Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk memenuhi
persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Sulastri Damayanti (1110051000192)
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
dalam sidang munaqosyah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Juli 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I)
pada program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 2 Juli 2014
Dewan Sidang Munaqosyah
Ketua merangkap anggota Sekretaris merangkap anggota
Drs. Jumroni, M. Si Fita Fathurrokhmah, M. Si
NIP. 19630515 199203 1006 NIP. 19830610 200912 2 001
Anggota
Penguji I Penguji II
Dr. Armawati Arbi, M. Si Ade Masturi, MA
NIP. 19650207 199103 2 002 NIP. 197506062007101001
Pembimbing
LEMBAR PERNYATAAN
Assalamu’alaikum wr wb.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah penulis skripsi dengan judul
“Marketing Politik Calon Anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam Pemilihan Anggota DPR RI Periode 2014-2019” dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau
merupakan hasil orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikianlah pernyataan ini dibuat, diharapkan dapat dipergunakan dengan
semestinya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr wb
Jakarta, 2 Juli 2014
Penulis
Sulastri Damayanti
Ledia Hanifa Amaliah merupakan politisi perempuan yang berasal dari partai islam. Selama karir politiknya ia telah tiga kali mengikuti pemilihan umum. Keberhasilannya pada tiap pemilu tak terlepas dari marketing politik. Selama menjabat ia menggunakan marketing politik untuk mensosialisasikan kinerjanya sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014, sekaligus mensosialiasikan dirinya sebagai caleg incumbent yang maju pada pemilu 2014-2019.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui marketing politik Ledia yang menggunakan pendekatan marketing politik. Dan berusaha menjelaskan faktor pendukung dan penghambat yang didapati Ledia dalam Pemilihan Anggota Legislatif Periode 2014-2019.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Studi kasus bertujuan untuk memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus tersebut. Pengumpulan data melalui teknik observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Responden yang diwawancarai adalah Ledia Hanifa Amaliah, Yudiyana asisten pribadi Ledia di daerah pemilihan dan Zyrlifera Jamil asisten pribadi Ledia bidang media. Dokumen, gambar dan artikel berasal dari tim sukses Ledia juga dimasukan sebagai data.
Marketing politik yang dilakukan Ledia melalui pasar politik, produk politik dan positioning politik (penanaman dan penempatan image). Upaya positioning
ii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang
Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dengan segala kemudahan
dari-Nya penulis bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Strata satu (S1).
Shalawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, para keluarganya, para sahabatnya dan pengikutnya hingga
akhir zaman. Atas do’a dan usaha, dan perjalanan panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas penting yang mempertaruhkan segenap keilmuan
yang penulis pelajari selama menuntut ilmu di Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, walaupun jauh dari kesempurnaan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, sebagai Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MAg. Sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi. Yang telah memberikan nasihat serta arahan kepada
penulis.
3. Drs. Rachmat Baihaky, MA. Dan Fita Fathurakhmah, M.Si selaku Ketua
dan Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
4. Bapak Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkan waktunya, tenaga dan pikiran untuk memberikan
arahan dan bimbingan kepada penulis. Dan sebagai Dosen Komunikasi
Politik yang merupakan ruang lingkup dari skripsi ini, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
memberikan begitu banyak wawasan, ilmu dan pengetahuan kepada
iii
7. Ibu Hj. Ledia Hanifa Amaliah, SSI. MPSI.T., Anggota DPR RI periode
2014-2019 yang juga sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI periode
2009-2014, yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada
penulis untuk melakukan wawancara dan penelitian dalam rangka
mengumpulkan data-data untuk penyusunan skripsi ini.
8. Seluruh staff ibu Ledia Hanifa, Pak Yudiyana, Mba Fera, Mba Dewi dan
DPD PKS Bandung, yang telah banyak membantu penulis dalam
penelitian.
9. Ayahanda Wawan dan Ibunda Entin Suhartini yang telah membesarkan
dengan kasih sayang, mendidik, selalu memberikan do’a dan berjuang
membanting tulang agar penulis bisa menyelesaikan kuliahnya.
Pengorbanan kalian tak akan pernah penulis lupakan. Semoga keberkahan
dan kebaikan senantiasa dilimpahkan kepada kalian serta senantiasa dalam
lindungan Allah SWT.
10.Kakakanda Dwi Suhartono yang telah memperjuangkan penulis untuk bisa
masuk kuliah dan Adinda Novia Anggraeni yang telah mengalah untuk
menunda kuliah supaya penulis bisa menyelesaikan kuliahnya.
11.Keluarga besar Alm. Mumun, sepupu, encang, encing, mamang,
keponakan dan semuanya, terima kasih banyak atas supportnya.
12.Seluruh keluarga besar Leadership Student Center (LSC) yang sudah memberikan penulis banyak pelajaran berharga dan
kemudahan-kemudahan dalam menjalani studi. Spesial kepada Kak Endah Mawarti,
S.TP yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang
Strata satu (S1), yang sudah menjadi teman diskusi sekaligus guru buat
penulis Teh Ainun Nurul Fitriyah, S.TP, yang selalu memberikan support, menemani dan berbagi suka duka Kak Sari Elput, SHI., Kak Sartika Dewi,
A.Md., Kak Diah Cahaya Chanifa, S.Pd dan Kak Fitri Apriyani, S.Si.,
iv
13.Kakak yang berada di sana, terima kasih banyak atas bimbingannya
selama ini. Meluangkan waktu untuk berdiskusi dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari penulis, meniupkan semangat di kala penulis
mulai lemah dan menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
dengan sebaik-baiknya.
14.Rekan-rekan mahasiswa KPI (F) angkatan 2010, yang telah bersama-sama
berbagi ilmu, berdiskusi, bercanda, jalan-jalan dan saling berbagi rasa.
Kalian luar biasa dan teristimewa. Untuk teman-teman KKN TEAM 87
Cariu, yang sudah bersama selama sebulan, berbagi suka duka. Dan
teman-teman lain yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Kebersamaan bersama kalian, tawa canda memecah kejenuhan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis kembalikan semoga semua yang teah
diberikan kepada penulis akan menjadi amal ibadah dan bermanfaat bagi penulis
maupun yang lain.
