SPATIAL CLUSTERING BERBASIS DENSITAS UNTUK PERSEBARAN TITIK PANAS SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN GAMBUT DI SUMATERA
MUHAMMAD USMAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Spatial Clustering Berbasis Densitas untuk Persebaran Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Muhammad Usman
RINGKASAN
MUHAMMAD USMAN. Spatial Clustering Berbasis Densitas untuk Persebaran Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera. Komisi Pembimbing IMAS SUKAESIH SITANGGANG, dan LAILAN SYAUFINA.
Titik panas merupakan salah satu indikator kebakaran hutan dan lahan yang banyak digunakan untuk pengembangan sistem peringatan dini bahaya kebakaran dengan tujuan untuk melakukan pencegahan, pengendalian dan pemantauan kerusakan serta kebakaran di daerah yang memiliki resiko kebakaran yang tinggi seperti lahan gambut. Data mining sesuai untuk diterapkan dalam proses analisis data persebaran titik panas berukuran besar. Salah satu penerapan metode data mining untuk menganalisis data spasial adalah clustering. Penelitian ini menerapkan algoritme DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise) yang merupakan algoritme pengelompokan yang didasarkan pada kerapatan data untuk membentuk cluster pada data titik panas kebakaran hutan di Sumatera tahun 2002 dan 2013 dengan tujuan untuk menentukan daerah dimana titik panas terjadi dalam kerapatan tinggi di areal lahan gambut pulau Sumatera. Terdapat empat tahapan penelitian. Pertama, praproses data titik panas dan data lahan gambut. Kedua, clustering data titik panas menggunakan algoritme DBSCAN. Ketiga, evaluasi hasil clustering. Keempat, melakukan analisis cluster
berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan gambut untuk memperoleh informasi titik panas yang terdapat di dalam areal lahan gambut.
Hasil pengujian menunjukan bahwa, pada tahun 2002, areal lahan gambut yang memiliki kepadatan titik panas tertinggi di Sumatera terdapat di beberapa wilayah di provinsi Riau dengan nilai densitas mencapai 0.226 km2 dan provinsi
Sumatera Selatan dengan nilai densitas mencapai 0.201 km2. Sebaran titik panas di
provinsi Riau sebagian besar terdapat di areal jenis lahan gambut Hemists/Saprists
(60/40), sangat dalam dan Hemists/Saprists (60/40), sedang dan tersebar merata pada areal dengan ketebalan sedang (100-200 cm), dalam (200-400 cm), dan sangat dalam (> 400 cm). Sedangkan sebaran titik panas di provinsi Riau sebagian besar terdapat di areal gambut dengan jenis Hemists/mineral (90/10), sedang dan didominasi di areal dengan ketebalan sedang (100-200 cm). Penutupan lahan gambut pada kedua wilayah didominasi oleh hutan rawa. Pada tahun 2013, areal lahan gambut yang memiliki kepadatan titik panas tertinggi di Sumatera terdapat di beberapa wilayah di provinsi Riau dengan nilai densitas mencapai 0.226 km2 ,
dimana sebagian besar titik panas terdapat pada jenis lahan gambut
Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam dan banyak tersebar di areal gambut dengan ketebalan sangat dalam. Penutupan lahan gambut di wilayah tersebut didominasi oleh hutan rawa. Terjadi perubahan pola distribusi titik panas dan penggunaan lahan gambut dari tahun 2002 ke tahun 2013, dimana pada tahun 2002 sebaran titik panas sebagian besar terdapat di areal lahan gambut dengan ketebalan sedang (100-200 cm) sedangkan pada tahun 2013 sebaran titik panas didominasi di areal gambut dengan ketebalan sangat dalam (> 400 cm).
SUMMARY
MUHAMMAD USMAN. Density-based Spatial Clustering for Hotspots Distribution as Forest and Peatland Fire Indicator in Sumatera. Supervised by IMAS SUKAESIH SITANGGANG and LAILAN SYAUFINA.
Hotspot is one of forest and land fire indicators that is widely used for developing fire early warning system in the purpose of preventing, controlling and monitoring of wildfire in the area that has high fire risk such as peat land. Data mining is suitable to be applied to analyse the large hotspots data. One application of the data mining methods for analysing spatial data is clustering. The method applied for the study was DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise) algorithm which is a clustering algorithm based on density to form hotspot clusters in the study area of Sumatra in the year of 2002 and 2013.
The research was executed in four stages. First, hotspot and peatland data pre-process. Second, clustering the hotspot using the DBSCAN algorithm. Third, evaluating clustering results. Fourth, analyze clusters based on physical characteristics of peatland to get information about hotspot in the peatland area.
The study revealed that in 2002, the highest density of hotspot found in Riau province with the density value of 0.226 km2 and South Sumatra province with the
density value of 0.201 km2. Distribution of hotspot in Riau province were mostly
found in the area that has peat types of Hemists/Saprists (60/40) with very deep peat, and Hemists/Saprists (60/40) with moderate depth and spread evenly on the area with a moderate depth (100-200 cm), in the deep peat (200-400 cm), and very deep peat (> 400 cm) consecutively. Hotspot distribution in South Sumatera province were mostly found in peat land area that has peat types of Hemists/mineral (90/10) and mostly found in areas with moderate depth (100-200 cm). Land cover of peat land in both regions are dominated by peat swamp forest. In 2013, the highest density of hotspots on peat land area of Sumatra was found in Riau province with the density value of 0.056 km2, where most of hotspots was on peat types of
Hemists/Saprists (60/40), and very deep peat land. Land cover of peat land are dominated by peat swamp forest. It seems that there were changes in the pattern of distribution of hotspot and land cover of peat land from 2002 to 2013, where in 2002 the distribution of hotspot are mostly found in moderate depth (100-200 cm) peat land, whereas in 2013, the distribution of hotspot were mostly found in very deep (> 400 cm) peat land area.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer
SPATIAL CLUSTERING BERBASIS DENSITAS UNTUK PERSEBARAN TITIK PANAS SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN GAMBUT DI SUMATERA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Tesis : Spatial Clustering Berbasis Densitas untuk Persebaran Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera
Nama : Muhammad Usman
NIM : G651120521
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom Ketua
Dr Ir Lailan Syaufina, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Komputer
Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST, MT
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 3 November 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 adalah Spatial Clustering
Berbasis Densitas untuk Persebaran Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Komputer pada program studi Ilmu Komputer Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa bantuan-bantuan dan arahan-arahan dari kedua pembimbing sangat membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom selaku pembimbing I dan Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, M.Sc selaku pembimbing II.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom selaku Ketua Departemen Ilmu Komputer dan juga sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis.
2. Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komputer.
3. Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Ilmu Komputer. 4. Pemerintah Provinsi Aceh sebagai sponsor Beasiswa Pemerintah Aceh. 5. Departemen Kehutanan RI dan Wetland International Program Indonesia
sebagai penyedia data.
6. Orang tua, saudara dan seluruh keluarga yang selalu memberikan dorongan dan mendoakan untuk keberhasilan studi bagi penulis.
7. Seluruh mahasiswa Departemen Ilmu Komputer khususnya teman-teman angkatan tahun 2012 pada program studi S2 Ilmu Komputer.
8. Sahabat-sahabat yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga segala bantuan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis senantiasa mendapat balasan dari ALLAH SWT.
Akhirnya, semoga penulisan tesis ini dapat memperkaya pengalaman belajar serta wawasan kita semua.
