari politik. Karena

keduanya merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Mencermati kebutuhan

politik dan keadaan persaingan yang semakin ketat, maka marketing dan politik

bersatu menjadi pedoman baru dalam persaingan politik. Dan kini para kandidat

mulai ramai menggunakan marketing politik dalam persaingan politik mereka.

Saat ini masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihannya. Rakyat

sudah dapat membedakan mana yang gemar memberi janji dan mana yang bekerja

nyata. Rakyat sudah tidak ingin lagi digempur dengan janji-janji para wakil

rakyat. Ini menjadi tugas penting bagi para kandidat beserta tim suksesnya dalam

meramu strategi komunikasi politik yang baik untuk dapat memenangkan hati

rakyat sehingga mau memberikan suaranya pada calon tersebut.

Menyikapi persaingan sengit di dapil Jabar 1 dan kondisi masyarakat yang

semakin cerdas politik membuat Ledia beserta tim suksesnya mengatur strategi

untuk dapat memenangkan persaingani ini. Dan marketing politik menjadi pilihan

Ledia dan tim suksesnya sejak lima tahun lalu ketika menjabat sebagai anggota

DPR RI periode 2009-2014 lalu.

Marketing politik seorang politisi dalam persaingan politiknya begitu menarik

untuk dicermati, terlebih Ledia adalah politisi perempuan dari partai islam. Oleh

sebab itu penulis tertarik meneliti marketing politik Ledia yang kemudian

dituangkan dalam judul: “Marketing Politik Calon Anggota DPR RI Ledia

(29)

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada :

Kegiatan marketing politik yang dilakukan Ledia Hanifa Amaliah dalam

pemilihan anggota DPR RI periode 2014-2019.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas dapat ditarik rumusan

permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana marketing politik yang dijalankan Ledia Hanifa Amaliah

dalam menghadapi Pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019?

b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat marketing politik Ledia

Hanifa Amaliah dalam menghadapi Pemilihan anggota legislatif periode

2014-2019?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang ada sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan

tulisan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui marketing politik yang dibangun Ledia Hanifa

Amaliah, bersama tim suksesnya dalam pemilihan anggota DPR RI

periode 2014-2019.

b. Untuk mengetahui faktor pendukung dan hambatan atau tantangan

yang dialami Ledia Hanifa Amaliah, beserta tim suksesnya dalam

(30)

15

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Manfaat Akademis

Menerapkan ilmu komunikasi secara teoritis dalam hasil penelitian

dan menunjang serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang

diterapkan di bidang komunikasi politik.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para

teoritis, praktisi dan pemikir dalam bidang komunikasi politik, para

calon anggota legislatif serta partai politik. Selain itu, penelitian ini

diharapkan dapat membuka wawasan baru mengenai partisipasi politik

perempuan, sehingga tidak ada lagi kekeliruan dalam menyikapi

partisipasi politik perempuan baik dalam konteks agama maupun

bernegara.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah desain kualitatif

dimana desain ini dinilai tepat untuk melihat proses dan keutuhan

fenomena yang terjadi. Pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan

pandangan-pandangan dasar interpretatif dan fenomenologis yang antara

lain: (1) realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan,

bukan sesuatu yang lepas di luar individu-individu; (2) manusia tidak

(31)

melainkan menciptakan rangkaian makna menjalani hidupnya; (3) ilmu

didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan

tidak bebas nilai, serta (4) penelitian bertujuan untuk memahami

kehidupan sosial.24

Selain itu, penelitian ini menggunakan tipe penilitian Studi kasus.

Studi kasus adalah penelitian yang dilakukan terbatas pada masalah

khusus (kasus tertentu). Studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh

pemahan utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan

dimensi dari kasus khusus tersebut.25

Studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe: 26

 Studi kasus intrinsik: penelitian dilakukan karena ketertarikan atau

kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk

memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk

menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa upaya

menggeneralisasi.

 Studi kasus instrumental: penelitian pada suatu kasus unik tertentu,

dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk

mengembangkan, memperhalus teori.

