ANALISIS DA
DI KABUPAT
DEPA
FAKULTAS
INSTIT
AYA SAING UBI JALAR CILEMBU
ATEN SUMEDANG JAWA BARAT
SKRIPSI
ANA HOERIDAH H34086006
PARTEMEN AGRIBISNIS
S EKONOMI DAN MANAJEMEN
ITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011RINGKASAN
ANA HOERIDAH. Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan TINTIN SARIANTI).
Dalam struktur perekonomian Indonesia, sektor pertanian sangat berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi sektor ersebut tidak dipersiapkan untuk bersaing dengan negara lain. Berdasarkan data dari global competitiveness report Tahun 2010-2011, daya saing global Indonesia berada pada urutan 44 tetapi Indonesia masih berada pada tahapfactor drivenke efficiency driven. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia belum bisa mencapai efisiensi, terutama pada produk-produk pertanian seperti ubi jalar yang masih banyak diekspor dalam keadaan segar sehingga menyebabkan harga jual menjadi rendah.
Indonesia berpotensi untuk budidaya ubi jalar dikarenakan sumber daya alam yang melimpah yang bisa menghasilkan ubi berkualitas baik. Pada Tahun 2009, Jawa Barat merupakan sentra produksi dan memiliki dua Kabupaten yang bisa menghasilkan ubi yang dipasarkan ke luar negeri. Ubi Cilembu merupakan komoditi unggulan yang telah diekspor ke Malaysia, Singapura, Jepang dan Hongkong.
Berdasarkan sembilan indikator utama daya saing daerah, pengusahaan ubi Cilembu memiliki lima kendala dan empat peluang. Kendala tersebut diantaranya teknologi, kebijakan pemerintah daerah, perekonomian daerah, manajemen, dan sistem keuangan sedangkan peluang yang ada adalah pasar yang terbuka lebar (ekspor), sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan. Berkaitan dengan peluang dan kendala, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) dan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang.
Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan secara sengaja (purposive sampling) dan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2011. Metode pengambilan responden dilakukan secara sengaja sebanyak 50 orang dan memenuhi kriteria, memiliki lahan sendiri, melakukan usahatani ubi lebih dari lima tahun, dan merupakan anggota kelompok tani. Terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu menggunakan alat analisis yang sama yaitu Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis sensitivitas. Sedangkan perbedaannya adalah produk, tujuan ekspor dan lembaga pemasaran.
v Cilembu, bisa membiayai input domestik pada harga privat dan nilai DRC menunjukkan secara ekonomi efisien bila diproduksi di dalam negeri.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari indikator TO dan NPCO. Nilai TO yang diperoleh yaitu negatif (Rp -6.605,00) menunjukkan bahwa tidak ada subsidi pemerintah terhadap ubi Cilembu misalnya anggaran untuk meningkatkan produksi sehingga harga produsen lebih rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Nilai NPCO yang didapat yaitu 0,29 sehingga kebijakan yang ada tidak menambah penerimaan untuk petani.
Kebijakan terhadap input menilai indikator TI, NPCI dan TF. Nilai TI yang diperoleh yaitu negatif Rp 157,00 menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap inputtradable contohnya pupuk Urea, SP-36 dan KCL, sehingga petani membeli lebih murah dari harga yang seharusnya. Nilai NPCI yang diperoleh adalah 0,52 mengindikasikan bahwa pemerintah bersifat protektif terhadap pupuk. Sedangkan TF yang diperoleh yaitu Rp 67,00 terjadi subsidi negatif, artinya petani membayar lebih mahal input bibit, pupuk kandang, tenaga kerja dan lahan.
Kebijakan yang terakhir adalah kebijakan secara keseluruhan yaitu input-output yang dapat ditunjukkan dengan indikator EPC, TB, PC dan SRP. Nilai EPC adalah 0,28 sehingga kebijakan pemerintah belum melindungi produsen domestik secara efektif dan menyebabkan tidak ada surplus produsen. Hal ini dapat terlihat dari indikator TB yang negatif Rp 6.515,00 dan PC 0,14. Nilai SRP yang diperoleh adalah negatif 0,70 menyebabkan petani mengeluarkan biaya lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi.
ANALISIS DAYA SAING UBI JALAR CILEMBU
DI KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT
ANA HOERIDAH H34086006
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
vii Judul Skripsi : Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten
Sumedang Jawa Barat
Nama : Ana Hoeridah
NIM : H34086006
Menyetujui, Pembimbing
Tintin Sarianti, SP, MM. NIP. 19750316 2005 01 2 001
Mengetahui
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 1984 03 1 002
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak ditertibkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 18 April 1987. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Apud Ropana dan Ibunda Nenah.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Mandalaherang I pada tahun 1999 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN I Cimalaka. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN I Sumedang diselesaikan pada tahun 2005.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi atas Rahmat, Hidayah, dan KaruniaNya, penulis dapatmenyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat”.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif serta kebijakan pemerintah terhadap Agribisnis ubi Cilembu di Desa Cilembu (Kecamatan Pamulihan) dan Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong).
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dikarenakan kendala dan keterbatasan dalam hal penyampaian informasi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
xi
UCAPAN TERIMAKASIH
Penyelesain skripsi ini tidak terlepas dari dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak, dengan demikian penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Tintin Sarianti, SP.MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan waktu yang telah diberikan selama penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Heni K Daryanto, MEc dan Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen penguji pada ujian sidang yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi.
3. Ir. Popong Nurhayati, selaku dosen evaluator. 4. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis.
5. Orangtua dan keluarga tercinta untuk dukungan dan doa yang diberikan. Semoga bisa menjadi kebanggaan untuk kita semua.
6. Suami tercinta dan Keluarga besar Ibrahim Siauta.
7. Petani Cilembu dan Nagarawangi atas kerjasamanya dalam memberikan informasi yang bermanfaat dalam penyelesain skripsi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Manfaat Penelitian ... 11
II TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis ... 12
2.2 Perkembangan Alat Analisis Daya saing ... 14
2.3 Kebijakan Subsidi Pupuk ... 15
2.4 Penelitian Tentang Ubi Jalar Cilembu ... 16
III KERANGKA PEMIKIRAN ... 18
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 18
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 24
IV METODE PENELITIAN ... 26
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26
4.2 Jenis dan Sumber Data ... 26
4.3 Metoda Pengambilan Sampel ... 27
4.4 Metoda dan Prosedur Analisis ... 27
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 35
5.1 Letak Geografis ... 35
5.2 Jenis Tanah ... 35
5.3 Iklim ... 36
5.4 Penduduk ... 36
5.5 Penggunaan Lahan di Kabupaten Sumedang ... 36
5.6 Komoditas Unggulan dalam Skala Optimistik Agribisnis ... 37
5.7 Desa Penghasil Ubi Jalar ... 38
VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40
6.1 Struktur Penggunaan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan ... 40
6.2 Analisis Daya saing Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang ... 46
6.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ... 49
VII ANALISIS SENSITIVITAS ... 53
7.1 Terjadi Perubahan Upah Tenaga Kerja ... 53
7.2 Terjadi Perubahan Jumlah Produksi ... 54
xi Halaman
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
8.1 Kesimpulan ... 57
8.2 Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Konsumsi Rata-rata per Kapita (Kg) Beberapa Bahan Pangan
Tahun 2008 dan 2009 ... 3
2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi
Tanaman Ubi Jalar Provinsi Jawa Barat ... 3
3. Varietas Unggul Ubi Jalar yang telah Dilepas oleh Pemerintah
Tahun 1977-2003 ... 4
4. Luas panen, Produktivitas, Produksi Ubi Jalar
di Kabupaten Sumedang tahun 2010 ... 7
5. Pendekatan Model Organisasi ... 20
6. Jenis Data dan Sumber yang digunakan dalam penelitian ... 26
7. PerhitunganStandard ConvertionFaktor dan
Shadow Price Exchange RateTahun 2006-2010 (milyar rupiah) ... 30
8. Teori Matrik Analisis Kebijakan (Pilicy Analysis Matrix) ... 32
9. Jumlah Petani dan Tenaga Kerja Pertanian di Kabupaten Sumedang 36
10. Penggunaan Lahan di Kabupaten Sumedang Tahun 2010 ... 37
11. Kondisi Kawasan Agribisnis Padi dan Palawija
Kabupaten Sumedang Tahun 2009-2013 ... 37
12. Perbandingan Potensi Desa Cilembu Tahun 2010 ... 38
13. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Privat Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha) ... 42
14. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Sosial Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha) ... 45
15. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Ubi Jalar Cilembu
di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/kg Ubi Jalar) 46
16. Indikator-Indikator Analisis PAM pada Pengusahaan
xiii
Nomor Halaman
17. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi
Perubahan Harga Tenaga Kerja ... 53
18. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi
Perubahan Jumlah Produksi 50 persen ... 54
19. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Indikator Utama atau Makro Penentu Daya Saing Daerah ... 8
2. Kerangka Operasional Analisis Daya saing Ubi Jalar ... 25
3. Stek Pucuk (Bibit) Ubi Cilembu ... 28
4. Pupuk yang digunakan dalam Usahatani Ubi Cilembu ... 29
5. Insekstisida yang digunakan dalam Usahatani Ubi Cilembu ... 29
6. Pemanenan yang dilakukan oleh Tenaga Kerja Pria dan Wanita ... 41
7. Pencucian Ubi Cilembu ... 43
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
Tanaman Ubi Jalar Seluruh Provinsi Tahun 2009 ... 62 2. Deskripsi Varietas Ubi Jalar Cilembu ... 64 3. Ubi Cilembu Berdasarkan Grade ... 66 4. Tabel PAM Pengusahaan Ubi Jalar bila terjadi
perubahan upah tenaga kerja ... 67
5. Tabel PAM Pengusahaan Ubi Jalar bila terjadi
perubahan jumlah produksi ... 68
6. Tabel PAM Pengusahaan Ubi Jalar bila terjadi
I PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangDalam struktur perekonomian Indonesia, sektor pertanian sangat berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi pada kenyataannya, sektor tersebut tidak dipersiapkan untuk dapat bersaing dengan negara lain. Pada tahun 2010, pertumbuhannya hanya sekitar 3 persen, lebih rendah dari sektor pengangkutan dan komunikasi (12 persen), perdagangan (9 persen), dan jasa (4,9 persen), padahal sektor tersebut diperlukan untuk mendukung sektor lain sebagai bahan baku.