Bogor, 12 Desember 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran 4
Spatial Data Mining 5
Spatial Clustering 5
Algoritme DBSCAN 6
3 METODE 8
Lokasi dan Waktu 8
Bahan dan Alat 8
Area Studi 8
Tahapan Penelitian 9
Praproses Data 9
Pembentukan Data set untuk Proses Clustering 10
Clustering Data Titik Panas menggunakan algoritme DBSCAN 10
Evaluasi Hasil Clustering 10
Analisis Cluster 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Pembentukan Cluster Data Sebaran Titik Panas Tahun 2002 16 Pembentukan Cluster Data Sebaran Titik Panas Tahun 2013 23
5 KESIMPULAN DAN SARAN 31
Kesimpulan 31
Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 35
DAFTAR TABEL
1 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau Sumatera
tahun 2002 12
2 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau Sumatera
tahun 2013 13
3 Jumlah cluster dan evaluasi hasil cluster data sebaran titik panas tahun
2002 16
4 Jumlah titik panas tahun 2002pada setiap cluster 17 5 Jumlah cluster dan evaluasi hasil cluster data sebarantitik panastahun
2013 24
6 Jumlah titik panas tahun 2013pada setiap cluster 25
DAFTAR GAMBAR
1 Tahapan proses clustering (Fayyad et al. 1996) 5 2 Ilustrasi konsep Eps-neigborhood, density reachable, dan
density-connected 6
3 Tahapan penelitian 9
4 Jumlah titik panas diareal gambut dan nongambut pulau sumatera tahun
2002 dan 2013. 11
5 Sebaran titik panasberdasarkan ketebalan gambut pulau Sumatera tahun
2002 14
6 Sebaran titik panasberdasarkan ketebalan gambut pulau Sumatera tahun
2013 14
7 Jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut pulau Sumatera tahun
2002 15
8 Jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut pulau Sumatera tahun
2013 15
9 Sebaran titik panas pada cluster 6 dan 24 18 10 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di areal cluster 6 dan
24 18
11 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal cluster
6 dan 24 20
12 Sebaran titik panas pada areal penutupan lahan di areal cluster 6 dan 24 22 13 Wilayah/Kabupaten yang termasuk dalam cluster 42 26 14 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut pada cluster 42 26 15 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal cluster
42 28
16 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal cluster
DAFTAR LAMPIRAN
1 Wilayah administrasi Kabupaten dan Kecamatan yang terdeteksi titik panas pada cluster 6 di areal gambut pulau Sumatera Tahun 2002 37 2 Wilayah administrasi Kabupaten dan Kecamatan yang terdeteksi titik
panas pada cluster 24 di areal gambut pulau Sumatera Tahun 2002 40 3 Wilayah administrasi Kabupaten dan Kecamatan yang terdeteksi titik
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan permasalahan serius dan dipandang sebagai peristiwa bencana regional dan global. Hal ini disebabkan karena dampak dari kebakaran hutan sudah menjalar ke negara-negara tetangga dan gas-gas hasil pembakaran yang diemisikan ke atmosfer (seperti CO2)
berpotensi menimbulkan pemanasan global (Adinugroho et al. 2005). Kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia yang terjadi pada tahun 1997, 1998 dan 2002 telah melampaui batas negara tetangga hingga ke Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand dan Filipina. Kebakaran pada tahun 1997 yang didominasi oleh terbakarnya lahan gambut bahkan telah menyebabkan sekitar 10 juta hektar hutan dan lahan terbakar serta menimbulkan kerugian sekitar US$ 10 miliar (Syaufina 2008). Kebakaran di hutan lahan gambut jauh lebih sulit ditangani dibandingkan di tanah mineral atau dataran tinggi karena apinya menjalar di bawah permukaan (Adinugroho et al. 2005). Dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan gambut meliputi adanya degradasi lingkungan, gangguan kesehatan, dan masalah ekonomi (Adinugroho et al. 2005). Kebakaran pada umumnya disebabkan oleh faktor manusia dan sebagian kecil karena faktor alam (Syaufina 2008).
Indikasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas (hotspot) yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu (Syaufina 2008). Titik panas memiliki kemungkinan untuk menggerombol dalam ruang secara alami mengikuti hukum Geografi 1 Tobbler yaitu semuanya terkait dengan segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang jauh (Miller 2004). Dengan mengetahui persebaran pengelompokkan titik panas, maka dapat diketahui wilayah yang memiliki kepadatan titik panas sehingga dapat dilakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut sejak dini.
Data mining sesuai untuk diterapkan dalam proses analisis data persebaran titik panas berukuran besar. Salah satu penerapan metode data mining untuk menganalisis data spasial adalah clustering. Clustering merupakan proses pengelompokkan kumpulan objek ke dalam kelas-kelas (clusters) sehingga objek-objek dalam satu cluster memiliki kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip terhadap objek dari cluster lain (Han et al. 2012). Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise (DBSCAN) merupakan algoritme clustering
berbasis densitas yang populer dan efisien dalam melakukan clustering terhadap data yang memiliki ukuran yang besar dan bentuk yang berbeda serta tahan terhadap titik noise (Patil & Vaidya 2012).
2
analisis hasil clustering berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan gambut di pulau Sumatera.
Perumusan Masalah
Penyediaan informasi tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan sejak dini merupakan salah satu upaya penting yang perlu dilakukan untuk mengetahui ancaman kebakaran serta sarana untuk membantu proses pengendalian kebakaran. Data persebaran titik panas yang terdeteksi oleh satelit penginderaan jauh merupakan indikator kebakaran hutan dan lahan sehingga analisis terhadap sebaran data tersebut perlu dilakukan. Pada umumnya, menemukan pola data spasial lebih komplek daripada data numerik dan data kategori sehubungan dengan kompleksitas tipe data spasial, ukuran yang lebih besar, dan waktu, sehingga teknik analisis spasial tradisional seperti spatial statistics akan memiliki beban komputasi yang tinggi dan akan kesulitan menemukan pola, kecenderungan dan keterkaitan yang terdapat dalam data spasial yang sangat besar dan beragam (Tan
et al. 2006).
Beberapa penelitian terkini telah mengintegrasikan teknik-teknik canggih penginderaan jauh, spatial data mining, sistem informasi geografis, dan algoritme-algoritme baru untuk mengolah dan menganalisis data spasial seperti data titik panas dan data pendukung lainnya sehingga dapat diperoleh model spasial yang dapat mendeteksi, memetakan, serta memprediksi tingkat kerentanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan lebih baik dan cepat. Data spasial berukuran besar dapat dianalisis menggunakan teknik spatial data mining. Beberapa penelitian terkait telah menerapkan pendekatan clustering pada data mining untuk melakukan clustering pada data spasial titik panas berukuran besar.
Penelitian ini menggunakan algoritme DBSCAN yang merupakan algoritme berdasarkan metode clustering berbasis densitas untuk diterapkan pada data kebakaran hutan dan lahan gambut di pulau Sumatera. Algoritme ini diharapkan dapat bekerja dengan baik dalam membentuk cluster titik panas sehingga memudahkan untuk mengetahui persebaran titik panas di areal gambut pulau Sumatera.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Membentuk cluster titik panas menggunakan algoritme Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise (DBSCAN).
2. Melakukan analisis hasil clustering berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan gambut di pulau Sumatera.
Manfaat Penelitian
3 Ruang Lingkup Penelitian
1. Teknik yang digunakan dalam membentuk clustering titik panas adalah DBSCAN.
2. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data titik panas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2002 dan 2013 yang bersumber dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan peta digital sebaran gambut di pulau Sumatera yang bersumber dari Wetlands International Program Indonesia. 3. Karakteristik fisikal lahan gambut mencakup tipe, kedalaman dan tutupan
lahan gambut.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Gambut di Sumatera
Lahan gambut merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi hidrologi dan fungsi lingkungan lain yang penting bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta mahluk hidup lainnya (Wahyunto et al. 2005). Gambut terbentuk dari bahan-bahan organik, seperti dedaunan, batang dan cabang serta akar tumbuhan, yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, sangat sedikit oksigen, keasaman tinggi dan terbentuk di suatu lokasi dalam jangka waktu geologis yang lama serta tersusun berlapis membentuk susunan hingga ketebalan belasan meter (CKPP 2008). Lahan gambut memiliki manfaat diantaranya sebagai penyimpan air, penyangga lingkungan, lahan pertanian, habitat flora dan fauna, bahan baku briket arang maupun media tumbuh tanaman, dan memiliki kemampuan untuk menyimpan dan menyerap karbon dalam jumlah cukup besar sehingga dapat membatasi lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer (Adinugroho et al. 2005). Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 20.6 juta ha atau 10.8 % dari luas daratan Indonesia dan sebagian besar terdapat di tiga pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, dan Papua 30% (Wahyunto et al. 2005).
Penyebaran lahan gambut di Sumatera pada umumnya terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, yaitu propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat, khususnya di propinsi Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai umumnya mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai (Wahyunto et al. 2005). Pada tahun 1990, luas total lahan gambut di pulau Sumatera mencapai 7.2 juta ha, namun pada tahun 2002 telah menyusut sekitar 9.5% atau sekitar 683 ribu ha. Berdasarkan penghitungan kandungan karbon tanah gambut yang dilakukan di seluruh pulau Sumatera, pada tahun 1990 diperoleh sekitar 22.283 juta ton, sedangkan pada tahun 2002, kandungan karbon berkurang sebesar 3.470 juta ton (15.5%) sehingga tersisa sekitar 18.813 juta ton (Wahyunto et al. 2005).
Lahan gambut di pulau Sumatera mempunyai tingkat kematangan Fibrists
4
dari 1/3 bahan asal yang sudah terdekomposisi dan 2/3 lainnya terdiri dari bahan asli yang bisa dilihat, saprists merupakan jenis lahan gambut dimana terdapat 2/3 bagian dalam keadaan terdekomposisi dan sisanya masih bisa diamati, hemists
merupakan jenis lahan gambut dimana komposisinya diantara fibrik dan saprik
(Syaufina 2008). Ketebalan gambut di Sumatera bervariasi mulai dari sangat dangkal (< 50 cm) seluas 682 ribu ha, dangkal (50-100 cm) seluas 1.24 juta ha sedang (100-200 cm) seluas 2,327 juta ha, dalam (200-400 cm) seluas 1.246 juta ha, dan sangat dalam (400-800 cm) seluas 1.705 juta ha (Wahyunto et al. 2005).
