• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effect of Turmeric (Curcuma longa Linn.) Ethyl Acetate Fraction Ointment in Wound Healing Process of Hiperglicemic Mice (Mus musculus albinus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effect of Turmeric (Curcuma longa Linn.) Ethyl Acetate Fraction Ointment in Wound Healing Process of Hiperglicemic Mice (Mus musculus albinus)"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEMBUHAN LUKA MENCIT (

Mus musculus albinus

)

HIPERGLIKEMIK

ERYASIH SETYORINI

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) terhadap Persembuhan Luka Mencit (Mus musculus albinus) Hiperglikemik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2010

(3)

ERYASIH SETYORINI. Pengaruh Pemberian Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Terhadap Persembuhan Luka Mencit (Mus musculus albinus) Hiperglikemik. Dibimbing oleh WIWIN WINARSIH dan SRI ESTUNINGSIH.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.) yang difraksi menggunakan pelarut etil asetat dalam bentuk sediaan salep terhadap persembuhan luka mencit (Mus musculus albinus) hiperglikemik. Sebanyak 30 ekor mencit digunakan pada penelitian ini. Mencit diinduksi hiperglikemik menggunakan STZ dengan dosis 40 mg/kgBB. Mencit dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif luka tidak diberi pengobatan, kelompok kontrol positif yang diberi salep komersil, dan kelompok diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit. Mencit dilukai menggunakan scapel pada bagian punggung sepanjang 1,5 cm. Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari dengan pengamatan panjang luka, lama/waktu luka, warna luka, dan keropeng dari luka. Pengamatan histopatologi anatomi dilakukan pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan 21. Peubah yang diamati pada pengamatan histopatologi adalah jumlah sel polimorfonuklear (neutrofil), jumlah makrofag, jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, dan persentase luasan jaringan ikat kolagen. Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa pemberian salep fraksi etil asetat rimpang kunyit memiliki efek anti peradangan yang lebih baik, mempercepat proses neovaskularisasi dan reepitelisasi dibandingkan dengan kelompok lainnya.

(4)

ERYASIH SETYORINI. Effect of Turmeric (Curcuma longa Linn.) Ethyl Acetate Fraction Ointment in Wound Healing Process of Hiperglicemic Mice (Mus musculus albinus). Under the direction of WIWIN WINARSIH and SRI ESTUNINGSIH.

The aim of this research was to know the effect of turmeric (Curcuma linga Linn.) etil asetat fraction ointment in wound healing of hiperglicemic mice (Mus musculus albinus). Thirty mice were infected with 40 mg/kgbw of streptozotocin to induced hiperglicemic. Mice were divided into three groups, which were negative control without treatment, positive control was treated with the comersil ointment and the group with the etil asetat turmeric rhizomes fraction ointment treatment. Mice were wounded by scalpel blade on the their dorsoanterior skin of mice around 1.5 cm. The pathology-anatomy of the wound healing procces were observed everyday with wound size, wound colour, wound exudation, and scab formation as the parameter. The histopathology lesion were observed on the 2nd, 4th, 7th, 14th, and 21th days after skin incision. The parameter on the histopathology observation are number of polymorfonuclear cell (neutrofil), macrophag, neovascullary formation, the precentation of wound reepitelization and the percentation of collagen connective tissue. The histopathology observation of etil asetat turmeric rhizomes fraction ointment had anti inflamantory activity as well as neovascularization and reepithelization were faster than the other groups.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bnetuk apa pun tanpa izin IPB

(6)

PERSEMBUHAN LUKA MENCIT (

Mus musculus albinus

)

HIPERGLIKEMIK

ERYASIH SETYORINI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Pada Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

(Curcuma longa Linn.) terhadap Persembuhan Luka Mencit (Mus musculus albinus) Hiperglikemik

Nama : Eryasih Setyorini

NRP : B04052643

Disetujui

Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet. Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet. Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB

(8)

Bismillahirrahmaanirrahim,

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Salam dan Shalawat semoga tetap tercurah kepada Rasul kita, teladan kita, penghulu para nabi, Muhammad Shallahu Alaihi wa Sallam beserta keluarga dan sahabatnya serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Allhamdulillah berkat rahmatdan kekuatan dariNya lah penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ’Pengaruh Pemberian Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) terhadap Persembuhan Luka Mencit (Mus musculus albinus) Hiperglikemik’. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian Sarjana Kedokteran Hewan, di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi segenap kalangan yang membutuhkan.

Bogor, September 2010

(9)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapka kepada :

1. Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi. APVet. dan Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi. APVet. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, memberikan pengarahan, dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dr. drh. Dewi Ratih Agungpriono, MSi. APVet. selaku pembimbing

akademik yang memberikan perhatiannya kepada penulis.

3. Dr. Dra. Nastiti Kusumorini dan Dr. drh. Agatha Winny K. Sanjaya MS. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan Staff Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang telah membimbing dan membantu penulis.

5. drh. Mawar Subangkit, Pak Endang, Pak Kasnadi, dan Pak Sholeh yang telah membantu selama bekerja di Laboratorium Patologi.

6. Nirna Fitri, rekan kerja selama Penelitian dan Penyusunan Tugas Akhir. Terima kasih atas ilmu, saran, dukungan, kebersamaan, dan perhatiannya selama ini.

7. Ir. Toto Prasetyo dan Ir. Sri Erita Aprillani, yang telah mendidik dan membesarkan penulis, serta selalu memberikan dukungan dan doa dalam setiap langkah penulis.

8. H. Roestono Singadirana, atas perhatian dan doanya kepada cucu tercinta. 9. Billy Septian Arinditya. Terima kasih telah menjadi sahabat hidup yang

selalu ada di saat senang maupun sedih, terima kasih atas kasih sayang, motivasi, dukungan, semangat, dan perhatiannya.

(10)

kesabaran, pengorbanan, nasihat, dan kebersamaannya selama ini.

12.Rekan-rekan Aesculapius 43 sebagai teman seperjuangan, terima kasih atas kebersamannya.

13.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga kerjasama, motivasi, dan segenap bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amiin.

(11)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 Februari 1987. Penulis adalah anak kedua dari pasangan Ir. Toto Prasetyo dan Ir. Sri Erita Aprillani.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak Mexindo Bogor (1992-1993), pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 1 Bogor (1993-1999), pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Bogor (1999-2002), dan pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Negeri 5 Bogor (2002-2005).

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Perumusan Masalah ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Kunyit ... 3

Pertelaan Tanaman Kunyit ... 3

Kurkumin ... 4

Taksonomi Tanaman Kunyit ... 5

Manfaat rimpang Kunyit ... 5

Larutan Penyari ... 7

Etil Asetat ... 7

Salep ... 8

Mencit ... 10

Taksonomi Mencit ... 11

Hiperglikemia ... 11

Kulit ... 13

Definisi Kulit... 13

Integementum Mamalia ... 16

Persembuhan Luka ... 18

Definisi Persembuhan Luka ... 18

Proses Persembuhan Luka ... 18

BAHAN DAN METODE ... 21

Waktu dan Tempat ... 21

Alat dan Bahan ... 21

Hewan Percobaan ... 21

Pelarut dan Bahan Lainnya ... 21

Alat ... 21

Metodologi ... 22

Pembuatan Salep Ekstrak Etil Asetat Kunyit ... 22

Perlakuan Pada Mencit... 22

Pengamatan Patologi Anatomi ... 23

Pembuatan Sediaan Haematoxillin Eosin ... 23

(13)

Pengamatan Histopatologi ... 25

Analisa Data ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

Pengamatan Patologi Anatomi ... 26

Pengamatan histopatologi ... 28

Sel Polimorfonuklear (neutrofil) ... 31

Makrofag ... 33

Neovaskularisasi ... 34

Reepitelisasi ... 36

Jaringan Ikat Kolagen ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

Kesimpulan ... 42

Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Etil Asetat ... 8

2. Klasifikasi Salep... 9

3. Tahapan Persembuhan Luka ... 19

4. Gambaran PA persembuhan luka pada mencit ... 26

5. Rataan jumlah sel polimorfonuklear (neutrofil) ... 32

6. Rataan jumlah makrofag ... 33

7. Rataan jumlah neovaskularisasi ... 35

8. Rataan persentase jumlah reepitelisasi ... 36

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur Kurkumin ... 4

2. Tanaman Kunyit ... 6

3. Kunyit ... 6

4. Struktur Kimia Etil Asetat ... 7

5. Struktur Molekul Etil Asetat ... 8

6. Mencit ... 10

7. Penampang Kulit ... 13

8. Struktur Histologi Kulit ... 15

10. Mencit dalam Kandang ... 22

11. Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-2... 29

12. Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-21... 30

13. Sel neutrofil ... 31

14. Makrofag ... 34

15. Neovaskularisasi ... 35

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hiperglikemi adalah istilah medis untuk kondisi gula darah (glukosa) yang

tinggi. Dalam waktu tertentu, hiperglikemi yang berkepanjangan dapat mengarah

ke penyakit diabetes (Anonim 2010). Menurut American Diabetes Association, hiperglikemia bisa dialami oleh penderita diabetes sewaktu-waktu. Gejala-gejala

hiperglikemi penting untuk dikenali, karena jika tidak ditangani dengan baik dapat

memicu kondisi yang lebih parah. Menurut Robertson (2004), penyakit diabetes

mempunyai dampak negatif yaitu dapat menimbulkan kerusakan yang cukup

parah. Salah satu kerusakan yang cukup serius adalah kelainan dan luka pada kulit

yang sulit untuk disembuhkan serta membutuhkan waktu yang lama, sehingga

diperlukan pengobatan yang tepat dan akurat untuk mengatasi masalah ini.