Berdasarkan data dari global competitiveness report Tahun 2010-2011, daya saing global Indonesia berada pada urutan 44 yang pada tahun sebelumnya berada pada peringkat 54. Walaupun ada peningkatan peringkat tetapi Indonesia masih berada pada tahap factor driven ke efficiency driven. Transisi tersebut menegidikasikan bahwa Indonesia, sudah memperbaiki sistem pemerintahan, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan, tetapi belum mengoptimalkan pilar pendidikan yang tinggi, efisiensi pasar barang, tenaga kerja, pembangunan pasar finansial, perluasan pasar dan teknologi1.
Pentingnya daya saing dalam perdagangan internasional, dikarenakan adanya peluang pasar dan globalisasi yang bisa mengakibatkan negara-negara baru bersaing satu sama lain. Apabila suatu negara tidak bisa meningkatkan daya saing, maka produk-produk impor menjadi semakin banyak dan akan mempengaruhi perekonomian nasional.
Kondisi daya saing produk-produk pertanian di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Jepang, Singapura dan Cina. Indonesia masih mengekspor produk pertanian dalam bentuk segar sehingga harga jualnya rendah dan tidak bisa bersaing dengan produk olahan yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
2 Ubi Jalar merupakan salah satu produk pertanian yang telah diekspor dalam bentuk segar maupun pasta. Indonesia memiliki lahan yang luas dan cocok untuk ditanami ubi jalar, tetapi permasalahan yang ada terkait dengan daya saing, jumlah produk bukan merupakan parameter tetapi kualitas produk yang lebih diutamakan.
Peningkatan kualitas dapat dicapai melalui Standarisasi Produk Nasional dengan menggunakan logo SNI pada setiap produk yang dipasarkan di dalam dan di luar negeri (diekspor), logo SNI untuk ubi jalar adalah SNI 01-4493-19982. Salah satu kebijakan yang telah direalisaikan yaitu dengan melakukan akreditasi terhadap Laboratorium penguji Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) untuk mendapatkan jaminan tertulis tentang mutu suatu produk.
Berdasarkan Nutrition Action Health letter, USA, ubi jalar menempati rangking satu dari 58 jenis sayuran sehingga disebut Sweet Potatoes is The King of Vegetables dan menurut WHO, ubi jalar mengandung vitamin A empat kali lebih tinggi dari wortel dan mengandungbeta carotensertaantociamin3.
Indonesia berpotensi dalam pengembangan ubi jalar yang dapat dijadikan komoditi unggulan pada setiap wilayah yang mengindikasikan setiap propinsi bisa membudidayakan komoditi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Peningkatan produksi tidak diimbangi dengan rata-rata konsumsi per kapita yaitu hanya 2,064 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan beras 84,24 kg/kapita/tahun sebagai makanan pokok. Menurut data BPS (2009), konsumsi pangan dari tahun 2008-2009 mengalami penurunan rata-rata sebesar 1 persen dapat dilihat pada Tabel 1.
2SNI penguat Daya Saing Bangsa. http://docs.google.com/.
3
Tabel 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita (Kg) Beberapa Bahan Pangan Tahun 2008 dan 2009
Jenis Bahan Makanan 2008 2009
Beras Lokal/Ketan
86,256 84,24
Jagung basah dengan kulit
1,152 0,576
Ketela pohon
7,056 5,088
Ubi Jalar
2,448 2,064
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (diolah)
Pada tahun 2009, Jawa Barat merupakan propinsi sentra produksi ubi jalar di Indonesia yang memiliki produksi terbesar yaitu 469.646 ton dengan luas panen 33.387 ha dan produktivitas 140,67 ku/ha. Menurut data badan pusat statistik luas panen dan produksi ubi jalar di Jawa Barat berfluktuasi tiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Ubi Jalar Provinsi Jawa Barat
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)
2006 29.805 130,53 389.043
2007 28.096 133,73 375.714
2008 27.252 138,15 376.490
2009 33.387 140,67 469.646
2010 30.071 143,32 430.969
Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)
4 Tabel 3. Varietas Unggul Ubi Jalar yang telah di lepas oleh Pemerintah Tahun
1977-2003
No Varietas Tahun Pelepasan Rata-rata hasil (Ton/Ha)
Umur (Bln)
1 Daya 1977 23 4
2 Borobudur 1981 25 3,5-4
3 Prambanan 1982 28
-4 Muara Takus 1995 30-35 4-4,5
5 Mendut 1989 35 4
6 Kalasan 1991 40 2-3,5
7 Cangkuang 1998 30-31 4-4,5
8 Sewu 1998 28,5-30 4-4,5
9 Cilembu 2001 20 6-7
10 Sari 2001 30-35 3,5-4
11 Boko 2001 25-30 4-4,5
12 Sukuh 2001 25-30 4-4,5
13 Jago 2001 25-30 4-4,5
14 Kidal 2001 25-30 4-4,5
15 Shiroyutaka 2003 25-30 4-4,5
Sumber : Hilman, Yusdar, dkkdalamJafar (2004)
Jawa Barat memiliki dua Kabupaten sebagai sentra produksi ubi Jalar, yaitu Kuningan dan Sumedang. Di Kuningan para petani menanam varietas AC dan Bogor yang diekspor ke Jepang dan Korea dalam bentuk pasta, sedangkan di Sumedang memiliki komoditi unggulan yaitu Cilembu yang telah diekspor ke Jepang, Singapura, Hongkong, dan Malaysia. Sejak Tahun 2003, pengembangan ubi Cilembu dilakukan di Kabupaten Bandung, Cianjur, Purwakarta dan Sukabumi.
mempertahankan kualitas ubi tersebut supaya bisa bersaing dengan varietas lain baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Potensi daya saing dapat ditingkatkan melalui program OVOP (one village one product) yang berarti satu daerah satu produk. Program tersebut merupakan kerjasama antara Kementrian Koperasi dengan berbagai Usaha Kecil Menengah (UKM) sejak tahun 2008 setelah ada kebijakan penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78 tahun 2007 tentang penerapan pendekatan OVOP untuk pengembangan IKM.
Program OVOP adalah program yang diarahkan untuk menghasilkan satu jenis komoditi unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu yang berarti suatu desa. Adapun unsur-unsur yang melatarbelakangi adanya program tersebut adalah adanya kesesuaian potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, permodalan yang memadai, pemanfaatan teknologi, dan dukungan pemerintah untuk menjadikan suatu daerah sebagai penghasil produk berbasis lokal namun berdaya saing global.
Ubi Cilembu merupakan varietas yang paling rendah produktivitasnya dibandingkan dengan varietas lain, tetapi apabila dilihat dari segi ekonomi, ubi Cilembu memiliki harga jual yang tinggi. Di Jawa Barat, Ubi Cilembu mentah di tingkat pedagang besar seharga Rp 5.000,00-6.000,00 sedangkan untuk varietas AC dan Bogor hanya seharga Rp 2.400,00. Harga yang lebih tinggi, dikarenakan ubi Cilembu sudah terkenal di domestik dan luar negeri serta memiliki brand tersendiri yang menjadi nilai jual.