24

S. Sarantoks, Social Research. (Melbourne, MacMillan Education Australia Pty Ltd: 1993) dalam E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, (Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h.25-26.

25

S. Sarantoks, Social Research. (Melbourne, MacMillan Education Australia Pty Ltd: 1993) dalam E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, h. 108.

26

(32)

17

 Studi kasus kolektif: suatu studi kasus instrumental yang diperluas

sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk

mempelajari fenomena/populasi/kondisi umum dengan lebih

mendalam. Karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di

dalam tiap kasus maupun antar kasus, studi kasus ini sering juga

disebut studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif.

Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan studi kasus instrinsik

karena dalam marketing politik Ledia terdapat beberapa keunikan.

Pertama, Ledia telah mengikuti tiga kali pemilihan umum. Pada tahun 2004 Ledia menjadi calon anggota DPRD Provinsi pada daerah pemilihan

Jabar VI (Depok-Bekasi). Saat itu, pemilu di Indonesia masih

menggunakan sistem proporsional tertutup (berdasarkan nomor urut)

sehingga Ledia yang saat itu tak mendapat nomor urut satu harus kandas

meski perolehan suaranya besar. Tahun 2009 ia terpilih sebagai anggota

DPR RI dari Dapil Jabar I (Bandung-Cimahi). Dan tahun 2014 kembali

mencalonkan dari Dapil yang sama.

Kedua, Ledia merupakan salah satu politisi yang ditunjuk partainya (PKS) untuk menjadi wakil rakyat di Dapil Jabar I. Hal yang perlu kita

ketahui, bahwasannya, Ledia bukan berasal dari Dapil Jabar I. Ia lahir dan

tinggal di Jakarta. Namun, pada pemilu 2009 lalu ia berhasil mendulang

kesuksesan sebagai wakil rakyat dari Jabar I. Ia berhasil meyakini para

pemilih di Jabar I untuk memberikan dukungan dan suara mereka kepada

(33)

Ketiga, dalam hal distribusi dan alokasi kader partai terjadi melalui tahapan yang panjang dalam proses kaderisasi. Setiap wakil rakyat yang

maju sebagai calon wakil rakyat bukan atas dasar keinginan pribadi,

melainkan perintah dan penunjukan langsung dari Partai. Penunjukan yang

dilakukan partai terhadap Ledia, melalui proses pertimbangan dan

musyawarah majelis syuro PKS. Sehingga wakil yang ditunjuk

benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam politik, bukan sekedar

pendongkrak suara.

2. Tahapan Penelitian

Berdasarkan manfaat empiris, bahwa metode pengumpulan data

kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan

data dan teknik analisis data adalah metode wawancara mendalam,

observasi, dan dokumenter. Dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Pengumpulan data

1) Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan

untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap

muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam

kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan

(34)

19

informan.27 Dalam hal ini, peneliti mewawancarai Ledia Hanifa Amaliah dan Tim Suksesnya.

2) Observasi, istilah observasi diarahkan pada kegiatan

memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul,

dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena

tersebut.28 Pada observasi ini, peneliti mengamati marketing politik yang dilakukan Ledia Hanifa Amaliah, berserta Tim Suksesnya

serta mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Ledia

Hanifa Amaliah, beserta Tim Suksesnya.

3) Dokumenter adalah suatu metode pengumpulan data yang

digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode

dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data

historis.29 Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang dapat mendukung penelitian yang sedang

dilakukan.

b. Pengelolaan Data

Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan, peneliti

mendapatkan sejumlah data. Data yang diperoleh dalam penelitian

kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi,

deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto)

27

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, (Jakarta, Kencana: 2010), ed 1, cet 4, h. 208.

28

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, (Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h. 116.

29

(35)

ataupun bentuk-bentuk non angka lain.30 Data-data tersebut kemudian diolah dan dihubungan dengan berbagai data yang ada sehingga

menjadi sebuah kesimpulan yang bermakna. Kesimpulan tersebut

diangkat dari fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian.