Tanaman telah menjadi sumber obat-obatan yang penting dalam peradaban

umat manusia, karena lebih dari 60% obat-obatan berasal dari tumbuhan. Dari

yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat tradisional,

salah satunya adalah kunyit (Syukur 2002 dalam Hidayat 2008).

Kunyit (Curcuma longa Linn.) atau (Curcuma domestic Val.) termasuk salah satu tanaman rempah dan obat yang tergolong famili Zingiberaceae. Tinggi

tanaman ini dapat mencapai 100 cm, memiliki batang semu, tegak, bulat,

membentuk rimpang, berwarna hijau kekuningan (Anonim 2009). Tanaman ini

dapat hidup di daerah tropis yaitu di Asia Selatan, Cina Selatan, Taiwan,

Indonesia, dan Filipina (Depkes RI 1989).

Kunyit mempunyai banyak khasiat, diantaranya dapat digunakan sebagai

pelengkap bumbu masakan, jamu, atau untuk menjaga kesehatan dan kecantikan,

selain itu juga dapat berguna sebagai antiseptik untuk luka, antikoagulan,

menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, bakterisida, obat penyakit

hati, sariawan (Anonim 2009). Hal ini menjadi alasan untuk mengetahui lebih

lanjut penggunaan kunyit sebagai obat persembuhan luka pada penelitian ini.

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari pemberian fraksi

kunyit dengan pelarut etil asetat dalam bentuk salep pada proses persembuhan

luka yang diamati secara patologi anatomi dan histopatologi.

Perumusan Masalah

Penelitian mengenai aktivitas kunyit secara in vitro sebagai obat

persembuhan luka pada kasus hiperglikemia masih sedikit, dan belum ada

penelitian mengenai aktivitas sediaan salep kunyit dalam persembuhan luka. Oleh

karena itu, masih perlu dicari pelarut terbaik yang dapat menarik zat-zat aktif dari

kunyit yang dapat memberikan efek maksimal sebagai penyembuh luka pada

penyakit hiperglikemia. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui

perbandingan dari yang tidak diobati, diberi kandungan obat lain, dan dari sediaan

salep kunyit dengan pelarut etil asetat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi dunia kedokteran baik

kedokteran hewan maupun kedokteran manusia dalam permasalahan persembuhan

luka pada kulit akibat hiperglikemia. Selain itu, juga untuk memanfaatkan plasma

nutfah yang ada di Indonesia dalam menyediakan obat yang mudah didapat dan

terjangkau harganya.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Kunyit

Pertelaan Tanaman Kunyit

Kunyit merupakan salah satu tumbuhan yang banyak digunakan

masyarakat. Rimpang kunyit terutama digunakan untuk keperluan dapur (bumbu,

zat warna makanan), kosmetika maupun dalam pengobatan tradisional. Kunyit

tergolong dalam kelompok jahe-jahean, Zingiberaceae Turmeric (Inggris), Kurkuma (Belanda), Kunyit (Indonesia dan Malaysia), Kunir (Jawa), Koneng

(Sunda), Konyet (Madura) (Anonim 2008).

Kunyit yang mempunyai nama latin Curcuma domestica merupakan tanaman yang mudah diperbanyak dengan rimpang ukuran 2-5 cm. Bibit rimpang

harus cukup tua dan kunyit dapat tumbuh dengan baik di tanah yang tata

pengairannya baik, curah hujan 2.000 mm sampai 4.000 mm tiap tahun dan di

tempat yang sedikit terlindung. Untuk menghasilkan rimpang yang lebih besar

diperlukan tempat yang lebih terbuka. Rimpang kunyit berwarna kuning sampai

kuning jingga (Winarto 2003).

Kunyit berasal dari India, namun sudah menyebar ke seluruh dunia

terutama di kawasan tropis. Di Indonesia pada umumnya dapat tumbuh dan

berproduksi dengan baik. Tanaman berumpun ini memiliki batang semu yang

tersusun dari pelepah daun dengan tinggi 100 cm. Daun berbentuk bulat telur

memanjang, berwarna hijau muda, penyusun daunnya bertingkat-tingkat, setiap

tanaman memiliki sekitar 10 helai daun (Winarto 2003). Kunyit mengandung

senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid. Kurkuminoid terdiri

dari kurkumin , desmetoksikumin, dan bisdesmetoksikurkumin dan zat- zat

manfaat lainnya. Kandungan Zat : Kurkumin : R1 = R2 = OCH3 10 %,

Demetoksikurkumin : R1 = OCH3, R2 = H 1 - 5 %, Bisdemetoksikurkumin: R1 =

R2 = H sisanya Minyak atsiri / Volatil oil ( Keton sesquiterpen , turmeron ,

tumeon 60%, Zingiberen 25%, felandren , sabinen , borneol dan sineil ), Lemak 1

-3 %, Karbohidrat 3 %, Protein 30%, Pati 8%, Vitamin C 45-55%, Garam-garam

(19)
(20)

Taksonomi Tanaman Kunyit

Klasifikasi ilmiah tanaman kunyit (Gambar 2) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae Divisio : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida

Subkelas : Zingiberidae Ordo : Zingiberales Familia : zingiberaceae Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma longa Linn.

(Linnaeus 1758 dalam Winarto 2003)

Manfaat Rimpang Kunyit

Kunyit memiliki kandungan utama kurkumin dan minyak atsiri, berfungsi

untuk pengobatan hepatitis, antioksidan, gangguan pencernaan, anti mikroba

(broad spectrum), anti kolesterol, anti HIV, anti tumor (menginduksi apoptosis), menghambat perkembangan sel tumor payudara (hormone dependent and independent), menghambat ploriferasi sel tumor pada usus besar ( dose-dependent), anti invasi, anti rheumatoid arthritis (rematik), mempunyai prospek yang cerah pada sektor industri hilir dalam berbagai bentuk (ekstrak, minyak, pati,

makanan/minuman, kosmetika, dan produk farmasi). Kunyit dapat digunakan

sebagai pengobatan diabetes melitus, tifus, usus buntu, disentri, sakit keputihan,

haid tidak lancar, perut mulas saat haid, memperlancar ASI, amandel, berak

(21)

Gambar 2 Tanaman kunyit (www.kacierkusuma.wordpress.com 2010)

Selain itu, rimpang kunyit (Gambar 3) terutama digunakan untuk

keperluan dapur (bumbu, zat warna makanan), kosmetika maupun dalam

pengobatan tradisional. Secara tradisional, air rebusan rimpang yang dicampur

dengan gambir digunakan sebagai air kumur mulut untuk gusi bengkak. Kunyit

juga dapat digunakan untuk perawatan rambut supaya terbebas dari ketombe.

Kunyit juga dapat menyembuhkan diare, jerawat, perawatan kulit, rematik, borok,

dan hepatitis (Araujo dan Leon 2001).

(22)

Larutan Penyari

Etil Asetat

Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3

(Gambar 4 dan Gambar 5). Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam

asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa

ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili

asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut (Anonim 2008).

Gambar 4 Struktur kimia etil asetat (www.chem-is-try.org 2010)

Etil Asetat merupakan pelarut polar menengah yang volatil (mudah

menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima

ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak

adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom

elektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air

hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar.

Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa

ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam (Tohir 2005).

