• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

Yield Analysis and Determining Factor to Adoption

SSNM (Site Specific Nutrient Management)

Technology for Farm Rice

(Case Study in Jembungan Village, Sub-District of Banyudono,

Boyolali District, Cental Java)

Faiz Ridhan Faroka and Kudang Boro Seminar, Pudji Muljono

Departement of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone +62 852 8133 8593, e-mail : faizridhan@gmail.com

ABSTRACT

The highly increase of crop production in the future will be a compulsion and utilization of field will be more intensive. Therefore, precise pescription of crop fertilization is required. Site Specific Nutrient Management (SSNM) application is an innovation of technology for rice farming through fertilization recommendation which accurate in type, dose and time of fertilization to increase rice production and farmer incomes. SSNM application was developed by IRRI (International Rice Research Institute) in Philippines.The aim of this research is to get illustration about analysis of farmers on new technologies SSNM application of web-based technology. Comparing farm income and productivity of rice farmers using the technology by not using technology SSNM. Identifying factors that influence farmers to adopt SSNM applications. There was a significant differences in fertilization cost between the usage of SSNM and manually applied fertilization. In manually applied fertilization costs Rp 320,065 or about 20.62 percent of total cost, while in SSNM fertilization costs only12.93 percent of total cost or Rp 23,078. The application of SSNM was able to increase average rice production about 314.38 kg / hectare and farmers income raised to Rp 1,100,328 / hectare. There is a driving factor for farmers to use the SSNM application including increased production, the facilities, the capital, the efficient use of fertilizer and maintain the field quality.Farm rice incomes and field ownership have positive relationship toward farmer to adoption SSNM application.

(2)

FAIZ RIDHAN FAROKA. F14080074. Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah). Di bawah bimbingan Kudang Boro Seminar dan Pudji Muljono. 2012

RINGKASAN

Peningkatan produksi tanam di masa mendatang akan menjadi suatu keharusan, sehingga penggunaan lahan akan semakin intensif. Seiring dengan intensifnya penggunaan lahan, maka diperlukan ketepatan rekomendasi pemupukan. Produktivitas lahan akan cepat menurun akibat pengurasan hara oleh tanaman, jika rekomendasi pemupukan sering tidak tepat. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan salah satu faktor kunci untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah sawah. Dalam hal ini perlu memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan iklim, dan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi tanaman.

Aplikasi PHSL adalah inovasi teknologi baru usahatani padi sawah melalui rekomendasi pemupukan yang tepat jenis, dosis, dan waktu pemupukan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Aplikasi ini dikembangkan oleh IRRI (International Rice Reserach Institute), Filipina bersama Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanian. Inovasi aplikasi PHSL ditujukan untuk PPL dan petani.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan petani terhadap teknologi baru untuk rekomendasi pemupukan berbasis TIK, membandingkan hasil usahataninya dan mengetahui faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL. Desa Jembungan adalah desa pertama di Provinsi Jawa Tengah yang mendapat kesempatan untuk pengujian program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) dari BPTP Provinsi Jawa Tengah. Program dari BPTP ini bekerja sama dengan PPL setempat untuk membandingkan hasil panen antara pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL dengan pemupukan yang sering dilakukan oleh petani untuk tanaman padi.

Pengambilan data penelitian dilakukan dalam dua tahap pengumpulan data, tahap pertama diarahkan kepada aktivitas studi pustaka dan pencarian data sekunder. Pada tahap kedua memfokuskan kepada pencarian data primer melalui wawancara kepada beberapa responden. Responden pada penelitian ini adalah petani yang mengikuti program inovasi aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Desa Jembungan. Petani yang mengikuti program PHSL akan membagi lahannya menjadi dua bagian (tidak sama besar), pembagian lahan ini ditujukan untuk membedakan pemupukan berdasarkan rekomendasi aplikasi PHSL dan pemupukan yang biasa dilakukan oleh petani. Petani di Desa Jembungan yang mengikuti inovasi program PHSL berjumlah 20 petani dan semuanya menjadi responden untuk penelitian ini.

(3)

Ditinjau dari usianya, lebih dari 50 % responden berusia lebih dari 40 tahun. Sebagian besar diantaranya (lebih dari 55%) tamat SLTA. Terdapat dua petani yang menyewa lahan untuk usahatani dan lainnya memiliki lahan sendiri. Luasan lahan yang dimiliki petani responden relatif kecil, 75 % petani memiliki luas lahan 0.2 – 0.3 hektar, 20 % memiliki lahan seluas 0.3 – 0.4 hektar dan seorang petani yang luas lahannya 0.4 – 0.5 hektar. Dari berbagai karakteristik petani tersebut, terdapat faktor pendorong dan faktor penghambat petani dalam mengikuti dan mengadopsi inovasi aplikasi PHSL. Faktor pendorongnya adalah (1) dapat meningkatkan produktivitas, (2) adanya sarana mengakses aplikasi, (3) adanya modal, (4) penggunaan pupuk yang efisien, (5) kualitas tanah terjaga. Sedangkan yang termasuk dalam faktor penghambat antara lain, (1) sarana kurang, (2) kekurangan modal, (3) keraguan pada rekomendasi pemupukan yang diberikan, (4) prosedur yang cukup rumit.

Struktur biaya produksi untuk usahatani padi pada lahan petani dan lahan PHSL umumnya relatif sama, komponen biaya terbesar adalah upah tenaga kerja yang meliputi pengolahan tanah, cabut tanam, penanaman, pengendalian OPT. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat dalam komponen biaya pemupukan, pada lahan non PHSL biaya pemupukan mencapai Rp 320,065 atau sekitar 20.62 % dari total biaya tunai, sedangkan pada lahan PHSL biaya pemupukan hanya sekitar 12.93 % dari total biaya tunai atau sekitar Rp 23,078.

Produksi rata – rata yang dihasilkan petani untuk budi daya padi di lahan non PHSL adalah 1,732.89 kg dengan pendapatan senilai Rp 6,065,122 dan di lahan PHSL mempunyai produksi rata – rata sekitar 246.87 kg dengan pendapatan senilai Rp 864,064. Produksi ini masih dihitung dengan luasan yang tidak sama. Apabila dihitung dalam satuan yang sama yaitu hektar, produksi rata – rata padi yang dihasilkan untuk budi daya padi di lahan petani adalah 6,464.74 kg dan 6,779.12 kg untuk budi daya di lahan PHSL. Pendapatan yang diterima petani adalah hasil rata – rata produksi padi dikalikan dengan harga gabah pada saat itu, yaitu berada pada nilai Rp 3,500. Pendapatan rata – rata petani perhektar di lahan non PHSL adalah sekitar Rp 22,626,590 dan Rp 23,726,918 untuk budi daya di lahan PHSL / musim tanam. Dengan adanya aplikasi PHSL dapat meningkatkan produksi padi rata – rata sekitar 314.38 kg / hektar dengan tambahan keuntungan senilai Rp 1,100,328 / hektar.

Dari nilai B/C, usahatani dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL atau budi daya di lahan PHSL memiliki nilai B/C sebesar 1.91, artinya petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.91 untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan. Usahatani di lahan non PHSL atau pemupukan rekomendasi petani yang biasa mereka lakukan memiliki nilai B/C sebesar 1.70 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk budidaya pertanian akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.70. Hasil ini membuktikan budi daya dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL lebih menguntungkan, meskipun budi daya petani yang biasa dilakukan di Desa Jembungan sudah cukup menguntungkan. Petani di Desa Jembungan dapat mengadopsi ataupun tidak mengadopsi teknologi PHSL, karena usahatani padi yang mereka lakukan selama ini sudah cukup menguntungkan.

