• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keamanan Pangan

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

siap untuk dimasukkan kedalam botol atau wadah lainnya hingga ketinggian 1 cm dibawah tutup. Tutup rapat botol atau wadah lainnya dengan penutup yang sebelumnya telah distrerilisasi.

6. Beri label pada kemasan dan selai buah siap didistribusikan (Saptoningsih dan Jatnika, 2012).

Adapun hal yang harus diperhatikan dalam membuat selai buah adalah aturla api kompor, gunakan api yang sedang. Jangan gunakan api yang terlalu besar karena akan menghasilkan suhu yang tinggi sehingga selai menjadi terlalu keras dan kental, sebaiknya selai dimasak pada suhu 100 oC. Aduk selai secara terus-menurus, tetapi jangan terlalu cepat karena akan merusak tekstur selai yang akan dihasilkan. Proses pembuatan selai harus singkat agar organoleptik (aroma, rasa, warna) tidak berubah.

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Selai Buah 1.Strawberry 2.Blueberry Pemeriksaan Zat Pemanis : (Sakarin danSiklamat) Zat Pewarna : (Amaranth,Indigotin dan Tartazine,) Ada Tidak ada Memenuhi syarat/tidak memenuhi syarat Permenkes RI No.33 Tahun 2012 Bahan Tambahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku dan bahan lain yang digunakan dalam proses pengolahan makanan dan minuman (Mahendratta, 2007). Karena itu masalah yang berkaitan dengan pengolahan pangan dari tahap produksi sampai ketahap konsumen harus ditanganin sampai tuntas agar mutu kehidupan manusia terus meningkat. (Pratama et.al, 2015).

Undang - Undang Kesehatan RI No.36 Tahun 2009 Pasal 109-111 tentang pengamanan makanan dan minuman menyebutkan setiap orang dan badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus terjamin agar aman bagi manusia, dan lingkungan (Depkes, 2009).

Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan tambahan pangan semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis. Banyaknya bahan tambahan pangan dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian bahan tambahan pangan yang berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu (Cahyadi, 2009).

Seiring berkembangnya teknologi, produksi instan sangat digemari oleh masyarakat karena mudah, cepat dan murah. Berkembangnya bahan tambahan pangan

mendorong pula perkembangan makanan hasil olahan pabrik, yakni bertambah aneka ragam jenisnya serta cita rasa dan penampakannya (Saparianto dan Hidayati, 2006).

Penggunaan bahan tambah pangan (BTP) banyak digunakan oleh para produsen untuk memberikan daya tarik tersendiri bagi produksi pangan. BTP seperti pewarna mampu menarik mata pembeli. Anak-anak dan orang dewasa pun terkadang sering terjebak oleh tampilan luar dari makanan seperti warna dan bentuk. Hal ini merupakan kelemahan konsumen yang dimanfaatkan oleh produsen. Sehingga konsumen harus cerdas memilih produk yang aman untuk di konsumsi, karena tidak semua bahan tambahan (adiktif) aman bagi tubuh (Aminah dan Himawan, 2009).

Berdasarkan Permenkes No. 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, penggolongan BTP terdapat 27 golongan, beberapa golongan yang biasa menjadi perhatian masyarakat seperti zat pewarna, pemanis dan pengawet (Permenkes RI, 2012). Penggunaan Bahan Tambahan Pangan seperti pewarna dan pemanis buatan sering dilakukan terhadap bahan pangan untuk dikonsumsi sehari-hari. Pada dasarnya penggunaan BTP memiliki persyaratan khusus, yaitu tidak bersifat toksik (racun), tidak digunakan untuk upaya menutupi keadaan buruk yang sesungguhnya, dan penggunaan harus sesuai dengan dosis tertentu untuk menghindari efek keracunan atau alergi yang dapat terjadi (Mahendradatta, 2007).

Departemen kesehatan telah memasyarakatkan BTP yang diizinkan dalam proses produksi makanan dan minuman, yang tertuang dalam Permenkes dengan acuan UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menekankan aspek keamanan. Sedangkan UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan, selain mengatur aspek keamanan dan mutu dan gizi, juga

mendorong terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab serta terwujudnya tingkat kecukupan pangan yang terjangkau sesuai kebutuhan masyarakat (Cahyadi, 2009).

Walaupun pemerintah sudah menetapkan peraturan mengenai penggunaan BTP, masih saja produsen yang menggunakan BTP yang dilarang yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Seperti hasil penelitian BPOM yang telah dilakukan di 18 provinsi pada Tahun 2008 diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar dan Padang terhadap 861 contoh makanan terbukti bahwa 39,95% (344 sampel) tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Terdapat 10,45% mengandung Rhodamin B dan Metanil Yellow (BPOM, 2008)

Penelitian juga dilakukan Badan POM terhadap Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang diambil dari 886 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang tersebar di 30 kota di Indonesia. Selama Tahun 2011 telah diambil sebanyak 4.808 sampel PJAS terdapat 1.705 (35,46%) sampel diantaranya tidak memenuhi syarat kemanan dan mutu pangan (BPOM, 2011).

Hasil pengujian terhadap parameter uji bahan tambahan pangan yang dilarang yaitu boraks dan formalin pada 3.206 sampel terdiri dari mie basah, bakso, kudapan dan minuman ringan, diketahui bahwa 94 (2,93%) sampel mengandung boraks dan 43 (1,43%) formalin. Untuk pewarna yang dilarang pada 3.925 sampel terdiri dari minuman berwarna merah, sirup, jelly, dan makanan ringan diketahui 40 sampel mengandung Rhodamin B. Disamping itu dari 3.925 sampel produk PJAS juga ditemukan 421 (10,73%) sampel mengandung pemanis siklamat, 52 (1,32%) sakarin, 10 (0,25%) asesulfam yang melebihi batas persyaratan. Dan 32 (0,82%) sampel mengandung pengawet benzoate, 4 (0,10%) sorbat yang juga melebihi batas persyaratan (BPOM, 2011).

Penggunaan bahan tambahan makanan yang dinyatakan terlarang pada produk makanan atau penggunaan yang melebihi batas ketentuan aman, masih sering ditemukan dipasaran. Produk makanan yang kurang sehat berasal dari industri kecil dan industri rumah tangga atau bahkan juga tanpa disadari masih selalu muncul dikeluarga. Sehingga penggunaan pewarna makanan sering menimbulkan kontroversi khususnya terhadap resiko kesehatan (Pitojo dan Zumiati, 2009).

Penelitian tahun 2011 yang telah dilakukan Badan POM terhadap pemeriksaan 4.946 sarana distribusi pangan, 1,752 (35,42%) sarana distribusi ditemukan tidak memenuhi ketentuan karena menjual produk pangan rusak, pangan kadaluarsa, pangan Tanpa Izin Edar (TIE) dan pangan Tidak Memenuhi Ketentuan (TMK) label. Dari hasil intensifikasi pengawasan dicurigai pada sarana distribusi ditemukan 164.529 kemasan pangan memenuhi syarat. 4.155 (2,53%) pangan dalam keadaan rusak, 49.433 (30,04%) pangan kadaluarsa, 80.442 (48,89%) pangan TIE, dan 30.499 (18,45%) pangan TMK (BPOM, 2011).

Banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi dimasyarakat mengindikasikan adanya kesalahan yang dilakukan masyarakat dalam mengolah dan mengawetkan bahan makanan yang dikonsumsi. Problematika mendasar pengolahan makanan dilakukan masyarakat lebih disebabkan budaya pengolahan pangan yang kurang berorientasi terhadap nilai gizi. Serta keterbatasan pengetahuan sekaligus desakan sehingga masalah pemenuhan dan pengolahan bahan pangan terabaikan (Pratama et.al, 2015).

Hasil penelitian juga di lakukan oleh Ayuningtias pada jajanan roti di Kecamatan Binjai Kota dan Binjai Utara tahun 2014 terhadap zat pewarna, zat pemanis dan zat pengawet menunjukkan dari 20 roti isi selai terbukti menggunakan zat pewarna, 2 (16,7%)

menggunakan Rhodamine B. Dari 20 roti isi selai terdapat 9 (45%) jajanan roti mengunakan zat pemanis siklamat. Dari 60 jajanan roti seluruhnya menggunakan zat pengawet potassium bromated (Ayuningtias, 2014).

Sejumlah zat aditif berdampak buruk pada sistem pencernaan, saraf, pernapasan, dan kulit. Gangguan pada pencernaan berupa diare dan nyeri. Gangguan pada saraf berupa hipereaktivitas, insomnia dan iritasi. Gangguan pernapasan berupa asma, rhinitis, dan sinusitis. Sementara gangguan pada kulit berupa urtikaria, gatal, kemerahan dan pembengkakan (Arisman, 2009).

Salah satu jenis produk makanan yang biasanya menggunakan bahan tambahan makanan adalah selai. Selai buah merupakan salah satu produk pangan semi basah yang cukup dikenal dan disukai masyarakat. Food and Drug Administration (FDA) mendefinisikan selai sebagai produk olahan buah-buahan, baik berupa buah segar, buah beku, buah kaleng maupun campuran ketiganya, pemanfaatan buah menjadi produk selai dapat mendatangkan keuntungan yang cukup. Selai yang dihasilkan juga dapat disimpan dalam waktu relatif lama (Fachruddin, 1997).

Penelitian Agustina pada produk selai yang beredar dibeberapa pasar tradisional Kota Medan tahun 2013, diketahui dari 12 sampel selai yang diperiksa (selai bermerek dan tidak bermerek) ditemukan dari 6 selai roti bermerek yang diperiksa 4 sampel mengandung zat pewarna yang diizinkan dan 6 sampel selai roti tidak bermerek yang diperiksa 3 sampel mengandung zat pewarna yang diizinkan yaitu Amaranth dan Tartrazine. Kadar yang terdapat pada 12 sampel selai roti bermerek terdapat 2 sampel yang tidak memenuhi syarat yaitu 346 mg/kg, 205 mg/kg dan 1 sampel selai roti tidak bermerek tidak memenuhi syarat yaitu 295 mg/kg (Agustina, 2013).

Banyaknya produk selai dengan merek yang berbeda dipasaran membuat para produsen rumah tangga bersaing meningkatkan daya tahan penyimpanan serta penampilan pada selai dengan menambahkan berbagai bahan tambahan makanan (BTM), diantaranya yang digunakan seperti bahan zat pemanis, zat pewarna dan zat pengawet. Banyaknya selai dalam kemasan yang berasal dari produksi rumah tangga yang penambahan BTM tidak dicantumkan berupa kadar BTM, sehingga dimungkinkan kadar yang ditambahkan melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan (Pratama et.al, 2015).

Pada dasarnya pasar tradisional mempunyai fungsi untuk menyediakan kebutuhan hidup masyarakat sehingga pasar menjadi tempat yang sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat di Kota Medan. Pasar tradisional banyak menyediakan berbagai produk pangan berupa kebutuhan primer maupun sekunder seperti beras, sayur mayur, ikan, daging, buah-buahan, pakaian, sepatu dan lain-lain. Jumlah pasar tradisional yang ada di Kota Medan terdiri dari lima puluh tiga jenis pasar baik yang berskala kecil maupun berskala besar. Segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat dengan mudah dapat ditemukan dalam pasar yang menyediakan segalanya yang dibutuhkan (Carolina,2013).

Hasil survei pendahuluan peneliti di beberapa pasar tradisional yang ada di kota Medan seperti Pasar Helvetia, Pasar Setia Budi, Pasar Kampung Lalang, Pasar Simpang Limun dan Pasar Aksara. Pasar ini dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan pasar-pasar ini yang hanya menjual produk selai buah tidak bermerek dengan banyak variasi rasa seperti rasa strawberry, blueberry, nanas, coklat dan selai lainnya seperti srikaya, kacang dan pandan. Variasi rasa dari selai banyak diminati oleh masyarakat, baik itu untuk dikonsumsi sendiri (35%) dan digunakan ke dalam produk makanan untuk dijual (75%) berdasarkan

Selai buah rasa strawberry, blueberry dan nanas dipilih sebagai sampel penelitian nantinya karena selai rasa ini lebih diminati masyarakat Kota Medan disamping harga yang relatif murah dan memiliki karakteristik yang berbeda dari selai lainnya seperti aroma yang khas, rasa yang manis dan warna yang menarik serta mempunyai daya simpan yang cukup lama dan mudah untuk diaplikasikan ke berbagai produk makanan.

Biasanya selai buah paling banyak digunakan untuk isi roti bakar yang ada dijual di beberapa jalan yang ada di Kota Medan. Selain itu selai juga digunakan untuk aneka kue, cemilan dan isi roti pedagang keliling. Selai ini mudah dijumpai ditoko roti dan ditoko makanan di beberapa pasar tradisional di Kota Medan, selai ini dikemas rapat dengan berbagai jenis ada selai bermerek dan tidak bermerek yang berasal dari produksi lokal maupun import dari luar negri.

Peneliti disini hanya memfokuskan pada selai buah yang tidak bermerek yang dipasarkan dibeberapa pasar tradisional Kota Medan, dijual dalam bentuk kemasan plastik ukuran seperempat dan setengah kilogram dengan harga yang relatif murah sehingga dikhawatirkan terjadinya penyimpangan dalam jenis dan kadar penggunaan bahan tambahan pangan seperti zat pewarna, pemanis dan pengawet pada selai tersebut. Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan peneliti tertarik untuk menganalisis jenis dan kadar penggunaan bahan tambah pangan seperti zat pewarna, pemanis dan pengawet pada selai buah yang tidak bermerek.

Dokumen terkait