Teknik penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku

bimbingan skripsi UIN Jakarta “PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI”, (FITK UIN: Jakarta, 2011) serta terikat dengan peraturan pemakaian

bahasa dengan ejaan (EYD). Dengan pengecualian bahasa asing.

c. Analisa data

Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan, peneliti

mendapatkan sejumlah data. Data yang diperoleh dalam penelitian

kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi,

deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto)

ataupun bentuk-bentuk non angka lain.31 Data-data tersebut kemudian diolah dan dihubungan dengan berbagai data yang ada sehingga

menjadi sebuah kesimpulan yang bermakna. Kesimpulan tersebut

diangkat dari fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Ledia dan tim suksesnya yang

berkaitan dengan pembatasan dan perumusan masalah. Adapun objek

30

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, (Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h. 143.

31

(36)

21

penelitiannya adalah marketing politik yang digunakan Ledia dan tim

suksesnya.

F. Kerangka Penelitian

Kerangka dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Sumber: Bruce I Newman, Handbook of Political Marketing(1999) dan Zulkariem Nasution,

Komunikasi Politik Suatu Pengantar (1990)

Komunikasi politik menjadi bahasan utama dalam penelitian ini karena

penelitian ini mengangkat tentang bagaimana seorang kandidat mempersiapkan

diri dalam pemillihan legislatif.

Marketing politik merupakan bagian dari komunikasi politik, sama halnya

seperti retorika politik maupun public relations politik. Marketing politik ini digunakan Ledia untuk mensosialisasikan dirinya dalam pemilihan anggota

DPR RI periode 2014-2019.

Komunikasi

Politik

Marketing

Politik

Pasar

Politik

Saluran

Media

Produk

Politik

Positioning

Politik

Saluran

(37)

Pasar politik, produk politik dan positioning politik merupakan bagian tak terpisahkan dalam marketing politik. Pada bagian-bagian inilah Ledia dan tim

suksesnya menganalisa dan meramu strategi marketing politik mereka.

Saluran komunikasi politik terdiri dari lima saluran yakni tatap muka, sosial

tradisional, masukan (input), output, dan media massa. Ledia dan tim suksesnya menggunakan dua saluran yakni media dan tatap muka. Kedua saluran ini

digunakan dalam rangka positioning Ledia sebagai calon anggota DPR RI.

G. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang strategi

komunikasi politik, diantaranya:

Misliyah menemukan tim sukses Mochtar Muhammad-Rahmat Effendi dalam

kampanye Pilkada Walikota Bekasi menggunakan marketing politik melalui

saluran media. Media yang digunakan meliputi media cetak dan media elektronik.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis terletak pada proses marketing

politik yang dilakukan melalui saluran media. Dan perbedaannya adalah

penelitian ini memfokuskan pada agenda setting media dari marketing politik

sedangkan penelitian yang dilakukan penulis memfokuskan pada saluran yang

digunakan dalam marketing politik.32

Muhammad Rhagyl Indratomo menemukan Persamaan penelitian ini dengan

penelitian penulis terdapat pada iklan PKS di media massa yang mana PKS

menggunakan saluran media dalam proses marketing politik mereka. Adapun

perbedaan penelitian ini adalah mereka hanya mefokuskan pada iklan partai

32

(38)

23

politik dalam marketing politik mereka sedangkan penelitian yang dilakukan

penulis memfokuskan pada saluran yang digunakan dalam marketing politik.33 Shulhan Rumaru menemukan strategi marketing politik Lembaga Konsultan

Komunikasi Fastcomm di tengah persaingan lembaga-lembaga konsultan politik lainnya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penggunaan

proses marketing politik partai islam dan saluran komunikasi politik yang

digunakan dalam proses marketing politik. Dan perbedaan penelitian ini adalah

peneliti memfokuskan pada Lembaga Konsultan Komunikasi Fastcomm yang menangani marketing politik partai islam sedangkan penulis memfokuskan pada

kandidat yang tidak menggunakan jasa konsultan politik.34 H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini bersifat teratur dan sistematis, maka dari itu untuk dapat

memudahkan dalam memahami isi skripsi ini, peneliti membagi skripsi ini

menjadi lima bab, yang pada tiap-tiap bab terbagi dari sub-sub bab. Isi

masing-masing bab secara singkat adalah sebagai berikut:

BAB 1 latar belakang, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian, metodologi penelitian, pedoman penelitian

serta sistematika penulisan.