(4)

1

BAB I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Selain berperan penting sebagai makanan pokok, padi merupakan sumber perekonomian sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekurangan produksi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk tentu perlu mendapat perhatian utama dalam pembangunan pertanian. Di sisi lain masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mencapai status ketahanan pangan mantap cukup berat. Fakta empirik menunjukkan bahwa sejalan dengan transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke non pertanian, tekanan terhadap pemanfaatan lahan pertanian semakin meningkat terutama karena semakin meningkatnya konversi lahan pertanian ke non pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2010). Perbandingan Produksi, konsumsi, jumlah impor, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun 2005 terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi, konsumsi, jumlah impor, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun 2005

Negara

Produksi

gabah Konsumsi

Jumlah impor Luas areal tanaman padi Luas lahan yang dapat ditanami

% dari beras

dunia Hasil

Luas areal Produk si (ton/ha GKG) ribu ton (kg/kapita

/tahun)

(juta

ton) ribu ha ribu ha

Cina 182,055 70 0.95 29,087 142,615 19.17 28.9 6.26

India 137,620 - - 41,907 160,519 27.62 21.85 3.28

Indonesia 53,985 128 1.29 11,801 21,000 7.78 8.57 4.57

Banglades 39,796 148 1.03 10,524 7,976 6.94 6.32 3.78

Vietnam 35,791 162 - 7,329 6,680 4.83 5.68 4.88

Thailand 29,428 79 - 10,042 14,133 6.62 4.67 2.93

Myanmar 25,364 194 - 7,008 10,093 4.62 4.03 3.62

Filipina 14,603 109 1.06 4,200 5,700 2.77 2.32 3.48

Brazil 13,193 - 0.79 3,916 59,000 2.58 2.09 3.37

Jepang 11,342 53 0.84 1,706 4,397 1.12 1.8 6.65

USA 10,125 7 0.66 1,361 173,450 0.9 1.61 7.44

Korea Selatan 6,435 - 0.22 980 1,646 0.65 1.02 6.57

Mesir 6,125 - - 613 2,922 0.4 0.97 9.99

Malaysia 2,240 63 0.51 676 1,800 0.45 0.36 3.31

Dunia 629,881 - - 151,723 1,402,317 100 100 4.15

(5)

2 Sektor pertanian merupakan sektor terdepan untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia, yaitu untuk menyediakan berbagai makanan pokok. Dalam sejarah hidup manusia dari tahun ketahun mengalami perubahan yang diikuti pula oleh perubahan kebutuhan bahan makanan pokok. Hal ini dibuktikan dibeberapa daerah yang semula makanan pokoknya ketela, sagu, jagung akhirnya beralih makan nasi yang berasal dari beras. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia padi memiliki nilai tersendiri yang tidak mudah untuk digantikan oleh bahan makanan lain. Usaha dalam meningkatkan produksi padi guna mencukupi kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat, kini juga memerlukan masukan (input) yang tepat, yaitu efisien, efektif, dan tidak mencemari lingkungan sehingga petani dapat menerima keuntungan yang layak dan lingkungan yang sehat.

Peningkatan produksi tanaman pangan di masa mendatang akan menjadi suatu keharusan untuk mengimbangi cepatnya laju kebutuhan pangan, sehingga penggunaan lahan akan semakin intensif, bahkan mungkin menjadi super intensif. Seiring dengan intensifnya penggunaan lahan, maka diperlukan ketepatan rekomendasi pemupukan. Produktivitas lahan akan cepat menurun akibat pengurasan hara oleh tanaman, jika rekomendasi pemupukan sering tidak tepat. Di samping itu terjadi pula penimbunan hara di tanah sehingga tidak ekonomis dan mencemari lingkungan. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan salah satu faktor kunci untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan sawah. Dalam hal ini perlu memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan iklim, dan unsur hara yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi optimum. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan baik jika rekomendasi pemupukan disasarkan kepada hasil uji tanah dengan metodologi yang tepat dan teruji. Pendekataan uji tanah sebagai dasar perhitungan kebutuhan pupuk telah dilaksanakan dan berhasil dengan baik di beberapa negara karena didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi maju (Rochayati dan Adiningsih, 2002).

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mempertimbangkan bahwa sistem produksi pertanian padi merupakan suatu sistem dinamik, dimana produk akhirnya (hasil padi) merupakan fungsi dari faktor iklim (radiasi surya, suhu), air, tanah (fisik dan kimia) serta tanaman dengan berbagai karakternya yang bersifat dinamik. Fluktuasi hasil dapat diterangkan sebagai akibat respon proses di dalam tanaman terhadap perubahan faktor diatas. Input (pupuk) yang diberikan merupakan pendukung terhadap kondisi tanah agar proses pertumbuhan tanaman berjalan optimal pada lingkungan tertentu. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah pemupukan berimbang.

Pengertian pemupukan berimbang bukan pemupukan lengkap. Selama ini di sebagian masyarakat telah berkembang pengertian bahwa pemupukan berimbang adalah pemupukan yang menggunakan (compound) NPK. Pemupukan berimbang sebenarnya adalah pemberian pupuk ke dalam tanah dengan jumlah dan jenis hara yang sesuai dengan kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan tanaman untuk mencapai target produksi tertentu. Jadi, apabila tanah di suatu lokasi mempunyai kadar P dan K tinggi, maka pupuk P dan K yang ditambahkan hanya untuk perawatan, dengan takaran setara dengan P dan K yang terangkut panen agar produktivitas tanah tetap terpelihara tanpa menurunkan produktivitas tanaman. Pupuk yang diberikan dapat berupa pupuk tunggal atau pupuk majemuk yang dikombinasikan dengan pupuk tunggal (Rochayati dan Adiningsih, 2002 ).

(6)

3 beragamnya kondisi kesuburan tanah antara lokasi satu dengan lainnya, maka takaran dan jenis pupuk yang diperlukan untuk lokasi – lokasi tersebut tentu akan berbeda pula. Oleh karena itu, pemupukan berimbang sering pula disebut pemupukan (atau pengelolaan hara) spesifik lokasi. Pemupukan berimbang menawarkan beberapa prinsip dan perangkat untuk mengoptimalkan penggunaan hara dari sumber – sumber alami atau lokal (indigenous) sesuai dengan kebutuhan tanaman padi. Sumber hara alami dapat berasal dari tanah, pupuk kandang, sisa tanaman, dan air irigasi (Buresh et al, 2006).

Kegunaan budi daya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budi daya kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budi daya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma – cuma. Pupuk organik dan pupuk hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam – macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya perncemaran lingkungan (Sutanto, 2002).

B.

TUJUAN

Tujuan penelitian yang dilakukan di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah adalah :

1. Analisis pandangan petani terhadap teknologi baru untuk rekomendasi pemupukan berbasis TIK aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi).

2. Membandingkan pendapatan usahatani dan produktivitas padi petani yang menggunakan teknologi PHSL dengan tidak menggunakan teknologi PHSL.

(7)

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

BUDAYA PADI

Globlalisasi telah mengubah status padi dari sumber pangan menjadi komoditas dagang dan spekulasi. Bagi Indonesia, Vietnam, dan Thailand, kenaikan produktivitas memberi kontribusi 80% terhadap kenaikan produksi selama 40 tahun terakhir. Di Indonesia, kenaikan produksi mulai menanjak sejak tahun 1969 – 1984 dengan laju 5.3% per tahun. Setelah itu (1984 – 2000), laju kenaikan produksi hanya 1.9% per tahun, terutama karena kemarau panjang (El – Nino) pada tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997 dan dampak sampingnya berupa serangan hama dan penyakit (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Inovasi teknologi yang diintroduksikan setelah terjadi pelandaian atau penurunan produksi memacu kembali kenaikan produksi. Sejak tahun 1998, diawali oleh kemarau panjang dan krisis moneter pada pertengahan 1997, subsidi saprodi dicabut dan kelembagaan sosial dan keuangan berubah – ubah. Produksi padi yang menurun drastis pada tahun 1998 terpacu kembali oleh iklim yang baik, walaupun kelembagaan sosial, keuangan, dan pemasaran belum berubah, bahkan semakin kurang kondusif. Pada tahun 2000, produksi padi mampu menembus angka 51 juta ton. Dalam dasawarsa terakhir, produksi padi Indonesia mengalami stagnasi, karena sebagian besar lahan produktif telah ditanami varietas unggul. IR64 merupakan varietas yang paling populer dengan areal tanam lebih dari 6 juta hektar. Namun Ciherang, Way Apo Buru, Sintanur, Memberamo, dan beberapa varietas lainnya mulai menggeser pertanaman IR64 di beberapa sentra produksi padi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Di Indonesia pada mulanya hanya masyarakat Jawa dan Bali yang mengenal dominasi budidaya padi sawah, sehingga telah terjadi pemilahan bahwa padi sawah bergantung pada pengairan, dan padi tegalan bergantung pada hujan karena itu disebut juga padi tadah hujan. Hal ini mungkin karena tanah di Jawa dan Bali lebih subur dengan adanya gunung – gunung berapi di tengah kedua pulau. Dari waktu ke waktu gunung – gunung tersebut meletus dan mengeluarkan lahar yang menyuburkan tanah (Tjondronegoro, 2002).

Seperti disimpulkan oleh Geertz (1963) dalam Tjondronegoro (2002), kesuburan itu mengakibatkan bangsa – bangsa Timur semakin mundur pada umumnya. Sejarah mencatat bahwa setelah ekspansi plasma nutfah padi dari Timur ke Barat, panduduk di belahan Timur bumi seperti mandeg (stangnant) dan pertumbuhannya dibendung oleh penduduk di belahan Barat. Bila ditelusuri lebih lanjut, ternyata terjadi arus balik dan Barat berekspansi ke Timur dan Selatan.

