Lampiran 1
Tabel jenis pewarna alami pada produk makanan dan batas maksimum penggunaannya
No Jenis Pewarna Alami INS (Acceptable Dairy ADI Intake)
4. Klorofil CI No.75810 140 Tidak dinyatakan CPPB
5. Klorofil dan klorofilin
160d Tidak dinyatakan 1000 mg/kg
11
Tabel jenis pewarna sintesis yang diizinkan pada produk makanan dan batas maksimum
Lampiran 2. Tabel Zat Pewarna Tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya
3. Butter Yellow (C.I Solvent Yellow 2) 11020
4. Black 7984 (Food Vlack 2) 27755
5. Bum Unber (Pigment Brown 7) 77491
6. Chrysoidine (C.I. Basic Orange 2) 11270
7. Chrysoine S (C.I. Food Yellow 8) 14270
8. Citrus Red No.2 12156
9. Chocolate Brown FB (Food Brown 2) -
10. Fast Red E (C.I Food Red 4) 16045
11. Fast Yellow AB (C.I. Food Yellow 2) 13015 12. Indantherene Blue Rs (C.I.Food Blue 4) 69800 13. Guinea Green B (C.I Acid Green No.3) 42085
14. Magenta (C.I. Basic Violet 14) 42510
Lampiran 3. Tabel Daftar Zat pengawet yang diizinkan diIndonesia Berdasarkan Kategori Pangan
Sumber : Permenkes RI Nomor 33 Tahun 2012
Lampiran 4. Tabel zat pengawet makanan sintetik yang dilarang diIndonesia dan pengaruh terhadap kesehatan
Sumber : Permenkes No.1168/Menkes/Per/X/1999
Bahan Pengawet Produk Pangan Pengaruh terhadap kesehatan
Ca-benzoat Sari buah, minuman
ringan, minuman anggur manis, ikan asin
Dapat menyebabkan reaksi merugikan pada asmatis
Sulfur dioksida (SO2) Sari buah, cider, buah kering, sirup, kacang
Ca-/Na-propinoat Produk roti dan tepung Migran,kelelahan,kesulitan tidur
Na-metasulfat Produk roti dan tepung Alergi kulit
Asam sorbat Produk jeruk,pikel,keju
dan salad
Pelukaan kulit
Natamysin Produk daging dan keju Dapat menyebabkan
mual,muntah,tidak nafsu makan, diare dan pelukaan kulit
K-asetat Makanan asam Merusak fungsi ginjal
Lampiran 6. Contoh Perhitungan Harga Rf Zat Warna Pada Selai
Diketahui
Jarak titik pusat bercak dari titik awal = 1,5 cm
Jarak tempuh fase gerak dari titik awal = 14 cm
Rumus :
Rf = Jarak titik pusat bercak dari titik awal
Jarak titik tempuh fase gerak dari titik awal
Maka Rf = 1,5 = 0,12
14
Lampiran 9. Contoh Perhitungan Kadar Zat Pewarna Pada Selai Buah Tidak Bermerek
Diketahui : a (berat benang wool sebelum perlakuan) = 0,1065 b (berat benang wool sesudah perlakuan) = 0,1123 berat sampel = 10 gr
berat sampel yang digunakan saat pemeriksaan = 100 gr
Rumus :
Kadar Zat Pewarna = b - a Berat sampel
= 0,1123 – 0,1065 10 gr = 0,00058 gr
Kadar Zat Pewarna = 100 x 0,00058 gr 10
= 0,0058 gr
Terdapat 0,0058 dalam setiap 100 gr selai buah Maka dalam 1 kg = 1000 x 0,0058 gr
100 = 0,058 gr/kg = 58 mg/kg
Lampiran 10. Contoh Perhitungan Kadar Natrium Benzoat Pada Selai Buah Tidak Bermerek
Diketahui : Vs (Volume titrasi sampel) = 0,4 Vb (Volume titrasi blanko) = 0,1 N (Normalitas NaOH yang dipakai = 0,1
BM Na-Benzoat = 144
B ( Berat sampel (mg) ) = 5019,2 mg
Rumus : (Vs – Vb) x N x BM Na-Benzoat x 100% B (mg)
: (0,4 – 0,1) x 0,1 x 144 x 100% 5019,2 mg
: 0,0860 %
Dikonversikan : 0,0860 x 5019,2 = 4,3165 mg/mg 100
: 4,31 mg x 106 mg/kg 5019,2 mg
: 0,000858 x 106 mg/kg : 859,99 mg/kg = 860 mg/kg
Lampiran 11. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Proses Pemanasan sampel di penangas air (waterbath)
Gambar 3. Proses pemanasan sampel untuk pemeriksaan sakarin yang ditambahkan 5 ml NaOH 5%
Gambar 5. Sampel dan bulu domba dalam Labu Erlenmeyer 250 ml dengan larutan asam asetat 10%
Gambar 7. Bulu domba berisi zat pewarna yang telah melekat
Gambar 9. Kertas Whatman yang telah ditotol residu pewarna dimasukkan kedalam chamber yang berisi eluen G
Gambar 11. Sampel hasil pemanasan berisi uap yang melekat pada kapas (untuk mengetahui ada tidaknya natrium benzoat)
Gambar 13. Proses penguapan lapisan ether di penangas air hingga kering
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yaitu
menganalisis jenis dan kadar zat pemanis, zat pewarna dan zat pengawet pada selai buah
yang tidak bermerek yang dijual dibeberapa pasar tradisional Kota Medan tahun 2016.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada selai buah yang ada dijual di Pasar Helvetia, Pasar
Kampung Lalang, Pasar Setia Budi, Pasar Simpang Limun dan Pasar Aksara. Alasan
pemilihan lokasi pengambilan sampel adalah hanya pasar-pasar ini menjual produk selai
buah. Pasar tersebut merupakan tempat umum yang banyak dikunjungi oleh masyarakat
dan juga tempat dimana penjual banyak menjual jenis produk makanan. Pasar-pasar ini
sudah mewakili beberapa pasar tradisional yang ada di Kota Medan. Kemudian pemeriksaan
zat pemanis, zat pewarna dan zat pengawet pada selai buah dilakukan di Laboraturium
Kesehatan Daerah dengan alasan memiliki bahan dan alat yang lengkap dan memiliki SOP
(Standar Operasional Prosedur).
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2016.
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalahselai buah yang tidak bermerek yang terdiri dari
rasa strawberry, blueberry, nanas yang beredar di Pasar Helvetia, Pasar Kampung Lalang,
Pasar Setia Budi, Pasar Simpang Limun dan Pasar Aksara.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian yang di ambil adalah selai buah dengan rasa strawberry,
blueberry, dan nanas berasal dari kelima pasar tradisional dengan cara membeli sampel
seperti pembeli lainnya yang berasal dari pedagang yang berbeda dalam satu pasar.
Sehingga semuanya berjumlah lima belas selai buah yang tidak bermerek yang akan
dianalisis. Pemilihan sampel di ambil secara purposive sampling yaitu selai rasa
strawberry, blueberry, dan nanas karena selai buah tersebut banyak ditemukan dan dijual
dengan harga yang murah, dan memiliki karakterisktik yang berbeda dari selai lainnya
dilihat dari organoleptiknya memiliki rasa manis, warna yang mencolok dan daya tahan
penyimpanan yang cukup lama serta paling banyak di minati oleh konsumen.
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pemeriksaan
Laboraturium Kesehatan Medan terhadap jenis dan kadar zat pemanis, zat pewarna dan
zat pengawet yang terkandung didalam selai yang tidak bermerek yang dijual di beberapa
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder meliputi data yang berhubungan dengan substansi yang diperoleh dari
literatur - literatur yang menjadi bahan masukkan bagi peneliti dan sangat relevan untuk
mendukung pnelitian ini.
3.5 Defenisi Operasional
1. Selai adalah produk pangan yang berasal dari buah-buahan yang dihancurkan kemudian
dicampur dengan gula dan bahan tambahan pangan.
2. Zat pemanis adalah bahan tambahan makanan berupa sakarin dan siklamat yang
digunakan pada makanan untuk memberi rasa manis pada selai buah. Dengan batas
kadar penggunaan maksimum pada sakarin sebesar 200 mg/kg dan siklamat sebesar
1000 mg/kg.
3. Zat pewarna adalah bahan tambahan makanan berupa amaranth, indigotine dan tartazine
digunakan untuk memberi atau memperbaiki warna pada selai buah agar terlihat
menarik. Dengan batas kadar penggunaan 300 mg/kg (amaranth), 70 mg/kg (indigotine)
dan 300 mg/kg (tartazine) untuk kategori selai buah.