BAB 2 Bab ini membahas tentang teori-teori yang digunakan sebagai

landasan permasalahan penelitian dalam membahas skripsi ini.

33

Muhammad Rhagyl Indratomo , Analisis Pemanfaatan Iklan Politik di Media Massa: Studi Terhadap Iklan Politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu Legislatif 2009, (Jakarta, FIDKOM UIN: 2010)

34

(39)

BAB 3 Bab ini berisi uraian profil Ledia Hanifa Amaliah, dalam pemilihan

anggota legislatif periode 2014-2019.

BAB 4 Bab ini membahas tentang isi penelitian secara umum di mana

data-data yang telah dikumpulkan dipaparkan oleh peneliti dan

menganalisis data yang sudah diperoleh.

BAB 5 Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi yang dibuat oleh

peneliti yang membahas tentang hasil keseluruhan penelitian yang

menguraikan tentang kesimpulan dari semua uraian yang ada pada

bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini, peneliti juga akan

memberikan kesimpulan dan saran sebagai hasil dari penelitian

(40)

BAB II

LANDASAN PEMIKIRAN

A. Konseptualisasi Komunikasi Politik

1. Pengertian Komunikasi Politik

Komunikasi politik sebagai salah satu bidang kajian komunikasi, selalu

menjadi fenomena yang senantiasa aktual untuk didiskusikan, terlebih

ditahun-tahun politik seperti sekarang ini. Dewasa ini, politik menjadi hal yang ramai

dibicarakan. Tak hanya oleh para politisi, akademisi maupun pengamat saja. Kini

politik telah merambah ke masyarakat umum yang awam politik. Itulah sebabnya

mengapa komunikasi politik begitu penting untuk dikaji.

Komunikasi politik telah dikenal sejak Cicero dan Aristoteles. Kemudian

berkembang sekitar Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sebagai suatu bidang

kajian ilmiah, komunikasi politik melintasi berbagai disiplin dan dibesarkan

secara lintas disiplin. Karena komunikasi politik terlahir dari disiplin ilmu

komunikasi dan ilmu politik. 1

Keberadaan komunikasi politik sudah ada sejak manusia berpolitik dan

berkomunikasi, tetapi sebagai telaah ilmu, apakah sebagai bagian ilmu politik

maupun sebagai bagian ilmu komunikasi, usianya belum begitu lama.

Perkembangannya sebagai sebuah subdisiplin berakar dalam revolusi ilmu sosial

tujuh puluh tahun yang lalu. Alwi Dahlan menulis bahwa komunikasi politik

mulai berkembang dalam bentuk awal dalam kandungan ilmu politik sesudah

Perang Dunia I, meskipun belum memakai penamaan tersebut. Hal itu terlihat dari

1

(41)

studi mengenai pendapat umum, propaganda, dan perang urat saraf, serta

berkembangnya teori media kritis sebagai bagian dari ilmu politik.2

Sebelum kita membahas pengertian komunikasi politik, sebaiknya kita uraikan

terminolgy yang melekat dalam konteks komunikasi politik, yakni komunikasi dan politik. Komunikasi berasal dari bahasa Latin „communis‟ atau „common‟

dalam bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita sedang

berusaha untuk mencapai kesamaan makna, “commonness”. Atau dengan

ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita mencoba berbagi informasi, gagasan

atau sikap kita seringkali mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang

sama. Oleh karena itu, komunikasi seharusnya dipertimbangkan sebagai aktivitas

di mana tidak ada tindakan atau ungkapan yang diberi makna secara penuh,

kecuali jika diinterpretasikan oleh partisipan komunikasi yang terlibat, demikian

pengertian komunikasi yang diberikan Kathleen K. Reardon dalam buku

Interpersonal Commmunication, Where Minds Meet (1987). 3

Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi (385-322SM) dalam

bukunya Rethoric membuat definisi komunikasi dengan menekankan “siapa mengatakan apa kepada siapa.” Definisi yang dibuat Aristoteles ini sangat

sederhana, tetapi ia telah mengilhami seorang ahli ilmu politik bernama Harold D.