(8)

5

B.

PEMUPUKAN PADI

Degradasi lahan pertanian merupakan salah satu masalah dalam pembangunan pertanian. Degradasi sumberdaya lahan pertanian yang dihadapi terutama adalah kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penerapan usaha tani konversi. Gejala terjadinya tanah “lapar pupuk” yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekedar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur – unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan – bahan organik.

Penambahan pupuk organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk organik muncul terutama karena masalah pencemaran lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap produk pertanian, dan aspek penting dari hal tersebut adalah penggunaan bahan organik sebagai pengganti sebagian atau seluruh pupuk kimia tanpa mengurangi tingkat produksi tanaman. Pupuk merupakan salah satu masukan yang mahal dalam sistem pertanian. Pemberian pupuk yang kurang dari mestinya menyebabkan produksi kurang optimal, sedangkan pemberian yang berlebihan akan mengakibatkan pemborosan dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pupuk harus diberikan secara rasional sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah.

Pemupukan pada tanaman padi merupakan hal yang tidak mudah, karena dosis pemupukan tanaman padi sangat relatif. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca atau iklim, jenis tanah, ketersediaan unsur hara dalam tanah, varietas tanaman padi, jenis pupuk yang diberikan dan cara pemberian pupuk. Oleh karena itu takaran pemberian pupuk dan waktu pemberian menjadi hal yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi.

Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu kunci dalam memperbaiki dan meningktakan produktivitas lahan pertanian. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang harus memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan agroklimat, dan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk berproduksi optimal. Mengingat mahalnya harga pupuk, maka penggunaannya harus diefisienkan melalui pemupukan spesifik lokasi yang didasarkan pada data uji tanah. Untuk sementara ini takaran pupuk terutama P dan K dapat didasarkan pada peta P dan K yang telah disusun oleh Puslitbangtanak dan BPTP. Jumlah kebutuhan pupuk berdasarkan peta tersebut di sebagian besar provinsi jauh lebih rendah daripada rekomendasi saat ini. Namun diakui bahwa sebagian petani memupuk melampaui takaran anjuran. Oleh karena itu peran penyuluh lapangan harus ditingkatkan. (Rochayati dan Adiningsih, 2002). Pendekatan ini menguntungkan jika rekomendasi pemupukan dilandasi oleh uji tanah dan analisis tanaman bedasarkan metodologi yang tepat dan teruji.

Program pelayanan uji tanah disajikan pada Gambar 1. Contoh tanah Uji tanah Pemodelan

Petani Analisis Peneliti REKOMENDASI = Hasil meningkat

Lapang Lab.UT Komputer

Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan program pelayanan uji tanah.

(9)

6 Untuk menduga ketersediaan hara didalam tanah diperlukan uji tanah. Uji ini cukup sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang. Tujuannya adalah memberikan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang rasional kepada petani. Untuk mendukung program tersebut laboratorium uji tanah telah dikembangkan dengan fasilitas yang memadai, antara lain di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta; serta di beberapa perguruan tinggi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Peluang peningkatan produktivitas lahan sawah di Indonesia masih terbuka melalui evaluasi insidensi dan penanganan hara selain N, P, dan K, yakni hara S dan Zn. Insidensi kekurangan S diduga cukup luas dan sudah diidentifikasi pada tanah Grumusol di Ngale (Jawa Timur) dan Sulawesi Selatan. Kecenderungan penggunan pupuk N dan P berkadar S rendah atau bebas S seperti urea dan TSP juga akan meningkatkan insidensi kekurangan S. Pada sebagian lahan sawah, kekurangan Zn merupakan faktor pembatas produksi setelah N dan P. Insidensi kekurangan Zn semakin meluas karena angkatan yang besar dan terus menerus dalam produk tanaman dan adanya fiksasi Zn oleh sulfida dalam tanah sawah (Radjagukguk, 2002).

C.

KAJIAN BEBERAPA STUDI TERDAHULU

Penelitian yang berkaitan mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi produksi dan adopsi teknologi baru pertanian telah banyak dilakukan, antara lain Yuliarmi (2006), Yanuar (1999), Anggraeini (2005), Buana (1997), Nahraeni (2000), Santoso et al (2001) dan lain – lain. Namun untuk kasus program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) belum ada yang menganalisis.

Yanuar (1999) menganalisis pendapatan dan produksi usahatani padi di lahan gambut di Desa Blang Ramee, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Daerah Istemewa Aceh. Usahatani di Desa Blang Ramee merupakan usahatani yang dilakukan pada kondisi yang bergambut, dengan tingkat kematangan gambut hemic dan safrik yang kesuburannya rendah. Pengusahaan lahan masih rendah disebabkan ketersediaan modal, tenaga kerja dan kondisi lahan yang miskin unsur hara. Penggunaan faktor produksi juga masih sangat rendah dan belum sesuai anjuran PPL setempat. Teknologi budi daya yang diterapkan pada usahatani padi di Desa Blang Ramee ini masih sangat sederhana dan tanpa perlakuan khusus sesuai dengan kondisi lahan walaupun sebenarnya kondisi lahan di Desa Blang Ramee menuntut penggunaan yang lebih baik. Sehingga produktivitas lahan menjadi rendah.

Anggreini (2005) menganalisis usahatani padi pestisida dan non pestisida di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usahatani padi non pestisida lebih menguntungkan untuk dilakukan jika dibandingkan dengan usahatani padi pestisida di Desa Purwasari. Hal ini dapat dilihat dari nilai pendapatan usahatani padi non pestisida atas biaya tunai dan total yang lebih tinggi. Nilai R/C atas biaya tunai dan total yang lebih besar dari satu serta nilai imbangan penerimaan untuk tiap pekerja secara keseluruhan yang lebih besar daripada usahatani padi pestisida, baik pada saat musim kemarau maupun hujan. Faktor – faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi pestisida dan non pestisida adalah luas lahan, jumlah bibit dan pupuk KCl.

(10)

7 garapan, dan pendapatan) menunjukkan hubungan yang nyata dan bersifat positif, yang menjelaskan bahwa semakin tinggi pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan pendapatan semakin tinggi tingkat adopsi teknologinya sedangkan umur dan pengalaman berusahatani menunjukkan hubungan yang nyata dan besifat negatif, yang menjelaskan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun tingkat adopsi teknologinya.

Nahraeni (2000) dengan analis keputusan menggunakan model logit diperoleh hasil bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat terkait dengan faktor risiko, keyakinan dan pendapatan yang tinggi dari teknologi tersebut. Upaya – upaya pembinaan langsung lapang dan demonstrasi lapang lebih efektif dalam mendorong penerapan teknologi tabela di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Santoso, et al (2001) mengkaji mengenai tingkat penerapan teknologi Sitem Usaha Pertanian (SUP) padi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember yang dilakukakan pada tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 dengan analisis deskriptif memakai sistem skor. Hasil kajian menunjukkan bahwa adopsi teknologi anjuran pada sistem usahatani padi di wilayah pengkajian, belum sepenuhnya diadopsi oleh petani. teknologi anjuran yang diadopsi oleh petani peserta di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember sekitar 53 %, sedangkan teknologi anjuran yang terdifusi oleh petani non peserta mencapai sekitar 47 %. Adopsi teknologi telah berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi, yaitu sekitar 9 % dan 26 %. Agar adopsi teknologi anjuran dapat berlanjut, disarankan agar dorongan pemerintah daerah, pembinaan dan bimbingan melalui kelompok tani ditingkatkan.

Yuliarmi (2006) menganalisis produksi dan faktor – faktor penentu adopsi teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi. Hasilnya tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered berada pada kategoti sedang (60 - 75 %). Kalau dilihat dari tingkat produksi dan pendapatan, perbedaan produksi sebasar 976 kg dan perbedaan pendapatan yang diperoleh petani sebesar Rp 830,959. Permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi sawah di Kecamatan Plered adalah kurangnya modal petani untuk membeli sarana produksi dan membiayai upah tenaga kerja serta tidak adanya jaminan harga yang layak pada saat panen raya. Proses adopsi teknologi pemupukan berimbang di Kecamatan Plered dipengaruhi oleh faktor luas lahan, biaya pupuk, dan harga gabah, dimana semakin luas lahan petani, semakin kecil biaya pupuk, dan semakin tinggi harga gabah semakin besar peluang petani dalam mengadopsi teknologi pemupukan berimbang.

D.