Daerah pemasaran domestik meliputi Pulau Jawa, Bali dan Sumatera, biasanya ubi Cilembu digunakan sebagai bahan baku industri untuk diolah menjadi makanan seperti keripik, tape, dodol, keremes, selai, saus, tepung, aneka kue, mie, es krim dan sirup, sedangkan di luar negeri dipasarkan di Jepang dijadikan sebagai bahan pangan tradisional, diolah menjadi ethanol, bahan baku kosmetik dan minuman khas Jepang shake serta di Malaysia diolah dengan cara dioven.
6 lemak 0,7 persen, gula total 14,16 persen, sukrose 8,47 persen, vitamin C 80 mg, riboflavin 0,4 mg, niacin 0,6 mg, dan tanin 0,1 mg/100 gram4.
Sebagai varietas unggul, ubi Cilembu sangat disukai oleh pelaku usahatani maupun konsumen dan menduduki peringkat teratas pesanan internasional seperti Jepang, Korea, dan Malaysia. Negara yang menjadi importir yaitu Jepang dengan mengimpor 15 ton per dua minggu, sedangkan untuk negara Singapura dan Vietnam masih dalam tahap penjajakan5.
Tetapi pada tahun 2010, ekspor ke Singapura sebanyak 10 ton dan Hongkong 4 ton per dua minggu telah direalisasikan. Dengan adanya pasar yang terbuka lebar bisa menjadi peluang untuk menjadikan ubi Cilembu sebagai komoditi daerah yang bisa bersaing di pasar internasional guna menambah pendapatan daerah setempat maupun sebagai devisa negara.
1.2 Perumusan Masalah
Ubi Cilembu merupakan komoditi unggulan di Kabupaten Sumedang, dan terdapat dua Desa yang menjadi sentra produksi Ubi Cilembu yaitu Cilembu (Kecamatan Pamulihan) dan Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong). Dua desa tersebut mempunyai luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar pada Tahun 2010 yang paling besar diantara 10 kecamatan lainnya.
Produktivitasnya bisa mencapai 14 ton/Ha, dengan produksi 3 ton dan luas tanam rata-rata 2.300 Ha. Sehingga dua desa tersebut mengindikasikan bahwa keadaan tanah dan iklimnya lebih cocok dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Selain itu, menanam ubi jalar sudah menjadi aktivitas secara turun-temurun, sehingga lebih banyak pengalaman yang didapatkan oleh petani yang berpengaruh terhadap jumlah produksi.
4Dwi Wiyana dan Rana Akbari. 24 Desember 2004. Ubi Cilembu Naik Pamor.
Tempo.http://www.arsip.net/id/link.php?lh
5
Tabel 4. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang Tahun 2010
Kecamatan Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha)
Produksi (Ton)
Sumedang Selatan
168 123,21 2.070
Sumedang Utara 85 13,68 1.163
Cimalaka 45 13,27 597
Tanjungsari 188 12,59 2.267
Sukasari 60 14,22 853
Rancakalong 222 13,69 3.079
Pamulihan 230 14,22 3.225
Situraja 87 13,29 1.156
Wado 43 12,33 530
Jatinunggal 64 12,19 780
Sumber : Dinas Pertanian Sumedang (2010)
Ubi Cilembu bersifat spesifik lokasi sehingga mengindikasikan bahwa kedua desa tersebut memiliki keunggulan sumberdaya alam. Pola tanam yang dilakukan adalah padi-ubi jalar, karena jenis sawahnya adalah tadah hujan. Lahan yang baik ditanami ubi jalar adalah sawah. Ubi jalar biasanya ditanam pada musim kemarau, dikarenakan pada musim hujan, kadar air menjadi lebih banyak dan mengakibatkan rasa ubi cilembu menjadi pahit serta banyaknya hama dan cacing yang bisa mengakibatkan produksi menjadi turun.
8 Daya saing berbasis potensi daerah memiliki indikator utama dan spesifik, indikator utama merupakan indikator makro yang melibatkan semua pihak baik pemerintah daerah, swasta dan lembaga sosial, serta pihak-pihak yang berperan dalam pertumbuhan perekonomian daerah. Menurut Sumihardjo (2008), setiap indikator dan sub indikator dalam implementasinya memerlukan pengelolaan yang terintegrasi, terencana, konsisten dan berkesinambungan. Terdapat sembilan indikator makro penentu daya saing daerah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Indikator Utama atau Makro Penentu Daya Saing Daerah
Sumber : Pusdik dan Studi Kebank-sentralan BI – 2002 : 16 diacu dalam Sumihardjo(2008)
Indikator tersebut bisa tercapai jika ada suatu kerjasama yang baik antara pihak pemerintah dan masyarakat dalam memanfaatkan potensi yang ada misalnya dalam hal sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, kelembagaan, dan kebijakan pemerintah yang lebih bisa mempromosikan produknya ke luar negeri (ekspor) yang akhirnya bisa meningkatkan perekonomian daerah.
Terdapat lima kendala dan empat peluang dalam pengusahaan ubi Cilembu berdasarkan indikator utama tersebut diantaranya ilmu pengetahuan dan teknologi
Sistem Keuangan Keterbukaan
Perekonomian Daerah
Ilmu pengetahuan dan teknologi Infrastuktur dan
sumber daya alam
Daya saing daerah
Kelembagaan Governancedan
kebijakan pemerintah Sumberdaya manusia
sangat diperlukan untuk menjadikan ubi Cilembu sebagai komoditi unggulan Kabupaten Sumedang yaitu dengan menemukan alat untuk mengatasi hama lanas. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut telah dikaji oleh Institut Pertanian Bogor, tetapi petani tidak bisa mengaplikasikannya dikarenakan biaya untuk mengadopsi teknologi tersebut sangat mahal, sehingga diperlukan peran pemerintah untuk membantu dalam hal pendanaan yang bisa dilihat dari indikator sistem keuangan suatu daerah yang harus lebih memperhatikan pelayanan publik.
Adanya bantuan pada saat pasca-panen pun harus diperhatikan karena belum adanya mesin pembersih dan pendingin. Mesin pembersih dibutuhkan untuk membersihkan kotoran ubi sebanyak 2 ton per hari hanya dua jam sedangkan dengan tenaga manusia memerlukan 10 tenaga kerja per hari. Mesin pendingin dengan suhu 12-130C diperlukan untuk menyimpan ubi cilembu agar tahan 3 bulan untuk menghindari dari serangan hama dan ada kekhasan yang dimiliki ubi Cilembu yaitu rasa ubi akan lebih manis jika setelah panen disimpan dahulu 5-7 hari.
Berdasarkan indikator perekonomian daerah, PDRB Kabupaten Sumedang berdasarkan lapangan usahanya Tahun 2010, didominasi oleh tiga lapangan usaha yaitu perdagangan, hotel, restoran (26,00 persen), industri pengolahan (24,07 persen) dan sektor pertanian (21,71 persen) diantaranya perkebunan (4,05 persen), tanaman bahan makanan (1,66 persen), peternakan (0,72 persen), perikanan (0,11) dan kehutanan (0,53). Tetapi pada kenyataannya, kebijakan terhadap bahan makanan (ubi Cilembu) tidak ada padahal sektor tersebut dapat menjadi keunggulan daerah Kabupaten Sumedang.
10 sehingga bisa menjadi peluang untuk menambah pendapatan daerah dan kesejahteraan petani menjadi meningkat.
Berkaitan dengan sumeberdaya manusia, penduduk Cilembu dan Nagarawangi bermata pencaharian sebagai petani yaitu 744 orang (15 dan 20 persen) dari Pegawai Negeri Sipil serta pegawai lainnya yang kurang dari 5 persen. Kelembagaan yang dimiliki Desa Cilembu yaitu dua kelompok tani yaitu Kelompok Tani Sawah Lega dan Harapan Mulya. Lembaga pemasaran ubi Cilembu terdiri dari petani – pedagang pengumpul – pedagang besar atau eksportir. Dengan adanya semua lembaga pemasaran terdapat di desa Cilembu bisa menjadikan informasi tentang harga maupun kualitas produk bisa lebih transparan. Sedangkan untuk indikator sumberdaya alam sangat mendukung dan cocok untuk usahatani ubi Cilembu, sehingga bisa menghasilkan ubi dengan kualitas yang terbaik.
Berdasarkan informasi, harga ubi Cilembu di tingkat petani adalah Rp 2.500,00 per kg, tengkulak Rp 5.000,00 per kg, dan di kios Rp 10.000,00 per kg. Sedangkan ubi yang sudah dioven berkisar antara Rp 13.000,00 per kg. Di supermarket Jepang, ubi Cilembu dijual dengan harga Rp 75.000,00 per kg, sedangkan di Singapura dijual dengan harga Rp 150.000,00/kg.
