• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penggunaan Zat Pewarna Sintetis, Zat Pengawet, Zat Penyedap Rasa Pada Beberapa Bumbu Giling yang Dipasarkan Di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Penggunaan Zat Pewarna Sintetis, Zat Pengawet, Zat Penyedap Rasa Pada Beberapa Bumbu Giling yang Dipasarkan Di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Penggolongan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Tabel Daftar Golongan BTP yang Diizinkan Penggunaannya

No. Nama Golongan

1 Antibuih (Antifoaming Agent) 2 Antikempal (Anticaking Agent) 3 Antioksidan (Antioxidant)

4 Bahan Pengkarbonasi (Carbonating Agent) 5 Garam Pengemulsi (Emulsifying Salt) 6 Gas Untuk Kemasan (Packaging Gas) 7 Humektan (Humectant)

8 Pelapis (Glazing Agent) 9 Pemanis (Sweetener)

a. Pemanis Alami (Natural Sweetener) b. Pemanis Buatan (Artificial Sweetener) 10 Pembawa (Carrier)

11 Pembentuk Gel (Gelling Agent) 12 Pembuih (Foaming Agent)

13 Pengatur Keasaman (Acidity Regulator) 14 Pengawet (Preservative)

15 Pengembang (Raising Agent) 16 Pengemulsi (Emulsifier) 17 Pengental (Thickener) 18 Pengeras (Firming Agent).

19 Penguat Rasa (Flavour enhancer) 20 Peningkat Volume (Bulking Agent) 21 Penstabil (Stabilizer).

22 Peretensi Warna (Colour Retention Agent) 23 Perisa (Flavouring)

24 Perlakuan Tepung (Flour Treatment Agent) 25 Pewarna (Colour)

26 Propelan (Propellant) 27 Sekuestran (Sequestrant)

(2)

77

Tabel Daftar BTP yang Dilarang Penggunaannya pada Pangan

No. Nama Bahan

1 Asam borat dan senyawanya (Boric acid)

2 Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt) 3 Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC) 4 Dulsin (Dulcin)

5 Formalin (Formaldehyde)

6 Kalium bromat (Potassium bromate) 7 Kalium klorat (Potassium chlorate) 8 Kloramfenikol (Chloramphenicol)

9 Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 10 Nitrofurazon (Nitrofurazone)

11 Dulkamara (Dulcamara) 12 Kokain (Cocaine)

13 Nitrobenzen (Nitrobenzene)

14 Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15 Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

16 Biji tonka (Tonka bean)

(3)

Lampiran 2. Daftar BTP yang Diizinkan di Indonesia Berdasarkan Kategori

Asam benzoat dan garamnya Asam benzoat

Kalium metabisulfit Kalsium bisulfit

Asam propionate dan garamnya Asam propionate

Natrium propionate Kalsium propionate Kalium propionate

Lisozim hidroklorida

200

(4)

79

Tabel Daftar Zat Pewarna yang Diizinkan di Indonesia Berdasarkan Kategori Pangan

(5)

Tabel Daftar Zat Penguat Rasa yang Diizinkan di Indonesia Berdasarkan Kategori

2 Asam guanilat dan garamnya Asam 5’-guanilat

3 Asam inosinat dan garamnya

(6)

81 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian 1. Identifikasi Jenis Zat Pewarna Sintetis

Gambar 1. Penimbangan Sampel

(7)

Gambar 4. Benang Wool Dicuci dengan Air

(8)

83

Gambar 6. Pengabuan Sampel

(9)

Gambar 8. Sampel dari Pedagang III

(10)

85

Gambar 10. Sampel dari Pedagang V

Keterangan :

= Pembanding, kertas kurkumin berubah menjadi merah kecoklatan jika sampel

(11)

3. Pemeriksaan Natrium Benzoat Secara Kualitatif

Gambar 11. Penguapan di Penangas Air

(12)

87

4. Pemeriksaan Natrium Benzoat Secara Kuantitatif

Gambar 13. Penimbangan Sampel yang Positif Mengadung Natrium Benzoat

(13)

Gambar 15. Sampel yang Sudah Disari dari Pedagang II

(14)

89

Gambar 17. Pentitrasian dengan NaOH 0,1 N

(15)

Gambar 19. Sampel yang positif Natrium Benzoat dari Pedagang V

5. Pemeriksaan Monosodium Glutamat Secara Kualitatif

Gambar 20. Sampel Negatif Mengandung MSG dari Pedagang I Keterangan :

(16)

91

Gambar 21. Sampel Negatif Mengandung MSG dari Pedagang II

(17)

Gambar 23. Sampel Negatif Mengandung MSG dari Pedagang IV

(18)

93

Lampiran 4. Contoh Perhitungan Kadar Natrium Benzoat

Kadar natrium benzoat pada masing-masing sampel dapat dihitung dengan rumus:

Kadar Natrium Benzoat = − × × ( . � � )

( �) x 100%

Dimana:

Vs : Volume titrasi untuk sampel Vb : Volume titrasi untuk blanko N : Normalitas NaOH yang dipakai BM: Berat molekul asam benzoat (144) W : Berat sampel yang ditimbang

Contoh: Perhitungan kadar Natrium Benzoat pada Sampel �� dengan Vs= 0,3 ml ; Vb= 0,1 ml ; N= 0,1 ; W= �, � .

Jawab:

2 =

0,3−0.1 ×0,1×144

5273 ,3 × 100% = 0.0546 %

Artinya dalam sampel 5,2733 g/kg terdapat 0.0546 % kadar benzoat Dikonversikan:

Dari : 0.0546

100 × 5,2733 g/kg = 0,00287gr

Maka kadar natrium benzoat dalam 2 = 0,00287 gr

(19)
(20)

95

(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)

72

Anonimus, 2008. Tartrazine, Erythrosine, Sunset Yellow, Biru Brilliant. http://ebpewarnasintetik.com. Diakses 10 April 2016.

Anonimus, 2015. Penyedap Rasa Menghambat Pertumbuhan Anak.

http://kalyanamitra.or.id/.Diakses 12 April 2016.

Armin F., dkk, 2015. Pengembangan dan Validasi Metode Kromatografi Lapis Tipis Densitometri Untuk Analisis Pewarna Merah Sintetik pada Beberapa Merek Saus Sambal Sachet. Jurnal Sains Farmasi dan Klinis. Vol.2. No.1; 60-65.http://jsfonline.org. Diakses 10 April 2016.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2011. Laporan Hasil Kegiatan Pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah dan Industri Rumah Tangga. http://www.pom.go.id. Diakses 18 Februari 2016.

Baliwati, Yayuk F., dkk, 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Cetakan I, Penebar Swadaya. Jakarta.

Cahyadi, W., 2009. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta.

Departemen Kesehatan R.I. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 033/ Menkes/Per/XI/2012, tentang Bahan Tambahan Pangan. Jakarta.

Departemen Kesehatan R.I. 2004. Peraturan Pemerintah RI No. 28 tahun 2004, tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta.

Dixit S., dkk, 2013. All India Survey for Analyses of Colors in Sweets and Savories: Exposure Risk in Indian Population. Jurnal Of Food Science. Vol.78. No.4; T642-T647. http://onlinelibrary.wiley.com. Diakses 02 Mei

2016.

(27)

Hermitta, 2010. Amankah Pengawet Makanan Bagi Manusia. Staf Pengajar Farmasi FMIPA UI. Depok. http://journal.ui.ac.id. Diakses 20 Februari 2016.

Hidayat, Nur dan Anis Saati, 2006. Membuat Pewarna Alami. Trubus Agrisarana. Jakarta.

Khomsan, Ali, 2005. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Lubis, Helfa, 2009. Analisa Penggunaan Zat Pewarna Sintetis Pada Saus Cabe Yang Dipasarkan Di Pasar Sentral Dan Pasar Simpang Limun Kota Medan Tahun 2009. Skripsi. FKM. USU, Medan.

Maidah. 2015. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Natrium Benzoat, Boraks dan Formalin Dalam Berbagai Makanan Olahan yang Terdapat Di Lingkungan Sekolah Dasar Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar. http://repository.unhas.ac.id. Diakses 10 April 2016.