PERTANIAN PRESISI

(11)

8 peralatan pertanian presisi, teknik, perangkat lunak. Sebuah survey dari petani di Denmark menunjukkan bahwa meskipun mereka umumnya optimis tentang pertanian presisi, masalah utama telah menjadi kesulitan dalam membuktikan dalam hal keuntungan ekonomi dan lingkungan (Murakami et al, 2007).

Seminar (2011) menyatakan bahwa ketepatan dan kecepatan waktu produksi produk pertanian menjadi tuntutan pasar pertanian global. Pertanian presisi adalah paradigma pertanian yang memberikan perlakuan presisi dalam semua simpul – simpul rantai agribisnis. Isgin et al, (2008) menyatakan pertanian presisi yang juga dikenal sebagai pengelolaan tanaman spesfiik lokasi adalah manajemen berbasis teknologi pertanian. Beberapa teknik pertanian presisi juga dirancang untuk menyediakan data berharga dan terperinci sebagai informasi tentang kandungan hara dan kualitas tanah di lapangan. Informasi yang dikumpulkan dengan cara ini sangat berguna dalam membantu petani ketika membuat alokasi masukan keputusan yang lebih baik daripada menggunakan praktik konvensional dalam manajemen aspek di segala bidang. Pertanian presisi membantu petani untuk menghindari masukan (input) pada tanaman seperti benih, pupuk, kapur, dan bahan kimia lain melebihi jumlah yang dibutuhkan tanaman yang akan mengakibatkan pencucian atau limpasan permukaan menjadi polutan potensial. Dengan demikian, penggunaan teknologi pertanian presisi memungkinkan petani untuk memantau seluruh aspek usahatani dengan menyesuaikan tingkat aplikasi masukan untuk memaksimalkan tujuan produksi dan meminimalkan jumlah bahan kimia yang diberikan.

Pada akhir abad ke-20, pertanian presisi telah berkembang menjadi topik penelitian di dunia. Saat ini bidang yang paling berperan penting dalam kemajuan pertanian adalah melalui integrasi teknologi informasi ke dalam traktor, mesin dan alat pertanian lain. Namun yang cukup menarik adalah pertanian presisi selalu terkait dengan pemupukan spesifik lokasi. Petani mengharapkan penggunaan teknologi baru dapat menurunkan penggunaan pupuk sebesar dua kali lipat dengan hasil panen yang ralatif sama sengan hasil panen biasanya. (Auernhammer, 2001).

E.

APLIKASI PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI

Pupuk merupakan input yang paling mahal dalam pertanian padi setelah tenaga kerja, namun pupuk yang diaplikasikan oleh petani sering kali tidak efisien. Inefisiensi penggunaan pupuk dapat disebabkan oleh penerapan nutrisi dalam jumlah dan waktu tidak serasi dengan kebutuhan tanaman. Hal ini dapat menurunkan keuntungan bagi para petani, dan aplikasi kelebihan pupuk dapat memiliki efek merugikan lingkungan. Sebagai prinsip umum, jumlah nutrisi diambil oleh tanaman secara langsung berkaitan dengan hasil panen. Petani harus menyesuaikan manajemen pupuk mereka agar sesuai dengan kebutuhan nutrisi tanaman untuk mencapai hasil yang tinggi dan menguntungkan. Hal ini memerlukan kombinasi yang tepat dari sumber pupuk, harga, dan waktu aplikasi untuk kondisi khusus mereka. Mengkombinasi dan memanajemen pupuk tertentu untuk diaplikasikan dalam lahan pertanian memerlukan pengambilan keputusan yang kompleks bagi petani. Pengembangan alat keputusan yang menyederhanakan kompleksitas dan intensitas pengetahuan pengelolaan hara di lapangan serta pedoman khusus untuk digunakan oleh penyuluh, penasihat tanaman, dan petani telah dirancang para ilmuwan IRRI.

(12)

9 cara ini petani, sebagai pengguna, tidak terlibat langsung dalam evaluasi. SSNM (Site Spesifik Nutrient Management)dengan metode omission plot dapat digunakan dalam menentukan kebutuhan pupuk N,P,K tanaman padi tanpa laboratorium dan petani terlibat langsung dalam evaluasi (Fagi dan Kartaatmaja, 2004).

Para ilmuwan dari International Rice Research Institute (IRRI) dan organisasi - organisasi nasional di seluruh Asia, melalui sekitar 15 tahun penelitian mengembangkan Site Specific Nutrient Management (SSNM) untuk tanaman padi. SSNM menyediakan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan untuk secara efektif memasok nutrisi ke tanaman padi bila diperlukan. SSNM telah secara konsisten meningkatkan hasil padi dan keuntungan dalam evaluasi lapang di beberapa negara Asia. Prinsip-prinsip dan manfaat dari praktik perbaikan manajemen nutrisi yang baik telah didokumentasikan dalam publikasi ilmiah, buku panduan, dan situs web (IRRI, 2010). Manajemen pupuk optimal untuk sawah tergantung dari hasil panen, varietas, sisa panen (residu tanaman), jumlah dan kualitas tambahan bahan organik, masukan nutrisi dari sedimen dan banjir musiman, dan ketersediaan air setempat pada musim tanam tertentu.

IRRI dan mitra nasional bekerja sama untuk menggunakan prinsip-prinsip SSNM dan pengetahuan yang ada pada pengelolaan hara untuk mengembangkan pedoman khusus pengelolaan hara. Pada tahun 2008, hal ini melahirkan versi pertama dari inovasi alat yang mudah digunakan, interaktif dan berbasis komputer yang bernama Nutrient Management for Rice. Nutrient Management

dirancang untuk membantu penyuluh pertanian, penasihat tanaman, dan petani dengan merumuskan rekomendasi pemupukan yang disesuaikan dengan kondisi lahan tertentu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi di lapangan. Mulai tahun 2008, versi Nutrient Management for Rice

khusus dirancang untuk budidaya padi di Filipina, dirilis dan didistribusikan melalui CD (Compact Disc) di seluruh Filipina. Versi lain dari Nutrient Management for Rice disesuaikan dengan penanaman padi di Indonesia dirilis dalam bahasa Indonesia dan didistribusikan pada CD di Indonesia dengan nama PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi).

Difusi alat keputusan Nutrient Management for Rice melalui CD diperlambat oleh tingkat di mana CD bisa mencapai pengguna akhir di daerah pedesaan. Distribusi melalui CD juga membatasi memperbarui secara cepat inovasi PHSL jika terdapat temuan penelitian baru. Pada tahun 2009,

Nutrient Management for Rice untuk Filipina dirilis berbentuk aplikasi Web untuk mempercepat difusi, dan kemudian pada tahun 2010 itu terus diperbarui (IRRI 2010a). Pada Gambar 2 akan dipaparkan tampilan muka saat mengakses aplikasi PHSL melalui www.webapps.irri.org/nm

(13)

10 Aplikasi WebNutrient Management for Rice di Filipina saat ini disebut dengan NMRiceWeb. Aplikasi ini memberikan rekomendasi pemupukan untuk sawah tadah hujan dan irigasi dengan kondisi lahan musim tanam tunggal, musim tanam ganda, atau tiga musim tanam. Biaya pemupukan dan waktu disesuaikan untuk mengakomodasi penggunaan sumber nutrisi organik dan masukan nutrisi dari sedimen yang dibawa oleh banjir. Alat ini memberikan rekomendasi pemupukan untuk tingkat hasil yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan dapat menghitung analisis keuntungan sederhana untuk alternatif manajemen pupuk. Pada Gambar 3 dipaparkan keluaran dari aplikasi PHSL setelah menjawab semua pertanyaan yang diajukan meliputi rekomendasi pemupukan, perkiraan biaya dan keuntungan dari pemupukan, gambaran dengan penggunaan BWD.

Gambar 3. Hasil rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui Web setelah menjawab semua pertanyaan. (www.webapps.irri.org/nm)

(14)

11 Dengan adanya NMRiceMobile di Filipina, petani dapat memanggil nomor bebas pulsa. Setelah petani terhubung, suara prompt otomatis menginstruksikan pemanggil untuk menjawab pernyataan – pertanyaan (lampiran 2) tentang kondisi lahan secara spesifik dengan menekan nomor yang sesuai pada keypad ponsel. Setelah petani menjawab semua pernyataan, rekomendasi pupuk lapangan khusus dikirim ke telepon pemanggil sebagai pesan teks. Namun demikian, aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Indonesia masih berbayar (belum bebas pulsa). Gambar 4 akan menampilkan contoh pesan teks yang diterima nomor yang mengakses aplikasi PHSL melalui ponsel.

Gambar 4. Pesan teks yang diterima setelah mengakses NMRiceMobile.