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran hutan merupakan suatu kejadian dimana api menjalar secara bebas dan tidak terkendali melahap bahan bakar bervegetasi pada kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan (Syaufina 2008). Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya kondisi cuaca, kondisi fisik dan kondisi sosial ekonomi (Sitanggang et al. 2013). Salah satu kondisi fisik yang berpengaruh pada kebakaran hutan dan lahan adalah lahan gambut, dimana terdapat beberapa hal yang bisa digunakan sebagai indikator terjadinya kebakaran seperti jenis, ketebalan lahan gambut.
Pembukaan lahan gambut berskala besar dengan membuat saluran drainase telah mengakibatkan resiko terjadinya kebakaran. Pembuatan saluran telah menyebabkan hilangnya air tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami kekeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar. Kebakaran di lahan gambut secara perlahan menggerogoti materi organik di bawahnya dan gas-gas yang diemisikan dari hasil pembakaran dapat memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim global (Adinugroho et al. 2005). Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156.3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu, namun pada tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepaskan selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2.6 milyar ton (Adinugroho et al. 2005).
Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran
5 Spatial Data Mining
Spatial data mining mengacu pada ekstraksi pengetahuan, hubungan spasial, atau yang lain, merupakan proses untuk menemukan suatu pola non trivia yang menarik dan berguna dari data set spasial yang besar, hubungan datanya tidak secara eksplisit yang disimpan dalam ruang basis data (Han et al. 2012). Spatial
data mining juga merupakan proses menemukan sesuatu yang menarik yang
sebelumnya tidak diketahui, tetapi memiliki potensi yang besar dan bermanfaat dari data spasial yang besar (Shekhar & Chawla 2003). Tujuan dari spatial data mining adalah menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari basis data spasial (Leung 2010). Perbedaan utama antara data mining dalam bisnis data relasional dengan data mining dalam basis data spasial adalah bahwa atribut dari beberapa objek yang menarik dari tetangga mungkin memiliki pengaruh yang signifikan pada objek dan area disekitarnya juga harus diperhatikan. Lokasi yang eksplisit dan perluasan objek spasial juga mendefinisikan hubungan implisit dari lingkungan spasial, seperti topologi, hubungan jarak dan arah yang digunakan oleh algoritme Spatial Data Mining (Ester, et al. 1999).
Spatial Clustering
Clustering merupakan proses pengelompokkan kumpulan objek ke dalam kelas-kelas atau cluster sehingga objek-objek dalam satu cluster memiliki kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip terhadap objek dari cluster lain (Han et al. 2012). Spatial clustering dapat diterapkan pada sekelompok objek spasial yang serupa secara bersama-sama, dengan asumsi implisit bahwa pola cenderung dikelompokkan dalam ruang dibandingkan dengan pola acak. Sebagai salah satu fungsi dari data mining, spatial clustering dapat digunakan sebagai alat yang berdiri sendiri untuk mendapatkan wawasan tentang distribusi data, mengamati karakteristik setiap clustering, dan fokus pada kelompok clustering tertentu untuk analisis lebih lanjut (Han et al. 2012).
Clustering melibatkan partisi satu kumpulan data yang dipilih ke dalam kelompok yang bermakna atau kelas. Sebelum melakukan clustering dibutuhkan praproses dalam satu kumpulan data. Gambar 1 mengilustrasikan langkah-langkah dasar untuk proses clustering (Fayyad et al. 1996).
6
Berdasarkan Gambar 1, tahapan awal dalam clustering adalah feature selection. Feature selection berarti mengidentifikasi subset dari features yang ada yang paling bermakna atau berguna. Tujuan feature selection adalah untuk meningkatkan performa dari proses clustering dan meningkatkan efisiensi komputasi proses clustering. Tahapan selanjutnya adalah melakukan pemilihan algoritme yang sesuai dan kemudian menggunakan algoritme tersebut untuk menghasilkan cluster dari data yang diproses. Setelah hasil clustering diperoleh, maka tahapan berikutnya adalah dengan melakukan evaluasi hasil clustering yang dihasilkan. Agar hasil dari proses clustering berguna, maka hasil clustering harus diinterpretasikan agar bermanfaat bagi pengguna dan ilmu pengetahuan.
Algoritme DBSCAN
Konsep DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996): 1)
Neighborhood yang terletak di dalam radius Eps disebut Eps-neigborhood dari obyek data, 2) Jika Eps-neighorhood dari suatu objek berisi paling sedikit suatu angka yang minimum, maka MinPts dari suatu objek disebut core object, 3) Suatu titik p dikatakan directly density-reachable dari titik q, jika titik p berada di dalam ketetanggaan titik q dengan jarak tertentu (ɛ) dan titik q merupakan titik pusat, 4) Objek p adalah density reachable dari objek q terhadap Eps dan MinPts dalam suatu set objek D jika terdapat rantai objek p1, p2,…,pn, dimana p1 = q dan pn = p,
di mana pi+1density reachable dari pi terhadap Eps dan MinPts, untuk 1 i n, pi
anggota D, 5) Objek p adalah density-connected ke objek q terhadap Eps dan
MinPts dalam set objek D jika terdapat suatu objek o anggota D di mana p dan q adalah density reachable dari o terhadap Eps dan MinPts. Gambar 2 menunjukkan ilustrasi konsep Eps-neigborhood, density reachable, dan density-connected (Tan
et al. 2006)
Gambar 2 (a) menunjukkan bahwa data q menjadi inti. Pada gambar tersebut digunakan MinPts = 5 karena jumlah tetangga dan dirinya sendiri lebih dari 5 sehingga data q menjadi inti. Gambar 2 (b) menunjukkan hubungan q sebagai core point dan p sebagai border point. Titik p directly density reachable
dari q sedangkan q tidak directly density reachable dari p. Gambar 2 (c) menunjukkan bahwa q dan p adalah density reachable dari o dan o adalah density reachable dari q sehingga dengan demikian o, q dan p adalah semuanya density-connected.
(a) Eps-neigborhood (b) density reachable (c) density-connected
7 Algoritme DBSCAN mengharuskan pembacaan setiap data untuk mencari tetangganya. Secara rinci algoritme DBSCAN ditunjukkan dalam bentuk
pseudocode berikut (Ester et al. 1996):
Algoritme 1 Algoritme DBSCAN DBSCAN(D, eps, MinPts)
C = 0
for each unvisited point P in dataset D mark P as visited
NeighborPts = regionQuery(P, eps) if sizeof(NeighborPts) < MinPts mark P as NOISE
else
C = next cluster
expandCluster(P, NeighborPts, C, eps, MinPts) expandCluster(P, NeighborPts, C, eps, MinPts) add P to cluster C
for each point P' in NeighborPts if P' is not visited
mark P' as visited
NeighborPts' = regionQuery(P', eps) if sizeof(NeighborPts') >= MinPts
NeighborPts = NeighborPts joined with NeighborPts' if P' is not yet member of any cluster
add P' to cluster C
regionQuery(P, eps)
return all points within P's eps-neighborhood (including P)
Berdasarkan pseudocode di atas, algoritme DBSCAN membutuhkan dua parameter penting, yaitu Eps (ɛ) dan jumlah data tetangga minimal untuk membentuk kelompok (MinPts). Algoritme dimulai dari sembarang data yang belum dikunjungi. Data ini kemudian dibaca jumlah tetangganya pada radius ɛ. Jika jumlah datanya lebih dari atau sama dengan ɛ, data akan ditandai sebagai inti dan tetangganya sebagai batas (selain dari yang sudah ditandai sebagai inti), kemudian akan terbentuk sebuah kelompok baru. Jika data tidak mencukupi, maka akan ditandai sebagai noise. Data tersebut ditandai sebagai data yang sudah dikunjungi. Langkah tersebut dilakukan secara rekursif pada setiap data yang menjadi tetangganya dan belum dikunjungi (Prasetyo 2012).
Kompleksitas algoritme DBSCAN
8
3
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juli 2014, bertempat di bagian Komputasi Terapan, Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Data penelitian yang digunakan meliputi data titik panas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 2002 dan 2013 yang bersumber dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan data sebaran lahan gambut di pulau Sumatera yang bersumber dari Wetlands International Program Indonesia. Keseluruhan data spasial tersebut menggunakan sistem referensi spasial WGS84. Atribut yang dipilih dan dianalisa pada data sebaran lahan gambut di pulau Sumatera adalah berupa jenis, ketebalan dan penutupan lahan gambut.