Mujianto, Bagya, dkk, 2013. Identifikasi Pengawet Dan Pewarna Berbahaya Pada Bumbu Giling. Jurnal Ilmu & Teknologi Ilmu Kesehatan, Vol.1. No.1; 34-39. http://ejurnal.poltekkesjakarta.ac.id. Diakses 09 Februari 2016.

Mukono, H.J., 2005. Toksikologi Lingkungan. Airlangga University Press. Surabaya.

Nasution, Ade S., 2009. Analisa Kandungan Rhodamin B pada cabe Giling di Pasar Tradisonal Kota Medan 2009. Skripsi. FKM. USU, Medan.

Pertiwi, Dian, 2013. Analisis Kandungan Zat Pewarna Sintetik Rhodamin B dan Methanyl Yellow pada Jajanan Anak di SDN Kompleks Mangkura Kota Makassar. http://repository.unhas.ac.id. Diakses 12 Februari 2016.

Putra, I. R.,dkk, 2014. Gambaran Zat Pewarna Merah pada Saus Cabai yang Terdapat pada Jajanan yang Dijual di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padang Utara. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 3. No. 3; 297-303. http://jurnal.fk.unand.ac.id. Diakses 10 April 2016.

Ratnani, R. D., 2009. Bahaya Bahan Tambahan Makanan Bagi Kesehatan.

Momentum, Vol. 5. No. 1 ; 16 22. http://publikasiilmiah.unwahas.ac.id.

Diakses 24 Maret 2016.

(28)

74

Rustian, Ryan, dkk. 2015. Analisis Kuantitatif Pengawet Natrium Benzoat pada Susu Kedelai yang Dijual Di Daerah Cibuntut Menggunakan Spektrofometri Uv Sinar Tampak. http://ejurnal.ac.id. Diakses 10 April 2016.

Saparinto, C. dan Hidayati D., 2006. Bahan Tambahan Pangan. Cetakan I. Kanisius. Yogyakarta.

Sella, 2013. Analisis Pengawet Natrium Benzoat dan Pewarna Rhodamin B pada Saus Tomat J dari Pasar Tradisional L Kota Blitar. Jurnal Ilmiah

Mahasiswa Universitas Surbaya, Vol. 2. No.2. http://repository.ubaya.ac.id.

Diakses 12 April 2016.

Setiawati, SN, 2008. Dampak Penggunaan Monosodium Glutamat Terhadap Kesehatan Lingkungan. Jurnal Orbith, Vol. 4. No.3 ; 453-459. http://repository.unhas.ac.id. Diakses 09 Februari 2016.Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Seto, Sagung, 2001. Pangan dan Gizi. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Siaka, I.M., 2009. Analisis Bahan Pengawet Benzoat pada Saos Tomat yang Beredar di Wilayah Kota Denpasar. Jurusan Kimia, Vol. 3. No.2; 87-92. http://ejournal.unud.ac.id/pdf. Diakses 12 Februari 2016.

Silalahi, Jansen, dkk. 2010. Pemeriksaan Boraks di dalam Bakso di Medan.

Artikel Penelitian, Vol.60. No. 11; 523.http://digitaljournals.org. Diakses 10 Februari 2016.

Simpus, 2005. Bahaya Boraks. Pengantar Teknologi pangan. Intisari Pustaka Utama. Jakarta.

Syah, D., dkk, 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Tatukude, Rico L., 2014 . Gambaran Histopatologi Hati Tikus Wistar yang Diberikan Boraks. Jurnal e-Biomedik, Vol.2. No.3. http://ejournal.unsrat.ac.id. Diakses 24 Maret 2016.

Utami,W dan Suhendi, A. 2009. Analisis Rhodamin B Dalam Jajanan Pasar Dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis. Jurnal Penelitian Sains &

(29)

Waheni, 2009, Penentuan Kadar Natrium Benzoat Dalam Kecap Secara Spektrofotometri Ultraviolet, Skripsi, Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Widyalita, Eka, dkk, 2014. Analisis Kandungan Monosadium Glutamat (MSG) pada Pangan Jajanan Anak di SD Komp. Lariangbangi Makassar. http://repository.unhas.ac.id. Diakses 12 Februari 2016.

Widyaningsih, Tri D. dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Jakarta.

Wijaya, D., 2011. Waspada Zat Aditif dalam Makananmu. Penerbit Buku Biru. Yogjakarta.

Yuliarti, N., 2007. Awas Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan. CV Andi Offset. Yogyakarta.

Zengin N., dkk, 2011. The Evaluation of The Genotoxicity of Two Food Preservatives: Sodium Benzoate and Potassium Benzoate. Food and

(30)

33 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat dekstriptif yaitu untuk mengetahui ada atau tidaknyakandungan bahan tambahan pangan meliputi zat pewarna sintetis, pengawet dan peyedap rasa pada beberapa bumbu giling yang dipasarkan di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan tahun 2016. Kandungan zat pewarna sintetis, pengawet dan peyedap rasa pada bumbu giling dianalisis dengan melakukan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dan kuantitatif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan. Pasar tradisional ini dipilih dari seluruh pasar yang ada di Kota Medan secara sengaja (purposive). Adapun alasan dipilihnya lokasi tersebut sebagai tempat penelitian adalah karena pasar tersebut merupakan pasar tradisional terbesar di Kota Medan yang menjual beragam kebutuhan, ramai dikunjungi, banyak dijumpai pedagang bumbu giling yang memproduksi bumbu giling dalam jumlah yang banyak dan tidak selalu habis dalam satu hari.

3.2.2 Waktu Penelitian

(31)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang bumbu giling di Pusat Pasar TradisionalKota Medan.

3.3.2 Sampel

Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan pertimbangan bahwa bumbu giling diambil dari pedagang yang menjual bumbu giling dalam jumlah yang banyak, adanya perbedaan warna yang mencolok pada cabe merah giling yang dijual pedagang tersebut serta paling ramai dikunjungi pembeli. Sampel dalam penelitian ini adalah bumbu giling yang paling banyak diproduksi pedagang dan lebih banyak dibeli oleh pembeli tetapi tidak habis terjual dalam satu hari. Unit analisis bumbu giling yang terdiri dari cabe merah giling, bawang merah giling, bawang putih giling, kunyit giling dan jahe giling. Dari 9 pedagang bumbu giling di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan terdapat 5 pedagangyangmenjual bumbu giling dalam jumlah yang banyak. Dari lima macam sampel tersebut diambil dari 5 pedagang tersebut, maka jumlah sampel sebanyak 25 sampel.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

(32)

35

dan penyedap rasa yang terkandung dalam bumbu giling (cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit dan jahe) secara kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan oleh peneliti dan dibantu dengan laboran.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder meliputi data yang berhubungan dengan substansi yang diperoleh dari literatur-literatur yang menjadi bahan masukan bagi penulis dan studi kepustakaan.

3.5Definisi Operasional

1. Bumbu giling adalah bubur hasil penggilingan dari masing-masing cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit dan jahe yang digunakan dalam keadaan segar dengan atau tanpa bahan tambahan pangan.

2. Pewarna sintetis adalah zat pewarna merah yang digunakan untuk memperbaiki warna pada bumbu giling yaitu cabe merah giling agar terlihat menarik.

3. Pengawet adalahzat pengawet meliputi boraks dan Natrium Benzoat yang digunakan untuk semua sampel bumbu giling (cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit dan jahe) untuk memperpanjang daya simpannya.

4. Penyedap rasa adalah zat penyedap rasa yaitu monosodium glutamate (MSG) yang digunakan untuk menimbulkan rasa enak atau menekan rasa yang kurang enak pada semua sampel bumbu giling (cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit dan jahe).

(33)

dilarang penggunaannya ataupun kadarnya tidak sesuai dengan Permenkes

3.7.1 Analisis Zat Pewarna Sintetis 1. Pemeriksaan Secara Kualitatif

Prinsip pemeriksaan ini dilakukan dengan metode kromatografi kertas. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi jenis zat pewarnayang terdapat di dalam sampel. Prosedur kerja metode kromatografi kertas sebagai berikut :

1. Timbang 50 gr sampel, kemudian masukkan ke dalam gelas kimia 100 ml. 2. Tambahkan 10 ml asam asetat 10 % kemudian masukkan benang wool,

dididihkan selama 10 menit sambil diaduk.

