• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Kinerja Industri Kecil Tempe di Pulau Jawa dan lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Kinerja Industri Kecil Tempe di Pulau Jawa dan lampung"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI KINERJA INDUSTRI KECIL TEMPE

DI PULAU JAWA DAN LAMPUNG

Oleh

GINEA HARVITA F24102063

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ginea Harvita. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Agustus 1984 dari pasangan Aji Hamim Wigena dan Evi Hartati sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Penulis memulai jenjang pendidikan pada tahun 1990 di TK Taman Kenanga Jakarta, tahun 1991-1996 di Sekolah Dasar (SD) Sumbangsih Pagi Jakarta, tahun 1996-1999 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 216 Jakarta, tahun 1999-2002 di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 8 Jakarta. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002.

Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis juga aktif pada beberapa kegiatan kepanitiaan diantaranya yaitu Lepas Landas Sarjana (LLS) Fateta 2003, panitia Baur 2004, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) XII tahun 2004, seminar Pangan Halal Nasional 2004 dan Techno-F 2004.

Sebagai tugas akhir untuk meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP), penulis melaksanakan kegiatan penelitian dengan topik “Identifikasi Kinerja Industri Kecil Tempe di Pulau Jawa dan Lampung” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS.

(3)

Ginea Harvita. F24102063. Identifikasi Kinerja Industri Kecil Tempe di Pulau Jawa dan Lampung. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS.

RINGKASAN

Tempe merupakan produk pangan asli Indonesia yang dihasilkan dari proses fermentasi kedelai menggunakan kapang Rhizopus sp. Tempe kaya akan protein sehingga keberadaannya dapat dijadikan alternatif sumber protein nabati yang terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat mengingat harga tempe yang relatif murah. Berbagai pembinaan dan pelatihan untuk mengembangkan industri kecil tempe telah dilakukan atas kerjasama KOPTI dengan perguruan tinggi dan berbagai lembaga penelitian. Namun sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 yang melandai Indonesia, banyak terjadi penurunan kinerja pada industri kecil ini. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian secara menyeluruh untuk mengetahui kinerja industri kecil tempe saat ini yang dilihat dari beberapa parameter yaitu penyediaan bahan baku, proses pembuatan tempe, pemasaran tempe dan aspek sosial dan ekonomi. .

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keadaan industri kecil tempe saat ini secara menyeluruh mulai dari pengadaan bahan baku dan penolong, proses produksi, sarana dan prasarana pendukung, pemasaran produk tempe, sumberdaya manusia hingga kelembagaan.

Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian survei dan pengrajin tempe sebagai responden. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa dan Propinsi Lampung dengan alasan berdasarkan literatur, wilayah tersebut merupakan sentra produksi tempe.

Sebanyak 54% responden berusia 25-40 tahun. Dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden (50.9%) berpendidikan SD. Sekitar 63.7% responden memiliki keahlian membuat tempe dari orang tua mereka secara turun temurun.

Berdasarkan pemakaian kedelai per hari, skala produksi para pengrajin terbagi dalam tiga kategori, yakni skala kecil (kurang dari 50 kg kedelai), skala menengah (antara 50-100 kg kedelai) dan skala besar (lebih dari 100 kg kedelai). Berdasarkan hasil survei, sebagian besar (44.3%) responden memiliki skala produksi menengah, 33.9% berskala kecil dan 21.8% berskala besar.

(4)

memisahkan kotoran. Para pengrajin menggunakan produk biomassa seperti kayu, tempurung kelapa dan serbuk gergaji sebagai alternatif bahan bakar dalam pembuatan tempe. Bahan bakar ini tergolong ekonomis namun memberikan dampak negatif pada kondisi ruang pengolahan diantaranya adalah timbulnya asap hitam pada ruang pengolahan, yang akan mempengaruhi higienis produk.

Peralatan produksi yang dimiliki oleh para pengrajin umumnya sederhana, baik pada persiapan bahan baku dan pengolahan maupun pada pemasaran produk tempe segar. Berdasarkan survei, 90% pengrajin tempe telah menggunakan alat dalam proses pengupasan kulit kedelai, baik yang bersifat semi otomatis ataupun alat yang masih manual (menggunakan tangan).

Seluruh responden industri kecil tempe menggunakan metode basah dan dinilai telah terampil dalam proses pembuatan tempe. Namun demikian, para pengrajin umumnya belum melakukan pengawasan mutu, sejak persiapan bahan baku sampai pemasaran produk. Hal ini akan mengakibatkan produk tempe yang dihasilkan tidak higienis yang ditandai munculnya spot-spot berwarna hitam pada tempe. Selain itu masih ditemukan pengrajin yang menggunakan bahan pewarna pada pembuatan tempe. Namun pewarna yang digunakan tergolong non food grade melainkan pewarna untuk industri tekstil seperti metanil yellow atau rhodamin-B.

Hasil observasi menunjukkan bahwa para pengrajin hampir seluruhnya (90%) belum menerapkan prinsip-prinsip sanitasi dan higiene yang baik dan benar dalam proses produksi pangan. Para pengrajin belum sepenuhnya memahami pentingnya penerapan sanitasi dan higiene dalam pengolahan tempe. Hal ini terlihat dari kurangnya pemeliharaan fasilitas pengolahan.

Pengamatan menunjukkan bahwa produk para pengrajin yang dipasarkan seluruhnya berupa tempe segar. Dengan kata lain, para pengrajin belum melakukan diversifikasi produk seperti keripik tempe misalnya. Produk tempe segar umumnya dipasarkan di pasar-pasar tradisonal. Sekitar 30% responden menjual langsung kepada konsumen di pasar. Sedangkan sisanya mendistribusikan ke warung tegal, katering, rumah sakit, lembaga pemasyarakatan dan sebagainya.

(5)

IDENTIFIKASI KINERJA INDUSTRI KECIL TEMPE DI PULAU JAWA DAN LAMPUNG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh GINEA HARVITA

F24102063

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

IDENTIFIKASI KINERJA INDUSTRI KECIL TEMPE DI PULAU JAWA DAN LAMPUNG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh GINEA HARVITA

F24102063

Dilahirkan pada tanggal 2 Agustus 1984 Di Jakarta

Tanggal lulus : Mei 2007 Menyetujui,

Bogor, Mei 2007

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Dosen Pembimbing

Mengetahui,

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Kinerja Industri Kecil Tempe di Pulau Jawa dan Lampung” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan baik dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tuaku tercinta, Dr. Ir. H. Aji Hamim Wigena, MSc dan Hj. Evi Hartati, yang selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi, semangat, dorongan baik moriil maupun materiil kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, bimbingan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis selama kuliah, penelitian sampai penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc atas kesediannya menjadi dosen penguji dan bimbingan selama perbaikan skripsi.

4. Bapak Drs. Y. Pieter Saragih atas arahan, bimbingan selama penulisan skripsi dan kesediaannya menjadi dosen penguji.

5. Tanteku, dr. Hj. Farida Salim, kakak dan abangku Genui Harviti, SP dan Sumaryanto, S.Hut, serta adik-adikku Gananda Hayardisi dan Girisa Hartiwi atas doa, kasih sayang, kebersamaan dan bantuannya baik moriil maupun materiil.

6. Raihan dan Salsabila, keponakanku yang lucu-lucu dan selalu memberikan keceriaan.

7. Teman-teman baikku selama kuliah: Ajeng, Hanni dan Desma atas persahabatan selama ini dan memberikan bantuan serta dorongan selama penulisan skripsi ini.

(8)

9. Teman-teman TPG angkatan 38, 40 dan 41

10.Teman-teman di “Regina” : Febri, Dame, Ulan, Teti dan Lily atas kebersamaannya selama di kosan.

11.Para pengrajin tempe dan pengurus KOPTI di lokasi penelitian yang telah berkenan menjadi responden dalam penelitian ini.

12.Staf dan pegawai Tata Usaha/Administrasi departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

13.Semua pihak yang telah membantu selama kuliah sampai dengan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari baha skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Bogor, Maret 2007

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

(10)

C. PENGOLAHAN PRODUK TEMPE SEGAR ... 36

1. Keadaan Tempat Pengolahan ... 36

2. Peralatan Produksi ... 38

3. Pembuatan Tempe ... 39

4. Keamanan Produk ... 40

5. Penerapan Sanitasi dan Higiene ... 40

6. Penanganan Limbah ... 43

D. PEMASARAN TEMPE ... 44

1. Produk dan Tempat Pemasaran ... 44

2. Sistem Distribusi ... 45

3. Alat Transportasi ... 46

E. ASPEK SOSIAL DAN EKONOMI ... 47

1. Permodalan ... 47

2. Skala Produksi ... 48

3. Tenaga Kerja ... 49

4. Kelembagaan ... 51

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. KESIMPULAN ... 53

B. SARAN ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Nilai Gizi Kedelai ... 4

Tabel 2. Syarat Mutu Tempe menurut SNI 01-3144-1992 ... 7

Tabel 3. Lokasi Penelitian ... 22

Tabel 4. Persentase Pangsa Pasar KOPTI dan Para Pedagang Kedelai ... 30

Tabel 5. Persentase Sumber Bahan Bakar pada Pembuatan Tempe ... 34

Tabel 6. Alat Transportasi Pemasaran Tempe ... 46

Tabel 7. Jumlah Tenaga Kerja menurut Skala Produksi ... 50

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Saluran Distribusi Barang Konsumsi ... 18

