• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Alam untuk Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Alam untuk Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Barat"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

Model Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Alam untuk

Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Barat

IQBAL FEBRIANO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Model Dinamik Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Barat” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Iqbal Febriano

(4)

iv

RINGKASAN

IQBAL FEBRIANO. Model Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Alam untuk Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Barat. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan BAMBANG JUANDA

Provinsi Jawa Barat memiliki kekayaan SDA yang berlimpah, antara lain: sektor pertanian padi dan perikanan tangkap. Melimpahnya kekayaan SDA tersebut memberikan tantangan pengelolaan, terutama dalam menjaga keberlanjutannya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mencari faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan pertanian padi dan perikanan tangkap di Jawa Barat, serta untuk melihat apakah pemanfaatan tersebut memiliki pola keberlanjutan atau tidak.

Menggunakan regresi data panel dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat selama periode 2008-2012, didapatkan bahwa produksi padi di Jawa Barat dipengaruhi oleh faktor-faktor : luas lahan, luas tutupan hutan, jumlah pompa, dan jumlah traktor. Sedangkn produksi perikanan tangkap di Jawa Barat dipengaruhi oleh jumlah perahu dan jumlah nelayan. Proyeksi yang dihasilkan dari simulasi model dinamik menunjukkan pertanian padi di Jawa Barat akan mengalami penurunan akibat pengurangan luas lahan pertanian, meskipun produktivitas terus naik. Proyeksi untuk perikanan tangkap menunjukkan baik kawasan pantai utara maupun pantai selatan mengalami masalah kapasitas berlebih dan tangkap lebih.

(5)

v

SUMMARY

IQBAL FEBRIANO. Dynamic Model of Natural Resource Management for Sustainable Development in West Java. Supervised by AKHMAD FAUZI and BAMBANG JUANDA.

This study aims at analyze whether natural resources management in West Java Province is on the path of sustainability. Natural resorce in questions are paddy farming and sea (catch) fisheries. This study employ regression analysis and dynamic modelling using Vensim ple software. Regression analysis of panel data from 26 municipality in West Java shows that significant factors in paddy farming are: farming area, forest area, number of water pumps and number of tractors.

Production function for paddy farming shows decreasing return to scale condition. Significant factors for sea fisheries are number of boats and number of fishermen. Production function for sea fisheries shows costant return to scale. Trajectory result from dynamic model shows that paddy farming production will decrease despite increasing yield rate over the time. While decreasing farming area bring harm for paddy production level, it causes positive effect for the environment by lowering methane (CH4) emission. Projection for fisheries shows that fisheries sector for both northern and southern cost is facing the problem of overcapacity and overfishing.

(6)

vi

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

vii

MODEL DINAMIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM UNTUK PEMBANGUNGAN BERKELANJUTAN DI JAWA BARAT

IQBAL FEBRIANO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

(9)

ix

Judul Tesis : Model Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Alam untuk Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Barat

Nama : Iqbal Febriano

NRP : H351100094

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc. Prof. Dr. Ir.Bambang Juanda, MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Akhmad Fauzi, MSc. Dr. Ir. Dahrul Syah. MSc.Agr

(10)

x PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku pembimbing, serta Dr. Ir. Ahyar Ismail M.Agr yang telah bersedia menjadi penguji pada sidang penulis. Terima kasih juga kepada seluruh dosen dan staf di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya Departemen Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (ESL- IPB) yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan proses perkuliahan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman di kelas Pascasarjana (ESL-IPB) yang telah membantu selama pengumpulan data dan penulisan karya ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, beserta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

(11)

xi

2.1.1 Perkembangan Pemikiran Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan .... 7

2.1.2 Model Ekstraksi Sumberdaya Alam : Hotelling Rule ... 8

2.1.3 Ekonomi Perikanan ... 10

4.1.1 Analisis regresi data panel ... 16

4.1.2 Analisis Model Dinamik ... 18

4.2 Metode Pengumpulan Data ... 19

4.3 Waktu Penelitian ... 20

5 KONDISI PENGELOLAAN SDA JAWA BARAT ... 20

5.1 Kependudukan... 20

6.1.2 Sektor Perikanan Tangkap ... 33

6.2 Analisis Model Dinamik ... 35

6.2.1 Sektor Pertanian ... 36

6.2.2 Sektor Perikanan Tangkap ... 47

7 SIMPULAN DAN SARAN ... 57

7.1 Simpulan ... 57

7.2 Saran ... 57

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Jawa Barat

dan Indonesia Tahun 2000 - 2010 ... 2

Tabel 2 Tiga Provinsi dengan PDRB (menurut harga tetap tahun 2000) terbesar .. 3

Tabel 3 Jumlah dan Potensi Air Permukaan (Sungai) di Jawa Barat menurut Lokasi Tahun 2006-2008 ... 3

Tabel 4 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Jawa Barat tahun 2000-2012 ... 4

Tabel 5 Laju Pertumbuhan PDRB Jawa Barat atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha untuk Sektor Primer ... 6

Tabel 6 Variabel dan Indikator ... 19

Tabel 7 Jumlah, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kab/Kota di Jawa Barat 2010 ... 21

Tabel 8 Nilai PDRB Jawa Barat Berdasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha 2010-2012 (juta rupiah) ... 22

Tabel 9 Distribusi PDRB Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha, 2010-2012 ... 23

Tabel 10 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha, 2010-2012 ... 24

Tabel 11 Perbandingan PDRB per Kapita Jawa Barat dan Nasional ... 24

Tabel 12 Sepuluh Kabupaten dengan Produksi Padi Terbesar di Jawa Barat, 2012 ... 26

Tabel 13 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Pertanian Padi Jawa Barat ... 29

Tabel 14 Hasil Pendugaan Model Produksi per Tenaga Kerja Pertanian Padi Jawa Barat dengan Asumsi CRS ... 30

Tabel 15 Hasil Pendugaan Model Produktivitas Pertanian Padi Jawa Barat ... 31

Tabel 16 Hasil Pendugaan Model Produktivitas setelah Modifikasi ... 31

Tabel 17 Pendugaan Frekuensi Panen Sebagai Fungsi dari Jumlah Traktor ... 32

(13)

xiii

Tabel 19 Hasil Pendugaan Frekuensi Panen Sebagai Fungsi dari Jumlah Traktor

dengan Double Log ... 32

Tabel 20 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Perikanan Tangkap Jawa Barat ... 33

Tabel 21 Pendugaan Model Produksi Perikanan Tangkap dengan Dummy Wilayah ... 34

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Hubungan stok SD(S) dan pertumbuhan stok SD (G) ... 10

Gambar 2 Kurva Gordon-Schaefer dalam biomas ... 12

Gambar 3 Kurva Gordon-Schaefer ... 12

Gambar 4 Kerangka Pemikiran ... 15

Gambar 5 Model Dinamik Pembangunan Berkelanjutan menurut Maria-Ene dkk ... 15

Gambar 6 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Padi Jawa Barat, 2001 – 2012 ... 25

Gambar 7 Perkembangan Produktivitas Panen Padi Jawa Barat, 2001-2012 ... 25

Gambar 8 Konsumsi Beras per Kapita Jawa Barat vs Nasional 2007-2012 ... 26

Gambar 9 Hasil Perikanan Tangkap Jawa Barat 2001-2011 ... 27

Gambar 10 Jumlah Unit Perahu Penangkapan Ikan Laut di Jawa Barat 2001-2011 ... 28

Gambar 11 Model Pertanian Padi Jawa Barat... 36

Gambar 12 Proyeksi Produksi Padi Jawa Barat, rK = 0.005 ... 37

Gambar 13 Proyeksi Beras per Kapita Jawa Barat, rK =0.005 ... 38

Gambar 14 Proyeksi Proporsi Produksi Padi terhadap PDRB Jawa Barat, tahun dasar = 2000, rK = 0,005 ... 39

Gambar 15 Proyeksi Growth Index Produksi Padi Jawa Barat, rK = 0,005 ... 39

Gambar 16 Proyeksi Emisi CH4 dari Pertanian Padi Jawa Barat, rK = 0,005 ... 40

Gambar 17 Koefisien Degradasi vs Growth Index Pertanian Padi Jawa Barat, rK = 0,005 ... 41

Gambar 18 Proyeksi Produksi Padi Jawa Barat rK = 0,00181 ... 41

(14)

xiv

Gambar 20 Proyeksi Proporsi Produksi Pertanian Padi terhadap PDRB rK =

0,00181 ... 42

Gambar 21 Proyeksi Growth Index Produksi Padi Jawa Barat, rK = 0,00181 .... 43

Gambar 22 Proyeksi Emisi CH4 dari Pertanian Padi Jawa Barat, rK = 0.00181 . 43 Gambar 23 Koefisien Degradasi vs Growth Index, rK = 0.00181 ... 44