Etil asetat (Tabel 1) disintesis melalui reaksi esterifikasi Fischer dari asam

asetat dan etanol, biasanya disertai katalis asam seperti asam sulfat. Etil asetat

dapat dihidrolisis pada keadaan asam atau basa menghasilkan asam asetat dan

etanol kembali. Katalis asam seperti asam sulfat dapat menghambat hidrolisis

karena berlangsungnya reaksi kebalikan hidrolisis yaitu esterifikasi Fischer (Tohir

(23)
(24)

baik untuk kulit kering dan berlemak, tidak mengiritasi kulit, tidak mudah tengik,

dan harus mudah dipakai. Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006), bahan obat

yang digunakan harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang

cocok. Homogen berarti jika salep dioleskan pada sekeping kaca atau bahan

transparan lainnya yang cocok harus menunjukkan susunan yang homogen.

Fungsi dari salep bermacam-macam, yaitu sebagai pembawa (vehicle) yang berarti sebagai pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit, sebagai

pelumas (emollient) pada kulit dan sebagai pelindung (protective), yang artinya salep berfungsi untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan rangsangan dari

luar. Klasifikasi salep disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi Salep

Kategori Golongan

Berdasarkan konsistensi Liniment (obat gosok) Krem (cream)

Salep Pasta cerata Jelly Berdasarkan daya kerja

(Daya Penetrasi)

Salep epidermik Salep endodermik Salep diademik Berdasarkan kemampuan menarik air Salep hidrofilik Salep lipofilik Berdasarkan komposisi dasar salep Hidrokarbon

Scrap (absorbsi) Tercuci dengan air Larut dalam air

Berdasarkan kerja zat berkhasiat Salep anti pruritik (anti gatal)

Salep keratoplastik

(mempertebal lapisan tanduk)

(25)

Mencit

Mencit (Mus musculus) adalah anggota Muridae (tikus-tikusan) yang berukuran kecil. Mencit mudah dijumpai di rumah-rumah dan dikenal sebagai

hewan pengganggu karena kebiasaannya menggigiti mebel dan barang-barang

kecil lainnya, serta bersarang di sudut-sudut lemari. Hewan ini diduga sebagai

mamalia terbanyak kedua di dunia, setelah manusia. Mencit sangat mudah

menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibuat manusia, bahkan jumlahnya

yang hidup liar di hutan barangkali lebih sedikit daripada yang tinggal di

perkotaan. Mencit percobaan (laboratorium) dikembangkan dari mencit, melalui

proses seleksi. Sekarang mencit juga dikembangkan sebagai hewan peliharaan

(Anonim 2008).

Indonesia paling tepat menggunakan mencit sebagai hewan percobaan di

laboratorim, keuntungannya karena biaya pemeliharaannya relatif murah dan

kerugiannya yaitu fetusnya yang kecil dan kemampuan resorpsinya relatif tinggi

(Sardjono O.S, dan Hendra Utama 1983).

Menurut Malole dan Pramono (1989), mencit akan mudah dikendalikan

apabila diperlakukan secara halus dan akan menjadi agresif serta menggigit

apabila diperlakukan kasar. Adapun mencit laboratorium memiliki berat 18-20 g

pada umur empat minggu dan pada umur dewasa dapat mencapai 30-40 g (Smith

1988).

Syarat yang harus dimiliki hewan percobaan pada bidang kedokteran

adalah sifat respon biologis dan adaptasi yang mendekati fisiologis manusia,

mudah diperoleh, mudah dikembangbiakan, mudah dipelihara, murah, tidak

berbahaya, dan praktis. Mencit (Gambar 6) adalah hewan yang memenuhi kriteria

tersebut sehingga dapat digunakan sebagai hewan coba (Malole dan Pramono

1989).

(26)

Taksonomi Mencit

Klasifikasi mencit adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Animalia : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Sub Ordo : Myomorphoa Familia : Muridae Sub Familia : Murinae Genus : Mus

Spesies : Mus musculus albinus

(Linnaeus dalam Ungerer 1985)

Hiperglikemia

Hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan glukosa darah dengan

rentang kadar puasa normal 80 – 90 mg /dl darah, atau rentang tidak puasa sekitar

140 – 160 mg /100 dl darah (Harnawati 2008). Pada artikel yang dimuat dalam

Journal of Biological Chemistry ini, Robertson (2004) juga menegaskan bahwa

hiperglikemia kronis dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah, retina,

ginjal, dan saraf (Harnawati 2008).

Penyebab hiperglikemia tidak diketahui dengan pasti, tapi umumnya

diketahui kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter

memegang peranan penting. Akibat lainnya yaitu pengangkatan pankreas dan

perusakan secara kimiawi sel beta pulau langerhans. Faktor predisposisi

hiperglikemia adalah herediter dan obesitas (Harnawati 2008).

Berdasarkan faktor imunologi, penderita hiperglikemia khususnya

Diabetes Melitus terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini

merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh

dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap sebagai jaringan

asing (Harnawati 2008).

Dalam artikel lainnya, Robertson (2004) menjelaskan mekanisme berbagai

kerusakan tersebut. Salah satu faktor yang paling berperan dalam mekanisme

tersebut adalah stres oksidatif. Stres oksidatif ini disebabkan meningkatnya kadar

(27)

oleh tingginya kadar gula darah. Pada kadar normal, oksidan bermanfaat dalam

mekanisme pertahanan tubuh. Namun, oksidan dalam kadar yang tinggi justru

menyebabkan berbagai kerusakan.

Bukan hanya hiperglikemia kronis saja yang dapat menyebabkan

kerusakan pembuluh darah, namun juga hiperglikemia sesaat. Studi terbaru yang

dilakukan oleh El-Osta (2008) menyimpulkan bahwa hiperglikemia sesaat dapat

menyebabkan perubahan yang permanen pada pembuluh darah. Penelitian ini

dilakukan pada kultur sel pembuluh darah manusia dan mencit yang non-diabetik.

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa hiperglikemia sesaat memicu ekspresi

permanen gen-gen penyebab atherosclerosis.

Gejala awal hiperglikemik umumnya yaitu (akibat tingginya kadar glukosa

darah) polipagi, polidipsi, poliuri, kelainan kulit, gatal-gatal, kulit kering, rasa

kesemutan, kram otot, visus menurun, penurunan berat badan, kelemahan tubuh

dan luka yang tidak sembuh-sembuh (Robertson 2004).

Komplikasi hiperglikemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu komplikasi akut dan

kronik. Komplikasi akut meliputi komplikasi metabolik dan infeksi berat,

sedangkan komplikasi kronis meliputi komplikasi vaskuler, neuropati, campuran

vascular neuropati ulkus kaki, dan komplikasi pada kulit.

Kadar gula darah yang mempunyai gejala menimbulkan hiperglikemia

adalah kadar gula darah setiap hari mencapai 11.1 mmol/L (200 mg/d1), dan

kadar gula darah dalam perut kosong mencapai 7.8 mmol/L (140 mg/d1). Kadar

gula darah yang normal pada mencit adalah 110-120 mg/dl (Anonim 2010).

Menurut Jeffrey dalam Anonim (2010), peningkatan kadar gula darah

disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

- Fungsi sel pankreas dan sekresi insulin yang berkurang.

- Perubahan karena lanjut usia yang berkaitan dengan resistensi insulin, akibat

kurangnya massa otot dan perubahan vaskuler.

- Aktivitas fisik yang berkurang, banyak makan, badan kegemukan.

- Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress, operasi.

- Sering menggunakan bermacam-macam obat-obatan.

(28)

Berbagai macam obat mulai dari obat-obatan secara medis maupun herbal

telah banyak digunakan untuk mengobati tingginya kadar gula darah. Contohnya

yaitu pemberian insulin, terapi dengan pemberian ekstrak sambiloto maupun

dengan ramuan obat lain. Obat-obat tersebut sangat berhasil dan sudah tersebar di

masyarakat luas.

Kulit

Definisi Kulit

  Kulit (Integumentum Communae) menutupi seluruh permukaan badan, terdiri atas lapisan: epidermis dan suatu lapisan jaringan penyambung berupa

dermis (korium) serta hipodermis (sub kutis) yang terdiri atas jaringan ikat

longgar menghubungkan dermis dengan jaringan dibawahnya (Anonim 2009).

(29)

Kulit berfungsi untuk membungkus serta melindungi tubuh hewan

terhadap pengaruh luar yang merugikan,ikut mengatur suhu tubuh serta kadar air,

membuang garam dari hasil metabolisme yang berlebihan, dan melindungi tubuh

terhadap pengaruh fisik, kimia dan jasad renik kedalam tubuh (Anonim 2010).

Beberapa kelenjar kulit yang berperan dalam berbagai fungsi sekresi kulit, antara

lain : kelenjar palit, kelenjar peluh, kelenjar ambing dan kelenjar kulit khusus.

Beberapa struktur yang merupakan turunan dari kulit adalah : rambut, bulu, kuku,

tanduk, jengger, pial, dan gelambir (Anonim 2010).