Di tingkat pedagang pengumpul dilakukan grading menjadi 3 tingkatan berdasarkan berat diantaranya grade A yang memiliki berat 500 gr per buah dengan harga Rp 3.500,00 per kg,gradeB 250 gr/buah dengan harga Rp 2.000,00 per kg dan grade C 125 gr per buah dengan harga Rp 1.000,00 per kg untuk pemasaran domestik, sedangkan untuk pemasaran ekspor ke Jepang memiliki berat antaragradeA dangradeB, dengan kulit tanpa bercak, terhindar dari hama dan penyakit, berbentuk lurus, dan matang sedangkan untuk pemasaran ke Malaysia berbentuk umbi basah (segar), dilakukan grading berdasarkan ukuran S (170 gram) dengan harga Rp 5.000,00, L (300 gram), dan XL (500 gram) harganya Rp 7.500,00 (Lampiran 3). Perbedaan harga antara penjualan domestik dan ekspor, bisa menjadikan kesempatan kepada petani supaya lebih bisa mempertahankan kualitas produk sesuai dengan permintaan konsumen.
Cilembu. Daya saing bisa dilihat dari keunggulan yang dimiliki baik komparatif maupun kompetitif dan pengaruh kebijakan suatu negara terhadap keberlanjutan pengusahaan ubi Cilembu baik insentif maupun disinsentif yang akan menentukan efektivitas, efisiensi dan kelayakan suatu usaha. Adapun perumusan masalah yang bisa dianalisis dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang?
2. Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap daya saing pengusahaan ubi jalar?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis daya saing pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang. 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan ubi
Cilembu.
1.4
Manfaat Penelitian1. Petani lebih mengetahui keunggulan ubi Cilembu, bukan hanya dari produk tetapi pemasarannya.
12
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis
Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun 2000, sistem pertanian terus disempurnakan sehingga menjadi sebuah sistem agribisnis yang terintegrasi antara industri hulu, usahatani, industri hilir dan jasa pendukung. Hal ini berkaitan dengan Indonesia merupakan produsen terbesar untuk beberapa komoditas primer, tetapi belum memiliki kemampuan bersaing (Sudaryanto dan Adnyana, 2002)6.
Sistem agribisnis sangat berkaitan dengan kemampuan bersaing, Suryana (2002) berpendapat bahwa setiap subsistem harus berdayasaing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi sehingga terwujud secara nyata dan konkrit pada skala ekonomi di lapangan7.
Berdayasaing memiliki ciri berorientasi pasar, sehingga memperluas pangsa pasar (internasional), mengandalkan produktivitas dan nilai tambah yang didukung dengan pemanfaatan modal, teknologi dan kreativitas sumberdaya manusia sehingga tidak mengandalkan sumberdaya yang melimpah dan tenaga kerja tidak terdidik.
Berkerakyatan adalah mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki sehingga nilai tambah yang dihasilkan bisa dinikmati oleh orang banyak dan menjadi pelaku utama dalam kegiatan agribisnis.
Berkelanjutan dicirikan dengan kemampuan merespon perubahan pasar dengan cepat dan efisien, memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup sehingga berorientasi jangka panjang.
Terdesentralisasi yaitu memiliki basis pendayagunaan keragaman sumberdaya lokal, sehingga kreativitas pelaku ekonomi daerah tersebut menjadi terpacu untuk meningkatkan kesejahteraan yang didukung oleh pemerintah daerah.
6 Bachrein, S. 2006. Penelitian Sistem Usaha Pertanian Indonesia. Analisis
Kebijakan Pertanian Volume 4 Nomor 2, Juni 2006.
Pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang, sistem pertaniannya belum terintegrasi dengan baik. Pada industri hulu, hanya bisa memasok bahan baku berupa bibit, tetapi input lainnya seperti pupuk, masih dikendalikan oleh pemerintah dengan menggunakan pupuk bersubsidi dan insektisida yang tidak disubsidi. Alat-alat pertanian pun seperti sprayer masih menggunakan produk impor, sedangkan untuk cangkul, sabit dan parang sudah diproduksi di dalam negeri.
Usahatani ubi Cilembu, pengelolaannya masih tradisional, dengan lahan yang sempit, dan teknologi yang masih terbatas. Lahan yang dimiliki berkisar antara 1400 m2 – 7.000 m2, sedangkan untuk lahan yang lebih dari satu hektar, para petani menyewa per musim. Sehingga bisa mengurangi keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Pada industri hilir, lembaga pemasaran untuk domestik yang ada pada usahatani Ubi Cilembu yaitu petani-pedagang pengumpul-pedagang besar-pedagang eceran-konsumen, dan berdasarkan informasi dari besar-pedagang besar, margin harga yang paling besar berada pada pedagang eceran atau kios. Harga di tingkat petani Rp 2.500,00 (7 persen), pedagang pengumpul Rp 3.500,00 dan pedagang besar Rp 5.000,00 (14 persen) serta pedagang eceran Rp 10.000,00 (50 persen) per kilogram. Margin yang terlalu besar di tingkat pengecer mengakibatkan keuntungan yang diperoleh tidak merata dan merugikan petani. Kios untuk pemasaran Cilembu sangat banyak di Cadas Pangeran dan lokasi tersebut dekat dengan tempat usahatani, sehingga biaya transportasi tidak terlalu besar.
Sedangkan untuk pemasaran tujuan ekspor, lembaga pemasaran yang terbentuk yaitu petani- pedagang besar atau eksportir-konsumen. Harga di tingkat petani yaitu Rp 2.000,00 dan di tingkat eksportir yaitu Rp 7.500,00 per kilogram. Perbedaan harga yang tinggi dikarenakan petani hanya berperan untuk menanam, sedangkan panen, transportasi, pencucian, sortasi, grading serta pengepakan oleh eksportir.
14 pelabuhan Tanjung Priuk, sedangkan untuk masalah transportasi (Kapal Laut) ke negara Malaysia menjadi tanggung jawab importir. Sedangkan untuk ekspor tidak langsung, melalui agen ekspor yaitu Perusahaan Bona Vista. Pedagang besar di Cilembu hanya melakukan pengemasan ke dalam keranjang bambu, dan perusahaan tersebut melakukan pengemasan sendiri dan diberi logo perusahaan pada kemasan serta mengekspor dengan produk-produk lain seperti sayuran maupun sabut kelapa.
Jasa pendukung misalnya Bank, sebagai penyedia modal untuk petani, tidak dimanfaatkan oleh petani. Padahal dengan adanya Bank, maka petani bisa meningkatkan produksinya. Tetapi birokrasi yang terlalu rumit dan lama, menyebabkan petani tidak meminjam modal dari Bank. Koperasi yang terbentuk di Desa Cilembu, yaitu Koperasi Wanita Tani belum mampu mengolah ubi Cilembu menjadi makanan yang memiliki nilai jual tinggi hanya mengolah menjadi dodol atau keripik dan dipasarkan hanya sekitar Kabupaten Sumedang.
Setiap subsistem dalam pengusahaan ubi Cilembu belum berdayasaing, masih menggunakan tenaga kerja tidak terdidik dan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang melimpah, walaupun sudah memperluas pemasarannya (ekspor). Informasi pasar tentang kualitas produk dan harga masih dikuasai oleh pedagang besar, sehingga petani hanya bersifat menerima harga (price taker). Kebijakan pemerintah belum mendukung sepenuhnya, terutama anggaran untuk pengembangan usahatani ubi Cilembu sehingga belum terdesentralisasi antara lembaga pemasaran yang terkait dengan pemerintah.
2.2 Perkembangan Alat Analisis Daya Saing
Metoda PAM mengidentifikasi tiga analisis secara keseluruhan yaitu keuntungan privat, keuntungan sosial atau finansial, analisis daya saing dan dampak kebijakan. Analisis sensitivitas digunakan untuk mereduksi kelemahan karena PAM bersifat statis, sedangkan dalam kenyataan terdapat beberapa perubahan atau kesalahan dalam perhitungan biaya atau manfaat.
Penelitian dengan menggunakan metoda PAM dan analisis sensitivitas telah digunakan oleh beberapa peneliti dengan komoditi yang berbeda-beda dan menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada komoditi ubi jalar (Juarsa, 2008), pepaya di Desa Nagrak (Permana, 2007) dan manggis di Kecamatan Guguk (Irawadi, 2007) didapatkan bahwa analisis daya saing ketiga komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang menunjukkan bahwa pengusahaannya efisien secara finansial dan ekonomi.
