• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.2 Zat Pewarna

5.2.1 Analisis Kualitatif Zat Pewarna Pada Selai Buah

Salah satu masalah keamanan pangan yang masih memerlukan pemecahan masalah yaitu zat pewarna makanan yang sangat sering digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Penelitian mengenai jenis zat pewarna sintetis pada selai buah ini dilakukan karena mengingat seringnya penggunaan zat pewarna yang digunakan oleh produsen makanan dan tidak semua zat pewarna yang digunakan tersebut diizinkan penggunaanya menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033/Menkes/per/XI/2012 tentang bahan tambahan pangan.

861 contoh makanan terbukti bahwa 10,45% mengandung Rhodamin B dan Metanil Yellow (BPOM, 2008)

Penelitian ini dilakukan secara kualitatif di Laboratorium Kesehatan Daerah Medan dengan menggunakan metode kromatografi kertas, dari ekstraksi zat warna dari sampel yang telah dipekatkan, kemudian ditotolkan pada kertas Whatman dengan jarak tepi 2 cm, jarak penotolan 1,5 cm dan jarak elusi 12 cm. zat warna pembanding ditotolkan di samping zat pewarna sampel. Zat warna pembanding yang digunakan adalah rhodamin B dan orange RN kemudian sampel dielusi menggunakan eluen G. setelah selesai dielusi dengan kertas Whatman diangkat dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Bercak yang tampak dilihat secara visual langsung atau menggunakan sinar UV. Kemudian dihitung harga Rf dari tiap bercak dan harga Rf zat warna sampel dibandingkan dengan harga Rf pembanding. Hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan dibandingkan dengan Permenkes RI No.033/Menkes/Per/XI/2012. Hasil penelitian menunjukkan dari 15 sampel terdapat 12 (80%) sampel yang mengandung zat pewarna sintetik. Terdapat satu (6,7%) sampel menggunakan zat pewarna yang tidak diizinkan pada sampel selai buah rasa strawberry yang berasal dari pasar Helvetia yaitu ponceau 3R.Ponceau 3R berbentuk butiran atau serbuk warna merah, mempunyai sifat tidak berbau, dan mudah larut dalam air. Menurut Syah (2005), zat pewarna ponceau 3R ini dalam waktu yang lama (kronis) berpotensi mencetuskan kanker.

Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ayuningtias pada jajanan roti di Kecamatan Binjai Kota dan Binjai Utara, diperoleh dari 20 sampel roti isi selai yang diperiksa terbukti menggunakan zat pewarna, 2 (16,7%) menggunakan methanil yellow dan 3 (37,7%) menggunakan rhodamin B (Ayuningtias, 2014).

Menurut LPK2K, zat pewarna berbahaya ini sangat dilarang karena mengakibatkan kemunduran kerja otak sehingga anak malas, sering pusing, dan menurunnya konsentrasi belajar (Azizahwati, 2007).

Hasil penelitian ini juga diketahui terdapat 3 sampel (20%) menggunakan dua (2) jenis zat pewarna dalam satu bahan yaitu sampel A2 dan D2 yang berasal dari Pasar Pringgan menggunakan kombinasi warna indigotin dan violet BNP dan E3 menggunakan kombinasi warna naphatol yellow dan tartazine. Biasanya tujuan dari kombinasi zat pewarna seperti ungu dan kuning ini adalah untuk memperoleh tampilan yang lebih stabil dan menarik dari bahan aslinya karena bahan asli selalu memudar warnanya akibat pemanasan atau selama penyimpanan.

Tartrazine atau FD&C Yellow No. 5 (Tartrazine) No. Index 19140 merupakan tepung berwarna kuning jingga yang mudah larut dalam air, dengan larutannya berwarna kuning keemasan. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, dalam gliserol dan glikol mudah larut. Tartrazine tahan terhadap cahaya, asam asetat, HCl, dan NaOH 10%. NaOH 30% akan menjadi kan warna berubah kemerah-merahan (Anonim, 2006). Penggunaan tartazine dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi, khususnya bagi orang yang sensitif pada asam benzoate (Yuliarti, 2007).

Indigotin FD&C Blue No. 2 (Indigo carmine) No. Index 73015 merupakan tepung berwarna biru, coklat, kemerah-merahan, mudah larut dalam air dan larutannya berwarna biru. Larut dalam gliserol dan glikol, sedikit larut dalam alkohol 95%. Zat pewarna ini sangat tidak tahan terhadap cahaya, karena itu warnanya cepat menghilang (Anonim, 2006). Indigotin dalam dosis tertentu hiperaktif pada anak-anak (Yuliarti, 2007).

Perusahaan - perusahaan pengolahan pangan di Indonesia kebanyakan menggunakan zat warna sintetis yang harganya relatif lebih murah dibanding zat warna alami dan lebih mudah diperoleh. Dari contoh makanan dan minuman yang masuk ke Balai Besar Industri Hasil Pertanian sejak tahun 1979 sampai 1986 (jenis sirup, minuman ringan, sari buah, saos tomat, jem, jeli, kue, mie, terasi kerupuk dan esen) menunjukkan bahwa zat warna sintetis banyak dipakai ialah amaranth, erythrosine, ponceau 4R, tartrazine, quinoline yellow, sunset yellow FCF, fast green FCF, dan brilliant blue, sedangkan zat warna alami kebanyakan hanya pada sirup (Anonim, 2006).

Pada hasil penelitian ini ditemukan 8 sampel (53,3%) yang menggunakan satu jenis zat pewarna dalam satu bahan yaitu Red 2G (6,7%), Eritrosin (6,7%), Amaranth (6,7%), Karmoisin (6,7%), yellow FRS (6,7%) dan Indigotine (20%).

Red 2G dikenal dengan Food Red 2 dan CI 18050 dan termasuk salah satu zat pewarna sintetis yang paling stabil. Biasanya digunakan pada yogurt dan beberapa produk daging (terutama sosis). Red 2G juga dapat digunakan sebagai pewarna pada buah dan sayur yang dikalengkan (Hughes, 1987).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan European Union diketahui bahwa Red 2G dapat membahayakan kesehatan manusia sehingga pada Juli 2007 dikeluarkan larangan penggunaanya secara resmi karena diduga dapat memicu kepada penyakit kanker tetapi sampai saat ini di Indonesia zat pewarna ini masih dizinkan penggunaannya.

Eritrosin FD&C Red No. 3 (Erythrosine) No. Index 45430 Zat pewarna ini tergolong fluorescein. Berupa tepung coklat, larutannya dalam alkohol 95% menghasilkan warna merah yang berfluorosensi sedangkan larutannya dalam air berwarna merah ceri tanpa fluorosensi. Larut dalam alkohol dan glikol bersifat kurang tahan terhadap cahaya dan

oksidator, tapi tahan terhadap reduktor dan NaOH 10%. Mudah diendapkan oleh asam karena itu tidak dapat dipergunakan dalam produk minuman (Anonim, 2006). Penggunaan Eritrosin secara berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi pada pernafasan, hiperaktif pada anak, tumor tiroid pada tikus, dan efek kurang baik pada otak dan perilaku (Saparianto, 2006).

Amaranth FD&C Red No. 2 (Amaranth) No. Index 16185, berupa tepung berwarna merah kecoklatan yang mudah larut dalam air menghasilkan larutan berwarna merah lembayung atau merah kebiruan. Selain itu juga mudah larut dalam propilenglikol, gliserol, dan larut sebagian dalam alkohol 95%. Tahan terhadap cahaya, asam asetat 10%, HCl 10 - 30% dan NaOH 10%, sedangkan terhadap NaOH 30% kurang tahan dan menjadi agak keruh (Anonim, 2006).

Amaranth zat pewarna yang paling banyak digunakan dan diperkirakan sampai sepertiga dari seluruh pewarna makanan yang sering digunakan, amaranth dinyatakan aman pada tahun 1967 setelah dilakukan pengamatan selama 7 tahun (deMan, 1980). Amaranth dalam jumlah besar dapat menimbulkan tumor, reaksi alergi pada pernafasan dan dapat mengakibatkan hiperaktif pada anak-anak (Yuliarti, 2007).

Penggunaan zat pewarna hendaknya dibatasi karena meskipun relatif aman, penggunaanya membahayakan kesehatan konsumen. Beberapa jenis pewarna yang harus dibatasi penggunaannya di antaranya amaranth, allurah merah, citrus merah, caramel, erithrosin, indigotine, karbon hitam, ponceau SX, fest green FCF, chocineal dan kurkumin (Sumarlin, 2010).

menarik, mengembalikan warna dari bahan dasar yang telah hilang atau berubah selama pengolahan ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak negatif bagi kesehatan konsumen bila bahan pewarna sintetis dimakan dalam jumlah kecil namun berulang serta dalam jangka waktu lama dan digunakan secara berlebihan (Cahyadi, 2009).

Dilihat dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa produk selai buah hampir seluruhnya (80%) menggunakan zat pewarna didalam proses produksinya dan hal ini diperjelas lagi dengan hasil penelitian yang dilakukan

Agustina pada produk selai yang beredar dibeberapa pasar tradisional Kota Medan, diketahui dari 12 sampel selai yang diperiksa (selai bermerek dan tidak bermerek) ditemukan 4 sampel selai roti bermerek dan 3 sampel selai roti tidak bermerek mengandung zat pewarna yang diizinkan yaitu Amaranth dan Tartrazine (Agustina, 2013).

Dokumen terkait