4. Zat pengawet adalah bahan tambahan makanan berupa natrium benzoat digunakan untuk
menghambat atau menghentikan aktivitas mikroorganisme dan memperpanjang daya
simpan pada produk selai buah. Dengan batas kadar penggunaan 1000 mg/kg untuk
kategori selai buah.
5. Uji kualitatif adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan mengetahui ada tidaknya
pemanis seperti sakarin dan siklamat, zat pewarna seperti amaranth, indogotine dan
6. Uji kuantitatif adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui kadar zat
pemanis, zat pewarna dan zat pengawet yang terdapat dalam selai buah.
7. Memenuhi syarat/ tidak memenuhi syarat adalah apabila zat pemanis, zat pewarna dan
zat pengawet kadarnya yang diperiksa sesuai atau tidak sesuai dengan Permenkes
033/Menkes/Per/XI/12 Tentang Bahan TambahanPangan.
3.6 Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
3.7Penentuan Cara Pemeriksaan Siklamat
3.7.1 Analisis Secara Kualitatif Siklamat Pada Selai Buah
Pemeriksaan analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan
siklamat dengan metode pengendapan (SNI 01-2893-1992), adapun prosedur kerja
pemeriksaan ini adalah sebagai berikut : Selai Buah
(Strawberry, blueberry, nanas) Pemeriksaan
Laboratorium Zat Pemanis Zat Pewarna Zat Pengawet
Uji Kualitatif
(Memenuhi /tidak memenuhi syarat)
Uji Kuantitatif
1. Bila sampel bentuk padatan, timbang 50 gr. Lalu masukkan ke dalam tabung reaksi 100
ml tambahkan 50 ml aquadest, saring atau filtrat test. disaring dengan kertas Whatman
berukuran 15cm x 15cm.
2. Kemudian tambahkan 10 ml HCl 10% dan 10 ml BaCl2 10%, biarkan selama 30 menit
lalu, tambahkan NaNO2 10% 10 ml
3. Dipanaskan diatas penangas air pada suhu 100 – 125oC. Jika setelah dipanaskan
berupa endapan putih berarti sampel mengandung siklamat.
3.7.2 Analisis Secara Kuantitatif Siklamat Pada Selai Buah
Pemeriksaan secara kualitatif dilakukan untuk menentukkan kadar yang digunakan
bila sampel terbukti menggunakan siklamat pada selai buah diperiksa dengan metode
kurva kalibrasi spektrofotometri UV (Cahyadi, 2006) :
a. Prosedur kerja analisis kuantitatif kadar siklamat adalah sebagai berikut :
1. Dipipet sejumlah 50 ml sampel dimasukkan kedalam corong pisah pertama. Lalu,
tambahkan 2,5 ml asam asetat pekat
2. Setelah dingin, dikocok selama 2 menit. Dipisahkan lapisan etil asetat dan ambil 40
ml, bagian yang jernihnya. Lalu, masukkan kedalam corong pisah ke-II.Dikocok 3
kali dengan 15 ml air
3. Dikumpulkan lapisan air, lalu dimasukkan kedalam corong pisah ke-III.
Ditambahkan 1 ml natrium hidroksida 10 N, 5 ml sikloheksan dan dikocok selama 1
menit.
4. Dipisahkan lapisan air dan dimasukkan kedalam corong pisah ke-IV, ditambahkan
2,5 ml asam sulfat 30%, 5 ml sikloheksan, 5 ml larutan hiploklorit yang mengandung
3.8 Penentuan Cara Pemeriksaan Sakarin
3.8.1 Analisis Secara Kualitatif Sakarin Pada Selai Buah
Pemeriksaan analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan
siklamat dengan metode pereaksi ekstraksi uji warna dengan melihat ada atau tidak
terjadinya warna ungu pada sampel yang diperiksa. Adapun prosedur kerja pemeriksaan
sakarin yaitu :
1. Timbang sampel selai buah 15 gr, larutkan dalam 5 ml NaOH 5%
2. Residu dipanaskan, angkat lalu didinginkan
3. Setelah residu dingin, larutkan dalam 10 ml HCl 13%
4. Kemudian tambahan setetes FeCl3 1%
Apabila larutan berwarna ungu menunjukkan adanya asam salisilat yaitu terbentuk sakarin
pada sampel selai buah yang diperiksa.
3.8.2 Analisis Secara Kuantitatif Sakarin Pada Selai Buah
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui kadar sakarin yang terdapat pada sampel selai buah jika sampel terbukti mengandung sakarin. Pemeriksaan dilakukan melalui titrasi
asam basa. Adapun prosedur kerjanya sebagai berikut :
1. Timbang 15 gr sampel yang sudah dihomogenkan, masukkan kedalam corong pisah
dengan bantuan 50 ml aquadest. Tambahkan 5 ml HCl 3N. Ekstraksi endapan sakarin
dengan larutan kloroform : etanol (9:1) kocok sampai 15 menit. Pisahkan kedalam
Erlenmeyer ( lapisan kloroform berada dibagian bawah).
2. Tambahkan 15 ml kloroform : etanol kedalam corong pisah, kocok lagi dan pisahkan
3. Hasil penyaringan klorofrom : etanol lalu dimasukkan kedalam corong pisah yang lain,
tambahkan 50 ml akuades lalu diaduk. Pisahkan lapisan kloroform ke dalam erlenmeyer
lalu kerinkan diatas penangas air.
4. Setelah kering tambahkan 50 ml akuades dan 5 tetes indicator BTB (Brown Thymol
Blue)
5. Titrasi dengan NaOH 0,1 N terjadi perubahan warna menjadi biru
Perhitungan kadar sakarin (%) : VxNx18,32x100%
B/Vs
Keterangan :
V = Volume pentiter (ml) N = Normalitas NaOH B = Berat Sampel (gram) Vs= Volume Sampel (ml)
3.8 Penentuan Cara Pemeriksaan Zat Pewarna
3.8.1 Analisis Secara Kualitatif Jenis Zat Pewarna Pada Selai Buah
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui jenis zat pewarna yang digunakan dalam
selai buah yang akan diperiksa melalui metode kromatografi kertas (SNI, 01-2895-1992).
Dilihat dengan cara mengukur nilai Rf dari masing-masing bercak dengan cara membagi
jarak titik pusat bercak dari titik penotolan oleh jarak rambat eluen dari titik penotolan.
Prosedur kerja metode kromatografi kertas yaitu :
1. Ambil dan ukur 10 gr sampel selai roti, kemudian masukkan kedalam gelas kimia 100
ml.
2. Tambahkan10 ml asam asetat 10% kemudian masukkan bulu domba, didihkan selama
3. Bulu domba dipisahkan dari larutan dan dicuci dengan air dingin berulang - ulang hingga
bersih.
4. Pewarna dilarutkan dengan bulu domba dan ditambahkan ammonia 10 % di atas
pemanas air hingga sempurna.
5. Bulu domba dicuci lagi dengan air hingga bebas dari ammonia. Larutan yang didapat,
diteteskan diatas kertas kromatografi dengan menggunakan pipet kapiler dan biarkan
mengering
6. Setelah itu kertas kromatografi dimasukkan kedalam bejana (Chamber) yang sudah
mengandung larutan eluen(pilih salah satu eluen yang cocok). Kemudian bejana ditutup
kemudian biarkan dua sampai tiga jam. Jarak rambatan elusi 10 cm dari tepi bawah
kertas. Elusi dengan eluen G (encerkan 5 ml ammonia pekat dengan air suling hingga
100 ml tambahkan 2 gr trinatrium sitrat dan larutankan).
7. Setelah cairan naik setinggi batas jarak rambat, angkat dari chamber. Keringkan kertas
kromatografi diudara pada suhu kamar. Amati bercak-bercak yang timbul.
8. Perhitungan penentuan zat warna dapat dilakukan dengan cara mengukur nilai Rf dari
masing–masing bercak tersebut, dengan cara membagi jarak gerak zat terlarut oleh jarak
gerak zat pelarut (Cahyadi, 2006).
Rf = Jarak gerak zat terlarut
Jarak gerak zat pelarut
3.8.2 Analisis Secara Kuantitatif Kadar Pewarna Pada Selai Buah
Pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan untuk menetapkan kadar zat pewarna yang
melakukan penimbangan terhadap benang wool sebelum dan sesudah perlakuan. Prosedur
kerja metode gravimetri pada selai :
1. Benang wool (+20 cm) dicuci dengan n-Hexana, lalu dikeringkan dalam oven dan
didinginkan dalam desikator dan timbang (berat a).
2. 10 gr sampel selai dimasukkan kedalam gelas ukur dan ditambah 10 ml larutan KHSO4
10% dan air bersih 200 CC.