Gambar 24 Proyeksi Produksi Padi Jawa Barat, rK = 0.000132 ... 45

Gambar 25 Proyeksi Beras per Kapita Jawa Barat, rK = 0.000132 ... 45

Gambar 26 Proyeksi Proporsi Produksi Pertanian Padi terhadap PDRB rK = 0,000132 ... 46

Gambar 27 Proyeksi Growth Index Produksi Padi Jawa Barat, rK = 0,000132 .. 46

Gambar 28 Proyeksi Emisi CH4 Pertanian Padi Jawa Barat, rK= 0.000132 ... 47

Gambar 29 Koefisien Degradasi vs Growth Index, rK = 0,000132 ... 47

Gambar 30 Model Perikanan Tangkap Jawa Barat ... 48

Gambar 31 Proyeksi Perikanan Tangkap Pantura Jawa Barat ... 49

Gambar 32 Proyeksi Perikanan Tangkap Pansela Jawa Barat ... 50

Gambar 33 Proyeksi Growth Index Perikanan Tangkap Laut Jawa Barat... 50

Gambar 34 Proyeksi Proporsi Produksi Perikanan Tangkap Laut terhadap PDRB ... 51

Gambar 35 Koefisien Degradasi vs Growth Index Perikanan Tangkap Laut Jawa Barat ... 52

Gambar 36 Proyeksi Produksi Perikanan Tangkap Pantura Jawa Barat , h=qxE . 53 Gambar 37 Proyeksi Perikanan Tangkap Pansela Jawa Barat, h=qxE ... 53

Gambar 38 Kurva yield-effort produksi aktual Pantura ... 54

Gambar 39 Kurva yield effort penangkapan lestari Pantura ... 55

Gambar 40 Proyeksi Growth Index Perikanan Tangkap Laut ... 55

Gambar 41 Proyeksi Proporsi Produksi Perikanan Tangkap Laut terhadap PDRB ... 56

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Regresi dengan STATA ... 60

Lampiran 2 Panel Data Pertanian Padi Jawa Barat 2008-2012 ... 65

Lampiran 3 Hasil Simulasi Produksi Pertanian Padi Jawa Barat, rK = 0.005 ... 70

Lampiran 4 Hasil Simulasi Produksi Pertanian Padi Jawa Barat, rK = 0.00181 ... 71

Lampiran 5 Hasil Simulasi Produksi Pertanian Padi Jawa Barat, rK = 0.000132 ... 72

Lampiran 6 Panel Data Perikanan Tangkap Laut Jawa Barat 2007-2012... 73

Lampiran 7 Hasil Simulasi Perikanan Tangkap Laut Pantura Jawa Barat, h = F(K,L) .... 75

Lampiran 8 Hasil Simulasi Perikanan Tangkap Laut Pansela Jawa Barat, h=F(K,L) ... 76

Lampiran 9 Hasil Simulasi Perikanan Tangkap Laut Pantura Jawa Barat, h=qxE ... 77

Lampiran 10 Hasil Simulasi Perikanan Tangkap Laut Pansela Jawa Barat, h=qxE ... 78

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dua ciri/atribut yang sering disematkan kepada negara Indonesia adalah negara agraris dan negara maritim. Salah satu provinsi di Indonesia yang bisa mewakili kedua atribut tersebut adalah provinsi Jawa Barat. Ciri agraris provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari statusnya sebagai lumbung padi nasional, selama tahun 2011 dan 2012, Jawa Barat berhasil menjadi produsen padi terbesar dengan produksi berturut-turut sebesar 11,63 dan 11,27 juta ton (BPS,2013). Kontribusi hasil panen padi Jawa Barat terhadap produksi padi nasional dapat dilihat pada Tabel 1. Data pada tabel menunjukkan bahwa antara tahun 2000-2011, hasil panen padi provinsi Jawa Barat berada di kisaran 16,76 % – 20,71% terhadap hasil panen padi Indonesia, dengan prosentase tertinggi pada tahun 2000 yakni sebesar 20,71%.

Produksi padi yang tinggi di Jawa Barat, selain disebabkan oleh besarnya luasan lahan panen juga didukung oleh produktifitas per hektar yang lebih tinggi disbanding rata-rata nasional. Produktifitas yang tinggi ini sebagian besarnya ditunjang oleh kondisi alam Jawa Barat yang memungkinkan terbentuknya sistem irigasi yang baik . Data BPS menunjukkan bahwa jumlah areal persawahan yang menggunakan irigasi teknis dan semi teknis di Jawa Barat pada tahun 2012 adalah 756 757 Ha dari total 938 058 Ha sawah yang ada di Jawa Barat (BPS, 2013). Angka tersebut jika diprosentasekan bernilai sekitar 80,67% dari keseluruhan lahan persawahan.

Arti penting Jawa Barat bagi perekonomian Indonesia tidak hanya bisa dilihat dari sektor tanaman pangan saja. Secara umum, provinsi Jawa Barat merupakan 3 besar provinsi dengan PDRB terbesar di Indonesia bersama DKI Jakarta dan Jawa Timur. Nilai PDRB Jawa Barat pada tahun 2012 menurut harga konstan tahun 2000 adalah sebesar 356,3 triliun rupiah (BPS, 2013), jika dihitung menurut harga berlaku, maka nilai PDRB Jawa Baratpada tahun tersebut adalah 946,8 triliun rupiah (BPS, 2013). Tabel 2 menunjukkan perbandingan nilai dan prosentase 3 provinsi dengan PDRB terbesar di Indonesia.

(18)

Tabel 1 Perbandingan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Jawa Barat tidak bisa dipungkiri merupakan akibat dari posisinya yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta. Sejumlah wilayah di Jawa Barat merupakan tempat berdirinya fasilitas penunjang aktivitas ekonomi DKI seperti TPA dan perumahan. Jawa Barat juga merupakan lintasan utama arus manusia dan barang untuk regional Sumatera-Jawa-Bali.

(19)

seluas lebih dari 32 ribu km2 (Dinas PSDA Jabar, 2009). Tabel 3 menyajikan rincian potensi sungai di Jabar dari tahun 2006-2008.

Khusus DAS Citarum, sebuah studi Bank Dunia menyebutkan bahwa kurang lebih 28 juta jiwa kehidupannya terkait dengan aliran sungai ini. Sungai Citarum merupakan penyedia air baku bagi DKI Jakarta. Di sungai ini juga terdapat tiga PLTA dengan kapasitas total 2100 MW. Sekitar 200 ribu ha sawah juga menggantungkan irigasinya pada sungai Citarum.

Potensi lain yang dimiliki oleh provinsi Jawa Barat adalah potensi perikanan tangkap, terutama di wilayah selatannya. Wilayah selatan Provinsi Jawa Barat termasuk dalam wilayah WPP RI-573 yang diperkirakan memiliki potensi lestari 491,7 ribu ton/tahun (DJPT KKP, 2011). Menurut Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2011 wilayah selatan Jawa Barat menghasilkan produksi perikanan tangkap sebesar 19,3 ribu ton (Diskan Jabar, 2013).

Tabel 2 Tiga Provinsi dengan PDRB (menurut harga tetap tahun 2000) terbesar

DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur

2006 312,826,712.76 16.09 257,499,445.75 15.17 271,249,317.01 15.09

2007 332,971,254.83 16.02 274,180,307.83 14.88 287,814,183.91 15.13

2008 353,723,390.53 15.84 291,205,836.70 14.81 305,538,686.62 14.54

2009 371,469,499.10 16.28 303,405,250.51 14.83 320,861,168.91 14.76

2010 395,664,497.61 16.31 321,875,841.47 14.58 342,280,765.51 14.73

Sumber : BPS, diolah

1.2 Perumusan Masalah

(20)

Tabel 3 Jumlah dan Potensi Air Permukaan (Sungai) di Jawa Barat menurut Lokasi Tahun 2006-2008

No.

Balai Pengelolaan

Sumber Daya Air Jumlah Sungai Luas Wilayah (Km2) ( BPSDA ) 2006 2007 2008 2006 2007 2008

Tabel 4 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Jawa Barat tahun 2000-2012

(21)

produktivitas, hal ini tetap harus diwaspadai karena upaya peningkatan produktivitas (intensifikasi) suatu saat akan mencapai titik optimum di mana akan terjadi decreasing return to scale antara investasi (riset, alat, dsb) dan peningkatan

produksi lahan.

Selain menimbulkan peningkatan kebutuhan pangan, pertumbuhan penduduk yang tidak terkelola dengan baik dan tidak didukung oleh perencanaan tata ruang yang tepat juga akan menimbulkan tekanan terhadap sumberdaya lingkungan. Salah satu sumberdaya lingkungan yang terkena dampak langsung dari pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya air. Di provinsi Jawa Barat, contoh dampak negatif perkembangan aktifitas perekonomian terhadap lingkungan sungai dapat dilihat pada DAS Citarum dan Cisadane-Ciliwung.

Upaya pemenuhan kesejahteraan penduduk tidak dapat dilakukan tanpa koordinasi, karena upaya peningkatan produksi satu sektor sangat mungkin menjadi kendala dalam upaya pertumbuhan sektor lain. Salah contoh yang bisa diilustrasikan adalah upaya pemenuhan kebutuhan pangan akan menyebabkan kebutuhan lahan baik untuk lahan tanaman maupun padang penggembalaan hewan ternak. Kebutuhan lahan akhirnya akan mendorong alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian atau peternakan. Berkurangnya luasan tutupan lahan hutan berarti berkurangnya wilayah tangkapan air. Pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi juga akan menghasilkan kompetisi dalam konsumsi air antara kebutuhan rumah tangga (air minum, sanitasi, dll), kebutuhan industri (bahan baku, pelarut limbah, dll), serta kebutuhan produksi pangan (irigasi, minum ternak, dll). Permasalahan akan semakin bertambah rumit jika semakin banyak sektor yang kita ingin hitung sehingga sseluruhnya menghasilkan output yang optimal.

Rumitnya upaya optimalisasi semua sektor SDA dan tidak mudahnya upaya mendapatkan hasil akhir yang positif bisa dilihat dari tabel 5 yang menggambarkan laju pertumbuhan berdasarkan lapangan usaha untuk sektor primer. Angka-angka yang ada terlihat tidak berpola dan seakan-akan terlihat bahwa kenaikan di satu sektor akan menekan pertumbuhan di sektor lain.

Selain permasalahan keterkaitan antar sektor dalam pemanfaatan SDA untuk pembangunan ekonomi, permasalahan lain yang menjadi pertimbangan adalah persoalan keberlanjutan. Meskipun sebagian besar SDAL yang dimiliki oleh Jawa Barat merupakan SDA pulih (renewable), namun bukan berarti SDA

tersebut dapat diekstraksi tanpa batas. Pada SDA pulihpun terdapat batasan jumlah yang boleh dipanen dalam satu periode waktu tertentu agar potensi lestari SDA tersebut tetap terjaga, batasan tersebut secara umum dikenal sebagai

maximum sutainable yield.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pertanyaan penelitian yang dirimuskan oleh penulis adalah :

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan dan kontribusi PDRB sektor pemanfaatan SDA terbarukan (pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan dan perkebunan) ?

(22)

menghasilkan kesejahteraan minimal sama dengan generasi saat ini)?

Tabel 5 Laju Pertumbuhan PDRB Jawa Barat atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha untuk Sektor Primer

Lapangan Usaha Tahun

2007 2008 2009 2010 2011 2012

PERTANIAN 2,49 4,07 12,34 1.00 0,09 0,71

Tanaman Pangan 3,88 4,74 14,90 1.07 0,57 1,85

Tanaman Perkebunan (1,32) 9,45 8,49 (4.22) 4,26 4,65

Peternakan (1,03) (0,55) 2,46 1.80 0,41 1,35

Kehutanan (6,95) (5,23) (15,54) 4.94 3,42 1,20

Perikanan (0,10) 4,75 13,39 2.72 4,33 5,20

PERTAMBANGAN dan PENGGALIAN

(4,38) 2,60 8,38 0.54 5,09 7,18

Migas (4,70) 2,60 8,89 0.62 6,04 8,30

Pertambangan tanpa migas (2,31) 3,77 3,68 7.04 2,33 5,14

Penggalian (0,33) 2,20 2,72 (2.69) 8,59 7,03

PDRB Jabar 6,48 6,21 4,19 6,20 6,48 6,21

Sumber : BPS

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah :

1. Identifikasi faktor-faktor enabling dalam pemanfaatan SDA untuk

pertumbuhan ekonomi

2. Membangun model dinamik pemanfaatan SDA untuk pembangunan berkelanjutan di Jawa Barat

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai :

 Rekomendasi perumusan kebijakan pemanfaatan SDA bagi pembangunan ekonomi di provinsi Jawa Barat

 Dasar untuk melakukan assesment dan penelitian lebih lanjut

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekonomi SDA

2.1.1 Perkembangan Pemikiran Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Pandangan tentang peranan sumberdaya alam terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilacak hingga ke masa pra-klasik dalam pemikiran ekonomi. Sekelompok ekonom Prancis di awal abad ke-18 yang disebut kaum Physiocrat (mereka

menyebut diri mereka sendiri sebagai les economistes) mengembang pemikiran

bahwa pertanian merupakan sektor kunci dalam perkembangan ekonomi karena merupakan satu-satunya sektor yang mampu menghasilkan surplus (Roncaglia, 2005). Tokoh utama kelompok ini, Francois Quesnay, membuat publikasi berjudul Tableau Economique yang menjelaskan bagaimana struktur ekonomi dan

relasi (yakni serangkaian pertukaran komoditas terhadap uang) bertumpu pada sektor produktif (pertanian). Pemikiran lain dari kaum Physiocrat yang patut

dicatat adalah pandangannya tentang keseimbangan alam (natural order) sebagai

sesuatu yang intrinsik pada sifat alami segala sesuatu, sehingga hukum positif (positive order) harus diarahkan untuk menjaga keseimbangan tersebut

(Roncaglia, 2005).

Era ekonomi klasik mengetengahkan pencarian tentang faktor determinan dalam pembentukan kekayaan (wealth), standar kehidupan (standard of living)

dan pertumbuhan ekonomi (growth). Sementara Adam Smith menempatkan

perdagangan dan pasar sebagai kunci pertumbuhan ekonomi serta tenaga kerja (labour) sebagai faktor produksi yang paling menentukan nilai (value) dari sebuah

komoditas, David Ricardo dan Malthus menempatkan lahan (land) sebagai kunci

dari perkembangan ekonomi. Meskipun sama-sama menempatkan lahan sebagai faktor kunci, Malthus dan Ricardo memiliki penjelasan yang berbeda ketika menyimpulkan perkembangan ekonomi akan mengalami stagnasi karena keterbatasan lahan. Malthus menggunakan asumsi stok lahan yang terbatas tidak akan bisa memenuhi kebutuhan akibat pertumbuhan populasi, sementara Ricardo menggunakan pendekatan nilai kembali lahan yang suatu saat akan mengalamai penurunan (diminishing land rent) (Perman et al, 2003).

Pemikiran lain yang patut dicermati pada masa ini adalah pemikiran dari John Stuart Mill. Selain menempatkan perkembangan teknologi dan pengetahuan sebagai faktor yang mempengaruhi pertanian dan produksi secara umum, Mill juga memperkenalkan ide tentang amenity sebagai nilai ekonomi (Perman et al,

2003). Sumbangan penting lain dari Mill adalah pemikirannya mengenai perbedaan mendasar mengenai pertanian (sumberdaya pulih) dan pertambangan (sumberdaya tidak pulih), di mana sumberdaya tidak pulih dicirikan oleh adanya

trade off antara masa kini dan masa mendatang (Fauzi, 2006).

Era berikutnya adalah era neoklasik dimana konsep nilai (value) yang

(24)

di dalamnya terdapat preferensi dan ongkos produksi (Perman et al, 2003). Pada

masa ini pulalah metode analisis dengan menggunakan pendekatan marginal dibentuk dan diformalkan, terutama melalui karya Jevons dan Menger. Teknik analisis dengan pendekatan marginal memberi ruang bagi bentuk formal dari

diminishing return. Pemikiran penting mengenai SDA pada masa ini bisa

ditemukan terutama pada karya Marshall. Selain melakukan elaborasi terhadap mekanisme penentuan harga (price determination), Marshall juga menulis tentang

polusi sebagai eksternalitas dan kegagalan pasar. Pemikir lain yang menyumbangkan pemikiran untuk ekonomi SDA adalah Jevons dengan karyanya

The Coal Questions , yang berbicara mengenai kemungkinan melambatnya

pertumbuhan ekonomi Inggris akibat makin langkanya batu bara sebagai sumber energi.

Dengan terbentuknya landasan analisis dan pemodelan matematika yang

rigorous untuk permasalahan ekonomi, perdebatan dan perkembangan ilmu

ekonomi menjadi lebih terarah. Namun perkembangan mainstream ilmu ekonomi

tetap masih belum memberi tempat bagi kemunculan ekonomi SDAL. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya faktor lahan ataupun SDA apapun lainnya yang dimasukkan dalam fungsi produksi pada model-model ekonomi yang muncul di awal era neoklasik (Perman et al, 2003). Pengecualian dapat diberikan kepada karya Pigou (1920) dan Hotelling (1931) yang memberi sumbangsih besar bagi perkembangan ekonomi SDAL, bahkan hingga kini.

Pemikiran ekonomi SDAL mulai mengalami musim semi pada tahun 1970-an. Banyak karya-karya dan publikasi-publikasi yang akan menjadi karya klasik dalam ilmu ekonomi SDAL. Karya terpenting adalah publikasi Kenneth Boulding yang berjudul The Economics of the Coming Spaceship Earth dan juga

publikasi Club of Rome yang kontroversial dengan judul The Limit to Growth.

Pada dekade ini pula, tepatnya 1977, majalah The Economist mempopulerkan

sebuah istilah yang kini menjadi istilah ikonik dalam ekonomi SDA yakni Dutch Disease. Sebagai respon atas publikasi-publikasi yang memperkirakan

kemandegan pertumbuhan ekonomi atas perilaku serampangan dalam pemanfaatan SDAL, sejumlah ekonom mulai mencoba memasukkan faktor SDA dalam model-model ekonomi neoklasik. Sejumlah ekonom yang melakukan hal tersebut antara lain adalah Dasgupta, Solow, dan Stiglitz.

Milestone penting berikutnya dalam perkembangan ekonomi SDAL adalah

publikasi Richard Auty pada tahun 1993 yang dikenal sebagai Resource Curse Hypothesis. Hipotesis Auty ini seakan mendapat pembenaran ketika Sachs dan

Warner menerbitkan studi mereka yang berjudul Natural Resource Abundance and Economic Growth pada tahun 1995. Studi tersebut menunjukkan bahwa

negara-negara dengan kelimpahan sumberdaya alam ternyata memiliki pertumbuhan ekonomi lebih lambat ketimbang negara-negara tanpa kelimpahan sumberdaya alam.

2.1.2 Model Ekstraksi Sumberdaya Alam : Hotelling Rule

Aturan Hotelling merupakan kondisi efisiensi intertemporal yang harus dipenuhi dalam ekstraksi sumberdaya yang optimal. Aturan ini merupakan syarat perlu dan bukan syarat cukup dalam ekstraksi sumberdaya yang optimal.

(25)

Dengan P merupakan harga bersih (net price) dari sumber daya dan � adalah discount rate yang merupakan biaya oportunitas dari kapital. Namun karena data time-series yang dikumpulkan berupa data diskrit, maka persamaan tersebut

seringkali pula ditulis dalam bentuk diskrit yakni

Atau bisa pula dituliskan dalam bentuk

Meskipun aturan Hotelling ini banyak digunakan untuk memprediksi ekstraksi optimal dari sumber daya tak pulih, persamaan tersebut dapat pula digeneralisasi untuk sumber daya pulih. Untuk mendapatkan persamaan Hotelling untuk sumber daya pulih, yang perlu dilakukan adalah mengubah asumsi tentang stok akhir sumber daya. Jika pada sumberdaya tak pulih stok dianggap tidak bertambah sehingga

Atau

Dengan S adalah stok sumberdaya dan R adalah rate of extraction

Maka pada sumberdaya pulih, terdapat penambahan stok yang merupakan fungsi dari stok saat ini, G=G(St) sehingga

Pemecahan maksimalisasi utilitas (konsumsi) sumberdaya dengan kendala persamaan di atas akan menghasilkan

Persamaan di atas merupakan golden rule ekstraksi sumberdaya pulih.

Pada sumberdaya pulih jika dimisalkan terjadi keadaan steady state yakni

ekstraksi sepanjang waktu tetap dengan jumlah sama dengan jumlah pertumbuhan alami dari stok sumberdaya, jika permintaan dianggap tetap maka harga tidak akan berubah sepanjang waktu sehingga P’(t) = 0 , maka persamaan golden rule

tersebut menjadi

(26)

Gambar 1 Hubungan stok SD(S) dan pertumbuhan stok SD (G)

Gambar 1 memberi ilustrasi hubungan antara resource stock dengan pertumbuhan

stock. Titik pada saat pertumbuhan mencapai nilai maksimum disebut sebagai

maximum sustainable yield (MSY). Tingkat discount rate yang optimal (dG/dS)

merupakan kemiringan pada sebarang titik dalam fungsi G(S).

Aturan Hotelling ini menggambarkan bahwa ekstraksi sumberdaya yang efisien dan optimal mengharuskan manfaat bersih dari sumberdaya harus tumbuh secara proporsional sesuai tingkat biaya oportunitas yang biasanya ditunjukkan dengan tingkat suku bunga. Jika aturan Hotelling ini tidak dipenuhi maka akan terjadi proses realokasi antarperiode untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari sumberdaya (Fauzi, 2006).

2.1.3 Ekonomi Perikanan

Sumberdaya perikanan merupakan salah satu contoh sumberdaya yang terbarukan. Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sumberdaya yang telah lama dimanfaatkan manusia. Manusia mungkin mulai menangkap ikan semenjak manusia masih berburu binatang dan mengumpulkan tumbuhan untuk makanan. Kini binatang dan tumbuhan telah berhasil dibudidayakan sehingga manusia tidak lagi berburu untuk mendapatkan makanan. Perikanan merupakan pengecualian, meskipun telah ada kemajuan besar dalam produksi aquaculture, namun sebagian

besar protein ikan saat ini masih dihasilkan dari perikanan tangkap (Grafton et al, 2004).

Permasalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah sifat dari ikan yang memiliki mobilitas tinggi dan lautan merupakan wilayah yang sulit dan mahal untuk menegakkan property rights, sifat open access dari

GMax = MSY

G*

(27)

sumberdaya perikanan memungkinkan terjadinya overfishing baik dari tinjauan

ekonomi maupun biologi. Model ekonomi yang umum digunakan untuk menggambarkan sumberdaya perikanan dalam kondisi statik dan open-access

adalah model Gordon-Schaeffer.

Untuk menurunkan model Gordon-Schaefer, kita mulai dengan mengingat bahwa fungsi pertumbuhan ikan adalah fungsi logistik yang bisa dituliskan sebagai

Dengan r adalah laju pertumbuhan intrinsik, x merupakan stok sumberdaya, dan K

adalah carrying capacity. Ekstraksi sumberdaya digambarkan sebagai fungsi

produksi h(x,E) dengan persamaan yang digunakan adalah

dengan q merupakan koefisien kemampuan tangkap dan E adalah upaya (effort)

dalam melakukan penangkapan. Dengan adanya penangkapan, maka laju perubahan stok menjadi

Model Gordon-Schaefer mengasumsikan bahwa dalam jangka panjang terjadi keseimbangan stok yakni ∂x/∂t =0, sehingga

Dengan mengingat bahwa profit merupakan pendapatan dikurangi biaya, maka kita bisa mendapatkan persamaan

Dengan p merupakan unit price pada pasar kompetitif sempurna, dan c adalah unit cost pada pasar sempurna. Jika kita mensubtitusi E pada persamaan di atas akan

didapatkan

(28)

Gambar 2 Kurva Gordon-Schaefer dalam biomas

Persamaan di atas menunjukkan bahwa kurva TR terhadap x merupakan kurva

parabola terbuka ke bawah, sedangkan TC terhadap x merupakan fungsi linier

dengan slope negatif, gambar II-2 mengilustrasikan persamaan tersebut

Jika kita mensubtitusi x maka persamaan yang kita dapatkan adalah

Persamaan di atas menunjukkan bahwa kurva TR terhadap x merupakan kurva

parabola terbuka ke bawah, sedangkan TC terhadap x merupakan fungsi linier

dengan slope positif sebesar c, gambar 3 mengilustrasikan persamaan tersebut

Gambar 3 Kurva Gordon-Schaefer Rp

π TC

X∞

TR

XMSY K Biomas (x)

TR Rp

π

TC

E∞

EMSY Effort (E)

(29)

Model Gordon-Schaefer menggambarkan bahwa pada keseimbangan open access agar potensi lestari dapat dipertahankan, effort yang dibutuhkan lebih besar

ketimbang effort yang optimal secara sosial (EMSY > E0) dan juga tingkat

keuntungan yang diperoleh lebih kecil. Secara analisis biologi, gambar II-2 menggambarkan bahwa tingkat keuntungan yang optimal juga memberikan keseimbangan biomas yang lebih besar (x0 > xMSY).

2.2 Pembangunan Berkelanjutan

Isu-isu tentang pembangunan berkelanjutan mulai berkembang pada dekade 70-an bersamaan dengan maraknya publikasi ilmiah untuk mencari model pemanfaatan sumberdaya secara optimal. Adalah Kenneth Boulding yang pertama kali memulai mengangkat isu keberlanjutan melalui publikasinya yang berjudul

The Economics of the Coming Spaceship Earth pada tahun 1966. Dalam essay

tersebut Boulding mengkritik apa yang disebutnya sebagai perilaku cowboy economy sebagai simbol dari perilaku eksploitatif dan tidak bertanggung jawab

(reckless) terhadap sumberdaya yang ada di bumi. Boulding mengungkapkan

bahwa bumi harus dipandang sebagai sistem tertutup yang tidak memiliki

reservoir yang tidak terbatas baik untuk ekstraksi maupun polusi.

Publikasi berikutnya yang memancing kontroversi dan membuka perdebatan tentang isu keberlanjutan adalah The Limits to Growth. Dalam buku

ini kelompok yang bernama The Club of Rome memprediksikan bahwa

pertumbuhan ekonomi dunia tidak bisa terus berlanjut tanpa batas. Hal ini disebabkan bumi memiliki keterbatasan sumberdaya.

PBB akhirnya mengangkat isu ini menjadi agenda internasional ketika pada tahun 1983 membentuk komisi yang dinamakan WCED (World Comission on Environment and Development). Komisi ini pada tahun 1987 mengeluarkan

publikasi yang diberi judul Our Common Future atau disebut juga sebagai Brundtland Report. Laporan ini memberi definisi normatif tentang keberlanjutan

(sustainability) sebagai “development that seeks to meet the needs and aspirations of the present without compromising the ability to meet those of the future”

(Perman et al, 2003).Isu keberlanjutan akhirnya diterima menjadi agenda global

dengan diadakannya KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. 2.2.1 Hartwick Rule

Pada tahun 1977, ekonom John Hartwick mengemukakan dua kondisi yang merupakan syarat cukup untuk mencapai konsumsi konstan (lebih tepatnya

non declining), yakni :

 Aturan saving yakni bahwa rente (scarcity rent) yang dihasilkan

dari ekstraksi SDA tak pulih seluruhnya diinvestasikan untuk capital yang dapat di-reproduksi (yakni modal fisik dan modal SDM)

(30)

Dengan kendala

 Laju pertumbuhan kapital adalah output dikurangi konsumsi

̇

 Sumberdaya tak dapat diperbarui

̇

 Stok awal sumberdaya finite

̅ ∫

Aturan Hartwick juga mensyaratkan fungsi produksi merupakan fungsi Cobb-Douglas dengan constant return to scale dan pengaruh reproducible capital

lebih besar ketimbang resource input

dengan α + β = 1 dan α > β

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Pemanfaatan Sumberdaya Alam selain memiliki dampak pertumbuhan ekonomi, juga mengikabatkan berkurangnya stok sumberdaya alam (deplesi). Pengurangan stok ini seringkali dibarengi dengan pengurangan dayadukung dari sumberdaya alam (degradasi). Deplesi dan degradasi lingkungan membawa dampak lingkungan dan sosial dari pemanfaatan SDA. Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam bisa terbaca dari keseimbangan dampak ekonomi, lingkungan dan sosialnya.

(31)

Gambar 4 Kerangka Pemikiran

Gambar 5 Model Dinamik Pembangunan Berkelanjutan menurut Maria-Ene

Sumberdaya Alam

Pemanfaatan

Indeks Ekonomi Indeks

Lingkungan Indeks Sosial Pertumbuhan

Deplesi dan Degradasi

SDA

Keseimbangan

(32)

4 METODE PENELITIAN

4.1 Metode Analisis

4.1.1 Analisis regresi data panel

Analisis regresi data panel digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pertanian padi dan perikanan tangkap di Jawa Barat. Data panel diperoleh dengan menggabungkan data cross section dan time series.

Penggunaan model regresi data panel memungkinkan peneliti untuk dapat menangkap karakteristik antarindividu dan antarwaktu yang bisa saja berbeda-beda.

Regresi dengan menggunakan panel data/ data panel/ pooled data, memberikan

beberapa keunggulan dibandingkan dengan pendekatan standar cross section dan time series (Gujarati, 2004), diantaranya sebagai berikut:

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih

baik.

2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section

dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan variabel (omitted variable)

3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antarvariabel

4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak mampu dilakukan oleh data time series murni dan cross section murni

5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Sebagai contoh, fenomena seperti skala ekonomi dan perubahan teknologi 6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agrerat

individu, karena data yang diobservasi lebih banyak

Model regresi linear pada data panel dapat dituliskan sebagai berikut: Yit = αᵢ + βXit + Uit

Dimana: і= 1,..., N;

N adalah jumlah individu/ cross sectional units (kabupaten/kota) t= 1,...T;

T adalah jumlah periode waktu (5 yaitu dari tahun 2008-2012)

Pada Xit ada sebanyak k slope (tidak termasuk intersep) yang menunjukkan

jumlah variabel bebas yang digunakan dalam model. Sedangkan αᵢ merupakan efek individu yang dapat bernilai konstan sepanjang periode t atau bahkan berbeda-beda untuk setiap individu ke-i. Apabila αᵢ diasumsikan sama untuk setiap unit, maka modal itu dapat disebut juga sebagai model regresi klasik (classical regression model), dimana metode ordinary least square (OLS)

akan menghasillkan penduga yang konsisten dan efisien untuk α dan β. Apabila αᵢ diasumsikan berbeda-beda antar cross section unit, dan slope

(33)

model fixed effects atau model random effects. Apabila perbedaan interstep

antar cross sectional units tersebut merupakan variabel random atau stochastic

maka model random effects-lah yang sesuai.

Sementara itu error dalam model regresi data panel dapat dituliskan sebagai

berikut:

ada pengaruh spesifik waktu/ no time specific effects/ time invariant). Terdapat

tiga jenis estimasi standar untuk regresi data panel yaitu common effects model (pooled regression), fixed effects model (least square dummy variables estimation, LSDV estimation) dan data random effectsmodel.

Model common effects (pooled regression)

Model common effects merupakan pendekatan data panel yang paling

sederhana, yakni dengan hanya mengkombinasikan data cross section dalam

bentuk pool.

yit=αᵢ + βXᵢt + Ɛit untuk i= 1,2,...26 t=1,2,...5

Model pooled regression (common efects) dapat diestimasi dengan motode least square. Model ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu,

sehingga diasumsikan bahwa perilaku individu sama dalam berbagai kurun waktu. Kelemahan model ini adalah ketidaksesuaian model dengan keadaan sebenarnya. Kondisi tiap obyek dapat berbeda dan kondisi suatu obyek satu waktu dengan waktu yang lain dapat berbeda. Pada model ini asumsi regresi linear klasik dengan metode OLS berlaku sepenuhnya.

Model fixed effects

Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antarindividu dapat diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Namun intersep masing-masing cross section

bersifat fixed, tidak random. Untuk mengestimasi model fixed effects dengan

interstep berbeda antarindividu, maka digunakan teknik variabel dummy.

Model estimasi ini sering disebut dengan teknik least square dummy variable

(LSDV). Model persamaan panel fixed effects dengan asumsi tidak ada

pengaruh periode waktu (no time specific effects). Model random effects

Estimasi data panel dengan fixed effects melalui teknik variabel dummy sering

menunjukkan ketidakpastian model yang digunakan. Untuk mengatasi masalah ini kita bisa menggunakan metode random effects yang

mengasumsikan bahwa individual effects (vᵢ) bersifat random dan tidak

berkorelasi dengan variabel bebasnya. Dengan asumsi tidak ada pengaruh waktu (no time specific effects) maka dalam model random effects terdapat

(34)

4.1.2 Analisis Model Dinamik

Pemodelan dinamik dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Vensim

untuk mendapatkan trajektori dari produksi pertanian dan perikanan tangkap, serta dampak lingkungan dari pemanfaatan SDA. Variabel-variabel serta hubungan antar variable yang digambarkan merupakan hasil dari pemodelan dengan analisis regresi. Beberapa model juga didapatkan melalui ekstrapolasi data yang ada atau dengan memanfaatkan data dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.

Pada penelitian ini satuan waktu (time unit) yang digunakan adalah tahun

dengan initial time = 0, final time = 25, serta time step = 1. Nilai awal (initial value) untuk stock variable didapat dari data BPS tahun 2012, atau menggunakan proxy berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Data laju perubahan didapatkan

dari rataan tahun 2008-2012.

Hasil simulasi dari model tersebut kemudian digunakan untuk melakukan analisis lanjutan. Analisis pertama adalah analisis terhadap tingkat produksi dan laju perubahannya selama rentang waktu simulasi (t0 hingga t25). Analisis

berikutnya adalah analisis terhadap pertumbuhan produksi. Perhitungan terhadap pertumbuhan dilakukan dengan metode indeks yang umum digunakan yakni

, dengan tahun basis yang digunakan adalah tahun

2000. Selain menggunakan metode perbandingan dengan tahun basis, indeks pertumbuhan juga bisa diukur dengan menggunakan metode chaining/linking

(Blanchard, 2011), untuk metode ini ditetapkan indeks pada tahun 2000 = 100. Pada penelitian ini, perhitungan indeks yang digunakan adalah

Analisis berikutnya adalah analisis kontribusi sektor, yakni dengan menghitung perbandingan antara nilai PDRB sektor dengan PDRB total. Penghitungan ini akan menggunakan asumsi PDRB total tumbuh dengan laju sebesar LPE rata-rata dari tahun 2001-2012.

Analisis dampak lingkungan akan dilakukan dengan menggunakan koefisien degradasi. Koefisien degradasi dapat digunakan untuk menghitung degradasi sumberdaya lahan (Amman, 2001) maupun sumberdaya perikanan (Sofyan, 2006). Rumus penghitungan koefisien degradasi adalah

, dengan hs merupakan hasil produksi lestari sedangkan ha

adalah produksi aktual. Menurut Amman (2001), persamaan tersebut menunjukkan adanya efisiensi yang hilang akibat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungan. Dari persamaan tersebut juga bisa dilihat bahwa nilai ambang (threshold) untuk pemanfaatan optimum berkelanjutan, yakni ketika

(35)

Tabel 6 Variabel dan Indikator

Pada penelitian ini, pengukuran pemanfaatan lestari dan aktual untuk pengelolaan pertanian padi Jawa Barat dilakukan dengan menggunakan produktivitas panen. Pemanfaatan aktual diukur sebagai produktivitas panen hasil proyeksi model, sedangkan pemanfaatan lestari adalah produktivitas panen yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah produksi pada tahun-t jika tidak terjadi pengurangan lahan. Sedangkan untuk sektor perikanan tangkap, pemanfaatan lestari diukur sebagai fungsi regenerasi stok ikan, sedangkan pemanfaatan aktual adalah hasil proyeksi produksi pada tahun-t.

4.2 Metode Pengumpulan Data

(36)

4.3 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jawa Barat dari Mei 2013 – Juli 2014

5 KONDISI PENGELOLAAN SDA JAWA BARAT

5.1 Kependudukan

Menurut proxy BPS Jawa Barat (2012) jumlah penduduk di Jawa Barat

pada tahun 2011 mencapai 44.286.519 jiwa dan telah memposisikan Jawa Barat sebagai provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia. Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Barat pada periode 2006-2011 meningkat lebih dari empat juta jiwa. Prosentase penduduk Jawa Barat terhadap nasional pada tahun 2000 sebesar 17,3%, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 18,1%.

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 18,1% dari nasional, sedangkan luas wilayahnya hanya 1,85% dari nasional, maka Jawa Barat tergolong sebagai provinsi berpenduduk sangat padat. Kepadatan meningkat cepat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat pula. Pada tahun 2011 kepadatan penduduk Indonesia sebesar 124 jiwa per km2, sedangkan kepadatan

penduduk Jawa Barat sebesar 1 193 jiwa per km2, atau kepadatannya 9,6 kali

kepadatan nasional (Bappeda Jabar, 2012).

Tabel 7 menunjukkan bahwa menurut sensus penduduk tahun 2010, penduduk terbanyak ada di Kab. Bogor, yakni sekitar 11,1% dari seluruh penduduk di Jawa Barat, sedangkan di Kab. Bandung sekitar 7,4%. Sekitar 50% penduduk Jawa Barat, tersebar di 8 kabupaten/kota saja, yaitu Kab. Bogor, Kab. Bandung, Kab. Bekasi, Kab. Garut, Kota Bandung, Kab. Sukabumi, Kota Bekasi dan Kab. Cianjur. Namun demikian bila di analisis dalam konteks kewilayahan, maka akan tampak wilayah-wilayah yang secara bersama-sama menjadi pusat penduduk, misalnya Kota Bandung dan sekitarnya (Kab. Bandung, Kota Cimahi, Kab. Bandung Barat) dan penduduk sekitar Jakarta (Kab dan Kota Bogor, Kota Depok, Kab dan Kota Bekasi) (Bappeda Jabar, 2012).

5.2 PDRB

(37)

Jawa Barat terbesar adalah sektor industri pengolahan diikuti oleh sektor perdagangan lalu pertanian.

Tabel 7 Jumlah, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kab/Kota di Jawa Barat 2010

Tren dari distribusi PDRB menujukkan bahwa proporsi usaha pertanian terhadap PDRB Jawa Barat cenderung turun, yang diakibatkan oleh turunnya proporsi dari tanaman bahan makanan dari tahun 2010-2012. Selain sektor pertanian, sektor lain yang mengalami tren penurunan adalah sektor industri pengolahan serta sektor pertambangan dan penggalian.

Tabel 9 menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami pertumbuhan

year-on-year (YoY) jauh lebih kecil dari pertumbuhan PDRB. Pada periode

(38)

Sub sektor tanaman pangan, kehutanan dan peternakan menunjukkan tren perlambatan pertumbuhan. Sektor-sektor yang mencatatkan pertumbuhan di atas pertumbuhan PDRB adalah sektor perdagangan, pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan.

Tabel 11 menunjukkan PDRB per kapita Jawa Barat menurut harga berlaku antara tahun 2008-2011 adalah antara Rp.15,2 juta hingga Rp.19,7 juta, atau secara riil (harga konstan) mengalami kenaikan rata-rata 4,2% per tahun. Pertumbuhan PDRB per kapita lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.

PDRB per kapita Jawa Barat selalu lebih rendah daripada nasional, pada periode tersebut, yaitu sekitar 77% dari PDRB per kapita tingkat nasional. Tingkat pertumbuhan riilnya rata-rata juga lebih rendah daripada angka nasional 4,4% per tahun. Artinya pertumbuhan pendapatan masyarakat di Jawa Barat relatif lebih lambat daripada beberapa wilayah lain di Indonesia.

(39)

Tabel 9 Distribusi PDRB Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Hasil panen padi Jawa Barat pada tahun 2012 adalah sebesar 11,2 juta ton, dengan 10,75 juta ton di antaranya dihasilkan dari sawah. Hasil panen tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan hasil tahun 2011 sebesar 11,6 juta ton. Selain penurunan produksi padi, perbandingan antara data tahun 2011 dan 2012 menunjukkan bahwa terjadi pula penurunan produktivitas dan luas panen padi di Jawa Barat. Profil pertanian padi Jawa Barat dari tahun 2001-2012 dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

(40)

Tabel 10 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Harga Konstan Tahun 2000 Menurut

Tabel 11 Perbandingan PDRB per Kapita Jawa Barat dan Nasional

(41)

Tabel 12 menyajikan 10 kabupaten penyumbang produksi padi terbesar untuk Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012. Kesepuluh kabupaten tersebut menyumbang hingga 72% total produksi padi Jawa Barat. Terdapat 4 kabupaten yang memiliki frekuensi panen 2x / tahun atau lebih, dan kab. Garut merupakan wilayah dengan produktivitas panen padi tertinggi sebesar 63,86 ku/ha.

Gambar 6 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Padi Jawa Barat, 2001 – 2012

Sumber : BPS, diolah

Gambar 7 Perkembangan Produktivitas Panen Padi Jawa Barat, 2001-2012

Sumber : BPS, diolah

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(42)

Tabel 12 Sepuluh Kabupaten dengan Produksi Padi Terbesar di Jawa Barat, 2012

Meskipun pertanian padi di Jawa Barat menunjukkan trend kenaikan produksi, namun data dari Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat menunjukkan terjadi penurunan konsumsi beras per kapita penduduk Jawa Barat, sebagaimana tampak pada Gambar 8.

Gambar 8 Konsumsi Beras per Kapita Jawa Barat vs Nasional 2007-2012

5.4 Perikanan

Sektor perikanan merupakan salah satu sektor SDA terpenting di Jawa Barat. Data tahun 2012 menunjukkan bahwa produksi sektor perikanan di Jawa Barat mencapai 776 662,88 ton dengan nilai sebesar 15 101 294 868 rupiah. Sektor perikanan tangkap memberi kontribusi lebih dari setengahnya dengan nili tangkapan senilai 8.9 milyar rupiah. Khusus sektor perikanan laut, nilai tangkapan pada tahun 2012 adalah 4,1 milyar rupiah dengan hasil tangkapan seberat lebih

2007 2008 2009 2010 2011 2012

Jawa Barat 106.13 111.99 108.93 105.25 94.33 90.59

(43)

dari 198 ribu ton (BPS, 2014). Secara total sektor perikanan pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 0.63 persen terhadap PDRB Jawa Barat (BPS, 2014). Jika dibandingkan dengan kontribusi terhadap PDRB Jawa Barat pada thun 2001 yang mencapai 0.85 persen (BPS, 2003), jelas telah terjadi penurunan kontribusi yang diakibatkan oleh laju pertumbuhan sektor yang lebih lambat dari laju pertumbuhan ekonomi pada periode 2001-2012.

Sutisna (2007), mengutip data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat, menyebutkan potensi lestari dari perikanan tangkap laut di Jawa Barat adalah sekitar 300 ribu ton/tahun. Gambar 5-4 menunjukkan grafik hasil perikanan tangkap di Jawa Barat.Tampak dalam grafik bahwa ada selisih hasil tangkapan yang sangat besar antara wilayah pantai utara dan pantai selatan Jawa Barat.

Gambar 9 Hasil Perikanan Tangkap Jawa Barat 2001-2011

Perbedaan yang besar antara hasil tangkap mencerminkan perbedaan dalam jumlah alat produksi dari wilayah pantai utara dan pantai selatan. Sebagaimana terlihat pada Gambar 10, jumlah perahu di wilayah pantai selatan berada jauh di bawah jumlah perahu di wilayah pantai utara. Padahal secara potensi, perikanan tangkap di wilayah selatan Jawa Barat yang termasuk dalam WPP-573 memiliki potensi jauh lebih besar ketimbang wilayah utara yang termasuk WPP-712. Sofyan (2006), mengutip estimasi potensi hasil penelitian Pusat Oseanologi LIPI (2001) menyajikan data bahwa misalnya potensi perikanan pelagis di wilayah samudera hindia mencapai lebih dari 900 ribu ton/tahun, sedangkan wilayah laut jawa hanya memiliki potensi sebesar 345 ribu ton/tahun. Akibat bertumpuknya sarana produksi dan juga nelayan pada wilayah pantai utara pulau Jawa, menyebabkan banyak penelitian menyebutkan bahwa telah terjadi

overfishing di wilayah perairan Laut Jawa. Statistik kelautan dan perikanan tahun

2011, menyajikan data bahwa hampir seluruh jenis ikan di wilayah Laut Jawa

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

H

(44)

sebagian ikan Demersal yang telah mengalami kondisi over atau fully exploited

(DKP, 2012).

Gambar 10 Jumlah Unit Perahu Penangkapan Ikan Laut di Jawa Barat 2001-2011

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis regresi 6.1.1 Sektor Pertanian

Produksi tanaman pangan, terutama padi merupakan sektor SDA terpenting di Jawa Barat. Untuk mengetahui faktor-faktor enabler dari produksi

padi sawah di Jawa Barat, digunakan data panel dari 26 kab/kota di Jawa Barat selama 5 tahun (2008-2012).

Teori dasar ekonomi mikro menyebutkan bahwa produksi merupakan fungsi dari kapital dan tenaga kerja dengan bentuk

…….(1)

Untuk mendapatkan dugaan c, α, dan β melalui regresi linear, maka persamaan tersebut dilinearkan sehingga menjadi bentuk

………(2)

Peubah bebas yang digunakan untuk menduga fungsi produksi tersebut adalah luas lahan sawah dan jumlah tenaga kerja pertanian. Sedangkan peubah tak bebas yang digunakan adalah hasil panen sawah. Pendugaan koefisien regresi menggunakan FEM, REM, dan PLS dapat dilihat pada tabel 6-1.

5,000 10,000 15,000 20,000 25,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ju

m

lah

Perah

u

(U

n

it)

Tahun

(45)

Hasil tersebut kemudian dimasukkan untuk uji LM, Chow, dan Hausman. Hasil ketiga uji tersebut menunjukkan bahwa hipotesis bahwa individual effect tidak

saling berhubungan harus ditolak, sehingga pendugaan paling efisien adalah hasil dari FEM, sehingga fungsi produksi sektor pertanian Jawa Barat adalah

…………(3)

F(K,L) : Hasil produksi pertanian padi (ton)

K : luas sawah (ha)

L : jumlah tenaga kerja (orang)

Tabel 13 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Pertanian Padi Jawa Barat

Peubah FEM REM PLS

lnluassawah 0,5177943

(0,001)** 0,8619471 (0,000)** (0,000)** 1,02528 lntenagakerja 0,2783018

(0,000)** 0,2103288 (0,000)** 0,0231511 (0,565)

Intersep 3,867449 1,35788 1,878045

Adj R2 99,66 98,53 98,73

Angka di dalam kurung menunjukkan P-value

Hasil tersebut menunjukkan bahwa kondisi pertanian padi Jawa Barat mengalami kondisi decreasing return to scale. Persamaan yang didapatkan

menunjukkan bahwa kenaikan 1% dalam luas lahan akan meningkatkan produksi sebesar 0,52%, sedangkan peningkatan 1% dalam jumlah tenaga kerja akan meningkatkan produksi sebesar 0,28%. Nilai elastisitas lahan yang lebih besar dari elastisitas tenaga kerja menunjukkan bahwa produksi pertanian padi Jawa Barat lebih ditentukan oleh luas lahan sawah .

Meskipun model persamaan (3) tampaknya cukup baik, namun pengamatan nilai Variance Inflation Factor (VIF) menunjukkan gejala

multikolinearitas. Pada kegiatan produksi, jika modal yang digunakan bertambah, tenaga kerja juga bertambah sehingga persamaan (6-3) mengandung masalah multikolinearitas (Juanda, 2009). Untuk mengatasi masalah ini, diasumsikan dalam jangka panjang skala output akan mengalami constant return to scale

(CRS) atau α + β = 1, sehingga model persamaan (1) dapat dituliskan kembali menjadi

………..(4)

Pendugaan model dengan menggunakan metode FEM, REM dan OLS dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil uji menunjukkan bahwa pendugaan dengan FEM lebih efisien, sehingga fungsi produksi pertanian padi di Jawa Barat dapat dimodelkan sebagai

(46)

Tabel 14 Hasil Pendugaan Model Produksi per Tenaga Kerja Pertanian Padi Jawa

Berdasarkan elastisitas faktor-faktor pada persamaan (5) dapat disimpulkan bahwa kenaikan 1% pada luas lahan sawah akan menghasilkan peningkatan produksi sebesar 0,71%. Sedangkan kenaikan 1% pada jumlah tenaga kerja akan meningkatkan produksi sebesar 0,71%.

Meskipun model di atas cukup baik, namun belum cukup menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi Jawa Barat, bahkan dalam beberapa model didapatkan bahwa luas lahan berbanding terbalik dengan produksi padi. Untuk mendapatkan faktor-faktor yang berpengaruh pada produksi padi Jawa Barat, maka produksi pertanian padi Jawa Barat juga dapat dinyatakan sebagai sebagai fungsi dari luas lahan, produktivitas panen, dan frekuensi panen.

Q = K G H……….(6) Q = hasil produksi pertanian padi (ton) K = luas lahan (ha)

G = produktivitas panen (ku/ha) H = frekuensi panen (panen/tahun)

Selama kurun 2001-2012, produktivitas padi di Jawa Barat mengalami trend meningkat sebagaimana terlihat dalam gambar 7. Jika pola data luas panen dibandingkan dengan pola data hasil produksi sebagaimana terlihat dalam gambar 6, terlihat bahwa semenjak tahun 2006 pola data produksi menunjukkan pengaruh dari pola produktivitas.

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas lahan adalah: luas irigasi, jumlah pompa dan luas hutan dengan bentuk model

……….(7), dengan

Pompa= Jumlah pompa (unit) itotal = luas lahan irigasi (ha)

LuasHutan= luas tutupan hutan (ha)

(47)

pengamatan pada nilai VIF dan nilai korelasi antar peubah menunjukkan bahwa terjadi multikolinearitas antara peubah Pompa dan itotal, sehingga model harus dimodifikasi dengan menghilangkan salah satu peubah tersebut.

Tabel 15 Hasil Pendugaan Model Produktivitas Pertanian Padi Jawa Barat

Peubah FEM REM PLS

Intersep 26,26828 58,52964 58,82877

Angka di dalam kurung menunjukkan P-value

Hasil pendugaan dengan menghilangkan peubah itotal dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil uji menunjukkan bahwa hasil pendugaan dengan FEM lebih efisien, sehingga fungsi produktivitas pertanian padi Jawa Barat dapat ditulis sebagai

………(8)

G(p,h) = Produktivitas panen padi (ku/ha) p = jumlah pompa (unit)

h = luas hutan (ha)

Tabel 16 Hasil Pendugaan Model Produktivitas setelah Modifikasi

Peubah FEM REM PLS

Pompa 0,0012185

(0,000)** 0,0004877 (0,009)* 0,0000824 (0,579) LuasHutan 0,0000589

(0,015)* 0,0000186 (0,190) 0,000017 (0,107)

Intersep 55,51024 57,72811 58,47621

Angka di dalam kurung menunjukkan P-value

(48)

Pendugaan menunjukkan bahwa jumlah traktor tidak memiliki pengaruh nyata terhadap frekuensi panen. Koefisien regresi jumlah traktor juga menunjukkan angka negatif, yang berarti kenaikan jumlah traktor menurunkan frekuensi panen. Kedua hasil tersebut menunjukkan bahwa model perlu diubah untuk menunjukkan hubungan antara jumlah traktor dengan frekuensi panen. Tabel 17 Pendugaan Frekuensi Panen Sebagai Fungsi dari Jumlah Traktor

Peubah FEM REM

Traktor -0,0000171

(0,737) -0,0000118 (0,785)

Intersep 1,946077 1,884296

Angka di dalam kurung menunjukkan P-value

Modifikasi pertama dilakukan dengan mengubah variable jumlah traktor menjadi jumlah traktor per luas lahan. Hasil pendugaan hubungan jumlah traktor per luas lahan dengan frekuensi panen ada pada Tabel 18

Tabel 18 Hasil Pendugaan Frekuensi Panen Sebagai Fungsi Jumlah Traktor per Luas Lahan

Peubah FEM REM PLS

TraktorperLuas 4,456279

(0,012)* 3,522612 (0,016)* 1,649115 (0,225)

Intersep 1,799285 1,771875 1,882892

Angka di dalam kurung menunjukkan P-value

Hasil uji Hausman ternyata menunjukkan bahwa hasil pendugaan REM lebih efisien dari hasil pendugaan FEM. Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka model untuk menggambarkan hubungan antara frekuensi panen dengan jumlah traktor per luas sawah adalah

………(9)

H(m) = frekuensi panen (kali/tahun)

m = jumlah traktor per luas sawah (unit/ha)

Model menunjukkan bahwa peningkatan jumlah traktor sebesar 1 unit/ha sawah akan meningkatkan frekuensi panen sebesar 3,52 kali/tahun.

Selain pendugaan dengan model linier, hubungan antara jumlah traktor dengan frekuensi panen dapat pula diduga dengan bentuk model non-linier, misalnya dengan model double-log sehingga bentuk persamaannya menjadi

Untuk mendapatkan c dan α melalui regresi linier, maka persamaan tersebut diubah kedalam bentuk linier

(49)

Peubah FEM REM PLS lntraktor 0,0243487

(0,157) 0,0272413 (0,042)* 0.0118733 (0,282)

Intersep 0,5057884 0,4511546 0,576348

Angka di dalam kurung menunjukkan P-value

Hasil uji Haussman menunjukkan bahwa pendugaan REM lebih efisien dari pendugaan dengan FEM, sehingga model hubungan antara frekuensi panen dan jumlah traktor adalah

………(10)

H(m) = frekuensi panen (kali/tahun) m = jumlah traktor (unit)

Dari model tersebut, dapat disimpulkan bahwa kenaikan 1 persen dalam jumlah traktor akan menaikkan frekuensi panen sebesar 0,027 persen dan efek marjinal dari penambahan 1 unit traktor adalah sebesar 0,027H(m)-m.

Secara keseluruhan, menurut hasil analisis regresi yang telah dilakukan, model produksi padi di Jawa Barat adalah

Selain model yang menjelaskan pertumbuhan produksi, perlu diupayakan pula model yang mampu menggambarkan dampak lingkungan dari

6.1.2 Sektor Perikanan Tangkap

Model dibangun berdasarkan dugaan bahwa volume produksi perikanan tangkap dipengaruhi oleh jumlah nelayan dan jumlah perahu. Model yang akan dibangun adalah sebagai berikut

F(A,L) = produksi perikanan tangkap laut (ton) A = jumlah perahu (unit)

L = jumlah nelayan (orang)

Pendugaan model memberikan hasil pada Tabel 20.

Tabel 20 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Perikanan Tangkap Jawa Barat

Peubah FEM REM PLS

lnperahu -0.054029

(0,847) 0.4338071 (0,066)* 0,9088879 (0,000)** lnrtn -0.0149631

(0,901) 0.0338633 (0,788) 0,2815481 (0,261)

Intersep 8,906472 5,204231 0,3455927

(50)

Meskipun hasil pendugaan dengan PLS memberikan hasil yang cukup baik, namun tidak menutup kemungkinan ada model lain yang bisa memberikan pendugaan koefisien dengan lebih baik.

Salah satu model aternatif yang dicoba adalah dengan mengasumsikan bahwa karakteristik individual dari entitas yang diamati bukan terkait dengan perbedaan kota/kabupaten, melainkan terkait dengan perbedaan wilayah pantai utara atau selatan. Pendugaan dengan asumsi tersebut memberikan hasil pada Tabel 21.

Tabel 21 Pendugaan Model Produksi Perikanan Tangkap dengan Dummy Wilayah

Peubah

lnperahu 0,5267083 (0,022)* lnrtn 0,4693295

(0,034)* Intersep 1,651066

Angka di dalam kurung menunjukkan P-value

Hasil pendugaan menunjukkan bahwa faktor jumlah perahu dan jumlah nelayan memiliki pengaruh nyata terhadap hasil tangkap perikanan laut pada tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai R-kuadrat terkoreksi untuk model tersebut adalah 66,21. Nilai intersep untuk wilayah utara adalah 2,26, sedangkan untuk wilayah selatan adalah 0,78

Hasil tersebut menjadikan model produksi perikanan tangkap di Jawa Barat secara umum adalah

……….(11)

F(A,L) = hasil perikanan tangkap laut (ton) A = jumlah perahu (unit)

L = jumlah nelayan (orang)

Model perikanan tangkap laut untuk pantai utara Jawa Barat adalah

………..(12)

Sedangkan untuk perikanan tangkap laut di pantai selatan Jawa Barat, model persamaannya adalah

………….(13)

Dari model tersebut terlihat bahwa α+ β=1, yang menunjukkan bahwa perikanan tangkap laut di Jawa Barat berada pada kondisi constant return to scale.

Gambar

Gambar 5 Model Dinamik Pembangunan Berkelanjutan menurut Maria-Ene
Tabel 6 Variabel dan Indikator
Tabel 7 Jumlah, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kab/Kota di Jawa Barat 2010
Gambar 6 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Padi Jawa Barat, 2001 – 2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

“ kurang berkelanjutan ”. Faktor -faktor terpenting dari setiap dimensi yang diteliti adalah perubahan daerah penangkapan, penggunaan jenis alat tangkap, hubungan antar

Berdasarkan pendekatan optimasi pengembangan perikanan tangkap di perairan Selatan Jawa Barat dapat dirumuskan suatu model umum yang dinamakan BANGKAKAP untuk

Seiring dengan meningkatnya pemahaman dan kesadaran sebagian besar pihak dalam pengelolaan perikanan tuna, khususnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan,

YAYAN HIKMAYANI. Evaluasi Program Rasionalisasi Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO dan DARMAWAN. Salah satu kebijakan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rajungan ( Portunus pelagicus ) untuk Pemanfaatan Berkelanjutan, Kasus: Teluk Bone, Kabupaten

MAPE dari ramalan metode SSA adalah 6.19% sehingga metode SSA cocok digunakan pada peramalan produksi perikanan tangkap di Provinsi Jawa Barat.. Kata Kunci

Ada beberapa permasalahan pada perikanan di pantai utara Jawa Tengah, yakni minimnya kesejahteraan nelayan, indikasi hasil tangkap yang berlebih (over fishing), produksi

1.2 Rumusan Masalah Sebagai daerah pantai yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna, perikanan tangkap merupakan salah satu sub dari sektor perikanan yang perlu di kembangkan untuk