• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan ekonomi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pertumbuhan ekonomi

Pelemahan Rupiah, dan Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini

Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), pada tanggal 14 Maret 2015, Rupiah ditutup di posisi Rp13,191 per US Dollar, dan ini adalah posisi terendah bagi mata uang Rupiah terhadap US Dollar sejak.. well.. krisis moneter tahun 1998. Jadi meski penulis pribadi dalam satu dua tahun terakhir ini berusaha untuk tutup mata terhadap perkembangan ekonomi makro dan tetap fokus pada faktor fundamental perusahaan dalam berinvestasi di pasar saham, namun hal ini mau tidak mau tetap kelihatan, karena bahkan pada krisis global tahun 2008 sekalipun, posisi nilai tukar Rupiah tidak pernah turun sampai serendah ini. Pada puncak krisis global tahun 2008, Rupiah hanya anjlok sampai Rp12,768 per US Dollar sebagai titik terendahnya, sebelum kemudian segera balik lagi ke level normalnya yakni Rp9,000-an per US Dollar.

Menariknya, kita tahu bahwa pada tahun 1998 dan juga 2008, Indonesia sempat dilanda krisis ekonomi termasuk bursa saham ketika itu juga hancur berantakan. Tapi pada hari ini, meski kondisi Rupiah tampak mengkhawatirkan namun kondisi perekonomian secara umum tampak masih berjalan normal, dan IHSG juga justru malah sukses break new highdalam beberapa bulan terakhir. So, anda mungkin bertanya, sebenarnya Indonesia sedang dalam kondisi krisis, baik-baik saja, apa gimana?

Nah, terkait hal ini, penulis hendak mengajak anda untuk flashback ke tahun 2013 lalu, tepatnya pada tanggal 23 Agustus 2013, dimana Pemerintah Indonesia ketika itu meluncurkan paket kebijakan ‘penyelamatan ekonomi’, terutama untuk mengatasi gejolak pelemahan Rupiah yang ketika itu sudah menembus Rp11,000 per USD. Sedikit mengingatkan, kondisi pasar saham ketika itu berbanding terbalik dengan saat ini dimana IHSG terpuruk di level 4,200-an, atau anjlok lebih dari 1,000 poin dibanding posisi puncaknya pada bulan Mei di tahun yang sama. Jadi boleh dibilang bahwa ‘problem’ yang dihadapi Pemerintah ketika itu ada dua, yakni pelemahan Rupiah itu sendiri (yang dikeluhkan para pelaku usaha riil), dan juga pelemahan IHSG (yang dikeluhkan para investor dan pelaku pasar modal lainnya). Dan mungkin itu sebabnya Presiden SBY ketika itu gerak cepat dengan meluncurkan paket kebijakan tadi, karena beliau dihadapkan pada tekanan baik dari para pengusaha maupun investor di pasar modal.

(2)

Dollar, maka itu adalah refleksi dari perlambatan pertumbuhan ekonomi tadi, dimana jika fundamental perekonomian Indonesia melemah, maka Rupiah sebagai ‘saham Indonesia’ juga akan turut melemah.

Biji kelapa sawit dan batubara, dua komoditas utama ekspor Indonesia

Dan ketika Pemerintah meluncurkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, maka harapannya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali meningkat, dan alhasil nilai tukar Rupiah akan menguat dengan sendirinya. Berikut adalah empat poin utama dari paket kebijakan ala Presiden SBY pada tahun 2013 lalu:

Pemberlakuan potongan/pengurangan pajak bagi industri padat karya yang mampu mengekspor minimal 30% produksinya

Ekspor bijih mineral, yang sebelumnya dilarang sama sekali, sekarang dibolehkan asalkan pihak perusahaan memenuhi syarat-syarat tertentu.

Meningkatkan porsi penggunaan campuran biodiesel dalam solar, sehingga diharapkan akan menekan impor bahan bakar minyak jenis solar, dan

Menaikkan pajak untuk impor barang mewah, dari tadinya 75% menjadi maksimal 150%.

(3)

Jadi ketika Rupiah sekarang sudah menembus Rp13,000 per USD, maka sebenarnya kurang tepat jika dikatakan bahwa, ‘Rupiah melemah karena seluruh mata uang di negara manapun juga sedang melemah terhadap US Dollar’, karena faktanya perekonomian kita memang lagi ada problem, dimana problem ini bukan terjadi baru-baru ini saja, melainkan sudah terjadi sejak dua atau tiga tahun yang lalu. Kalau dikatakan bahwa kita sedang krisis ekonomi sih mungkin agak berlebihan, tapi jika kondisi ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin jika krisis itu pada akhirnya akan benar-benar terjadi.

Problemnya adalah, terkait ‘akar permasalahan’ tadi, Pemerintah tentunya tidak bisa mengendalikan harga komoditas di pasar internasional, dan Pemerintah juga tidak bisa begitu saja menghentikan impor mesin-mesin industri, karena itu akan mematikan industri itu sendiri (sehingga dalam hal ini kita juga tidak bisa menyalahkan Pemerintah pada tahun 2013 lalu hanya karena kebijakannya tidak ‘menyentuh akar permasalahan’, karena mungkin memang hanya itu yang bisa dilakukan). Jadi pertanyaannya sekarang, mampukah Pemerintah kali ini untuk mengeluarkan kebijakan yang, meski mungkin juga tidak bisa secara langsung menyentuh akar permasalahan, namun paling tidak bisa lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan juga bisa dengan cepat diimplementasikan? Contohnyaaa:

Ekspor terbesar Indonesia setelah migas, CPO, dan batubara, adalah ekspor alat-alat listrik, karet, dan mesin-mesin mekanik. Jadi Pemerintah mungkin bisa memberikan insentif tertentu pada perusahaan-perusahaan alat-alat listrik dan mesin mekanik, agar mereka bisa meningkatkan nilai ekspor.

Ekspor terbesar Indonesia hingga saat ini adalah migas, entah itu berbentuk minyak mentah, gas, ataupun minyak olahan. However, nilai ekspor migas ini cenderung turun dari tahun ke tahun, dari US$ 41.5 milyar pada tahun 2011, menjadi hanya US$ 30.3 milyar pada 2014 (dan penyebabnya bukan karena semata penurunan harga minyak dunia, mengingat rata-rata harga minyak pada tahun 2011 tercatat US$ 104 per barel, atau hanya sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata tahun 2014 yakni US$ 96 per barel). Jadi dalam hal ini Pemerintah melalui kementerian dan badan-badan terkait mungkin bisa mendorong perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di tanah air, baik asing maupun lokal, untuk meningkatkan produksinya.

Impor terbesar Indonesia juga terletak di migas. Dan sayangnya meski nilai ekspor migas terus turun dalam tiga tahun terakhir, namun nilai impor migas malah naik terus. Jadi meski solusi yang ini sulit untuk bisa direalisasikan dalam waktu dekat, namun Pemerintah harus segera merencanakan pembangunan kilang-kilang pengolahan minyak di dalam negeri, agar kita tidak harus impor bensin dan solar lagi, atau minimal dikurangi lah.

Memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit agar mereka mau mengembangkan industri hilir CPO, termasuk mengembangkan biodiesel, agar Indonesia bisa mengekspor produk hilir CPO yang memiliki nilai tambah, dan juga mengurangi impor solar (sebenarnya ini juga baru akan terasa manfaatnya dalam jangka panjang. Tapi kalau implementasinya gak dimulai dari sekarang, maka mau nunggu sampai kapan?)

(4)

oleh meningkatnya 1. Belanja pemerintah, 2. Konsumsi, dan 3. Investasi. Well, pemerintah tentunya punya banyak opsi untuk meningkatkan ketiga hal tersebut, tinggal pilih yang mana yang bisa diimplementasikan dalam waktu dekat.

Daaaan seterusnya.. Kebetulan, setelah memperoleh tekanan dari publik terkait melemahnya Rupiah, dalam waktu dekat ini Presiden Jokowi juga kemungkinan akan mengumumkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi. Kita lihat nanti, seperti apa paket kebijakannya.

Lalu bagaimana dengan IHSG? Apakah ini artinya IHSG juga bakal anjlok, mengingat seperti yang sudah dibahas diatas, perekonomian kita memang tidak bisa dikatakan baik-baik saja? Dan jika IHSG nanti beneran anjlok, maka dia akan turun sampai berapa? (ini pertanyaan yang sering sekali diajukan). Well, seperti yang pernah dikatakan seorang teman, the future is not ours to see. IHSG bisa naik dan turun kapan saja, dan kalau dia turun maka penurunannya juga bisa sampai berapa saja. Namun yang bisa penulis sampaikan untuk saat ini adalah bahwa kinerja para emiten di BEI sejauh ini masih cukup bagus, dan valuasi IHSG masih belum terlalu mahal (masih lebih rendah dibanding ketika IHSG mencapai posisi 5,250 pada bulan Mei 2013 lalu), meski juga sudah tidak bisa dikatakan murah lagi. Jadi kalau asing masih terus masuk seperti sebulanan terakhir, maka IHSG juga masih bisa naik karena dari sisi valuasi IHSG masih memiliki ruang untuk naik lebih lanjut, selain karena masih ada sentimen positif dari keluarnya laporan keuangan perusahaan serta pembagian dividen dalam waktu satu dua bulanan kedepan.

Intinya sih, meski dalam jangka waktu yang lebih panjang penulis melihat bahwa IHSG pada akhirnya nanti akan turun untuk menyesuaikan dengan fundamental ekonomi nasional, namun untuk saat ini IHSG masih punya cukup banyak alasan untuk paling tidak bertahan di posisinya saat ini. Benar atau tidak, kita lihat nanti.

(5)

Pembangunan Ekonomi

Kontribusi Pemikir Ekonomi Pembangunan Modern

Jika kita membuka mata sedikit tentang sistem ekonomi kita saat ini, pastilah kita bertanya kenapa kok ya di Indonesia rawan sekali dengan adanya korupsi. Kenapa kok ya sudah banyak orang yang membayar pajak, tetapi masih banyak orang mati kelaparan di pinggiran wilayah terpencil di Indonesia. Dan kenapa hutang kita ( Indonesia ) bukan semakin sedikit. Malah semakin banyak dan ada beberapa ekonom berpersepsi bahwa hutang Indonesia tidak akan terbayar mungkin untuk 100 tahun mendatang. Ini merupakan problema tersendiri bagi bangsa Indonesia tercinta kini. Kita sudah dihadapkan terhadap banyak sekali teori ekonomi pembangunan modern dari barat, dan secara signifikan ada yang memberikan kontribusi. Namun satu hal yang kita kadang tidak sadari. Ketika kita mempraktekan teori yang berasal dari ekonomi pembangunan modern dari barat, maka kita sudah berada dalam sistem di dalam orbit Barat. Celakanya, di beberapa bagian Indonesia teori-teori tersebut justru digunakan untukditurunkan menjadi formula-formula kebijakan pembangunan tanpa menimbang variabel variabel spesifik yang ada di masing-masing wilayah Indonesia. Akibatnya bisa kita rasakan saat ini, hutang luar negeri yang tidak kunjung hilang justru bertambah. Tingkat kesejahteraan yang belum merata di seluruh Indonesia. Tingkat investasi dan penanaman modal yang tidak seimbang yang mengakibatkan perbedaan perkembangan daerah di Indonesia. Hal-hal inilah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah di Indonesia kedepannya. Untuk tetap mengambil kontribusi pemikir ekonomi pembangunan modern dan tetap mengambil sesuai dengan kondisi yang paling pas pada Indonesia. Agar relevansi bagi Indonesia dapat lebih baik dan tidak menjadi “bomerang” bagi Indonesia sendiri.

(6)

Ketenagakerjaan

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia telah tumbuh dengan kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama disebabkan menguatnya peran investasi dan ekspor. Indikator-indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perbaikan yang signifikan. Inflasi rata-rata tahunan mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun 2000 menjadi 6,59 persen pada tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan dari 14,5 persen pada tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika diamati dari nilai tukar rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada periode krisis (1998) sebesar 10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007 (Laporan Tahunan Bank Indonesia, berbagai tahun).

Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada indikator makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang menggembirakan terhadap penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari kenyataan meningkatnya angka pengangguran baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2000 tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,08 persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan 9,75 persen pada tahun 2007. Secara absolut, pengangguran terbuka bertambah sebanyak 4,74 juta dari 5,81 juta pada tahun 2000 menjadi 9,53 juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta pada tahun 2007. (Statistik Indonesia berbagai tahun, Badan Pusat Statistika).

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum, kedalaman batuan dasar di bagian tengah, barat, timur dan barat laut daerah penelitian membentuk pola lembah dengan barat laut-tenggara dan timur- selatan.Pola

membaca atau membaca bersama. Jenis buku ini akan diminati siswa karena tampilannya menarik perhatian mereka. Dengan ukurannya yang besar dan gambar yang menarik,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran FKS dan MGMP SMA/SMK di Kabupaten Sragen dalam pengembangan Sekolah Responsif Gender (SRG). Peran FKS dan MGMP

Sejak tahun 2012, Dunamis juga menjadi mitra berlisensi dari VitalSmarts yang menyediakan pelatihan keterampilan untuk mengubah perilaku... Kontinuum Pengetahuan Data

kesibukan mereka, dan untuk mendapatkan hiburan saja. Motif ini kabanyakan dialami oleh informan remaja desa Gampang yang berprofesi sebagai buruh pabrik, kuli

Dari hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa pada mahasiswa dengan kecerdasan logis-matematis untuk aspek merumuskan masalah atau soal, mengembangkan jawaban sementara,

Skor Kemampuan Penalaran SR dalam Menyelesaikan Masalah Berdasarkan diagram 3, dapat dilihat bahwa subjek yang berkemampuan rendah (SR) dapat menganalisis situasi

Untuk mengukur pemahaman mahasiswa mengenai konsep keuangan maka digunakan neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas dan pengukuran mengenai rasio-rasio