• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU NO.8 Tahun 1999 (Studi pada Rumah Sakit Elisabeth Medan )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU NO.8 Tahun 1999 (Studi pada Rumah Sakit Elisabeth Medan )"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Meperoleh

Gelar Sarjana Hukum

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Oleh : DEWI RATIH

090200412  

                                     

   

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

berpikir kepada Penulis sehingga skripsi ini telah selesai dikerjakan.

Skripsi ini berjudul :Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 (Studi Pada Rumah Sakit

Elisabeth Medan). Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Sunarto Adi Wibowo, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan Penulis selama proses penulisan skripsi. 3. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang

telah membimbing dan mengarahkan Penulias selama proses penulisan skripsi.

(3)

saying yang sedari kecil diberikan. Tanpa cinta, dukungan dan doanya sangat sulit bagi Penulis untuk mencapai cita-citanya. Skripsi ini Penulis persembahkan buat Ayahanda dan Ibunda.

5. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpuastakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak H. M. Dharma Bakti Nasution., SE., SH., MH dan seluruh pegawai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang telah membantu Penulis dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek di Rumah Sakit ditinjau dari UU No.8 Tahun 1999.

8. Kepada adik Penulis, yaitu Rizky Fajariah yang sangat penuli sayangi serta seluruh keluarga besarku yang memberikan perhatian dan semangat untuk ku agar terus maju.

(4)

10.Kepada sahabat-sahabat yang penulis sayangi : Dian Sasmita Hsb, SH, Mulkan Balya, SH, Muhammad Iqbal Harahap, Yudhistira Frandana, Mutia Ulfa, SST. Terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.

11.Kepada teman-teman seperjuangan ku : Fauzul Asyura, SH, M. Subhi Sholih, SH, Dea Arum Amelia Lbs, SH, Lutfi, Reza Surya, James RNP, Wahyu. Terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini.

12.Kepada seluruh teman-teman stambuk 2009 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Demikianlah Penulis sampaikan, Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan hendaknya.

Medan, Januari 2014

(5)

Daftar Isi iv

Abstraksi vi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang 1

B.Rumusan Masalah 8

C.Tujuan Penulisan 9

D.Manfaat Penulisan 9

E. Metode Penulisan 10

F. Keaslian Penulisan 13

G.Sistematika Penulisan 13

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN

A.Pengertian Perjanjian/Perikatan 16

B. Jenis-jenis Perjanjian 22

C. Asas Perjanjian 24

D.Syarat Sahnya Perjanjian 28

E. Wanprestasi 33

F. Perbuatan Melawan Hukum 35

BAB III KONTRAK TERAPEUTIK DAN PERLINDUNGAN

KONSUMEN

A.Pengertian Kontrak Terapeutik 39

B.Aspek Hukum Keperdataan dalam Kontrak

Terapeutik 42

C.Dasar Hukum Kontrak Terapeutik 46

D.Hubungan Hukum Para Pihak yang Terkait dalam

Kontrak Terapeutik 48

(6)

1. Pengertian Informed Consent 50

2. Bentuk Informed Consent 53

3. Yang Berhak Memberikan Persetujuan Tindakan

Medis 55

4. Tujuan Pemberian Persetujuan Tindakan Medis 58 5. Akibat Hukum Tenaga Kesehatan Melakukan

Tindakan Medis Tanpa Persetujuan Tindakan

Medis 61

F. Pengertian Konsumen 63

G.Hak dan Kewajiban Konsumen 64

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN

MALPRAKTEK DI RUMAH SAKIT DI TINJAU DARI UU

NO.8 TAHUN 1999 (studi pada Rumah Sakit Elisabeth Medan)

A.Pengertian Malpraktek 67

B.Akibat Hukum dari Malpraktek 70

C.Perlindungan Hukum Terhadap Pasien

Malpraktek 71

D.Putusan di BPSK Kota Medan Sudah Memenuhi

Unsur-Unsur Perlindungan Konsumen 75 E. Kendala-kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen

di BPSK Kota Medan 82

F. Kekuatan Hukum Terhadap Putusan BPSK Terhadap

Para Pihak 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan 87

B.Saran 92

Daftar Pustaka

(7)

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Kesehatan juga merupakan hak manusia untuk sehat, dimana apabila kesehatan tersebut terganggu maka manusia membutuhkan jasa pelayanan kesehatan untuk mengembalikan kondisi sehat tersebut. Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit yang dilakukan oleh dokter, dimana dokter mempunyai keahlian dibidang medis sedangkan pasien merupakan orang sakit yang tidak mengerti dengan penyakit yang dideritanya sehingga mempercayai dirinya untuk diobati oleh dokter.