(34)

37

4. Pewarna dilarutkan dengan benang wool dan ditambahkan ammonia 10 % di atas penangas air hingga sempurna.

5. Benang wool dicuci lagi dengan air hingga bebas dari ammonia.

6. Larutan yang didapat dan juga zat warna pembanding (larutan pekatan yang berwarna merah gunakan pewarna zat warna merah), diteteskan di atas kertas kromatografimenggunakan pipet kapiler dan biarkan mengering.

7. Setelah itu kertas kromatografi dimasukkan ke dalam bejana (Chamber) yang sudah mengandung larutan eluen (pilih salah satu eluen yang cocok) eluen I (etilmetilketon : aseton : air = 70 : 30 : 30) dan eluen II (2 g NaCl dalam 100 ml etanol 50%). Kemudian bejana ditutup kemudian biarkan dua sampai tiga jam.

8. Elusi dilakukan sampai pelarut merambat naik hingga dengan tinggi 14 cm dari tepi bawah kertas.

9. Elusi dihentikan dan kertas kromatografi dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan di udara.

10.Amati bercak-bercak yang timbul dan tandai dengan pensil

Perhitungan penentuan zat warna dengan cara mengukur nilai Rf dari masing-masing bercak tersebut, dengan cara (Cahyadi, 2009) :

Rf = �� � �

�� � �

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah : a. Alat :

(35)

2. Chamber 3. Gelas Ukur 4. Gunting

5. Water Bath (Penangas air)

6. Pensil

2. Pemeriksaan Secara Kuantitatif

Prinsip pemeriksaan ini adalah melihat kadar zat pewarna yang terdapat pada sampel. Kadar zat pewarna yang digunakan dapat diketahui melalui metode gravimetri dengan melakukan penimbangan terhadap benang wool sebelum dan sesudah perlakuan. Prosedur kerjanya :

1. Benang wool dicuci dengan n-Hexana lalu dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (berat a).

(36)

39

3. Masukkan benang wool yang sudah ditimbang tersebut ke dalam larutan lalu dididihkan selama 30 menit.

4. Benang wool diangkat dan dicuci dengan air panas.

5. Benang wool dikeringkan dan ditimbang kembali (berat b) dan dihitung selisih berat benang wool sebelum dan sesudah (Cahyadi, 2009).

Perhitungan kadar zat pewarna yang digunakan adalah sebagai berikut :

Kadar Zat Warna = b − a Berat Sampel

Keterangan :

a = Berat benang wool sebelum perlakuan

b = Berat benang wool setelah penyerapan zat pewarna

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah : a. Alat :

(37)

a. Boraks

1. Analisis kualitatif

Reaksi kurkumin adalah salah satu metode pengujian untuk mengetahui apakah di dalam sampel terdapat boraks atau tidak. Prosedur kerjanya:

1. Sampel dihaluskan dan dihomogenkan di dalam lumpang timbang ± 50 g masukkan ke dalam cawan porselin.

2. Bakar diatas api langsung sampai menjadi abu (dalam lemari asam)

3. Sampel yang sudah menjadi abu larutkan dalam HCL, celupkan kertas kurkumin.

4. Jika terjadi perubahan warna kertas kurkumin dari kuning menjadi merah kecoklatan menunjukkan terdapat senyawa boraks.

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah : a. Alat :

(38)

41

b. Natrium Benzoat

1. Pemeriksaan Secara Kualitatif

Prinsip pemeriksaan ini dilakukan dengan reaksi esterifikasi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi Natrium Benzoat yang terdapat di dalam sampel.Prosedur kerjanya :

1. Sampel ditambah etanol kemudian ditambahkan asam sulfat dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dikocok.

2. Mulut erlenmeyer ditutup dengan kapas yang telah dibasahi dengan air. 3. Uapkan di atas penangas air, jika kapas tercium bau afitson, berarti

terdapat Natrium Benzoat dalam sampel.

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah : a. Alat :

1. Batang Pengaduk 2. Labu Erlenmeyer

3. Water Bath (Penangas air)

b. Bahan :

1. Asam Sulfat 2. Aquadest

(39)

2. Pemeriksaan Secara Kuantitatif

Metode titrasi dapat mendeteksi kadar Natrium Benzoat yang terdapat pada sampel, dengan prosedur kerja :

1. Timbang 5 gr sampel lalu pindahan kedalam erlenmeyer.

2. Tambahkan 25 ml heksan lalu diesktrak/disari selama 30 menit hingga terbentuk 2 lapisan dimana lapisan atas (lapisan heksan) dipisahkan ke dalam gelas erlenmeyer.

3. Sari yang telah dipisahkan diuapkan di penangas air pada suhu 600 C tunggu sampe hampir kering.

4. Kedalam sisa sari heksan ditambahkan 10 ml etanol dan 50 ml aquadest dikocok hingga larut sempurna.

5. Tambahkan 2-3 tetes indikator fenolptalein.

6. Titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N titik akhir titrasi ditandai dengan terjadinya perubahan warna dari tidak berwarna menjadi warna merah jambu muda.

V1 : Volume titrasi untuk sampel V2 : Volume titrasi untuk blanko N : Normalitas NaOH yang dipakai BM: Berat molekul asam benzoat (144) W : Berat sampel yang ditimbang Dimana, pembuatan Blanko :

(40)

43

2. Tambahkan indikator fenolptalein 2-3 tetes.

3. Titrasi dengan Natrium hidroksida 0,1 N sampai terbentuk warna merah jambu muda.

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah : a. Alat :

6. Water Bath (Penangas air)

7. Pipet tetes

8. Timbangan Analitik b. Bahan :

1. Aquadest

2. Bawang Merah Giling 3. Bawang Putih Giling 3.7.3 Analisis Zat Penyedap Rasa

Prinsip pemeriksaan ini dilakukan dengan metode titrasi bebas air. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi zat penyedap rasa yaitu Monosodium Glutamat (MSG) dan kadarnya. Prosedur kerja yaitu sebagai berikut :

(41)

2. Tambahkan 25 ml etanol dan 5 tetes indikator kristal violet 3. Kemudian larutan dihomogenkan

4. Titrasi dengan larutan asam perklorat 0,1 N, jika tejadi perubahan warna larutan menjadi biru kehijauan maka (+) mengandung MSG.

5. Jika larutan sudah berubah menjadi biru kehijauan catat volume titrasinya, kemudian hitung kadar MSG

Menghitung kadar MSG dengan rumus:

Kadar MSG % = Vol titrasi ×N perklorat × BM (MSG )×100%

� �� ( �)

Dimana, BM (MSG) = 147,13

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah : a. Alat : 4. Bawang Merah Giling 5. Bawang Putih Giling 6. Cabe Merah Giling 7. Jahe Giling

(42)

45

3.8Analisis Data

(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Gambaran Pusat Pasar

Kota Medan merupakan kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia yang memiliki 53 unit pasar tradisional yang secara langsung maupun tidak langsung dikelola oleh Perusahaan Daerah Pasar Kota Medan (PDPKM).

Pusat Pasar (juga dikenal dengan nama Pajak Sentral) adalah sebuah pasar besar yang berdiri sejak tahun 1918 terletak di Medan Kota, Kota Medan, Indonesia. Pusat Pasar merupakan pasar yang pertama berdiri di Kota Medan. Gedung Pusat Pasar ini terhubung langsung dengan gedung Medan Mall, sebuah pusat perbelanjaan modern. Pasar ini mengalami perubahan pembangunan sebanyak dua kali akibat terjadi kebakaran pada tahun 1978 dan tahun 1984. Luas wilayah ± 20.000 m2, dengan luas bangunan 9.000 m2. Lokasi berada di kelurahan Pusat Pasar kecamatan Medan Kota, Medan. Saat ini terdapat 2048 kios dan 496 stan/meja pedagang yang terdaftar dan jumlah pedagang bumbu giling sebanyak 9 pedagang.

4.2. Deskripsi Sampel

(44)

47

banyak dibeli oleh pembeli tetapi tidak habis terjual dalam satu hari yang berasal dari 5 pedagang yang mana memproduksi sendiri dalam jumlah yang banyak berkisar 15-25 kg yang ditampung dalam wadah besar yaitu berupa ember. Waktu yang diperlukan agar bumbu terjual habis dari masing-masing pedagang bumbu giling hampir sama ± 2-4 hari; pedagang I (2-3 hari), pedagang II (3-4 hari), pedagang III (2-3 hari), pedagang IV (2-3 hari), pedagang V (2-3 hari). Waktu produksinya dilakukan setelah bumbu giling sebelumnya hampir terjual habis. Pada umumnya, bumbu giling dapat bertahan paling lama empat hari sampai akhirnya membusuk. Jika bumbu giling masih tersisa maka akan dicampurkan dengan bumbu giling yang baru diproduksi.