NMRiceWeb dan NMRiceMobile di Filipina adalah aplikasi sepenuhnya kompatibel yang membutuhkan informasi lahan petani, berbagi database umum dan perhitungan, dan menghasilkan rekomendasi pemupukan untuk petani dan penyuluh berdasarkan tanggapan atas pertanyaan. Rekomendasi pemupukan yang diberikan terdiri dari jumlah pupuk untuk diterapkan dengan tahap pertumbuhan tanaman padi. Aplikasi ini mengakomodasi benih padi, termasuk varietas inbrida dan hibrida dengan berbagai jangka waktu pertumbuhan. NMRiceWeb dan NMRiceMobile memberikan panduan yang konsisten dengan prinsip-prinsip ilmiah SSNM untuk padi. Kedua aplikasi tersedia dalam bahasa Inggris dan lokal dipahami dan digunakan oleh petani. Di Indonesia sendiri telah tersedia dalam 5 bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Bugis dan Bali.

Pengembangan aplikasi Nutrient Management for Rice dimungkinkan melalui kemitraan antar organisasi, termasuk pusat penelitian nasional pertanian, penyuluhan, dan sektor swasta. Aplikasi

Nutrient Management for Rice bertujuan untuk memberikan praktik perbaikan manajemen nutrisi yang memungkinkan petani mendapatkan hasil panen yang lebih tinggi dan keuntungan finansial yang lebih tinggi. Aplikasi ini menyesuaikan waktu untuk memberikan pupuk Nitrogen untuk lebih cocok tahap pertumbuhan tanaman kritis, menyesuaikan tingkat pupuk untuk hasil yang diharapkan, dan menyesuaikan manajemen pupuk kalium berdasarkan Kalium yang dipasok dari penggunaan sisa tanaman dan penggunaan sumber nutrisi organik.

Web aplikasi Nutrient Management for Rice sedang dikembangkan untuk padi, gandum, dan jagung di negara-negara di seluruh Asia. Pengembangan dan perilisan aplikasi Web memberikan kesempatan bagi perkembangan selanjutnya dari aplikasi ponsel. Web dan aplikasi ponsel di masa depan memiliki potensi untuk menghubungkan petani dengan pemasok pupuk di dekatnya. Nutrient Management akan diperluas untuk menyediakan petani dengan praktik terbaik manajemen tanaman seperti persiapan lahan, kualitas benih, irigasi, dan manajemen hama di samping pengelolaan hara.

(15)

12

F.

ADOPSI TEKNOLOGI

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi suatu organisasi dalam rangka menjalankan tugasnya serta mewujudkan visi dan misinya antara lain dilakukan dengan menerapkan teknologi komunikasi sebagai salah satu media dalam pengelolaan informasi. Penerapan teknologi suatu organisasi disebabkan oleh beberapa hal yang berbeda satu sama lain, antara lain : kebutuhan dan kepentingan organsasi itu sendiri, kebijakan pemerintah atau paksaan dari negara – negara maju. Dalam penerapan teknologi komunikasi perlu memeprhatikan struktur organisasi yang menampung hasil inovasi baru, kemamupuan teknis sumbeir daya manusia dan budaya yang yang ada dalam organisasi.

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengacu pada penggunaan peralatan elektronik (terutama komputer) untuk memproses suatu kegiatan tertentu. TIK mempunyai kontribusi yang potensial untuk berperan dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang signifikan. Di Indonesia, bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu dari enam bidang fokus utama pengembangan iptek, yaitu : (1) Ketahanan pangan, (2) Sumber energi baru dan terbarukan, (3) Teknologi dan manajemen transportasi, (4) Teknologi informasi dan komunikasi, (5) Teknologi pertahanan, dan (6) Teknologi kesehatan dan obat – obatan. Dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian berkelanjutan, TIK memiliki peranan sangat penting untuk mendukung tersedianya informasi pertanian yang relevan dan tepat waktu.

Saat ini teknologi komunikasi telah berkembang pesat dengan khususnya internet, hal ini diasumsikan memberikan peluang besar oleh para pelaku bisnis dan organisasi tertentu. Internet telah dianggap memberikan peluang besar yang bisa dimanfaatkan untuk sektor pemberian informasi secara cepat, mudah, murah dan tanpa batasan waktu. Namun, dalam bidang pertanian teknologi ini belum banyak dimanfaatkan.

Dengan tidak adanya wadah yang menampung hasil inovasi berpengaruh pada proses difusi inovasi yang menimbulkan kecenderungan untuk menolak, karena individu merasa tidak jelas dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan hasil inovasi yang telah diadopsi oleh organisasi. Selain penolakan ataupun keterlambatan penerimaan disebabkan adanya budaya dan kemampuan teknis. Budaya yang ada dan telah lama berkembang serta menjadi kepercayaan yang merupakan pegangan bagi setiap anggota organisasi. Dengan kondisi tersebut masuknya budaya yang dibawa oleh teknologi yang diadopsi menimbulkan pro dan kontra di tengah – tengah suatu masyarakat. Pro dan kontra tersebut tercermin dalam berbagai sikap dan tanggapan dari anggota masyarakat yang bersangkutan, ketika proses yang dimaksud berlangsung di tengah – tengah mereka. Sedangkan kemampuan teknis yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam kondisi tidak terlatih untuk menggunakannya. Menurut Rogers (1995) diacu dalam Soekartono (2008), organisasi dibuat untuk menangani tugas – tugas rutin dalam skala besar melalui suatu aturan tentang hubungan antar manusia. Struktur diperlukan untuk menampung hasil inovasi, selain itu dapat menjadi penghubung antara satu inovasi dan inovasi yang lain sehingga dapat saling terkait yang pada akhir akan terintegrasi secara sisteman.

(16)

13 Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian berkelanjutan pun sangat dimensi dan interpretasi. Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini, para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi 2004 dalam Lubis 2010). Konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang, dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan.

Soekartono (2008) menyatakan bahwa difusi (penyebar serapan) inovasi terdiri dari unsur – unsur : (1) inovasi (inovation), (2) saluran komunikasi (communication channels), (3) waktu (time), dan (4) sistem sosial (social system). Inovasi merupakan suatu ide, cara – cara ataupun objek yang dioperasikan seseorang sebagai sesuatu yang baru. Baru tidaklah semata – mata dalam ukuran waktu sejak ditemukan atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Saluran komunikasi digunakan untuk menyebarluaskan inovasi yang telah diadopsi oleh organisasi kepada masyarakat ataupun kepada anggotanya. Saluran komunikasi yang digunakan untuk penyebarluasan inovasi kepada masyarakat luas dilakukan melalui media elektronik, media cetak maupun media baru. Waktu, selain itu dalam penyebarluasan inovasi kepada karyawan diperlukan adanya waktu dan adanya pemahaman terhadap sistem sosial yang ada dalam organisasi seperti budaya. Sistem sosial, setiap organisasi memiliki satu budaya atau lebih yang memuat perilaku – perilaku yang diharapkan tertulis atau tidak tertulis. Budaya suatu kelompok dapat digolongkan sebagai seperangkat pemahaman atau makna yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang.

Dalam difusi inovasi terdapat faktor untuk pertimbangan bagi adopter (penerima inovasi) untuk menerima atau menolak. Terdapat lima karakteristik yang menandai setiap gagsan atau cara baru, diterima atau ditolak oleh masyarakat, yaitu :

1. Keuntungan – keuntungan relatif (relative advantages), yaitu sejauhmana inovasi, cara – cara atau gagasan baru ini memberikan suatu keuntungan bagi mereka yang menerimanya.

2. Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak di difusikan tersebut serasi dengan nilai – nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lebih dahulu diperkanalkan sebelumnya, kebutuhan, selera, adat – istiadat dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan.

3. Kerumitan (complexity), yaitu apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal – hal yang rumit, sebab selain sukar untuk dipahami juga cenderung dirasakan merupakan tambahan beban yang baru.

4. Dapat dicobakan (trialability), yaitu bahwa suatu inovasi akan lebih cepat diterima bila dapat dicobakan dulu dalam ukuran kecil sebelum adopter terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Hal ini adalah cerminan prinsip manusia yang selalu ingin menghindari risiko yang besar dari perbuatannya.

5. Dapat dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka adopter akan lebih mudah untuk mempertimbangkan menerimanya, daripada bila inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat diwujudkan dalam pikiran atau hanya dapat dibanyangkan.

(17)

14 Tahap putusan (decision), tahap dimana adopter membuat keputusan meneriam atau menolak inovasi yang diperkenalkan, (4) Tahap implementasi (implementation), tahap dimana adopter melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya mengenai suatu inovasi, dan (5) Tahap pemastian (confirmation), tahap dimana adopter memastikan putusan yang telah diambilnya tersebut.