3. Dimasukkan benang wool yang sudah ditimbang ke dalam larutan sampel lalu
dididihkan selama 30 menit.
4. Benang wool diangkat dan dicuci dengan air yang mengalir.
5. Benang wool dikeringkan selama 60 menit dan di oven dan ditimbang kembali (berat b)
dan dihitung selisih berat benang wool sebelum dan sesudah perlakuan, itulah sebagai
kadar zat warna.
6. Perhitungan kadar zat pewarna yang digunakan adalah sebagai berikut :
Kadar zat warna = b - a
Berat Sampel
Ket : a = berat benang wool sebelum perlakuan
b = berat benang wool sesudah perlakuan
3.9 Penentuan Cara Pemeriksaan Zat Pengawet
3.9.1 Analisis Kualitatif Natrium Benzoat Pada Selai Buah
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan natriu benzoate
pada selai buah yang akan diperiksa melalui metode esterifikasi. Adapun prosedur kerja
1. Masukkan 10 gr sampel selai buah kedalam tabung reaksi (pyrex), tambahkan
aquadest secukupnya, lalu aduk hingga rata dengan sendok pengaduk.
2. Tambahkan etanol 1 ml, H2SO4 1 ml. setelah itu panaskan diatas penangas air hingga
menguap. Suhu 100oC (<15 menit)
3. Setelah didapatkan uapnya, diamkan beberapa saat. Lalu dicium aroma uapnya, jika
sampel aromanya seperti pisang ambon atau afitson menunjukkan hasilnya positif.
3.9.2 Analisis Kuantitatif Natrium Benzoat Pada Selai Buah
Pemeriksaan dilakukan untuk menetapkan kadar natrium benzoat pada selai buah
melalui metode ekstraksi dengan prinsip titrasi. Adapun prosedur kerja pemeriksaan ini
sebagai berikut :
1. Timbang ± 5 gr sample selai buah masukkan kedalam corong pisah, tambahkan 50 ml
aquadest. Cek pH, buat pH ˂6 dengan menambahkan beberapa tetes H2SO4 4N.
2. Tambahkan 25 ml ether, kocok selama ± 15 menit, lapisan ether dipisahkan, lakukan
ekstraksi 2x lagi dengan menggunakan 15 ml ether tiap penyaringan.
3. Kumpulkan lapisan ether lalu diuapkan diatas penangas air hingga kering kedalam sisa
sari ether ditambahkan 10 ml etanol netral dan 50 ml aquadest.
4. Teteskan 3-5 tetes indikator PP. kemudian titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga
terjadi warna merah jambu. Lakukan titrasi blanko
5. Perhitungan kadar natrium benzoat(%): (Vs-Vb)xNxBM Na-Benzoat x 100%
B(mg)
Keterangan :
Vb = Volume titrasi blanko Vs = Volume titrasi sampel
3.10 Metode Analisis Data
Analisis data yang dilakukan secara deskriptif yaitu jenis dan kadar zat pemanis, zat
pewarna dan zat pengawet yang didapat dari hasil pemeriksaan laboraturium secara
kualitatif dan kuantitatif kemudian akan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan
dijelaskan dalam bentuk narasi, pembahasan serta diambil kesimpulan. Kemudian hasil
tersebut di bandingkan dengan Permenkes RI No.033 /Mekes/Per/XI/2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan. Dari hasil pemeriksaan tersebut diketahui apakah selai buah tidak
bermerek yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi oleh
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Penelitian
Kota Medan adalah ibukota provinsi Sumatera Utara yang merupakan salah satu
kota di Indonesia dengan jumlah penduduk 2.191.140 jiwa. Terletak di antara kabupaten
Deli Serdang dan terletak 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Adapun luasnya adalah
±265,10 km2 atau 0,37 persen dari total luas daratan Provinsi Sumatera Utara (BPS Kota
Medan, 2015).
Kota Medan merupakan kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia yang
memiliki 53 pasar tradisional yang secara langsung maupun tidak langsung dikelola oleh
Perusahaan Daerah Pasar Kota Medan (PDPKM) dengan jumlah pedagang sebanyak 20.144
orang.
Pasar Helvetia, Pasar Pringgan, Pasar Kampung Lalang, Pasar Simpang Limun dan
Pasar Aksara dipilih sebagai lokasi penelitian. Kelima pasar tradisional ini banyak
dikunjungi oleh masyarakat karena menyediakan kebutuhan hidup masyarakat banyak, baik
untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder seperti beras, ikan, daging,
sayur-mayur, buah-buahan, pakaian dan lain-lain. Segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat
dengan mudah dapat ditemukan di pasar tradisional yang menyediakan segalanya yang
dibutuhkan termasuk produk selai buah.
Gambar 4.1 Selai Buah Tidak Bermerek (a) Rasa Nanas, (b) Strawberry, (c) Blueberry dan (d) Coklat
Selai buah merupakan salah satu produk pangan semi basah olahan buah-buahan
yang cukup dikenal dan disukai masyarakat dari semua golongan umur dari anak-anak
hingga orang dewasa. Selai buah dapat ditemukan di berbagai tempat termasuk pasar
tradisional, tetapi tidak semua pasar yang menjual selai buah tidak bermerek. Pasar
Helvetia, Pasar Pringgan, Pasar Kampun Lalang, Pasar Simpang Limun dan Pasar Aksara,
kelima pasar ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena hanya kelima pasar ini yang
menjual produk selai buah yang tidak bermerek.
Selai buah yang dijual di kelima pasar tersebut berasal dari industri rumah tangga
dan import, kemudian dijual atau diedarkan melalui penjual toko roti ataupun toko makanan
yang ada didalam pasar tradisional maupun berada disekitar pasar tradisional. Toko roti
ataupun toko makanan tersebut menjual berbagai macam selai buah seperti rasa strawberry,
blueberry, nanas, coklat, srikaya dan pandan. Selai buah tidak bermerek dikemas dengan
plastik ukuran 250-500 gram dan dijual dengan harga yang relatif murah.
Sampel yang akan dijadikan objek penelitian yaitu selai buah rasa strawberry,
blueberry dan nanas karena selai rasa ini lebih diminati masyarakat dan memiliki
daya simpan yang cukup lama. Sampel ini diambil dengan cara membeli produk selai buah
tidak bermerek sebanyak 250 gram yang terdiri rasa strawberry, blueberry dan nanas yang
berasal dari kelima pasar tradisional yang telah disebutkan. Sehingga semua sampel
berjumlah lima belas selai buah.
Gambar 4.2 Lima Belas Sampel Selai Buah Tidak Bermerek (a) Rasa Strawberry, (b) Blueberry dan (c) Nanas
Pemeriksaan bahan tambahan makanan dilakukan pada lima belas sampel selai
buah yang tidak bermerek untuk mengetahui jenis dan kadar yang terdapat pada sampel,
terdiri dari rasa strawberry, blueberry dan nanas. Pemeriksaan zat pemanis seperti siklamat
dan sakarin, zat pewarna seperti tartazine, amaranth, indigotine dan zat pengawet seperti
natrium benzoat telah dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Medan, kemudian
hasilnya dibandingkan dengan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
4.2 Hasil Pemeriksaan Zat Pemanis Siklamat Pada Selai Buah 4.2.1 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Siklamat
Pemeriksaan zat pemanis berupa siklamat pada lima belas sampel selai buah tidak bermerek dilakukan melalui metode pengendapan dengan melihat ada atau tidaknya
endapan putih pada sampel yang diperiksa.Hasil pemeriksaan kualitatif dari Laboratorium
Kesehatan Daerah Medan dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini :
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Siklamat Pada Selai buah tidak Bermerek yang dijual di beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016.
Dari tabel 4.1 diketahui bahwa dari lima belas sampel yang diperiksa terdapat satu
sampel selai buah yang tidak bermerek yang mengandung siklamat yaitu sampel C3 selai
buah rasa nanas terdapat endapan putih yang diperoleh dari Pasar Kampung Lalang. Empat
belas sampel lainnya yang tidak mengandung siklamat kemungkinan menggunakan zat
pemanis alami seperti sukrosa.
4.3 Hasil Pemeriksaan Zat Pemanis Sakarin Pada Selai Buah 4.3.1 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Sakarin
Pemeriksaan zat pemanis buatan berupa sakarin pada lima belas sampel selai buah tidak bermerek melalui metode pereaksi ekstraksi uji warna. Hasil pemeriksaan secara kualitatif dari Laboratorium Kesehatan Daerah Medan, dapat dilihat dari tabel 4.2 dibawah :
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Sakarin Pada Selai buah tidak mermerek yang Dijual di beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016.
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui dari lima belas sampel yang diperiksa menunjukkan
bahwa tidak satupun sampel yang mengalami perubahan warna ungu yang berarti tidak
ditemui adanya kandungan zat pemanis berupa sakarin pada selai buah yang tidak bermerek.