Gambar 2. Diagram Alir Identifikasi Kinerja Industri Kecil Tempe ... 24

Gambar 3. Tingkat Usia Responden ... 25

Gambar 4. Tingkat Pendidikan Responden ... 26

Gambar 5. Cara Memperoleh Ketrampilan Membuat Tempe ... 27

Gambar 6. Lama Usaha Responden ... 27

Gambar 7. Perbedaan Fisik Kedelai Impor ... 28

Gambar 8. Sistem Distribusi Kedelai Impor ... 29

Gambar 9. Inokulum LIPI ... 32

Gambar 10. Inokulum Campuran ... 32

Gambar 11. Sumber air yang digunakan ... 33

Gambar 12. Pemakaian Bahan Pengemas ... 34

Gambar 13. Kemasan Tempe Mendoan ... 35

Gambar 14. Label pada Kemasan Tempe ... 36

Gambar 15. Alat Pengupas Kedelai Semi Otomatis ... 38

Gambar 16. Alat Pengupas Manual ... 38

Gambar 17. Pemakaian Pewarna Jingga ... 40

Gambar 18. Pemakaian Pewarna Kuning ... 40

Gambar 19. Kondisi Lantai Ruang Pengolahan ... 41

Gambar 20. Kandang Ayam di Ruang Pengolahan ... 42

Gambar 21. Pembuangan Limbah Cair ... 44

Gambar 22. Sistem Distribusi Tempe ... 46

Gambar 23. Alat Transportasi Pemasaran Tempe ... 47

Gambar 24. Kapasitas Produksi Harian ... 49

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tempe produk pangan yang merupakan penemuan asli nenek moyang bangsa Indonesia yang dihasilkan dari proses fermentasi kedelai menggunakan kapang Rhizopus sp. yang secara luas telah berkembang ke seluruh penjuru dunia. Pada awal tahun 1960-an tempe masih dianggap sebagai komoditas inferior yang hanya dikonsumsi oleh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Namun seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan maka tersingkaplah potensi dan khasiat tempe bagi kesehatan.

Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan harganya yang relatif murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan makanan bergizi yang dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu pada saat ini tempe juga telah menembus pasaran lapisan masyarakat menengah ke atas. Selain itu perhatian dunia semakin meningkat akan potensi dan khasiat tempe terhadap kesehatan terutama dalam rangka menanggulangi penyakit kurang gizi yang dihadapi masyarakat di negara yang sedang berkembang dan penyakit degeneratif seperti jantung koroner yang dialami oleh negara-negara maju.

Saat ini tempe telah populer di berbagai negara termasuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman Barat, Jepang, Belanda dan sebagainya, yang dipasarkan sebagai pangan fungsional. Bahkan Amerika Serikat telah memiliki 35 hak paten yang berhubungan dengan tempe sedangkan Jepang lima hak paten (Hartanto, 2000).

(15)

Proses fermentasi tempe menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam tubuh. Selain itu, tempe diketahui mengandung senyawa antioksidan yang diidentifikasi sebagai isoflavon. Senyawa-senyawa ini diyakini mempunyai peranan penting dalam meredam aktivitas radikal bebas sehingga bermanfaat untuk mencegah penyakit kanker (Devlin, 1993).

Dengan berbagai keunggulan tersebut, tempe merupakan salah satu makanan tradisional yang secara intensif diteliti dan dikembangkan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Melalui pembentukan KOPTI pada tahun 1970-an, pemberdayaan industri kecil tempe mencakup berbagai program pembinaan dan pelatihan, pengembangan produk sekunder, pengadaan peralatan, yang dilakukan oleh berbagai lembaga seperti perguruan tinggi dan lembaga penelitian baik di dalam maupun di luar negeri.

Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 diperkirakan mencapai empat persen per tahunnya (Solahudin, 1998). Industri tempe sangat besar perannya dalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.

Saat ini terdapat kurang lebih 85.000 pengrajin tempe yang tersebar di Indonesia (Anonim, 2006). Sebagian besar pengrajin terhimpun dalam kelembagaan koperasi yaitu KOPTI (Koperasi Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia). Dengan adanya KOPTI diharapkan pengajin mampu memperbaiki teknologi pengolahan, sanitasi dan higiene karena KOPTI berperan dalam mengadakan pelatihan-pelatihan kepada para anggota.

(16)

B. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian di atas maka tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keadaan dan kinerja industri kecil tempe saat ini mulai dari pengadaan bahan baku dan penolong, proses produksi, pemasaran produk tempe, sumberdaya manusia hingga kelembagaan. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Identifikasi ketersediaan, harga, mutu dan penanganan bahan baku dan penolong dalam proses produksi tempe

2. Identifikasi sarana dan prasarana pendukung, metode pembuatan tempe, penerapan sanitasi dan higiene pada peralatan produksi, ruang pengolahan dan pekerja.

3. Identifikasi segmen pasar tempe dan praktek sanitasi dan higiene pada saat pemasaran

4. Identifikasi aspek sosial ekonomi industri kecil tempe termasuk modal, pengetahuan dan ketrampilan para pengrajin tempe, skala produksi dan tenaga kerja.

5. Identifikasi aspek kelembagaan dibidang industri kecil tempe terutama kondisi KOPTI saat ini terutama di bidang pengadaan kedelai dan permodalan.

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Sebagai masukan bagi pemerintah khususnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dalam penyusunan kebijakan dan strategi untuk mengembangkan industri kecil tempe dalam upaya perbaikan gizi nasional dan penyediaan lapangan kerja.

2. Sebagai masukan bagi para peneliti mengenai teknologi pengolahan dan peralatan yang perlu dikembangkan sesuai kebutuhan para pengrajin tempe.

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KEDELAI

Kedelai (Glycine max) merupakan salah satu tanaman palawija yang ada di Indonesia. Menurut para ahli botani, kedelai adalah tanaman yang berasal dari Manchuria dan sebagian Cina. Tanaman ini tumbuh baik pada tanah dengan pH 4.5. Daerah pertumbuhannya tidak lebih dari 500 meter di atas permukaan laut dengan iklim panas dan curah hujan rata-rata 200 mm/bulan. Umur tanaman kedelai berbeda-beda tergantung pada varietasnya, tetapi pada umumnya berkisar antara 75 dan 105 hari (Koswara, 1992).

Struktur biji kedelai terdiri dari tiga bagian utama yaitu 7.3% kulit, 90.3% kotiledon dan 2.4% hipokotil (Koswara, 1992). Kulit biji biasanya dipisahkan bila kacang kedelai diolah menjadi produk karena mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Menurut Sumarno dan Harnoto (1983), bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, tetapi ada juga yang bundar atau bulat agak pipih. Berdasarkan warna bijinya kedelai dapat digolongkan menjadi kedelai putih, kedelai kuning, hijau, coklat dan hitam.

Kedelai dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein nabati bagi sejumlah besar penduduk Indonesia. Kedelai menduduki tempat kelima sebagai sumber protein dan menduduki tempat pertama diantara tanaman kacang-kacangan (Shurtleff dan Aoyogi, 1979). Disamping itu, kedelai juga dapat digunakan sebagai sumber lemak, vitamin, mineral dan serat. Komposisi nilai gizi kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Nilai Gizi Kedelai

Komposisi Gizi Kedelai Kandungan gizi per 100 gram kedelai

(18)

Kedelai utuh mengandung 35-38 % protein, tertinggi dari semua kacang-kacangan tradisional lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein kedelai mempunyai aktivitas sebagai hipokolesterolemik. Adanya penambahan protein kedelai atau penggantian protein hewani dengan protein kedelai dalam menu makanan sehari-hari dapat menurunkan kolesterol darah (Anonim, 2006). Menurut Carrol et al. (1991), terdapat hubungan antara mengkonsumsi kedelai dengan penurunan resiko terhadap penyakit kanker. Menurut hasil penelitian diketahui bahwa para wanita Asia, yang mengkonsumsi menu makanan berbasis kedelai, beresiko lebih rendah terkena kanker payudara dibandingkan dengan para wanita Barat. Komponen yang berperan untuk mengurangi resiko kanker adalah adanya senyawa isoflavon daidzein dan genistein yang terdapat pada kedelai (Anonim, 2006).

Disamping mengandung senyawa yang bermanfaat pada tubuh, ternyata pada kedelai terdapat juga senyawa antigizi dan senyawa-senyawa penyebab off-flavor (penyimpangan cita rasa dan aroma pada produk olahan kedelai). Senyawa antigizi yang terdapat pada kedelai diantaranya yaitu antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, oligosakarida penyebab flatulensi (timbulnya gas dalam perut sehingga perut menjadi kembung). Sedangkan yang termasuk senyawa penyebab off-flavor adalah enzim lipoksigenase, glikosida, saponin, estrogen, dan senyawa penyebab alergi. Dalam proses pengolahan, senyawa-senyawa tersebut harus dihilangkan atau diinaktifkan sehingga akan dihasilkan produk olahan kedelai dengan mutu terbaik dan aman untuk dikonsumsi (Koswara, 1992).