Lasswell pada 1948, dengan coba membuat definisi komunikasi yang lebih

sempurna dengan menanyakan “SIAPA mengatakan APA, MELALUI apa, KEPADA siapa, dan apa AKIBATNYA.”

2

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, h. 11.

3

(42)

27

Para sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi

antarmanusia (human communication) yakni “Komunikasi adalah sautu transaksi,

proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan

(1) membangun hubungan antarsesama manusia; (2) melalui pertukaran

informasi; (3) untuk membuat sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4)

berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.”4

Sedangkan definisi politik, pada umumnya diketahui berasal dari perkataan

politicos (menyangkut warga Negara), polites (seorang warga Negara), polis

(kota, negara), dan politea (kewargaan) di zaman Yunani Klasik.5 Kemudian berkembang dalam berbagai bentuk bahasa (Inggris), seperti polity, politics, politica, political, dan policy. Selain itu dikenal juga istilah politicos yang berarti kewarganegaraan, yang kemudian berkembang menjadi politer yang bermakna hak-hak warga negara. Sejak zaman Yunani klasik telah dikenal istilah politike techne yang berarti kemahiran politik.6

Eric Louw menyebutkan, politik adalah sebuah proses pengambilan keputusan, sebuah perebutan untuk memperoleh akses pada posisi pengambilan keputusan, dan proses kewenangan untuk menjalankan keputusan-keputusan itu. 7

Dari definisi yang diungkapkan Eric Louw mengandung sejumlah konsep

kenegaraan, yakni: kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), dan pembagian atau alokasi sumber daya (resources).8

4

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), edisi I, cet II, h. 18-19.

5

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h. 28.

6

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2011), edisi II, cet I, h. 2.

7

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), edisi I, cet II, h. 28.

8

(43)

Selain itu Lasswell merumuskan formula bahwa politik ialah siapa

memperoleh apa, kapan, dan bagaimana caranya (who, gets what, when, how). Siapa yang melakukan aktivitas politik, apa yang dicapainya dalam aktivitas itu,

serta kapan dan bagaimana cara mencapainya. Aktivitas yang dilakukan oleh

manusia dengan maksud mencapai tujuan bersama pada waktu tertentu bisa

dilakukan dengan cara memanfaatkan pengaruh (influenze), wewenang (authority), kekuasaan (power) atau kekuatan (force). Sejalan dengan Lasswell, Dahl menyebutkan bahwa politik itu adalah aturan, kekuasaan, pengaruh,

wewenang, dan pemerintahan sebagai cakupan politik.9

Adapaun pembahasan mengenai kajian komunikasi politik pada awalnya

berakar pada ilmu politik, meskipun penamaan lebih banyak dikenal dengan

istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922 dengan penelitian dari Ferdinand

Tonnies dan Walter Lippmann yang meneliti tentang opini publik pada

masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Bagehot, Maine, Bycre, dan Graha Wallas

di Inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini publik. Bahkan

ketika Harold D. Lasswell menulis disertasi doktor tentang Propaganda Technique in the World War (1927). Praktik propaganda berkembang terutama menjelang Perang Dunia II ketika Nazi Jerman berhasil melakukan ekspansi dengan

gemilang di bawah propaganda Dr. Joseph Gobbel.10

Komunikasi politik merupakan persilangan antara ilmu politik dan ilmu

komunikasi. Di dalamnya ada proses komunikasi dan proses politik. Pembahasan

9

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2011), edisi II, cet I, h. 3-4.