Dalam skripsi ini akan dibahas beberapa permasalahan yaitu apa putusan di BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen dan apa saja kendala-kendala penyelesian sengketa di BPSK kota Medan serta bagaimana kekuatan hukum terhadap putusan BPSK. Untuk memperoleh data primer telah dilakukan penelitian lapangan dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung dalam masalah ini. Disamping itu untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat di simpulkan bahwa putusan BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur perlindungan konsumen: produk hukum BPSK dalam hal keputusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK sudah memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada konsumen dan memberikan sanksi administratif serta sanksi moril dimana pelaku usaha dalam hal ini rumah sakit Santa Elisabeth untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen serta memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan pertolongannya dimasa yang akan datang. Kendalanya: pihak rumah sakit tidak dapat menghadirkan saksi-saksi yng seharusnya dapat memperlihatkan titik terang dari apa sebenarnya persoalan yang dialami pihak rumah sakit,mengapa mereka sampai salah mendiaknosa pasien tersebut. Kekuatan hukum putusan BPSK: bagi pasien rumah sakit, diluar putusan seluruh pasien diharapkan memahami dan mengerti tentang perjanjian sebelum melakukan operasi agar nanti tidak timbul persengketaan konsumen ini di kemudian hari. Bagi pihak rumah sakit, diluar putusan agar pihak rumah sakit sebagai pelaku usaha diwajibkan menseleksi calon dokter yang bekerja di rumah sakit sesuai dengan keahliannya,agar dokter yang terpilih dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan profesional bagi para calon pasien yang akan dirawat.

Kata kunci : Perlindungan Hukum, Pasien Malpraktek, Rumah Sakit

Mahasiwa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I

(8)

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Kesehatan juga merupakan hak manusia untuk sehat, dimana apabila kesehatan tersebut terganggu maka manusia membutuhkan jasa pelayanan kesehatan untuk mengembalikan kondisi sehat tersebut. Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit yang dilakukan oleh dokter, dimana dokter mempunyai keahlian dibidang medis sedangkan pasien merupakan orang sakit yang tidak mengerti dengan penyakit yang dideritanya sehingga mempercayai dirinya untuk diobati oleh dokter.

Dalam skripsi ini akan dibahas beberapa permasalahan yaitu apa putusan di BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen dan apa saja kendala-kendala penyelesian sengketa di BPSK kota Medan serta bagaimana kekuatan hukum terhadap putusan BPSK. Untuk memperoleh data primer telah dilakukan penelitian lapangan dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung dalam masalah ini. Disamping itu untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat di simpulkan bahwa putusan BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur perlindungan konsumen: produk hukum BPSK dalam hal keputusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK sudah memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada konsumen dan memberikan sanksi administratif serta sanksi moril dimana pelaku usaha dalam hal ini rumah sakit Santa Elisabeth untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen serta memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan pertolongannya dimasa yang akan datang. Kendalanya: pihak rumah sakit tidak dapat menghadirkan saksi-saksi yng seharusnya dapat memperlihatkan titik terang dari apa sebenarnya persoalan yang dialami pihak rumah sakit,mengapa mereka sampai salah mendiaknosa pasien tersebut. Kekuatan hukum putusan BPSK: bagi pasien rumah sakit, diluar putusan seluruh pasien diharapkan memahami dan mengerti tentang perjanjian sebelum melakukan operasi agar nanti tidak timbul persengketaan konsumen ini di kemudian hari. Bagi pihak rumah sakit, diluar putusan agar pihak rumah sakit sebagai pelaku usaha diwajibkan menseleksi calon dokter yang bekerja di rumah sakit sesuai dengan keahliannya,agar dokter yang terpilih dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan profesional bagi para calon pasien yang akan dirawat.

Kata kunci : Perlindungan Hukum, Pasien Malpraktek, Rumah Sakit

Mahasiwa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I

(9)

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah penyelenggaraan kesehatan untuk mencapai hidup sehat bagi setiap penduduk secara optimal, karena merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasiaonal. Praktek kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional seperti dokter, bidan, dokter gigi dan memenuhi standar tertentu dan telah mendapat izin dari institusi yang berwenang, serta bekerja sesuai standar profesional yang ditetapkan oleh organisasi.

(10)

yang bersangkutan. Namun saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas dan spesifik mengenai permasalahan malpraktek ini.

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang didasarkan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan kesembuhan atas penyakit yang di deritanya. Dokter merupakan pihak yang mempunyai keahlian di bidang medis atau kedokteran yang di anggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan medis. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang tidak mengerti dengan penyakit yang di deritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan disembuhkan oleh dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien.

(11)

media cetak, bahwa banyak ditemui malpraktek yang dilakukan kalangan dokter Indonesia.

Hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktek belum bisa dirumuskan, sehingga isi pengertian dan batasan-batasan malpraktek kedokteran belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran selanjutnya disebut UUPKn juga tidak memuat tentang ketentuan malpraktek kedokteran. Pasal 66 ayat (1) mengandung kalimat yang mengarah kepada kesalahan praktek dokter yaitu : setiap orang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia . Norma ini hanya memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan pula sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal itu hanya mempunyai arti dari sudut Hukum Administrasi Praktek Kedokteran.

(12)

perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.1

Secara global, substansi hukum perlindungan konsumen mengalami perubahan untuk menghadapi perkembangan perdagangan yang terus mengglobal. Dalam hukum perlindungan konsumen dikenal tuntutan ganti kerugian konsumen kepada produsen, yang berdasarkan tiga teori tanggung jawab, yaitu tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence), tuntutan berdasarkan ingkar janji atau wanprestasi (breach of warranty), dan tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip tanggung jawab produk dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan modifikasi terhadap prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan.

Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam pasal 1 angka 1 UUPK dinyatakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab2.

Tujuan yang ingin dicapai perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi dalam tiga bagian utama, yaitu:

      

1 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, Banjarmasin : FH Unlam Press,2008 hal. 1

2

(13)

1 Memberdayakan konsumen dalam memilih,menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya;

2 Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsure-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi;

3 Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab.

Dari ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu “kedudukan” yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha. Ketidakseimbangan ini menyangkut bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen. Sering kali konsumen tidak berdaya mengahadapi posisi yang lebih kuat dari para pelaku usaha.

Melalui UUPK menetapkan sembilan hak konsumen, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang di janjikan

(14)

d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan

e. Hak untuk mendapat advokasi perlindungan konsumen secara patut f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang di terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain memperoleh hak, konsumen juga diwajibkan untuk:

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa

3) Membayar sesuai nilai tukar yang di sepakati

4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

(15)

ataupun di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 45 UUPK antara lain:

a) Adanya kerugian yang di derita konsumen b) Gugatan dilakukan terhadap pelaku usaha c) Dilakukan melalui pengadilan

Pasal 48 UUPK dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum dengan memperhatikan pasal 45 UUPK. Selain itu, menurut ayat (1), penyelesaian sengketa dapat dilakukan di luar jalur pengadilan. Penyelesaian di luar jalur pengadilan dapat di lakukan dengan memanfaatkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 58 UUPK.

(16)

pelanggaran terhadap undang-undang, meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK, mendapatkan meneliti dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen, memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen, dan menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketetntuan undang-undang ini.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik membahas permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “ Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 (studi

pada Rumah Sakit Elisabeth Medan)”.

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan di bahas penulis adalah sebagai berikut: 1. Apakah putusan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota

Medan sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen ?

2. Apa kendala-kendala penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Medan ?

(17)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian ini berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan diatas, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui putusan di BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen

2. Untuk mengetahui kendala-kendala penyelesaian sengketa di BPSK kota Medan

3. Untuk mengetahui kekuatan hukum terhadap putusan BPSK terhadap para pihak (pasien dan rumah sakit)

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penulisan, adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Manfaat teoritis, dapat memperluas khasanah kajian keilmuan tentang menganalisa perlindungan hukum terhadap pasien malpraktek dokter ditinjau dari UU No.8 Tahun 1999.

2. Manfaat praktis:

a. Untuk pemerintah sebagai pembuat kebijakan, agar memberikan perhatian terhadap perlindungan pasien dan segera merealisasikan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan perlindungan pasien.

(18)

c. Untuk kalangan masyarakat sebagai konsumen atau pasien agar mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien sebagai konsumenjasa pelayanan dibidang kesehatan.

E. Metode Penulisan

Metode dapat diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu. Dalam karya ilmiah,diperlukan data-data baik data primer maupun sekunder. Data-data ini dipergunakan sebagai bahan analisis guna membuktikan dari kebenaran hypotesa. Dalam penulisan skripsi ini penulis telah berusaha mengumpulkan data, baik yang terdapat dalam teori maupun dalam praktek pelaksaannya.

Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan serta untuk melemgkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang dipergunakan antara lain:

1. Jenis Penelitian

(19)

2. Metode pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum doctrinal yang bersifat normatif, yang mana penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu lebih mementingkan terhadap data sekunder dan data primer hanya dipakai sebagai data pelengkap. Dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma yang tertulis yang dibuat dan di undangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Hukum merupakan objek penyelidikan dan penelitian berbagai disiplin keilmuan, sehingga dikatakan bahwa hukum adalah ilmu bersama (rechts is mede wetenschap).3

3. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUH Perdata;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini.4

      

3

Jhonny Ibrahim, Teory & Metologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2005, hal. 33  

4

(20)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.5

4. Tekhnik pengumpulan data

Pada pengumpulan data yang penulis gunakan, berkisar pada dua instrument utama, yaitu : studi kepustakaan dan wawancara. Untuk memperoleh data dalam penelitian deskriptif, maka dapat dipakai teknik pengumpulan data yaitu wawancara. Wawancara (interview) merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung dan lisan dengan responden, guna memperoleh informasi atau keterangan yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Metode ini merupakan alat pengumpulan data yang diperoleh dengan cara mengumpulkan dan mempelajari berbagai data sekunder yang ada kaitannya secara langsung maupun tidak langsung dengan objek yang diteliti.

5. Analisi data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara normatif kualitatif yang selanjutnya akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Kemudian semua data yang diseleksi dan diolah, lalu dinyatakn secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan

      

5

(21)

solusi terhadap permasalahan yang dimaksud dan pada tahap akhirnya dapat ditemukan hukum in concreto-nya.

F. Keaslian Penulisan

“Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Tinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 (Studi Pada Rumah Sakit Elisabeht Medan)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU),terutama yang berkaitan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek di Tinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 (Studi Pada Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)). Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwa substansi penulisannya berbeda. Penulisan skripsi ini berdasarkan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini antara lain adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

(22)

BAB II : TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN

Bab ini menjabarkan hal-hal yang menjelaskan pengertian perjanjian/perikatan, jernis-jenis perjanjian, asas perjanjian, syarat sahnya perjanjian, wanprestasi, perbuatan melawan hukum (onrechtmategedad).

BAB III : KONTRAK TERAPEUTIK (PERJANJIAN

PELAYANAN KONSUMEN)

Bab ini menjabarkan hal-hal umum yang berkenaan dengan pengertian kontrak terapeutik, aspek hukum keperdataan dalam kontrak terapeutik, dasar hukum kontrak terapeutik, hubungan hukum para pihak yang terkait dalam kontrak terapeutik, pengertian inform consent, bentuk inform consent, yang berhak memberikan persetujuan tindakan medis, tujuan pemberian persetujuan tindakan medis, akibat hukum tenaga kesehatan melakukan tindakan medis tanpa persetujuan tindakan medis.

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN

MALPRAKTEK DI TINJAU DARI UU NO.8

TAHUN 1999

(23)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini dirumuskan suatu kesimpulan dari pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan memberikan saran yang diharapkan mungkin akan dapat berguna dalam prakteknya.

(24)

A. Pengertian Perjanjian/Perikatan

Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, istilah Perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam penjelasan itu. Sementara dalam kamus hukum dijelaskan bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.

(25)

Pasal 1233 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.

Beberapa sarjana tidak menggunakan istilah perjanjian akan tetapi memakai istilah persetujuan. Mereka berpendapat pemakaian istilah tersebut tidaklah merupakan persoalan yang mendasar, karena suatu perjanjian sebenarnya berasal dari adanya persetujuan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan salah satu sumber perikatan disamping sumber-sumber perikatan lainnya, perjanjian disebut sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi tertentu.

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa :

“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih meningkatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

(26)

suatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian sepihak saja. Akan tetapi,kalau disbutkan juga tentang adanya kedua belah pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak.

Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata diatas memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad yang menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan dari Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut :6

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan satu orang saja atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri jadi ada consensus antara para pihak. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa Consensus

Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus seharusnya dipakai kata persetujuan.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan dan janji perkawinan yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

      

6

(27)

4. Tanpa menyebut tujuan

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disbutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian tersebut dibuat.

Kemudian Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi :

a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan perbuatan hukum.

b. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Dalam membuat sebuah pengertian tentang perjanjian, setiap sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi perjanjian. Namun, untuk mempermudah pengertian perjanjian dari para sarjana, maka berikut adalah beberapa pendapat yang dikemukakan pleh beberapa sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Menurut Setiawan perjanjian adalah sebagai berikut :

”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”7

      

7

(28)

2) Menurut Subekti :

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal itu”8

3) Menurut Wirjono Prodjodikoro :

“perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain menurut pelaksanaan sesuatu hal itu.”9

4) Menurut Mariam Darus Badrulzaman :

“Perjanjian adalah suatu perhubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak satu berhak atas prestasi dan pihak lain wajib memenuhi kewajiban itu.”10

Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi.

Dari beberapa pengertian tentang perjanjian yang telah diurikan diatas, terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat       

8

Subekti, Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa, Jakarta, 1980, hal. 1 

9

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1992, hal. 12 

10

(29)

satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Namun, dalam prakteknya bukan hanya orang perorangan yang membuat perjanjian, namun termasuk juga badan hukum yang juga merupakan subjek hukum.

Selain itu dalam merumuskan suatu perjanjian terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian antara lain sebagai berikut :

a) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak

Pihak subjek dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum.

b) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap

Unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan (kesepakatan) antara pihak. Sifat persetujuan dalam suatu persetujuan disini haruslah tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran.

c) Aa tujuan yang akan dicapai

(30)

d) Ada prestasi yang akan dilaksanakan

Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

f) Bentuk perjanjian perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-Undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan terbukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta.

g) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian

Syarat-syarat tersebut biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok.

B. Jenis-Jenis Perjanjian

Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir.11 Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.12sedangkan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.13

Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :14

      

11

 Komariah, Hukum Perdata, Malang, Universitas Muhammdiyah Malang, 2002, hal. 169 

12 

Ibid 13

Ibid. hal. 170

(31)

1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian penanggungan (Borgtocht), dan perjanjian pemberi kuasa tanpa upah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memebebankan prestasi pada kedua pihak. Misalnya jual beli.

2. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual-beli, sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan bunga.

3. Perjanjian konsensuil, perjanjian riill dan perjanjian formil

(32)

dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia.

4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur didalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus oleh undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, franchising, dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika, dan membersihkan kamar). Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi :

a. Zakelijk overeenkomst, adalah perjanjian yang menetapkan

dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.

b. Befivs overeenkomst, adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.

c. Liberatoir overeenkomst, adalah perjanjian dimana seseorang

membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.

d. Vaststelling overeenkomst, adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.

C. Asas Perjanjian

(33)

terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan yang konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri dari peraturan konkrit tersebut.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sangat penting bagi hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Miru, di antaranya:15

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. Bebas menetukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;       

15

(34)

c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupaka suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat BUKU III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.

2. Asas konsensualisme

(35)

dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.16

3. Asas Pacta Sunt-Servanda

Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian. Mengikat sebagai undang-undang memiliki makna bahwa, para pihak yang mebuat perjanjian wajib menaati perjanjian sebagaimana mereka menaati undang-undang. Dan pihak ketiga termasuk hakim, wajib menghormati perjanjian tersebut, juga tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak. Tidak mencampuri isi hukum perjanjian artinya pihak ketiga tidak boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian dan tidak boleh menghilangkan kewajiban-kewajiban kontraktual yang timbul dari perjanjian tersebut. Karena para pihak wajib mentaati isi perjanjian yang mereka buat, akibatnya perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Jika akan ditarik kembali, harus dengan kesepakatan para pihak atau dengan alas an undang-undang yang menyatakan cukup untuk itu. Asas kepastian hukum akan dapat dipertahankan sepenuhnya, jika para pihak dalam perjanjian, kedudukannya seimbang dan para pihak sama-sama cakap melakukan perbuatan hukum.

4. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam pasal 1338 KUH Perdata yang meyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksana perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun kreditur.

      

16

(36)

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).17

5. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata.

Pada pasal 1315 dinyatakan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya, Pasal 1340 dinyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian-perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

D. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah apabila terpenuhi 4 syarat, yaitu:

1. Adanya kata sepakat;

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian; 3. Adanya suatu hal tertentu;

       17

(37)

4. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhioleh subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat obyektif. Adapun penjelasan masing-masing adalah sebagai berikut.

a. Kata sepakat

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan.18 Jadi sepakat merupakan pertemuan kedua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendakai oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya.

J. Satrio, menyatakan kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang dimana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus

       18

(38)

dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.19 Dengan demikian adanya kehendak aja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam pasal 1321 KUH Perdata ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu di berikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik).20Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.

       19

J.Satrio, Hukum Jaminan,Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 129

20

(39)

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagaiorang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Selanjutnya pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian yaitu:

1) Orang yang belum dewasa.

2) Mereka yang berada dibawah pengampuan/perwalian dan.

(40)

4) Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan (1333 ayat 2)

5) Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,21sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian.

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian Oorzaak

(causa yang halal). Didalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi :

“suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sedangkan pengertian sebab (causa) disini adalah tujuan daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu perjanjian.

       21

(41)

Syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak dalam perjanjian itu tidak ada yang berkeberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

E. Wanprestasi

(42)

persyaratan yang dicantum dalam perjanjian atau kontrak di teruskan oleh Rai Widjaya, bahwa pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi,dengan terlaksana prestasi kewajiban-kewajiban para pihak berakhir, sebaliknya apabila si berutang atau debitur tidak melaksanakannya, hal tersebut disebut wanprestasi.

Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi, yaitu :

1. Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat bagi atau tidak dapat diperbaiki.

2. Terlambat memenuhi prestasi.

3. Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. 4. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan22.

“Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena 2 hal: a. Kesalahan debitur karena : disengaja dan/atau lalai. b. Keadaan memaksa23.

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut :

1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan ganti rugi.

2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian.

3) Peralihan risiko, membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim24.

       22

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet.1, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta hal. 80-81

23 Ibid. 24

(43)

Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada 3 macam, yaitu :

1. Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur).

2. Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus).

3. Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking)25.

Jika dikaitkan dengan hubungan dokter dengan pasien dalam hal pelayanan kesehatan, maka wanprestasi dapat terjadi dalam hal pelayanan kesehatan, jika dokter tidak melakukan suatu tindakan medis/kedokteran sebagaimana yang telah diperjanjikan atau melakukan tindakan medis yang sebenarnya tidak ada/sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan untuk pasien sendiri dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak membayar biaya administrasi untuk keperluan tindakan medis/kedokteran tersebut atau melanggar kesepakatan yang ada dalam perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

F. Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi

       25

(44)

juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis.

Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.26

Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan

onrechmatigedaad dan dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tortitu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatigedaad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ” atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ”wrong ” berasal dari kata Perancis ” wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum

       26

(45)

adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).

Onrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 KUH Perdata dinyatakan : “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu biar manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum. Dalam ilmu hukum terdapat 3(tiga) katagori perbuatan melawan hukum yaitu:

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian.

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Unsur-unsur pebuatan melawan hukum:

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya suatu perbuatan.

b. Perbuatan tersebut melawan hukum. c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku. d. Adanya kerugian bagi korban.

(46)
(47)

A. Pengertian Kontrak Terapeutik

Terapeutik berasal dari bahasa latin “terapeuticus” yang artinya penyembuhan dan dalam bahasa Inggris menjadi “therapeutist” atau

“therapeuticagent”.27 Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan transaksi yang dilakukan oleh masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat atau cirri yang khusus yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya, kekhususannya terletak pada objek yang di perjanjikan.28

Perjanjian terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat di dalamnya, yaitu dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya perikatan yang diatur dalam hukum perdata tentang perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi dan kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak.

       27

Sunarto Ady Wibowo, Hukum Kontrak Terapeutik di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009, hal. 19

28

(48)

Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, menurut Koeswadji transaksi terapeutik adalah perjanjian perjanjian untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter.29

Menurut Veronica Komalawati transaksi terapeutik adalah hubungan antara hukum dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu dibidang kedokteran.30

Menurut Salim HS kontrak terapeutik adalah kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha untuk melakukan usaha maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dan pasien berkewajiban untuk membayar biaya penyembuhannya.31

Lebih lanjut menurut Salim HS, ada 3 unsur yang terkandung dalam definisi kontrak/transaksi/perjanjian terapeutik yang ia kemukakan diatas, yaitu :

1. Adanya subjek hukum. 2. Adanya objek hukum. 3. Kewajiban pasien32.

Subjek dalam kontrak terapeutik meliputi pasien, tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi. Objek dalam kontrak terapeutik adalah upaya maksimal untuk       

29

Harmien Hardiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional dalam Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), Jakarta,Cipta Aditya Bakti, 1983, hal. 30

30

Veronika Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Bandung , Cipta Aditya Bakti, 1999, hal. 1

31

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata Buku Satu, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 45-46

(49)

melakukan penyembuhan terhadap pasien. Kewajiban pasien adalah membayar biaya atau jasa terhadap tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi. Besarnya biaya atau jasa itu dicantumkan secara sepihak oleh tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi, sementara pasien sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk tawar-menawar terhadap apa yang disampaikan oleh tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi.33

“Dalam perjanjian terpeutik, antara dokter dengan pasien telah membentuk

hubungan medis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan

terbentuknya hubungan hukum” .

Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum terdapat objek, subjek, dan causa sebagai berikut:34

a. Objek dalam hubungan hukum berupa hal yang diwajibkan atau hal yang menjadi hak seseorang.

b. Subjek dalam hubungan hukum ialah seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau yang diberikan hak terhadap sesuatu. c. Causa dalam hubungan hukum adalah hal yang menyebabkan adanya

hubungan hukum, yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan diperhatikan seperti yang termaksud dalam isi perhubungan hukum itu. Berdasarkan uraian tersebut apabila mengacu pada peraturan perundangan dibidang kesehatan maka hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut :

       33

Ibid. 34

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

(50)

1) Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima tindakan medis. 2) Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter dan sarana

kesehatan (menurut Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan, sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan). 3) Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang

dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

B. Aspek Hukum Keperdataan Dalam Kontrak Terapeutik

Hukum keperdataan disebut juga dengan hukum perdata dalam arti luas. Hukum perdata dalam arti luas ialah hukum sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata, KUH Dagang, UUPK dan undang-undang lainnya yang meliputi semua hukum “private materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana terdapat didalam KUH perdata.

(51)

orang/badan hukum yang lain didalam masyarakat dengan menitik beratkan kepada kepentingan persorangan (pribadi/badan hukum)”.35

Hubungan yang bersifat istimewa antara dokter dengan pasien dapat menimbulkan permasalahan yang disebabkan antara lain oleh rasa ketidakpuasan pasien atas adanya dugaan kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Hal itu pada umumnya disebabkan oleh kurangnya informasi yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak (dokter dan pasien).

Kedudukan antara dokter dengan pasien sebagai para pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik tidak seimbang. Hal ini menarik di tinjau dari aspek hukum. Dari aspek hukum pidana, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tidak bertentangan dengan hukum, meskipun menimbulkan rasa sakit. Dokter tidak dapat dipidana atas rasa sakit yang ditimbulkan dalam suatu tindakan medis tertentu, meskipun rasa sakit merupakan salah satu tindakan pidana penganiayaan. Atas tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana, apabila memenuhi beberapa syarat berikut :

1. Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkrit tertentu 2. Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran

3. Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu

Meskipun ada persetujuan pasien/keluarganya berupa persetujuan tindakan medis, namun jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka perbuatan tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum dalam hukum pidana. Dengan demikian, apabila ada kesalahan oleh dokter maka kesalahan tersebut tetap dapat       

35

(52)

di pertanggung jawabkan menurut hukum pidana, meskipun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter disetujui oleh pasien/keluarganya.

Dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupaka pelaksanaan dari perikatan berupa perjanjian/transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut perjanjian/transaksi terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antar dokter dengan pasien untuk mencari/menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh dokter.

Aspek hukum perdata dalam kontrak terapeutik ialah adanya hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya yaitu antara pasien dan tenaga kesehatan, rumah sakit yang menimbulkan hak dan kewajiban secara bertimbal balik.Yang menjadi hak pasien adalah kewajiban bagi tenaga kesehatan dan rumah sakit dan hak tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah menjadi kewajiban pasien. Hubungan tenaga kesehatan, rumah sakit dan pasien adalah hubungan jasa dalam hal pemberian pelayanan kesehatan.Tenaga kesehatan, rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Hubungan hukum itu dalam hukum perdata disebut ‘perikatan” (verbintennis), karena setiap kontrak adalah perikatan namun setiap perikatan belum tentu kontrak, karena sumber hukum perikatan tidak hanya kontrak melainkan juga undang-undang (1233 KUHPerdata).36 Di dalam ilmu hukum, khususnya hukum perdata ada dua jenis perjanjian, yaitu

resultaatsverbintenis (perjanjian berdasarkan hasil kerja) dan

       36

(53)

inspanningverbintenis (perjanjian berdasarkan usaha yang maksimal ikhtiar). Pada umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspanningverbintenis. Dalam hal ini, secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian, keterampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usahayang dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit, tambah sakit, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, dalam perjanjian terapeutik juga dimungkinkan adanya resultaatsverbintenis. Dalam hal ini, penerapan perjanjian yang dilakukan oleh dokter dengan pasien didasarkan atas hasil kerja, misalnya dalam pembuatan gigi palsu, pembuatan organ anggota badan palsu, dan sebagainya. Pada hakikatnya perjanjian terapeutik tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adapun syarat perjanjian pada umumnya menurut pasal 1320 KUH Perdata meliputi:

a. Kesepakatan antara para pihak. b. Kecakapan untuk membuat perikatan. c. Adanya suatu hal tertentu.

d. Adanya sebab yang halal.

(54)

dalam pelayanan kesehatan meliputi kebenaran dari isi surat keterangan kesehatan, wajib simpan rahasia oleh dokter tentang kesehatan pasien, pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis), penyalahgunaan pemberian resep obat yang mengandung psikotropika, dan sebagainya.

C. Dasar Hukum Kontrak Terapeutik

Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam KUH Perdata sebagai dasar adanya perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena undang-undang”.

Pada perjanjian terapeutik disamping terikat pada perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, para pihak juga terikat undang-undang.Kedua dasar hukum dalam perjanjian terapeutik bersifat saling melengkapi. Untuk lebih memudahkan pemahaman penjelasan dasar hukum dalam hubungan dokter dengan pasien, maka dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Karena kontrak (perjanjian terapeutik)

Dokter dan pasien telah dianggap sepakat melakukan perjanjian apabila dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien.

2. Karena undang-undang

(55)

Didalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, tentang perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang didasarkan sistem terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu”.37

UUPKn diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.38

UUPK walaupun tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang konsumen jasa dari pada tenaga kesehatan dan rumah sakit.

Dari penjelasan yang ada di atas, dapat disimpulkan secara garis besar bahwa dasar hukum perjanjian/kontrak terapeutik adalah :

a. KUHPerdata (khususnya Buku III)

b. Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

c. Undang-undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran d. Peraturan Menteri Kesehatan No.290/MENKES/PER/III/2008 e. Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

       37

Veronika Komalawati, Op.Cit, hal. 139

38

(56)

D. Hubungan Hukum Para Pihak Yang Terkait Dalam Kontrak Terapeutik

Dalam UU kesehatan telah ditentukan para pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan, yaitu pasien dan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melalukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 6 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Ada tiga ciri-ciri tenaga kesehatan, yaitu :

1. Orang yang mengabdi dibidang kesehatan.

2. Memiliki pengetahuan dan/atau memiliki keterampilan. 3. Memiliki wewenang untuk melakukan upaya kesehatan.

(57)

Dalam UUPKn telah ditentukan para pihak dalam bentuk kontrak terapeutik, yaitu pasien dengan dokter atau dokter gigi. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi (Pasal 1 angka 10 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Ciri-ciri pasien, yaitu :

a. Orang yang melakukan konsultasi.

b. Untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan. c. Dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

d. Yang melakukan pelayanan itu adalah dokter atau dokter gigi.

Dokter atau dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun luar negeri yang diakui oleh Pemerintah RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).

Dokter dalam definisi ini di golongkan menjadi dua golongan, yaitu dokter dan dokter spesialis. Begitu juga dokter gigi, dokter gigi dibagi menjadi dua golongan, yaitu dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Syarat dari dokter dan dokter gigi adalah lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Lulusan itu terdiri dari lulusan dalam negeri dan luar negeri. Lulusan luar negeri harus diakui oleh Pemerintah RI.39

Hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit adalah:

      

39  Salim HS.

(58)

1) Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang melakukan tindakan perawatan

2) Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk meyembuhkan pasien melalui tindakan medis (inspannings-verbintenis)40

Hubungan hukum antara pasien dan tenaga kesehatan di rumah sakit adalah:

a) Hubungan pasien dan dokter.

b) Hubungan hukum antara pasien dengan tenaga kesehatan lainnya (antara lain dengan perawat)41.

Sedangkan hubungan antara dokter dan perawat adalah merupakan hubungan rujukan atau delegasi.42

E. Informed Consent

1. Pengertian Informed Consent

Pengertian persetujuan tindakan medik dinamakan juga informed consent. Consent artinya persetujuan atau izin. Jadi informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik atau pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong       

40

Sunarto Ady Wibowo, Op.Cit, hal .55

41

Ibid., hal. 56

(59)

bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya.43

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1886 tanggal 21 April 1999 tentang pedoman persetujuan tindakan medik (informed consent) mengatakan bahwa informed consent terdiri dari kata

informed yang berarti telah mendapat informasi dan consent berarti persetujuan atau izin. Yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau izin dari seseorang pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud. Informed consent menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 290 tahun 2008 yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan terhadap pasien.

Selain undang-undang, para sarjana pun memberikan penjelasan megenai pengertian persetujuan tindakan medis atau informed consent. Adapun pendapat para sarjana tersebut diantaranya adalah:

a. Menurut Thiroux, informed consent merupakan suatu pendekatan terhadap kebenaran dan keterlibatan pasien dalam keputusan mengenai pengobatannya. Seringkali suatu pendekatan terbaik untuk mendapatkan

informed consent adalah jika dokter yang akan mengusulkan atau

       43

(60)

melakukan prosedur memberi penjelasan secara detail disamping meminta pasien membaca formulir tersebut. Para pasien serta keluarganya sebaiknya diajak untuk mengajukan pertanyaan menurut kehendaknya, dan harus dijawab secara jujur dan jelas. Maksud dari penjelasan lisan ini adalah untuk menjamin bahwa jika pasien menandatangani formulir itu, benar-benar telah mendapat informasi yang lengkap.44

b. Menurut Appelbaum, informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter-pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang informed consent. Formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau pendokumentasian dari apa yang telah disepakati.45

c. Menurut Faden dan Beauchamp, informed consent adalah hubungan antara dokter dengan pasien berdasarkan kepercayaan, adanya hak otonomi atau menentukan nasib atas dirinya sendiri, dan adanya hubungan perjanjian antara dokter dan pasien.46

d. Menurut Veronika Komalawati, informed consent merupakan toestemming

(kesepakatan/persetujuan). Jadi informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapat informasi dari dokter       

44

Veronika Komalawati (I), Peranan Informed Consentdalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 105

45

Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999, hal. 74

46

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini telah berkembang suatu kebiasaaan di dunia properti sistem indent, ready stock untuk memasarkan rumah yang sedang dibangun, bahkan belum dibangun, oleh karena itu

Penelitian ini ditujukan untuk menemukan hubungan hukum antara penjual dengan pembeli software dikaitkan dengan perjanjian jual beli software dan perlindungan

Istilah konsumen dapat dijumpai dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen ( Undang - Undang No. 8 Tahun 1999) atau yang sering disebut dengan UUPK, yakni terdapat pada Pasal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.. Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Istilah konsumen dapat dijumpai dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen ( Undang - Undang No. 8 Tahun 1999) atau yang sering disebut dengan UUPK, yakni terdapat pada Pasal

Perjanjian terapeutik juga menganut klausula baku yang dituangkan dalam surat persetujuan tindakan medik atau informed consent dimana yang menentukan isinya adalah dokter

vi UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR Pada tanggal 6 Desember 2023 telah diselenggarakan sidang Tugas Akhir Sarjana Strata