Jakarta, 2 Juli 2014
v
KATA PENGANTAR………... ii
DAFTAR ISI……….. v
DAFTAR TABEL……… viii
DAFTAR DIAGRAM………. ix
DAFTAR GAMBAR………. x
DAFTAR LAMPIRAN……….. xi
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang……….. 1
B. Pembatasan Masalah……….. 14
C. Perumusan Masalah………... 14
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……… 14
E. Metedologi Penelitian………..… 15
F. Kerangka Penelitian... 21
G. Tinjauan Pustaka………..… 22
H. Sistematika Penulisan……… 23
vi
1. Pengertian Komunikasi Politik……… 25
2. Komponen Komunikasi Politik……….… 30
3. Saluran Komunikasi Politik………... 36
B. Marketing Politik……….… 38
1. Pengertian Marketing Politik……….… 38
2. Konsep Marketing Politik………... 46
a. Pasar Politik……… 47
b. Produk Politik………. 48
c. Positioning Politik……….. 49
C. Konseptualisasi Anggota Legislatif…... 52
BAB III Profil Ledia Hanifa Amaliah A. Pendidikan……….. 62
B. Karir Politik………. 63
BAB IV Temuan dan Analisis Data A. Marketing Politik Ledia Hanifa Amaliah pada Pemilihan Anggota DPR RI………... 67
1. Pasar Politik………... 68
2. Produk Politik……... 70
3. Positioning Politik……… 72
a. Saluran Tatap Muka……… 76
b. Saluran Media………. 89
vii
B. Saran-saran………. 104
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR TABEL
Table 1 Daftar terpilih anggota dewan perwakilan rakyat pemilihan umum tahun
2009 daerah pemilihan JABAR 1... 9
Tabel 2 Kegiatan tatap muka dan sosialisasi Ledia 14 Maret 2014 – 1 April 2014... 80
Tabel 3 Peringkat Kegiatan Tatap Muka Ledia Hanifa 9 Februari – 6 April
2014……… 84
Tabel 4 Penampilan Ledia di radio lokal dan nasional masa pra kampanye Mei
2011 – Januari 2013... 93
Tabel 5 Artikel Ledia di harian nasional masa pra kampanye Juni 2011 – Juni 2013... 93
Tabel 6 Artikel Ledia di majalah masa pra kampanye November 2011 – Desember 2013... 94
Tabel 7 Penggunaan media massa pada kampanye terbuka 20 Maret 2014 – April 2014... 95
Tabel 8 Pemetaan media berdasarkan jenis media... 99
ix
Lima Pasar dalam Kampanye Politik………. 47
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Pertunjukan Wayang Dakwah……… 85
Gambar 1.2 Ledia bersama KRu dan Dalang Wayang Dakwah………… 85
Gambar 2.1 Sosialisasi Komisi VIII melalui account twitter @lediahanifa 97
Gambar 2.2 Kampanye Politik Ledia Hanifa melalui account twitter
xi 2. Profil Ledia Hanifa Amaliah
3. Surat keterangan penelitian
4. Draft wawancara dengan Ledia Hanifa Amaliah
5. Draft wawancara dengan Zyrlifera Jamil
6. Draft wawancara dengan Yudiyana
7. Data KPU 2009
8. Data KPU 2014
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjelang pesta demokrasi besar bangsa Indonesia pada tahun 2014, sedari
dini, kesibukan mulai diperlihatkan parpol-parpol peserta pemilu maupun
calon-calon yang terlibat dalam pemilihan anggota legislatif. Mereka berlomba-lomba
menampilkan yang terbaik dengan bermacam-macam cara untuk memperoleh
dukungan dari masyarakat dan mendapat kedudukan serta kekuasaan dalam
pemerintahan. Dan disinilah komunikasi politik memainkan peranannya.
Pemilihan umum sebagai agenda lima tahunan adalah momen penting untuk
menentukan pilihan rakyat yang akan menjadi perwakilannya di pemerintahan
yang bertugas membangun bangsa. Dalam undang-undang telah dijelaskan
mengenai fungsi pemilihan umum yaitu sebagai sarana untuk memilih Anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu, sesuai ketentuan
hukum, harus dilaksanakan menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon
terbuka.1
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang
sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang
diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan
kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi
serta aspirasi masyarakat. Masyarakat bebas menentukan pilihannya sendiri yang
1
menurutnya pantas dan layak untuk dijadikan pemimpin serta dapat mewakili
aspirasinya. 2
Momentum lima tahunan ini hadir sebagai agenda rutin bangsa Indonesia.
Agenda terdekat adalah pemilihan anggota legislatif yang jatuh pada 9 April 2014.
Parpol-parpol peserta pemilu telah mengirimkan wakil-wakil mereka dalam
pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019. Banyaknya calon yang ikut
dalam pemilihan anggota legislatif semakin menambah ramai pemilihan anggota
legislatif ini. Masyarakat disodorkan berbagai pilihan calon yang akan mereka
percayakan untuk mengemban amanah rakyat dengan berbagai latar belakang.
Dahulu, persaingan perebutan kekuasaan politik di Indonesia umumnya di
dominasi oleh kaum laki-laki. Pada kenyataannya kaum laki-lakilah yang
menguasai perpolitikan di Indonesia. Merekalah yang menduduki kekuasaan
tinggi dan penting dalam percaturan politik di Indonesia. Hal ini bukan tanpa
alasan karena partisipasi politik perempuan di Indonesia saat itu masih sangat
rendah dan partisipasi perempuan di Indonesia ibarat barang langka.
Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu
didengungkan selama berabad-abad. Terminologi publik dan privat yang erat
kaitannya dengan konsep jender, peran jender, dan streotipe, telah menciptakan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Efek tidak
langsung dari ide ini adalah membatasi partisipasi politik perempuan.3
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka utama: 2010), edisi revisi, cet ke 4, h. 461.
3
3
Seolah telah mengakar pada kebudayaan manusia, mindset dan juga kerangka pemikiran tentang konsep wanita yang identik dengan hal-hal yang beraroma
rumahan, sebagai juru masak, pengasuh anak, atau peran pasif lainnya, lebih
ekstrem lagi wanita memandang dirinya sebagai asumsi objek seksualitas, tidak
memiliki ruang untuk mengambil keputusan dan tersekat oleh Patriarchy. Hal ini semakin menegaskan ketidaktepatan perempuan jika bergabung dengan politik.4
Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan
pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan
perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan
gambaran yang tidak menggembirakan.5
Selama ini, perempuan dalam bingkai politik belum sampai pada tingkat
maksimal. Dalam sejarah pemilihan umum (Pemilu), misalnya, anggapan
masyarakat Indonesia terhadap pilihan perempuan politik masih sebagai pilihan
kedua untuk menduduki posisi dalam politik (jabatan politik). Masyarakat masih
mempercayakan pilihan mereka pada kaum laki-laki. Pembuktian asas asumsi ini
dapat dilihat dari data yang ada dalam sejarah perpolitikan Indonesia sejak
dilakukannya pemilu untuk pertama kalinya pada tahun 1955. Belum lagi asumsi
dari wilayah agama, perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk
berpolitik bahkan secara ekstrem ada beberapa keyakinan kelompok agama
tertentu untuk mengharamkan perempuan berpolitik, semisal menjadi pemimpin.6
4
Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik-Menemukan Relasi Antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2012), ed 1, cet 1, h. 95.
5
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana-Esai Pilihan 1999-2004, (Jakarta, Kompas: 2005), h. 25-26.
6
Gambaran umum dari partisipasi perempuan dan politik di Indonesia
memperlihatkan representasi yang rendah dalam semua tingkatan pengambilan
keputusan, baik ditingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun birokrasi
pemerintahan, partai politik dan kehidupan publik lainnya.
Selain rendahnya representasi atau keterwakilan perempuan dalam kehidupan
politik dalam arti jumlah atau kuantitas, maka ada gambaran lain yang
melengkapinya yakni persoalan kualitas. Partisipasi politik perempuan, jika
memang itu ada, hanya terkesan memainkan peran sekunder. Mereka hanya
dilihat sebagai pemanis atau penggembira sebagai cermin rendahnya pengetahuan
mereka di bidang politik. Kita bisa mengamati bahwa betapa sedikitnya politisi
atau tokoh perempuan yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai
berbagai persoalan publik yang dihadapi masyarakat Indonesia. Persoalan
sensitivitas atau kepedulian terhadap isu-isu perempuan seperti soal kekerasan
negara terhadap perempuan, kesehatan reproduksi, pelecehan seksual, gizi anak
dan lainnya yang sejenis, serta pernikahan dan kepedulian pada persoalan tersebut
rasa-rasanya memang bukan menjadi agenda utama bagi mereka para penentu
kebijakan.7
Alasan lain untuk menjelaskan rendahnya representasi perempuan sebagai
calon legislatif adalah apa yang sering dikemukakan sebagai “definisi tentang politik”. Yang sering dianggap tabu, kotor, penuh bahaya dan tidak cocok bagi
perempuan. Wilayah ini dirasa kurang tepat bagi perempuan yang selama ini
dianggap sebagai kaum yang lemah. Selain itu ada juga pelabelan bahwa
7
5
perempuan pada umumnya buta politik, tidak tertarik dengan kehidupan, dan ini
semua hanya semakin mematahkan semangat mereka untuk berpartisipasi dalam
ranah politik.8
Kondisi demikian tidak lagi terjadi pada masa kini, perempuan sekarang telah
memperkuat posisinya sebagai penyeimbang kaum laki-laki. Kaum perempuan
mulai menunjukan perannya dalam politik dengan bergelut secara praktik, politik
dan juga pewaris emansipasi tentu memaknai emansipasi sebagai hak dan juga
kewajiban atas dasar perilaku wanita, bukan berdasar pada asumsi emansipasi
liberal. Lebih dari itu, di beberapa negara, wanita menjadi sosok penting bagi
politik. Termasuk di Indonesia yang sempat dipimpin oleh seorang wanita, yaitu
Megawati Soekarno Putri sang putri Presiden Ir. Soekarno.9
Peningkatan partisipasi politik perempuan pada pemilu kali ini, terlihat dari
banyaknya perempuan yang terdaftar sebagai calon anggota legislatif tingkat DPR
RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Hal ini, ditanggapi baik oleh
Ledia Hanifa Amaliah, yang turut berpartisipasi sebagai calon anggota DPR RI
dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Barat (Jabar) I yang meliputi Kota Bandung
dan Cimahi. Beliau akan bersaing dengan 83 calon lainnya yang 35 diantaranya
merupakan calon legislatif perempuan.
Sebenarnya, kedudukan perempuan di Indonesia secara formal cukup kuat
karena didukung oleh undang-undang serta peraturan lain yang memberi
8Susan Blackburn, “
The 1999 election in Indonesia; Where were the woman?” kertas kerja yang dipresentasikan dalam lokakarya The Indonesian Election : An Analysis, Monash University, 25 Juni, 1999 dalam Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana-Esai Pilihan 1999-2004, (Jakarta, Kompas: 2005), h. 34.
9
perlindungan yuridis padanya. Selain itu, Indonesia pun telah meratifikasi dua
perjanjian, yaitu Perjanjian mengenai Hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women) dan Perjanjian mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Political Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau CEDAW). Kemudian pada 1993, Indonesia telah menerima Deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan perempuan.
Akhirnya, dalam Undang-Undang Pemilihan Umum 2004 dibuka kesempatan
agar perempuan dipertimbangkan menduduki 30% kursi wakil rakyat.
Akhirnya sukses terbesar diperoleh ketika Undang-Undang No. 12 tahun 2003
tentang pemilu memberi peluang baru dengan menetapkan dalam Pasal 65 (1):
“Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”10
Sekalipun dianggap kurang memenuhi aspirasi sebagian besar kaum perempuan,
tetapi undang-undang itu memberian kesempatan bagi perempuan untuk berperan
aktif dalam politik dan menjadi cambuk bagi perempuan untuk mempersiapkan
diri bertarung dalam pemilu-pemilu yang akan datang.11
Dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia baik secara
kuantitas maupun kualitas, pemerintah dalam hal ini tidak bisa bergerak sendiri.
Perlu adanya dukungan dari luar untuk bisa mewujudkannya. Dalam hal ini, partai
politik memiliki peranan penting untuk membantu pemerintah dalam
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka utama: 2010), edisi revisi, cet ke 4, h. 257-259.
11
7
meningkatakan partisipasi politik perempuan di Indonesia baik secara kualitas
maupun kuantitas.
Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi dan institusi strategis yang bisa
dijadikan alat untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Bentuk
dukungan partai politik bisa diwujudkan melalui proses internal masing-masing
parpol. Proses internal yang dilakukan parpol hendaknya tidak hanya
mengedepankan permasalahan kuantitas tetapi juga memerhatikan permasalahan
kualitas karena persoalan kualitas bisa menjadi bekal bagi para politisi khususnya
politisi perempuan.12
Ledia merupakan salah satu politisi yang lahir dari proses pengkaderan
panjang di partainya. Keterlibatannya dalam dunia politik dimulai sejak reformasi
1998 bergulir. Seiring berdirinya Partai Keadilan (PK) yang akhirnya berganti
nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di partainya, ia kerab menduduki
posisi-posisi strategis terutama dibidang kewanitaan seperti Staf Deputi
Kewanitaan DPW PK Jakarta (1998-1999), Pjs Ketua Deputi Kewanitaan DPW
PK DKI Jakarta (1999-2000), Ketua Deputi Pemberdayaan Wanita DPW PKS
Jawa Barat (2000-2005), Ketua DPP PKS Bidang Kewanitaan (2005-2010).13 Proses pengkaderan di partainya membuat Ledia masuk sebagai golongan
politisi ideolog yang kehadirannya bukan sebagai pendulang suara semata. Politisi
ideolog adalah komunikator politik yang menjadi kader ideologi dan representasi
nilai-nilai normatif yang diusung oleh individu atau kelompok politik. Biasanya
12
Lena Maryana Mukti, Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan, artikel diakses pada 25 September 2013 dari http://www.komnasperempuan.or.id
13
berdasarkan sebuah proses kaderisasi yang panjang. Politikus tipe ini adalah orang
yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli
apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan
apakah jabatan itu eksekutif, legislatif atau yudikatif. Yang jelas bagi politisi jenis
ini, berpolitik sesuai dengan nafas ideologi yang dia yakini jauh lebih penting dari
pada kepentingan pragmatisnya.14
Jika melihat rekam jejak Ledia, perempuan berkacamata ini tergolong aktif.
Saat ini ia juga tercatat sebagai anggota Forum Parlemen Indonesia untuk
Kependudukan dan Pembangunan (2009-2014). Ia menjabat Ketua Departemen
Kebijakan Kesehatan, Kependudukan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang
Kebijakan Publik DPP Partai Keadilan Sejahtera (2010-2015).15
Majunya Ledia dalam pemilu legislatif periode 2014-2019 ini merupakan kali
kedua baginya. Periode lalu 2009-2014, ia berhasil menjabat Wakil Ketua Komisi
VIII DPR RI yang membidangi Agama, Sosial dan Pemberdayaan Perempuan.
Pada pemilihan anggota DPR RI tahun 2009 Dapil Jabar I, fraksi PKS
mendapatkan dua kursi. Suharna Surapranata yang mendapat nomor urut satu,
unggul dengan perolehan 36.515 suara sah. Sedangkan, Ledia Hanifa Amaliah
yang mendapat nomor urut dua berhasil mengantongi 28.228 suara sah sekaligus
menempati posisi kedua perolehan suara dari PKS.16
14
Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, (Bogor, Ghalia Indonesia: 2013), cet 1.
15
Bobby Reza Satrian, Profil Ledia Hanifa Amaliah, artikel diakses pada 19 Januari 2014 dari http://m.merdeka.com/profil/indonesia/I/ledia-hanifa-amaliah/
16
9
Peringkat perolehan suara di Dapil Jabar I yang memperebutkan tujuh kursi,
Ledia berada di peringkat kelima. Ledia menjadi satu-satunya perwakilan
perempuan dari partai islam untuk Dapil Jabar I.
TABEL 1
DAFTAR TERPILIH
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009
DAERAH PEMILIHAN : JAWA BARAT I
No Partai
kehadiran Ledia sebagai politisi perempuan dari partai islam telah mendapat
penerimaan dari masyarakat. Kepercayaan ini yang menghantarkan Ledia sebagai
Perjalanan karir politik Ledia sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014
diwarnai dengan perombakan komposisi yang dilakukan oleh Fraksi PKS. Selama
menjadi anggota DPR RI, Ledia pernah duduk di Komisi IX dan Komisi X. Kali
ini ia duduk di Komisi VIII sebagai Wakil Ketua Komisi VIII menggantikan
Jazuli Juwaini yang dipindah ke Komisi II menggantikan Rahman Amin.17
Karir Ledia di Komisi VIII diwarnai dengan kritik-kritik yang diajukan
kesejumlah pelayanan dan kebijakan seperti belum maksimalnya layanan sistem
komputerisasi haji terpadu (siskohat),18 temuan Komisi VIII mengenai pembagian BLSM di Yogya tidak tepat sasaran,19 Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang perlu disisir ulang agar menemukan fokusnya sehingga tidak
tumpang tindih dengan UU yang telah berlaku20, dan permasalahan lainnya. Selain kritik-kritik yang diajukan, Ledia turut memperjuangkan pengesahan
RUU yang memihak pada rakyat seperti RUU JPH (Jaminan Produk Halal).
Meskipun lobi untuk RUU JPH batal dikarenakan banyak anggota dan Kapoksi
yang tidak hadir, ini tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berupaya agar RUU
JPH segera disahkan.21
Apa yang telah dilakukan Ledia selama menjabat Wakil Ketua Komisi VIII
DPR RI sedikit banyak memengaruhi upayanya dalam Pemilu kali ini. Sebagai
Calon Anggota DPR RI dari petahana, pengalaman dan medan politik yang lebih
17
Iman Firdaus, Ini Arahan Fraksi PKS Buat Ledia Hanifa, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2014 dari www.jurnalparlemen.com
18
Iman Firdaus, Temuan Komisi VIII Pembagian BLSM di Yogya Tidak Tepat Sasaran, artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2014 dari www.jurnalparlemen.com
19
Iman Firdaus, Ini Arahan Fraksi PKS Buat Ledia Hanifa, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2014 dari www.jurnalparlemen.com
20
Iman Firdaus, Agar Fokus RUU KKG Perlu Disisir Ulang, artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2014 dari www.jurnalparlemen.com
21
11
dulu ia ketahui menjadi modal besar baginya. Selain itu, pengalaman berpolitik
yang cukup lama dengan menduduki jabatan-jabatan strategis di partainya
membuat Ledia mantap melaju sebagai anggota DPR RI periode mendatang.
Pada pemilu legislatif 2014 ini, Ledia akan bertarung dengan lima calon rekan
separtainya untuk merebutkan kursi DPR RI di Dapil Jabar 1. Daftar calon tetap
anggota DPR RI Dapil Jabar 1 dari PKS adalah: (1) Asep Saefulloh Danu, (2)
Ahmad Kuncaraningrat, (3) Ledia Hanifa Amaliah, (4) Arif Minardi, (5)
Achmad Zulkarnain, dan (6) Zirly Nova Jamil.22
Selain menghadapi rekan separtainya, Ledia harus bersaing pula dengan caleg
incumbent di dapil Jabar 1. Para pesaingnya diincumbent diantaranya Popong Otje Djundjunan yang merupakan politisi senior dari partai Golkar, Agung Budi
Santoso politisi partai Demokrat yang pada pemilu 2009 memperoleh suara
terbanyak di Dapil Jabar 1 dan Daday Hudaya politisi senior partai Demokrat
yang pada pemilu 2009 memperoleh suara terbanyak kedua di Dapil Jabar 1.
Pertarungan Ledia di dapil Jabar I bukanlah perkara ringan. Seperti yang
disebutkan beberapa media online dalam pemberitaannya kerap kali menyebutkan dapil Jabar I sebagai dapil “neraka”. Ini merupakan gambaran pertarungan di dapil Jabar 1 sangat sengit. Di dapil Jabar 1 terdapat politisi senior, atlet dan artis
terkenal yang turut berlaga dalam pileg 2014.23
22
DCS DPR 2014-3201. JABAR I. pdf. Artikel diakses pada tanggal 31 Desember 2013 dari www.kpu.go.id
23
Artis, Atlet dan Politisi Senior ‘Perang’ di Dapil Jabar 1 artikel diakses pada Jum’at,
Ketatnya peta persaingan di Jabar 1 membuat Ledia dan tim suksesnya harus
bekerja ekstra keras. Selain persoalan-persoalan di atas, Ledia pun harus
berhadapan dengan persoalan nomor urut. Ini menjadi penting dicermati oleh
seoarang kandidat yang bersaing karena tak jarang nomor urut menjadi kunci
kesuksesan seorang kandidat untuk mendapatkan suara dari para pemilihnya.
Jika pada pemilu tahun 2009 lalu, Ledia mendapat nomor urut dua dan
menempati urutan kedua dalam perolehan suara sah di partainya. Kini pada
pemilu 2014, ada pergeseran nomor urut sehingga ia mendapat nomor urut tiga.
Pergeseran nomor urut ini merupakan ketetapan partai tempat Ledia berafiliasi.
Mencermati kondisi yang demikian, strategi seperti apakah yang sekiranya
bisa membantu Ledia Hanifa Amaliah, untuk dapat memenangi pemilu 2014 ini.
Mengingat peta persaingan yang semakin ketat, bukan hanya dari rekan-rekan
separtainya saja melainkan calon-calon dari partai lain yang turut bertanding
dalam pemilu 2014.
Persaingan yang semakin ketat menuntut para kandidat berupaya lebih kuat
menarik simpati calon pemilih. Para kandidat harus bisa memperkenalkan diri
mereka ke publik dan meyakinkan calon pemilih bahwa mereka layak
mengemban amanah yang dititipkan masyarakat. Upaya ini bisa terwujud jika
diimbangi dengan pemasaran atau marketing kandidat.
Selama ini kita mengetahui bahwa marketing merupakan bagian dari ekonomi.
Namun seiring kebutuhan politik dan keadaan persaingan yang semakin ketat
13
dimaksud di sini bukanlah marketing atau pemasaran ekonomi melainkan
marketing atau pemasaran politik.
Pada awalnya pemasaran atau marketing bukanlah bagian dari politik. Karena
keduanya merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Mencermati kebutuhan
politik dan keadaan persaingan yang semakin ketat, maka marketing dan politik
bersatu menjadi pedoman baru dalam persaingan politik. Dan kini para kandidat
mulai ramai menggunakan marketing politik dalam persaingan politik mereka.
Saat ini masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihannya. Rakyat
sudah dapat membedakan mana yang gemar memberi janji dan mana yang bekerja
nyata. Rakyat sudah tidak ingin lagi digempur dengan janji-janji para wakil
rakyat. Ini menjadi tugas penting bagi para kandidat beserta tim suksesnya dalam
meramu strategi komunikasi politik yang baik untuk dapat memenangkan hati
rakyat sehingga mau memberikan suaranya pada calon tersebut.
Menyikapi persaingan sengit di dapil Jabar 1 dan kondisi masyarakat yang
semakin cerdas politik membuat Ledia beserta tim suksesnya mengatur strategi
untuk dapat memenangkan persaingani ini. Dan marketing politik menjadi pilihan
Ledia dan tim suksesnya sejak lima tahun lalu ketika menjabat sebagai anggota
DPR RI periode 2009-2014 lalu.
Marketing politik seorang politisi dalam persaingan politiknya begitu menarik
untuk dicermati, terlebih Ledia adalah politisi perempuan dari partai islam. Oleh
sebab itu penulis tertarik meneliti marketing politik Ledia yang kemudian
dituangkan dalam judul: “Marketing Politik Calon Anggota DPR RI Ledia
B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada :
Kegiatan marketing politik yang dilakukan Ledia Hanifa Amaliah dalam
pemilihan anggota DPR RI periode 2014-2019.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas dapat ditarik rumusan
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana marketing politik yang dijalankan Ledia Hanifa Amaliah
dalam menghadapi Pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019?
b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat marketing politik Ledia
Hanifa Amaliah dalam menghadapi Pemilihan anggota legislatif periode
2014-2019?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang ada sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan
tulisan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui marketing politik yang dibangun Ledia Hanifa
Amaliah, bersama tim suksesnya dalam pemilihan anggota DPR RI
periode 2014-2019.
b. Untuk mengetahui faktor pendukung dan hambatan atau tantangan
yang dialami Ledia Hanifa Amaliah, beserta tim suksesnya dalam
15
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat Akademis
Menerapkan ilmu komunikasi secara teoritis dalam hasil penelitian
dan menunjang serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang
diterapkan di bidang komunikasi politik.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para
teoritis, praktisi dan pemikir dalam bidang komunikasi politik, para
calon anggota legislatif serta partai politik. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat membuka wawasan baru mengenai partisipasi politik
perempuan, sehingga tidak ada lagi kekeliruan dalam menyikapi
partisipasi politik perempuan baik dalam konteks agama maupun
bernegara.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah desain kualitatif
dimana desain ini dinilai tepat untuk melihat proses dan keutuhan
fenomena yang terjadi. Pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan
pandangan-pandangan dasar interpretatif dan fenomenologis yang antara
lain: (1) realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan,
bukan sesuatu yang lepas di luar individu-individu; (2) manusia tidak
melainkan menciptakan rangkaian makna menjalani hidupnya; (3) ilmu
didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan
tidak bebas nilai, serta (4) penelitian bertujuan untuk memahami
kehidupan sosial.24
Selain itu, penelitian ini menggunakan tipe penilitian Studi kasus.
Studi kasus adalah penelitian yang dilakukan terbatas pada masalah
khusus (kasus tertentu). Studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh
pemahan utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan
dimensi dari kasus khusus tersebut.25
Studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe: 26
Studi kasus intrinsik: penelitian dilakukan karena ketertarikan atau
kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk
memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk
menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa upaya
menggeneralisasi.
Studi kasus instrumental: penelitian pada suatu kasus unik tertentu,
dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk
mengembangkan, memperhalus teori.
24
S. Sarantoks, Social Research. (Melbourne, MacMillan Education Australia Pty Ltd: 1993) dalam E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, (Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h.25-26.
25
S. Sarantoks, Social Research. (Melbourne, MacMillan Education Australia Pty Ltd: 1993) dalam E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, h. 108.
26
17
Studi kasus kolektif: suatu studi kasus instrumental yang diperluas
sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk
mempelajari fenomena/populasi/kondisi umum dengan lebih
mendalam. Karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di
dalam tiap kasus maupun antar kasus, studi kasus ini sering juga
disebut studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif.
Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan studi kasus instrinsik
karena dalam marketing politik Ledia terdapat beberapa keunikan.
Pertama, Ledia telah mengikuti tiga kali pemilihan umum. Pada tahun 2004 Ledia menjadi calon anggota DPRD Provinsi pada daerah pemilihan
Jabar VI (Depok-Bekasi). Saat itu, pemilu di Indonesia masih
menggunakan sistem proporsional tertutup (berdasarkan nomor urut)
sehingga Ledia yang saat itu tak mendapat nomor urut satu harus kandas
meski perolehan suaranya besar. Tahun 2009 ia terpilih sebagai anggota
DPR RI dari Dapil Jabar I (Bandung-Cimahi). Dan tahun 2014 kembali
mencalonkan dari Dapil yang sama.
Kedua, Ledia merupakan salah satu politisi yang ditunjuk partainya (PKS) untuk menjadi wakil rakyat di Dapil Jabar I. Hal yang perlu kita
ketahui, bahwasannya, Ledia bukan berasal dari Dapil Jabar I. Ia lahir dan
tinggal di Jakarta. Namun, pada pemilu 2009 lalu ia berhasil mendulang
kesuksesan sebagai wakil rakyat dari Jabar I. Ia berhasil meyakini para
pemilih di Jabar I untuk memberikan dukungan dan suara mereka kepada
Ketiga, dalam hal distribusi dan alokasi kader partai terjadi melalui tahapan yang panjang dalam proses kaderisasi. Setiap wakil rakyat yang
maju sebagai calon wakil rakyat bukan atas dasar keinginan pribadi,
melainkan perintah dan penunjukan langsung dari Partai. Penunjukan yang
dilakukan partai terhadap Ledia, melalui proses pertimbangan dan
musyawarah majelis syuro PKS. Sehingga wakil yang ditunjuk
benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam politik, bukan sekedar
pendongkrak suara.
2. Tahapan Penelitian
Berdasarkan manfaat empiris, bahwa metode pengumpulan data
kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan
data dan teknik analisis data adalah metode wawancara mendalam,
observasi, dan dokumenter. Dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Pengumpulan data
1) Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan
19
informan.27 Dalam hal ini, peneliti mewawancarai Ledia Hanifa Amaliah dan Tim Suksesnya.
2) Observasi, istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul,
dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena
tersebut.28 Pada observasi ini, peneliti mengamati marketing politik yang dilakukan Ledia Hanifa Amaliah, berserta Tim Suksesnya
serta mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Ledia
Hanifa Amaliah, beserta Tim Suksesnya.
3) Dokumenter adalah suatu metode pengumpulan data yang
digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode
dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis.29 Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang dapat mendukung penelitian yang sedang
dilakukan.
b. Pengelolaan Data
Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan, peneliti
mendapatkan sejumlah data. Data yang diperoleh dalam penelitian
kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi,
deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto)
27
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, (Jakarta, Kencana: 2010), ed 1, cet 4, h. 208.
28
E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, (Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h. 116.
29
ataupun bentuk-bentuk non angka lain.30 Data-data tersebut kemudian diolah dan dihubungan dengan berbagai data yang ada sehingga
menjadi sebuah kesimpulan yang bermakna. Kesimpulan tersebut
diangkat dari fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian.
Teknik penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku
bimbingan skripsi UIN Jakarta “PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI”, (FITK UIN: Jakarta, 2011) serta terikat dengan peraturan pemakaian
bahasa dengan ejaan (EYD). Dengan pengecualian bahasa asing.
c. Analisa data
Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan, peneliti
mendapatkan sejumlah data. Data yang diperoleh dalam penelitian
kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi,
deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto)
ataupun bentuk-bentuk non angka lain.31 Data-data tersebut kemudian diolah dan dihubungan dengan berbagai data yang ada sehingga
menjadi sebuah kesimpulan yang bermakna. Kesimpulan tersebut
diangkat dari fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Ledia dan tim suksesnya yang
berkaitan dengan pembatasan dan perumusan masalah. Adapun objek
30
E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, (Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h. 143.
31
21
penelitiannya adalah marketing politik yang digunakan Ledia dan tim
suksesnya.
F. Kerangka Penelitian
Kerangka dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sumber: Bruce I Newman, Handbook of Political Marketing(1999) dan Zulkariem Nasution,
Komunikasi Politik Suatu Pengantar (1990)
Komunikasi politik menjadi bahasan utama dalam penelitian ini karena
penelitian ini mengangkat tentang bagaimana seorang kandidat mempersiapkan
diri dalam pemillihan legislatif.
Marketing politik merupakan bagian dari komunikasi politik, sama halnya
seperti retorika politik maupun public relations politik. Marketing politik ini digunakan Ledia untuk mensosialisasikan dirinya dalam pemilihan anggota
DPR RI periode 2014-2019.
Komunikasi
Politik
Marketing
Politik
Pasar
Politik
Saluran
Media
Produk
Politik
Positioning
Politik
Saluran
Pasar politik, produk politik dan positioning politik merupakan bagian tak terpisahkan dalam marketing politik. Pada bagian-bagian inilah Ledia dan tim
suksesnya menganalisa dan meramu strategi marketing politik mereka.
Saluran komunikasi politik terdiri dari lima saluran yakni tatap muka, sosial
tradisional, masukan (input), output, dan media massa. Ledia dan tim suksesnya menggunakan dua saluran yakni media dan tatap muka. Kedua saluran ini
digunakan dalam rangka positioning Ledia sebagai calon anggota DPR RI.
G. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang strategi
komunikasi politik, diantaranya:
Misliyah menemukan tim sukses Mochtar Muhammad-Rahmat Effendi dalam
kampanye Pilkada Walikota Bekasi menggunakan marketing politik melalui
saluran media. Media yang digunakan meliputi media cetak dan media elektronik.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis terletak pada proses marketing
politik yang dilakukan melalui saluran media. Dan perbedaannya adalah
penelitian ini memfokuskan pada agenda setting media dari marketing politik
sedangkan penelitian yang dilakukan penulis memfokuskan pada saluran yang
digunakan dalam marketing politik.32
Muhammad Rhagyl Indratomo menemukan Persamaan penelitian ini dengan
penelitian penulis terdapat pada iklan PKS di media massa yang mana PKS
menggunakan saluran media dalam proses marketing politik mereka. Adapun
perbedaan penelitian ini adalah mereka hanya mefokuskan pada iklan partai
32
23
politik dalam marketing politik mereka sedangkan penelitian yang dilakukan
penulis memfokuskan pada saluran yang digunakan dalam marketing politik.33 Shulhan Rumaru menemukan strategi marketing politik Lembaga Konsultan
Komunikasi Fastcomm di tengah persaingan lembaga-lembaga konsultan politik lainnya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penggunaan
proses marketing politik partai islam dan saluran komunikasi politik yang
digunakan dalam proses marketing politik. Dan perbedaan penelitian ini adalah
peneliti memfokuskan pada Lembaga Konsultan Komunikasi Fastcomm yang menangani marketing politik partai islam sedangkan penulis memfokuskan pada
kandidat yang tidak menggunakan jasa konsultan politik.34 H. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini bersifat teratur dan sistematis, maka dari itu untuk dapat
memudahkan dalam memahami isi skripsi ini, peneliti membagi skripsi ini
menjadi lima bab, yang pada tiap-tiap bab terbagi dari sub-sub bab. Isi
masing-masing bab secara singkat adalah sebagai berikut:
BAB 1 latar belakang, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, metodologi penelitian, pedoman penelitian
serta sistematika penulisan.
BAB 2 Bab ini membahas tentang teori-teori yang digunakan sebagai
landasan permasalahan penelitian dalam membahas skripsi ini.
33
Muhammad Rhagyl Indratomo , Analisis Pemanfaatan Iklan Politik di Media Massa: Studi Terhadap Iklan Politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu Legislatif 2009, (Jakarta, FIDKOM UIN: 2010)
34
BAB 3 Bab ini berisi uraian profil Ledia Hanifa Amaliah, dalam pemilihan
anggota legislatif periode 2014-2019.
BAB 4 Bab ini membahas tentang isi penelitian secara umum di mana
data-data yang telah dikumpulkan dipaparkan oleh peneliti dan
menganalisis data yang sudah diperoleh.
BAB 5 Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi yang dibuat oleh
peneliti yang membahas tentang hasil keseluruhan penelitian yang
menguraikan tentang kesimpulan dari semua uraian yang ada pada
bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini, peneliti juga akan
memberikan kesimpulan dan saran sebagai hasil dari penelitian
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
A. Konseptualisasi Komunikasi Politik
1. Pengertian Komunikasi Politik
Komunikasi politik sebagai salah satu bidang kajian komunikasi, selalu
menjadi fenomena yang senantiasa aktual untuk didiskusikan, terlebih
ditahun-tahun politik seperti sekarang ini. Dewasa ini, politik menjadi hal yang ramai
dibicarakan. Tak hanya oleh para politisi, akademisi maupun pengamat saja. Kini
politik telah merambah ke masyarakat umum yang awam politik. Itulah sebabnya
mengapa komunikasi politik begitu penting untuk dikaji.
Komunikasi politik telah dikenal sejak Cicero dan Aristoteles. Kemudian
berkembang sekitar Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sebagai suatu bidang
kajian ilmiah, komunikasi politik melintasi berbagai disiplin dan dibesarkan
secara lintas disiplin. Karena komunikasi politik terlahir dari disiplin ilmu
komunikasi dan ilmu politik. 1
Keberadaan komunikasi politik sudah ada sejak manusia berpolitik dan
berkomunikasi, tetapi sebagai telaah ilmu, apakah sebagai bagian ilmu politik
maupun sebagai bagian ilmu komunikasi, usianya belum begitu lama.
Perkembangannya sebagai sebuah subdisiplin berakar dalam revolusi ilmu sosial
tujuh puluh tahun yang lalu. Alwi Dahlan menulis bahwa komunikasi politik
mulai berkembang dalam bentuk awal dalam kandungan ilmu politik sesudah
Perang Dunia I, meskipun belum memakai penamaan tersebut. Hal itu terlihat dari
1
studi mengenai pendapat umum, propaganda, dan perang urat saraf, serta
berkembangnya teori media kritis sebagai bagian dari ilmu politik.2
Sebelum kita membahas pengertian komunikasi politik, sebaiknya kita uraikan
terminolgy yang melekat dalam konteks komunikasi politik, yakni komunikasi dan politik. Komunikasi berasal dari bahasa Latin „communis‟ atau „common‟
dalam bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita sedang
berusaha untuk mencapai kesamaan makna, “commonness”. Atau dengan
ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita mencoba berbagi informasi, gagasan
atau sikap kita seringkali mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang
sama. Oleh karena itu, komunikasi seharusnya dipertimbangkan sebagai aktivitas
di mana tidak ada tindakan atau ungkapan yang diberi makna secara penuh,
kecuali jika diinterpretasikan oleh partisipan komunikasi yang terlibat, demikian
pengertian komunikasi yang diberikan Kathleen K. Reardon dalam buku
Interpersonal Commmunication, Where Minds Meet (1987). 3
Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi (385-322SM) dalam
bukunya Rethoric membuat definisi komunikasi dengan menekankan “siapa mengatakan apa kepada siapa.” Definisi yang dibuat Aristoteles ini sangat
sederhana, tetapi ia telah mengilhami seorang ahli ilmu politik bernama Harold D.
Lasswell pada 1948, dengan coba membuat definisi komunikasi yang lebih
sempurna dengan menanyakan “SIAPA mengatakan APA, MELALUI apa, KEPADA siapa, dan apa AKIBATNYA.”
2
Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, h. 11.
3
27
Para sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi
antarmanusia (human communication) yakni “Komunikasi adalah sautu transaksi,
proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan
(1) membangun hubungan antarsesama manusia; (2) melalui pertukaran
informasi; (3) untuk membuat sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4)
berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.”4
Sedangkan definisi politik, pada umumnya diketahui berasal dari perkataan
politicos (menyangkut warga Negara), polites (seorang warga Negara), polis
(kota, negara), dan politea (kewargaan) di zaman Yunani Klasik.5 Kemudian berkembang dalam berbagai bentuk bahasa (Inggris), seperti polity, politics, politica, political, dan policy. Selain itu dikenal juga istilah politicos yang berarti kewarganegaraan, yang kemudian berkembang menjadi politer yang bermakna hak-hak warga negara. Sejak zaman Yunani klasik telah dikenal istilah politike techne yang berarti kemahiran politik.6
Eric Louw menyebutkan, politik adalah sebuah proses pengambilan keputusan, sebuah perebutan untuk memperoleh akses pada posisi pengambilan keputusan, dan proses kewenangan untuk menjalankan keputusan-keputusan itu. 7
Dari definisi yang diungkapkan Eric Louw mengandung sejumlah konsep
kenegaraan, yakni: kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), dan pembagian atau alokasi sumber daya (resources).8
4
Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), edisi I, cet II, h. 18-19.
5
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h. 28.
6
Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2011), edisi II, cet I, h. 2.
7
Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), edisi I, cet II, h. 28.
8
Selain itu Lasswell merumuskan formula bahwa politik ialah siapa
memperoleh apa, kapan, dan bagaimana caranya (who, gets what, when, how). Siapa yang melakukan aktivitas politik, apa yang dicapainya dalam aktivitas itu,
serta kapan dan bagaimana cara mencapainya. Aktivitas yang dilakukan oleh
manusia dengan maksud mencapai tujuan bersama pada waktu tertentu bisa
dilakukan dengan cara memanfaatkan pengaruh (influenze), wewenang (authority), kekuasaan (power) atau kekuatan (force). Sejalan dengan Lasswell, Dahl menyebutkan bahwa politik itu adalah aturan, kekuasaan, pengaruh,
wewenang, dan pemerintahan sebagai cakupan politik.9
Adapaun pembahasan mengenai kajian komunikasi politik pada awalnya
berakar pada ilmu politik, meskipun penamaan lebih banyak dikenal dengan
istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922 dengan penelitian dari Ferdinand
Tonnies dan Walter Lippmann yang meneliti tentang opini publik pada
masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Bagehot, Maine, Bycre, dan Graha Wallas
di Inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini publik. Bahkan
ketika Harold D. Lasswell menulis disertasi doktor tentang Propaganda Technique in the World War (1927). Praktik propaganda berkembang terutama menjelang Perang Dunia II ketika Nazi Jerman berhasil melakukan ekspansi dengan
gemilang di bawah propaganda Dr. Joseph Gobbel.10
Komunikasi politik merupakan persilangan antara ilmu politik dan ilmu
komunikasi. Di dalamnya ada proses komunikasi dan proses politik. Pembahasan
9
Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2011), edisi II, cet I, h. 3-4.
10
29
kajian ini berkutat pada proses penyampaian pesan melalui media yang juga
bersifat politis. Sama seperti pesan, media dan saluran politik formal seperti
negara dan lembaga-lembaga politik lainnya juga memiliki kekuatan politik.11 Kendati komunikasi politik merupakan persilangan komunikasi dan politik,
bukan berarti mendefinisikan komunikasi politik cukup dengan menggabungkan
dua definisi, “komunikasi” dan “politik”. Ia memiliki konsep tersendiri, meskipun
secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep tersebut. Komunikasi
politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan
dimensi politik dengan segala aspek dan problematikanya. Kesulitan dalam
mendefinisikan komunikasi politik terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut
pandang terhadap kompleksitas realitas sehari-hari. 12
Ilmuwan komunikasi A. Muis, menjelaskan bahwa istilah komunikasi politik
menunjuk pada pesan sebagai objek formalnya sehingga titik berat konsepnya
terletak pada komunikasi dan bukan pada politik. Pada hakikatnya komunikasi
politik mengandung informasi atau pesan tentang politik. Sedang McNair,
menyebutkan bahwa komunikasi politik adalah komunikasi yang diupayakan
untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu. Kemudian Graber, memandang
bahwa komunikasi politik adalah proses pembelajaram, penerimaan, dan
persetujuan atas kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan, struktur, dan
faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan politik.13
11
Nurani Soyomukti, Komunikasi Politik: Kudeta Politik Media, analisa Komunikasi Rakyat dan Penguasa, (Malang: 2013), cet I, h. 1.
12
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h. 28.
13
Menurut Rush dan Althoff, komunikasi politik adalah transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem politik.14
Adapun Susanto mendefinisikan komunikasi politik sebagai “komunikasi
yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga
masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua
warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama.” Sedangkan dilihat dari
kegunaannya, menurut Kantaprawira, komunikasi politik berguna untuk
“menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran
intra-golongan, institut, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan
sektor pemerintahan.”15
2. Komponen Komunikasi Politik
Komunikasi terjadi ketika seorang pembicara menyampaikan pembicaraannya
kepada khalayak dalam upaya mengubah sikap mereka. Tepatnya, ia
mengemukakan tiga unsur dasar proses komunikasi, yaitu pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener). 16
Fokus komunikasi yang ditelaah Aristoteles adalah komunikasi retoris, yang
kini lebih dikenal dengan komunikasi publik (public speaking) atau pidato. Pada masa itu, seni berpidato merupakan suatu keterampilan penting yang digunakan di
pengadilan dan di majelis legislatur dan pertemuan-pertemuan masyarakat.
14
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h.27.
15
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, h. 30.
16
31
Aristoteles menyadari bahwa semua komunikasi publik melibatkan persuasi maka
ia tertarik menelaah sarana persuasi yang paling efektif dalam pidato.
Salah satu kelemahan model ini adalah bahwa komunikasi dianggap sebagai
fenomena yang statis. Seseorang berbicara kepada khalayak, pesan yang
disampaikan pembicara berjalan ke khalayak lalu khalayak mendengarkan.
Tahap-tahap dalam peristiwa itu berurutan alih-alih terjadi secara simultan. Di samping
itu, model ini juga berfokus pada komunikasi yang bertujuan (disengaja) yang
terjadi ketika seseorang berusaha membujuk orang lain untuk menerima
pendapatnya. 17
Meskipun demikian, kita harus bersikap adil untuk tidak menilai suatu model
komunikasi komunikasi dengan perspektif kekinian. Kita harus menghargai dan
memberi penghormatan kepada Aristoteles yang sudah mengilhami ilmuwan lain
untuk mengembangkan model komunikasi yang lebih baru.
Pada tahun 1948 ilmuwan politik Harold Lasswell mengemukakan suatu
model yang mudah untuk melukiskan suatu tindakan komunikasi ialah dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 18 Siapa?
Mengatakan apa?
Dengan saluran apa?
Kepada siapa?
Dengan akibat apa?
17
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, h. 135-136. 18
a. Komunikator Politik
Komunikator politik dapat dikategorikan sebagai orang yang memberikan
atau menyampaikan pesan politik. Pengategorian ini berangkat dari perspektif
umum bahwa komunikasi politik adalah proses penyampaian pesan politik
dari komunikator politik kepada komunikan politik.
Menurut Harun, komunikator politik dikelompokkan menjadi dua status
yang berbeda, yaitu dalam infrastruktur dan suprastruktur. Adapaun
infrasruktur politik sebagaimana diungkap oleh G. A. Almond dan S.
Coleman, dikualifikasikan ke dalam lima kelompok, yakni (1) partai
politik/parpol (political party), (2) golongan kepentingan (interst group), (3) golongan penekanan (pressure group), (4) tokoh politik (political figure), dan (5) alat-alat komunikasi politik (political communication tools).
Kelima kelompok tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan
politik karena memiliki kemampuan menggerakan masa dan memobilisasi
pendapat umum agar berpihak kepada mereka. Kelompok-kelompok
infrastruktur tersebut merupakan komunikator-komunikator politik yang selalu
berusaha mengembangkan pengaruh untuk mendapatkan dukungan
masyarakat pada waktu terjadi pergesaran atau pergantian elit yang berkuasa
melalui proses pemilihan.19
Sementara, menurut Schudson sebagaimana dikutip Dedy Djamaluddin
Malik (1999: v), Suprastruktur sering juga disebut dengan istilah the governmental political sphere. Pemerintah sebagai suprastruktur dalam
19
33
komunikator politik memiliki tugas menyampaikan atau mengkomunikasikan
hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat dan pemerintaha. Adapun
komunikasi yang dilaksanakan oleh pemerintah (suprastruktur) antara lain
mencakup: pertama seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan warga;
kedua upaya meningkatkan loyalitas dan integrasi nasional; ketiga penerapan
aturan dan perundang-undangan untuk menjaga ketertiban dan kehormatan
dalam hidup bernegera; keempat mendorong terwujudnya partisipasi
masyarakat dalam mencapai tujuan nasional. Lembaga-lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif masuk dalam suprastruktur politi. 20 b. Pesan Politik
Pesan sebagai fenomena yang berjalan pada rute perputarannya pada suatu
saluran yang menghubungkan dua sumber/penerima atau lebih. Menurut
Fisher, suatu pesan ditransformasikan pada titik-titik penyandian dan
pengalihan sandi sehingga pesan merupakan pikiran atau ide pada suatu
tempat pada sistem jaringan syaraf (neurophysiological) dari sumber/penerima. Setelah penyandian terjadi dalam suatu situasi tatap muka,
ditransformasikan ke dalam rangkaian getaran udara dan sinar-sinar cahaya
yang terpantulkan. 21
Dalam proses komunikasi politik pun, pesan politik merupakan komponen
terpenting. Mengacu pada definisi komunikasi politik secara umum, pesan
politik itu adalah pesan yang dibawa oleh komunikator politik, baik dalam
bentuk gagasan, pikiran, ide, perasaan, sikap, maupun perilaku tentang politik
20
Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, (Jakarta, Lasswell Visitama: 2010), cet I, h. 6-7.
yang memengaruhi komunikan politik. Pada dasarnya, menurut Rochajat
Harun dan Sumarno, isi pesan komunikasi politik akan terdiri dari: 22
1) Seperangkat norma yang mengatur lalu lintas transformasi pesan-pesan;
2) Panduan dan nilai-nilai idealis yang tertuju pada upaya mempertahankan
serta melestarikan sistem nilai yang sedang berlangsung;
3) Sejumlah metode dan cara pendekatan untuk mewujudkan sifat-sifat
integratif bagi penghuni sistem;
4) Karakteristik yang menunjukan identitas bangsa; serta
5) Motivasi sebagai dorongan dasar yang memicu pada upaya meningkatkan
kualitas hidup bangsa.
c. Media
Komunikasi massa merupakan sumber utama pesan-pesan politik yang
dipertimbangkan orang dalam menyusun perbuatan politik mereka. Namun,
ada media lain, dan mereka pun harus diperhatikan dalam usaha apa pun untuk
memahami komunikasi politik dan opini publik yang kontemporer. 23
Peran apa yang dimiliki media berita dalam menyajikan bahan mentah
bagi warga negara untuk menciptakan citra politik mereka dan menyusun
perilaku politik mereka. Jika perbuatan politik kita diturunkan dari makna
yang kita berikan kepada objek-objek politik, maka media berita menduduki
posisi yang penting dalam proses komunikasi-opini karena kenyataan bahwa
kita memperoleh begitu banyak informasi politik, langsung dari siaran berita
22
Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, h. 46-47. 23
35
televisi dan dari surat kabar. Apa yang ditetapkan dan disebarkan sebagai
“berita” oleh pers adalah unsur utama dalam penyusunan opini personal.24
d. Komunikan Politik
Menurut Effendy, komunikan memiliki fungsi mengawas sandi (decode) pesan dari komunikator sehingga komunikan disebut decoder. Selain itu, komunikan pun dapat memberikan umpan balik (feedback) sebagai tanggapan atas pesan yang disampaikan kepadanya. Feedback itu dapat berbentuk langsung atau seketika (immediate feedback), misalnya dalam komunikasi antarpesona (face to face communication), atau bisa juga tertunda (delayed feedback), misalnya dalam komunikasi bermedia dengan menggunakan media surat kabar atau majalah, sedangkan menggunakan media elektronik seperti
televisi dan radio sekarang dapat terjadi immediate feedback karena kecanggihan teknologi informasi. Komunikan secara sederhana dapat
diartikan sebagai penerima pesan.25 e. Efek
Efek merupakan “akibat” dari “siapa mengatakan apa dengan saluran apa dengan siapa” tidak ditentukan independen dari proses menetapkan “dengan siapa” dalam rumus Lasswell. Singkatnya, akibat tidak ditentukan terpisah
dari interpretasi: malahan, akibat adalah tindakan interpretatif sinambung yang
diturunkan dari penyusunan opini personal, sosial dan politik.26
24
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, h. 18. 25
Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktik, (Simbiosa Rekatama Media, Bandung : 2010), cet I, h. 48.
26