Perangkat lunak dan perangkat keras yang digunakan untuk mengembangkan sistem adalah sebagai berikut:
1 Perangkat lunak:
a. Sistem operasi : Windows 7 Ultimate b. Weka 3.6 untuk praproses data c. R untuk clustering data
d. Quantum GIS 2.0.1 Dufour untuk pengolahan data spasial
2 Perangkat keras yaitu komputer personal dengan spesifikasi sebagai berikut: a. Processor: Intel® Core(TM)2 Duo CPU T6600 @ 2.20 GHz
b. Memory 2 GB
c. Monitor dengan resolusi 1024 768 pixel d. Harddisk 1 Terabyte
e. Mouse dan keyboard
Area Studi
9 Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan. Gambar 3 menunjukkan tahapan dari metode penelitian.
Praproses Data
1.Praproses data titik panas
Pada tahapan ini dilakukan pemrosesan terhadap 91 324 record data titik panas di Indonesia pada tahun 2002 dan 20 440 data titik panas pada tahun 2013 untuk memperoleh data atribut lokasi lintangdan bujur serta waktu kemunculan titik panas di areal lahan gambut pulau Sumatera. Keseluruhan data tersebut selanjutnya dikurangi dan dibersihkan, sehingga hanya menyisakan data lokasi lintangdan bujur titik panas di areal lahan gambut di pulau Sumatera. Tahapan pemilihan data dilakukan untuk mendapatkan atribut yang akan digunakan. Atribut lokasi (longitude dan latitude) dan tanggal munculnya titik panas merupakan atribut yang digunakan dalam penelitian. Atribut longitude (bujur) dan latitude
(lintang) diperlukan untuk mengetahui lokasi dari titik panas pada wilayah tertentu. 2.Praproses data lahan gambut
Atribut yang dianalisa berupa jenis, ketebalan dan penutupan lahan gambut. Atribut yang dipilih dan dianalisa pada data sebaran lahan gambut di pulau Sumatera adalah berupa jenis, ketebalan dan tutupan lahan gambut. Luas total lahan gambut di pulau Sumatera pada tahun 2002 berdasarkan jenis dan ketebalan gambut adalah sekitar 7.20 juta ha, atau 14.90% dari luas seluruh daratan di pulau Sumatera yang luasnya sekitar 48.24 juta ha (Wahyunto et al. 2005). Pemrosesan data spasial dilakukan terhadap data peta digital sebaran lahan gambut dengan memanfaatkan beberapa fungsi diantaranya fungsi clip yang berguna untuk memotong unsur-unsur spasial (input) yang akan di overlay nantinya dengan menggunakan unsur-unsur spasial yang lain, dan fungsi merge yang digunakan untuk menggabungkan layer-layer yang sebelumnya terpisah berdasarkan tingkat provinsi menjadi satu layer utuh areal pulau Sumatera. Dilakukan pula proses proyeksi peta untuk mendefinisikan sistem koordinat baru terhadap peta sebaran lahan gambut pulau Sumatera dikarenakan tidak tersedianya metadata pada data frame yang memberikan informasi koordinat-koordinat unsur-unsur spasialnya. Tahapan praproses memanfaatkan PostgreSQL 9.1 untuk manajemen basis data dengan ekstensi PostGIS untuk mengolah data spasial dan Quantum GIS 2.0.1 Dufour untuk pemrosesan data spasial.
Gambar 3 Tahapan penelitian
Mulai Pra-proses data Clustering data titik panas
menggunakan algoritme DBSCAN
Selesai Evaluasi hasil
clustering
Analisis hasil
clustering
Cluster titik
10
Pembentukan Data set untuk Proses Clustering
Dataset yang digunakan dalam pembentukan cluster adalah data titik panas yang tersebar di dalam areal lahan gambut di seluruh pulau Sumatera pada tahun 2002 dan 2013 serta data jenis, ketebalan dan tutupan lahan gambut. Untuk memperoleh keseluruhan dataset, maka dilakukan operasi overlay antara data titik panas dan data lahan gambut. Berdasarkan hasil analisis kueri, diperoleh 13 253 titik panas yang tersebar di areal lahan gambut pulau Sumatera tahun 2002 dan 3335 titik panas di areal lahan gambut pulau Sumatera tahun 2013. Keseluruhan data titik panas tersebut adalah dataset yang digunakan untuk proses clustering.
Clustering Data Titik Panas menggunakan algoritme DBSCAN
Data hasil praproses dikelompokkan menggunakan algoritme DBSCAN. DBSCAN merupakan algoritme pengelompokan yang didasarkan pada kepadatan (density) data, yaitu jika jumlah data yang berada dalam radius Eps lebih dari atau sama dengan Minpts (jumlah minimal data dalam radius Eps), maka data tersebut termasuk dalam kategori kepadatan yang diinginkan, dimana jumlah data dalam radius tersebut termasuk data itu sendiri. DBSCAN menggunakan konsep titik pusat (core point), titik batas (border point), dan noise. Titik yang memiliki sejumlah titik tetangga dan memenuhi jumlah titik minimum disebut sebagai titik pusat, sedangkan titik batas memiliki jumlah titik tetangga namun tidak memenuhi jumlah titik minimum. Titik batas merupakan titik di dalam ketetanggaan dari titik pusat. Kriteria suatu titik dikatakan sebagai noise yaitu pada saat titik tersebut tidak termasuk titik pusat maupun titik batas, selain itu titik tersebut tidak memenuhi konsep directly density-reachable dari suatu titik pusat (Ester et al. 1996)
Tahapan awal yang dilakukan adalah melakukan penentuan nilai Eps dan
MinPts yang akan digunakan sebagai titik dalam sebuah cluster, sehingga Eps
-neigborhood secara kasar memiliki jarak yang sama serta titik noise memiliki jarak terjauh dari Eps-neigborhood sehingga dilakukan plot jarak secara terurut pada setiap titik pada Eps-neigborhood. Cluster dapat diidentifikasi terbaik jika Eps
-neigborhood memiliki jarak yang mirip dengan titik yang lain atau memiliki jarak yang sama.
Setelah diperoleh dan ditentukan nilai Eps dan MinPts yang sesuai, maka selanjutnya dilakukan prosedur-prosedur yang meliputi: 1) melakukan clustering
pada titik yang tersisa dengan cara menghubungkan semua titik inti (core) dengan jarak yang kurang dari Eps satu sama lain, 2) membuat setiap kelompok dari titik inti yang terhubung menjadi clustering yang terpisah, dan 3) menetapkan setiap titik perbatasan ke salah satu clustering terdekat pada kelompoknya. Proses
clustering dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak statistika R 3.1.
Evaluasi Hasil Clustering
11 untuk menemukan metrik yang tepat untuk mengukur apakah konfigurasi cluster
yang ditemukan dapat diterima atau tidak (Halkidi et al. 2002). Proses evaluasi hasil algoritme clustering disebut juga pengkajian validitas cluster. Evaluasi
clustering pada penelitian ini menggunakan metode Sum Square Error (SSE) untuk memperoleh jumlah cluster yang meminimalkan total square error (Tan et al. 2006).
dengan, p ∈ Ci adalah setiap data titik pada cluster i, miadalah centroid dari cluster i, dan d adalah jarakterdekat pada masing-masing cluster i.
Analisis Cluster
Analisis cluster dilakukan berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan gambut untuk memperoleh informasi titik panas yang terdapat di dalam areal lahan gambut. Karakteristik fisikal lahan gambut mencakup tipe, kedalaman dan tutupan lahan gambut.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan proses kueri spasial memanfaatkan PostgreSQL dan PostGIS pada data sebaran titik panas dan lahan gambut, diperoleh 91 323 titik panas yang tersebar di Indonesia pada tahun 2002, dimana 26 460 diantaranya terdapat di pulau Sumatera. Sedangkan pada tahun 2013 diperoleh 20 440 titik panas yang tersebar di Indonesia dan 10 806 diantaranya terdapat di pulau Sumatera. Gambar 4 menunjukkan jumlah titik panas di areal gambut dan non gambut pulau Sumatera tahun 2002 dan 2013.
21
,
k
i pC
i i
m p d SSE
(a) Jumlah titik panas di areal (b) Jumlah titik panas di areal gambut dan non gambut gambut dan non gambut pulau sumatera tahun 2002 pulau sumatera tahun 2013 Gambar 4 Jumlah titik panas di areal gambut dan non gambut pulau sumatera
12
Berdasarkan Gambar 4, dari 26 460 titik panas yang tersebar di pulau Sumatera pada tahun 2002, 13 253 diantaranya menyebar di areal gambut dan 13 207 di areal non gambut. Sedangkan pada tahun 2013, dari 10 806 titik panas yang tersebar di pulau Sumatera terdapat 3335 titik panas yang tersebar di areal gambut dan 7471 di areal non gambut.
Jenis lahan gambut di pulau Sumatera dikategorikan berdasarkan tingkat kematangan Fibrists (belum melapuk), Hemists (setengah melapuk), Saprists
(sudah melapuk) dan campuran salah satu dari ketiganya. Tabel 1 dan 2 menunjukkan sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau Sumatera tahun 2002 dan 2013.