Kemungkinan sebagian besar sampel menggunakan pemanis alami berupa gula tebu atau
sukrosa.
4.4 Hasil Pemeriksaan Zat Pewarna Pada Selai Buah Tidak Bermerek 4.4.1 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Zat Pewarna
Pemeriksaan zat pewarna pada lima belas sampel selai buah tidak bermerek melalui
metode kromatografi kertas, dari ekstraksi zat warna yang telah dipekatkan, kemudian
ditotolkan pada kertas kromatografi lalu dimasukkan kedalam bejana yang berisi eluen G
untuk dielusi selama ± 1-2 jam, setelah itu kromatografi diangkat dan dikeringkan dengan
cara diangin-anginkan. Bercak yang tampak dilihat secara visual langsung atau
menggunakan sinar UV. Setelah itu dihitung nilai Rf yang terdapat pada kertas Whatman
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Zat Pewarna pada Selai Buah tidak Bermerek yang dijual di beberapa pasar tradisional Kota Medan Tahun 2016
Keterangan :
pewarna terdapat dua belas sampel terbukti menggunakan pewarna sintesis, dimana terdapat
satu sampel terbukti menggunakan zat pewarna yang dilarang seperti sampel A1
menggunakan Ponceau 3R. Sebelas sampel terbukti menggunakan zat pewarna sintesis yang
diizinkan. Tiga sampel diantaranya menggunakan dua jenis zat pewarna dalam satu bahan
yaitu sampel A2 dan D2 menggunakan kombinasi warna indigotin dan violet BNP dan E3
menggunakan kombinasi warna Naphatol Yellow dan Tartazine. Tiga sampel lainnya yang
4.4.2 Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Zat Pewarna
Pemeriksaan zat pewarna sintesis berupa kadar yang digunakan pada 15 sampel selai
buah tidak bermerek melalui metode gravimetri dengan prinsip uji penimbangan berat
benang wool sebelum dan sesudah perlakuan dibagi dengan berat sampel. Hasil
pemeriksaan secara kuantitatif dari Laboratorium Kesehatan Daerah Medan dapat dilihat
dari tabel 4.4 dibawah ini:
Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Zat Pewarna Pada Selai buah tidak Bermerek yang Dijual di beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016
Keterangan :
diperiksa, satu sampel mengandung zat pewarna yang dilarang menggunakan kadar sebesar
yang melebihi ambang batas yaitu sampel B2 sebesar 81 mg/kg, sampel C1 119 mg/kg,
sampel C2 77 mg/kg, sampel D1 309 mg/kg. Kadar sampel selai buah lainnya memenuhi
syarat sesuai Permenkes RI No.033/ Menkes/Per/XI/ 2012 tentang Bahan Tambahan
Pangan. Batas maksimum pengguaan untuk indigotin sebesar 70mg/kg. tartazine, amaranth
dan karmoisin sebesar 300 mg/kg dan eritrosin sebesar 100 mg/kg untuk kategori selai buah.
4.5 Hasil Pemeriksaan Zat Pengawet Pada Selai Buah
4.5.1 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Natrium Benzoat
Pemeriksaan natrium benzoat pada lima belas sampel selai buah tidak bermerek dilakukan melalui metode esterifikasi, dengan menggunakan indra penciuman ada atau tidaknya aroma khas antara afitson atau pisang ambon pada sampel, bau khas ini merupakan hasil reaksi antara etanol dan asam sulfat. Hasil pemeriksaan secara kualitatif dari Laboratorium Kesehatan Daerah Medan dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini :
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Natrium Benzoat Pada Selai buah tidak Bermerek yang Dijual di beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016
No Kode
(Sampel dengan reaksi Esterifikasi) Hasil
1.
C1 Tidak Berbau Afitson /Pisang Ambon (-)
Keterangan : mengandung natrium benzoat. Sebagian sampel yang diperiksa diketahui tidak menggunakan natrium benzoat seperti sampel C1,C2, dan C3 berasal dari pasar yang sama yaitu Pasar Kampung Lalang.
4.5.2 Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Natrium Benzoat
Pemeriksaan zat pemanis berupa kadar natrium benzoat yang digunakan pada lima belas sampel selai buah tidak bermerek melalui metode ekstraksi dengan prinsip titrasi asam basa. Hasil pemeriksaan secara kualitatif dari Laboratorium Kesehatan Daerah Medan dapat dilihat pada tabel 4.6 dibawah ini :
Tabel 4.6 Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Natrium Benzoat Pada Selai buah tidak Bermerek yang Dijual di beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2016
Keterangan :
A = Pasar Helvetia 1 = Rasa Strawberry B = Pasar Pringgan 2 = Rasa Blueberry C = Pasar Kampung Lalang 3 = Rasa Nanas D = Pasar Simpang Limun MS = Memenuhi Syarat E = Pasar Aksara TMS = Tidak Memenuhi Syarat
Pada tabel 4.6 diketahui bahwa dari 12 sampel yang diperiksa kadar natrium
benzoat terdapat 4 sampel menggunakan kadar melebihi ambang batas seperti pada sampel
B2 sebesar 1141 mg/kg, sampel D1 sebesar 1149 mg/kg, sampel D2 sebesar 1134 mg/kg dan
E2 sebesar 1139 mg/kg. Sedangkan kadar sampel lainnya memenuhi syarat kesehatan atau
ambang batas penggunaanya masih diizinkan sesuai perautran Permenkes RI
No.33/Menkes/Per/XI/2012 tentang bahan tambahan pangan. Batas maksimum penggunaan
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Zat Pemanis
5.1.1 Analisis Kualitatif Siklamat Pada Selai Buah
Pemanis sintesis merupakan bahan tambahan yang menyebabkan rasa manis pada
pangan tetapi tidak memiliki nilai gizi. Beberapa pemanis sintetis yang telah dikenal dan
banyak digunakan adalah sakarin, siklamat, aspartam.
Siklamat memiliki rasa manis tanpa diikuti rasa pahit dan intensitas kemanisanya ±
30 kali kemanisan sukrosa. Nilai kalori 0 kkal/g dan ADI untuk siklamat 0mg/kg – 11mg/kg
berat badan. Batas maksimum penggunaan untuk kategori pangan jam,jelly dan marmalade
yaitu 1000 mg/kg (SNI 01-6993.2004).
Berdasarkan hasil pemeriksaan siklamat yang telah dilakukan secara kualitatif pada
lima belas sampel selai buah yang tidak bermerek melalui metode pengendapan.
Pengendapan dilakukan dengan cara menambahkan Barium klorida (BaCl2) dalam suasana
asam kemudian ditambah natrium nitrit sehingga akan terbentuk endapan putih.
Penambahan HCl 10% dalam sampel berfungsi untuk mengasamkan larutan. Larutan dibuat
dalam keadaan asam agar reaksi yang akan terjadi dapat lebih mudah bereaksi. Penambahan
BaCl2 berfungsi untuk mengendapkan yang ada dalam larutan, seperti adanya ion karbonat.
Penambahan NaNO2 berfungsi untuk memutuskan ikatan sulfat dalam siklamat.
Hasil pemeriksaan zat pemanis siklamat dari lima belas sampel selai buah terdapat
satu sampel (6,7%) yang menggunakan siklamat yaitu selai buah rasa nanas sampel C3
berasal dari Pasar Kampung Lalang. Hasil penelitian ini menunjukkan masih sedikit
Pasar Tradisional Kota Medan. Kemungkinan rasa manis yang digunakan produsen selai
buah sebagian besar berasal dari pemanis alami seperti gula tebu atau sukrosa.
Hasil penelitian yang didapat mengenai penggunaan siklamat cukup baik bila
dibandingkan dengan penggunaan siklamat pada jamu gendong yang ada di Semarang, dari
32 sampel jamu yang diperiksa terdapat 23 sampel jamu menggunakan siklamat dan kadar
16 sampel jamu diantaranya melebihi ambang batas penggunaan (Lestari, 2011).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, penggunaannya hanya
diperbolehkan untuk pasien diabetes ataupun orang yang membutuhkan makanan berkalori
rendah. Tetapi pada kenyataannya penggunaan siklamat semakin meluas pada berbagai
kalangan dan beragam produk.
Di Indonesia, Walaupun penggunaannya diperbolehkan dan telah dibatasi pemakaian
siklamat dilaporkan sering disalahgunakan dan penggunaanya melebihi batas yang
diizinkan. Riset BPOM pada November – Desember 2002 sudah menunjukkan bahwa
konsumsi siklamat sudah mencapai 240% ADI (Accaptable Daily Intake) (BPOM,2004).
Pemanis buatan siklamat hingga saat ini penggunaannya masih banyak menimbulkan
kontroversi karena aspek keamanan jangka panjangnya yang berpotensi karsinogenik jika
terkonversi menjadi cyclohexylamine di dalam saluran pencernaan (Cahyadi, 2009).
Hasil penelitian pada manusia yang telah meminum siklamat dengan dosis 40-57
mg/kg berat badan secara teratur selama 18 bulan menyebabkan pertumbuhan tumor.
Siklamat mengalami beberapa proses didalam tubuh manusia. Absorpsi siklamat dalam
tubuh tergolong lambat yaitu ± 6-8 jam. Siklamat tidak seluruhnya diserap melalui usus
5.1.2 Analisis Kualitatif Sakarin Pada Selai Buah
Hasil pemeriksaan sakarin secara kualitatif pada lima belas (15) sampel selai buah
yang tidak bermerek melalui metode pereaksi ekstraksi uji warna dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya sakarin pada sampel. Setelah dilakukan perlakuan dan diteteskan
FeCl3 1% apabila larutan berwarna ungu menunjukkan adanya asam salisilat yaitu terbentuk
sakarin. Diperoleh bahwa tidak ada satupun sampel yang menggunakan sakarin pada selai
buah yang telah diperiksa.
Penggunaan sakarin jarang ditemukan pada selai buah dibandingkan dengan
penggunaan siklamat, ini disebabkan sakarin memiliki rasa manis dan meninggalkan rasa
pahit. Disamping itu harganya lebih mahal bila dibandingkan dengan pemanis buatan
lainnya. Sakarin dikalangan produsen selai buah mungkin tidak begitu dikenal karena
biasanya digunakan pada industri skala besar seperti produk minuman ringan.
Hasil penelitian ini menunjukkan berkurangnya persentase penggunaan sakarin pada
produsen makanan dan minuman yang berbeda dari beberapa tahun sebelumnya, seperti
penelitian dilakukan pada es krim yang ada di Kota Medan, setelah dilakukan analisis
kualitatif dan kuantitatif terbukti dari lima belas sampel terbukti seluruh sampel
menggunakan sakarin dan kadar sakarin melebihi batas yang ditetapkan oleh Permenkes
No.722/Menkes/IX/88 yaitu sebesar 300 mg/kg. Kadar sakarin tertinggi 8631 mg/kg dan
kadar sakarin terendah 5754 mg/kg (Hernike, 2005).
Sakarin memiliki manis 300-500 kali tingkat sukrosa, sakarin juga memiliki nilai
kalori 0 kkal/g atau setara dengan 0 kg/g dan ADI 5 mg/kg berat badan. Batas maksimum
pengganti gula bagi penderita diabetes mellitus dan diet untuk penderita obesitas (Purba,
2006).
Penambahan kadar sakarin yang berlebih menimbulkan rasa pahit gentir serta
menyebabkan gangguan ginjal, kanker kandung kemih, pusing, mual, migran, diare, asma,
hipertensi dan lain-lain (Sinulingga, 2011).
Winarno mengatakan bahwa di Indonesia, meskipun ada pembatasan dalam
peredaran dan produksi sakarin dan siklamat, tetapi belum ada larangan bagi pemerintah
mengenai penggunaannya (Cahyadi,2009). Karena itu kemungkinan setiap hari masyarakat
di Indonesia mengonsumsi sakarin dan siklamat dalam jumlah tertentu baik secara terpisah
ataupun gabungan dari kedua jenis pemanis tersebut yang ditambahkan kedalam produksi
makanan dan minuman dan djual secara bebas di pasaran.
5.2 Zat Pewarna
5.2.1 Analisis Kualitatif Zat Pewarna Pada Selai Buah
Salah satu masalah keamanan pangan yang masih memerlukan pemecahan masalah
yaitu zat pewarna makanan yang sangat sering digunakan sebagai bahan tambahan pangan.
Penelitian mengenai jenis zat pewarna sintetis pada selai buah ini dilakukan karena
mengingat seringnya penggunaan zat pewarna yang digunakan oleh produsen makanan dan
tidak semua zat pewarna yang digunakan tersebut diizinkan penggunaanya menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033/Menkes/per/XI/2012 tentang
bahan tambahan pangan.
861 contoh makanan terbukti bahwa 10,45% mengandung Rhodamin B dan Metanil Yellow
(BPOM, 2008)
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif di Laboratorium Kesehatan Daerah Medan
dengan menggunakan metode kromatografi kertas, dari ekstraksi zat warna dari sampel yang
telah dipekatkan, kemudian ditotolkan pada kertas Whatman dengan jarak tepi 2 cm, jarak
penotolan 1,5 cm dan jarak elusi 12 cm. zat warna pembanding ditotolkan di samping zat
pewarna sampel. Zat warna pembanding yang digunakan adalah rhodamin B dan orange RN
kemudian sampel dielusi menggunakan eluen G. setelah selesai dielusi dengan kertas
Whatman diangkat dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Bercak yang tampak
dilihat secara visual langsung atau menggunakan sinar UV. Kemudian dihitung harga Rf
dari tiap bercak dan harga Rf zat warna sampel dibandingkan dengan harga Rf pembanding.
Hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan dibandingkan dengan Permenkes RI
No.033/Menkes/Per/XI/2012. Hasil penelitian menunjukkan dari 15 sampel terdapat 12
(80%) sampel yang mengandung zat pewarna sintetik. Terdapat satu (6,7%) sampel
menggunakan zat pewarna yang tidak diizinkan pada sampel selai buah rasa strawberry
yang berasal dari pasar Helvetia yaitu ponceau 3R.Ponceau 3R berbentuk butiran atau
serbuk warna merah, mempunyai sifat tidak berbau, dan mudah larut dalam air. Menurut
Syah (2005), zat pewarna ponceau 3R ini dalam waktu yang lama (kronis) berpotensi
mencetuskan kanker.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ayuningtias pada jajanan roti
di Kecamatan Binjai Kota dan Binjai Utara, diperoleh dari 20 sampel roti isi selai yang
diperiksa terbukti menggunakan zat pewarna, 2 (16,7%) menggunakan methanil yellow dan
Menurut LPK2K, zat pewarna berbahaya ini sangat dilarang karena mengakibatkan
kemunduran kerja otak sehingga anak malas, sering pusing, dan menurunnya konsentrasi
belajar (Azizahwati, 2007).
Hasil penelitian ini juga diketahui terdapat 3 sampel (20%) menggunakan dua (2)
jenis zat pewarna dalam satu bahan yaitu sampel A2 dan D2 yang berasal dari Pasar
Pringgan menggunakan kombinasi warna indigotin dan violet BNP dan E3 menggunakan
kombinasi warna naphatol yellow dan tartazine. Biasanya tujuan dari kombinasi zat pewarna
seperti ungu dan kuning ini adalah untuk memperoleh tampilan yang lebih stabil dan
menarik dari bahan aslinya karena bahan asli selalu memudar warnanya akibat pemanasan
atau selama penyimpanan.
Tartrazine atau FD&C Yellow No. 5 (Tartrazine) No. Index 19140 merupakan
tepung berwarna kuning jingga yang mudah larut dalam air, dengan larutannya berwarna
kuning keemasan. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, dalam gliserol dan glikol
mudah larut. Tartrazine tahan terhadap cahaya, asam asetat, HCl, dan NaOH 10%. NaOH
30% akan menjadi kan warna berubah kemerah-merahan (Anonim, 2006). Penggunaan
tartazine dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi, khususnya bagi
orang yang sensitif pada asam benzoate (Yuliarti, 2007).
Indigotin FD&C Blue No. 2 (Indigo carmine) No. Index 73015 merupakan tepung
berwarna biru, coklat, kemerah-merahan, mudah larut dalam air dan larutannya berwarna
biru. Larut dalam gliserol dan glikol, sedikit larut dalam alkohol 95%. Zat pewarna ini
sangat tidak tahan terhadap cahaya, karena itu warnanya cepat menghilang (Anonim, 2006).
Perusahaan - perusahaan pengolahan pangan di Indonesia kebanyakan menggunakan
zat warna sintetis yang harganya relatif lebih murah dibanding zat warna alami dan lebih
mudah diperoleh. Dari contoh makanan dan minuman yang masuk ke Balai Besar Industri
Hasil Pertanian sejak tahun 1979 sampai 1986 (jenis sirup, minuman ringan, sari buah, saos
tomat, jem, jeli, kue, mie, terasi kerupuk dan esen) menunjukkan bahwa zat warna sintetis
banyak dipakai ialah amaranth, erythrosine, ponceau 4R, tartrazine, quinoline yellow, sunset
yellow FCF, fast green FCF, dan brilliant blue, sedangkan zat warna alami kebanyakan
hanya pada sirup (Anonim, 2006).
Pada hasil penelitian ini ditemukan 8 sampel (53,3%) yang menggunakan satu jenis
zat pewarna dalam satu bahan yaitu Red 2G (6,7%), Eritrosin (6,7%), Amaranth (6,7%),
Karmoisin (6,7%), yellow FRS (6,7%) dan Indigotine (20%).
Red 2G dikenal dengan Food Red 2 dan CI 18050 dan termasuk salah satu zat
pewarna sintetis yang paling stabil. Biasanya digunakan pada yogurt dan beberapa produk
daging (terutama sosis). Red 2G juga dapat digunakan sebagai pewarna pada buah dan sayur
yang dikalengkan (Hughes, 1987).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan European Union diketahui bahwa Red 2G
dapat membahayakan kesehatan manusia sehingga pada Juli 2007 dikeluarkan larangan
penggunaanya secara resmi karena diduga dapat memicu kepada penyakit kanker tetapi
sampai saat ini di Indonesia zat pewarna ini masih dizinkan penggunaannya.
Eritrosin FD&C Red No. 3 (Erythrosine) No. Index 45430 Zat pewarna ini tergolong
fluorescein. Berupa tepung coklat, larutannya dalam alkohol 95% menghasilkan warna
merah yang berfluorosensi sedangkan larutannya dalam air berwarna merah ceri tanpa
oksidator, tapi tahan terhadap reduktor dan NaOH 10%. Mudah diendapkan oleh asam
karena itu tidak dapat dipergunakan dalam produk minuman (Anonim, 2006). Penggunaan
Eritrosin secara berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi pada pernafasan, hiperaktif
pada anak, tumor tiroid pada tikus, dan efek kurang baik pada otak dan perilaku (Saparianto,
2006).
Amaranth FD&C Red No. 2 (Amaranth) No. Index 16185, berupa tepung berwarna
merah kecoklatan yang mudah larut dalam air menghasilkan larutan berwarna merah
lembayung atau merah kebiruan. Selain itu juga mudah larut dalam propilenglikol, gliserol,
dan larut sebagian dalam alkohol 95%. Tahan terhadap cahaya, asam asetat 10%, HCl 10 -
30% dan NaOH 10%, sedangkan terhadap NaOH 30% kurang tahan dan menjadi agak keruh
(Anonim, 2006).
Amaranth zat pewarna yang paling banyak digunakan dan diperkirakan sampai
sepertiga dari seluruh pewarna makanan yang sering digunakan, amaranth dinyatakan aman
pada tahun 1967 setelah dilakukan pengamatan selama 7 tahun (deMan, 1980). Amaranth
dalam jumlah besar dapat menimbulkan tumor, reaksi alergi pada pernafasan dan dapat
mengakibatkan hiperaktif pada anak-anak (Yuliarti, 2007).
Penggunaan zat pewarna hendaknya dibatasi karena meskipun relatif aman,
penggunaanya membahayakan kesehatan konsumen. Beberapa jenis pewarna yang harus
dibatasi penggunaannya di antaranya amaranth, allurah merah, citrus merah, caramel,
erithrosin, indigotine, karbon hitam, ponceau SX, fest green FCF, chocineal dan kurkumin
(Sumarlin, 2010).
menarik, mengembalikan warna dari bahan dasar yang telah hilang atau berubah selama
pengolahan ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan
memberikan dampak negatif bagi kesehatan konsumen bila bahan pewarna sintetis dimakan
dalam jumlah kecil namun berulang serta dalam jangka waktu lama dan digunakan secara
berlebihan (Cahyadi, 2009).
Dilihat dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa produk selai buah
hampir seluruhnya (80%) menggunakan zat pewarna didalam proses produksinya dan hal ini
diperjelas lagi dengan hasil penelitian yang dilakukan
Agustina pada produk selai yang beredar dibeberapa pasar tradisional Kota Medan,
diketahui dari 12 sampel selai yang diperiksa (selai bermerek dan tidak bermerek)
ditemukan 4 sampel selai roti bermerek dan 3 sampel selai roti tidak bermerek mengandung
zat pewarna yang diizinkan yaitu Amaranth dan Tartrazine (Agustina, 2013).
5.2.2 Analisis Kuantitatif Zat Pewarna Pada Selai Buah
Jumlah kebutuhan zat aditif yang diizinkan untuk digunakan dalam bahan pangan
harus merupakan kebutuhan minimum untuk mendapatkan pengaruh yang dikehendaki. Jika
penggunaan bahan-bahan tersebut secara terus menerus dan melebihi dari kadar yang sudah
ditentukan, maka akan terakumulasi (tertimbun) dalam tubuh yang akhirnya dapat merusak
jaringan atau organ tertentu (Irianto,,et.al, 2007).
Berdasarkan pemeriksaan zat pewarna secara kuantitatif ditemukan kadar pewarna
yang berbeda-beda pada sampel selai buah. Pemeriksaan ini dilakukan melalui metode
gravimetri, dengan penimbangan berat benang wool sebelum dan sesudah dilakukan
ataupun jumlah kandungan pewarna pada masing-masing sampel masih terdapat sampel
yang tidak memenuhi.
Dari 12 (80%) sampel selai buah tidak bermerek terdapat 1 (6,7%) sampel yang
menggunakan zat pewarna yang dilarang kadarnya sebesar 32 mg/kg. Dan empat (26,7%)
sampel yang kadarnya melebihi batas maksimum yaitu pada sampel B2 sebesar 81 mg/kg
dan C2 sebesar 77 mg/kg (batas maksimum indgotine 70 mg/kg) berasal dari Pasar Pringgan
dan Kampung Lalang, sampel C1 sebesar 119 mg/kg (batas maksimum eritrosin 100 mg/kg)
berasal dari Pasar Kampung Lalang dan sampel D1 sebesar 309 mg/kg (batas maksimum
amaranth 300 mg/kg) berasal dari Pasar Simpang Limun dan 8 (53,3%) sampel masih
menggunakan kadar dibawah ambang batas penggunaan RI No. 033/ Menkes/ Per/ XI/ 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan.
Penelitian ini sesuai dengan yang telah dilakukan pada sampel selai roti (bermerek
dan tidak bermerek) di Kota Medan bahwa kadar yang terdapat pada 12 sampel selai roti
bermerek terdapat 2 sampel yang tidak memenuhi syarat yaitu 346 mg/kg, 205 mg/kg dan 1
sampel selai roti tidak bermerek tidak memenuhi syarat yaitu 295 mg/kg (Agustina, 2013).
Walaupun sebagian besar sampel menggunakan kadar zat pewarna yang diizinkan
penggunaanya pada sampel selai buah masih dalam batasan normal, tetapi sebaiknya
penggunaan zat pewarna dapat lebih diminimalkan, karena walaupun dalam jumlah sedikit
apabila zat pewarna tersebut dikonsumsi secara berulang-ulang dan terus menerus akan
dapat terakumulasi di dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Timbulnya gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi zat pewarna sintetis sangat
daya tahan tubuh seseorang yang tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, gizi
makanan sehari dan keadaan fisik.
Umumnya zat pewarna makanan ditambahkan pada tingkatan 20-100 mg/kg. Jumlah
ini telah dihitung di Inggris dimana rata-rata konsumsi 0,5 kg makanan yang mengandung
pewarna setiap hari setara dengan konsumsi harian berbagai macam pewarna yang
seluruhnya <10 % dari ADI (Acceptable Daily Intake) yang telah ditetapkan oleh para ahli
toksikologi (Coltate, 1984).
Selama periode 1963-1970, dari hasil penelitian oleh FAO/WHO telah ditetapkan
batas konsumsi perhari dari beberapa zat pewarna yang sering disebut dengan ADI. Hanya
ada beberapa jenis pewarna yang sudah ditetapkan batas ADI yang dapat diserap oleh tubuh
yaitu : Sunset Yellow sebesar 5,0 mg/kg, eritrosin sebesar1,25 mg/kg, amarant 1,5 mg/kg,
indigotine sebesar 2,5 mg/kg, fast green sebesar 12,5 mg/kg dan tatrazine sebesar 7,5 mg/kg.
5.3 Zat Pengawet
5.3.1 Analisis Kualitatif Natrium Benzoat Pada Selai Buah
Penelitian ini dilakukan mengingat penggunaan natrium benzoat sebagai pengawet
makanan yang memiliki batas penggunaan sebesar 1g/kg. Pemberian batas maksimum
terhadap natrium benzoat dilakukan karena penggunaan pengawet ini tidak selalu aman
terutama jika digunakan dalam jumlah yang besar.