10

(44)

29

kajian ini berkutat pada proses penyampaian pesan melalui media yang juga

bersifat politis. Sama seperti pesan, media dan saluran politik formal seperti

negara dan lembaga-lembaga politik lainnya juga memiliki kekuatan politik.11 Kendati komunikasi politik merupakan persilangan komunikasi dan politik,

bukan berarti mendefinisikan komunikasi politik cukup dengan menggabungkan

dua definisi, “komunikasi” dan “politik”. Ia memiliki konsep tersendiri, meskipun

secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep tersebut. Komunikasi

politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan

dimensi politik dengan segala aspek dan problematikanya. Kesulitan dalam

mendefinisikan komunikasi politik terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut

pandang terhadap kompleksitas realitas sehari-hari. 12

Ilmuwan komunikasi A. Muis, menjelaskan bahwa istilah komunikasi politik

menunjuk pada pesan sebagai objek formalnya sehingga titik berat konsepnya

terletak pada komunikasi dan bukan pada politik. Pada hakikatnya komunikasi

politik mengandung informasi atau pesan tentang politik. Sedang McNair,

menyebutkan bahwa komunikasi politik adalah komunikasi yang diupayakan

untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu. Kemudian Graber, memandang

bahwa komunikasi politik adalah proses pembelajaram, penerimaan, dan

persetujuan atas kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan, struktur, dan

faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan politik.13

11

Nurani Soyomukti, Komunikasi Politik: Kudeta Politik Media, analisa Komunikasi Rakyat dan Penguasa, (Malang: 2013), cet I, h. 1.

12

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h. 28.

13

(45)

Menurut Rush dan Althoff, komunikasi politik adalah transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem politik.14

Adapun Susanto mendefinisikan komunikasi politik sebagai “komunikasi

yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga

masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua

warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama.” Sedangkan dilihat dari

kegunaannya, menurut Kantaprawira, komunikasi politik berguna untuk

“menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran

intra-golongan, institut, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan

sektor pemerintahan.”15

2. Komponen Komunikasi Politik

Komunikasi terjadi ketika seorang pembicara menyampaikan pembicaraannya

kepada khalayak dalam upaya mengubah sikap mereka. Tepatnya, ia

mengemukakan tiga unsur dasar proses komunikasi, yaitu pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener). 16

Fokus komunikasi yang ditelaah Aristoteles adalah komunikasi retoris, yang

kini lebih dikenal dengan komunikasi publik (public speaking) atau pidato. Pada masa itu, seni berpidato merupakan suatu keterampilan penting yang digunakan di

pengadilan dan di majelis legislatur dan pertemuan-pertemuan masyarakat.

14

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h.27.

15

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, h. 30.

16

(46)

31

Aristoteles menyadari bahwa semua komunikasi publik melibatkan persuasi maka

ia tertarik menelaah sarana persuasi yang paling efektif dalam pidato.

Salah satu kelemahan model ini adalah bahwa komunikasi dianggap sebagai

fenomena yang statis. Seseorang berbicara kepada khalayak, pesan yang

disampaikan pembicara berjalan ke khalayak lalu khalayak mendengarkan.

Tahap-tahap dalam peristiwa itu berurutan alih-alih terjadi secara simultan. Di samping

itu, model ini juga berfokus pada komunikasi yang bertujuan (disengaja) yang

terjadi ketika seseorang berusaha membujuk orang lain untuk menerima

pendapatnya. 17

Meskipun demikian, kita harus bersikap adil untuk tidak menilai suatu model

komunikasi komunikasi dengan perspektif kekinian. Kita harus menghargai dan

memberi penghormatan kepada Aristoteles yang sudah mengilhami ilmuwan lain

untuk mengembangkan model komunikasi yang lebih baru.

Pada tahun 1948 ilmuwan politik Harold Lasswell mengemukakan suatu

model yang mudah untuk melukiskan suatu tindakan komunikasi ialah dengan

menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 18 Siapa?

Mengatakan apa?

Dengan saluran apa?

Kepada siapa?

Dengan akibat apa?