Berdasarkan hasil observasi langsung di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan, kelima macam bumbu giling yang dijual mempunyai warna yang berbeda. Perbedaan warna pada bumbu giling bisa dilihat pada gambar 4.1 di bawah ini.

(45)

4.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

4.3.1 Identifikasi Jenis Zat Pewarna Sintetis yang Terdapat dalam Cabe Merah Giling

Identifikasi jenis zat pewarna sintetis terhadap sampel cabe merah giling secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi kertas dengan prinsip uji menghitung nilai Rf yang terdapat pada kertas kromatografi dan membandingkannya kepada standar zat warna dengan menggunakan eluen sebagai pelarutnya. Identifikasi kualitatif ini dilanjutkan dengan metode kromatografi kertas jika bulu domba yang dimasukkan pada sampel dengan ditambahkannya asam asetat yang kemudian dididihkan berubah warna seperti warna sampel tersebut karena warna sampel yang ditariknya yang artinya bahwa pada sampel tersebut terdapat zat pewarna sintetis.

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Zat Pewarna Sintetis pada Cabe Merah Giling yang Dipasarkan di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016

No. Kode Sampel Pengamatan Pemeriksaan

(Sampel+Bulu Domba)

Hasil

1 CM1 Bulu DombaTidak Menarik Warna Sampel Negatif (-)

2 CM2 Bulu DombaTidak Menarik Warna Sampel Negatif (-)

3 CM

3 Bulu DombaTidak Menarik Warna Sampel Negatif (-)

4 CM4 Bulu DombaTidak Menarik Warna Sampel Negatif (-)

5 CM5 Bulu DombaTidak Menarik Warna Sampel Negatif (-)

Keterangan:

(46)

49

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa seluruh sampel yang diperiksa secara kualitatif, tidak adawarna sampel yang ditarik bulu domba sehingga kelima sampel dari lima pedagang bumbu giling di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan tidak menggunakan zat pewarna sintetis pada cabe merah giling yang mereka jual.

4.3.2 Pemeriksaan Boraks yang Terdapat dalam Bumbu Giling

Hasil pemeriksaan bumbu giling secara kualitatif terhadap penggunaan boraks dilakukan dengan menggunakan metode reaksi kurkumin dengan prinsip adanya perubahan warna kertas kurkumin dari kuning menjadi merah kecoklatan jika terdapat boraks dalam sampel.

(47)

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Boraks pada Bumbu Giling yang Dipasarkan di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016

No. Pedagang Kode Sampel Pengamatan Pemeriksaan

Warna Kertas Kurkumin BM1,2,3,4,5 : Bawang Merah Giling dari Pedagang I, II, III, IV, V BP1,2,3,4,5 : Bawang Putih Giling dari Pedagang I, II, III, IV, V K1,2,3,4,5 : Kunyit Giling dari Pedagang I, II, III, IV, V

J1,2,3,4,5 : Jahe Giling dari Pedagang I, II, III, IV, V

(48)

51

dengan prinsip jika timbul aroma afitson menandakan adanya pemakaina Natrium Benzoat pada sampel.

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Natrium Benzoat pada Bumbu Giling yang Dipasarkan di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016

No. Pedagang Kode Sampel Pengamatan Pemeriksaan

Sampel dengan reaksi Esterifikasi

2 Berbau Afitson Positif (+)

9 J2 Berbau Afitson Positif (+)

10 K

2 Berbau Afitson Positif (+)

11 BM1,2,3,4,5 : Bawang Merah Giling dari Pedagang I, II, III, IV, V BP1,2,3,4,5 : Bawang Putih Giling dari Pedagang I, II, III, IV, V K1,2,3,4,5 : Kunyit Giling dari Pedagang I, II, III, IV, V

J1,2,3,4,5 : Jahe Giling dari Pedagang I, II, III, IV, V

(49)

berbau afitson dari dua pedagang yaitu pedagang II dan V sehingga diperlukan pemeriksaan kuantitatif terhadap 10 sampel tersebut apakah kadar zat pengawet yang digunakan yaitu Natrium Benzoat masih memenuhi syarat atau tidak berdasarkan ketentuan Permenkes RI No.033 tahun 2012.

Hasil pemeriksaan bumbu giling secara kuantitatif terhadap penggunaan Natrium Benzoat dilakukan dengan menggunakan metode titrasi dengan prinsip titrasi dihentikan hingga larutan sampel berubah menjadi warna merah jambu dan kemudian dilakukan perhitungan terhadap kadar Natrium Benzoat.

Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Natrium Benzoat pada Bumbu Giling yang Dipasarkan di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016

No. Kode BP2,5: Bawang Putih Giling dari Pedagang II, V

(50)

53

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa dari 10 sampel yang diperiksa secara kuantitatif dengan metode titrasi, ada 2 sampel yaitu cabe merah giling dan bawang putih giling yang berasal dari pedagang V yang kadar zat Natrium Benzoatnya melebihi kadar yang ditentukan berdasarkan Permenkes RI No.033 tahun 2012 sehingga dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi.

4.3.4 Pemeriksaan Zat Penyedap Rasa yang Terdapat dalam Bumbu Giling Hasil pemeriksaan bumbu gilingdilakukan dengan metode titrasi bebas airuntuk mendeteksi zat penyedap rasa yaitu Monosodium Glutamat (MSG) dan kadarnya dengan prinsip jika dilakukan titrasi terjadi perubahan larutan menjadi biru kehijauan maka pada sampel mengandung Monosodium Glutamat dan kemudian dilakukan pengukuran kadar.

(51)

Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Monosodium Glutamat (MSG) pada Bumbu Giling yang Dipasarkan di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016

No. Pedagang Kode Sampel Pengamatan Pemeriksaan

Warna Larutan

Hasil

1

I

CM1 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

2 BM

1 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

3 BP1 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

4 J

1 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

5 K

1 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

6

II

CM2 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

7 BM2 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

8 BP2 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

9 J

2 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

10 K

2 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

11

III

CM3 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

12 BM3 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

13 BP

3 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

14 J3 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

15 K

3 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

16

IV

CM4 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

17 BM

4 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

18 BP

4 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

19 J

4 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

20 K4 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

21

V

CM5 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

22 BM

5 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

23 BP

5 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

24 J

5 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-)

25 K

5 Tidak Berubah Menjadi Biru Kehijauan Negatif (-) Keterangan :

CM1,2,3,4,5 : Cabe Merah Giling dari pedagang I, II, III, IV, V BM1,2,3,4,5 : Bawang Merah Giling dari pedagang I, II, III, IV, V BP1,2,3,4,5 : Bawang Putih Giling dari pedagang I, II, III, IV, V K1,2,3,4,5 : Kunyit Giling dari pedagang I, II, III, IV, V

(52)

55

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Hasil Identifikasi Zat Pewarna Sintetis

Penelitian ini dilakukan mengingat bumbu giling yaitu cabe merah giling yang dijumpai pada beberapa pedagang memiliki warna bervariasi, kemungkinan ada pedagang yang menambahkan bahan tambahan seperti wortel atau papaya dengan tujuan untuk menambah berat cabe merah giling tetapi dapat membuat warna cabe merah giling kelihatan pudar sehingga untuk mendapatkan warna yang lebih bagus ditambahkan pewarna.

Pada penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya zat pewarna sintetis sekaligus mengetahui jenis zat pewarna yang terdapat di dalam sampel menggunakan metode kromatografi kertas. Hasil pemeriksaan sampel terhadap penggunaan zat pewarna yang dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Medan dengan menggunakan bulu domba bebas lemak yang dimasukkan ke dalam 50 gr sampel dan asam asetat 10%. Campuran tersebut dididihkan selama 10 menit kemudian didinginkan, lalu dibersihkan dengan aquades. Kemudian bulu domba diamati, apabila bulu domba berwarna seperti warna sampel menunjukkan bahwa adanya penggunaan zat pewarna sintetis pada sampel yang diamati.

