• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keamanan Pangan

2.4 Zat Pewarna

2.4.1 Pembagian Zat Pewarna

Pewarna adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan sintesis, yang ketika ditambahkan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna. Pembagian bahan pewarna yang diizinkan dalam makanan dan minuman diklasifikasikan menjadi dua yaitu :

1. Bahan pewarna alami (Natural food colour)

Awalnya, makanan diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau mineral, akan tetapi proses untuk memperoleh zat warna alami adalah mahal. Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan hewan, diantaranya adalah klorofil, mioglobin dan hemoglobin, anthosianin, flavonoid, tannin, betalain dan xanthon serta karotenoid (Cahyadi, 2009). Pada umumnya pewarna alami rentan terhadap pH, sinar matahari, dan suhu tinggi. Pewarna alami sebaiknya disimpan pada suhu 4-8oC untuk

meminimumkan pertumbuhan mikroba dan degradasi pigmen. Pewarna alami berbentuk bubuk pada umumnya higroskopis (Wijaya, 2009).

Pewarna pangan alami adalah diekstrasi dan diisolasi dari tanaman dan hewan yang berbeda yang tidak memberikan efek membahayakan sehingga dapat digunakan dalam pangan. Pewarna ini memiliki kestabilan yang rendah, kurang cerah dan tidak merata, namun sangat murah (Vries, 1996 dalam Sumarlin, 2010).

2. Pewarna Sintesis (Synthetic food colour)

Pengunaan zat warna sintetik pun semakin meluas. Keunggulan-keunggulan. zat warna sintetik adalah lebih stabil dan lebih tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan. Daya mewarnainya lebih kuat dan memiliki rentang warna yang lebih luas. Selain itu, zat warna sintetik lebih murah dan lebih mudah untuk digunakan (deMan,1980).

Sejak pertama kali dibuat pada tahun 1856 hingga saat ini, telah banyak zat warna sintetik yang diciptakan. Akan tetapi, ternyata banyak pula zat warna sintetik itu memiliki sifat toksik. Dalam suatu penelitian, diperoleh zat warna azo (Amaranth, Allura Red, dan

New Coccine) terbukti bersifat genotoksik. Selain itu, zat warna Red No.3 juga terbukti

dapat merangsang terjadinya kanker payudara secara in vitro (Tsuda et.al, 2006 dalam Azizahwati, 2007). Maka dari itu penggunaan zat pewarna sintetik harus diatur secara tegas. Dinegara maju, suatu zat warna sintesis harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang diizinkan penggunaanya dalam pangan disebut certified colour. (Yuliarti, 2007).

Pedagang makanan menggunakan pewarna tekstil untuk mewarnai makanan karena pewarna tekstil mempunyai harga yang murah. Zat pewarna untuk kain ini dibuat tidak

melekat kuat di dalam jaringan tubuh terutama pada ginjal dan juga bersifat karsinogenik (Dzalfa, 2007).

Di Indonesia, zat warna makanan termasuk dalam Bahan Tambahan Pangan yang diatur melalui UU RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan pada bab II, bagian kedua, pasal 10. Dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa dalam makanan yang dibuat untuk diedarkan, dilarang untuk ditambah dengan bahan apapun yang dinyatakan dilarang atau melampaui batas ambang maksimal yang ditetapkan. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.239/Menkes/Per/V/85 terdapat 34 jenis zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang penggunaannya pada makanan (Utami, 2005).

Hasil penelitian terhadap 40 sampel jajanan terdiri dari 20 sampel makanan jajanan dan 20 sampel minuman jajanan yang ada disekolah dasar Jakarta dengan alat hot plate and stritter dengan menggunakan serat woll. Makanan jajan diperiksa dibagi menjadi lima kategori yaitu ketegori bumbu, saus, produk daging olahan, produk olahan tepung dan produk bubur. Sedangkan minuman jajanan diperiksa dibagi tiga kategori yaitu kategori sirup, minuman es, air gula bubur. Hasil penelitian menunjukkan dari 20 sampel makanan yang diperiksa, 9 sampel positif mengandung zat pewarna sintesis yang dilarang. Sedangkan 20 sampel minuman yang diperiksa, 17 positif mengandung zat pewarna sintesis yang dilarang Permenkes No.722/Menkes/Per/IX/88. Zat pewarna sintesis itu adalah Sunset yellow, Amaranth dan Eritrosin (Syarifah, 2014).

Hasil penelitian juga dilakukan Trestiati Tahun 2003 pada jajanan siswa SD di Bandung diperoleh data bahwa Rhodamin B pada berbagai jenis kerupuk, jelly, aromanis dan minuman dalam kadar yang cukup tinggi antara 7.841-3226,55 ppm. Sehingga perkiraan asupan yang diterima anak SD kelas 4 sebesar 0,455 mg/kg-hari, perkiraan asupan

yang diterima anak SD kelas 5 sebesar 0,379 hari dan kelas 6 sebesar 0,402 mg/kg-hari (Sumarlin, 2010).

Hasil pnelitian pada permen yang bermerek dan tidak bermerek di Kota Medan, pemeriksaan dari 7 lollipop bermerek terdapat 1 permen mengandung Ponceau 3R dan 7 lollipop tidak bermerek terdapat 1 permen mengandung Ponceau 3R, Kadar dari 7 sampel lolipop bermerek mengandung zat pewarna yang melebihi batas yaitu, A 450 mg/kg, S 441 mg/kg dan F 451 mg/kg (Mariana, et.al, 2012). Bila dibandingkan dengan Permenkes RI No.722/ Menkes/ Per/ 1988, jenis dan kadar zat pewarna buatan pada permen lolipop masih ada yang tidak dizinkan dan tidak memenuhi syarat kesehatan.

Penelitian sejenis juga dilakukan pada sirup yang tidak bermerek di Kota Semarang. Identifikasi dengan metode kromatografi kertas dan gravimetri. Dari 13 sampel yang diperiksa secara kualitatif ada 11 sampel (84,6%) menggunakan zat pewarna yang diizinkan yaitu sunset yellow, tartazine, fast green dan ponceau 4R. sedangkan ada 2 sampel menggunakan zat pewarna dilarang yaitu Ponceau 3R dan rhodamin B,dengan kadar 0,19 mg/kg dan 0,20 mg/kg (Judika, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa terlihat masih banyak pemanis sintetis yang beredar dan digunakan sebagai pemanis dalam berbagai produk makanan dan minuman, meskipun diizinkan namun masih juga terdapat penggunaan kadar yang melebihi batas dan penggunaan jenis pewarna sintetis yang dilarang. ini merupakan contoh beberapa kasus penggunaan zat pewarna yang belum diawasi secara penuh oleh Badan POM.

2.4.2 Dampak Zat Warna Terhadap Kesehatan

anak. Penggunaan erythrosine secara berlebihan menyebabkan reaksi alergi pada pernafasan, hiperaktif pada anak, tumor tiroid pada tikus dan efek kurang baik pada otak dan perilaku. Penggunaan fast green FCF secara berlebihan menyebabkan reaksi alergi dan produksi tumor. Sementara, penggunaan sunset yellow secara berlebihan menyebabkan radang selaput lendir pada hidung, sakit pinggang, muntah-muntah, dan gangguan pencernaan (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Sedangkan menurut lembaga pembinaan dan perlindungan konsumen (LP2K), penggunaan zat pewarna pada makanan secara tidak bertanggung jawab akan mengakibatkan kemunduran kerja otak, sehingga anak–anak menjadi malas, sering pusing dan menurunnya konsentrasi belajar (Sastrawijaya, 2000). Mengingat zat pewarna yang ditambahkan kedalam makanan bersifat kumulatif didalam tubuh, jika jumlahnya semakin banyak terdapat didalam tubuh akan berpotensial menimbulkan kanker.

Absorbsi zat pewarna di dalam tubuh diawali dari dalam saluran pencernaan dan sebagian dapat mengalami metabolisme oleh mikro organisme dalam usus. Dari saluran pencernaan dibawa langsung kehati melalui vena portal atau melalui sistem limpatik ke vena superior. Di hati senyawa dimetabolisme dan atau dikonjugasi, kemudian di transportasikan ke ginjal untuk diekskresikan atau dikeluarkan bersama urine (Noviana, 2005).

Dokumen terkait