Tabel 1 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di pulau Sumatera tahun 2002
Jenis Lahan Gambut Titik Panas yang Terdeteksi Hemists/Saprists (60/40), dangkal 5
Hemists/min (30/70), dangkal 139
Hemists/min (50/50), dangkal 7
Hemists/min (90/10), dangkal 16
Saprists/min (50/50), dangkal 3
Fibrists/Saprists (60/40), sedang 5
Hemists(100), sedang 293
Hemists/Saprists (60/40), sedang 2336
Hemists/min (30/70), sedang 395
Hemists/min (70/30), sedang 195
Hemists/min (90/10), sedang 3489
Saprists(100), sedang 249 Saprists/Hemists (60/40), sedang 505
Saprists/min (30/70), sedang 0
Saprists/min (50/50), sedang 197
Saprists/min (90/10), sedang 239
Hemist(100), dalam 0
Hemists/Saprists (60/40),dalam 1047
Saprists(100), dalam 73
Saprists/Hemists (60/40), dalam 881
Saprists/min (30/70), dalam 0
Saprists/min (50/50), dalam 5
13
Kategori jenis lahan gambut pada Tabel 1 dan 2 mendeskripsikan informasi jenis gambut dan ketebalannya. Misalkan “Hemists/Saprists (60/40), dangkal” menyatakan bahwa Hemists/Saprists adalah jenis lahan gambut. Nilai (60/40) menunjukkan areal tersebut meliputi 60% Hemists dan 40% Saprists. Dangkal merupakan kategori ketebalan gambut dengan ketebalan 50-100 cm.
Berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut yang dianalisa dapat digolongkan pada: 1) Ketebalan gambut sangat dangkal (memiliki ketebalan < 50 cm): tipe gambut Hemists/Saprists, Hemists/mineral dan Saprists/Hemists, 2) Ketebalan gambut dangkal (50-100 cm): tipe gambut Fibrists/Saprists,
Hemists/Saprists, Hemists/mineral, Saprists/Hemists dan Saprists/mineral, 3) Ketebalan gambut sedang (100-200 cm): tipe gambut Hemists/Saprists,
Hemists/mineral, Saprists, Saprists/Hemists dan Saprists/mineral, 4) Ketebalan gambut dalam (200-400 cm): tipe gambut Hemists/Saprists, Saprists dan
Saprists/Hemists, 5) Ketebalan gambut sangat dalam (400-800 cm): tipe gambut
Hemists/Saprists dan Saprists/Hemists (Wahyunto et al. 2005). Gambar 4 dan 5 Tabel 2 Sebaran titik panasberdasarkan jenis lahan gambut di pulau
Sumatera tahun 2013
Jenis Lahan Gambut Titik Panas yang Terdeteksi
Fibrists/Saprists (60/40),sedang 2
Hemists (100),dalam 1
Hemists (100),sedang 6
Hemists/min (30/70),dangkal 63
Hemists/min (30/70),sedang 27
Hemists/min (70/30),sedang 6
Hemists/min (90/10),dangkal 1
Hemists/min (90/10),sangat dalam 8
Hemists/min (90/10),sedang 45
Hemists/Saprists (60/40),dalam 321
Hemists/Saprists (60/40),dangkal 4
Hemists/Saprists (60/40),sangat dalam 1266 Hemists/Saprists (60/40),sedang 511
Saprists (100),dalam 18
Saprists (100),sedang 15
Saprists/Hemists (60/40),dalam 271 Saprists/Hemists (60/40),sangat dalam 403 Saprists/Hemists (60/40),sedang 129
Saprists/min (30/70),dalam 1
Saprists/min (50/50),dangkal 40
Saprists/min (50/50),sedang 97
Saprists/min (90/10),sedang 120
Fibrists/Saprists (60/40),sedang 2
Hemists (100),dalam 1
Hemists (100),sedang 6
14
menunjukkan sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di pulau Sumatera berturut-turut pada tahun 2002 dan 2013.
Berdasarkan Gambar 5, sebaran titik panas di lahan gambut pulau Sumatera pada tahun 2002 didominasi lahan gambut dengan ketebalan sedang (D2). Gambut sedang didominasi oleh jenis gambut Hemists/mineral, dan juga berasosisasi dengan tanah mineral bergambut. Gambar 6 menunjukkan lahan gambut dengan ketebalan sangat dalam (D4) menjadi areal yang memiliki sebaran titik panas tertinggi pada tahun 2013 di pulau Sumatera.
Terdapat 25 jenis penutupan lahan yang terdeteksi di areal gambut pulau Sumatera. Pada tahun 2002, terdapat 18 jenis areal penutupan lahan gambut dimana titik panas terdeteksi didalamnya dan pada tahun 2013 terdapat 19 jenis penutupan lahan dimana titik panas terdeteksi. Gambar 7 dan 8 menunjukkan jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut di pulau Sumatera tahun 2002 dan 2013.
Gambar 6 Sebaran titik panasberdasarkan ketebalan gambut pulau Sumatera tahun 2013
88 271 850 945 1201 0 500 1000 1500 Sangat Dangkal/Sangat Tipis: <50 cm (D0)
Dangkal/Tipis: 50‐ 100 cm (D1)
Sedang: 100‐200 cm (D2)
Dalam/Tebal: 200‐ 400 cm (D3)
Sangat Dalam/Sangat Tebal: >400 cm
(D4) Ju ml a h Ti ti k Pa n a s
Tipe Ketebalan Gambut
Jumlah Titik Panas Berdasarkan Ketebalan Gambut Pulau Sumatera Tahun 2013
Gambar 5 Sebaran titik panasberdasarkan ketebalan gambut pulau Sumatera tahun 2002 649 1932 6252 2176 1928 0 2000 4000 6000 8000 Sangat Dangkal/Sangat
Tipis: < 50 cm (D0)
Dangkal/Tipis: 50‐100 cm (D1)
Sedang : 100‐200 cm (D2)
Dalam/Tebal: 200‐400 cm (D3)
Sangat Dalam/Sangat Tebal : > 400 cm
15
Gambar 7 dan 8 menunjukkan bahwa sebaran titik panas di areal tutupan lahan gambut pulau Sumatera pada tahun 2002 dan 2013 sebagian besar terdapat
Gambar 8 Jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut pulau Sumatera tahun 2013
2 318
2327
1 40 163 15 292
46 11 6 44 3 19 1 22 39 3 3 0
500 1000 1500 2000 2500
Ju
ml
a
h
Ti
ti
k
Pa
n
a
s
Jenis Tutupan Lahan Jumlah Titik Panas pada Areal Penutupan Lahan Tahun 2013
Gambar 7 Jumlah titik panas di areal penutupan lahan gambut pulau Sumatera tahun 2002
1749 5311
8 167
1035
79 1434
207 47 158 696 38 495 17 451
944
53 2
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000
Tipe Penutupan Lahan
16
di areal hutan rawa gambut. Pada sebaran gambut tahun 2002, sebaran titik panas di areal jenis “Hemists/Saprists (60/40), sedang” sebagian besar terdapat di areal penutupan lahan hutan rawa dan belukar rawa, sedangkan di areal jenis “Hemists/mineral (90/10), sedang” didominasi oleh sawah intensif (padi-palawija/bera) dan jeruk dan sebaran titik panas di areal jenis “Hemists/Saprists (60/40), sedang”, sebagian besar terdapat di areal penutupan lahan kelapa sawit bekas hutan rawa > 5 tahun serta hutan dan belukar rawa.
Pembentukan Cluster Data Sebaran Titik Panas Tahun 2002
Pada penelitian ini dilakukan percobaan untuk memperoleh hasil clustering
yang optimal. Tabel 3 menunjukkan perolehan jumlah cluster dan evaluasi hasil
cluster pada data sebaran titik panas tahun 2002.