(53)

kromatografi kertas untuk mengetahui jenis zat warna yang digunakan pada sampel tidak dilanjutkan lagi. Adanya perbedaan warna dari masing-masing cabe merah giling yang dicurigai ditambahkan pewarna sintesis, yang nyatanya negatif terhadap penambahan warna sintetis mungkin dikarenakan perbedaan waktu produksinya dan kematangan ataupun warna dari cabe segar yang diproduksi.

Salah satu masalah keamanan pangan yang masih memerlukan pemecahan diantaranya beberapa bahan tambahan pangan ditambahkan pada makanan tidak memenuhi syarat, salah satunya zat pewarna. Pewarna makanan harus memiliki syarat aman dikonsumsi, artinya kandungan bahan pada pewarna tersebut tidak mengakibatkan gangguan kesehatan saat dikonsumsi dalam jumlah sedikit ataupun banyak serta tidak menunjukkan bahaya apabila dikonsumsi secara terus-menerus. Oleh sebab itu suatu bahan pewarna sintetis diperbolehkan pemakaiannya jika masih sesuai dengan batas ketentuan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Hidayat, 2006).

(54)

57

kelompok ini yang merupakan penyebab keprihatinan karena dapat menimbulkan risiko kesehatan seperti kanker.

Penelitian mengenai identifikasi zat pewarna sintetis pada bumbu giling ini dilakukan karena mengingat seringnya penggunaan zat pewarna yang digunakan oleh produsen-produsen pangan dan tidak semua zat pewarna yang digunakan tersebut sesuai dengan kadar yang ditentukan dan juga diizinkan penggunaanya menurut Permenkes RI No.033 tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan. Seperti pada beberapa hasil penelitian di bawah ini.

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2009) terhadap 1 sampel yang positif menggunakan zat pewarna sintetis yaitu Rhodamin B dari 10 sampel cabe giling yang diuji yang beredar di pasar tradisional Kota Medan, penelitian yang sama juga Mujianto dkk (2013) terdapat Rhodamin B dalam 4 sampel dari 36 sampel cabe giling, penelitian Putra dkk (2014) menunjukkan bahwa dari 25 sampel saus cabai sebanyak 10 sampel mengandung Rhodamin B dan 15 sampel mengandung pewarna sintetis yang diizinkan penggunaannya yaitu erytrosin yang semua sampel melebihi kadar yang diperbolehkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Armin dkk (2015) tentang analisis pewarna merah sintetis pada

beberapa merek saus sambal sachet di tiga tempat makan cepat saji di Kota

Padang, terdapat salah satu merek sampel yang positif Ponceau 4R dengan kadar

11,9520 mg/kg yang artinya tidak melebihi batas maksimum yang telah

ditentukan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2009) tentang

(55)

Kota Medan, menunjukkan bahwa dari 18 sampel yang diuji, terdapat 14 sampel

yang positif menggunakan zat pewarna sintetis seperti Sunset Yellow, Ponceau

4R dan Tartrazine,Red 2G. Dari 14 sampel tersebut terdapat 1 sampel yang

menggunakan 3 jenis zat pewarna dalam 1 bahan sekaligus yaitu Sunset Yellow,

Ponceau 4R dan Tartrazine. Biasanya tujuan dari kombinasi zat pewarna jingga,

kuning dan merah ini adalah untuk memperoleh tampilan yang lebih stabil dan

menarik dari bahan aslinya karena bahan asli selalu memudar warnanya akibat

lama penyimpanan.

Sunset Yellow merupakan jenis pewarna jingga sintetik yang sangat

mudah larut dalam air. Pewarna ini biasa digunakan bahan-bahan pangan lain

yang mengandung warna kuning, oranye dan kemerahan seperti saus. Tartrazin

merupakan pewarna kuning lemon yang umum digunakan sebagai pewarna

makanan di Afrika, Swedia dan Indonesia. Jika terakumulasi dengan tembaga

(Cu) akan mengubah warna kuning menjadi kemerah-merahan. Zat pewarna lain

adalah Ponceau 4R, pewarna ini merupakan pewarna sintetis yang berwarna

merah sangat umum digunakan untuk produk makanan karena termasuk pewarna

yang stabil sehingga hampir seluruh produk makanan yang memiliki penampilan

warna merah menggunakan pewarna Ponceau 4R ini sebagai campurannya. Red

2G dikenal dengan Food Red 2 termasuk salah satu zat pewarna sintetis yang

paling stabil. Biasanya digunakan pada yogurt dan beberapa produk daging

(terutama sosis). Red 2G juga dapat digunakan sebagai pewarna pada buah dan

(56)

59

Berdasarkan penelitian yang dilakukan European Union diketahui bahwa

Red 2G, Sunset Yellow, Ponceau 4R dan Tartrazine dapat membahayakan

kesehatan manusia sehingga pada Juli 2007 dikeluarkan larangan penggunaanya

secara resmi karena diduga dapat memicu kepada penyakit kanker tetapi sampai

saat ini di Indonesia zat pewarna ini masih dizinkan penggunaannya (Anonimus,

2007).

Penggunaan zat pewarna yang diizinkan hendaknya dibatasi karena

meskipun relatif aman, jika penggunaannya berkesinambungan dan dalam jangka

waktu yang lama dapat membahayakan kesehatan konsumen. Beberapa jenis

pewarna yang harus dibatasi penggunaannya diantaranya Amaranth, Allurah

Merah, Citrus Merah, Caramel, Erithrosin, Indigotine, Karbon Hitam, Ponceau SX, Fest Green FCF, Chocineal dan Kurkumin (Sumarlin, 2010).

5.2 Hasil Identifikasi Zat Pengawet Boraks

(57)

Pada penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya boraks di dalam sampel bumbu giling yaitu cabe merah giling, bawang merah giling, bawang putih giling, kunyit giling dan jahe giling yang diambil dari 5 pedagang yang ada di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan. Pengujian ini menggunakan metode reaksi kurkumin dengan penambahan HCL pada sampel yang telah diabukan terlebih dahulu, kemudian dimasukkankan kertas kurkumin. Jika terjadi perubahan warna kertas kurkumin dari kuning menjadi merah kecoklatan menunjukkan terdapat boraks dalam sampel. Hasil penelitian pada semua sampel menunjukkan tidak ada perubahan warna kertas kurkumin dari kuning menjadi merah kecoklatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua sampel negatif mengandung boraks.

Pada saat ini banyak bahan pengawet yang sudah dilarang untuk digunakan dalam makanan seperti boraks dan formalin. Larangan tersebut dikeluarkan karena bahan tambahan tersebut sangat berbahaya untuk kesehatan, terutama boraks yang bersifat antiseptik (anti jamur) dan pembunuh kuman pada kayu awetan dan kosmetik (Mukono, 2005).

Kesalahan fatal yang sering ditemukan adalah pada produk olahan rumah tangga sering ditambahkan dengan pengawet yang tidak diizinkan seperti boraks salah satu pemicu pengolah untuk menggunakan boraks adalah karena harga boraks yang jauh dibawah harga zat pengawet lainnya yang diizinkan.

(58)

61

berbau dan stabil pada suhu dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat (Syah, 2005).

Penelitian dilakukan karena boraks sering disalah gunakan sebagai bahan tambahan pangan, boraks tidak diizinkan penggunaannya dalam makanan yang disesuaikan dengan Permenkes RI No.033 tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan. Seperti pada beberapa penelitian berikut, Silalahi dkk (2012) melaporkan di Kota Medan didapati adanya kandungan boraks pada jajanan bakso, bahwa 80% dari sampel yang diperiksa ternyata mengandung boraks. Kadar boraks yang ditemukan berkisar antara 0,08-0,29% dari berbagai lokasi yang diteliti, Mujianto dkk (2013) pada bumbu giling di pasar tradisional di Jakarta, ditemukan dari 112 sampel bumbu giling, 84 diantaranya dinyatakan positif mengandung boraks, salah satunya 1 sampel cabe merah giling.

Sering mengkonsumsi makanan berboraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan bahkan kematian (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

5.3 Hasil Identifikasi Zat Penyedap Rasa

(59)

bagaimana menciptakan makanan yang enak dan lezat tersebut menjadi semakin praktis dalam membuatnya. Maka lahirlah produk penyedap masakan yang lebih dikenal dengan produk vetsin (Monosodium Glutamat/MSG).