Secara histologi, kulit terdiri atas epidermis, dermis, dan hipodermis

(Gambar 9). Dalam epidermis terdapat dua sistem yaitu sistem malpighi, bagian

epidermis yang sel – selnya akan mengalami keratinisasi dan sistem pigmentasi,

yang berasal dari crista neuralis dan akan memberikan melanosit untuk sintesa

melanin (Dharmojono 2002).

Disamping sel – sel yang termasuk dua sistem tersebut terdapat sel lain,

yaitu sel Langerhans dan sel Markel yang fungsinya belum jelas. Epidermis terdiri

atas epithel pipih banyak lapis yang bertanduk, memiliki lima lapis utama yakni:

1. Stratum basale / stratum germinativum: merupakan lapis paling bawah terdiri

atas epitel kubis atau silindris sebaris rendah. Lapisan ini bersifat mitosis aktif

untuk menggantikan lapis diatasnya yang mati / aus. Pigmen juga bisa

ditemukan pada lapis ini selain pada lapis spinosum.

2. Stratum spinosum: sel penyusunnya berbentuk poligonal terdiri atas beberapa

lapis, semakin ke atas semakin memimpih. Pertautan antar sel yang cukup kuat

ditunjang oleh desmosoma, sel memiliki tenofibril yang berakhir pada

desmosoma. Lapis ini juga bisa bermitosis.

3. Stratum granulosum: satu sampai tiga lapis, sel berbentuk elips dan mulai

menunjukkan tanda bertanduk (cornification). Sel tersebut mengandung

kerantobilia dan fungsinya masih belum jelas diketahui.

4. Stratum lusidum: beberapa lapis sel yang telah mati, karenanya beraspek

homogen. Inti dan organoida tidak jelas tapi desmosoma masih jelas terlihat,

sedangkan butir kerato-hyalin nya sudah lenyap berubah menjadi eledin.

5. Stratum korneum: merupakan lapis sel yang paling luar, selnya bertanduk dan

(30)

beberapa tempat tebal dan bila kering akan mengelupas membentuk stratum

disjunktum. Khususnya untuk stratum lusidum hanya ditemukan pada daerah

yang tidak berambut, misalnya: planumnasale atau bantalan kaki (Dharmojono

2002).

Gambar 8 Struktur histologi kulit

(www.lionden.com/ap1out-skin.htm, 2010)

Lapisan dermis/ korium yang sering disebut Kutis vera, yang merupakan

bagian utama kulit, disusun oleh serabut kolagen padat sedangkan serabut elastis

dan jaringan ikat lain sedikit. Korium dibedakan atas dua bagian, yakni:

1. Stratum papilleare: membentuk jalinan dengan epidermis pada kulit tidak

berambut. Tampak papil, dan sering terdapat ujung saraf pembuluh darah serta

saluran kelenjar peluh.

2. Stratum retikulare: Antara stratum papillare dengan stratum retikulare

sebenarnya mempunyai batasan yang tidak jelas. Hanya serabut kolagen pada

(31)

permukaan kulit. Didalam ilmu bedah mengetahui arah anyaman serabut

kolagen ini sangat penting karena dalam operasi yakni memberikan proses

kesembuhan yang lebih cepat.

Hubungan antara epidermis dan dermis adalah epidermis melekat erat pada

dermis di bawahnya karena beberapa hal yaitu adanya papila corii. Adanya

tonjolan-tonjolan sel basal ke dalam dermis, dan serabut-serabut kolagen dalam

dermis yang berhubungan erat dengan sel basal epidermis (Hartono 1992).

Lapisan yang ketiga adalah hipodermis atau sub kutis terdiri atas jaringan

ikat longgar yang banyak mengandung serabut elastis. Dalam keadaan patologis

akan membentuk beberapa rongga yang berisi cairan (edema) atau udara

(emphysema). Daerah ini juga merupakan tempat perlindungan lemak terutama

pada babi. Pada hewan yang gemuk sel lemak dapat menyusup lebih dalam dan

terdapat diantara otot. Daerah tubuh yang sedikit terdapat sub kutis adalah:

metakarpus kuda, oleh sebab itulah kulit sulit digerakkan karena melekat kuat

(Dellmann dan Brown 1992).

Integumentum Mammalia

Epidermis berkembang dari ektoderm dan hipodermis merupakan turunan

dari mesoderm. Pada mulanya epidermis tersusun atas beberapa lapis sel

berbentuk kubus. Proliferasi dari sel ini menghasilkan lapisan sel epidermis dan

proliferasi sel basal menambah dengan cepat ketebalan sel yang berada di luarnya.

Invagansi dan proliferasi sel basal bertambah dengan cepat ketebalan sel yang

berada diluarnya. Invagansi dan proliferasi sel basal ke dalam lapisan dibawah

epidermis seperti dermis dan hypodermis menandakan adanya rambut, bulu dan

kelenjar, yang mana sel dari jaringan tersebut diatas berhubungan dengan sel

epidermis. Dermis dan hipodermis berkembang dari mesenkhim khusus. Poliferasi

dan diferensiasi yang cepat dari sel mesenkhim menghasilkan jaringan yang

(32)

Berdasarkan gambaran morfologis dan ketebalan epidermis, kulit dibagi

menjadi:

-Kulit Tebal

Kulit tebal ini terdapat pada vola manus dan planta pedis yang tidak

memiliki folikel rambut. Pada permukaan kulit tampak garis yang menonjol

dinamakan crista cutis yang dipisahkan oleh alur – alur dinamakan sulcus cutis.

Pada mulanya cutis tadi mengikuti tonjolan corium di bawahnya tetapi kemudian

dari epidermis sendiri terjadi tonjolan ke bawah sehingga terbentuklah papilla

corii yang dipisahkan oleh tonjolan epidermis. Pada tonjolan epidermis antara dua

papilla corii akan berjalan ductus excretorius glandula sudorifera untuk menembus

epidermis (Anonim 2009).

-Kulit Tipis

Menutupi seluruh bagian tubuh kecuali vola manus dan planta pedis yang

merupakan kulit tebal. Epidermisnya tipis, sedangkan ketebalan kulitnya

tergantung dari daerah di tubuh. Pada dasarnya memiliki susunan yang sama

dengan kulit tebal,hanya terdapat beberapa perbedaan :

1. Epidermis sangat tipis,terutama stratum spinosum menipis.

2. Stratum granulosum tidak merupakan lapisan yang kontinyu.

3. Tidak terdapat stratum lucidium.

4. Stratum corneum sangat tipis.

5. Papila corii tidak teratur susunannya.

6. Lebih sedikit adanya glandula sudorifera.

(33)

Persembuhan Luka

Definisi Persembuhan Luka

Persembuhan luka adalah proses perbaikan jaringan tubuh melalui

pembentukan jaringan parut (Price and McCarty 1992). Sedangkan menurut

Vegad (1995) persembuhan luka adalah proses dalam tubuh yang sebisa mungkin

memperbaiki bagian yang luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi

normal tubuh sebelumnya. Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen

jaringan, dimana spesifik terhadap substansi jaringan yang rusak dan hilang (Tawi

2008).

Persembuhan pada luka insisi secara pembedahan dengan tepi yang

didekatkan disebut persembuhan primer; pembentukan parut minimal. Sebaliknya,

luka yang kasar dan bercelah dengan banyak kerusakan jaringan (misal, ulkus

pada kulit) mengakibatkan proses persembuhan lebih lambat dengan pembentukan

parut yang jauh lebih banyak dan disebut sebagai persembuhan sekunder atau

persembuhan dengan disertai granulasi (Price and McCarty 1992).

Proses Persembuhan Luka

Persembuhan luka merupakan serangkaian proses yang berurutan diikuti

dengan perbaikan luka jaringan lunak yang sederhana (Tabel 3). Pada

persembuhan luka primer, tepi luka disatukan oleh bekuan darah yang fibrinnya

bekerja seperti lem. Setelah itu terjadi reaksi peradangan akut timbul dan juga

sel-sel radang, khususnya makrofag. Makrofag ini memasuki bekuan darah dan

menghancurkannya. Setelah reaksi peradangan eksudatif ini, dimulai pertumbuhan

jaringan granulasi, dengan demikian setelah beberapa hari luka tersebut

dijembatani oleh jaringan granulasi. Sementara proses ini terjadi, epitel

permukaan di bagian tepi melakukan regenerasi dan dalam waktu beberapa hari

lapisan epitel yang tipis bermigrasi di atas permukaan luka. Seiring dengan

jaringan ikat bertambah matang, epitel ini juga menebal dan matang, sehingga

menyerupai kulit di dekatnya. Hasilnya adalah terbentuknya jaringan parut yang

tidak nyata atau hanya terlihat sebagai satu garis yang menebal (Price and

(34)

Persembuhan luka sekunder (healing by second intention) hampir sama dengan persembuhan luka primer (healing by first intention). Perbedaannya yaitu hanya lebih banyak jaringan granulasi yang terbentuk, dan biasanya terbentuk

jaringan parut yang lebih luas. Pada luka besar yang terbuka kadang terlihat

jaringan granulasi yang menutupi dasar luka seperti sebuah karpet yang lembut

dan pada keadaan lain tumbuh di bawah keropeng, sehingga regenerasi epitel

terjadi di bawah keropeng. Proses persembuhan ini kurang diharapkan karena

memerlukan waktu yang lebih lama dan jaringan parut yang terbentuk sangat

buruk (Price and McCarty 1992).

Tabel 3 Tahapan Persembuhan Luka

Fase Kejadian

Fase Inflamasi Menghentikan pendarahan dan membersihkan area luka dari benda asing.

Ditandai dengan eritrema, edema, junlah neutrofil meningkat, dan rasa sakit yang berlangsung 3-4 hari.

Fase Proliferasi Terjadi perbaikan dan persembuhan luka oleh fibroblast. Ditandai dengan reepitelisasi, adanya jaringan ikat, dan sel-sel epidermal pada tepi luka mulai berploriferasi.

Fase Maturasi Menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan yang kuat dan bemutu.

Ditandai dengan kekuatan dari jaringan parut yang sempurna dan pembentukan kolagen.

(35)

Menurut Price dan McCarty (1992), faktor-faktor yang memicu

persembuhan luka meliputi suplai darah yang baik ke daerah cedera, usia muda,

nutrisi yang baik, pendekatan tepi luka yang baik, dan fungsi leukosit serta

respons peradangan yang normal. Persembuhan luka akan terganggu atau lambat

jika ada pemberian kortikosteroid atau adanya benda asing, jaringan nekrotik, atau

infeksi pada luka, hal ini merupakan alasan sering dilakukannya insisi dan

(36)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2009 hingga Juni 2010 bertempat di

Kandang Unit Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Bagian

Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit betina usia 2 bulan

sebanyak 30 ekor dengan bobot badan 20-25 gram yang diinduksi hiperglikemik

dan dikelompokkan menjadi 3 kelompok dengan perlakuan yang berbeda.

Kelompok pertama yaitu kontrol negatif, kelompok kedua yaitu kontrol positif

menggunakan sediaan komersil dengan kandungan aktif campuran ekstrak

plasenta 0,5%, neomycin sulfat 5% dan jelly base. Kelompok ketiga yaitu kelompok mencit yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit.

Pelarut dan Bahan Lainnya

Bahan yang digunakan sebagai pelarut dalam penelitian ini adalah etanol,

hexan, air, dan etil asetat. Sedangkan bahan dasar salep yang digunakan dalam

pembuatan salep adalah vaselin.

Alat

Alat yang digunakan adalah kandang mencit, alat bedah, tissue processor, mikrotom, gelas objek, gelas penutup, mikroskop cahaya, dan mikroskop

(37)

Metodologi

Pembuatan Salep Ekstrak Etil Asetat Kunyit

Salep merupakan sediaan setengah padat, mudah dioleskan dan digunakan

sebagai obat luar pada membran mukosa atau kulit (Wientarsih dan Prasetyo

2006). Pembuatan salep ekstrak etil asetat kunyit dimulai dengan ekstrak etil

asetat kunyit kental yang telah dihasilkan kemudian ditimbang dan

dihomogenisasi dengan vaselin kuning menggunakan mortar. Homogenisasi

dilakukan hingga merata dan tidak terasa lagi butiran serbuk kunyit. Setelah itu

disimpan dalam tabung dan diberi label.

Perlakuan Pada Mencit

Seluruh mencit ini diinduksi hiperglikemia dengan menggunakan

streptozotocin (STZ). Aplikasi STZ dilakukan secara intraperitonial dengan dosis

40 mg/kgBB (Hussain 2002; Srinivanan et al 2003). Kemudian ditunggu selama 1-2 minggu hingga kadar gula darah meningkat hingga 200 mg/dl.

Tiga puluh ekor hewan coba mencit dibagi menjadi 3 kelompok dengan

perlakuan yang berbeda, dibutuhkan sebanyak 10 mencit setiap perlakuan dengan

kandang yang bersekat yang diisi dengan 3 ekor mencit dalam setiap kandangnya

(Gambar 10).

(38)

Setiap mencit terlebih dahulu dicukur pada bagian punggungnya kemudian

dilukai dengan cara disayat dengan scalpel sepanjang 1,5 cm dan sampai sub

kutis. Selama masa pemeliharaan mencit diberi obat secara topikal pada luka

sesuai dengan perlakuannya dengan menggunakan cutton buds. Tiap kelompok perlakuan, mencit diambil sampel kulit pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan 21 pasca

perlukaan sebanyak 2 ekor tiap perlakuan. Pengambilan sampel kulit dilakukan

dengan mengambil bagian yang luka pada kulit punggung mencit yang

sebelumnya telah dieuthanasi dengan menggunakan eter dosis berlebih secara

perinhalasi. Kulit yang telah diambil difiksasi dengan larutan BNF (Buffer Neutral Formaline) 10% selama 48 jam.

Pengamatan Patologi Anatomi

Pengamatan patologi anatomi dilakukan terhadap semua mencit pada

setiap perlakuan dengan metode deskriptif. Kondisi luka diamati setiap hari

dengan memperhatikan parameter perbandingan, yaitu panjang luka, kering luka,

warna luka, dan keropeng luka.

Pembuatan Sediaan Haematoxillin-Eosin

Sediaan sampel kulit yang telah difiksasi dengan larutan BNF 10% selama

± 48 jam ditipiskan (trimming) dengan cara dipotong kecil pada daerah tengah luka. Setelah itu potongan dimasukkan ke dalam kaset. Kemudian sediaan kulit

didehidrasi menggunakan tissue processor dengan dimasukannya berturut-turut ke

dalam alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95% I, alkohol 95% II,

alkohol 100% I, dan alkohol 100% II masing-masing selama 2 jam. Setelah itu

dilakukan penjernihan (clearing) sediaan kulit dengan dimasukkan ke dalam xylol dengan 2 kali penggantian masing-masing selama 2 jam. Setelah dilakukan

penjernihan, lalu dilanjutkan dengan proses pencetakkan (embedding). Sediaan kulit dimasukkan ke dalam alat pencetak dan dibiarkan sampai parafin mengeras.

Kemudian setelah mengeras parafin dikeluarkan dari cetakan dan disimpan dalam

lemari pendingin sebelum dilakukan pemotongan.

Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom dengan

(39)

untuk memperbaiki potongan jaringan yang keriput. Irisan yang diletakkan di atas

permukaan air hangat tersebut diangkat menggunakan gelas objek dengan posisi

irisan diatas gelas objek. Preparat kemudian dikeringkan dan diberi tanda dengan

alat grafir dan disimpan dalam inkubator bertemperatur 600C minimal 2 jam.

Setelah itu dilanjutkan dengan proses pewarnaan.

Proses pewarnaan ini dimulai dengan melarutkan sisa parafin dengan

dimasukkan ke dalam xylol. Kemudian sediaan direhidrasi dengan cara

dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat dimulai dari alkohol 100% sampai

alkohol 80%. Setelah itu preparat dicuci dengan air selama 1 menit lalu

dimasukkan kedalam larutan Haemtoxylin selama 8 menit dan dicuci kembali

dengan air selama 30 detik. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan

lithium carbonat selama 15-30 detik dan dicuci dengan air. Setelah sediaan dicuci

dengan air, selanjutnya sediaan dimasukkan kedalam larutan Eosin selama 2-3

menit dan dibilas dengan air selama 30-60 detik. Kemudian sediaan didehidrasi

dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 95% sebanyak 10 celupan, alkohol

100% I sebanyak 10 celupan dan alkohol 100% II selama 2 menit. Setelah itu

sediaan dimasukkan ke dalam larutan xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2

menit. Selanjutnya sediaan dikeringkan diberi mounting media dan ditutup dengan

cover glass.

Pembuatan Sediaan Masson-Trichome (MT)

Pembuatan sediaan Masson-Trichome dimulai dengan deparafinasi dan

rehidrasi sediaan juga pencucian sediaan dengan air dan aquades. Setelah itu,

sediaan dimasukkan ke dalam larutan Mordant slama 30-40 menit.dan dicuci

dengan aquades. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Carrazi’s

Haematoxylin selama 40 menit dan dibilas dengan aquades. Kemudiaan sediaan

dimasukkan kedalam larutan Orange G 0.75% selam1-2 menit dan dicuci dengan

asam asetat 1% sebanyak 2 kali, setelah itu sediaan dimasukkan ke dalam larutan

Ponceau Xylidine Fuchsin selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1%

sebanyak 2 kali celupan. Selanjutnya preparat dimasukkan kedalam Aniline Blue

selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali celupan.

(40)

sebanyak sebanyak 10 celupan, alkohol 100% I sebanyk 10 celupan dan alkohol

100% II selama 2 menit. Setelah didehidrasi, sediaan dimasukkan kedalam larutan

Xylol I selama 1 menit dan Xylol II selama 2 menit. Kemudian preparat

dikeringkan dan ditutup dengan cover glass.

Pengamatan Histopatologi

Pada pengamatan histopatologi dilakukan pengamatan dengan

membandingkan setiap kelompok perlakuan dengan peubah jumlah sel radang

(Polimorfonuklear), jumlah makrofag, jumlah neovaskularisasi, persentase

reepitelisasi, dan luasan jaringan ikat kolagen.

Pewarnaan Hematoxillin Eosin (HE) digunakan untuk pengamatan jumlah

sel radang (Polimorfonuklear), jumlah makrofag, dan jumlah neovaskularisasi,.

Diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran objektif 40x dan 5 lapang

pandang. sedangkan pewarnaan Masson-Trichome (MT) digunakan untuk

pengamatan pertumbuhan jaringan ikat (fibroblast) dan diamati dibawah

mikroskop dengan perbesaran objektif 40x dan 2 lapang pandang.

Analisis Data

Data pengamatan histopatologi terhadap jumlah sel polymorfonuklear

(neutrofil), makrofag, neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, dan jaringan ikat

dianalisis dengan Uji Analisis Anova dengan penelusuran lanjutan Wilayah

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Patologi Anatomi

Pengamatan PA dilakukan selama masa pemeliharaan mencit setelah

diberi perlakuan (Tabel 4). Parameter yang diamati pada pengamatan PA antara

lain adalah warna luka, ukuran luka, panjang luka, pembentukan keropeng, dan

pertumbuhan rambut. Pengukuran panjang luka dilakukan pada setiap kali

nekropsi menggunakan penggaris, pinset dan gunting anatomis.

Tabel 4 Gambaran patologi anatomi persembuhan luka pada mencit

Hari Ke-

Kontrol Negatif Kontrol Positif (Sediaan Komersil)

Salep Etil asetat

1 Luka masih terbuka, basah, merah, dan rata-rata panjang 1,5 cm.

Luka masih terbuka, basah, merah, dan rata-rata panjang 1,5 cm.

Luka masih terbuka, basah, merah, dan rata-rata panjang 1,5 cm.

2 Luka terbuka, basah, merah, dan rata-rata panjang 1,2 cm.

Luka terbuka, basah, merah, dan rata-rata panjang 1,1 cm.

Luka mulai tertutup, kering, dan rata-rata panjang 1,1 cm.

4 Luka terbuka, basah, merah, dan rata-rata panjang 1,2 cm.

Luka mulai menutup, kering, dan rata-rata panjang 1 cm.

Luka tertutup, kering, dan rata-rata panjang 0,9 cm.

7 Luka semakin menutup dan kering.

Luka telah tertutup sempurna dan ditumbuhi rambut.

Luka tertutup.

14-21 Luka sudah

menutup sempurna.

Bekas luka sudah tidak terlihat karena tertutupi rambut dan sudah sembuh.

Luka sembuh dan telah ditumbuhi rambut.

Berdasarkan pengamatan patologi anatomis, pada panen pertama (hari

ke-2) luka yang telah disayat sepanjang 1,5 cm oleh scapel steril memberikan hasil

yang berbeda nyata yaitu kelompok sediaan komersil mengalami pengurangan

panjang luka yang lebih baik dibandingkan yang lainnya. Pada hari ke-2, dapat

(42)

dan panjang luka pun baru sedikit berkurang akibat sayatan yang dilakukan.

Sayatan tersebut membuat kulit kehilangan retraksinya sehingga terjadi luka

terbuka yang membentuk celah. Sayatan menyebabkan radang, dan radang terjadi

karena sayatan tersebut menyebabkan perubahan bentuk pada kapiler menjadi

lebih besar. Setelah masuknya rangsangan iritan terdapat konstriksi singkat

arteriola diikuti dengan dilatasi yang berkepanjangan (Spector dan Spector 1993).

Pembuluh kapiler yang mengalami dilatasi tersebut menyebabkan lumen menjadi

kosong dan akan terisi darah dengan cepat sehingga menyebabkan luka menjadi

kemerahan (Price dan Mc Carty 1992). Selain luka terlihat kemerahan, luka juga

mengalami oedema atau pembengkakan dan terlihat basah. Hal ini disebabkan

oleh bertambahnya jumlah cairan secara abnormal di kompartemen ekstrasel.

Pada hari ke-4, luka pada kelompok kontrol negatif masih terbuka, merah,

dan basah dengan panjang luka 1,2 cm. Menurut Nayak and Pereira (2006) proses

persembuhan luka pada kelompok hiperglikemia yang tidak diobati akan lebih

lambat dan membutuhkan waktu berminggu-minggu. Hal ini terjadi karena

berbagai komplikasi yang ditimbulkan akibat peningkatan kadar gula darah yang

mengganggu proses fisiologis dan proses persembuhan luka, akibat persembuhan

luka yang terhambat akan terbentuk luka terbuka dan menimbulkan gangrene.

Singh et al. (2005) menyatakan persembuhan luka lambat (sulit sembuh) pada penderita hiperglikemia akibat adanya kerusakan pada pembuluh darah dan

syaraf, sehingga oksigen dan nutrisi yang sangat diperlukan untuk proses

regenerasi jaringan terhambat.

Pada hari ke-7 pasca perlukaan, kondisi luka sudah mulai menutup pada

ketiga perlakuan. Hal ini terjadi karena telah terjadinya proliferasi dari sel dengan

panjang luka untuk kelompok kontrol negatif sebesar 1 cm, kelompok kontrol

positif sebesar 0,5 cm dan 0,7 cm untuk kelompok salep etil asetat. Selain itu luka

sudah hampir mengering dan oedema sudah mulai berkurang. Hal ini disebabkan

sudah mulai terjadi perbaikan dari sistem sirkulasi menyebabkan tekanan

hidrostatik seimbang. Pada saat ini peran fibroblast sangat penting dalam proses

memperbaiki dan menyembuhkan luka. Fibroblast bertanggung jawab pada

persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan pada

(43)

Pada hari ke-21 atau pada hari terakhir, luka pada kelompok kontrol

negatif sudah menutup sempurna, sedangkan pada kelompok kontrol positif dan

kelompok salep etil asetat sudah sembuh. Hal ini disebabkan akibat fibroblast

sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan

mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regenerasi dan serat fibrin dari

kolagen bertambah banyak memperkuat jaringan parut (Tawi 2008).

Pengamatan Histopatologi

Pengamatan HP (Gambar 10 dan Gambar 11) dilakukan dengan

membandingkan setiap kelompok perlakuan dengan parameter jumlah sel radang

(Tabel 4), jumlah makrofag (Tabel 5), jumlah neovaskularisasi (Tabel 6),

persentase reepitelisasi (Tabel 7), dan persentase jaringan ikat (Tabel 8).

Perbandingan gambaran mikroskopis pada hari ke-2 dan hari ke-21 dapat dilihat

(44)

A

B

C

Gambar 10 Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-2. Keterangan :

A. kontrol negatif B. kontrol positif

(45)

A

B

C

Gambar 11 Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-21. Keterangan :

A. kontrol negatif B. kontrol positif

(46)
(47)

Tabel 5 Rataan jumlah sel polimorfonuklear (neutrofil) pada ketiga kelompok perlakuan mencit (butir)

Hari Ke-

Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil

Asetat Rimpang Kunyit 2 89.5±31.2a 113.2±122.5a 32.8±5.6a

4 45.3±30.5a 49.7±33.9a 27.7±4.7a

7 60.6±22.7a 0.8±1.23c 19.3±2.1b

14 17.2±9.5a 2.9±2.4b 6.7±3.5ab

21 3.4±3.0a 0.9±0.9a 1.4±1.2a

*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).

Pada hari ke-2 pasca perlukaan, jumlah neutrofil pada ketiga kelompok

perlakuan menunjukkan jumlah yang tertinggi. Tingginya jumlah neutrofil

menandakan bahwa ada jaringan atau sel yang mengalami nekrosa. Pada hari ke-4

pasca perlukaan menunjukkan penurunan. Kemudian pada hari ke-7 pasca

perlukaan, jumlah neutrofil pada kontrol negatif dan salep etil asetat mengalami

penurunan yang signifikan, tetapi pada kelompok kontrol positif mengalami

peningkatan. Berdasarkan perhitungan statistik terhadap jumlah neutrofil pada

hari ke-7 pasca perlukaan antara kelompok kontrol positif, kontrol negatif, dan

kelompok yang diberi salep etil asetat menunjukkan hasil yang berbeda nyata

(P<0,05). Jumlah neutrofil yang semakin berkurang pada kelompok salep fraksi

etil asetat rimpang kunyit disebabkan oleh kandungan senyawa flavonoid pada

kunyit yaitu kurkumin (Araujo dan Leon 2001). Zat tersebut memiliki efek anti

inflamasi dan anti mikroba, sehingga membuat proses peradangan tidak

berlangsung lama dan tidak memicu lebih banyak keluarnya neutrofil. Walaupun

kontrol positif disini menggunakan sediaan komersil memiliki kandungan zat aktif

neomycin sulfat, namun daya kerjanya sebagai anti mikroba tidak sebaik zat aktif yang terkandung dalam salep fraksi etil asetat rimpang kunyit. Jumlah neutrofil

yang mulai menurun pada kelompok salep etil asetat menujukkan bahwa luka

sudah mulai bersih dari bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa salep etil asetat

memiliki efek anti inflamasi dan anti mikroba yang lebih baik dari kontrol positif.

Neutrofil muncul pada hari pertama pasca perlukaan hingga hari ke-3. Selanjutnya

peran neutrofil akan digantikan oleh makrofag yang menyebabkan jumlah

(48)

Makrofag

Secara normal proses persembuhan luka segera dimulai setelah terjadi

perlukaan pada jaringan (Nayak 2006). Proses persembuhan menurut MCGavin

dan Zachary (2007) dimulai dengan pembentukan fibrin untuk menutup luka serta

infiltrasi sel radang terutama neutrofil. Neutrofil akan membersihkan area luka

dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri serta mengeluarkan sitokin seperti

Epidermal Growth Factor (EGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan

Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang mengaktivasi fibroblast lokal dan keratinosit. Infiltrasi neutrofil hanya berlangsung beberapa hari. Neutrofil

akan mati setelah melakukan fagositosis dan neutrofil yang mati akan

difagositosis makrofag, maka dimulailah fungsi makrofag (Gambar 13) untuk

mempercepat persembuhan luka yang menyebabkan penurunan jumlah neutrofil

dan peningkatan jumlah makrofag. Hasil perhitungan statistik jumlah makrofag

disajikan dalam tabel 6.

Tabel 6 Rataan jumlah makrofag pada ketiga kelompok perlakuan mencit (butir)

Hari ke-

Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil

Asetat Rimpang Kunyit 2 4.5±1.9a 1.7±2.2a 1.8±1.0a

4 8.2±7.3a 2.4±2.8a 1.3±1.1a

7 34.5±20.3a 79.6±85.6b 1.6±1.3b

14 26.3±6.7a 6.2±2.6c 12.6±3.7b

21 20.2±4.9a 18.5±9.4a 1.4±3.5b

*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).

Makrofag pada hari ke-2 dan hari ke-4 sudah mulai terlihat ada

peningkatan antara ketiga kelompok perlakuan. Pada hari ke-7 menunjukkan

bahwa adanya perbedaan nyata (P<0,05) antara kontrol negatif dengan kontrol

positif dan juga salep etil asetat. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan zat

yang terdapat pada sediaan komersil dan juga salep fraksi etil asetat rimpang

kunyit sedangkan kontrol negatif berbeda karena tidak diberi perlakuan atau tidak

diobati. Makrofag bekerja maksimal pada hari ke-14 dan hari ke-7 karena pada

(49)

tersebut. Hari ke-7 menunjukkan bahwa makrofag bekerja maksimal pada kontrol

positif karena adanya kandungan ekstrak plasenta.

Gambar 13 Makrofag yang terdapat pada luka (anak panah) pada jaringan kulit yang diberi salep etil asetat pada hari ke-7 pasca perlukaan. Pewarnaan HE. Bar 20 µm.

Neovaskularisasi

Pembentukan pembuluh darah baru atau neovaskularisasi (Gambar 14)

sangat diperlukan untuk pembentukan jaringan baru dalam proses persembuhan

luka (Singer et al 1999). Menurut Vegad (1996), neovaskularisasi adalah suatu rangkaian proses persembuhan luka yang merupakan tahapan dalam perbaikan

jaringan ikat. Menurut Chen et al. (2005) proses persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jaringan yang terlibat, vaskularisasi, infeksi, gizi, umur,

suhu, dan ukuran jaringan yang rusak. Vaskularisasi yang cukup merupakan hal

yang penting terjadinya reaksi radang dan persembuhan, sedangkan daerah yang

terhambat pasokan darahnya akan mengalami hambatan persembuhan. Hasil

(50)

Gambar 14 Neovaskularisasi yang terdapat pada luka (anak panah) pada jaringan kulit yang diberi salep etil asetat pada hari ke-4 pasca perlukaan. Pewarnaan HE. Bar 40 µm.

Tabel 7 Rataan jumlah neovaskularisasi pada ketiga kelompok perlakuan mencit (butir)

Hari ke-

Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil

Asetat Rimpang Kunyit 2 0.0±0.0b 4.8±6.9a 0.0±0.0b

4 0.5±1.1a 1.2±2.5a 0.0±0.0a

7 10.1±4.6a 4.2±2.8c 8.8±2.7b

14 21.6±9.2b 11.1±4.0c 24.6±6.4a

21 29.2±6.6a 26.9±6.8a 25.7±7.2a

*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).

Pada hari ke-2 pasca perlukaan, belum terlihat adanya neovaskularisasi

pada kelompok kontrol negatif dan salep etil asetat, tetapi sudah mulai terlihat

pada kontrol positif karena adanya ekstrak plasenta dalam kandungannya. Pada

hari ke-4 pasca perlukaan berdasarkan hasil perhitungan statistik menunjukkan

tidak berbeda nyata (P>0,05). Tetapi pada hari ke-7 sudah mulai terlihat

peningkatan yang signifikan antara ketiga kelompok perlakuan. Neovaskularisasi

(51)

menuju daerah luka. Neovaskularisasi dalam teori persembuhan luka termasuk

dalam tahap proliferasi. Selain untuk mengantarkan sel-sel radang menuju luka,

neovaskularisasi juga diperlukan untuk mensuplai nutrisi bagi jaringan yang

sedang beregenerasi sehingga luka akan sembuh lebih cepat. Jaringan vaskuler

yang melakukan invasi ke dalam luka merupakan suatu respons untuk

memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada

daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen (Tawi 2008).

Reepitelisasi

Reepitelisasi (Gambar 15) merupakan salah satu bagian dari proses

persembuhan luka yang meliputi beberapa tahapan yaitu migrasi, mitosis dan

diferensiasi sel epitel (Martin 1997). Semakin cepat proses reepitelisasi terjadi

maka akan semakin cepat pula kulit mencapai kondisi normal. Hasil perhitungan

statistik terhadap luasan jumlah reepitelisasi disajikan dalam tabel 8.

Tabel 8 Rataan persentase jumlah reepitelisasi pada ketiga kelompok perlakuan mencit (%)

Hari ke-

Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil

Asetat Rimpang Kunyit 2 24.4±34.5a 12.8±0.05a 73.3±9.4a

4 24.4±16.9a 53.3±56.5a 61.1±7.9a

7 41.7±11.8a 100.0±0.0a 66.7±47.1a

14 37.5±53.0b 100.0±0.0a 100.0±0.0a

21 91.7±11.8a 100.0±0.0a 100.0±0.0a

*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).

Pada hari ke-2 pasca perlukaan proses reepitelisasi sudah mulai tampak

pada ketiga kelompok perlakuan. Hal ini terjadi karena reepitelisasi dari luka

dimulai beberapa saat setelah perlukaan. Satu atau dua hari setelah perlukaan,

sel-sel epidermal pada tepi luka mulai berproliferasi (Singer 1999). Walaupun hasil

perhitungan statistik terhadap persentase reepitelisasi untuk ketiga kelompok

perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P<0,05), namun jika

dilihat secara kuantitatif kelompok yang diberi salep etil asetat mencapai angka

(52)

disebabkan karena kelompok yang diberi salep etil asetat melewati fase inflamasi

lebih cepat sehingga lebih awal memasuki fase proliferasi dimana pada fase

tersebut terjadi proses reepitelisasi (Singer 1999). Karena fraksi dari etil asetat

mengandung senyawa kuinon dan flavonoid, yang dimana flavonoid mempunyai

respon biologi secara alami. Flavonoid juga dapat berfungsi juga sebagai anti

inflamasi (peradangan) dan anti oksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal

bebas. Selain itu flavonoid juga dilaporkan dapat meningkatkan fungsi sel

pertahanan (Middleton. et al. 2000). Kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit juga mengalami proses reepitelisasi lebih cepat bila dibandingkan

dua kelompok perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa salep fraksi etil

asetat rimpang kunyit menyebabkan proses reepitelisasi lebih cepat terjadi.

Jaringan Ikat Kolagen

Kolagen merupakan bahan penunjang utama dalam kulit, tulang rawan,

dan jaringan ikat (Ramali 1996 dalam Hidayat 2008). Kolagen diproduksi oleh fibroblast. Fibroblast merupakan sel multifungsi yang sering terlihat ketika

jaringan merespon adanya luka. Fibroblast berperan dalam menjaga keutuhan

struktur jaringan dan dalam sintesis kolagen bersama rough reticulum endoplasm

(RER). Fibroblast juga memproduksi extracellular matrix (ECM) protein, cytokine, matrix metalloproteinase dan chemokin yang mengatur komposisi dari

lingkungan mikro ekstraseluler (Ekstrasellular Microenvironment) pada kondisi fisiologis dan patologis (MCGavin dan Zachary 2007). Oleh karena itulah,

pembentukan jaringan ikat kolagen perlu diamati untuk mengetahui pengaruh

pada persembuhan luka. Hasil perhitungan statistik terhadap luasan jumlah

(53)

Tabel 9 Rataan persentase jumlah jaringan ikat kolagen pada ketiga kelompok perlakuan mencit (%)

Hari ke-

Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil

Asetat Rimpang Kunyit 2 0.0±0.0a 12.5±10.6a 7.4±3.5a

4 7.5±3.5a 10.0±0.0a 2.5±3.5a

7 22.5±3.5a 27.5±3.5a 22.5±3.5a

14 40.0±14.1a 65.0±21.2a 90.0±14.1a

21 45.0±7.1a 100.0±0.0b 100.0±0.0a

*Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).

Jaringan ikat kolagen (Gambar 15) terbentuk pada hari ke-2 untuk

kelompok kontrol positif dan salep etil asetat. Sedangkan kelompok kontrol

negatif mulai terbentuk pada hari ke-4. Berdasarkan perhitungan statistik pada

hari ke-2 sampai hari ke-14 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05).

Tetapi pada hari ke-21 terlihat perbedaan nyata (P<0,05) antara kontrol positif dan

salep etil asetat dengan kontrol negatif. Hal ini disebabkan oleh luka pada

kelompok yang diberi salep etil asetat dan kontrol positif telah mengalami

persembuhan lebih awal, sehingga jaringan kolagen sudah terbentuk sempurna,

luka sudah menutup sempurna dan tidak menimbulkan penebalan jaringan parut.

Ini menunjukkan bahwa salep fraksi etil asetat rimpang kunyit mempengaruhi

pembentukan jaringan ikat kolagen walau tidak sebaik kontrol positif.

Pembentukan jaringan ikat kolagen ini mempengaruhi kecepatan dalam

persembuhan luka.

Kepadatan jaringan ikat akan membantu kontraksi luka yang akan

membuat kedua sisi luka tertarik dan luka menjadi semakin mengecil. Kolagen

yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penebalan jaringan parut atau

(54)

Gambar 15 Jaringan ikat kolagen (Anak panah A) dan Reepitelisasi (Anak panah B) pada jaringan kulit yang diberi salep etil asetat pada hari ke-21 pasca perlukaan. Pewarnaan MT. Bar 40 µm.

Proses persembuhan luka mencit dimulai dari tahap inflamasi yaitu

menghentikan luka dan membersihkan daerah dari benda asing, kemudian tahap

proliferasi dimana terjadi perbaikan dan persembuhan luka oleh fibroblast.

Dilanjutkan dengan tahap maturasi yang menyempurnakan terbentuknya jaringan

baru menjadi jaringan yang kuat dan bermutu, dapat ditandai dengan

pembentukan jaringan ikat kolagen, sehingga akhirnya menjadi sembuh.

B

(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian adalah:

1. Salep fraksi etil asetat rimpang kunyit memiliki efek dalam mempercepat

atau memperbaiki proses persembuhan luka mencit hiperglikemik.

2. Salep fraksi etil asetat rimpang kunyit memiliki keunggulan dalam

mengurangi proses peradangan (anti inflamasi), mempercepat

pembentukan jaringan ikat dan reepitelisasi pada mencit yang

hiperglikemik.

Saran

Saran yang diberikan pada penelitian ini adalah:

1. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menambahkan parameter pengamatan

seperti jumlah limfosit dan folikel rambut.

2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek dari ekstrak rimpang

kunyit serta konsentrasi dan bentuk sediaan yang paling efektif terhadap

persembuhan luka pada penderita hiperglikemik.

3. Penelitian dilakukan dengan pengamatan yang diperpanjang terutama

untuk pengamatan : neovaskularisasi, reepitelisasi, pembentukan

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson P., Sylvia, Mc Carty., Lorraine. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. Ke-1. Alih Bahasa : Peter Anugerah. Penerbit EGC. Jakarta.

Anonim, 2008. Curcuma longa. http://curcumalonga.com/. [11 Desember 2008]

Anonim, 2008. Etil Asetat.

http://www.chm.bris.ac.uk/motm/ethylacetate/ethyl.htm. [11Desember 2008]

Anonim, 2010. Hiperglikemia. http://www.medicafarma.blogspot.com. [12 Mei 2010]

Anonim. 2008. http://www.medicafarma.blogspot.com. [17 Desember 2008]

Anonim. 2009. http://www.dechacare.com. Tipe-Penyakit-Diabetes-I415.html. [ 20 Juni 2009]

Araujo CAC, Leon LL. 2001. Biological Activities of Curcuma longa L. J Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio De Jenairo, Vol 96 (5) : 723-728.

Chen, J., et al. 2005. Tissue Factor as a link between wounding and tissue repair. Diabetes 52 : 2143-2154.

Clark, Jim, 2002 (modified 2004), the Mechanism for the Esterification Reaction, http://www.chemguiede.co.uk/organicprops/estermenu.html1#top[17

Desember 2008]

Dellman, H.D. and Brown E.M. 1992. Buku Teks Histologi Veterinary. Ed ke-3. Hartono R, Penerjemah. Jakarta : UI-Press.

Depkes RI. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Dharmojono. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner Buku 2. Jakarta : Pustaka Populer Obor.

El-Osta, A. et al. 2008. Transient High Glucose Causes Persistent Epigenetic Changes and Altered Gene Expression During Subsequent Normoglycemia.

The Journal of Experimental Medicine Vol. 205, 2409-2417.

Gambar

Gambar 8  Struktur histologi kulit
Tabel 3  Tahapan Persembuhan Luka
Gambar 9  Mencit dalam kandang (Patologi, 2009)
Tabel 4  Gambaran patologi anatomi persembuhan luka pada mencit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keberadaan Soil Transmitted Helminths pada sayuran lalapan dapat disebabkan karena teknik pencucian yang tidak tepat.. Kata kunci: Soil Transmitted Helminths , Sayuran, Teknik

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan penalaran matematis dan motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Binangun. Subyek dalam penelitian ini adalah

Untuk bidang Penyehatan Lingkungan Permukiman, Institusi yang berwenang dalam pengelolaan air limbah domestik, drainase dan keairbersihan di Kabupaten Lamandau adalah Dinas

Sedangkan untuk fungsi lainnya masih belum berjalan karena program tersebut masih baru dan tentunya masih mempunyai proses pengembangan dan perbaikan, selain itu

Lepaskan “ tekanan “ untuk mengurangi risiko bencana Kemajuan Keselamatan Mengurangi bahaya Mengurangi risiko bahaya Mencapai kondisi aman Mengurangi tekanan Akar masalah Alat

Sebelum penelitian ini, penelitian tentang sistem pendukung keputusan telah banyak dilakukan dengan berbagai tujuan, diantaranya untuk membantu mempersingkat tahapan

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pemberian imunisasi BCG dengan kejadian tuberkulosis pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Jeparadengan nilai p value

(3) Kelompok Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior sebagai ketua kelompok dan bertanggung jawab kepada Kepala