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai cluster dan titik noise yang relatif kecil diperoleh pada Eps = 0.1 dan Minpts 6, dimana terbentuk 53 cluster yang tersebar di areal lahan gambut. Tabel 4 menunjukkan jumlah titik panas pada setiap cluster
[image:30.612.106.485.290.636.2]sebagai hasil clustering dengan jumlah cluster sebanyak53. Tabel 3 Jumlah cluster dan evaluasi hasil cluster data sebaran
titik panas tahun 2002
Eps Minpts Jumlah Noise SSE Eps Minpts Jumlah
Cluster Noise SSE
Cluster
0.01 1 2809 0 0.038 0.04 4 191 431 0.121
0.01 2 1253 1556 0.052 0.04 5 166 572 0.122
0.01 3 589 2882 0.086 0.04 6 156 684 0.106
0.01 4 427 3751 0.117 0.05 1 326 0 0.126
0.01 5 282 4762 0.165 0.05 2 241 84 0.126
0.01 6 192 5590 0.205 0.05 3 184 200 0.127
0.02 1 1103 0 0.062 0.05 4 159 297 0.127
0.02 2 691 412 0.063 0.05 5 141 394 0.127
0.02 3 452 890 0.066 0.05 6 127 488 0.127
0.02 4 362 1245 0.071 0.06 1 253 0 0.129
0.02 5 287 1708 0.078 0.06 2 195 58 0.129
0.02 6 242 2088 0.086 0.06 3 148 154 0.129
0.03 1 648 0 0.075 0.06 4 127 224 0.129
0.03 2 436 212 0.075 0.06 5 115 302 0.129
0.03 3 304 476 0.076 0.06 6 107 371 0.129
0.03 4 256 663 0.076 0.1 1 100 0 0.261
0.03 5 214 883 0.077 0.1 2 77 23 0.261
0.03 6 195 1061 0.079 0.1 3 68 41 0.261
0.04 1 444 0 0.12 0.1 4 63 58 0.261
0.04 2 314 130 0.12 0.1 5 56 90 0.261
17
Berdasarkan Tabel 4, areal dengan kepadatan titik panas tertinggi terdapat pada cluster 6 dan 24. Nilai densitas titik panas cluster 6 mencapai 0.226 km2 dan
[image:31.612.176.452.98.489.2]pada cluster 24 mencapai 0.201 km2. Gambar 8 menunjukkan sebaran titik panas pada cluster 6 dan 24.
Tabel 4 Jumlah titik panas tahun 2002pada setiap cluster
cluster hotspot % cluster hotspot %
0 92 0.71 27 125 0.97
1 580 4.48 28 2 0.02
2 116 0.90 29 14 0.11
3 74 0.57 30 6 0.05
4 6 0.05 31 87 0.67
5 105 0.81 32 12 0.09
6 4818 37.24 33 35 0.27
7 16 0.12 34 13 0.10
8 23 0.18 35 5 0.04
9 427 3.30 36 6 0.05
10 300 2.32 37 0 0.00
11 139 1.07 38 7 0.05
12 6 0.05 39 0 0.00
13 25 0.19 40 15 0.12
14 11 0.09 41 0 0.00
15 96 0.74 42 21 0.16
16 29 0.22 43 10 0.08
17 216 1.67 44 0 0.00
18 17 0.13 45 16 0.12
19 82 0.63 46 8 0.06
20 31 0.24 47 0 0.00
21 554 4.28 48 9 0.07
22 64 0.49 49 6 0.05
23 1 0.01 50 24 0.19
24 4617 35.69 51 20 0.15
25 7 0.05 52 7 0.05
18
Berdasarkan Gambar 9, beberapa kabupaten di provinsi Riau termasuk dalam areal cluster 6, sedangkan areal cluster 24 terdapat di Sumatera Selatan. Lampiran 1 dan lampiran 2 menunjukkan areal Kabupaten dan Kecamatan yang terdeteksi titik panas pada cluster 6 dan cluster 24 di areal gambut pulau Sumatera tahun 2002. Gambar 10 menunjukan sebaran dan densitas titik panas berdasarkan jenis gambut pada cluster 6 dan 24.
Gambar 10 menunjukkan bahwa sebaran titik panas pada cluster 6 didominasi di areal jenis gambut “Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam” yang sebagian besar menyebar di kabupaten Bengkalis, Pelalawan dan Siak serta “Hemists/Saprists (60/40), sedang” yang menyebar di Kabupaten Bengkalis, Rokan Hilir dan Siak. Sedangkan sebaran titik panas pada cluster 24 didominasi jenis “Hemists/mineral (90/10), sedang” yang sebarannya meliputi Ogan Komering Hilir, Banyu Asin dan Tulang Bawang. Kepadatan (densitas) rata-rata titik panas per satuan luas 1 km2 di areal gambut cluster 6 berdasarkan jenis lahan gambut adalah 1.244 km2, sedangkan di areal gambut cluster 24 mencapai 1.156
[image:32.612.94.474.48.739.2](a) Titik panas pada cluster 6 (b) Titik panas pada cluster 24 Gambar 9 Sebaran titik panas pada cluster 6 dan 24
(a) Titik panas berdasarkan (b) Titik panas berdasarkan jenis jenis gambut pada cluster 6 gambut pada cluster 24
Gambar 10 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di areal
19 km2. Tabel 5 dan 6 menunjukkan densitas titik panas berdasarkan jenis lahan
[image:33.612.125.491.130.398.2]gambut di areal cluster 6 dan 24.
Tabel 5 Densitas titik panasberdasarkan jenis lahan gambut di areal cluster 6 Jenis gambut
Area Hotspot cluster 6 Km2 Persentase
(%) Jumlah hotspot Hotspot/ Km2 Hemists/Saprists (60/40), dalam
336.039 8.677 600 1.786
Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam
884.255 22.832 1509 1.707
Hemists/Saprists (60/40), sedang
1490.400 38.483 1335 0.896
Saprists/Hemists (60/40), dalam
557.215 14.388 561 1.007
Saprists/Hemists (60/40), sangat dalam
379.417 9.797 325 0.857
Saprists/Hemists (60/40), sedang
187.895 4.852 449 2.390
Saprists/min (50/50), dangkal
2.412 0.062 1 0.415
Saprists/min (50/50), sedang
35.276 0.911 38 1.077
TOTAL 3872.910 100.0 4818 1.244
Tabel 6 Densitas titik panasberdasarkan jenis lahan gambut di areal cluster 24 Jenis gambut
Area Hotspot cluster 24 Km2 Persentase
(%)
Jumlah hotspot
Hotspot/ Km2
Hemists (100),sedang 219.861 5.506 283 1.287 Hemists/min
(30/70),dangkal
24.4139 0.611 15 0.614
Hemists/min (30/70),sedang
527.889 13.220 351 0.665
Hemists/min (70/30),sedang
232.957 5.834 187 0.803
Hemists/min (90/10),dangkal
29.0025 0.726 16 0.552
Hemists/min (90/10),sedang
2384.57 59.719 3410 1.430
Hemists/Saprists (60/40),sedang
112.431 2.816 72 0.640
Saprists (100),sedang 267.369 6.696 167 0.625 Saprists/min
(50/50),sedang
194.485 4.871 116 0.596
[image:33.612.101.491.432.702.2]20
Berdasarkan Tabel 5 dan 6, kepadatan (densitas) titik panas tertinggi di areal
cluster 6 terdapat di areal jenis gambut “Saprists/Hemists (60/40), sedang”dengan nilai densitas mencapai 2.390 km2 dan “Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam”
dengan nilai densitas mencapai 1.707 km2. Sedangkan kepadatan (densitas) titik
panas tertinggi di areal cluster 24 terdapat di areal jenis gambut “Hemists/min (90/10), sedang”dengan nilai densitas mencapai 1.430 km2.
Berdasarkan dekomposisi jenis gambut yang terdeteksi titik panas pada
cluster 6 dan 24 diperoleh keterangan bahwa gambut dengan dekomposisi hemik
lebih dominan dibandingkan saprik. Gambar 11 menunjukkan sebaran titik panas berdasarkan ketebalan gambut di areal cluster 6 dan 24.
Gambar 11 menunjukkan bahwa sebaran titik panas pada cluster 6 merata di areal gambut dengan ketebalan sedang (D2) (100-200 cm), dalam/tebal (D3) (200-400 cm), dan sangat dalam/sangat tebal (D4) (> (200-400 cm), sedangkan pada cluster
24 didominasi pada arealdengan ketebalan sedang (D2) (100-200 cm). Kepadatan rata-rata titik panas di areal gambut cluster 6 berdasarkan ketebalan lahan gambut adalah 1.244 km2, sedangkan di areal gambut cluster 24 mencapai 1.156 km2.
Tabel 7 dan 8 menunjukkan densitas titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal cluster 6 dan 24.
[image:34.612.116.479.155.399.2](a) Titik panas berdasarkan (b) Titik panas berdasarkan ketebalan ketebalan gambut pada cluster 6 gambut pada cluster 24
Gambar 11 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 6 dan 24
Tabel 7 Densitas titik panasberdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 6
Ketebalan gambut
Area Hotspot cluster 6 Km2 Persentase
(%)
Jumlah
hotspot
Hotspot/ Km2
Dangkal (D1) (50-100 cm) 438.516 11.323 659 1.503
Sedang (D2) (100-200 cm) 1456.760 37.614 1381 0.948
Dalam/tebal (D3) (200-400 cm) 935.784 24.162 1315 1.405
Sangat dalam/tebal (D4) (> 400 cm)
1041.860 26.901 1463 1.404
21
Berdasarkan Tabel 7 dan 8, kepadatan (densitas) titik panas tertinggi di areal
cluster 6 terdapat di areal gambut dengan ketebalan Sangat dalam/tebal (D4) (> 400 cm) dengan nilai densitas mencapai 1.404 km2. Sedangkan kepadatan (densitas) titik panas tertinggi di areal cluster 24 terdapat di areal gambut dengan ketebalan sedang (D2) (100-200 cm) dengan nilai densitas mencapai 1.337 km2.
Banyaknya titik panas yang ditemukan pada lahan gambut dengan ketebalan sedang (D2) (100-200 cm) dan Sangat dalam/tebal (D4) (> 400 cm) pada areal
cluster 24 dan 6 serta didominasi oleh jenis gambut dengan tingkat kematangan
hemik mengindikasikan perlunya perhatian khusus mengingat letaknya yang umumnya berada di pinggiran kubah gambut dan dekat dengan pemukiman memudahkannya untuk dibuka sebagai lahan pertanian, sehingga berpengaruh besar terhadap kerusakan lahan. Ancaman kerusakan diantaranya dari pembakaran selama persiapan yang bisa menjalar ke pusat kubah gambut dan terjadinya pengeringan gambut secara berlebihan (Wahyunto et al. 2005).
Kubah gambut adalah bagian gambut yang paling dalam yang memiliki fungsi hidrologi tertinggi. Apabila jenis hemik mendominasi di pinggiran kubah gambut maka ancaman kerusakan kubah gambut akan sangat besar, apalagi dengan adanya drainase untuk mengatasi kekeringan pada lahan gambut, maka akan terjadi pengeluaran air yang terdapat di kubah gambut tersebut. Jika air pada kubah gambut hilang, maka gambut akan mengalami pengempesan/kebocoran sehingga fungsi hidrologi gambut menjadi rusak (Syaufina 2008).
Areal gambut dengan ketebalan sedang di Provinsi Riau (mencakup cluster
6) pada tahun 2002 tersisa 952 057 ha (23.5 %) dibandingkan tahun 1990 yang luasnya 1.324 246 ha (32.8 %), sedangkan di Sumatera Selatan (mencakup cluster
24) pada tahun 2002 tersisa 982 023 ha (66.2 %) dibandingkan tahun 1990 yang luasnya mencapai 1.363 556 (91.9 %) (Wahyunto et al. 2005). Tingginya tingkat penyusutan menjadikan perlunya perhatian khusus, karena jika areal gambut dengan ketebalan sedang berkurang, maka masyarakat akan beralih ke lahan gambut berketebalan dalam dan sangat dalam.
Titik panas pada cluster 6 dan 24 didominasi tutupan lahan hutan rawa. Gambar 12 menunjukkan sebaran titik panas pada tutupan lahan cluster 6 dan 24. Tabel 8 Densitas titik panasberdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 24 Ketebalan gambut
Area Hotspot cluster 24 Km2 Persentase
(%)
Jumlah
hotspot
Hotspot/Km2
Sangat dangkal (D0) (<50 cm)
552.090 13.827 368 0.667
Dangkal (D1) (50-100 cm)
661.661 16.571 532 0.804
Sedang (D2) (100-200 cm)
2779.226 69.603 3717 1.337
22
Gambar 12 menunjukkan bahwa sebaran titik panas yang didominasi penutupan lahan hutan rawa gambut pada cluster 6 dan 24 menjadikannya sebagai ekosistem hutan tropis yang rawan terhadap bahaya kebakaran. Tabel 9 dan10 menunjukkan densitas titik panas berdasarkan tutupan lahan gambut di areal
cluster 6 dan 24.
Tabel 9 Densitas titik panasberdasarkan tutupan lahan gambut di areal cluster 6 Tutupan lahan gambut
Area Hotspot cluster 6 Km2 Persentase
(%)
Jumlah
hotspot
Hotspot/Km2
Belukar rawa 739.764 19.101 782 1.057
Hutan rawa 1695.550 43.780 2140 1.262
Kebun karet 29.388 0.759 46 1.565
Kelapa pada bekas hutan rawa > 5 th
765.783 19.773 685 0.895
Kelapa sawit pada bekas hutan rawa < 5 th
211.516 5.461 415 1.962
Kelapa sawit pada bekas hutan rawa > 5 th
135.679 3.503 685 5.049
Lahan terbuka/persiapan perkebunan
67.423 1.741 123 1.824
Sawah dan kelapa 227.811 5.882 457 2.006
TOTAL 3872.920 100.0 5333 1.377
[image:36.612.111.485.87.301.2](a) Titik panas berdasarkan (b) Titik panas berdasarkan tutupan lahan gambut tutupan lahan gambut pada cluster 6 pada cluster 24
23
Berdasarkan Tabel 9 dan 10, kepadatan (densitas) titik panas tertinggi di areal cluster 6 terdapat di areal tutupan lahan gambut Kelapa sawit pada bekas hutan rawa > 5 tahun dengan nilai densitas mencapai 5.049 km2. Sedangkan kepadatan (densitas) titik panas tertinggi di areal cluster 24 terdapat di areal tutupan lahan gambut Semak dan rumput dan bekas kebakaran dengan nilai densitas mencapai 45.866 km2.
Pembentukan Cluster Data Sebaran Titik Panas Tahun 2013
[image:37.612.127.504.104.465.2]Pada data sebaran titik panas kebakaran hutan tahun 2013 terdapat 20 440 data titik panas yang tersebar di Indonesia. Dari data tersebut, diperoleh 3335 titik panas yang tersebar di areal lahan gambut pulau Sumatera. Percobaan pembentukan cluster dilakukan dengan menentukan nilai parameter algoritme DBSCAN yang bervariasi dimana nilai eps dan minpts ditentukan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan perbandingan hasil pengujian untuk membentuk cluster data sebaran titik panas tahun 2013 menggunakan algoritme DBSCAN dan evaluasi menggunakan Sum of Square Error (SSE).
Tabel 10 Densitas titik panasberdasarkan tutupan lahan gambut di areal
cluster 24 Tutupan lahan gambut
Area Hotspot cluster 24 Km2 Persentase
(%)
Jumlah
hotspot
Hotspot/Km2
Belukar rawa 493.647 12.363 537 1.088
Hutan rawa 1218.240 30.510 2096 1.721
Kebun campuran 5.469 0.137 3 0.549
Kelapa pada bekas hutan rawa > 5 th
12.322 0.309 13 1.055
Kelapa sawit pada bekas hutan rawa > 5 th
17.867 0.447 9 0.504
Lahan hutan konsesi penebangan
127.052 3.182 165 1.299
Sawah dan kelapa 68.968 1.727 34 0.493
Sawah intensif (padi - padi) 24.054 0.602 1 0.042 Sawah intensif (padi -
palawija/bera),jeruk
602.608 15.092 480 0.797
Sawah pasang surut 28.403 0.711 16 0.563
Sawah tadah hujan (padi - palawija
443.107 11.097 311 0.702
Semak dan rumput dan bekas kebakaran
19.840 0.497 910 45.866
Semak dan rumput rawa dan bekas kebakaran
908.128 22.743 911 1.003
Semak,rumput pada bekas sawah
23.134 0.579 36 1.556
Tambak 0.138 0.003 1 7.251
24
Berdasarkan Tabel 11, hasil DBSCAN yang relatif stabil untuk pembentukan cluster pada data titik panas tahun 2013 dengan radius jarak maksimum antara satu titik dengan titik tetangga terdekat adalah (Eps) 0.1 derajat (Eps) dan jumlah minimal anggota suatu cluster (MinPts) 1, dimana diperoleh 109
[image:38.612.102.488.109.435.2]cluster dan tanpa titik noise. Tabel 12 menunjukkan jumlah titik panas yang tersebar pada setiap cluster di areal gambut di pulau Sumatera pada tahun 2013. Tabel 11 Jumlah cluster dan evaluasi hasil cluster data sebarantitik panas tahun
2013
Eps Minpts Jumlah
Cluster Noise SE Eps Minpts
Jumlah
Cluster Noise SSE
0.01 1 2269 0 0.001 0.04 4 99 429 0.058
0.01 2 531 1738 0.273 0.04 5 83 532 0.060
0.01 3 208 2384 0.512 0.04 6 74 630 0.069
0.01 4 96 2816 0.715 0.05 1 293 0 0.098
0.01 5 34 3107 0.870 0.05 2 149 144 0.100
0.01 6 12 3242 0.947 0.05 3 100 242 0.103
0.02 1 1021 0 0.014 0.05 4 83 311 0.106
0.02 2 361 660 0.053 0.05 5 76 370 0.109
0.02 3 209 964 0.097 0.05 6 68 448 0.113
0.02 4 149 1252 0.154 0.06 1 231 0 0.124
0.02 5 111 1524 0.217 0.06 2 127 104 0.125
0.02 6 91 1787 0.293 0.06 3 89 180 0.127
0.03 1 569 0 0.029 0.06 4 75 129 0.128
0.03 2 227 342 0.039 0.06 5 65 308 0.115
0.03 3 144 508 0.052 0.06 6 62 359 0.117
0.03 4 106 669 0.068 0.1 1 109 0 0.387
0.03 5 98 776 0.081 0.1 2 78 31 0.387
0.03 6 84 957 0.105 0.1 3 56 75 0.387
0.04 1 389 0 0.042 0.1 4 46 119 0.386
0.04 2 180 209 0.046 0.1 5 41 149 0.236
25
[image:39.612.119.504.104.564.2]Berdasarkan Tabel 12, areal yang memiliki kepadatan titik panas di areal gambut pulau Sumatera tahun 2013 terdapat di Provinsi Riau (cluster 42). Lampiran 3 menunjukkan areal Kabupaten dan Kecamatan yang terdeteksi titik panas pada cluster 42 di areal gambut pulau Sumatera tahun 2013. Gambar 13 menunjukkan wilayah/kabupaten yang termasuk dalam cluster 42.
Tabel 12 Jumlah titik panas tahun 2013pada setiap cluster
Cluster
Jumlah titik panas
Cluster
Jumlah titik panas
Cluster
Jumlah titik panas
Cluster
Jumlah titik panas 0 13 27 2 54 3 81 2 1 2 28 1 55 1 82 7 2 3 29 1 56 2 83 6 3 1 30 2 57 3 84 1
4 6 31 37 58 3 85 1
5 11 32 1 59 4 86 1 6 23 33 2 60 1 87 29 7 11 34 2 61 29 88 4
8 6 35 10 62 7 89 1
9 2 36 33 63 3 90 2
10 7 37 3 64 52 91 294 11 10 38 1 65 6 92 2 12 156 39 21 66 3 93 4 13 11 40 2 67 1 94 2 14 2 41 5 68 74 95 2 15 2 42 2039 69 6 96 22 16 1 43 3 70 1 97 1 17 2 44 8 71 1 98 11 18 22 45 15 72 2 99 4 19 2 46 1 73 1 100 18
20 1 47 48 74 11 101 1
21 1 48 5 75 2 102 24 22 3 49 1 76 1 103 1 23 5 50 5 77 4 104 1 24 1 51 1 78 2 105 2 25 1 52 1 79 3 106 2
26 27 53 70 80 7 107 1
26
Beberapa kabupaten di provinsi Riau termasuk dalam areal cluster 42. Gambar 14 menunjukan sebaran dan jumlah titik panas berdasarkan jenis gambut pada cluster 42.
Berdasarkan gambar 14, sebaran titik panas pada cluster 42 didominasi di areal “Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam”. “Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam” sebagian besar menyebar di kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis, Dumai dan Siak.
Kepadatan (densitas) rata-rata titik panas per satuan luas 1 km2 di areal gambut cluster 42 berdasarkan jenis lahan gambut adalah 0.505 km2. Tabel 13
menunjukkan densitas titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di areal cluster
42.
Gambar 13 Wilayah/Kabupaten yang termasuk dalam cluster 42
27
Berdasarkan Tabel 13, kepadatan titik panas tertinggi di areal cluster 42 terdapat di areal jenis gambut “Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam”dengan nilai densitas mencapai 0.501 km2. Berdasarkan dekomposisi jenis gambut yang
terdeteksi titik panas pada cluster 42 diperoleh keterangan bahwa gambut dengan dekomposisi hemik lebih dominan dibandingkan saprik.
[image:41.612.127.501.94.377.2]Gambar 15 dan Tabel 14 menunjukkan sebaran dan densitas titik panas berdasarkan ketebalan gambut di areal cluster 42.
Tabel 13 Densitas titik panasberdasarkan jenis lahan gambut di areal cluster 42 Jenis gambut
Area Hotspot cluster 42 Km2 Persentase
(%)
Jumlah
hotspot
Hotspot/Km2
Hemists/min (30/70),dangkal 43.068 1.047 18 0.418 Hemists/Saprists
(60/40),dalam
258.195 6.279 131 0.507
Hemists/Saprists (60/40),sangat dalam
2436.960 59.269 1220 0.501
Hemists/Saprists (60/40),sedang
584.161 14.207 275 0.471
Saprists (100),sedang 3.052 0.074 2 0.655
Saprists/Hemists (60/40),dalam
117.267 2.852 61 0.520
Saprists/Hemists (60/40),sangat dalam
361.151 8.783 150 0.415
Saprists/Hemists (60/40),sedang
25.355 0.617 9 0.355
Saprists/min (50/50),dangkal 64.202 1.561 40 0.623 Saprists/min (50/50),sedang 141.521 3.442 128 0.904 Saprists/min (90/10),sedang 76.789 1.868 44 0.573
28
Gambar 15 menunjukkan bahwa sebaran titik panas pada cluster 42 banyak terdapat di areal gambut dengan ketebalan sangat dalam/sangat tebal (D4) (> 400 cm). Tabel 14 menunjukkan bahwa kepadatan titik panas tertinggi di areal cluster
42 terdapat di areal gambut dengan ketebalan Sangat dalam/sangat tebal (D4) (> 400 cm)dengan nilai densitas mencapai 0.478 km2.
Secara umum, titik panas yang terdeteksi di areal lahan gambut pulau Sumatera sebagian besar masih terdapat di areal tutupan lahan hutan rawa. Gambar 16 dan tabel 15 menunjukkan sebaran dan densitas titik panas pada tutupan lahan
cluster 42.
Tabel 14 Densitas titik panasberdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 42 Ketebalan gambut
Area Hotspot cluster 42 Km2 Persentase
(%)
Jumlah
hotspot
Hotspot/ Km2
Sangat dangkal (D0) (<50 cm)
1.546 0.038 1 0.647
Dangkal (D1) (50-100 cm) 230.587 5.608 109 0.473 Sedang (D2) (100-200 cm) 763.088 18.559 384 0.503 Dalam/tebal (D3)
(200-400 cm)
1050.010 25.537 552 0.526
Sangat dalam/sangat tebal (D4) (> 400 cm)
2066.490 50.259 988 0.478
[image:42.612.99.472.44.758.2]TOTAL 4111.721 100.0 2034 0.495
29
.
Tabel 15 Densitas titik panasberdasarkan tutupan lahan gambut di areal
cluster 42 Tutupan lahan gambut
Area Hotspot cluster 42 Km2 Persentase
(%)
Jumlah
hotspot
Hotspot/Km2
Belukar rawa 362.846 8.825 169 0.466
Hutan rawa 3173.400 77.180 1631 0.514
Kebun karet 38.779 0.943 10 0.258
Kelapa pada bekas hutan rawa > 5 th
30.334 0.738 11 0.363
Kelapa sawit pada bekas hutan rawa < 5 th
133.310 3.242 48 0.360
Kelapa sawit pada bekas hutan rawa > 5 th
183.351 4.459 85 0.464
Lahan hutan konsesi penebangan
65.238 1.587 28 0.429
Lahan terbuka/persiapan perkebunan
8.529 0.207 3 0.352
Sawah dan kelapa 77.899 1.895 27 0.347
Semak dan rumput rawa dan bekas kebakaran
30.305 0.737 11 0.363
Semak, rumput pada bekas sawah
7.729 0.188 3 0.388
TOTAL 4111.721 100.0 2026 0.493
30
Gambar 16 dan tabel 15 menunjukkan bahwa hampir 90% titik panas pada
cluster 42 terdapat di areal penutupan lahan hutan rawa gambut dengan nilai densitas titik panas mencapai 0.514 km2.
Areal hutan rawa merupakan areal yang rawan akan kebakaran hutan khususnya pada musim kering/kemarau. Kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan pada tipe hutan rawa gambut akan berlangsung relatif cepat dengan dampak negatif yang serius. Jika hutan rawa gambut mengalami kerusakan akibat eksploitasi yang berlebihan maka tegakan tinggal akan mudah roboh dan lama kelamaan akan mati sehingga kondisi ini menjadi tambahan bahan bakar apabila terjadi bencana kebakaran hutan.
31
5
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Clustering pada dataset titik panas tahun 2002 menghasilkan 53 cluster yang mengelompokkan 12 937 titik panas dan clustering pada dataset titik panas tahun 2013 menghasilkan 108 cluster yang mengelompokkan 3335 titik panas yang terdeteksi di areal lahan gambut.
2. Pada tahun 2002, areal lahan gambut yang memiliki kepadatan titik panas tertinggi terdapat di beberapa wilayah di provinsi Riau (cluster 6) dan Sumatera Selatan (cluster 24) dengan nilai densitas titik panas pada cluster 6 mencapai 0.226 km2 dan pada cluster 24 mencapai 0.201 km2. Sedangkan pada tahun
2013 areal lahan gambut yang memiliki kepadatan titik panas tertinggi terdapat di provinsi Riau dengan nilai densitas mencapai 0.056 km2.
3. Sebaran titik panas di provinsi Riau (cluster 6) pada tahun 2002 didominasi jenis lahan gambut Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam dan
Hemists/Saprists (60/40), sedang dan tersebar merata pada areal dengan