Pada penelitian ini pemeriksaan kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya Monosodium Glutamat di dalam sampel bumbu giling yaitu cabe merah giling, bawang merah giling, bawang putih giling, kunyit giling dan jahe giling yang diambil dari 5 pedagang yang ada di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan. Pengujian ini menggunakan metode reaksi titrasi bebas air dengan penambahan etanol dan indikator kristal violet pada masing-masing sampel yang kemudian dititrasi dengan asam perklorat. Jika terjadi perubahan warna larutan menjadi warna biru kehijauan maka sampel tersebut positif mengandung Monosodium Glutamat. Hasil penelitian pada semua sampel menunjukkan tidak ada perubahan warna larutan menjadi biru kehijauan. Sehingga semua sampel terbukti negatif mengandung Monosodium Glutamat. Kemudian perhitungan kadar Monosodium Glutamat tidak dilanjutkan mengingat hasil uji kualitatif terhadap semua sampel negatif.

(60)

63

Meskipun diperkenankan sebagai penyedap masakan, penggunaan MSG yang berlebihan dapat mengakibatkan rasa pusing dan mual. Gejala itu disebut

Chinese Restaurant Syndrome. Laporan masyarakat ke Food Drug Administration

(FDA), 2% dari seluruh pengguna MSG mengalami masalah kesehatan, sehingga WHO menetapkan ADI (Acceptable daily intake) untuk manusia sebesar 120 mg/ kg.

Pemeriksaan penyedap rasa berupa Monosodium Glutamat dilakukan mengingat penggunaan Monosodium Glutamat sebagai penyedap makanan yang diizinkan memiliki batas maksimum penggunaannya sebagai bahan tambahan pangan dan tidak selalu aman terutama jika digunakan dalam jangka waktu yang lama dan jumlah berlebihan.

(61)

tersebut terutama pada konsumsi sekitar 0,5–2,5 gr MSG. Sementara untuk penyakit-penyakit kelainan syaraf seperti Alzheimer dan Hungtinton chorea, tidak didapatkan hubungan dengan konsumsi MSG (Setiawati, 2008).

Penelitian Tim Riset di Amerika terbaru menyebutkan, setelah menyuntikkan Monosodium Glutamat yang overdosis ke dalam tubuh tikus, mereka lalu menemukan bahwa selang beberapa waktu, pada retina tikus dan beberapa bagian sistem syaraf utama terlihat gejala kerusakan. Fungsi alamiahnya menurun, juga nampak penyakit kegemukan. Karena jumlah sel darah merah dan putih dalam tulang berkurang, dimana garam kalsium yang masuk ke sel mengalami kerusakan, jadi akan mempengaruhi sintesa sel-sel, sehingga pertumbuhan tulang juga ikut terhambat.

Riset selanjutnya menunjukkan bahwa seorang anak yang terlalu banyak mengkonsumsi Monosodium Glutamat atau makanan yang mengandung asam glutanik akan menghambat pertumbuhan tulang dan perkembangan tubuh si anak (Anonimus, 2015).

5.4Hasil Identifikasi Zat PengawetNatrium Benzoat

(62)

65

giling yang dijual di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan tidak selalu habis dalam satu hari, sehingga dicurigainya digunakannya pengawet untuk mempertahankan daya simpannya.

Pada pangan kategori bumbu, Natrium Benzoat memiliki batas maksimun yaitu 600 mg/kg sesuai Permenkes RI No.033 tahun 2012. Pemberian batas maksimum terhadap Natrium Benzoat dilakukan karena penggunaan bahan pengawet ini tidak selalu aman terutama jika digunakan dalam jumlah berlebihan. Pemeriksaan kualitatif pada sampel pada penelitian ini menggunakan reaksi esterifikasi. Pada reaksi ini akan tercium bau khas afitson yang menunjukkan adanya penggunaan Natrium Benzoat dalam sampel. Bau khas afitson ini dihasilkan dari reaksi antara Natrium Benzoat, etanol dan asam sulfat yang dipanaskan, akan terbentuk metil salisilat (menghasilkan bau afitson). Sebaliknya jika tidak tercium bau afitson maka hal ini menunjukkan tidak digunakannya Natrium Benzoat pada sampel. Dari 25 sampel yang diperiksa ditemukan diantaranya 10 sampel yang berasal dari 2 pedagang positif mengandung Natrium Benzoat dan 15 sampel negatif mengandung Natrium Benzoat.

(63)

Benzoat yang tertinggi terdapat pada sampel yang berasal dari pedagang V yaitu pada bawang putih giling sebesar 828 mg/kg.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kandungan Natrium Benzoat di dalam kunyit giling dan sampel yang lainnya yang berasal dari pedagang II jika dibandingkan dengan batas maksimum penggunaan Natrium Benzoat pada kategori bumbu berdasarkan Permenkes RI No.033 tahun 2012 sebesar 600 mg/kg masih aman untuk dikonsumsi masyarakat karena besar kandungannya masih berada dibawah batas maksimum yang telah ditentukan, tetapi cabe merah giling dan bawang putih giling yang berasal dari pedagang V tidak aman lagi dikonsumsi karena telah melebihi batas maksimum yang telah ditentukan.

Penambahan pengawet Natrium Benzoat pada bumbutidak dilarang menurut Permenkes RI No.033 tahun 2012. Namun, produsen hendaknya tidak menambahkan pengawet dengan ukuran sesuka hati, karena bahan pengawet tersebut akan menjadi berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan. Pemeriksaan Natrium Benzoat dilakukan mengingat penggunaannya sebagai pengawet makanan yang diizinkan memiliki batas maksimum penggunaannya sebagai bahan tambahan pangan. Namun masih banyak ditemukan makanan yg menggunakan Natrium Benzoat sebagai pengawetnya melebihi kadar seperti pada penelitian-penelitian berikut.

(64)

67

yaitu berkisar 1100 – 1300 mg/kg, penelitian yang sama yang dilakukan Sella (2013) menunjukkan pada sempel saos tomat J yang beredar di pasar tradisional Kota Blitar mengandung pengawet (benzoat) yang melebihi standar mutu yang ditentukan (1000 mg/kg), yaitu 2240 mg/kg. Penelitian Rustian (2015) yang menunjukkan pada sampel susu kedelai mengandung pengawet (benzoat) yang melebihi standar mutu yang ditentukan (600 mg/kg), yaitu 611,67 mg/kg dan 605,78 mg/kg. Penelitian Maidah (2015) yang menunjukkan pada sampel berbagai merek kecap mengandung pengawet (benzoat) yang melebihi standar mutu yang ditentukan (600 mg/kg), yaitu berkisar 660 – 1120 mg/kg.

Pemakaian asam benzoat relatif menguntungkan karena dapat mempertahankan mutu bahan pangan dengan memberikan daya tahan kualitas pangan lebih lama. Akan tetapi pemakaian Natrium Benzoat yang berlebih dapat menimbulkan efek atau pengaruh tertentu bagi yang mengkonsumsinya seperti: penyakit kulit dermatitis (penyakit kulit yang ditandai dengan gatal-gatal dan bentol-bentol), asma, artikaria (biduran yang ditandai dengan timbulnya cairan pada permukaan disertai rasa gatal-gatal), angio edema (penimbunan cairan pada lapisan kulit yang lebih dalam yang dapat terjadi pada saluran pernafasan atau pencernaan) (Waheni, 2009).

(65)

Benzoatdalam tubuh, yang pada akhirnya akan mengganggu kesehatan. Berdasarkan penelitian Zengin dkk (2011) tentang evolusi gen dari dua bahan pengawet makanan yaitu Natrium Benzoat dan kalium benzoat, bahwa efek genotoksik Natrium Benzoat dan kalium benzoat yang diselidiki dalam limfosit perifer manusia menunjukkan bahwa Natrium Benzoat merusak DNA mitokondria (Mitokondria adalah elemen yang mengambang bebas dalam sel dengan beberapa fungsi saling berkaitan dengan metabolisme sel dan penuaan sel). Salah satu bahaya kanker diketahui ada hubungannya dengan Natrium Benzoat.