(19)

dengan air mendidih. Hal ini terjadi karena pada suhu tinggi, enzim lipoksigenase akan inaktif. Disamping bau dan rasa langu, faktor penyebab off-flavor lainnya pada kedelai adalah rasa pahit dan rasa kapur yang disebakan oleh adanya senyawa-senyawa glikosida dalam biji kedelai (Koswara, 1992).

B. TEMPE KEDELAI

Tempe bukan bahan pangan yang asing bagi orang Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Manuskrip Serat Centini yang terbit sekitar tahun 1815 di Keraton Solo mencatat, kebiasaan makan tempe sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Sedangkan buku pertama yang mengemukakan berbagai hal mengenai tempe diterbitkan pada tahun 1895 oleh seorang ahli mikrobiologi Belanda, H.C. Princen Gereligs (Koswara, 1992).

Tempe adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi menggunakan kapang Rhizopus (ragi tempe). Tempe kedelai merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang populer bagi masyarakat Indonesia maupun negara-negara luar. Selain kedelai, masyarakat Indonesia juga membuat tempe dengan menggunakan bahan baku biji korobenguk (tempe koro benguk), kacang hijau (tempe kacang hijau), kacang kecipir (tempe kacang kecipir), ampas tahu (tempe gembus), ampas kelapa (tempe bongkrek), biji karet (tempe biji karet) dan tempe jamur merang (Syarief et al., 1999).

(20)

Tabel 2. Syarat Mutu Tempe menurut SNI 01-3144-1992

Parameter Syarat Mutu

Bau, warna, rasa Normal (khas tempe) Kadar air , b/b Maks. 65 %

Cemaran Arsen Maks. 1.0 mg/kg

Sumber : SNI 01-3144-1992

1. Nilai Gizi dan Manfaat Tempe

(21)

sederhana. Perubahan tersebut dikatalisis oleh enzim yang diproduksi oleh kapang (Hermanianto, 1996).

Dari seluruh protein dalam tempe, sekitar 56% dapat dimanfaatkan oleh manusia dan tiap 100 gram tempe segar dapat menyumbangkan 10.9 gram protein. Bila orang dewasa tiap hari makan 100 gram tempe, maka lebih dari 25% kebutuhan proteinnya telah dapat dipenuhi. Protein kacang kedelai dan tempe merupakan protein yang lengkap, mengandung 8 asam amino esensial (tidak dapat disintesis oleh tubuh) (Syarief et al., 1999).

Selama proses fermentasi tempe, derajat ketidakjenuhan asam lemak cenderung meningkat. Dengan demikian, asam lemak tidak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids = PUFA) meningkat jumlahnya. Akibat proses fermentasi tersebut, asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam lemak oleat dan linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Menurut Devlin (1993), asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam tubuh.

Dua kelompok vitamin yang terdapat pada tempe adalah vitamin larut air (vitamin B kompleks) dan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, K). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Keunggulan tempe semakin besar setelah ditemukannya vitamin B12 pada

tempe. Sejauh ini diketahui bahwa vitamin tersebut tidak terdapat pada produk pangan nabati tetapi terdapat pada produk pangan hewani. Vitamin B12 tidak dihasilkan oleh kapang tempe tetapi oleh bakteri Kleibsiella

pneumonia yang berkembang pada saat dilakukan proses perendaman secara alami. Vitamin B12 berperan dalam memelihara sel-sel tubuh agar

dapat tetap berfungsi normal, terutama sel-sel dalam saluran pencernaan, sistem saraf dan sumsum tulang. Menurut FAO/WHO kebutuhan orang dewasa normal akan vitamin B12 adalah sebesar 2 mg/hari, tetapi yang

(22)

sebanyak 100 gram, maka 60% dari kebutuhan vitamin B12nya akan terpenuhi (Anonim, 2006).

Tempe bukan saja sebagai sumber protein tetapi juga mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat menjadi fosfor dan inositol (Pawiroharsono, 1996). Asam fitat adalah suatu mio-inositol 1,2,3,4,5,6 heksakis (dihidrogen fosfat) dan merupakan sumber utama unsur fosfor dalam kacang-kacangan. Tetapi senyawa ini tidak dapat dicerna sehingga fosfor dalam asam fitat tidak dapat digunakan oleh tubuh. Asam fitat termasuk pada senyawa antigizi karena dapat mengkelat elemen-elemen mineral terutama seng, kalsium, magnesium dan besi sehingga akan mengurangi ketersediaan mineral-mineral tersebut secara biologis (Koswara, 1992).

Dengan terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium, seng) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh. Jumlah mineral zat besi, tembaga, dan seng berturut-turut adalah 0.39, 2.87, dan 8.05 mg setiap 100 gram tempe (Syarief et al., 1999). Dengan mengkonsumsi tempe secara teratur akan menghindarkan seseorang dari anemia akibat kekeurangan zat gizi besi.

Tempe juga mengandung suatu antioksidan dalam bentuk isoflavon. Antioksidan sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker). Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan sehingga sangat reaktif dan dapat menyebabkan tumor, kanker, penuaan, dan kematian sel. Radikal bebas dapat berasal dari makanan sehari-hari yang kita makan atau reaksi yang terjadi di dalam tubuh. Adanya antioksidan dalam makanan akan mencegahnya terbentuk radikal bebas tersebut.

(23)

mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai (Syarief et al., 1999). Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreynebacterium.

2. Peralatan Produksi Tempe

Peralatan dalam industri tempe seperti juga peralatan pada industri pengolahan pangan atau industri pertanian, dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar yaitu : peralatan pembangkit tenaga, peralatan pendukung, peralatan pengolah dan peralatan pengemasan. Makin besar skala usaha suatu industri, maka peralatan yang digunakan akan semakin variatif dalam jumlah maupun jenis peralatan.

1. Peralatan pembangkit Tenaga

Peralatan pembangkit tenaga adalah peralatan yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga yang diperlukan untuk menjalankan atau mengoperasikan peralatan lainnya, sebagai contoh : generator (pembangkit) listrik, boiler, motor listril, dll (Kumendong, 1998). Peralatan pembangkit tenaga tidak diperlukan bila semua peralatan proses dioperasikan manual.

2. Peralatan Pendukung

Peralatan pendukung adalah peralatan yang diperlukan untuk mempercepat atau mempermudah pekerjaan yang dilakukan manusia dalam menangani bahan baku, bahan dalam proses maupun bahan berupa produk jadi. Peralatan kelompok ini tidak merupakan peralatan wajib yang harus ada tetapi keberadaannya sering sangat diperlukan (Kumendong, 1998).

3. Peralatan Pengolahan

(24)

berkarat dan tahan terhadap asam karena selama perendaman akan terjadi penurunan nilai pH oleh asam yang terbentuk secara spontan. Bahan-bahan yang dapat dipilih adalah antara lain stainless steel dan alumunium sedangkan bahan yang tidak dianjurkan adalah besi, kuningan, perak, dll (Kumendong, 1998).

4. Peralatan Pengemas

Peralatan pengemas merupakan kelompok peralatan yang berfungsi untuk membungkus atau mewadahi produk sehingga produk terlindungi dari benda-benda asing.

3. Pembuatan Tempe

Berdasarkan cara pengupasan kulit kedelai, terdapat dua metode dalam pembuatan tempe yaitu pengupasan kulit secara basah dan kering. Ciri utama proses pengupasan kedelai dengan cara basah adalah adanya proses perendaman dalam air panas (sering disebut sebagai proses pemasakan awal/precooking). Sedangkan proses pengupasan kulit kedelai cara kering dicirikan dengan pra-pemanasan menggunakan oven pada suhu 177 °C.

Metode pengupasan kulit kedelai yang banyak digunakan oleh pengrajin tempe adalah cara basah. Untuk proses pembuatan tempe dengan metode pengupasan basah, dilakukan beberapa perlakuan pendahuluan seperti pencucian, perebusan dan perendaman. Tahap-tahap proses pembuatan tempe dengan metode pengupasan kulit cara basah adalah sebagai berikut :

1. Pencucian

Proses pencucian dapat dilakukan merendam kedelai kering dalam wadah yang cukup besar dan berisi air bersih, kemudian diaduk dengan tangan atau dengan agitasi menggunakan mesin. Proses ini dilakukan berulang kali sampai air pencuci menjadi bening.

2. Perebusan dan Pengupasan Kulit

(25)

mengurangi waktu pemasakan dan mengurangi populasi atau jumlah bakteri yang ada di permukaan kulit kedelai. Setelah itu dilanjutkan dengan pengupasan kulit dengan cara basah. Salah satu fungsi biologis kulit kedelai adalah untuk menghambat serangan kapang. Oleh karena itu pengupasan kulit akan memudahkan penetrasi enzim dan pertumbuhan miselium.

3. Perendaman

Perendaman dalam air perebus dimaksudkan sebagai proses pengasaman atau pra-fermentasi. Hal ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan kapang tempe sekaligus menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Disamping itu, pra-fermentasi awal ini penting dalam menghasilkan tempe dengan flavor, daya cerna, nilai nutrisi atau gizi dan keawetan yang sangat baik (Syarief et al., 1999). Asam yang terbentuk tidak akan mempengaruhi cita rasa dan flavor tempe karena akan dinetralkan oleh amonia yang dihasilkan kapang selama fermentasi.

Perendaman biji kedelai pada suhu ruang memberi kesempatan kepada enzim yang terdapat di dalam kedelai yaitu lipoksigenase untuk aktif sehingga menimbulkan bau langu yang sangat tajam. Hal ini tidak terjadi jika digunakan air mendidih atau kedelai rebus.

4. Pemasakan

(26)

5. Penirisan dan Pendinginan

Setelah selesai pemasakan, kedelai ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu sekitar 25-27°C (suhu kamar). Penirisan dan pendinginan yang kurang sempurna dapat menimbulkan kegagalan proses fermentasi yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri sehingga menghambat pertumbuhan kapang tempe. Tidak ada air yang menempel pada biji kedelai menghambat pertumbuhan bakteri dan mempercepat pertumbuhan kapang. Sedangkan proses pendinginan dilakukan untuk menghilangkan air yang menempel pada keping biji juga untuk mengkondisikan suhu agar sesuai untuk pertumbuhan kapang.

6. Inokulasi

Dalam pembuatan tempe, inokulum memegang peranan penting. Pada proses fermentasi, inokulum yang berisi spora kapang Rhizopus sp ini akan menghasilkan enzim yang dapat menguraikan substrat menjadi komponen-komponen yang lebih kecil dan sederhana sehingga lebih mudah larut.

Syarat utama inokulum untuk pembuatan tempe adalah : 1) mikroba tidak berbahaya bagi kesehatan, 2) dapat tumbuh dengan

cepat, dan 3) tahan terhadap kontaminan. Jenis kapang yang umumnya terdapat pada tempe adalah R. oligosporus, R. oryzae R. stolonifer dan R. arrhizus (Sarwono, 2002).

Secara tradisional para pengrajin menggunakan inokulum yang dinamakan usar. Usar dibuat dengan membiarkan spora kapang dari udara tumbuh pada kedelai matang yang ditangkup diantara dua lapis daun waru atau daun jati. Menurut Winarno et al (1984), selain menggunakan usar, secara tradisional masyrakat Indonesia menggunakan inokulum dari lempengan tempe yang dikeringkan dan dibuburkan halus.

(27)

7. Pengemasan

Secara tradisional tempe dikemas menggunakan berbagai macam daun-daunan antara lain daun pisang, daun jati dan daun waru. Namun saat ini, penggunaan kantung plastik sebagai bahan pengemas tempe semakin hari semakin populer. Sembilan puluh persen pengrajin tempe di Amerika dan sekitar 35% pengrajin tempe di Indonesia menggunakan bahan pengemas berupa kantung plastik (Syarief et al., 1999).

Kantung plastik yang digunakan umumnya adalah jenis polietilen (PE) yang telah dikenal aman untuk digunakan dalam pengolahan pangan (food grade). Plastik jenis ini mempunyai ciri-ciri : bening, transparan (tembus pandang), fleksibel sehingga mudah diatur dengan ketebalan kira-kira 0.25 mm. Plastik jenis PE juga mempunyai daya tahan yang baik terhadap air. Jika menggunakan plastik sebagai bahan pengemas maka plastik harus dilubangi terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan laru atau ragi tempe adalah mikroba yang tergolong aerob yang memerlukan udara dan oksigen untuk pertumbuhannya.

Bila menggunakan bahan pengemas plastik, jumlah oksigen yang mencapai kedelai tergantung jumlah lubang yang dibuat. Jikapun plastik dapat dilewati oksigen, jumlah oksigen yang masuk merata di seluruh permukaan kemasan. Setelah kapang tumbuh lebat, lembar plastik menempel pada tempe sehingga oksigen tidak dapat masuk berlebihan. Pematangan spora tidak terjadi sehingga tempe tampak tetap putih.

(28)

8. Fermentasi

Fermentasi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan tumbuh pada kapang. Pertumbuhan kapang yang baik akan terjadi pada suhu di antara 20-37 ºC. Kelembaban dan oksigen akan mempengaruhi kecepatan tumbuh kapang. Kelembaban yang rendah akan menghambat pertumbuhan kapang, sedangkan bila keping biji kedelai terlalu basah, bakteri akan tumbuh mendahului kapang. Terlalu banyak oksigen akan menyebabkan pertumbuhan kapang yang terlalu pesat, sedangkan bila oksigen kurang, kapang tidak tumbuh baik.

Jumlah inokulum mempengaruhi waktu fermentasi. Dengan kondisi yang sama, penambahan atau pengurangan jumlah inokulum akan mempersingkat atau memperpanjang waktu fermentasi. Waktu fermentasi dapat divariasikan dari 18 – 36 jam. Secara tradisional, fermentasi berlangsung selama 36 jam. Waktu fermentasi ini ternyata sangat baik untuk pembentukan zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan.

Jenis kapang dan waktu fermentasi menentukan produksi dan aktivitas enzim amilase, lipase, dan protease yang akan bekerja untuk mencernakan karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat pada kedelai.

Pada umumnya proses fermentasi dilakukan selama sekitar 20 jam pada suhu 37 ºC . Proses pemeraman tempe memerlukan kelembaban udara (RH) sekitar 70-85% untuk merangsang pertumbuhan kapang Rhizopus. Kondisi kelembaban di Indonesia umumnya baik untuk pemeraman ini yaitu rata-rata sekitar 79% (Lampiran 1).

D. KRITERIA INDUSTRI KECIL

(29)

Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (1978) mendefinisikan perusahaan kecil adalah badan usaha yang karena terbatasnya kemampuan mengelola dan berorganisasi, modal serta ketrampilan, hanya mampu melakukan kegiatan usaha di bidang tertentu yang kecil dan terbatas. Selanjutnya dikatakan ciri umum perusahaan kecil adalah modal usaha terbatas, manajemen dan administrasi yang kurang sempurna, sarana dalam mengelola pemasaran masih terbatas dan pengetahuan pemasaran yang masih kurang.

Dilihat dari teknis manajemennya kelompok ini biasanya masih berbentuk organisasi tradisional yang didasarkan pada sistem kekeluargaan, efisiensi produk sangat rendah, sistem administrasi keuangan kurang tertata baik. Dari segi pemasaran, pengusaha kurang begitu mendasarkan produknya pada mutu dan standar yang baku, kemampuan mendisain produk masih rendah, kurang tepat waktu pelayanan serta belum dapat memenuhi kuantitas produk yang diinginkan konsumen. Kendala teknologi juga menjadi suatu faktor yang menyebabkan produk yang dihasilkan bersifat monoton dan sulit berkembang (Soetrisno, 1993).

Berdasrakan eksistensi dinamisnya, industri kecil dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :

1. Industri lokal yaitu industri yang mempunyai skala usaha kecil, lokasi tersebar dan pemasaran terbatas atau lokal.

2. Industri sentra yaitu industri yang mempunyai skala usaha kecil tetapi saling mengelompok dengan usaha yang sejenis dan pasar relatif luas. 3. Industri mandiri yaitu industri yang memiliki teknologi maju, pemasaran

luas tetapi masih bersifat industri kecil.

Beberapa kriteria usaha kecil berdasarkan pendekatan tertentu adalah sebagai berikut :

(30)

2. Departemen Keuangan menurut omzet dalam SK. Menteri Keuangan No. 316/KMK/016/1994 menyebutkan bahwa pengertian usaha kecil adalah perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan usaha dengan penjualan atau omzet tingginya Rp. 600 juta atau aset setinggi-tingginya Rp. 600 juta di luar tanah dan bangunan yang ditempati.

3. Bank Indonesia menurut aset, perusahaan atau perorangan yang punya total aset maksimal Rp. 600 juta tidak termasuk tanah dan bangunan yang ditempati.

4. Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, menyatakan bahwa industri kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan memiliki omzet tahunan paling banyak Rp. 1 milyar, berdasarkan Inpres No. 10 tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah mendefinisikan industri menengah sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 200 juta sampai paling banyak Rp. 10 milyar, sedangkan jika kekayaan bersih melebihi 10 milyar dikalsifikasikan sebagai industri besar.

E. PEMASARAN

Pemasaran adalah usaha yang dilakukan untuk menyerahkan produk dari perusahaan atau pemasar kepada konsumen. Jenis saluran distribusi pemasaran ditentukan oleh tahap perantara yang dilalui oleh suatu produk. Menurut Kotler (1993), saluran distribusi pemasaran dapat dibedakan berdasarkan jumlah tingkatannya. Setiap perantara yang melakukan usaha penyaluran barang kepada pembeli akhir membentuk suatu tingkatan saluran. Sebagai ilustrasi Gambar 1 mengambarkan beberapa bentuk saluran distribusi produk konsumen dengan panjang (tingkat) yang berbeda.

(31)

pedagang besar dan pengecer. Saluran tiga tingkat mempunyai tiga perantara yaitu pedagang besar, pemborong dan pengecer (Kotler, 1993).

Tingkat 0

Gambar 1. Saluran distribusi barang konsumsi (Kotler, 1993)

F. SANITASI DAN HIGIENE

Menurut Undang-undang RI No. 7 tahun (1996) tentang pangan, sanitasi pangan didefinisikan sebagai upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi keamanan dan atau keselamatan manusia.

Sanitasi merupakan proses yang penting dalam perusahaan makanan dan minuman, supaya kebersihan dan higiene karyawan serta nilai gizi dari produk dapat dipertahankan. Hal ini diperlukan karena produk yang dihasilkan secara langsung atau tidak langsung akan dikonsumsi.

Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan, pengolahan, dan pengemasan produk makanan, pembersihan dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan juga kesehatan pekerja. Kegiatan yang berhubungan dengan makanan meliputi pengawasan mutu bahan mentah, penyimpanan bahan mentah, perlengkapan suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan pada semua tahap selama

(32)

pengolahan dari peralatan personalia dan hama serta pengemasan dan penggudangan produk akhir (Jenie, 1988).

Kontaminasi dapat berasal dari pekerja, alat atau wadah yang digunakan atau berasal dari udara dan ruangan tempat dilakukannya penanganan dan pengolahan. Aplikasi sanitasi pangan meliputi praktek higiene untuk memelihara kebersihan dalam keseluruhan produksi, persiapan, penyimpanan dan penyajian pangan serta air minum.

Peralatan pengolahan maupun alat makan dapat menjadi salah satu sumber kontaminasi makanan bila digunakan dalam kondisi yang kotor dan mengandung sejumlah mikroba yang tinggi. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi makanan oleh peralatan, maka konstruksi dan desain peralatan harus higienis dan melakukan upaya sanitasi yang meliputi pencucian untuk menghilangkan kotoran dan sisa makanan, diikuti dengan perlakuan sanitasi menggunakan germisidal (Jenie, 1988).

Menurut Jenie (1988), udara tidak mengandung mikroflora alami, tetapi kontaminasi dari lingkungan di sekitarnya mengakibatkan udara mengandung berbagai mikroorganisme, misalnya debu, proses aerasi, dari penderita yang mengalami infeksi saluran pernapasan, dari ruangan yang digunakan dalam proses fermentasi dan sebagainya.

Disamping prosedur dan program sanitasi yang baku yang harus diterapkan pada proses pengolahan tempe dan fasilitasnya, maka diperlukan juga prosedur higiene personalia/pekerja. Higiene adalah kebiasaan atau cara hidup seseorang untuk menjaga kebersihannya sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit baik pada dirinya atau orang lain.

(33)

Kebersihan tangan pekerja sangat penting sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus. Semua pekerja harus membersihkan tangannya, dengan cara selalu mencuci tangan sebelum mulai bekerja. Setiap saat jika tangannya kotor maka perlu dicuci dengan air bersih mengalir. Oleh karena itu, fasilitas air mengalir, sabun dan pengering harus selalu tersedia di tempat yang mudah dijangkau. Pekerja diharuskan memelihara kebersihan tangannya dengan cara tidak menggunakannya untuk membersihkan mulut, hidung dan bagian tubuh lainnya yang tidak saniter. Jika itu terjadi, maka tangan segera dibersihkan kembali dengan menggunakan air bersih dan sabun.

(34)

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu (termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena). Tujuan penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1983).

Metode survei merupakan salah satu metode penelitian deskriptif. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi untuk menentukan sifat serta ciri dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok. Selain itu juga dilakukan wawancara responden untuk menunjang keakuratan pengisian kuesioner. Penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahap yaitu studi pustaka, penetapan lokasi dan jumlah responden, pembuatan kuesioner, pengumpulan data primer dan analisa data.

A. STUDI PUSTAKA

Pengumpulan dan analisis berbagai hasil survei, penelitian dan pengembangan di bidang industri kecil tempe pada 10 tahun terakhir terutama menyangkut kebijakan perdagangan kedelai, bahan penolong, teknologi pengolahan dan peralatan, sanitasi dan higiene, pemasaran produk, diversifikasi produk dan kelembagaan di bidang industri kecil tempe termasuk aspek sosial ekonomi. Berdasarkan hasil studi pustaka ditetapkan parameter dari kinerja industri kecil tempe yaitu dari segi proses pembuatan tempe, pemakaian bahan pewarna, penerapan sanitasi dan higiene pada saat pembuatan tempe, pemasaran produk dan diversifikasi produk tempe. Selain itu juga ditetapkan lokasi, jumlah responden, dan teknik pengumpulan data.

B. PENETAPAN LOKASI DAN JUMLAH RESPONDEN

(35)

Alasan pemilihan lokasi ini antara lain : a) daerah tersebut merupakan sentra industri kecil tempe, dan b) para pengrajin di wilayah tersebut telah menerima berbagai pembinaan dari instansi terkait, universitas dan LSM.

Pemilihan responden dilakukan dengan purposive sampling, yaitu unit yang mudah diambil keterangannya saja yang dipilih sebagai sampel atau responden (Nazir, 1983). Alasan digunakan metode sampling ini adalah karena tidak diketahui dengan pasti jumlah pengrajin tempe di lokasi penelitian. Jumlah responden untuk masing-masing lokasi adalah 20 responden, sedangkan sebagai nara sumber (key person) adalah para pengurus KOPTI.

Tabel 3. Lokasi Penelitian

Propinsi Kota/Kabupaten DKI Jakarta Jakarta Timur

Jakarta Barat Jakarta Selatan Jawa Barat Bekasi

Bogor Bandung Ciamis Cirebon Jawa Tengah Pekalongan

Semarang DI Yogyakarta Kota Yogyakarta

Klaten Solo Jawa Timur Surabaya

Sidoarjo Gresik Malang

Lampung Bandar Lampung

Lampung Tengah Lampung Selatan

(36)

C. PENYUSUNAN KUESIONER

Kuesioner merupakan salah satu instrumen dalam penelitian, terutama penelitian survei. Kuesioner digunakan untuk memudahkan wawancara dengan responden. Pembuatan kuesioner disesuaikan dengan tujuan penelitian yakni untuk mengidentifikasi keragaan industri kecil tempe. Kuesioner mencakup identitas responden, pengadaan dan penggunaan bahan baku, proses produksi tempe, pemasaran dan sanitasi dan higiene pada industri kecil tempe. Pertanyaan yang disusun terdiri dari pertanyaan yang bersifat semi terbuka (jawaban sudah tersusun tetapi masih ada kemungkinan tambahan jawaban).

D. PENGUMPULAN DATA PRIMER

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian survei, pengamatan langsung dan wawancara terhadap responden (pengrajin tempe) dengan bantuan kuesioner. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam dengan nara sumber.

E. ANALISA DATA

(37)

Gambar 2. Diagram Alir Identifikasi Kinerja Industri Kecil Tempe

• Lokasi pabrik • Kondisi bangunan • Peralatan yang

digunakan

• Sumber energi dan air • Sanitasi dan higiene • Penanganan limbah

Aspek Fisik

•Teknik pengolahan •Keamanan pangan •Diversifikasi produk •Karakteristik

• Propinsi Lampung

• DKI Jakarta

• Propinsi Jawa Barat

• Propinsi Jawa Tengah

• DI. Yogyakarta

• Propinsi Jawa Timur Studi Pustaka

•Studi literatur lokasi industri tempe di

•Pengadaan bahan baku

•Proses pembuatan tempe

•Penerapan sanitasi dan higiene

•Pemasaran

(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PROFIL RESPONDEN 1. Tingkat Usia

Dari hasil survei, diketahui bahwa tingkat usia responden berkisar antara 20 – 60 tahun. Sebanyak 21.2% responden berusia 36-40 tahun, 19.4% responden berusia lebih dari 50 tahun, 18.9% responden berusia 41-45 tahun, 15.2% responden berusian antara 31-35 tahun, 13.3% responden berusia 46-50 tahun, 9.5% responden berusia 26-30 tahun dan sisanya (2.5%) responden berusia 20-25 tahun. Data selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

2.5% 9.5%

15.2%

21.2% 18.9%

13.3%

19.4% 20 - 25 tahun

26 - 30 tahun

31 - 35 tahun

36 - 40 tahun

41 - 45 tahun

46 - 50 tahun

> 50 tahun

Gambar 3. Tingkat Usia Responden

(39)

2. Tingkat Pendidikan

Dari tingkat pendidikan, 50.9% responden berpendidikan SD, 37.3% responden berpendidikan SLTP, 9.8% responden berpendidikan SLTA, 0.4% responden berpendidikan sarjana dan sisanya (1.9%) responden tidak tamat SD. Data selengkapnya mengenai tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 4.

9.80%

37.30% 50.90%

0.40%

1.90%

Tidak Tamat SD

SD

SLTP

SLTA

Sarjana

Gambar 4. Tingkat Pendidikan Responden

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar tingkat pendidikan pengrajin tempe tergolong rendah hanya sampai SD. Tingkat pendidikan yang dimiliki para pengrajin tempe akan berpengaruh terhadap inovasi-inovasi baru pengelolaan usaha serta pengetahuan mengenai sanitasi dan higiene lingkungan. Selain tingkat pendidikan, pengalaman berusaha juga mempengaruhi perkembangan dan kesuksesan suatu industri.

3. Cara Memperoleh Keahlian Membuat Tempe

(40)

formal yang terbatas dan sikap berusaha secara tradisi menyebabkan industri tempe kurang dapat mengembangkan usahanya.

37.3%

63.7%

Turun temurun

Bekerja dengan orang lain

Gambar 5. Cara Memperoleh Ketrampilan Membuat Tempe

4. Lama Usaha

Dari hasil survei diketahui bahwa sebagian besar (31.4%) responden telah lama berkecimpung sebagai pengrajin selama lebih dari 20 tahun, 24.7% responden telah menjalankan usaha selama 5 – 10 tahun, 18.9% responden telah menjalankan usahanya selama 16 – 20 tahun, 15.8% responden 11 – 15 tahun dan 9.2% baru menjalankan usahanya kurang dari 5 tahun. Data selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.

24.7% 9.2%

31.4%

18.9% 15.8%

< 5 tahun

5 - 10 tahun

11 - 15 tahun

16 - 20 tahun

> 20 tahun

Gambar 6. Lama Usaha Responden

(41)

sikap pengrajin dalam mengelola usahanya. Lama usaha yang relatif pendek berakibat teknologi yang dimiliki juga belum berkembang. Hal ini juga akan terlihat pada sistem pengelolaan yang belum baik. Pada umumnya responden telah lama berkecimpung dalam usahanya yaitu berkisar antara 5 – 20 tahun berusaha membuat tempe.

B. BAHAN BAKU DAN PENOLONG 1. Kedelai

Kedelai yang digunakan oleh para pengrajin tempe (100%) adalah kedelai impor, terutama kedelai dari Amerika Serikat. Negara pengimpor kedelai lainnya adalah Argentina, Brazilia dan Kanada. Data jumlah kedelai impor dari Amerika yang masuk ke Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 3. Perbedaan fisik dari kedelai Amerika, Argentina, Brazil dan Kanada dapat dilihat pada Gambar 7.

Kedelai Amerika Kedelai Argentina

Kedelai Brazil Kedelai Kanada

(42)

Alasan para pengrajin menggunakan kedelai impor antara lain a) kedelai mudah diperoleh di pasaran, b) harga relatif stabil, c) ukuran kedelai lebih besar (panjang 7.1 mm, lebar 6.8 mm, tebal 6.0 mm), kering (kadar air 10-12.5%) dan kadar kotoran rendah (kandungan benda-benda asing 0.8-2%), kulit tipis sehingga mudah dikupas. Selain itu rasa tempe kedelai impor lebih disukai oleh konsumen. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nurhayati (2004) yang mengatakan bahwa tempe berbahan baku kedelai impor tidak menghasilkan bau langu, tidak ada rasa pahit, penampilan dan rasa lebih unggul dibanding kedelai lokal.

Alasan lain para pengrajin dalam penggunaan kedelai impor adalah karena terbatasnya jumlah kedelai lokal yang diproduksi di Indonesia sehingga sulit ditemuakan di pasaran. Data produksi kedelai di Indonesia dapat dilihat pada lampiran 4.

Sistem distribusi kedelai impor pasca monopolisasi oleh Bulog pada tahun 1998 cukup sederhana seperti disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Sistem Distribusi Kedelai Impor

Negara Asal

Importir

Pedagang Besar

Pengecer (Pasar Kabupaten/Kotamadya)

Pengecer (Pasar Kecamatan) Kios Sentra

Produksi Tempe

Pengrajin Tempe

KOPTI

(43)

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa KOPTI mendapat pasokan langsung dari importir atau dari para pedagang besar yang berdomisili di Jakarta dan atau pedagang besar di tingkat propinsi. Selanjutnya kedelai didistribusikan kepada para anggota melalui kios yang terdapat di komplek perumahan KOPTI seperti di Kota Bandung. Akan tetapi pangsa pasar KOPTI saat ini sangat kecil karena keterbatasan modal dan tidak mampu bersaing dengan para pedagang kedelai baik dari segi harga maupun pelayanan (Tabel 4).

Para pengrajin lebih memilih untuk membeli kedelai d luar KOPTI. Hal ini dikarenakan harga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan harga di KOPTI. Selain itu para pengrajin mendapatkan kemudahan seperti kedelai akan diantar langsung kepada pengrajin sehingga dapat mengurangi biaya transportasi pengangkutan kedelai. Namun bila membeli dari KOPTI, para pengrajin harus mengambil sendiri di kantor KOPTI. Bahkan saat ini banyak diantara KOPTI yang tidak berfungsi lagi seperti di Kota Bogor, Bekasi, Jakarta Barat, Bandar Lampung, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Pekalongan. Demikian pula di Kota Yogyakarta, Klaten, dan Sleman.

Tabel 4. Persentase Pangsa Pasar KOPTI dan Para Pedagang Kedelai Penyalur Jumlah (responden) Persentase (%)

KOPTI 60 18.9%

Pasar 224 70.9%

KOPTI dan Pasar 32 10.2%

(44)

Bandar Lampung. Sistem pembayaran kedelai dilakukan dengan berbagai cara, yakni cara tunai, kredit dan pembayaran di belakang setelah tempe terjual (konsinyasi). Namun para pengrajin umumnya menggunakan sistem konsinyasi. Menurut para pengrajin, cara ini lebih meringankan mereka karena uang untuk membeli kedelai dapat dialokasikan untuk keperluan lainnya diantaranya untuk membeli inokulum atau bahan pengemas.

Harga kedelai di lokasi penelitian berkisar antara Rp. 3100-3500 per kg. Dengan kata lain, harga pembelian para pengrajin di Jakarta relatif sama dengan harga di pelosok-pelosok daerah seperti di Kecamatan Sindang Laut maupun Kecamatan Wiradesa (Pekalongan).

Selain memasok kedelai, pedagang kedelai juga menyediakan inokulum dan kemasan plastik termasuk menyediakan alat-alat pengupas kulit baik manual maupun semi otomatis seperti di Bekasi dan Kecamatan Wiradesa (Pekalongan). Oleh karena itu para pedagang dapat dikatakan memasok seluruh kebutuhan para pengrajin tempe.

Kedelai impor didistribusikan dalam karung plastik dengan bobot 50 kg per karung, dengan berbagai merk seperti kedelai cap Gunung, cap Jempol, cap Pelangi, dan sebagainya. Akan tetapi informasi tentang produk yang dikemas (kedelai) sangat minim, yakni hanya mencantumkan merek dan bobot. Sedangkan informasi penting lain seperti nama dan alamat importir tidak tercantum.

2. Inokulum (Starter)

(45)

Pada umumnya inokulum yang ditambahkan untuk 10 kg kedelai sebanyak 1 sendok makan. Untuk menghemat pemakaian inokulum, beberapa pengrajin melakukan pencampuran inokulum instan tersebut dan tepung onggok dengan perbandingan 1:5 (Gambar 10), seperti yang dilakukan oleh pengrajin di Kota Bogor dan Jakarta.

Gambar 9. Inokulum LIPI Gambar 10. Inokulum Campuran

3. Air

Untuk pengolahan satu kg kedelai pada pembuatan tempe, diperlukan air bersih kurang lebih sekitar tiga liter (Syarief et al., 1999). Berdasarkan survei, para pengrajin menggunakan air untuk pembuatan tempe rata-rata 4-5 liter untuk satu kg kedelai. Oleh karena itu proses pembuatan tempe dapat dikatakan boros air, terutama pembuatan tempe dengan menggunakan metode pengupasan kulit kedelai cara basah.

(46)

(276) 87,40%

(20) 6,30% (20) 6,30%

Air permukaan Air tanah dalam Air tanah dangkal

Gambar 11. Sumber air yang digunakan

Di sentra produksi tempe di komplek KOPTI Kota Bandung telah dibangun instalasi sumur bor dengan kedalaman 200 meter, di mana air dialirkan melalui menara air ke rumah masing-masing para pengrajin. Biaya investasi instalasi air ini sekitar 250 juta rupiah. Kecuali di komplek KOPTI Bandung, air yang digunakan oleh para pengrajin tempe umumnya tidak disaring dan kotoran hanya dilakukan pengendapan untuk memisahkan kotoran.

Air yang tidak memenuhi syarat sebagai air untuk pengolahan pada industri pangan merupakan salah satu penyebab tejadinya kontaminasi pada produk tempe, terutaman kontaminan yang berupa mikroba (Escherichia coli dan Salmonella) dan logam (seperti tembaga, seng, timah, raksa, dan lain sebagainya). Oleh karena itu, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) telah ditetapkan batas maksimum cemaran mikroba ataupun logam yang terdapat pada tempe.

4. Bahan Bakar

(47)

dengan harga Rp. 50.000 per karung. Satu karung dapat digunakan untuk mengolah sekitar 150 kg kedelai.

Tabel 5. Persentase Sumber Bahan Bakar pada Pembuatan Tempe Bahan Bakar Jumlah (responden) Persentase (%)

Kayu bakar 198 73.3

Minyak tanah 33 12.2

Serbuk kayu 32 11.9

Tempurung kelapa 7 2.6

Walaupun pemakaian bahan bakar biomassa dapat menekan biaya produksi namun bahan bakar ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain tempat pengolahan menjadi berasap dan sisa-sisa pembakaran berterbangan di ruang pengolahan. Akibatnya langit-langit dan dinding ruang pengolahan menjadi hitam dan suhu udara tinggi terutama di daerah dataran rendah seperti Jakarta, Pekalongan, Sidoarjo, dan Cirebon.

5. Bahan Pengemas

Hasil survei menunjukkan tempe segar umumnya (46.3%) dikemas dengan plastik polietilen, daun pisang (20.7%) dan kombinasi antara daun pisang dan plastik (30%). Data selengkapnya mengenai pemakaian bahan pngemas untuk tempe dapat dilihat pada gambar 12.

31%

21%

48%

Plas tik

Daun Pis ang

Plas tik dan daun Pis ang

(48)

Menurut pengrajin, konsumen lebih menyukai tempe yang dikemas dengan daun pisang dibandingkan dengan plastik. Hal ini dikarenakan tempe yang dibungkus dengan daun pisang mempunyai aroma yang lebih wangi daripada tempe yang dikemas kantung plastik. Namun harga daun pisang relatif lebih mahal dibandingkan dengan plastik dan agak sulit diperoleh di pasaran. Untuk tempe mendoan dikemas dengan daun pisang dan kertas bekas seperti kertas koran (Gambar 13).

Gambar 13. Kemasan Tempe Mendoan

Pengemasan tempe dengan kombinasi daun pisang dan plastik dilakukan sebanyak 2 tahap yakni mula-mula kedelai yang telah diinokulasi dikemas dengan plastik selama semalam, kemudian dikemas ulang dengan daun pisang. Dengan demikian, daun pisang tetap nampak hijau dan segar pada waktu dipasarkan serta aroma khas daun tetap. Meskipun cara ini membutuhkan tambahan waktu dan biaya, namun pengrajin tetap melakukannya sesuai preferensi konsumen. Khusus kemasan tempe mendoan, kurang higienis karena dikemas dengan kertas koran bekas atau kertas bekas lainnya seperti lembaran nota.

(49)

lainnya seperti bobot produk, kandungan gizi, tanggal kadaluarsa, dan sebagainya.

Gambar 14. Label pada Kemasan Tempe

C. PENGOLAHAN PRODUK TEMPE SEGAR 1. Keadaan Tempat Pengolahan

Industri tempe termasuk ke dalam industri sentra yang mempunyai skala usaha kecil tetapi saling mengelompok. Berdasarkan pengamatan, lokasi industri ini berada di sekitar pemukiman penduduk dengan jarak yang saling berdekatan. Keberadaan suatu industri disamping akan menghasilkan produk yang diinginkan juga akan menghasilkan limbah yang tentunya memerlukan penanganan yang baik agar tidak mencemari lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu pengetahuan mengenai tata cara pemeliharaan industri, sanitasi dan higiene lingkungan sangat diperlukan pengrajin tempe agar keberadaannya tidak merugikan lingkungan sekitar.

(50)

Sebagai pemukiman padat, sistem drainase di sentra produksi tempe juga umumnya kurang baik termasuk di kompleks KOPTI seperti KOPTI Kota Bandung dan Jakarta Barat, kecuali KOPTI Semarang Barat dan Sidoarjo. Akibatnya aliran limbah cair tidak lancar dan lokasi berpeluang banjir pada musim hujan.

Pola penggunaan tempat pengolahan tempe terdiri dari 2 kategori yakni a) pola tunggal (hanya satu orang pengrajin) dan b) pola bersama (beberapa pengrajin bergabung). Pada pola bersama, penggunaan alat dilakukan secara kolektif dan bergantian, yakni dengan mengatur jadwal produksi. Pola ini biasanya dianut oleh para pengrajin pemula (anak-anak muda). Namun para pengrajin pola bersama ini memiliki tempat pemasaran dan langganan tersendiri.

Ruang pengolahan umumnya sempit yang merupakan bagian dari rumah tinggal yakni rata-rata 10 m2. Oleh karena itu, ruang pengolahan sulit ditata sesuai dengan tata ruang dan tata letak peralatan suatu tempat pengolahan pangan. Bahkan beberapa pengrajin melakukan pengemasan di ruang tamu dan fermentasi lanjut dilakukan di beranda rumah, seperti halnya di Pondok Ubi - Jakarta Timur, komplek KOPTI Kota Bandung dan Jakarta Barat.

Bahan konstruksi ruang pengolahan tempe cukup beragam. Sebagian ruang pengolahan merupakan bangunan permanen (lantai semen atau keramik, dinding beton) dan lainnya merupakan bangunan semi permanen (lantai tanah, dinding anyaman bambu, tanpa langit-langit). Dengan demikian, hampir sebagian konstruksi bangunan tidak memenuhi syarat sebagai tempat pengolahan pangan (lantai, dinding, langit-langit sukar dibersihkan).

(51)

2. Peralatan Produksi

Peralatan produksi yang dimiliki oleh para pengrajin umumnya sederhana, baik pada persiapan bahan baku dan pengolahan maupun pada pemasaran produk tempe segar. Bak penampung air dan tempat perendaman kedelai umumnya terbuat dari drum plastik atau logam bekas. Sedangkan peralatan untuk mengupas kulit ari kedelai umumnya menggunakan alat pengupas manual dan atau semi otomatis. Dengan kata lain, praktek penginjakan kedelai untuk mengupas kulit telah berkurang. Sementara itu pemasukan kedelai yang telah diinokulasi ke dalam kantung plastik umumnya menggunakan takaran dari kaleng dan penutupan kantung plastik dengan nyala lilin. Khusus tempat fermentasi, para pengrajin umumnya menggunakan anyaman bambu dan ditutup dengan kain atau kertas koran.

Berdasarkan survei, 90% pengrajin tempe telah menggunakan alat dalam proses pengupasan kulit kedelai. Alat yang digunakan bersifat semi otomatis yang menggunakan sumber tenaga listrik (Gambar 15) ataupun alat yang masih manual (menggunakan tangan) (Gambar 16). Sepuluh persen responden masih menggunakan cara tradisional dengan tangan atau diinjak-injak. Hal ini dilakukan karena kapasitas produksi yang masih rendah yaitu hanya 10-20 kg kedelai per hari. Oleh karena itu untuk menghemat biaya peralatan, pengupasan kedelai dilakukan secara dinjak-injak atau diremas-remas dengan tangan.

Gambar 15. Alat Pengupas Kedelai Semi Otomatis

Gambar 16. Alat Pengupas Kedelai Manual

(52)

3. Pembuatan Tempe

Hasil survei menunjukkan bahwa semua responden (100%) menggunakan metode basah dan telah terampil dalam pembuatan produk. Namun demikian, para pengrajin umumnya belum melakukan pengawasan mutu sejak persiapan bahan baku sampai pemasaran produk. Dalam penanganan bahan baku misalnya umumnya belum melakukan sortasi secara ketat seperti pemisahan kedelai busuk. Pembersihan kedelai umumnya hanya dengan cara menuangkan kedelai ke dalam air tanpa memilah benda-benda asing. Akibatnya, pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa produk tempe umumnya mengandung spot-spot berwarna hitam.

Pengupasan kulit dilakukan dengan cara memasukkan kedelai rebus ke dalam alat pengupas kulit manual dan atau semi otomatis. Peralatan ini belum mampu membersihkan seluruh kulit kedelai misalnya kedelai berukuran kecil dan berkulit tebal sehingga sekitar 10% kedelai rebus sisa biasanya dikupas dengan memasukkannya ke dalam kantung kain lalu diinjak-injak.

Pada tahap inokulasi, para pengrajin umumnya tidak melakukan pengukuran suhu dan hanya berdasarkan pengalaman. Inokulasi dilakukan setelah air yang menempel di permukaan kedelai rebus telah kering. Selain itu, pengrajin tidak melakukan penimbangan inokulum dan dosis inokulum yang ditambahkan juga dikira-kira berdasarkan pengalaman. Dosis inokulum sekitar 10 gram (satu sendok makan) per 10 kg kedelai rebus.

(53)

4. Keamanan Produk

Pada pembuatan tempe, ditemukan beberapa responden yang menggunakan bahan tambahan makanan (BTM) khususnya pemakaian pewarna. Hal ini dimaksudkan agar penampakan tempe menjadi lebih menarik minat konsumen. Beberapa pengrajin menyatakan pernah menggunakan pewarna namun karena maraknya kasus penggunaan formalin pada pembuatan tahu, tidak sedikit dari mereka yang berhenti menggunakan pewarna. Sebanyak 4.7% responden tetap menggunakan bahan tambahan pewarna pada produk tempenya.

Pada umumnya pewarna yang ditambahkan adalah pewarna kuning atau jingga. Pewarna yang digunakan bukan pewarna khusus untuk makanan (food grade) melainkan pewarna tekstil dengan merk dagang “Cap Kodok”. Pewarna yang digunakan untuk warna kuning adalah pewarna buatan metanil yellow sedangkan untuk warna jingga adalah rhodamin-B.

Menurut pengrajin, alasan pemakaian pewarna ini adalah karena adanya permintaan dari konsumen yang menginginkan tempe dengan warna cerah dan menarik. Untuk mempertahankan pelanggan maka pengrajin menuruti keinginan konsumen tersebut. Pemakaian pewarna yang non food grade secara kontinu dapat membahayakan bagi kesehatan diantaranya dapat menyebabkan penyakit kanker.

(54)

5. Penerapan Sanitasi dan Higiene

Hasil observasi menunjukkan bahwa para pengrajin hampir seluruhnya (90%) belum menerapkan prinsip-prinsip sanitasi dan higiene yang baik dan benar dalam proses produksi pangan. Para pengrajin belum sepenuhnya memahami pentingnya penerapan sanitasi dan higiene dalam pengolahan tempe. Hal ini terlihat dari kurangnya pemeliharaan fasilitas pengolahan.

Hampir semua (77%) lantai ruang pengolahan terbuat dari tanah, 20.4% terbuat dari semen dan hanya sedikit (2.6%) yang sudah menggunakan keramik. Lantai yang terbuat dari tanah atau semen akan sulit untuk dibersihkan sehingga terlihat kotor dan jorok seperti yang terlihat pada Gambar 19. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip sanitasi yang mensyaratkan bahwa kondisi lantai ruang pengolahan harus bersih, kedap air, tidak licin, rata sehingga mudah dibersihkan, tidak ada genangan air dan mudah dikeringkan (Syarief et al., 1999).

Gambar 19. Kondisi lantai ruang pengolahan

(55)

kenyataannya aspek pencahayaan pada ruang pengolahan sangat minim sehingga ruang pengolahan gelap dan lembab.

Disamping itu sesuai prinsip sanitasi dan higiene, ruang pengolahan harus berjauhan dari sumber kontaminan seperti tempat pembuangan sampah, kandang burung atau ayam dan sebagainya. Namun para pengrajin belum menerapkan prinsip ini pada tempat pengolahan mereka. Tidak sedikit yang meletakkan kandang ayam pada tempat pengolahan bahkan bersebelahan dengan rak fermentasi, seperti yang terlihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Kandang Ayam di Ruang Pengolahan (Tanda Panah Merah)

Tata letak peralatan di dalam ruang pengolahan juga harus diperhatikan. Peralatan harus diletakkan menurut tahapan proses agar proses produksi berjalan lancar. Berdasarkan pengamatan, tata letak peralatan di ruang pengolahan masih belum tertata dengan baik. Peletakan peralatan tidak disesuaikan dengan urutan proses produksi. Selain tata letak peralatan, semua peralatan yang digunakan untuk penanganan dan pengolahan tempe harus selalu diperhatikan kebersihannya. dan harus bebas karat, jamur, minyak dan kotoran lain (sisa-sisa pengolahan sebelumnya). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sanitasi peralatan umumnya masih buruk.

(56)

pekerja dalam industri pengolahan pangan. Pada umumnya pekerja hanya mengenakan kaus singlet (kaus tanpa lengan) pada saat proses pengolahan tempe. Bahkan sebagian pekerja tidak mengenakan baju selama proses pengolahan. Hal ini di karenakan kondisi suhu ruang proses poduksi yang cukup tinggi sehingga pekerja merasa kepanasan. Proses fermentasi tempe akan menghasilkan panas sehingga suhu udara sekitar juga akan tinggi. Disamping itu, sistem sirkulasi udara (ventilasi udara) di ruang pengolahan pada umumnya kurang baik sehingga pertukaran udara kurang baik dan menyebabkan kenaikan suhu udara pada ruang pengolahan. Selain itu, pekerja di industri tempe tidak ada yang menggunakan topi, jaring atau penutup rambut lainnya untuk mengurangi kemungkinan jatuhnya rambut ke alat pengolahan.

Pekerja juga sering melakukan kebiasaan buruk di tempat pengolahan seperti menggaruk-garuk kepala, merokok, bersin dan batuk. Namun yang paling banyak dilakukan adalah menggaruk-garuk kepala dan merokok. Bahkan ada pekerja yang merokok sambil bekerja membuat tempe. Pekerja menganggap sakit flu atau batuk adalah sakit ringan sehingga umumnya tetap bekerja. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip higiene pekerja pada industri pengolahan pangan. Sikap sebagian besar pekerja yang tidak peduli dengan kebersihan pribadinya dapat menyebabkan pekerja tersebut menjadi sumber kontaminasi bagi produk tempe yang dihasilkan.

6. Penanganan Limbah

(57)

bahwa sisa cairan perebusan dan perendaman kedelai mempunyai nutrisi (kandungan protein) yang cukup sehingga dapat digunakan sebagai makanan tambahan untuk ternak (Syarief et al., 1999).

Gambar 21. Pembuangan Limbah Cair

D. PEMASARAN TEMPE

1. Produk dan Tempat Pemasaran

Pengamatan menunjukkan bahwa produk para pengrajin yang dipasarkan seluruhnya berupa tempe segar. Dengan kata lain, para pengrajin belum melakukan diversifikasi produk seperti keripik tempe misalnya. Oleh karena itu para pengrajin cenderung mempertahankan langganan yang telah ada dibanding mengembangkan produk baru.

Produk tempe segar umumnya dipasarkan di pasar-pasar tradisonal dan diposisikan sebagai sayuran. Sekitar 30% responden menjual langsung kepada konsumen di pasar. Pemilik usaha terlibat secara langsung dalam menjual tempenya karena berhubungan dengan keuangan dan kepercayaan dari konsumen. Bila tempe tidak habis terjual, pengrajin tempe mejual produk dengan harga murah/borongan atau disimpan untuk dijual kembali keesokan hari bila tempe masih bagus.

(58)

waktu berjualan berlangsung pada pukul 03.00 dini hari hingga pukul 09.00 pagi.

Produk tempe juga telah dipasarkan di pasar-pasar swalayan, yang juga diposisikan sebagai sayuran yang dipajang di rak pendingin. Produk tempe segar umumnya dijual bukan berdasarkan bobot melainkan per bungkus atau per potong. Berdasarkan wawancara dengan responden, dapat diketahui bahwa untuk memasarkan tempe ke pasar swalayan sulit dilakukan karena mereka tidak punya akses untuk menembus pasar swalayan. Untuk dapat masuk ke pasar swalayan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seperti kemasan tempe harus mencantumkan label atau merk produk, ukuran yang seragam dan sebagainya. Hanya sebagian kecil responden (3%) yang menjual tempenya ke pasar swalayan.

2. Sistem Distribusi

Umur simpan tempe yang relatif pendek cenderung membuat jangkauan pemasaran tempe menjadi sempit karena produk yang dibuat pada hari ini harus dapat terjual pada hari yang sama. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sistem distribusi terdiri dari beberapa pola (Gambar 22) sebagai berikut :

a. Para pengrajin langsung menjajakan produknya dari rumah ke rumah seperti halnya di Jakarta Barat, Kecamatan Sindang Laut dan Kecamatan Wiradesa (Pekalongan). Sebagai alat angkut adalah sepeda motor atau sepeda.

b. Para pengrajin langsung mendistribusikan produk pada langganan ke pemiliki warung tegal (35%) seperti halnya di Bekasi. Menurut pengrajin, pasar tempe yang potensial adalah warung tegal karena selalu menyediakan tempe dalam menunya.

(59)

Gambar 22. Jalur Pemasaran Tempe

3. Alat Transportasi

Alat transportasi pemasaran industri tempe di lokasi penelitian terdiri dari gerobak, sepeda, sepeda motor dan mobil pick up. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 48.4% responden menggunakan gerobak sebagai alat transportasi, 27.5% responden menggunakan sepeda motor, 21.5% reponden menggunakan sepeda dan hanya 2.6% responden yang memakai mobil pick up. Data variasi alat transportasi pemasaran setiap responden dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Alat transportasi Pemasaran Tempe

Alat Tranportasi Jumlah Responden Presentase (%)

Gerobak 153 48.4

Motor 87 27.5

Sepeda 68 21.5

Mobil pick-up 8 2.6

Pengrajin

Konsumen langsung

Warung Tegal

Katering

Rumah sakit

Lembaga Pemasyarakatan

Pedagang/pengecer di pasar

Gambar

Tabel 1. Komposisi Nilai Gizi Kedelai
Tabel 2. Syarat Mutu Tempe menurut SNI 01-3144-1992
Gambar 1. Saluran distribusi barang konsumsi (Kotler, 1993)
Tabel 3. Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Strategi Pemerintah Kabupaten Tulungagung (Dinas Perindustrian dan Perdagangan) dalam Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) pada Sentra Industri Marmer ...

Site terpilih lokasi A merupakan tanah persawahan dan tanah kering, merupakan lahan kosong yang berada di sekitar pemukiman kerajinan rotan trangsan. Eksisting site tersebut berada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai adjusted R square sebesar 0,766433 yang berarti bahwa sekitar 76% produksi industri tempe dipengaruhi secara bersama-sama oleh

Rata-rata Kontribusi Pendapatan Industri Tempe Terhadap Pendapatan Total Keluarga di Kecamatan Banjar Selama Bulan Mei 2016.. Rata-rata Pendapatan dan Keuntungan Industri Tempe

Pemilihan daerah ini dilakukan secara sengaja (purposive) karena pertimbangan bahwa lokasi ini merupakan Sentra Industri Mikro dan Kecil Makanan Khas Palembang

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja dan skala ekonomi Industri Menengah Kecil (IKM) melalui pengaruh jumlah usaha, tenaga kerjadan biaya input IKM

Untuk mengetahui diantara jumlah tenaga kerja industri kecil, nilai investasi industri kecil, jumlah industri kecil, pendapatan perkapita yang paling dominan mempengaruhi

Melihat profil dan lokasi sentra in- dustri konveksi di Kabupaten Klaten terse- but tampak bahwa industri ini memiliki peran yang penting dalam mendorong