17

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, h. 135-136. 18

(47)

a. Komunikator Politik

Komunikator politik dapat dikategorikan sebagai orang yang memberikan

atau menyampaikan pesan politik. Pengategorian ini berangkat dari perspektif

umum bahwa komunikasi politik adalah proses penyampaian pesan politik

dari komunikator politik kepada komunikan politik.

Menurut Harun, komunikator politik dikelompokkan menjadi dua status

yang berbeda, yaitu dalam infrastruktur dan suprastruktur. Adapaun

infrasruktur politik sebagaimana diungkap oleh G. A. Almond dan S.

Coleman, dikualifikasikan ke dalam lima kelompok, yakni (1) partai

politik/parpol (political party), (2) golongan kepentingan (interst group), (3) golongan penekanan (pressure group), (4) tokoh politik (political figure), dan (5) alat-alat komunikasi politik (political communication tools).

Kelima kelompok tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan

politik karena memiliki kemampuan menggerakan masa dan memobilisasi

pendapat umum agar berpihak kepada mereka. Kelompok-kelompok

infrastruktur tersebut merupakan komunikator-komunikator politik yang selalu

berusaha mengembangkan pengaruh untuk mendapatkan dukungan

masyarakat pada waktu terjadi pergesaran atau pergantian elit yang berkuasa

melalui proses pemilihan.19

Sementara, menurut Schudson sebagaimana dikutip Dedy Djamaluddin

Malik (1999: v), Suprastruktur sering juga disebut dengan istilah the governmental political sphere. Pemerintah sebagai suprastruktur dalam

19

(48)

33

komunikator politik memiliki tugas menyampaikan atau mengkomunikasikan

hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat dan pemerintaha. Adapun

komunikasi yang dilaksanakan oleh pemerintah (suprastruktur) antara lain

mencakup: pertama seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan warga;

kedua upaya meningkatkan loyalitas dan integrasi nasional; ketiga penerapan

aturan dan perundang-undangan untuk menjaga ketertiban dan kehormatan

dalam hidup bernegera; keempat mendorong terwujudnya partisipasi

masyarakat dalam mencapai tujuan nasional. Lembaga-lembaga legislatif,

eksekutif dan yudikatif masuk dalam suprastruktur politi. 20 b. Pesan Politik

Pesan sebagai fenomena yang berjalan pada rute perputarannya pada suatu

saluran yang menghubungkan dua sumber/penerima atau lebih. Menurut

Fisher, suatu pesan ditransformasikan pada titik-titik penyandian dan

pengalihan sandi sehingga pesan merupakan pikiran atau ide pada suatu

tempat pada sistem jaringan syaraf (neurophysiological) dari sumber/penerima. Setelah penyandian terjadi dalam suatu situasi tatap muka,

ditransformasikan ke dalam rangkaian getaran udara dan sinar-sinar cahaya

yang terpantulkan. 21

Dalam proses komunikasi politik pun, pesan politik merupakan komponen

terpenting. Mengacu pada definisi komunikasi politik secara umum, pesan

politik itu adalah pesan yang dibawa oleh komunikator politik, baik dalam

bentuk gagasan, pikiran, ide, perasaan, sikap, maupun perilaku tentang politik

20

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, (Jakarta, Lasswell Visitama: 2010), cet I, h. 6-7.

(49)

yang memengaruhi komunikan politik. Pada dasarnya, menurut Rochajat

Harun dan Sumarno, isi pesan komunikasi politik akan terdiri dari: 22

1) Seperangkat norma yang mengatur lalu lintas transformasi pesan-pesan;

2) Panduan dan nilai-nilai idealis yang tertuju pada upaya mempertahankan

serta melestarikan sistem nilai yang sedang berlangsung;

3) Sejumlah metode dan cara pendekatan untuk mewujudkan sifat-sifat

integratif bagi penghuni sistem;

4) Karakteristik yang menunjukan identitas bangsa; serta

5) Motivasi sebagai dorongan dasar yang memicu pada upaya meningkatkan

kualitas hidup bangsa.

c. Media

Komunikasi massa merupakan sumber utama pesan-pesan politik yang

dipertimbangkan orang dalam menyusun perbuatan politik mereka. Namun,

ada media lain, dan mereka pun harus diperhatikan dalam usaha apa pun untuk

memahami komunikasi politik dan opini publik yang kontemporer. 23

Peran apa yang dimiliki media berita dalam menyajikan bahan mentah

bagi warga negara untuk menciptakan citra politik mereka dan menyusun

perilaku politik mereka. Jika perbuatan politik kita diturunkan dari makna

yang kita berikan kepada objek-objek politik, maka media berita menduduki

posisi yang penting dalam proses komunikasi-opini karena kenyataan bahwa

kita memperoleh begitu banyak informasi politik, langsung dari siaran berita

22

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, h. 46-47. 23

(50)

35

televisi dan dari surat kabar. Apa yang ditetapkan dan disebarkan sebagai

“berita” oleh pers adalah unsur utama dalam penyusunan opini personal.24

d. Komunikan Politik

Menurut Effendy, komunikan memiliki fungsi mengawas sandi (decode) pesan dari komunikator sehingga komunikan disebut decoder. Selain itu, komunikan pun dapat memberikan umpan balik (feedback) sebagai tanggapan atas pesan yang disampaikan kepadanya. Feedback itu dapat berbentuk langsung atau seketika (immediate feedback), misalnya dalam komunikasi antarpesona (face to face communication), atau bisa juga tertunda (delayed feedback), misalnya dalam komunikasi bermedia dengan menggunakan media surat kabar atau majalah, sedangkan menggunakan media elektronik seperti

televisi dan radio sekarang dapat terjadi immediate feedback karena kecanggihan teknologi informasi. Komunikan secara sederhana dapat

diartikan sebagai penerima pesan.25 e. Efek

Efek merupakan “akibat” dari “siapa mengatakan apa dengan saluran apa dengan siapa” tidak ditentukan independen dari proses menetapkan “dengan siapa” dalam rumus Lasswell. Singkatnya, akibat tidak ditentukan terpisah

dari interpretasi: malahan, akibat adalah tindakan interpretatif sinambung yang

diturunkan dari penyusunan opini personal, sosial dan politik.26

24

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, h. 18. 25

Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktik, (Simbiosa Rekatama Media, Bandung : 2010), cet I, h. 48.

26

Gambar

Tabel 2 Kegiatan tatap muka dan sosialisasi Ledia 14 Maret 2014 – 1 April
Gambar 1.2 Ledia bersama KRu dan Dalang Wayang Dakwah………… 85
TABEL 1  DAFTAR TERPILIH
Tabel 2 Kegiatan Tatap Muka dan Sosialisasi Ledia
+7

Referensi

Dokumen terkait

AJBS menyangkut antara lain: masalah sumber daya manusia, keamanan fisik dan lingkungan, operasional sistem informasi, kontrol akses, dan kejadian-kejadian yang

Untuk tujuan ini penulis menggunakan buku-buku yang membahas tentang sejarah perkembangan ilmu balaghah dan buku-buku balaghah yang ditulis oleh pakar-pakar sebelum

Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau

Tabungan berjangka dengan akad mudharabah untuk perencanaan masa depan yang dikelola berdasarkan prinsip syariah dengan sistem setoran bulanan. Bermanfaat untuk

Bidang operasional yang akan diidentifikasi dan dievaluasi meliputi bidang produksi, logistik, finansial dan pemasaran pada perusahaan beton siap pakai, PT. Anugerah Beton

Gambar 12. Proses pengemasan sampel polio lingkungan dari site IPAL RSUP Kandou, Sulawesi Utara. Kredit: BTKLPP Manado/Alief... Sejak COVID-19 menjadi pandemi, tren caku- pan

Wanprestasi ini tidaklah bisa dianggap selesai begitu saja dikarenakan sudah dibuatnya polis asuransi yang sudah disepakai oleh kedua belah pihak.Wanprestasi ini

Untuk Subsektor lainnya masing-masing adalah subsektor hortikultura tercatat memiliki jumlah rumah tangga usaha pertanian yang melakukan pengolahan hasil pertanian