Hasil pemeriksaan zat pengawet natrium benzoat secara kualitatif pada sampel selai
buah yang tidak bermerek melalui metode ekstrasifikasi, pada reaksi ini akan tercium bau
khas pisang ambon atau afitson yang menunjukkan adanya pengunaan natrium benzoate
dalam sampel . Bau khas ini merupakan hasil reaksi antara etanol dan asam sulfat.
menunjukkan natrium benzoat tidak dipergunakan dalam sampel. Dari lima belas sampel
yang diperiksa di Laboratorium Kesehatan Daerah Medan ditemukan diantaranya dua belas
sampel yang menggunakan natrium benzoat dan tiga sampel tidak menggunakan natrium
benzoat.
Natrium Benzoat memiliki fungsi sebagai anti mikroba yang dapat menghambat
pertumbuhan kapang dan khamir dengan cara menghancurkan sel-sel mikroba terutama
kapang (Nurhayati et.al, 2012).
Benzoat yang digunakan pada makanan akan lebih efektif bila makanan itu asam,
sehingga sebagai pengawet banyak digunakan dalam sari buah-buahan, jeli, sirup dan
makanan lainnya yang mempunyai pH rendah (2,5-4,0) (Patong, 2013). Asam benzoat dan
natrium benzoat juga biasanya dimanfaatkan untuk mengawetkan jus buah, sirup apel,
makanan yang mudah rusak, minuman berkarbonasi, produk tepung yang dimasak, salad
saus, salad margarin, saus tomat, buah, selai, dan jeli (Delavar et.al, 2012).
Konsumsi natrium benzoate secara berlebihan dapat menyebabkan keram perut, rasa
kebas dimulut, bagi mereka yang mengalami lelah atau penyakit ruam kulit (seperti urtikaria
dan eksema). Pengawet ini dapat mempernuruk keadaan, juga bersifat menumpuk dihati
yang dapat menimbulkan kanker dalam jangka panjang dan merusak sistem saraf dan serta
penurunan berat badan dan akhirnya dapat menyebabkan kematian (Nurcahyani, 2005).
5.3.2 Analisis Kuantitif Natrium Benzoat Pada Selai Buah
Untuk mengetahui kadar natrium benzoate diperlukan analisis kuantitatif melalui
Berdasarkan analisis natrium benzoate pada selai buah yang tidak bermerek
diperoleh kadar natrium benzoat dari dua belas (80%) sampel yang diperiksa kadarnya
didapat empat (26,7%) sampel yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sampel B2 rasa
blueberry yang diperoleh dari Pasar Pringgan kadarnya sebesar 1141 mg/kg, sampel D1 rasa
strawberry sebesar 1149 mg/kg dan sampel D2 rasa blueberry sebesar 1134 mg/kg, kedua
sampel ini berasal dari pasar yang sama yaitu Pasar Simpang Limun. Sampel E2 blueberry
sebesar 1139 mg/kg diperoleh dari Pasar Aksara. Menurut Permenkes RI
033/Menkes/Per/XI/2012 batas maksimum penggunaan natrium benzoat pada selai buah
yaitu sebesar 1000 mg/kg untuk kategori jam, jelly dan marmalade.
Sejalan dengan itu hasil penelitian dilakukan pada susu kedelai Tahun 2015, melalui
metode ekstrasi cair dan instrumen spektrofometri UV-Vis pada panjang gelombang 276
nm. Hasil kualitatif menunjukkan seluruh sampel mengandung natrium benzoate. Kadar
tertinggi di dapat dari sampel A yaitu 611,67 mg/kg, sampel B yaitu 589,91 mg/kg dan
sampel C yaitu 605,78 mg/kg. ketiga kadar pengawet natrium benzoat dalam sampel A,B,C
melebihi batas sesuai peraturan Kepala BPOM No.36 Tahun 2013 tentang batas maksimum
penggunaan natiru benzoate pada produk susu yaitu 600 mg/kg (Rustian et.al, 2015)
Menurut WHO, 2000 Bagi penderita asma dan orang yang menderita urticaria
sangat sensitif terhadap asam benzoat sehingga konsumsi dalam jumlah berlebih akan
mengiritasi lambung (Manurung, 2012).
Garam benzoat dalam bahan pangan yang terurai menjadi bentuk efektif yaitu
bentuk asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Bentuk ini mempunyai efek racun pada
pemakaian berlebih terhadap konsumen, sehingga pemberian bahan pengawet ini tidak
oleh Rohadi dan tim peneliti Fakultas Teknologi Pertanian Semarang, yang melaporkan
bahwa mayoritas saos tomat mengandung pengawet (benzoat) yang melebihi standar mutu
yang ditentukan (1000 mg/kg), yaitu berkisar 1100 – 1300 mg/kg. Oleh sebab itu maka pada
diskusi ilmiahnya dihimbau agar masyarakat berhati-hati mengkonsumsi saos tomat.
Apabila tubuh mengkonsumsi bahan pengawet ini secara berlebih, dapat
mengganggu kesehatan, terutama menyerang syaraf (Rohadi, 2002).
Penggunaan pengawet benzoat yang ditemukan pada selai buah yang tidak bermerek
melebihi dari kadar maksimum yang diperbolehkan, menunjukkan bahwa ada beberapa
kemungkinan yang mendasari hal itu seperti: (1) Kurangnya kontrol terhadap produsen
karena produknya tidak memiliki ijin DepKes RI,
(2) ketidaktahuan produsen terhadap efek yang ditimbulkan oleh benzoat yang berlebih
terhadap orang yang mengkonsumsinya, (3) adanya keinginan produsen agar produknya
awet dalam kurun waktu cukup lama sehingga penambahan bahan pengawet tidak
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan jenis dan kadar zat pemanis, zat pewarna dan zat
pengawet pada selai buah yang tidak bermerek yang dijual di beberapa Pasar Tradisional
Kota Medan tahun 2016 meliputi Pasar Helvetia, Pasar Pringgan, Pasar Kampung Lalang,
Pasar Simpag Limun dan Pasar Aksara, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari lima belas sampel yang diperiksa jenis kandungannya bahwa terdapat penggunaan
zat pemanis sintetis berupa 1 sampel mengandung siklamat dan tidak ada satupun
sampel mengandung sakarin. Kemudian terdapat dua belas sampel yang mengandung
zat pewarna sintetis dimana satu diantaranya mengandung zat pewarna terlarang yaitu
Ponceau 3R. terdapat dua belas sampel yang menggunakan zat pengawet sintesis berupa
natrium benzoate.
2. Kadar yang digunakan pada dua belas sampel yang mengandung zat pewarna sintetis
dan zat pengawet sintesis berupa natrium benzoate terdapat empat yang melebihi
ambang batas sehingga tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu pada sampel sampel B2
sebesar (81 mg/kg) dengan natrium benzoate 1141 mg/kg berasal dari Pasar Pringgan,
C2 sebesar (77 mg/kg), C1 (119 mg/kg) berasal dari Pasar Kampung Lalang dan D1 (309
mg/kg) dengan natrium benzoate 1149 mg/kg berasal dari Pasar Simpang Limun.
Sedangkan D2 dan E2 mengandung benzoate 1134 mg/kg dan 1139 mg/kg berasal dari
Pasar Aksara.
3. Sebagian besar sampel jenis zat pewarna dan zat pengawet yang teridentifikasi pada
masih diizinkan atau masih memenuhi syarat kesehatan, sementara kadar yang
digunakan masih ditemukan yang melebihi batas penggunaan sehingga penggunaan
kadar harus diminimalkan untuk menghindari dampak kesehatan.
6.2 Saran
1. Disarankan kepada konsumen agar lebih selektif dalam memilih makanan dan
diharapkan untuk mengurangi konsumsi makanan yang mengandung zat pemanis
sintesis, zat pewarna sintesis dan zat pengawet sintesis.
2. Disarankan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) agar mengadakan
pemantauan secara berkala terhadap pengunaan zat pemanis, zat pewarna dan zat
pengawet pada selai buah tidak bermerek yang beredar di Kota Medan serta
berkerjasama dengan Dinas Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan sosialisasi
mengenai dampak penggunaan yang melebihi batas maksimum yang dapat
membahayakan kesehatan.
3. Disarankan kepada produsen selai buah yang tidak bermerek untuk menggunakan zat
pewarna yang diizinkan dan kadar sesuai batas maksimum. yang dianjurkan untuk
menghindari dampak buruk bagi kesehatan konsumen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keamanan Pangan
Undang - undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan menyatakan bahwa pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakann dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan dan minuman (Depkes RI, 2012).
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lainnya yang dapat
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (Permenkes RI, 2012).
Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan
kecerdasaan masyarakat (Saparinto dan Hidayati, 2006). Pangan tidak aman dapat
menyebabkan penyakit yang disebut foodborne diasease, yaitu gejala penyakit yang timbul
akibat mengonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun atau organisme
patogen (Baliwati, et.al. 2004).
Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan
pengaturan, pembinaan, atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan
dan peredarannya sampai siap dikonsumsi manusia. Salah satu aspek yang harus
dipehatikan dalam hal ini adalah bahan-bahan yang ditambahkan terhadap bahan pangan,
Sejalan dengan itu penelitian BPOM yang telah dilakukan di 18 provinsi pada Tahun
2008 diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar dan Padang
terhadap 861 contoh makanan terbukti bahwa 39,95% (344 sampel) tidak memenuhi syarat
keamanan pangan (BPOM, 2008).
Hasil ini menunjukkan masalah keamanan pangan yang masih memerlukan
penyelesaian adalah penggunaan bahan tambahan pangan yang banyak dilakukan pada
industri pengolahan pangan, maupun dalam pembuatan berbagai pangan jajanan yang
umumnya dilakukan oleh industri kecil atau industri rumah tangga (Cahyadi, 2009).
Terkait dengan hal tersebut BPOM melakukan pemeriksaan terhadap 307 industri
rumah tangga tidak terdaftar. Dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa 206 (67,10%)
sarana menerapkan cara produksi yang baik untuk industri rumah tangga, 92 (29,97%)
sarana belum menerapkan cara produksi yang baik dan 9 (2,93%) sarana tidak aktif
berproduksi/tutup (BPOM, 2011).
2.2Bahan Tambahan Makanan
2.2.1 Defenisi Bahan Tambahan Makanan
Bahan tambahan pangan merupakan bahan yang di tambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Keberadaan bahan tambahan pangan sudah
meluas dimasyarakat. Kebutuhan bahan tambahan pangan yang meluas tidak membuat
masyarakat mengetahui penggunaan dan pemanfaatan bahan tambah pangan. Berdasarkan.
Peraturan Mentri Kesehatan.Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/XI/1998 dan
Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 bahan tambahan makanan merupakan bahan yang
kedalam makanan untuk tujuan teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyediaan,
perlakuan, pengepakan, pembungkusan, penyimpanan (Cahyadi, 2009). Bahan tambahan
pangan dibagi menjadi dua kelompok yaitu bahan tambahan yang diizinkan dan bahan
tambahan yang dilarang atau tidak diizinkan.
Semakin berkembangnya zaman, peranan dan penggunaan bahan pangan semakin
meluas. Banyaknya bahan pangan dalam bentuk murni dan tersedia secara komersial
dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian bahan
tambahan pangan. Ditambah dengan majunya teknologi produksi pangan sekarang ini
penggunaan bahan tambahan pangan juga akan semakin meluas (Lestari, 2011). Pemakaian
bahan tambahan pangan yang aman merupakan pertimbangan yang penting. Jumlah bahan
tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan dalam pangan harus merupakan
kebutuhan minimum dari pengaruh yang dikehendaki (Simatupang, 2009).
Suatu bahan dikatakan bisa masuk dalam kategori bahan tambahan pangan jika
memiliki syarat-syarat seperti bahan tambah pangan bersifat aman, digunakan sesuai dengan
batas maksimum penggunaannya dan telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang
berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi dengan sertifikat aman (Yuliarti,
2007).
2.2.2Tujuan Penggunaan Bahan Tambah Makanan
Tujuan penggunaan bahan tambah makanan adalah meningkatkan atau
mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat pangan lebih mudah
disajikan, mempermudah preparasi bahan makanan (Cahyadi, 2009). Selain itu tujuan
penggunaan bahan tambahan pangan menurut Robert dalam bukunya Food Additives, untuk
fungsi pangan, pelengkap dalam proses pengolahan pangan dan meningkatkan kepercayaan
konsumen (Lestari, 2011).
Disamping tujuan penggunaannya, secara umum bahan tambahan makanan
mempunyai berbagai fungsi seperti mempertahankan konsistensi produk makanan,
memperbaiki nilai gizi, mempertahankan bahkan meningkatkan kandungan gizi yang
kemungkinan hilang akibat pemrosesan, menjaga cita rasa dan sifat produk makanan secara
keseluruhan, menjaga tingkat keasaman atau kebasaan makanan yang diinginkan dan
memperkuat rasa atau memberikan warna tertentu yang dikehendaki (Dzalfa, 2007).
Mengetahui tujuan penggunaan bahan tambahan pangan, akan mampu mengarahkan
seseorang untuk menggunakan dan memposisikan bahan tambah pangan secara tepat,
sehingga bahan pangan yang mampu memberi manfaat, tidak berubah menjadi bahan
tambahan pangan yang merugikan (Lestari, 2011).
Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi dua golongan besar yaitu bahan
pangan yang ditambahkan dengan sengaja dimaksud untuk mempertahankan kesegaran, cita
rasa dan membantu pengolahan seperti pengawet, pewarna, pemanis dan bahan yang tidak
sengaja ditambahkan yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut
dan dapat berupa residu dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan
2.3 Zat Pemanis
Pemanis merupakan bahan tambahan makanan yang berfungsi untuk memberikan
rasa manis dan membantu mempertajam terhadap rasa manis tersebut, biasanya memiliki
nilai kalori yang lebih rendah dari gula biasa dan hampir tidak mempunyai nilai gizi
(Winarno, 1997). Zat pemanis juga merupakan senyawa kimia sering ditambahkan dan
digunakan untuk keperluan produk olahan pangan, industri untuk menciptakan rasa manis.
Perkembangan industri pangan dan minuman akan kebutuhan pemanis dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Industri pangan lebih menggunakan pemanis sintesis karena selain
harganya relatif murah, tingkat kemanisan pemanis sintesis jauh lebih tinggi dari pemanis
alami. Dilihat dari data pemakaian selama 5 tahun ada peningkatan pemakaian pemanis
buatan rata-rata sebesar 13,5% (Cahyadi, 2009).
Biasanya zat pemanis memiliki nilai kalori yang lebih rendah dari gula pasir. Rasa
manis sangat digemari banyak orang dari semua golongan usia, terutama anak-anak.
Pemanis ini umumnya dicampurkan pada berbagai produk olahan, seperti kue, minuman
ringan, selai, dan sirup (Yuliarti, 2007).
Berdasarkan proses produksi bahan pemanis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
pemanis alami (Natural Sweetener) dan pemanis buatan atau sintesis (Artifical Sweetner).
Pemanis alami biasanya berasal dari tanaman. Tanaman penghasil pemanis yang utama
adalah tebu dan bit. Bahan pemanis yang dihasilkan oleh kedua tanaman tersebut dikenal
sebagai gula alam atau sukrosa (Cahyadi, 2009). Gula tidak mengandung vitamin, tidak ada
serat kasar, hanya sejumlah kecil mineral, akan tetap mengandung kalori 394 kkal dalam
100 gram bahan. Gula alami merupakan sumber kalori, sumber bahan yang bernilai sepertti
Beberapa pemanis alami yang sering digunakan adalah sukrosa, laktosa, maltsa, galaktosa,
sorbitol, manitol, gliserol dan glisina.
Pemanis sintetis merupakan bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa manis
pada pangan, tetapi tidak memiliki nilai gizi. pemanis yang dihasilkan melalui reaksi kimia
organik di dalam skala industri, diperoleh secara sintesis dan tidak menghasilkan kalori
seperti halnya bahan pengganti gula.
Menurut peraturan mentri kesehatan RI Nomor 208/Menkes/Per/IV/1985 di antara
semua pemanis buatan hanya beberapa yang diizinkan penggunaannya seperti sakarin,
siklamat dan aspartam dengan jumlah yang dibatasi dosis tertentu (Cahyadi, 2009).
Meskipun sakarin dan siklamat tergolong dalam bahan pangan yang diizinkan pemerintah,
namun kewaspadaan terhadap penggunaan jenis pemanis buatan tersebut perlu dilakukan.
Mengingat tidak semua masyarakat mengerti tentang bahan tambah pangan, penggunaan
serta pengolahannya (Lestari, 2011).
Pemanis buatan pada awalnya diproduksi komersial untuk memenuhi ketersediaan
produk makanan dan minuman bagi penderita diabetes mellitus yang harus mengontrol
kalori makanannya. Dalam perkembangannya, pemanis buatan juga digunakan untuk
meningkatkan rasa manis dan cita rasa produk - produk yang mengharuskan rasa manis dan
di dalamnya sudah terkandung gula. Ketentuan terkait pemanis buatan dikeluarkan BPOM
berupa SK Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor: HK.00.05.5.1.4547
tentang persyaratan penggunaan bahan tambahan pangan pemanis buatan dalam produk