(66)

69

(67)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai zat pewarna sintetis, pengawet dan penyedap rasa pada bumbu giling yaitu cabe merah giling, bawang merah giling, bawang putih giling, kunyit giling dan jahe giling yang dipasarkan di Pusat Pasar Tradisional Kota Medan tahun 2016, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Seluruh sampel yang diperiksa secara kualitatif menunjukkan bahwa tidak ada sampel yang mengandung zat pewarna sintetis, boraks dan penyedap rasa berupa Monosodium Glutamat.

2. Seluruh sampel yang diperiksa secara kualitatif menunjukkan bahwa ada 10 sampel yang mengandung Natrium Benzoat yang berasal dari pedagang II dan V.

(68)

71

6.2 Saran

1. Masyarakat diharapkan lebih selektif dalam memilih makanan khususnya produksi industri rumah tangga yang siap saji seperti bumbu giling untuk dikonsumsi.

(69)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bumbu Giling

Bumbu adalah tanaman aromatik yang telah ataupun belum diolah yang ditambahkan pada makanan untuk penyedap dan pembangkit selera makan, digunakan dalam keadaan segar seperti (cabe, bawang merah, bawang putih, jahe, sereh, kemangi, paprika, daun suji dan lain-lain). Bumbu merupakan bagian yang penting dalam pengolahan makanan, dengan penambahan atau penggunaan bumbu dan rempah maka hasil olahan akan mendapat rasa, aroma, serta warna yang menarik. Adapun fungsi bumbu :

1) Memberi rasa dan aroma pada makanan.

2) Meningkatkan rasa serta aroma pada makanan yang sedang dimasak. 3) Merangsang nafsu makan.

4) Membantu pencernaan makanan, bumbu yang ditambahkan pada makanan dapat merangsang usus untuk mencerna makanan lebih banyak.

5) Sebagai bahan pengawet makanan (asam, jeruk, gula, kunir).

(70)

11

2.1.1 Pembuatan Bumbu Giling 1. Bahan dan Peralatan

a. Bahan

Pembuatan bumbu giling diperlukan bahan-bahan yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe yang biasanya ditambahkan pada makanan untuk penyedap dan pembangkit selera makan, digunakan dalam keadaan segar, garam dan air yang membantu penggilingan dari masing masing bahan tersebut.

b. Peralatan

Selain bahan juga diperlukan peralatan yang membantu dalam proses penggilingan seperti mesin penggiling, dimana alat ini digunakan untuk menggiling sampai halus, selain penggiling juga diperlukan ember dan sendok. 2. Proses Pembuatan Bumbu Giling

Tata cara pengolahan cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe menjadi produk bumbu giling meliputi langkah-langkah kerja sebagai berikut:

1. Menyiapkan bahan-bahan yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe segar yang telah melalui tahap-tahap penanganan pascapanen. 2. Bahan-bahan tersebut dibersihkan, membuang bagian yang tidak diperlukan

kemudian dicuci hingga bersih.

(71)

4. Dari masing-masing bahan yang sudah halus tersebut, setiap hasil penggilingan ditampung dalam wadahnya masing-masing sambil diaduk rata (Survey, 2016).

2.2 Keamanan Pangan

Menurut PP RI No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

Keamanan pangan merupakan masalah kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologik, toksisitas kimiawi dan status gizi. Hal ini saling berkaitan, dimana pangan yang tidak aman akan mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah terhadap status gizinya.

(72)

13

2.3 Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan. Bahan tambahan pangan ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat. Bahan tambahan pangan pada umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan di uji lama sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ada. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai aturan yang diperlukan untuk mengatur pemakaian bahan tambahan pangan secara optimal (Syah, 2005).

Bahan tambahan pangan merupakan bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponenkhas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2009).

Menurut Permenkes RI No.033 tahun 2012, bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (Depkes, 2012) :

(73)

b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.

c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

2.3.1 Tujuan dan Fungsi Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Pada umumnya tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Secara khusus tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah (Syah, 2005) :

1. Mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.

2. Membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak di mulut. 3. Memberi warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera. 4. Meningkatkan kualitas pangan.

(74)

15

Disamping tujuan penggunaannya , secara umum fungsi penambahan dari bahan tambahan pangan tersebut adalah (Saparinto dan Hidayati, 2006) :

1. Memperbaiki daya tahan makanan agar tidak mengalami perubahan struktur kimia atau pembusukan, misalnya anti oksidan.

2. Memperbaiki rasa dan warna.

3. Menambah gizi makanan dan vitamin.

Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila (Cahyadi, 2009) :

1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan.

2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan.

3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan.

4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan. 2.3.2 Jenis Bahan Tambahan Pangan

Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis di bawah ambang batas yang telah ditentukan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1. Sengaja ditambahkan (Direct Additives atau Intentional food)

(75)

Untuk hal ini dibagi dalam 3 kategori :

1) Bersifat aman atau GRAS (Generally Recognize As Safe), dengan dosis yang relatif tidak dibatasi, misalnya: pati (sebagai pengental).

2) Bahan tambahan pangan yang boleh digunakan namun harus mendapatpersetujuan dari instansi yang berwenang (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan). Misalnya, zat warna yang sudahdilengkapi sertifikat dari negara asalnya bahwa aman dan boleh digunakanpada makanan (Diluar daftar Permenkes RI No.033 tahun 2012).

3) Bahan tambahan pangan yang digunakan dengan dosis tertentu, dimana untuk menggunakannya ditentukan dosis maksimum sesuai Permenkes RI No.033 tahun 2012.

2. Tidak sengaja ditambahkan (Indirect Additives atau Incidental food Additives) Merupakan bahan tambahan pangan yang tanpa sengaja masuk pada rantai makanan, penyebabnya timbul dari berbagai akibat penyimpangan dalam produksi, pembuatan, cara kerja, pengemasan maupun pemasaran makanan.

Beberapa bahan kimia ikutan yang dapat menimbulkan indirect additives ialah (Fardiaz, 2007) :

(76)

17

2) Bahan tambahan pangan atau obat-obatan yang diberikan pada makanan ternak, berupa antibiotik, hormon dan lain-lain. Umumnya terbawa padaproduk daging, telur dan susu.

3) Unsur-unsur bahan pengemas yang terlepas pada makanan.

4) Zat pencemar yang berasal dari proses pengolahannya, misalnya: minyak pelumas yang digunakan pada mesin pembuat makanan.

Berdasarkan Permenkes RI No.033 tahun 2012, terdapat penggolongan bahan tambahan pangan yaitu bahan tambahan pangan yang diizinkan dan bahan tambahan pangan tidak diizinkan. Terdapat 27 golonganbahan tambahan pangan yang diizinkan digunakan dalam pangan, dan 19 bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan digunakan dalam pangan karena bersifat karsinogenik (Lampiran 1) (Depkes, 2012).

2.4 Bahan Pewarna Pangan

Menurut International Food Information Council Foundation (IFIC) 1994, pewarna pangan adalah zat yang digunakan untuk memberikan atau meningkatkan warna suatu produk pangan, sehingga menciptakan image tertentu dan membuat produk lebih menarik. Definisi yang diberikan oleh Depkes 1999 lebih sederhana, yaitu bahan tambahan pangan (BTP) dapat memperbaiki atau memberi warna pada pangan (Wijaya, 2011).

(77)

juga ditemukan pada berbagai yang dibuat oleh industri besar. Hampir setiap makanan olahan ditambahkan pewarna sintesis mulai dari jajanan anak, tahu, kerupuk, terasi, cemilan bahkan buah dingin terutama mangga (Yuliarti, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2009)tentang

penggunaan pewarna sintetis padasaus cabe yang dipasarkan di pasar tradisional

Kota Medan, menunjukkan bahwa dari 18 sampel yang diuji, terdapat 14 sampel

yang positif menggunakan zat pewarna sintetis. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Nasution (2009) terhadap cabe giling yang beredar di pasar tradisional Kota Medan, menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji terdapat 1 sampel dari pasar sentral yang positif menggunakan zat pewarna sintetis yaitu Rhodamin B. Penelitian yang sama juga Mujianto dkk (2013) terdapat Rhodamin B dalam 4 sampel dari 36 sampel cabe giling, penelitian Putra dkk (2014) menunjukkan bahwa dari 25 sampel saus cabai sebanyak 10 sampel mengandung Rhodamin B dan 15 sampel mengandung pewarna sintetis yang diizinkan penggunaannya yaitu Erytrosin yang semua sampel melebihi kadar yang diperbolehkan.