Terdapat perbedaan pada dampak kebijakan input dan output pada komoditi manggis yang menunjukkan bahwa transfer bersih bernilai positif mengindikasikan distorsi pasar terhadap input dan output bersifat melindungi petani seperti kemudahan dalam pemasaran hasil. Sedangkan pada komoditi ubi jalar dan pepaya bernilai negatif yang mengindikasikan kebijakan pemerintah tidak bersifat melindungi petani. Hal ini dikarenakan kebijakan belum efektif terhadap kedua komoditi sehingga tidak memberikan dampak positif untuk pengusahaannya. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah mengenai perubahan terhadap harga output, input, nilai tukar, serta analisis gabungan dan hasilnya tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
2.3 Kebijakan Subsidi Pupuk
16 Pada tahun 2000, terjadi peningkatan harga gas, sehingga pada tahun 2001, pemerintah kembali memberikan subsidi dalam bentuk insentif gas domestik (IGD) sebagai bahan baku untuk produksi pupuk Urea walaupun jumlah nya tidak terlalu besar (PSEKP 2005).
Tahun 2003 harga pupuk dunia menjadi meningkat, sehingga pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi, tidak hanya untuk pupuk Urea, tetapi untuk pupuk lainnya seperti SP-36, ZA dan NPK. Subsidi gas dinilai tidak efisien karena lebih tinggi harga pupuk eceran dibandingkan dengan HET, volume penyaluran tidak dapat dipastikan dan tidak tegasnya wilayah tanggung jawab distribusi. Dengan adanya ketidakefisienan tersebut, maka pada tahun 2006, mekanisme pupuk berubah menjadi subsidi harga (PSEKP 2006).
Kebijakan ini berawal dari adanya peraturan Presiden RI Nomor 77 tahun 2005 tentang pengawasan yang meliputi pengadaan dan penyaluran (jenis, jumlah, mutu, wilayah dan waktu). Harga eceran tertinggi (Rp/kg) untuk pupuk Urea Rp 1.200,00, SP-36 Rp 1.550,00, ZA Rp 1.050,00, NPK Phonska Rp 1.750,00 dan pupuk organik Rp 500,00. Subsidi ditujukan untuk petani tanaman pangan, hortikultura, dan pekebun rakyat.
Pada tahun 2008, Kebijakan baru Permentan Nomor 42 memberikan bantuan langsung, jumlah dan alokasi terdiri dari 41.796,5 ton pupuk NPK, 835.930,5 liter pupuk organik cair dan 125.389,5 ton pupuk organik padat.
Walaupun ada kebijakan baru bantuan langsung, bantuan pemerintah terhadap petani Ubi Cilembu masih menggunakan kebijakan Tahun 2005 yaitu menggunakan harga eceran tertinggi (HET) dan penyaluran pupuk bersubsidi di untuk Kecamatan Rancakalong dan Pamulihan pada tahun 2010 masing-masing sebanyak 1.072 dan 616,50 ton Urea, 189 dan 91 ton SP-36, 206 dan 150 ton KCL, 524 dan 377 ton NPK Phonska.
2.4 Penelitian Tentang Ubi Jalar Cilembu
Timur, Yogyakarta, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Menurut Surono (1999), tingginya vektor disebabkan faktor permintaan dan produktivitasnya tinggi serta indikator-indikator keunggulan komparatif relatif baik.
Dengan adanya potensi tersebut, penelitian terhadap analisis daya saing ubi jalar Cilembu sebagai komoditi unggulan daerah Sumedang, Jawa Barat sangat penting dilakukan. Pada tahun 2007, Juarsa melakukan penelitian tentang daya saing ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Terdapat persamaan dengan penelitian sebelumnya yaitu menggunakan metoda PAM dan sensitivitas, sedangkan perbedaannya pada produk yang diekspor, tujuan ekspor dan lembaga pemasaran yang terkait dalam mendukung ekspor ubi jalar.
Analisis daya saing terhadap ubi jalar di Kabupaten Kuningan menguntungkan secara finansial dan ekonomi serta memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif (daya saing). Dampak kebijakan pemerintah terhadap output masih bersifat menghambat dengan diberlakukannya pajak ekspor. Sedangkan untuk input tradable, petani membayar lebih murah dikarenakan adanya subsidi, sedangkan untuk non tradable, petani membayar lebih mahal. Untuk kebijakan secara keseluruhan, masih bersifat menghambat dan mengurangi penerimaan petani. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah terjadi perubahan harga ubi jalar, input pupuk, nilai tukar, dan jumlah produksi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Kuningan masih memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.
18
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Ekonomi Internasional
Keunggulan komparatif maupun kompetitif berawal dari adanya hubungan ekonomi antar satu negara dengan negara yang lain. Terdapat tiga bentuk hubungan ekonomi yaitu pertukaran hasil atau output (barang dan jasa), sarana produksi (modal, tenaga kerja, dan teknologi), dan segi kredit atau utang-piutang (Boediono, 1997). Permasalahan utama yang akan ada dalam ekonomi internasional adalah :
a. Pola perdagangan yaitu faktor yang mempengaruhi suatu negara mengekspor atau mengimpor produk tertentu sehingga membentuk pola ekspor atau pola impor tertentu.
b. Harga ekspor dan impor menunjukkan faktor yang menentukan harga.
c. Manfaat perdagangan adalah pengaruhnya terhadap kesejahteraan nasional akibat adanya perdagangan.
d. Pengaruh makro yaitu pengaruh hubungan perdagangan terhadap tingkat harga, GDP, jumlah uang beredar dan lainnya,
e. Mekanisme Neraca Pembayaran yaitu proses penyesuaian neraca pembayaran bila terjadi perubahan situasi ekonomi seperti kenaikan harga ekspor dan kebijakan devaluasi.
f. Politik Perdagangan Luar Negeri meliputi kebijakan tarif bea masuk, pelarangan impor, kuota, subsidi dan pajak ekspor.
g. Persekutuan Perdagangan berkaitan dengan keuntungan maupun kerugian persekutuan perdagangan misalnya ASEAN.
h. Modal Luar Negeri meliputi dampak dari adanya investasi luar negeri dan bantuan serta sikap pemerintah menghindari akibat negatif bantuan luar negeri.
3.1.2 Keunggulan Komparatif
Perdagangan akan terjadi karena suatu daerah bisa memproduksi barang tertentu secara lebih efisien dibandingkan dengan daerah lain. David Rivardo diacu dalam Ball et al menyatakan bahwa suatu negara akan mengimpor suatu komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif rendah dan akan mengekspor suatu komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif lebih tinggi sehingga akan terjadi spesialisasi produk.
Pada kasus biaya tetap dalam menghasilkan setiap unit barang (constant cost), suatu negara akan berspesialisasi penuh yaitu negara tersebut akan mempergunakan seluruh sumber ekonominya untuk memproduksi barang tersebut dan mendapatkan barang lain dengan mengadakan perdagangan.
Menurut Budiono (1997), terdapat tiga faktor utama yang menentukan keunggulan komparatif suatu negara yaitu :
a. Tersedianya sarana produksi atau faktor produksi dengan jumlah dan macam yang berbeda antar negara satu dengan yang lain. Faktor produksi bisa berupa tenaga kerja, tanah (keadaan tanah dan kekayaan alam), barang modal dan kewirausahaan. Keunggulan komparatif akan lebih besar, jika suatu negara memiliki ketersediaan sarana produksi dalam jumlah yang relatif banyak.
b. Adanya kenyataan bahwa dalam cabang-cabang produksi tertentu bisa memproduksi secara lebih efisien apabila skala produksi makin besar (economic of scale). Kurva biaya per unit yang menurun dalam jangka panjang bisa menentukan keunggulan komparatif dan suatu negara bisa mencapaieconomic of scale jika berproduksi lebih dahulu daripada negara lain dan memiliki pasar domestik yang luas. Dari sisi pengekspor, pengusaha sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka untuk meningkatkan keuntungan membuka pasar baru, sedangkan dari segi pengimpor, akan membeli barang tersebut dengan harga yang murah, daripada memproduksi dengan skala kecil.
20 penghematan kapital, tenaga kerja dan bahan mentah setiap menghasilkan satu unit output.
3.1.3 Keunggulan Kompetitif
Suatu perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif adalah memiliki sesuatu yang berbeda, melakukan hal yang lebih baik daripada pesaing dan melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh pesaing. Menurut Kuncoro, M terdapat tiga model dalam keunggulan kompetitif yaitu model organisasi industri, berbasis sumberdaya dan gerilya, dan setiap model memiliki perbedaan dapat dilihat pada Tabel 58.
Tabel 5. Pendekatan Model Organisasi Industri, Berbasis Sumberdaya dan Gerilya
Keterangan Organisasi Industri
Berbasis sumberdaya Gerilya
Keunggulan kompetitif
Posisi dalam industri
Memiliki aset dan kapabilitas yang khas
Sementara
Penentu profitabilitas
Karakteristik industri, posisi perusahaan dalam industri
Jenis, jumlah dan sumberdaya alam yang dimiliki perusahaan
Kemampuan untuk berubah dengan tindakan strategik
Fokus Eksternal Internal Eksternal dan
internal Perhatian
utama
Persaingan Sumberdaya kompetensi
Situasi yang terus berubah secara radikal
Sumber : Coulter (2002)dalamKuncoro, M.
6 Kuncoro, M. Strategi bagaimana meraih keunggulan kompetitif. Erlangga.
[image:35.612.100.507.353.612.2]Model berbasis sumberdaya dapat diimplementasikan apabila suatu perusahaan memiliki sesuatu yang khas sehingga berbeda dari perusahaan lain dan bisa dijadikan suatu keunggulan dibandingkan dengan pesaing. Dengan adanya sumberdaya yang khas, maka perusahaan dapat meminimalisasi biaya sehingga menciptakan harga yang bersaing.
Harga yang digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif adalah harga yang aktual diterima oleh konsumen maupun produsen. Dikarenakan asumsi perekonomian yang tidak mengalami distorsi sulit ditemukan, maka keunggulan komparatif tidak bisa dijadikan sebagai indikator daya saing, tetapi harus diimbangi dengan kelayakan finansial untuk mengukur keunggulan kompetitif.
Gittinger (1986), perhitungan dalam analisis finansial berbeda dengan analisis ekonomi berdasarkan lima hal yaitu :
a.Dalam analisis finansial, harga yang digunakan adalah harga pasar baik untuk sumber-sumber yang digunakan dalam proses produksi maupun untuk hasil-hasil produksi. Sedangkan dalam analisis ekonomi digunakan harga bayangan yaitu harga yang telah disesuaikan untuk menggambarkan nilai ekonomi yang sebenarnya dari barang dan jasa tersebut.
b.Dalam analisis finansial pajak dihitung sebagai biaya yang dikeluarkan kepada instansi pemerintah sehingga harus dikurangkan dari benefit. Sebaliknya dalam analisis ekonomi pajak merupakan pembayaran transfer karena merupakan bagian dari benefit produsen yang diserahkan kepada pemerintah.
c.Dalam analisis finansial, subsidi yaitu pengurangan biaya produksi yang diterima produsen, sedangkan dalam analisis ekonomi dianggap sebagai beban masyarakat sehingga tidak mengurangi biaya produksi.
d.Dalam analisis finansial, biaya investasi meliputi biaya pada tahap permulaan yang dibiayai dengan modal sendiri. Di lain pihak, yang menjadi beban produsen adalah arus pelunasan pinjaman beserta bunganya pada tahap produksi. Sedangkan dalam analisis ekonomi, seluruh biaya investasi baik berasal dari dalam maupun pinjaman. Pelunasan pinjaman diabaikan dalam perhitungan biaya ekonomi.
22 bunga atas pinjaman dalam negeri tidak dimasukkan sebagai biaya dan untuk pinjaman luar negeri diperhitungkan sebagai biaya.
3.1.4 Kebijakan Pemerintah
Kebijakan adalah suatu instumen yang bisa mengubah outcome perekonomian, dalam pelaksanaannya ada kendala dan bisa menjadi penghambat atau pendukung tujuan yang akan dicapai serta akhirnya dievaluasi menjadi strategi. Kebijakan barang ekspor bertujuan untuk menstabilkan harga dengan mengatur barang agar barang tersebut ada di dalam negeri, sedangkan kebijakan barang impor yaitu melindungi produsen dari persaingan harga dengan barang luar yang lebih murah.
a. Kebijakan Output
Subsidi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap produsen dalam negeri dengan memberikan sumbangan keuangan yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk mendorong ekspor, bisa berupa pembayaran tunai dan pajak. Subsidi positif yaitu subsidi yang menyebabkan anggaran pemerintah berkurang, sedangkan subsidi negatif, pajak dan kuota menambah anggaran pemerintah,
Hambatan-hambatan impor bisa berupa tarif yaitu pajak atau bea impor dan non-tarif kuantitatif berupa kuota. Bea Impor terbagi menjadi tiga yaitu bea ad valoreum yaitu pajak impor berupa persentase dari nilai faktur barang yang diimpor, bea spesifik yaitu jumlah tetap yang dikenakan atas unit fisik yang diimpor dan bea kombinasi. Kuota merupakan batasan jumlah barang yang diimpor bisa berupa hambatan ekspor sukarela yang ditentukan oleh negara pengekspor dan persetujuan tertib pemasaran yang merupakan persetujuan resmi antara negara pengekspor dan pengimpor untuk melindungi produsen lokal.
b. Kebijakan Input
dari pemerintah untuk kebutuhan petani. Kebijakan yang dijalankan pemerintah bisa terhadap input tradable dan non tradable berupa intervensi pemerintah berupa subsidi dan pajak.
3.1.5 MetodaPolicy Analysis Matrix(PAM)
Metoda PAM digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat analisis (Monke and Pearson diacu dalam Nurmalina et al) yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan dan pemasaran.
Kelebihan dari metode PAM yaitu perhitungan dilakukan secara keseluruhan, sistematis, output beragam, dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, tipe usahatani dan teknologi. Sedangkan kelemahannya tidak membahas masing-masing analisa secara mendalam dan hanya berlaku pada suatu saat saja (on the spot).
Metoda PAM (Pearson.S, Gotsch.C, dan Bahri.S, 2005) merupakan suatu analisis yang mengidentifikasi tiga isu sentral kebijakan yaitu sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, apakah petani, pedagang, pengolah dan pemasar memiliki keuntungan pada harga aktual atau keuntungan privat. Isu kedua adalah dampak investasi publik dalam pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan tingkat efisiensi usahatani yang diukur pada tingkat keuntungan sosial dengan harga bayangan. Isu yang terakhir adalah dampak investasi baru baik dalam bentuk riset dan teknologi sehingga dengan adanya perbedaan sebelum dan sesudah investasi dapat menunjukkan ada tidaknya manfaat yang dapat diperoleh.
3.1.6 Analisis Sensitivitas
24 dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum, mundurnya waktu implementasi dan kesalahan dalam perkiraan hasil per hektar (Kadariah et al, 1999).
Adapun kelemahan dari analisis sensitivitas yaitu tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisa parsial yang hanya mengubah satu parameter pada saat tertentu dan hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
3.2 Kerangka Operasional
Adanya program OVOP (one village one product) merupakan suatu peluang dalam pengembangan komoditi ubi jalar yang menjadi komoditi unggulan di Kabupaten Sumedang. Di Kabupaten Sumedang terdapat beberapa varietas ubi jalar diantaranya Cilembu. Permintaan ubi jalar semakin meningkat baik di kawasan domestik atau untuk ekspor dikarenakan adanya keunikan produk yang memberikan nilai tambah terhadap komoditi ubi jalar. Produksi di Kabipaten Sumedang hanya dapat memenuhi 50 persen permintaan di domestik maupun ekspor.
Berdasarkan indikator utama daya saing, Ubi jalar Cilembu memiliki peluang dan kendala yang bisa menentukan apakah usahatani tersebut bisa memiliki potensi daya saing daerah yang bisa meningkatkan perekonomian daerah dan bisa mensejahterakan para petani.
Kebijakan pemerintah daerah Sumedang terhadap output belum ada dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah terhadap komoditas tersebut dan tidak adanya alokasi anggaran pemerintah, sedangkan kebijakan input misalnya pupuk, mendapatkan subsidi, sehingga petani membayar lebih murah.
Adanya keunikan unsur hara yang dimiliki Desa Cilembu dan Nagarawangi bisa mempertahankan kualitas tetapi belum tentu menentukan keberlanjutan keberadaan produk dikarenakan produktivitas masih rendah sehingga tidak bisa memenuhi permintaan domestik maupun ekspor.
sosial yang menunjukkan keunggulan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah dalam mendukung atau menciptakan hambatan-hambatan bagi keberlangsungan suatu usaha produksi. Sedangkan analisis sensitivitas digunakan untuk mereduksi kelemahan analisis PAM, dikarenakan pada kenyataannya pasti terdapat perubahan-perubahan biaya maupun manfaat seperti kenaikan upah tenaga kerja, penurunan produktivitas dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika.
Gambar 2. Kerangka Operasional Analisis Daya Saing Ubi Jalar PELUANG
1.Program OVOP
2.Permintaan ubi jalar Cilembu belum terpenuhi
KENDALA
1.Kebijakan Pemerintah
2.Keberlanjutan ekspor tergantung kualitas dan kemampuan daya saing
Usahatani Ubi Jalar Cilembu
Analisis Sensitivitas
Analisis Daya Saing
Metoda Policy Analysis Matrix (PAM)
1. Analisis Keuntungan : a. Privat Keunggulan Kompetitif b. Sosial Keunggulan Komparatif
2. Kebijakan Pemerintah : Output, Input, Input-Output
26
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa Desa tersebut merupakan sentra produksi ubi jalar Cilembu dengan memiliki karakteristik tanah dengan berbagai kandungan mineral dan hara unik yang membuat ubi dapat tumbuh sempurna dengan kualitas terbaik. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2011.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara secara langsung dengan petani dan pedagang pengumpul dengan bantuan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan literatur dari berbagai lembaga terkait seperti Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik, Perpustakaan LSI, Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumedang, dan lembaga terkait lainnya.
Tabel 6 . Jenis Data dan Sumber yang digunakan dalam Penelitian
Jenis Data Sumber
Data untuk perhitungan usahatani (Primer) Kuesioner (wawancara) BiayaFree on Board(FOB) Ubi Cilembu Eksportir di Cilembu
Biaya FOB untuk Urea Internet
4.3 Metoda Pengambilan Sampel
Jumlah responden yang dijadikan sampel sebanyak 50 petani di Desa Cilembu dan Nagarawangi dengan carajudgement sampling. Karakterisitik yang menjadi responden yaitu petani yang memiliki lahan sendiri (pemilik penggarap) dengan luasan lahan 1400 m2 sampai 7.000 m2, telah melakukan usahatani ubi Cilembu minimal 5 tahun dan menjadi anggota kelompok tani , sedangkan untuk pedagang pengumpul dan eksportir dilakukan dengan carasnowball sampling. Di Desa Cilembu terdapat 5 pedagang pengumpul, sedangkan eksportir hanya 1 orang.
4.4 Metode dan Prosedur Analisis 4.4.1 Membuat Tabel Privat Bujet
Langkah pertama yang dilakukan untuk mengisi baris pertama yaitu membuat tabel hubungan input dan output fisik yang dihasilkan dari wawancara petani dengan bantuan kuesioner serta informasi dari aparatur desa. Langkah kedua yaitu membuat tabel harga privat (harga aktual) untuk setiap input yang digunakan dan output yang dihasilkan, harga yang digunakan adalah harga pada saat penelitian dilakukan. Dan langkah yang ketiga adalah mengalikan jumlah fisik dengan harga privat sehingga didapat tabel privat bujet.
Dari tabel yang dibuat didapatkan pendapatan, biaya dan keuntungan yang dihitung pada harga privat (harga aktual atau harga pasar). Pendapatan merupakan hasil perkalian antara harga dan jumlah yang diproduksi, biaya merupakan seluruh harga yang harus dibayarkan petani pada saat produksi baik untuk inputtradable dannon tradablesedangkan keuntungan adalah pengurangan dari pendapatan dan biaya.
30 c. Harga Bayangan Tenaga Kerja
Harga bayangan tenaga kerja tidak terdidik disesuaikan dengan tingkat pengangguran di lokasi penelitian. Tingkat pengangguran di Kabupaten Sumedang yaitu 9 persen, sehingga harga bayangan upah tenaga kerja tidak terdidik yaitu 91 persen dari upah harga finansialnya.
d. Harga Bayangan Lahan
Tanah atau lahan merupakan inputnon tradable dalam usahatani sehingga didasarkan dengan nilai sewa lahan yang berlaku di daerah setempat dikurangi pajak.
e. Harga Bayangan Nilai Tukar
Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar Dollar menggunakan rumus yang telah diformulasikan oleh Squire dan Van Der TakdalamGittinger (1986) yaitu :
SER2010= OER2010
SCF2010
SER2010=Shadow exchange rate(nilai tukar bayangan) tahun 2010
OER2010=Official exchange rate(nilai tukar resmi) tahun 2010
SCF2010 =Standart conversion factor(faktor konversi standar) tahun 2010
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio nilai impor dan ekspor ditambah pajak dapat ditentukan sebagai berikut :
SCF= M + X
(M+Tm) + (X-Tx)
Tabel 7. Perhitungan Standard Convertion Factor dan Shadow Price Exchange Rate Tahun 2006-2010 (milyar rupiah)
Tahun Xt Mt TXt TMt OERt SCFt SER
2006 909.204 550.810 636 56.938 9.020 0,963 9.367 2007 1.074.716 710.465 752 72.831 9.419 0,961 9.801 2008 1.500.374 1.414.711 1.050 107.838 10.950 0,965 11.347 2009 1.095.194 910.195 767 84.361 9.400 0,960 9.792 2010 1.416.856 1.218.256 992 110.876 8.980 0,960 9.354
[image:45.612.125.507.545.668.2]f. Harga bayangan Peralatan
Peralatan yang digunakan adalah cangkul, sabit, sprayer dan parang, pendekatan yang digunakan adalah penyusutan per musim menggunakan metode garis lurus (Fariyanti, 2008).
Dp = C- S N Dp = depresiasi (penyusutan)
C = harga beli (Rupiah) S = nilai sisa (5 % dan 10%) N = umur alat (tahun)
4.4.4 Metoda (Policy Analysis matrix / PAM)
Alat yang digunakan untuk melihat daya saing ubi jalar adalah Matrik Analisis Kebijakan (Policy Analysis matrix / PAM). PAM merupakan matrik yang terdiri dari komponen penerimaan, biaya dan keuntungan. Metoda PAM terdiri dari tiga baris dan 4 kolom.
Baris 1 mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan dan kegagalan pasar. Keuntungan privat dalam angka absolut ataupun rasio merupakan indikator keuntungan daya saing secara kompetitif.
Baris 2 mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing komparatif yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial dimana efek kebijakan atau distorsi tidak ada. Baris 3 merupakan selisih anatara baris 1 dan 2 yang menggambarkan devergensi atau penyimpangan.
Kolom pertama merupakan penerimaan, kolom kedua merupakan biaya input tradable, kolom ketiga biaya input non tradable dan kolom keempat merupakan keuntungan yaitu selisih antara penerimaan dan biaya.
32 output bersifattradabledan input yang dipisahkan ke dalam komponen asing dan domestik, serta eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.
Tabel 8 .Teori Matrik Analisis Kebijakan (Policy Anaysis Matrix)
Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan
Tradable Non
Tradable
Nilai finansial (privat) A B C D
Nilai Ekonomi (sosial) E F G H
Dampak kebijakan distorsi pasar
I J K L
Sumber : Nurmalina, et al (2009)
4.4.4 Implikasi Indikator Matrik Kebijakan
Keunggulan Kompetitif
1. D = A-B-C (keuntungan privat), jika D > 0, maka sistem komoditas memperoleh keuntungan privat sehingga mampu berekspansi kecuali apabila sumberdaya terbatas atau ada alternatif komoditas lain yang menguntungkan. 2. PCR = C/A-B (rasio biaya privat), jika PCR <1 maka sistem komoditas
mampu membiayai faktor dimasukkannya pada harga privat, dengan kata lain komoditas tersebut memiliki daya saing secara kompetitif.
Keunggulan Komparatif
1. H = E-F-G (keuntungan sosial), jika H > 0, maka usahatani telah berjalan efisien sehingga bisa berekspansi.
2. DRC = G/E-F (rasio biaya sumberdaya domestik), jika DRC < 1, maka sistem komoditi efisien dan memiliki keunggulan komparatif sehingga tanpa ada bantuan pemerintah masih tetap bisa berproduksi.
Kebijakan Output
harga input. Jika I > 0 menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen, artinya masyarakat membeli output dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya atau petani menerima harga output yang lebih tinggi daripada yang seharusnya.
2. NPCO = A/E (koefisien proteksi output nominal), digunakan untuk mengukur dampak insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output. Jika NPCO < 1 terjadi pengurangan penerimaan petani akibat adanya kebijakan.
Kebijakan Input
1. J = B-F (Transfer input domestik), menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada input tradable, jika J < 0 adanya subsidi pemerintah terhadap input asing sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial yang seharusnya. Subsidi yang dibebankan kepada pemerintah menyebabkan keuntungan produsen secara privat.
2. NPCI = B/F (Koefisien proteksi input nominal), jika NPCI < 1 petani menerima subsidi atas input asing sehingga petani dapat membeli input asing dengan harga lebih rendah.
3. K = C-G (Transfer Faktor), K > 0 adanya kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik dengan pemberian subsidi.
Kebijakan Input-Output
1. EPC = (A-B)/(E-F) (Koefisien proteksi efektif) merupakan indikator dampak keseluruhan kebijakan input dan output. Sejauhmana kebijakan pemerintah melindungi atau menghambat produksi. EPC > 0 bahwa kebijkan pemerintah memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi dalam negeri.
2. TB = I – (K-J) (Transfer bersih) merupakan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani apakah merugikan atau sebaliknya. L > 0 menunjukkan adanya tambahan surplus produsen yang disebabkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan kepada input dan output.
34 pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa kebijakan.
4. SRP = L/E (Nilai rasio Subsidi bagi Produsen) mengidentifikasi akibat kebijakan pemerintah yang menunjukkan penambahan atau pengurangan penerimaan. SRP < 0 , produsen mengeluarkan biaya lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi.
4.4.5 Analisis Sensitivitas
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Letak Geografis
Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah 152.220 Ha yang terbagi kedalam luasan darat seluas 118.944 Ha (78,14%) dan pesawahan seluas 33.276 Ha (21,86%). Daerahnya berbukit-bukit dengan ketinggian tempat antara 25-1500 meter di atas permukaan laut, beriklim tropis terletak diantara garis Meridian 7050’ Bujur Barat, 68045’ Bujur Timur, 1023’ Lintang Selatan dan 1043’ Lintang Utara. Batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Indramayu dan Subang, sebelah Barat dengan Kabupaten Bandung, sebelah Selatan dengan Kabupaten Garut dan sebelah Timur dengan Kabupaten Majalengka.
5.2 Jenis Tanah
Terdapat tiga jenis tanah di Kabupaten Sumedang yaitu Aluvial, Tektonik dan Vulkanik. Deskripsi, luasan dan lokasi mengenai jenis-jenis tanah antara lain : a. Tanah Aluvial yang terbentuk dari hasil sedimentasi tanah dengan bahan induk andesit, alluvium, dan koluvium dari aneka macam topografi datar, agak datar sampai sedikit bergelombang di daerah daratan, cekungan dan daerah aliran sungai luasnya 19.762 Ha. Terdapat di Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang Utara, Ganeas, Cimalaka, Conggeang, Paseh, Buahdua, Surian, Tomo, dan Ujungjaya.
b. Tanah Tektonik terbentuk dari bahan induk batu lempung, dengan topografi berombak, bergelombang dan berbukit kecil. Terdapat di Kecamatan Darmaraja, Cisitu, Jatinunggal, Jatigede, Tomo, Ujungjaya, dan Cibugel.
36 5.3 Iklim
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, keadaan curah hujan termasuk pada iklim agak basah yaitu tipe C. Selama tahun 2010, curah hujan berkisar dari 3.229 s.d 4.805 mm, dengan hari hujan berkisar dari 151 s.d 332 HH.
5.4 Penduduk
[image:51.612.131.512.340.420.2]Jumlah penduduk di kabupaten Sumedang pada tahun 2010 yaitu 1.091.323 orang (Sumber BPS kabupaten Sumedang). Jumlah penduduk berdasarkan lapangan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Jumlah Petani dan Tenaga Kerja Pertanian di Kabupaten Sumedang
No Status Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase
1 Petani Penggarap 42.471 15
2 Pemilik Penggarap 177.270 64
3 Buruh tani 56.191 20
Berdasarkan tabel tersebut, petani yang memiliki lahan sendiri sebesar 64 persen dibandingkan jenis petani lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menanam komoditi sesuai dengan yang diinginkannya.
5.5 Penggunaan Lahan di Kabupaten Sumedang
Tabel 10. Penggunaan Lahan di Kabupaten Sumedang Tahun 2010
Jenis Lahan Luas (Ha) Perkembangan
2009 2010
Sawah Irigasi Teknis 3.485 3.446 -1,1317
Irigasi Setengah Teknis 5.742 5.494 -4,5140
Irigasi Sederhana 14.741 15.479 4,7677
Tadah Hujan 6.437 5.754 -11,8700
Bukan lahan Sawah 118.943 118.944 0,99
5.6 Komoditas Unggulan dalam Skala Optimistik Agribisnis
Pada tahun 2004-2008, Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang telah menentukan komoditas unggulan yaitu Padi, Jagung, Ubi Jalar, Kedelai, Kacang Tanah, Jeruk Cikoneng, Sawo Sukatali, Salak, Pisang dan Mangga. Realisasi atau kondisi skala optimistik agribisnis komoditas unggulan tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kondisi Kawasan Agribisnis Padi dan Palawija kabupaten Sumedang Tahun 2009-2013
Komoditas Lokasi Target
2009-2013 Realisasi s/d 2008 Realisasi s/d 2009 Realisasi s/d 2010 Padi Tanjungkerta, Darmaraja, Sumedang Selatan, Conggeang, Ganeas 3.500 Ha (7 unit) 1.500 Ha (3 unit) 2.000 Ha (4 unit) 2.500 Ha (5 unit)
Ubi Jalar Pamulihan, Rancakalong
1000 Ha (2 unit)
100 Ha 150 Ha 200 Ha
Kedelai Ujungjaya, Jatinunggal
1.500 Ha (3 unit)
[image:52.612.99.509.452.694.2]38 Dengan adanya program yang didukung oleh pemerintah yaitu target penanaman ubi jalar Cilembu 1.000 Ha bisa menjadi peluang untuk pengusahaannya agar dapat meningkatkan produksi dan memenuhi permintaan domestik maupun luar negeri.
5.7 Desa Penghasil Ubi Jalar
Berdasarkan kondisi kawasan Agribisnis, Kecamatan Pamulihan dan Rancakalong adalah daerah yang ditentukan untuk pengembangan ubi jalar karena memiliki ekotype tanah yang hampir sama. Di Kecamatan Pamulihan memiliki luas wilayah 5.785 Ha yang terdiri dari 11 Desa sedangkan Kecamatan Rancakalong memiliki luas wilayah 5.228 Ha dan terdiri dari 10 Desa. Adapun perbandingan antara kedua desa dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel 12. Perbandingan Potensi Desa Cilembu Tahun 2010 (Kecamatan Pamulihan) dan Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong)
Keterangan Desa Cilembu Desa Nagarawangi
Luas Pesawahan 137,9 Ha/m2 110,01 Ha/m2
Sawah tadah hujan 40 Ha/m2 10 Ha/m2
Curah hujan 3528 mm 4000 mm
Jumlah bulan hujan 5 bulan 5 bulan
Suhu rata-rata harian 320C 320C
Tinggi Tempat (dpl) 986 m dpl 700 m dpl
Warna tanah Hitam Hitam
Tekstur tanah Lampungan Lampungan
Luas Lahan Ubi Jalar 45 Ha 30 Ha
Potensi Ubi jalar 7 ton/Ha 10 ton/Ha
Luas Lahan Padi sawah 137 Ha 110,01 Ha
Potensi Padi sawah 4 ton/Ha 9 ton/Ha
Jumlah petani 547 orang 972 orang
[image:53.612.113.506.387.695.2]40
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang dipusatkan di daerah pengembangan yaitu di Desa Cilembu (Pamulihan) sebagai penghasil ubi Cilembu dan Desa Nagarawangi (Rancakalong) yang memiliki ekotype tanah yang sama. Pada umumnya petani di kedua desa menanam beberapa jenis ubi yang ditanam, ubi ungu, merah dan kuning, tetapi mayoritas menanam ubi kuning yaitu ubi Cilembu.
6.1 Struktur Penggunaan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan dalam Pengusahaan Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang
Pada pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang, komponen input yang digunakan adalah pupuk kandang dan bibit (non tradable) dan input tradable seperti Furadan, Urea, SP-36, KCL, Phoska, satuannya adalah Kg, dan Curacron adalah per botol. Terdapat perbedaan komponen penggunaan input pada kedua desa tersebut, petani di Desa Nagarawangi tidak menggunakan pupuk SP-36 dan KCL.
Tenaga kerja dikonversi menjadi Hari Orang Kerja (HOK) yang setara dengan Hari Kerja Pria (HKP), sedangkan tenaga kerja wanita (HKW) dikonversi dengan mengalikan 0,8 agar menjadi setara dengan HOK. Upah tenaga kerja di Nagarawangi relatif lebih murah yaitu Rp 25.000 ditambah dengan makan, rokok, dan kopi untuk laki-laki dan di Desa Cilembu, upah tenaga kerja lebih mahal, Rp 30.000 ditambah uang makan untuk laki-laki sedangkan untuk wanita di kedua desa mendapatkan upah yang sama yaitu Rp 15.000,00.
42 Tabel 13. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan privat Usahatani Ubi Cilembu di
Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha)