• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Buruh di Indonesia: Fragmentasi Gerakan Buruh Paska Orde Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gerakan Buruh di Indonesia: Fragmentasi Gerakan Buruh Paska Orde Baru"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Gerakan Buruh di Indonesia:

Fragmentasi Gerakan Buruh Paska Orde Baru

Muryanto Amin

BAHAN BACAAN

KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Pendahuluan

Dinamika gerakan buruh di Indonesia dapat dilihat sebagai refleksi dari

kecenderungan pada ikatan etnis, agama dan ideologi. Situasi itu kemudian diperkuat

dengan alasan bahwa pembentukan serikat buruh pada dasarnya sangat difasilitasi oleh

solidaritas yang muncul karena persamaan nasib, pengalaman dan perjuangan.1 Setidaknya

motif seperti itu terjadi pada tahun 1950-an di Indonesia dan berakhir pada masa Orde

Baru.2 Kajian Arthreya di India menjadi menarik karena rasa identitas atau kesadaran kelas

ternyata berguna untuk mengorganisasi buruh, meski ikatan etnis, agama, dan kedaerahan

juga dapat mempengaruhi persepsi dan cara pandang para pekerja secara individual.3

Paska jatuhnya pemerintahan Orde Baru, gerakan buruh memiliki permasalahan

kelas ketika proses industrialisasi telah merasuk ke dalam individu buruh itu sendiri

khususnya paska jatuhnya pemerintah Orde Baru. Perjuangan serikat pekerja di Indonesia

telah mengalami pergeseran dari isu-isu kesejahteraan menjadi perjuangan eksistensial

yang hanya sekadar mempertahankan pekerjaannya sendiri. Gerakan buruh saat ini

kondisinya sangat fragmented secara sangat luas. Fragmentasi itu bisa berdasarkan orientasi dan afiliasi politiknya, programnya, figurnya, dan macam-macam. Problem ini

menjadi masalah utama buruh sehingga tidak memiliki posisi tawar-politis yang kuat, baik

dengan pengusaha maupun dengan penguasa. Problem lainnya adalah rendahnya kesadaran

berorganisasi di kalangan buruh dan ini terkait dengan warisan depolitisasi Orde Baru yang

cukup lama. Pada saat itu hampir semua sektor di-depolitisasi, termasuk sektor buruh

sehingga para buruh cenderung menghindari persoalan-persoalan politik yang konkret. Dalam sejarah Indonesia, mobilisasi gerakan organisasi buruh selalu dilakukan untuk

kepentingan politik sehingga sering pula memunculkan kembali polarisasi dari gerakan

serikat buruh yang memang pernah ada. Fenomena seperti itu sebenarnya terjadi di hampir

semua negara di dunia.

Meskipun kebebasan untuk membentuk organisasi telah diatur dalam undang-undang,

namun bukan berarti dengan serta merta diiringi oleh kemampuan untuk menata

pengorganisasian buruh. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya institusi buruh,

1

E.P. Thomson. 1968. The Making of English Working Class. London: Pelican. hal. 68.

2

Kajian tentang watak politik gerakan serikat buruh yang radikal pada tahun 1950-an dapat dilihat dalam Iskandar Tedjasukmana. 1958. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh. Terjemahan. Oey Hay Djoen. April 2008. Seri Monograf Modern Indonesia Project Southeast Asia Program Department of Far Eastern Studies. Ithaca, New York: Cornell University. hal. 135-146.

3

(3)

sejak jatuhnya pemerintah Orde Baru diantaranya adalah tingkat pengangguran yang tinggi

sebagai akibat dari krisis ekonomi memberikan pengaruh negatif. Di sisi lain, warisan

subordinasi, tekanan dan kontrol yang ketat selama Orde Baru, telah menyebabkan kelas

pekerja hanya memiliki sedikit keterampilan dan kemampuan berorganisasi.

Permasalahan

Kondisi di atas akhirnya menjebak para aktivis buruh untuk terlibat hanya pada

persoalan-persoalan spesifik buruh semata. Mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan

sektoralnya saja dan jarang terlibat dalam persoalan-persoalan kebangsaan yang lebih luas.

Sehingga, kebebasan berorganisasi yang dimiliki oleh kaum buruh tidak diiringi dengan

penguatannya sebagai kekuatan sosial dan politik dan tetap berada pada posisi yang lemah.

Untuk merespon perubahan sisten ekonomi-politik, serikat buruh perlu menata ulang

berbagai aspek gerakan. Beragam latar belakang sejarah harus dijadikan sebagai cermin

saja untuk tidak mengulangi sejarah kelam buruh.

Dengan latar belakang seperti itu, maka pertanyaan penting yang hendak dibahas

dalam makalah ini adalah mengapa gerakan buruh semakin terfragmentasi pada saat

perluasan kebebasan membentuk organisasi semakin terbuka lebar saat ini?

Perjuangan Kelas dan Industrialisasi Gerakan Buruh

Gerakan serikat buruh dapat dilihat dalam konteks relasi negara dan masyarakat

(state and civil society) tertutama dikaitkan dengan industrialisasi dan pembangunan ekonomi. Konsep-konsep tentang relasi tersebut banyak yang menjelaskan bahwa dalam

proses industrialisasi tentu akan menimbulkan persoalan dalam aliansi-aliansi politik

maupun kondisi dan kecenderungannya di hampir seluruh kekuatan politik dan ekonomi di

Dunia Ketiga tidak terkecuali di Indonesia. Di pihak civil society sendiri terdapat kecederungan bahwa elemen-elemennya yang paling dianggap progresif adalah kelas

menengah atau kaum borjuis, karena merekalah yang paling memungkinkan

mengembangkan aspirasinya dan dianggap sebagai agen demokratis ketimbang kelas

(4)

Model negara birokratis-otoriter menjelaskan bahwa pada dasarnya, munculnya

tekanan negara kepada civil society untuk alasan industrialisasi merupakan tindakan yang tidak bisa dihindarkan dan pada gilirannya mempengaruhi negara dan kekuatan-kekuatan

politik.4 O’Donnell kemudian menjelaskan bahwa betapa peningkatan dan deepening

(pendalaman) industrialisasi akan menimbulkan ketegangan antara negara dan unsur-unsur

masyarakat, yang mengandung potensi terjadinya krisis legitimasi negara.5

Istilah civil society di Indonesia sendiri berkembang dengan acuan yang paling besar pada kajian para pemilik modal atau kelas menengah dan sering mengabaikan

kepentingan lain yang tersubordinasikan seperti buruh misalnya.

6

AS Hikam misalnya melihat adanya kepentingan dari berbagai kelompok yang

berlainan (profesional kelas menengah, pekerja, wartawan, petani, dan lain sebagainya)

dan saling bertalian saat mereka berhadapan dengan kekuasaan negara.

Namun, sebenarnya

terdapat suatu konservatisme politik dalam kelas-kelas ini karena ketergantungannya pada

negara. Sehingga, persoalannya kemudian adalah menemukan cara untuk memutus

ikatan-ikatan atau mengurangi ketergantungan tersebut. Meskipun terlalu sulit untuk menciptakan

kepentingan bersama yang menonjol dalam civil society.

7

Salah satu usulan strategis untuk membuka ruang politik bagi negara-negara yang

terhambat dalam melakukan industrialisasi adalah aliansi antara pekerja dan kelas

menengah.

Persoalan yang

muncul kemudian adalah fragmentasi civil society yang diakibatkan oleh menononjolnya loyalitas kelompok khususnya di tengah-tengah kelas menengah. Akibatnya, muncul suatu

pemahaman bahwa harus ada kepentingan politik bersama yang objektif dan lebih luas

untuk mengatasi keterpecahan yang didasarkan atas loyalitas sempit itu. Dengan demikian,

kekuatan-kekuatan kelompok-kelompok masyarakat akan semakin efektif dalam

membatasi kekuasaan negara.

8

4

Lihat Guilllermo O’Donnell dan Philipe C. Schmitter. 1986. Transition from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore: John Hopkins University Press.

Namun, usulan itu tidak mudah terjadi di Indonesia karena telah berlangsung

penyingkiran politik terhadap kelas pekerja selama Orde Baru bukan hanya di arena politik

namun juga dari wacana intelektual. Pada saat yang sama pula, kaum pekerja sendiri

5

Ibid. hal. 15

6

Pemikir ekonomi-politik yang dipengaruhi Marxis seperti Arif Budiman, Sjahrir misalnya juga mengambil sikap serupa. Bahwa para pengusaha atau pemilik modal/kelas menengah akan semakin besar vis a vis negara meskipun secara perlahan dan tidak langsung. Lihat Arif Budiman (ed.). 1990. “State and Civil Society in Indonesia”. Monash Papers on Southeast Asia, No. 22. Clayton: Monash University.

7

AS. Hikam. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. hal. 3-8.

8

(5)

memang terlambat untuk bergabung dengan kekuatan politik lainnya. Gerakan buruh pada

saat jatuhnya pemerintahan Soeharto itu berlangsung secara parsial atau terpisah dengan

gerakan-gerakan kekuatan politik lainnya, kalaupun bertemu hanya dianggap untuk

kepentingan taktis saja bukan strategis. Akibatnya, gerakan buruh secara keseluruhan

terpecah-pecah dan tidak teratur. Gerakan ini tidak menghasilkan agenda konkrit dalam

kaitannya dengan reformasi ekonomi yang dapat menampung aspirasi buruh.

Meskipun munculnya kekuatan civil society, namun bukan berarti kekuatan state

itu menurun. Paska jatuhnya pemerintah Soeharto yang terjadi adalah negara jauh lebih

lemah, namun di sisi lain, terdapat pula civil society— kekuatan buruh, yang terpecah-pecah dan tidak teratur. Gerakan buruh masih tetap tersubordinasikan dan tidak banyak

mempunyai pengaruh terhadap sebagian besar agenda reformasi yang didukung kaum

reformis kelas menengah. Proses industrialisasi masa Orde Baru, jelas meminggirkan kaum

buruh dalam kemajuan ekonomi kelompok buruh itu sendiri. Setelah itu terdapat ruang

kebebasan dalam demokratisasi yang dimiliki oleh kaum buruh seperti menyalurkan

aspirasi ekonomi dan politiknya sesuai dengan kehendaknya dan tidak lagi terkungkung

dalam satu koridor tertentu. Namun, kebebasan politik itu tidak dibarengi dengan

kemampuan untuk meningkatkan manajemen pengorganisasian buruh secara integratif.

Historis Kekuatan Politik Kaum Buruh di Indonesia

Sejarah kekuatan gerakan serikat buruh di Indonesia sudah dimulai sejak awal

perjuangan nasionalis dan menunjukkan peran yang cukup menonjol. Gerakan buruh

ketika itu, tidak hanya berbasis pada wilayah sosial-ekonomi, namun juga berwatak politis.

Meskipun pada tahun 1920-an dikekang oleh kekuasaan kolonial Belanda, namun gerakan

buruh bangkit kembali dalam bentuk perjuangan senjata, yang dikenal dengan lasykar

buruh, di tahun-tahun 1945-1949. Bentuk perjuangannya yaitu mempertahankan tempat

kerja melawan tentara Belanda dan merampas fasilitas-fasilitas produksi milik asing dalam

suatu gerakan nasional. Kekuatan buruh itu muncul terkait afiliasi gerakannya dengan

partai politik yang merupakan kekuatan politik sah dan sangat menonjol serta kekuatan

borjuasi domestik belum muncul sama sekali.

Kekuatan gerakan serikat buruh ini semakin berkembang pada tahun 1950-an

ketika mempelopori nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan perusahaan milik

(6)

dewan-dewan pekerja yang menjalankan perusahaan tersebut. Namun, perusahaan-perusahaan itu

akhirnya menjadi perusahaan milik negara yang dikendalikan militer dan tidak jarang

mengalami pergesekan dengan gerakan buruh yang lebih militan untuk berjuang

mempertahankan hidup. Keadaan ketika itu menunjukkan empat federasi nasional yang

besar, tiga federasi kecil, dan sejumlah organisai buruh yang baru dibentuk serta sangat

kecil dalam ukuran dan keanggotaannya. Diantara organisasi buruh yang besar adalah

Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) dan Serikat Buruh Perkebunan Republik

Indonesia (SARBUPRI) yang berafiliasi dengan SOBSI.9

Sejarah gerakan buruh yang cukup aktif dan bersifat politis ini mengalami

penurunan yang drastis pada saat Orde Baru menyusun koalisi kekuatan politik yang

dipimpin tentara yang sebelumnya didahului oleh penghancuran Partai Komunis Indonesia

(PKI). Pengambilalihan fungsi manajerial atas perusahaan-perusahaan negara yang

dilakukan tentara untuk menjaga kedamaian industrial. Sehingga, mengharuskan tentara

untuk terlibat langsung dalam konfrontasi dengan serikat-serikat pekerja radikal yang

terkait dengan SOBSI. Penyingkiran organisasi itu dari kancah politik berakibat pada

melemahnya kaum buruh secara signifikan pada awal kemunculan Orde Baru.

Konsolidasi kekuasaan negara terjadi sangat cepat setelah pendirian Orde Baru.

Kontrol yang sangat ketat dijalankan kepada buruh sampai pada tahun 1973 dibentuklah

sebuah organisasi buruh secara tunggal yang disetujui oleh negara dan berbentuk federasi

yaitu FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia). Bersamaan dengan itu, hubungan gerakan

buruh dengan partai politik diputuskan dan aktivitas FBSI didesak hanya menyangkut

wilayah sosial dan ekonomi.10

Pada tahun 1985 FBSI merubah namanya menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh

Indonesia) agar lebih terpusat, hierarkis sehingga lebih mudah dikontrol. Transformasi

terus dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan dari keinginan negara dan di tahun Orde Baru mengadopsi gagasan tentang pemisahan wilayah

sosial-ekonomi dari wilayah politik untuk meminimalisir gerakan buruh yang di

masa-masa sebelumnya sangat menonjol.

9

Gerakan serikat buruh yang radikal dan mempelopori nasionalisasi itu terlihat jelas di perusahaan perkebunan milik Belanda dan perusahaan asing lainnya dilakukan oleh SOBSI dan SARBUPRI yang berkaitan dengan PKI. Suasana hubungan buruh dan pengusaha, saat itu, diwarnai oleh konflik seperti pemogokan kerja yagn berakibat kepada menurunya produktivitas. Untuk jelasnya lihat Ann Laura Stoler. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Terjemahan..Yogyakarta: Karsa. hal. 213-214.

10

(7)

1995 berubah nama menjadi FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan

terakhir pada tahun 2001 menjadi KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Ketika tahun 1980-an, organisasi ini disiapkan untuk membantu aparat keamanan dalam

mengindentifikasi dan menghadapi berbagai perkembangan yang membahayakan di bidang

perburuhan. Semua penataan itu dilakukan untuk menjamin stabilitas politik bagi

keberhasilan ekonomi dalam wacana resmi bahwa kaum buruh dianggap sebagai sumber

gangguan.

Kondisi Buruh dan Gerakannya Setelah Reformasi

Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, pekerja setidaknya menghadapi berbagai

rintangan besar dalam membangun gerakan buruh yang efektif. Pertama, mobilisasi modal internasional ke seluruh negara-negara di dunia menyebabkan melemahnya daya tawar

pekerja secara global. Modal internasional itu diinjeksi ke industri-industri padat buruh

yang berupah rendah dan berorientasi ekspor. Industri seperti itu menghasilkan karakter

pekerja yang berusia muda, perempuan dan mudah berpindah-pindah dari satu perusahaan

ke perusahaan lain. Kedua, sangat berlebihnya persediaan buruh di Indonesia akan terus menjadi faktor penghambat yang serius bagi perkembangan suatu gerakan kelas pekerja

yang kuat. Realitas akan tingkat pengangguran dan kekurangan pekerja yang tinggi sebagai

akibat krisis ekonomi saat itu.

Sepanjang tahun 1999 dan 2000-an jumlah angka pengangguran menjadi

membengkak hampir 17 juta dari kira-kira 90 juta tenaga kerja (Kompas, 19 Februari

2000). Fakta itu disebabkan karena perekonomian mengalami penyusutan hingga 14 persen

di tahun 1999. Bahkan dalam masa-masa kemajuan ekonomi, hanya 2,3 juta dari 2,7 juga

tenaga kerja baru yang dapat diserap dalam setiap tahunnya. Keadaan seperti itu jelas tidak

mendukung bagi usaha-usaha untuk memperkuat kemampuan kaum pekerja dalam

berorganisasi.

Sebelum krisis ekonomi terjadi dan di akhir-akhir jatuhnya Orde Baru, aktivitas

organisasi yang independen di tingkat akar rumput memperlihatkan tantangannya terhadap

kekakuan korporatisme otoriter Orde Baru. Pembentukan satu wadah yang ditopang oleh

negara direspon dengan berkembangbiaknya wadah-wadah organisasi berbasis komunitas

lokal yang seringsekali bekerja sama dengan organisasi non pemerintah (ornop) berbasis

(8)

secara langsung ditujukan untuk membentuk serikat-serikat buruh yang independen dari

negara. Upaya seperti itu antara lain melahirkan misalnya SBM Setiakawan (Serikat Buruh

Merdeka Setiakawan) yang dibentuk pada tahun 1990 dan SBSI (Serikat Buruh Sejahtera

Indonesia) pada tahun 1992. Keduanya menjalankan aktivitas yang begitu beragam seperti

memajukan pendidikan buruh, koperasi, program latihan organisasi dan

kelompok-kelompok diskusi yang bertujuan memperkuat pemahaman gerakan hak-hak buruh. Upaya

tersebut kemudian mendapat sokongan dari lembaga-lembaga internasional atau

negara-negara yang memiliki keterkaitan dengan organisasi buruh seperti Belanda dan Jerman.

Serikat buruh yang terbentuk tersebut kemudian meluaskan hubungannya dengan

kelompok-kelompok mahasiswa.

Hingga saat ini, bisa dipastikan, bahwa kaum pekerja tidak menemukan sarana

untuk maju berkembang ke arah bentuk-bentuk organisasi yang lebih matang dan efektif,

terlepas dari perkembangan politik yang terjadi paska pemerintahan Soeharto. Mereka

masih tetap tidak mampu membangun organisasi-organisasi yang menyerupai gerakan

minju-no-jo di Korea Selatan di akhir 1980-an, atau KMU di Filipina, yang kehadirannya cukup nyata dan signifikan untuk mencegah berbagai usaha yang bertujuan untuk

menghancurkan mereka lewat tindakan sewenang-wenang atau penindasan pemerintah.

Aliansi buruh dengan kelompok-kelompok kelas menengah hanya terbatas dengan

ornop dan aktivis mahasiswa, meskipun sebagian pekerja “berkerah putih” di sektor

perbankan, finansial dan angkutan udara – yang juga terancam oleh krisis ekonomi – juga

berencana untuk membentuk serikat-serikat independen. Perkembangan inilah yang

kemudian dapat dilihat bahwa aliansi antar serikat pekerja menjadi tidak lebih kuat dari

periode yang pernah dialami Indonesia ketika tahun 1950-an.

Benih-Benih Konflik Gerakan Serikat Buruh

Ketika harapan akan bangkitnya serikat buruh untuk memperjuangkan

kepentingannya ternyata diikuti dengan kondisi yang tidak mendukung untuk itu.

Setidaknya pada tahun 1999 telah terdaftar lima belas serikat buruh di Departemen Tenaga

Kerja, meski organisasi buruh yang militan tidak tertarik untuk menerima pengakuan dari

negara. Terlepas dari kebangkitan ini, besarnya pengangguran secara masif di Indonesia

sangat mungkin memunculkan rintangan terhadap kemajuan nyata yang tengah dibuat

(9)

Sementara itu, dengan adanya perubahan undang-undang partai politik,

partai-partai yang berbasis buruh juga telah berdiri dan melibatkan sebagian tokoh-tokoh penting

di FSPSI yang di masa lalu biasanya merupakan pendukung setia Golkar. Meskipun begitu,

partai-partai buruh ini tetap jauh dari kaum pekerja dan sebagian besar tidak lebih dari

sekedar arena permainan elit-elit politik. Jika kita lihat dari hasil pemilu 1999 dan 2004

baik PDIP dan Golkar, yang memenangkan di kedua pemilihan umum itu, tidak

mempunyai hubungan secara organik dengan gerakan buruh. Para pemimpin partai-partai

itu merupakan hasil kombinasi dari pejabat yang mendukung Orde Baru serta sekelompok

kecil para ahli ekonom liberal – yang sering sekali tidak memiliki keterkaitan secara erat

dengan kepentingan kaum buruh.

Implikasi yang terjadi kemudian bagi gerakan buruh adalah bahwa tidak banyaknya

kecenderungan yang mengarah pada konsolidasi di antara para aktivis buruh independen

selama masa transisi hingga saat ini. Sebagian elit-elit itu kemudian berkecimpung untuk

perselisihan paham, dan pilihan yang strageis untuk kepentingan-kepentingan pribadi.

Namun, mereka juga sadar bahwa keadaan yang terpecah-pecah itu membuat posisi

objektifnya semakin lemah dan tidak banyak membantu kemampuan mereka untuk

memanfaatkan kesempatan apapun yang telah terhidang oleh runtuhnya Orde Baru.

Sekalipun serikat-serikat pekerja pendatang baru telah berhasil memperoleh

pengaruh dalam kerangka resmi hubungan-hubungan industri, namun keterpecahan bibit

gerakan buruh independen yang terus terjadi merupakan suatu cerminan dari tidak padunya

gerakan civil society secara umum. Ini menunjukkan bahwa terjadi ketidakpaduan diantara kelompok-kelompok dan kelas-kelas sosial yang paling dipinggirkan selama Orde Baru.

Sejumlah besar serikat-serikat kerja independen yang didirikan dalam tahun 1999 sampai

2000-an yang telah menantang penataan institusional oleh negara dan sebelumnya hanya

mengakui FSPSI jarang menemukan kebulatan dalam memperjuangkan hak-hak para

anggotanya. Bahkan FSPSI mengalami perpecahan internal yang serius dengan munculnya

FSPSI Reformasi. Menjelang tahun 2001, lebih dari tiga lusin organisasi serikat buruh

berfederasi telah mendaftar ke Departemen Tenaga Kerja. Sayangnya, kemunculan

serikat–serikat pekerja itu tidak diiringi oleh respon positif dalam mengelola desakan

tuntutan untuk upah dan kondisi kerja yang lebih baik. Pada tahun 2003 telah terjadi 273

kali pemogokan dan secara mengejutkan menunjukkan tidak adanya hambatan-hambatan

(10)

integratif oleh serikat pekerja agar memiliki kekuatan yang padu untuk memperhatikan

kesejahteraan buruh dalam tataran politik nasional.11

Ketidakpaduan serikat-serikat pekerja disebabkan karena profil dari organisasi

cukup bervariasi. Sebut saja misalnya Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI)

yang didirikan terkait dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang

dibentuk oleh Habibie. Serikat ini memiliki kepentingan untuk mendukung kelompok kelas

menengah muslim yang sedang bangkit untuk menguasai kekuasaan birokrasi. Operator

politik jarigan Habibie lainnya seperti Jumhur Hidayat, mantan aktivis mahasiswa anti

Soeharto, menbentuk Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo).

Sementara Agus Sudono, mantan Ketua Umum FBSI, mendirikan organisasi dengan

singkatan nama yang sama dengan federasi buruh yang terkait dengan Masyumi pada

tahun 1950-an, yaitu Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo).

Bersamaan itu pula, jenis-jenis organisasi buruh lain bermunculan yang berbasis

wilayah dan dulunya menentang pemerintahan Soeharto seperti Serikat Buruh Jabotabek,

Jaringan Buruh Antar Kota (Jebak), Serikat Buruh Sumatera Utara (SBSU), Komite Buruh

Aksi Reformasi (Kobar). Kobar terkait erat dengan kelompok-kelompok kecil buruh

radikal dan telah memainkan peran instrumental dalam pembentukan Federasi Nasional

Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI). Organisasi buruh lainnya juga terbentuk di

Surabaya seperti Serikat Buruh Reformasi Surabaya dan Serikat Buruh Independen

Indonesia di Jawa Tengah.

Perdebatan tentang kemungkinan diperlukannya partai-partai politik berbasis buruh

juga meluas. Namun, ironisnya, tokoh-tokoh terkait FSPSI membentuk Partai Pekerja

Indonesia hanya sehari sebelum Soeharto mundur. Partai lain seperti Partai SPSI, juga

dibentuk oleh sekelompok pemimpin serikat buruh yang berbeda, sementara Muchtar

Pakpahan mendirikan Partai Buruh Nasional (PBN). Selain itu, Partai Solidaritas Pekerja

(PSP) dibentuk dengan bantuan dana yang diduga berasal dari seorang anggota keluarga

Soeharto. Meski demikian, semua partai itu tampil buruk pada pemilu 1999 dan 2004. Tak

satu pun kursi DPR yang dapat mereka raih.

Faktor penting kegagalan di balik itu adalah terletak pada kenyataan bahwa para

pekerja agaknya tidak memberikan suaranya secara padu, dan banyak aktivis buruh yang

enggan melakukan usaha-usaha untuk membentuk parti-partai buruh semu seperti itu. Para

11

(11)

aktivis itu mungkin khawatir terhadap manipulasi-manipulasi yang dilakukan oleh para

oportunis politik. Atas dasar itu, mereka kemudian lebih memprioritaskan penguatan

gerakan serikat buruh. Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa tidak ada partai buruh

murni yang bisa tumbuh subur tanpa adanya suatu gerakan buruh yang efektif. Tanpa

gerakan semacam itu, sebuah partai buruh tidak akan dapat sejalan dengan klaimnya

sebagai representasi kepentingan pekerja. Efek langsungnya adalah bahwa para pekerja

tetap menjadi swing voters. Dengan tidak adanya partai buruh yang riil bersamaan dengan kehadiran sederetan organisasi buruh, tidak ada satu pun yang memiliki legitimasi untuk

bernegosiasi atas nama pekerja dengan berbagai kelompok elit politik.

Aliansi diantara berbagai kelompok buruh juga sulit dilakukan lantaran fragmentasi

dalam gerakan buruh, kendati pun ada beberapa pengecualian. Sebut saja misalnya

Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI) yang terdiri dari Gaspermindo dan

Gasbiindo, yang terbentuk tahun 1999, sementara Forum Solidaritas Unionis (FSU) secara

agak aneh menghimpun berbagai organisasi yang memiliki perbedaan orientasi seperti

SBSI, FSPSI Reformasi, FNPBI, serta sebuah serikat buruh para pekerja kelas menengah

sektor perbankan dan keuangan. Namun, pengelompokan-pengelompokan ini tampaknya

lebih bersifat ad hoc daripada permanen.

Meskipun di tengah-tengah partai politik besar seperti PDIP dan Golkar misalnya

terdapat departemen-departemen buruh namun hanya sedikit dari mereka yang

menunjukkan minat untuk mengembangkan konstituen buruh yang kuat selama Pemilu

1999 dan Pemilu 2004. Banyak pihak yang meyakini bahwa simpati para pekerja industri

diberikan pada PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri terutama karena aura populisme

dan egalitarianisme Soekarno yang dipancarkan partai itu. Ironisnya, posisi partai ini

terhadap buruh hanya terbatas pada komentar-komentar mengenai perlindungan kepada

buruh sebagai faktor produksi manusia yang bersifat khusus dan hanya niat untuk

mengembangkan suatu sistem jaminan sosial, namun tidak sampai pada langkah konkrit

dalam bentuk legislasi dan pengawasan yang ketat. Sementara, tidak ada perwakilan buruh

di dewan pimpinan pusat dan sebaliknya sering pula terjadi milisi sipil PDIP telah disewa

para pengusaha industri untuk meredam gejolak buruh.12

12

(12)

Beberapa Perbedaan dengan Serikat Buruh di Eropa

Aneka perubahan ekonomi-politik internasional tentu mempengaruhi gerakan

buruh di Indonesia yang memiliki ciri khasnya sendiri dan membedakannya dengan

gerakan buruh di Eropa misalnya. Beberapa perbedaan adalah sebagai berikut pertama

Struktur masyarakat Indonesia berbeda dengan Eropa. Di Indonesia tidak ada kapitalis

borjuasi munis dan proletar murni, sedangkan di negara-negara Eropa perbedaan kelas itu

jelas ada. Tidak ada kelas buruh sejati karena mayoritas buruh di Indonesia bekerja di

sektor agrikultur, Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi, serta sektor informal.

Sedangkan majikan tidak pula dapat disamakan dengan kategori kelas borjuasi murni

sesuai dengan kategori Marx ketika melihat dan menyampaikan ide tentang analisis kelas

untuk meningkatkan posisi politik kaum buruh. Perbedaan ini merupakan kasus yang khas

di Indonesia dengan masyarakat di Eropa seperti Inggris dan Jerman.

Mengorganisasi buruh dengan tujuan akhir menumbangkan kelas kapitalis jelas

salah kaprah atau kesilapan strategi dan ahistoris yang berakibat pada semakin

melemahnya posisi tawar buruh. Sejak beberapa tahun lalu, baik di ILO maupun wadah

serikat buruh dunia (ITUC) mengembangkan social dialogue sebagai kunci penyelesaian perselisihan perburuhan. Perubahan yang perlu dilakukan adalah membuat sistem yang

lebih adil. Perundingan menjadi lebih produktif ketimbang konfrontasi di jalanan. Mogok

dan demo tetap perlu sebagai pamungkas, tetapi tidak bisa dijadikan sebagai indikator

mengukur kehebatan gerakan buruh yang diorganisir. Indikator utama terpulang pada apa

hasil akhir positif yang diterima buruh.

Kedua, kualifikasi pemahaman para aktivis buruh di Indonesia tidak sama dengan aktivis buruh di Eropa. Selama ini banyak aktivis buruh bergelut dalam tataran normatif,

misalnya terkait kenaikan upah, THR, dan pesangon. Aktivis buruh di Indonesia belum

begitu paham usulan yang bersifat makro, seperti konsep pengupahan yang lebih adil,

sistem jaminan sosial, konsep peningkatan produktivitas, dan penanggulangan

pengangguran. Para aktivis buruh di Indonesia cenderung lebih mengedepankan sikap

reaktif daripada solutif dalam merespons kebijakan baru. Sedangkan di negara-negara

Eropa, aktivis buruh lebih mengelaborasi usulan-usulan alternatif yang masuk akal sehinga

dapat memperluas dukungan dari masyarakat. Sehingga, gerakan buruh di Eropa memiliki

(13)

Ketiga, terkait dengan ideologi aktivis serikat buruh. Banyak aktivis serikat buruh di Indonesia yang tidak jernih memposisikan dirinya sebagai pejuang buruh. Ada aktivis

serikat buruh yang sering berpindah dari satu serikat buruh ke serikat buruh lainnya

sehingga memperluas fragmentasi, kemudian menjadi pengurus di partai yang tidak punya

program perburuhan, termasuk juga memiliki perusahaan outsourching, menjadi kuasa hukum buruh, tetapi justru mengorbankan buruh. Sementara yel-yel yang diteriakkan

melakukan revolusi buruh dan perjuangan kelas. Aktivis ”setengah hati” dengan orientasi

pragmatis hanya menambah deretan panjang fragmentasi buruh di Indonesia. Berbeda

dengan para aktivis buruh di negara-negara Eropa, di mana para aktivisnya sangat

menekankan pentingnya ideologi yang harus diyakini. Sebentuk perangkat perjuangan

aktivis buruh baik di partai politik dan parlemen selalu terkait dengan platform dan program yang sesuai dengan aspirasi buruh. Sehingga, ketika perubahan ekonomi terjadi,

para aktivis dan pemimpin buruh menempatkan kepentingan buruh dan masyarakat sebagai

garda terdepan dalam perjuangan kebijakan publik.

Reposisi Gerakan Buruh

Untuk merespon perubahan sistem ekonomi-politik, serikat buruh di Indonesia

perlu menata ulang berbagai aspek gerakannya. Reposisi diperlukan guna memperkuat

relevansi gerakan buruh. Ada tiga alasan penting mengapa serikat buruh perlu mereposisi.

Pertama, perubahan politik dan demokratisasi. Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat Tahun 1998, buruh bebas membentuk serikat

buruh, bahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengizinkan hanya dengan 10

orang, serikat buruh bisa didirikan. Itu sebabnya kini ada ratusan atau tercatat 87 serikat

buruh tingkat nasional dan ratusan lainnya di tingkat daerah. Pengalaman internasional

gerakan buruh mencatat banyaknya serikat buruh cenderung mendorong fragmentasi,

konflik horizontal,dan melemahkan perjuangan buruh.

Kedua, terkait dengan perubahan sistem fleksibilitas kerja baru. Liberalisasi

outsourching dan buruh kontrak sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyulitkan pola pengorganisasian serikat buruh. Praktik outsourching dan kerja kontrak membuat buruh menjadi moving target, selalu bergerak dari majikan yang satu ke majikan yang lain, dengan kondisi kerja berlainan. Situasi ini tidak bisa diikuti serikat buruh

(14)

birokrasi pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Model seperti ini tak cukup

fleksibel dalam merespons perubahan pasar kerja. Perlu dipertimbangkan dan justru

diperbanyak model organiasi matriks yang bersifar fleksibel pula untuk merespons situasi

ekonomi yang semakin cepat berubah.

Ketiga, kian terintegarisnya pasar global pasar global dan kuatnya peran korporasi multinasional (MNC’s) membuat gerakan buruh domestik harus memiliki jaringan kerja

kuat dengan gerakan buruh internasional. Jejaring dengan gerakan buruh internasional

menjadi keniscayaan. Aktivis serikat buruh diharuskan memahami peta ekonomi global,

seperti dalam Global Compact, panduan OECD atas MNC’s, kesepakatan internasional

antara federasi serikat buruh internasional dan MNC’s (IFA), konvensi ILO, kebijakan Uni

Eropa atas investasi, dan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).

Pasar kerja telah berubah, gerakan buruh harus lebih canggih daripada masa lalu.

Gerakan buruh yang hanya mengandalkan militansi dan mobilisasi massa tidak lagi efektif.

Dibutuhkan gerakan buruh yang memiliki kapasitas bernegosiasi, lobi, riset, penguasaan

bahasa asing, dan menawarkan alternatif kebijakan. Aneka perubahan tersebut menuntut

beberapa penyesuaian di tingkat organisasi. Struktur buruh harus mengikuti kecenderungan

fleksibilitas pasar kerja. Kantor serikat buruh di kawasan buruh, jam kerja yang

disesuaikan shift kerja buruh. Struktur serikat buruh nasional harus lebih sederhana sehingga tidak membebani keuangan saat berkongres atau menghadiri pertemuan nasional.

Organsisi buruh harus lebih fleksibel dan mampu secara finansial.

Kesimpulan

Model negara birokratis-otoriter yang telah diterapkan selama 32 tahun masa Orde

Baru memiliki implikasi yang menjelaskan munculnya kembali kekuatan buruh dalam

bentuk yang berbeda, terfragmentasi, lemah secara institusi dan rendahnya kualifikasi

aktivis buruh. Runtuhnya Orde Baru hanya membuka suatu jendela kecil bagi organisasi

buruh. Akan tetapi, para pekerja tidak terlatih dan tidak siap untuk memanfaatkan

sepenuhnya peluang keterbukaan ruang politik sejak jatuhnya Orde Baru. Di satu sisi,

tingkat pengangguran yang tinggi sebagai akibat dari krisis ekonomi memberikan pengaruh

(15)

Baru, telah menyebabkan kelas pekerja hanya memiliki sedikit keterampilan dan

kemampuan berorganisasi.

Fragmentasi pada gerakan buruh, seperti yang digambarkan oleh AS Hikam

mengenai civil society di Indonesia, sebagaian besar tidak begitu efektif untuk merubah kebijakan politik yang berpihak kepada buruh. Meskipun, seringkali aktif dan

kadang-kadang vokal untuk menyuarakan aspirasinya. Fragmentasi itu akhirnya menjadi masalah

utama buruh sehingga tidak memiliki posisi tawar-politis yang kuat, baik dengan

pengusaha maupun dengan penguasa. Solusi penting yang harus dilakukan adalah mencari

sebuah tempat yang sah dalam arena politik sekaligus mengendapkan terlebih dahulu

sekat-sekat politik masa lalu. Tugas berat ini hanya bisa dilakukan jika aktivis buruh tidak

memisahkan perjuangan hak-hak ekonomi dan agenda sosial yang lebih luas. Kualfikasi

aktivis dan pemimpin serikat buruh harus ditingkatkan untuk kemampuan bernegosiasi,

lobi, penguasaan bahasa asing, dan memiliki kemampuan untuk menawarkan alternatif

kebijakan. Serikat buruh perlu pula mengoreksi para aktivisnya yang aktif di parpol yang

tidak menyuarakan aspirasi dan kepentingan buruh. Kekuatan parpol menjadi penting

karena sesungguhnya partai politik memerlukan aliansi strategis terutama di kelompok

buruh.

Daftar Pustaka

Arthreya, Ankatesh B.. 1990. Barriers Broken: Production Relation and Agrarian Change in Tamil Nandu. Newburry Park, Calofornia: Sage.

Budiman, Arif (ed.). 1990. “State and Civil Society in Indonesia”. Monash Papers on Southeast Asia, No. 22. Clayton: Monash University.

Vedi R. Hadiz, “Globalization, Labor and the State: The Case of Indonesia”. Asia Pacific Business Review, Edisi Khusus tentang Globalisai dan Buruh di Asia.

Hikam, AS. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.

O’Donnell, Guilllermo dan Philipe C. Schmitter. 1986. Transition from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore: John Hopkins University Press.

Rueschmeyer, Dietrich. et.all. 1992. Capitalist Development and Democracy. Cambridge: Polity Press.

(16)

Sudono, Agus. 1981. FBSI Dahulu, Sekarang, dan Yang Akan Datang. Jakarta: The Limits of Openness, Human Right in Indonesia and East Timor.

Tedjasukmana. Iskandar. 1958. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh. Terjemahan. Oey Hay Djoen. April 2008. Seri Monograf Modern Indonesia Project Southeast Asia Program Department of Far Eastern Studies. Ithaca, New York: Cornell University.

Referensi

Dokumen terkait

Selain untuk memperingati berdirinya Jurusan Psikologi FIP Unnes, kegiatan ini juga bertujuan untuk memperkenalkan dan mempromosikan Jurusan Psikologi kepada pihak diluar

a) RTRWP yang sudah diusulkan Pemprov belum disetujui Pemerintah Pusat karena tidak sesuai dengan Sk Menhut tentang Penunjukan Kawasan Hutan, padahal kawasan hutan adalah

Proses Thermal spray dapat dikelompokkan dalam suatu grup yang terdiri dari beberapa proses di mana serbuk atau kawat logam dideposisikan pada suatu permukaan dengan

Tetapi dengan pulp yang sudah digiling akan diperoleh kertas dengan kekuatan yang tinggi, padat, formasi jalinan lebih baik dan sifat-sifat lainnya sesuai dengan spesifikasi

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk Untuk mengetahui Pengaruh bauran pemasaran ritel terhadap loyalitas pelanggan dengan kepuasan konsumen sebagai variabel intervening

Sehingga pemaparan mengenai kondisi permasalahan perpupukan di Indonesia, menjadi hal yang penting dan perlu untuk diteliti lebih lanjut mengenai kebijakan pemerintah

- Melafalkan huruf Hijaiyah berharakat fathah, kasrah, dhammah, sukun dan tanwin.. - Mendemonstrasikan lafal huruf-huruf