Dalam keputusan yang dilakukan individu atau adopter ada kemungkinan untuk melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikannya (discontinuance). Bisa saja individu atau

adopter yang menolak inovasi terus mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption) atau tetap menolak (continued rejecttion)sesuai dengan informasi yang diterimanya. Demikian dengan kategorinya, individu yang mengadopsi suatu inovasi (adopter) atas lima kategori sebagai berikut :

1. Innovator, kelompok kosmopolit yang berani dan gemar dengan pembaharuan.

2. Early Adopter, kelompok yang terdiri dari pemimpin informal sebagai panutan bagi adopter selanjutnya.

3. Early Majority, kelompok yang biasanya menjadi anggota tetapi lebih awal mengadopsi inovasi daripada anggota lain.

4. Late Majority, kelompok yang bertindak menjauhi risiko. 5. Laggard, kelompok yang tradisonal.

Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan TIK menjadi sangat komplek dan sulit untuk diadopsi. TIK sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani. Hal ini ditunjukkan ketika beberapa lembaga penelitian dan pengembangan menyampaikan studi kasus yang mendeskripsikan bagaimana TIK telah dimanfaatkan oleh petani dan stakeholders usahawan pelaku bidang pertanian sehingga memperoleh peluang yang lebih besar untuk memajukan kegiatan usahataninya. Keberhasilan pemanfaatan TIK oleh petani di Indonesia dalam memajukan usahataninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Community Training and Learning Centre (CLTC) di Pancasari (Bali) dan Pabelan (Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential.

G.

PERAN PENYULUH PERTANIAN

Pengembangan usahatani tidak terlepas dari peran kelembagaan yang terdiri dari beberapa instansi yang menyangkut penelitian maupun penyuluhan. Instansi baik pemerintah maupun swasta yang melakukan penelitian dan pengembangan pertanian merupakan tempat menghasilkan teknologi baru yang akan diadopsi oleh petani sebagai subjek pertanian. Penyuluh pertanian mempunyai peran dalam proses alih teknologi sehingga dapat diadopsi oleh petani. Cepat atau lambatnya proses adopsi teknologi oleh petani tergantung pada kinerja penyuluh pertanian di lapangan.

(18)

15 Kegiatan penyuluh pertanian meliputi : (1) memfasilitasi proses pembelajaran petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis, (2) memberikan rekomendasi dan mengusahakan akses petani dan keluarganya ke sumber – sumber informasi dan sumber daya yang akan membantu mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (3) membantu menciptakan iklim usaha yang menguntungkan, (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial ekonomi yang tangguh dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluh sebagai lembaga mediasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis.

(19)

16

BAB III. METODE PENELITIAN

A.

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah pada bulan April sampai Juni 2012. Lokasi penelitian dipilih karena daerah tersebut merupakan salah satu daerah pelaksanaan program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi). Kegiatan PHSL ini dilaksanakan oleh BPTP provinsi Jawa Tengah, IRRI (International Rice Research Institute) dengan bantuan PPL kecamatan setempat. Program PHSL ini ditujukan untuk kelompok tani setempat yaitu “Subur Raharjo dan Subur Basuki”.

B.

JENIS DAN METODE PENGUMPULAN DATA

Studi ini dibagi ke dalam dua tahap pengumpulan data. Tahap pertama diarahkan kepada aktivitas studi pustaka dan pencarian data sekunder. Pada tahap kedua akan memfokuskan kepada pencarian data primer melalui metode wawancara mendalam (indepth interview) dengan nara sumber dari pihak petani yang telah menggunakan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali melalui pengisian kuesioner. Petani responden telah membandingkan budi daya yang rekomendasi pemupukannya menggunakan aplikasi PHSL dengan rekomendasi yang biasa mereka lakukan selama ini. Data primer yang dikumpulkan meliputi data identitas diri, data profil petani dan luas lahan usahatani, seluruh data aktivitas produksi, hasil penjualan, biaya produksi dan pendapatan usahatani. Termasuk di dalamnya data penggunaan bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja sebagai variabel yang mempengaruhi produksi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh data yang benar – benar menggambarkan kegiatan produksi. Disamping itu juga data harga input variabel data dan data biaya produksi di masing – masing wilayah penelitian yang akan digunakan untuk menghitung tingkat pendapatan usaha tani.

Kegiatan penelitian ini akan dilakukan dengan beberapa tahapan untuk menganalisis adopsi sistem konsultasi pemupukan hara untuk tanaman padi di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kelayakan aplikasi ini akan dianalisis melalui manfaat yang diperoleh oleh petani dengan adanya aplikasi ini yang dilihat dari aspek kemudahan, teknologi informasi, ekonomi dan sosial budaya. Adapun diagram alir kegiatan penelitian ini akan disajikan dalam Gambar 5.

(20)

17 Gambar 5. Skema langkah – langkah penelitian.

1.

Pengambilan Contoh

Responden utama dari penelitian ini adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani Subur Basuki dan Subur Raharjo yang telah mengikuti program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi). Petani yang mengikuti program tersebut membagi lahan menjadi dua bagian untuk diberi perlakuan pemupukan yang berbeda, yaitu pemupukan rekomendasi petani dan rekomendasi aplikasi PHSL. Budi daya tanaman padi tidak dibedakan antara lahan pemupukan petani dan lahan pemupukan menggunakan aplikasi PHSL, sehingga dapat diketahui perbedaan hasil panen dengan perlakukan pemupukan yang berbeda.

Responden berjumlah 20 petani di Desa Jembungan yang mengikuti program PHSL. Keputusan dalam pengambilan 20 responden memungkinkan bahwa petani yang mengikuti program PHSL lebih banyak tahu tentang aplikasi tersebut. Wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan untuk mengetahui respon petani dengan adanya aplikasi PHSL dan keadaan usahatani selama menggunakan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL, perbedaan rekomendasi pemupukan, penerimaan dan nilai B/C serta faktor – faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi PHSL sesuai dengan karakteristik petani responden.

Pengumpulan dan Pengolahan Data Mulai Penelitian

Survey Pendahuluan : -Observasi

-Wawancara

Studi Literatur

Identifikasi Variabel Penelitian

Penentuan Sampel Penelitian Pembuatan Kuesioner

(21)

18

2.

Kebutuhan Sumber Data

Data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara atau pengisian kuesioner dari nara sumber yang terdiri atas :

1). Petani responden di lokasi penelitian, untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi terhadap pemupukan hara untuk tanaman padi di sawah. Antara lain : lokasi sawah, luasan sawah, jenis padi, umur padi, rekomendasi pemupukan, dll. Hasil panen yang dapat dicapai petani responden setelah menggunakan aplikasi PHSL. Kegiatan budi daya padi sawah yang dilakukan di lokasi penelitian untuk memberi gambaran biaya produksi yang dikeluarkan pada satu musim tanam padi serta untuk menganalisis keuntungan dan nilai B/C pada satu musim tanam. Karakteristik petani responden untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi PHSL.

2). PPL atau penyuluh pertanian lapangan untuk mengetahui peran PPL dalam proses adopsi aplikasi PHSL.

C.

PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

1.

Pandangan Petani

Petani di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali yang mengikuti program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) yang dicanangkan oleh IRRI (International Rice Research Institute) bekerjasama dengan BPTP Jawa Tengah berjumlah 20 petani. Kegiatan ini dilaksanakan untuk melakukan evaluasi lapang terhadap aplikasi PHSL yang sekaligus sebagai ajang promosi aplikasi rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi. Hasil wawancara dengan petani responden ini dianalisis sehingga dapat menggambarkan beberapa faktor yang mendorong dan menghambat petani dalam menerapkan dan mengakses aplikasi PHSL untuk tanaman padi di daerah penelitian. Hasil wawancara juga akan menggambarkan tingkat produksi dan keuntungan petani setelah menggunakan aplikasi PHSL.

Setelah mendapatkan semua data melalui wawancara dan kuesioner kemudian dilakukan pengolahan data dilakukan sebagai berikut :

a. Analisis Deskriptif

Analisis ini digunakan dengan tujuan memperoleh gambaran secara mendalam dan obyektif mengenai obyek penelitian. Tujuan penggunaan analisis ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab – sebab petani mengadopsi aplikasi serta respon petani terhadap aplikasi PHSL. Data primer dan sekunder yang diperoleh dianalisis secara deskriptif tabulasi dan statistik sederhana untuk menggambarkan keadaan petani pengguna rekomendasi aplikasi PHSL dan faktor – faktor yang mendorong dan menghambat adopsi teknologi tersebut.

b. Analisis Teknis

(22)

19 Adapun respon petani terhadap teknologi PHSL didasarkan kepada aspek – aspek yang antara lain meliputi :

1). Analisis operasional, dengan teknik analisis trend dan teknis terhadap variabel terpilih, yaitu kemudahan petani untuk mengakses aplikasi PHSL, kemampuan petani responden untuk menjawab setiap pertanyaan, kemudahan bahasa yang digunakan, respon petani setelah menerima rekomendasi pemberian pupuk yang diterima dari aplikasi PHSL. Analisis ini memberikan arahan tentang tingkat kenyamanan pengguna (petani dan penyuluh pertanian lapangan) untuk mengakses aplikasi PHSL tersebut.

2). Analisis teknologi informasi, dengan teknik analisis dekriptif terhadap variabel – variabel yang telah ditentukan, yaitu kemudahan sambungan komunikasi sistem konsultasi, kemudahan petani dalam menjawab pertanyaan menggunakan handphone, smartphone maupun dengan internet. 3). Analisis sosial budaya, dengan teknik analisis diterapkan secara deskriptif untuk mengetahui dan mengukur kemanfaatan dan kerugian yang diprediksi akan muncul dengan adanya aplikasi PHSL di lokasi penelitian dan ada tidaknya budaya pemupukan yang sering dilakukan di lokasi penelitian.

Pada Gambar 6 dijelaskan kerangka penelitian yang dilakukan di Desa Jembungan, mengenai pandangan petani terhadap aplikasi PHSL, perbandingan usahatani PHSL dan nonPHSL serta faktor penentu adopsi teknologi PHSL.

Gambar 6. Kerangka Penelitian di Desa Jembungan.

Keterkaitan variabel bebas petani terhadap proses adopsi inovasi

baru (PHSL) 1. Penerimaan

2. Biaya 3. Pendapatan 4. Nilai B/C 1. Karakteristik Petani

2. Faktor

pendorong/penghambat adopsi

3. Analisis Operasional 4. Analisis Teknologi

Informasi

5. Analisis Sosial Budaya Pandangan Petani

terhadap inovasi baru (PHSL)

Perbandingan Usahatani PHSL dan

non PHSL

Faktor Penentu adopsi inovasi baru

(PHSL) Teknologi baru :

Pemupukan Aplikasi PHSL

Kebiasaan lama : Pemupukan petani (non PHSL)

Pemupukan padi Petani padi

(23)

20

2.

Pendapatan Usahatani

Kegiatan usaha tani adalah salah satu kegiatan untuk memperoleh produksi di lahan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari pendapatan yang dihasilkannya yang merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan tersebut merupakan hasil dari rangkaian kegiatan budidaya dan kerjasama dari faktor – faktor produksi pertanian. Pendapatan usahatani yang diterima dari petani pemilik faktor – faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu, biasanya dihitung untuk satu kali musim tanam ataupun satu tahun. Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu : (1) menggambarkan keadaan suatu kegiatan usaha dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan suatu usaha. Bagi seorang petani, analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahatani pada saat ini berhasil atau tidak. Analsis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu : penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang telah ditetapkan.

Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Secara umum, pendapatan diperoleh dari penerimaan total dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penerimaan usahatani merupakan nilai dari total produksi padi yang dihasilkan. Pengeluran usahatani meliputi biaya tunai dan biaya diperhitungkan (Anggreini 2005). Pengeluaran tunai usatani (farm payment) adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran tunai usahatani disebut pendapatan tunai usahatani (farm net cashfow).

Tingkat pendapatan usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut : Itunai = NP – BT ... (1) Itotal = NP – (BT + BD) ... (2) Dimana : Itunai = Tingkat pendapatan atas biaya tunai (Rp)

Itotal = Tingkat pendapatan atas biaya total (Rp)

NP = Nilai produk, hasil perkalian jumlah output (kg) dengan harga (Rp) BT = Biaya tunai (Rp)

(24)

21

3.

Imbangan Penerimaan dan Biaya (B/C)

Produksi padi atau pendapatan yang tinggi tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi, karena ada kemungkinan pendapatan yang besar diperoleh dari biaya investasi yang berlebihan. Oleh karena itu, analsis pendapatan usahatani selalu diikuti dengan pengukuran efisiensi. Ukuran efisiensi pendapatan dapat dihitung melalui perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan (B/C ) yang menunjukkan berapa besarnya penerimaan yang akan diterima untuk setiap biaya yang dikeluarkan petani dalam proses produksi.

Nilai B/C yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan biaya satu rupiah akan menghasilkan penambahan penerimaan yang lebih besar dari satu rupiah. Dengan demikian, usahatani dengan nilai B/C lebih besar daripada satu dapat dikatakan menguntungkan secara ekonomi. Sebaliknya jika B/C lebih kecil dari satu berarti penambahan biaya satu rupiah akan menghasilkan penerimaan kurang dari satu rupiah. Dengan demikian, jika nilai B/C kurang dari satu, maka usahatani tersebut dapat dikatakan belum menguntungkan.

B/C atas Biaya Tunai = (( )) ... (3)

B/C atas Biaya Total = ( () ) ... (4)

4.

Analisis Keputusan Adopsi dengan Regresi Logistik

4.1Variabel dan Indokator Adopsi PHSL

Variabel dan indikator yang digunakan dalam studi ini dikelompokkan berdasarkan aspek yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi PHSL, yaitu :

1). Pendidikan

Petani yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam mengadopsi inovasi baru, begitu juga sebaliknya. Lama pendidikan mempunyai hubungan yang tidak langsung terhadap adopsi inovasi kecuali materi yang diajarkan berhubungan secara langsung dengan inovasi tersebut. Jika kondisinya tidak demikian maka lama pendidikan diduga hanya menciptakan suasana mental yang kondusif untuk menerima suatu praktik inovasi baru. Hubungan antara lama pendidikan dengan adopsi inovasi tidak selalu tinggi jika orientasi inovasi tersebut bisa diperoleh dari luar sekolah (Basuki 2008).

2). Umur

Semakin muda umur petani biasanya mempunyai semangat yang lebih terhadap hal atau inovasi baru yang belum mereka ketahui sebelumnya, sehingga peluang untuk mengadopsi inovasi baru itu akan semakin tinggi dari pada petani yang lebih tua. Akan tetapi, generasi muda pada umumnya juga cenderung kurang menyukai bekerja dibidang pertanian khususnya usahatani. Saat ini, pelaksana usahatani seperti padi didominasi oleh petani yang tidak berumur muda lagi. Perlu diadakan kajian untuk mengetahui apakah hal ini dapat menghambat penerapan suatu inovasi teknologi pertanian (Basuki, 2008).

3). Luas Lahan Usahatani

(25)

22 pertanian dengan sektor nonpertanian dalam penggunaan lahan terutama di Pulau Jawa. Alih fungsi lahan dari sektor pertanian ke sektor lain menyebabkan lahan pertanian semakin sempit. 4). Status Kepemilikan Lahan

Pada umunya, pemilik lahan mempunyai kontrol yang lebih lengkap daripada penyewa lahan. Pemilik lahan dapat langsung membuat suatu keputusan dalam mengadopsi praktik baru, tetapi penyewa lahan sering harus mendapat persetujuan dari pemilik lahan sebelum mencoba atau menerapkan suatu praktik baru tersebut. Secara khusus, hal ini benar apabila penyewa lahan masih membutuhkan beberapa dukungan finansial dari pemilik lahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain ada petani penggarap pemilik lahan juga ada petani penggarap bukan pemilik lahan. Dengan kata lain tidak semua lahan yang digunakan untuk usahatani oleh petani milik petani itu sendiri. Perlu diadakan kajian untuk menilai apakah petani bukan pemilik lahan bisa memberikan respon positif atau mengadopsi terhadap inovasi baru dalam pertanian. 5). Pendapatan

Petani yang mempunyai pendapatan lebih tinggi mempunyai kemampuan lebih besar untuk menanggung biaya usahatani yang biasanya lebih tinggi karena menerapkan suatu inovasi teknologi. Pendapatan usahatani yang berbanding lurus dengan luas lahan usahatani mempunyai makna bahwa semakin luas lahan usahatani padi maka semakin tinggi pula pendapatan usahatani padi.

4.2Model Regresi Logistik

Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk melaksanakan usahatani dengan teknologi PHSL, maka dilakukan analisis dengan menggunakan pendekatan regresi logistik. Di dalam statistik, regresi logistik digunakan untuk memprediksi kemungkinan (probabilitas) dari suatu kejadian dengan data fungsi logit dari kurva logistik. Bentuk analisis regresi banyak menggunakan beberapa variabel yang berupa numerik atau kategoris. Regresi logistik adalah bagian dari analisis regresi yang digunakan ketika variabel dependen (respon) merupakan variabel dikotomi. Variabel dikotomi biasanya hanya terdiri dari atas dua nilai, yang mewakili kemunculan atau tidak adanya suatu kejadian yang biasanya diberi angka 0 atau 1 (Widiarta dan I Gusti, 2011).

Regresi logistik bertujuan untuk menanggulangi kelemahan dari LPM (Linier Probability Model) yang dapat memberi hasil kurang memuaskan, karena menghasilkan probalitias taksiran yang kurang dari nol atau lebih dari satu (Widiarta dan I Gusti, 2011). Regreasi logistik dapat dimanfaatkan untuk memprediksi suatu variabel tidak bebas berdasarkan variabel bebas yang bersifat baik kontinu atau kategoris. Selain itu, seperti regresi yang lainnya, regresi logistik juga dapat digunakan untuk menentukan persentase varian di dalam variabel tidak bebas dijelaskan oleh variabel bebas yang dilibatkan dalam model (Basuki 2008).

Model regresi logistik menggunakan tramsformasi logit. Model umum regresi logistik adalah :

(26)

23 4.3Metode Estimasi

Regresi logistik menerapkan MLE (Maximum Likelihood Estimation) setelah mentransformasikan variabel tidak bebas ke dalam suatu variabel logit (logaritma natural atas odds dari variabel tidak bebas menyatakan kejadian atau ketidakjadian). Perlu dicatat bahwa regresi logistik menghitung perubahan di dalam log odds dari variabel tidak bebas, bukan perubahan dalam variabel tidak bebas itu sendiri sebagaimana di dalam regresi Ordinary Least Square (OLS).

Karena regresi logistik diakomodasikan untuk variabel tidak bebas biner, maka didalam pemodelannya baik variabel bebas dan tidak bebas harus direprentasikan dalam bentuk kode. Variabel yang ditanyakan dalam bentuk kode tersebut didefinisikan sebagai variabel dummy. Reduksi variabel bebas dapat dilakukan dengan melakukan uji hipotesis, yaitu :

H0 : pi = 0 Ha : pi ≠ 0 ;

dimana pi adalah proporsi klasifikasi i di dalam variabel dummy (Widiarta dan I Gusti, 2008). Prinsip dari MLE (Maximum Likelihood Estimation) ini adalah parameter populasi diestimasi dengan cara memakasimumksan kemungkinan (likelihood) dari data observasi. Likelihood merupakan suatu fungsi dari data dan parameter model. Jika terdapat data biner, bentuk dari likelihood adalah sebagai berikut :

Yi = 1 dengan probabilitas pi Yi = 0 dengan probabilias 1 – pi

Misal data observasi bersifat bebas maka likelihood dari data Y1, Y2, ..., Yn adalah p1 dan 1 - p1. Jika untuk setiap Y1 = 1, dengan probabilitas p1 dan untuk setiap Yi = 0 dengan probabilitas 1 - pi, bentuk umum dari likelihood (L)

L = ∏ (1- Pi)1 –Yi ... (6)

Sepintas model di atas menyatakan bahwa likelihood hanya berkaitan dengan probabilitas dan belum menjelaskan mengenai probabilitas dari variabel bebas yang akan diperoleh (Widiarta dan I Gusti, 2008).

4.4Metode Pengujian Parameter Model

Pengujian parameter model dilakukan dengan menguji semua parameter secara keseluruhan dengan menguji masing – masing parameter secara terpisah. Uji rasio likelihood (likelihood ratio test) dapat digunakan untuk melihat pengaruh variabel – variabel penjelas yang dimasukkan dalam model. Untuk menguji apakah variabel penjelas memberikan pengaruh terhadap kebaikan dari model dengan uji rasio likelihood, mula – mula dicari nilai statistik G.

G = -2In[( )

( ) ] ... (7)

Hipotesisi yang dipakai adalah : H0: β1=β2=... = βn= 0

H1: Minimal ada satu β1≠0, dengan i=1,2,..., p.

(27)

24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil – hasil penelitian beserta pembahasan yang meliputi pandangan petani terhadap aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi), faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi inovasi aplikasi PHSL, perbandingan hasil panen dan keuntungan usahatani yang didapatkan petani yang menggunakan aplikasi PHSL dengan menggunakan pemupukan non PHSL (Lampiran 6) dan kecenderungan petani untuk mengadopsi teknologi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali.

Dalam pandangan petani terhadap inovasi aplikasi PHSL akan dideskripsikan respon petani terhadap adanya inovasi baru untuk rekomendasi pemupukan tanaman padi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi. Untuk mengetahui respon petani dengan adanya inovasi aplikasi PHSL ini dilakukan wawancara (Lampiran 1) secara perseorangan kepada setiap petani yang mengikuti program PHSL ini meliputi keuntungan, kelebihan, kekurangan dan kendala yang dialami petani dalam mengadopsi inovasi aplikasi PHSL tersebut. Hal ini dapat dijadikan alasan petani untuk mengambil keputusan menerima ataupun menolak mengadopsi aplikasi rekomendasi pemupukan tersebut. Pendugaan keuntungan secara ekonomi dalam menggunakan aplikasi PHSL dengan cara langsung membandingkan hasil panen dan selisih keuntungan yang didapatkan dan faktor penentu adopsi teknologi PHSL didapatkan dengan model regresi logistik.

A.

PANDANGAN PETANI TERHADAP APLIKASI PHSL

Aplikasi PHSL merupakan inovasi teknologi baru usahatani padi sawah melalui rekomendasi pemupukan yang tepat jenis, dosis, dan waktu pemupukan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Aplikasi ini dikembangkan oleh IRRI (International Rice Reserach Institute), Filipina bersama Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanian. Sejak pertama kali diperkenalkan aplikasi ini sudah 9 kali melakukan pengujian lapang yang tersebar di 9 provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Tengah aplikasi PHSL yang di prakarsai oleh IRRI dan BPTP Jawa Tengah dilakukan di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Oleh karena itu, analisis respon dan pandangan petani yang ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek operasional, teknologi informasi, sosial budaya, dan faktor pendorong dan penghambat adopsi teknologi PHSL.

(28)

25 milik petani, jumlah uang yang diberikan sesuai dengan harga penjulan gabah pada saat itu. Hal ini dinilai petani membantu dan mengindari risiko terhadap hasil panen padi yang akan diperoleh.

Pada program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Desa Jembungan varietas yang ditanam dibebaskan sesuai keinginan petani sehingga varietasnya bervariasi, antara lain Inpari 13, Mekongga, IR-64, Membramo, Lok Ulo, Inpari 1, Inpari 6. Kebutuhan benih padi juga bervariasi menurut luasan lahan yang dimiliki oleh petan

Gambar

Tabel 1.  Produksi, konsumsi, jumlah impor, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun
Gambar 3. Hasil rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui Web setelah menjawab semua
Gambar 4. Pesan teks yang diterima setelah mengakses NMRiceMobile.
Gambar 6. Kerangka Penelitian di Desa Jembungan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu peneliti ingin mengetahui apakah faktor faktor pendidikan, kemampuan tenaga kerja perempuan dapat mempengaruhi diskriminasi pada upah, maka perumusan masalah dalam

Berpedoman pada hasil penilaian kesesuaian lahan, terdapat 4 sifat lahan yang berperan sebagai faktor pembatas untuk mendukung budidaya kayu putih di RPH Gubugrubuh yaitu

Mobilitas sebagai elemen penggerak kota sekaligus mempengaruhi morfologi kota coba diterapkan ke konsep perancangan Graha Otomotif Mitsubishi dengan tujuan agar

Pada mulanya istilah kultur (budaya) populer dalam disiplin ilmu antropologi. kata culture barasal dari kata colere yang memiliki makna “mengolah”,

Maka keselruhan kuesioner pada variabel Y (Dampak Kinerja Karyawan) dapat dikatakan reliabel (0,935 ≥ 0,70), sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ukur yang digunakan untuk

Dari hasil tes yang diberikan menunjukan bahwa dari 30 siswa yang menjadi subyek penelitian pada siklus I pertemuan I terlihat bahwa siswa yang mendapatkan nilai 85-100 dengan

Dengan demikian, budgetary slack yang dilakukan individu disebabkan oleh skema reward yang mendorong perilaku yang dimiliki individu yakni self-interested, dan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan sebelumnya tentang Pengaruh Motivasi, Self efficacy , dan Kemampuan Terhadap Minat Mahasiswa