(78)

19

2.4.1 Jenis Bahan Pewarna Pangan

Menurut Cahyadi (2009), berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu :

1. Pewarna alami, tanaman dan hewan memiliki warna menarik yang dapat digunakan sebagai pewarna alami pada makanan. Contoh: kunyit, paprika, bit yang digunakan sebagai pewarna pada bahan pangan yang aman dikonsumsi. 2. Pewarna sintetis merupakan zat warna yang dibuat melalui perlakuan

pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Sebelum mencapai produk akhir, pembuatan zat pewarna organik harus melalui senyawa antara yang cukup berbahaya dan senyawa tersebut sering tertinggal dalam produk akhir atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya.

Yang menjadi perbedaan antara zat pewarna sintetik dan alami adalah

1 Warna yang dihasilkan Lebih cerah Lebih homogen

5 Kestabilan Stabil Kurang stabil

Sumber : Cahyadi (2009)

(79)

Tabel 2.2 Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia No. Nama BTP Pewarna sintetis (Synthetic colour) INS 1 Tartrazin CI. No. 19140 Tartrazine 102 2 Kuning kuinolin CI. No. 47005 Quinoline yellow 104 3 Kuning FCF CI. No. 15985 Sunset yellow FCF 110 4 Karmoisin CI. No. 14720 (carmoisine) 122 5 Ponceau 4R CI. No. 16255 (Ponceau 4R) 124 6 Eritrosin CI. No. 45430 (Erythrosine) 127 7 Merah allura CI. No. 16035 (Allura red) 129 8 Indigotin CI. No. 73015 (Indigotine) 132 9 Biru berlian FCF CI No. 42090 (Brilliant blue FCF) 133 10 Hijau FCF CI. No. 42053 (Fast green FCF) 143 11 Coklat HT CI. No. 20285 (Brown HT) 155

Sumber: Permenkes RI No.033 tahun 2012

Peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang dilarang untuk pangan di Indonesia diatur melalui Permenkes RI No.033 tahun 2012 mengenai bahan tambahan pangan (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia

No. Bahan Pewarna Nomor Indeks

(80)

21

Penggunaan zat pewarna yang tidak dizinkan diatas dapat meimbulkan bahaya bagi konsumen, seperti menyebabkan gangguan pada fungsi hati bahkan kanker hati.

2.4.2 Dampak Bahan Pewarna Pangan Terhadap Kesehatan

Menggunakan bahan pewarna sintetis dalam makanan walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat membuat suatu makanan lebih menarik, meratakan warna makanan dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Beberapa hal yang mungkin memberikan dampak negatif tersebut terjadi apabila (Cahyadi, 2009) :

1. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil namun berulang. 2. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu yang lama.

3. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda, yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari-hari dan keadaan fisik.

4. Berbagai lapisan masyarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan.

5. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan.

(81)

sutra. Penyalahgunaan Rhodamin B banyak ditemui pada makanan dan minuman seperti es cendol, permen, saus tomat dan kue. Pengaruh buruk Rhodamin B bagi kesehatan antara lain menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, mata, kulit, dan saluran pencernaan serta berpotensi menimbulkan terjadinya kanker hati (Wijaya, 2011).

Bahan pewarna sintetis yang juga dilarang di Indonesia yang didasarkan pada Permenkes RI No.033 tahun 2012yaitu methanyl yellow karena pewarna ini hanya digunakan untuk pewarna industri tekstil (kain), kertas dan cat, tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan untuk pangan. Methanyl yellow dengan senyawa azo yang bersifat karsinogenik dapat menyebabkan timbulnya gangguan saluran pencernaan, serta dalam jangka waktu lama dapat merusak jaringan hati (Pertiwi, 2013).

(82)

23

2.5 Bahan Pengawet Pangan

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Penggunaan pengawet dalam bahan pangan harus tepat, baik jenis dan dosisnya. Bahan pengawet pangan adalah senyawa yang mampu menghambat, memperlambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan(Cahyadi, 2009).

Menurut Permenkes RI No.033 tahun 2012, pengawet (preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme.Menurut Hermita (2010), pengawet makanan termasuk dalam kelompok zat tambahan pangan yang bersifat inert secara farmakologik atau efektif dalam jumlah kecil dan tidak toksis. Pengawet penggunaannya sangat luas, hampir seluruh industri menggunakannya termasuk industri makanan, kosmetik dan farmasi.

Jika pemakaian zat pengawet dan dosisnya tidak sesuai dengan aturan, kemungkinan besar akan merugikan manusia baik bersifat langsung misalnya keracunan ataupun bersifat tidak langsung misalnya zat pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik. Pengawet yang banyak dijual dipasaran yang digunakan di berbagai makanan seperti: saus, mie basah, jelly, minuman ringan dan lain-lain pada umumnya adalah Natrium Benzoat (Siaka, 2009).

(83)

tomat mengandung pengawet (benzoat) yang melebihi standar mutu yang ditentukan (1000 mg/kg), yaitu berkisar 1100 – 1300 mg/kg, penelitian yang sama yang dilakukan Sella (2013) menunjukkan pada sempel saos tomat J yang beredar di pasar tradisional Kota Blitar mengandung pengawet (benzoat) yang melebihi standar mutu yang ditentukan (1000 mg/kg), yaitu 2240 mg/kg. Dari hasil penelitian yang dilakukan olehMujianto dkk (2013) pada bumbu giling di pasar tradisional Kota Jakarta, ditemukan dari 112 sampel bumbu giling, 84 diantaranya dinyatakan positif mengandung boraks. Penelitian Silalahi dkk (2012) melaporkan di Kota Medan didapati adanya kandungan boraks pada jajanan bakso, bahwa 80% dari sampel yang diperiksa ternyata mengandung boraks. Kadar boraks yang ditemukan berkisar antara 0,08-0,29% dari berbagai lokasi yang diteliti.

Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa terlihat masih banyak pengawet yang beredar dan digunakan sebagai pengawet dalam berbagai produk makanan dan minuman, meskipun diizinkan namun masih juga terdapat penggunaan kadar yang melebihi batas dan penggunaan jenis pengawet yang dilarang, ini merupakan contoh beberapa kasus penggunaan zat pewarna yang belum diawasi secara penuh oleh BPOM.

2.5.1 Jenis Bahan Pengawet Pangan

Dibawah ini terdapat dua jenis bahan pengawet pangan yaitu (Cahyadi, 2009) :

1. Zat pengawet anorganik

Gambar

Tabel Daftar Zat pengawet yang Diizinkan di Indonesia Berdasarkan Kategori Pangan
Tabel Daftar Zat Pewarna yang Diizinkan di Indonesia Berdasarkan Kategori Pangan
Tabel Daftar Zat Penguat Rasa yang Diizinkan di Indonesia Berdasarkan Kategori Pangan
Gambar 1. Penimbangan Sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Studi Kandungan Bahan Pengawet Dan Pewarna Sintesis Pada Berbagai Bumbu Giling Di Pasar Kota Malang Sebagai Sumber Belajar Biologi.. Diajukan untuk

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ ANALISIS KANDUNGAN ZAT PEMANIS, ZAT PEWARNA DAN ZAT PENGAWET PADA SELAI BUAH YANG TIDAK BERMEREK YANG DIJUAL DI

Selain itu, peneliti ingin mengetahui selain formalin sebagai bahan pengawet apakah zat pewarna sintetis juga terdapat pada mie sagu yang di jual di pasar

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ ANALISIS KANDUNGAN ZAT PEMANIS, ZAT PEWARNA DAN ZAT PENGAWET PADA SELAI BUAH YANG TIDAK BERMEREK YANG DIJUAL DI

Tabel jenis pewarna sintesis yang diizinkan pada produk makanan dan batas

Penelitian zat pewarna sintetis Rodamin B pada sambal botol yang diperdagangkan di Pasar Modern Kota Kendari khususnya pada Hypermart dan Mall Mandonga Kota

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan pewarna sintetis (Rhodamin B dan Guinea Green), pemanis sintetis (sakarin dan siklamat), serta kualitas

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi adanya bahan tambahan pewarna Rhodamin B di dalam jajanan yang dipasarkan di lingkungan sekolah SDN Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo